Anda di halaman 1dari 8

Risalah Cinta

Sebuah perasaan hati dalam rangkaian kata yang ingin diungkapkan oleh seorang Hasib saat
perasaan itu sudah menjadi kenangan dalam kisah kehidupannya. Berharap dan berharap
dalam sebuah sajak ia ukirkan dalam sohifah persembahan untuk seseorang yang menjadi
impian tulang rusuknya. Impian itu menjadi bumerang dalam kehidupannya. Tersakiti membuat
ia termangu dalam kesedihan yang mendalam. Jiwanya masih terikat dengan memori kenangan
indah seperti pesona cleopatra yang tidak pernah pudar dalam ingatannya.

Mega merah di sore hari tertutup awan hitam, Hasib duduk di pelataran masjid kampus
tempatnya menimba ilmu itu dengan menikmati angin dan hawa sejuk yang muncul dari
sekelilingnya. Matanya tidak berhenti memandangi rerumputan di sekeliling kampus hijau salah
satu kampus negeri di kota kelahirannya Madura. Menjadi mahasiswa dan hampir setiap hari
pergi ke kampus merupakan kegiatan wajib yang harus ia lakukan, mengingat ia sudah
termasuk mahasiswa senior dan sebentar lagi akan memakai toga kebanggaannya.

Setelah putus hubungan dengan Ina seorang perempuan kelahiran Madura juga sama seperti
dirinya, dan memang sudah lama menetap di Madura semenjak ia menjadi mahasiswa.
Sekarang Hasib hanya menelan pil pahit saat cintanya diduakan oleh Ina yang lebih memilih
jalan lain dengan cara yang sangat menyakitkan bagi Hasib. Keribangan hati Hasib menentukan
sang pujaan hati ternyata menjadi trauma yang mendalam setelah merasakan sakit itu.
Kelakuannya seolah tidak ada semangat untuk menjalani kehidupannya. Setiap hari Hasib hanya
bisa memandang sang pujaan hatinya itu dari kejauhan dengan menggandeng laki-laki lain yang
tidak lain adalah pacar barunya Ina.

“Bro, kita touring yuk ?” tiba-tiba suara Ilham terdengar di sampingnya.

“Touring kemana?” jawab Hasib malas.

“Bukit Jeddih, kita punya tempat bagus nih” lanjut Ilham semangat.
Hasib hanya terdiam masih terpaku dengan pandangan yang tidak berarti mengarah ke
halaman masjid.

“Eh bro, lo kenapa sih? Kayaknya lagi ada masalah” tanya Ilham heran.

“Enggak kok gua gak kenapa-napa kok”. Hasib langsung meninggalkan Ilham ke arah tempat
wudhu di masjid itu.

Kerutan di kening Ilham tergambar jelas setelah melihat respon Hasib tidak seperti biasanya.
Hasib yang setiap harinya bergabung dengan gengnya sekarang terlihat menjauh dan sering
menyendiri tidak jelas. Entah sebab apa yang jelas sahabat-sahabatnya tidak mengetahui kalau
Hasib sedang mengalami patah hati. Ditambah lagi Hasib sudah mulai tidak terbuka dengan
mereka. Biasanya Hasib beserta gengnya itu sering nongkrong bersama di cafe langganan
mereka yang tempatnya tidak jauh dari kampus tempat mereka kuliah itu. Saling bertukar
pikiran dan menyelesaikan masalah, itulah yang mereka bahas pada saat mereka nongkrong
bersama di cafe.

Tidak lama Hasib kembali masuk ke dalam masjid dan duduk di samping kanan masjid setelah
berwudhu. Ia hanya duduk terdiam menghayati seorang perempuan yang sangat cantik dengan
mengenakan bluss pink salem di padukan dengan kerudung merah hati sedang membaca al-
qur’an di sampingnya. Suaranya indah dan merdu saat di dengar oleh telinga siapa saja yang
mendengarkannya, serta dapat menenangkan jiwa bagi siapa saja yang menghayatinya.

“Ingin sekali hamba seperti orang ini ya Allah, sepertinya hatinya selalu tenang dengan
membaca al-qur’an ” ucap Hasib dalam hati.

Ia merasakan malu selama ini ia hanya menikmati indahnya dunia tanpa memikirkan akhirat
yang memang suatu kehidupan kekal di dalamnya. Menjadi seorang muslim yang kaaffah dan
beristiqomah. Mengingat Allah bukan saat ia merasakan gundah saja, tapi juga mengingat Allah
untuk selamanya dalam kehidupannya. Hasib mulai merasakan aneh setelah beberapa jam
duduk di dalam masjid, rasanya masalah semakin menghilang. Kenyamanan itu ia iringi dengan
pengakuan dan penyesalan dosa yang pernah ia lakukan. Ia semakin sadar banyak kesalahan
dan dosa dalam kehidupannya baik dari hubungan secara vertikal kepada Allah maupun
hubungan secara horizontal kepada manusia di sekelilingnya. Sejatinya Hasib menemukan
ketenangan yang tidak pernah ia duga setelah terbelenggu dalam sakit yang menusuk dalam
hati.

Satu minggu setelah Hasib mulai menemukan ketenangan jiwanya. Melupakan dan
meninggalkan kebiasaan yang membuatnya melakukan sesuatu yang tidak berguna. Kini Hasib
mulai mendekati majelis-majelis ilmu, kajian islami, dan seminar islami. Ketenangan itu semakin
sempurna ia rasakan setelah banyak mengenal orang-orang alim, para ustadz dan teman-teman
yang baik. Hal ini membuatnya semakin istiqomah dalam memilih perjalanan hidup. Harta dan
kemewahan bukan segalanya tidak akan bisa membuat seseorang menjadi kaya hati, kaya iman,
dan kaya moral. Semua itu harus didapat dengan mendekatkan diri kepada sang pemilik
kekayaannya.

Hasib semakin yakin, bahwa rezeki, jodoh dan yang lainnya sudah Allah atur dengan kemasaan
yang istimewa untuk setiap hambanya. Allah akan memenuhi hak dan janjinya kepada kita
setelah kita memenuhi hak kita sebagai hamba kepada Allah. Yang terpenting ia selalu bisa
menjadi orang baik tanpa harus dianggap baik oleh orang lain. Menjadi orang baik itu mudah,
tapi menjadi baik bagi orang itu yang sulit.

“Akhi bisa ikut kajian tafsir kan hari ini?” ajak Mahmud salah satu ketua umum Aktifis Dakwah
Kampus (ADK).

“Insyaallah akhi bisa, kita barengan aja”. Respon Hasib semangat sambil memasukan tasbih
setelah berdzikir usai sholat ashar tadi.

Sore ini Hasib dan teman-teman ADK akan mengikuti kajian tafsir ayat-al-ahkam yang akan di
sampaikan langsung oleh pimpinan pondok pesantren Riyadhussolihin KH. Bukhori namun
beliau sering disapa kang Ori, sebuah nama sederhana dari lelaki mulia yang sudah berkepala
empat ini. Tempatnya tidak jauh dari kampus kurang lebih hanya 500 meter saja ke arah timur
kampus dan sampai menuju pondok pesantren itu. Beliau memang sering memberikan kajian-
kajian islami dan sudah kenal dekat dengan Hasib, semenjak Hasib mendapatkan motivasi
kehidupan yang sejati. Kehidupan yang diajarkan oleh rasul panutan umat islam. Sampai disana
kang Ori sudah menunggu mereka di masjid pesantren dan kajianpun tidak lama dimulai.

Isi dari kajian itu menjelaskan tentang bagaimana cara menjalani hidup di dunia ini dengan
ikhlas ? . Cara hidup dengan ikhlas itu mudah, cukup hanya selalu mensyukuri nikmat dari Allah
yang setiap harinya tidak pernah terlepas sedikitpun dari aktivitas kehidupan kita sehari-hari.
Jadi kita selaku umat muslim, harus pandai-pandai untuk mensyukuri nikmat dari Allah. Baik itu
dari nikmat yang sangat kecil, contohnya bangun tidur kita masih bisa menghirup udara segar
tanpa sesak nafas sedikitpun, kita dapat melihat keindahan matahari terbit tanpa merasakan
sakit mata, dan masih banyak nikmat Allah lainnya yang masih belum kita syukuri.

Setelah kurang lebih satu jam kajian ditutup oleh kang Ori. Beliau tidak pernah mengajarkan
materi dengan porsi yang lama. Sebagai pemula mereka dituntut sedikit demi sedikit lama-lama
menjadi bukit. Artinya walaupun materi yang diberikan kang hasan sedikit yang terpenting
mereka paham dan bisa mengamalkannya nanti juga akan tumbuh banyak.

“Kita ke rumah dulu yuk” ajak kang Ori kepada kami setelah usai kajian.

“Iya kang” jawab mereka sambil menundukan kepala sedikit.

Tiba-tiba Hasib dikagetkan oleh sosok hawa yang berpakaian akhwat. Memakai gamis warna
cokelat berkerudung warna kopi susu sampai menutupi kedua sikutnya, berwajah hampir mirip
kang Ori. Ia menyuguhi mereka minum dan makanan kecil. Hanya uluman senyum kecil kepada
mereka selebihnya ia hanya menundukan wajahnya. Kemudian ia pergi pamit untuk kembali
dengan membawa nampan yang di buat untuk menyuguhi minuman dan makanan kecil tadi.
Hasib

“Subhanaallah” ucap Hasib dalam hati. Hasib terpaku melihatnya. Jarang sekali ia melihat
perempuan seperti ini. Terhiasi dengan pakaian muslimah yang menyejukan hati setiap adam
saat melihatnya. Memakai kerudung untuk menutupi aurat di kepalanya. Memakai baju syar’I
untuk menutupi aurat tubuhnya. Memang jarang di temui wanita seperti ia di zaman modern
sekarang.
“Nah, tadi anak pertama akang namanya Firdaus Jannah sapaan akrabnya neng Firda”. Terang
kang Ori setelah neng Firda masuk kedalam kamarnya.

“Oh, itu anak akang” jawab mereka terkagum.

“Astagfirullah” lanjut Hasib dalam hati sambil menggelengkan kepala. Ia merasa malu kepada
kang Ori setelah terpaku lama menatap anaknya neng Firda itu.

Jelas mereka terkagum dan kaget. Selama ini kang Ori hanya bercerita mempunyai lima anak,
tiga diantaranya perempuan dan dua orang laki-laki. Neng Firda ini anak pertama yang baru saja
lulus dari universitas Ummul Qura Kota Makkah mengambil jurusan al-qur’an dan hadits. Jelas
saja pakaian dan karakternya begitu sangat istimewa di mata kaum adam.

Setelah beberapa lama kang Ori membicarakan perihal pondok pesantrennya. Tahun ini
pesantrennya masih kekurangan tenaga pengajar mengingat santri yang masuk semakin
bertambah banyak sehingga diharuskan membuka kelas cukup banyak pula. Kang Ori
menginginkan tambahan pengajar eksak di pesantrennya karena masih minim dan melelahkan
jika digarap dengan beberapa orang pengajar eksak saja. Hal ini untuk menghasilkan kegiatan
belajar mengajar menjadi lebih efektif dan efisien.

“Hasib kang” sontak teman-teman ADK menunjuk Hasib. Walaupun Hasib mengambil jurusan
ekonomi dan bisnis setidaknya masih dekat dengan materi matematika sekolah menengah
dibandingkan teman-temannya yang lain. Hasib kaget dan menolak usulan itu.

“Maaf kang bukannya saya enggak mau, tapi jurusan saya jelas tidak merujuk untuk mengajar”
ucap Hasib menolaknya dengan takdzim.

“Tidak apa-apa sebagai dasar untuk mereka. Sebagai bukti nyata ilmu yang diamalkan.
Mengajar bukan berarti kita paling hebat justru dengan mengajar kita akan bisa dan semakin
bertambah ilmu kita selain amal jariyah yang kita dapatkan” respon kang Ori dengan bijaknya.

Ucapan kang Ori itu membuat Hasib terdiam sambil mengangguk-anggukan kepalanya, hatinya
terbuka dan menyadari perkataan kang Ori itu faktanya memang benar.
“Insyaallah saya siap kang, tapi saya butuh bimbingan dari guru-guru yang lainnya” setelah
beberapa lama Hasib menyetujui usulan teman-temannya dan juga nasihat dari kang Ori.

Satu tahun sudah berlalu, Hasib sudah berubah 180 derajat selain sudah wisuda kuliahnya.
Hasib juga semakin betah berada di lingkungan pesantren. Kegiatan sehari-hari ia habiskan
dalam pesantren selain mengajar ia juga banyak belajar tentang ilmu agama islam kepada kang
Ori dan ustadz-ustadz yang lain. Hal ini membuat kagum dan bangga kang Ori setelah
memperhatikan hijrah Hasib yang begitu dahsyat. Semangatnya untuk mempelajari islam
sangat berkobar tidak pernah putus. Kang Ori tidak meragukannya walaupun Hasib bukan
alumni pondok pesantren tapi moralitas dan istiqomahnya kepada islam sangat sebanding
dengan alumni-alumni pondok pesantren. Hal ini membuat kang Ori memilih Hasib untuk
menjadi pendamping hidup neng Firda anak pertamanya yang belum menikah.

Selain ingin cepat mempunyai cucu kang Ori tidak mau menunda pernikahan seorang anak
perempuannya karena memang harus cepat dinikahkan, ditakutkan akan menimbulkan fitnah
yang tidak baik untuk keluarganya. Tidak hanya dengan pemikiran kang Ori, beberapa kali kang
Ori beristiqoroh sosok Hasib selalu muncul dalam mimpinya dan menjadi pilihan terbaik bagi
kang Ori untuk menikahkan dengan putrinya.

Sebelum Hasib tahu tentang maksud kang hasan, neng Firda lebih dulu tahu kalau kang Hasib
akan menikahkan dirinya dengan Hasib. Sungguh ini tidak ada penolakan dari neng Firda selain
menuruti keputusan kang Ori, sebenarnya ia sudah menaruh hati untuk Hasib semenjak
melihatnya pertama kali di rumahnya usai kajian tafsir setahun yang lalu. Hanya doa yang sering
ia sampaikan dan bermunajat memohon keridhoan cintanya kepada Hasib. Mencintai dengan
doa itu senjata yang sangat ampuh menurut Firda tanpa harus mengumbarnya kepada
siapapun orang di sekelilingnya.

Sore hari di tempat ruang tamu kang Ori hanya berdua dengan Firda membicarakan maksud
baik kang Ori.

“Ustadz, ada hal penting yang harus saya sampaikan” ucap kang Ori membuat hati Hasib
berdebar. Tidak biasanya kang Ori berbicara serius seperti itu. Karena setahu Hasib kang Ori
orangnya humoris dan selalu diawali dengan candaan saat berbicara dengan beliau. Berbeda
dengan saat itu.

“Maaf kang, hal penting apa ya? Apa saya melakukan kesalahan di pondok ini” tanya Hasib
merasa tidak enak.

“Bukan itu, ada maksud baik yang ingin saya sampaikan, saya ingin menikahkan ustadz dengan
putri saya neng Firda”. Kang Ori mengulum senyum kepada Hasib.

“Akang ini ada-ada aja, becandanya makin tinggi” respon Hasib sambil tertawa sedikit. Ia
menganggap kang Ori hanya bercanda.

“Akang serius, sama sekali enggak becanda” jawabnya menyakinkan Hasib.

Hasib hanya terdiam, ia tidak percaya dengan keadan ini. Walaupun Hasib juga menyukai dan
mencintai neng Firda, jelas Hasib belum menunjukan kepada kang Ori kalau dia juga
mencintainya dengan cara mendoakan yang terbaik untuk neng Firda. Kehebatan doa memang
tidak pernah mengkhianati seorang hamba yang tulus dan terus tanpa putus asa menunggu
jawaban dari sang pemilik segalanya. Karena sebaik-baiknya tempat untuk meminta hanyalah
kepada sang pencipta. Berdo’alah kepada-Nya, maka do’amu akan dikabulkan jika engkau juga
bersungguh-sungguh dalam berdo’a.

“Kang, bukannya saya tidak menghargai niat baik akang. Tapi lelaki seperti saya tidak begitu
baik dengan neng Firda yang jelas-jelas wanita solehah. Saya takut tidak bisa menjadi imam
yang baik untuk neng Firda. Saya sangat kurang dengan pengetahuan agama islam” respon
Hasib merendah. Dan memang benar Hasib merasa tidak pantas untuk neng Firda.

“Ustadz, manusia itu tidak ada yang sempurna dan tidak ada yang bisa menentukan seseorang
masuk surga hanya karena dia sekarang menjadi seorang ulama, yang menentukan baik atau
buruknya seseorang adalah amalan di akhir kehidupannya. Tidak ada gunanya seseorang yang
awalnya menjadi ulama namun diakhir hidupnya melakukan dosa yang besar. Seseorang ahli
maksiat namun diakhir hidupnya bertaubat dengan sungguh-sungguh dan mati dengan keadaan
husnul khotimah itulah sebaik-baik hamba. Dan yang paling baik dari yang baik adalah
seseorang yang mampu beristiqomah dari awal kehidupannya sampai ia kembali kepada sang
pencipta”. Sambung kang Ori dengan nasihat yang menggetarkan hati Hasib.

“Iya kang”. Hasib menundukan kepalanya sambil meneteskan air mata menyadari dan
mengakui semuanya.

Tidak ada yang harus ia pendam lagi perasaannya semakin jelas mencintai neng Firda. Tidak
henti-hentinya air mata itu mengalir deras seiring hatinya mengingat kehidupan masa lalu dan
cukup membuat ia merasa sedih. Sekarang dengan segala kekurangannya ia menemukan tulang
rusuknya dengan hadirnya wanita solehah impian semua kaum adam. Kang Ori bersyukur dan
tersenyum mendengar Hasib menyetujui pernikahan neng Firda dengan dirinya.

Selang beberapa minggu, pernikahan Hasib dengan neng Firda berjalan dengan khidmat. Hasib
memilih surat ar-rahman sebagai mahar pernikahannya sesuai permintaan dari neng Firda yang
menginginkan mahar hafalan al-qur’an. Tanpa neng Firda sadari, Hasib menggunakan lafadz
bahasa arab untuk mengucapkan ijab qobulnya. Seketika itu juga neng Firda meneteskan air
matanya. Dari dulu neng Firda berdo’a kepada Allah, agar siapapun yang akan menjadi
pasangan hidupnya kelak nanti, ketika mengucapakan ijab qobul menggunakan bahasa arab.

Sungguh pasangan yang menjadi pelengkap kehidupan. Senyum bahagia dan tatapan dari
keduanya tergambar sangat membahagiakan setelah ijab qobul diucapkan Hasib dengan lancar
dan resmi menjadi seorang suami untuk neng Firda seorang wanita solehah penyejuk
kedamaian dalam kehidupan.

Jodoh adalah cerminan diri, tidak perlu sibuk mencari dan memilih siapapun. Yang perlu
dilakukan adalah memperbaiki diri dan memenuhi hak-hak kita sebagai hamba kepada sang
pencipta. jodoh, rezeki dan segalanya sudah diatur dalam sekenario yang indah. Jika sudah tiba,
putaran waktu akan menjemput kita menemui cinta sejati dan menemukan kehidupan yang
diridhoi dan berkah untuk dunia dan akhirat.

Anda mungkin juga menyukai