Anda di halaman 1dari 6

Bukan Kaleng-Kaleng

By Miftahul Haera

Memasuki tabir baru di hidupnya, sudah satu tahun berlalu hidupnya ia lewati di sekolah
cinta milik mantan presiden Indonesia, Jusuf Kalla. Hari-harinya lewat begitu saja, tak ada hal
spesial yang menonjol darinya, piala dan medali belum ada satupun yang ia disumbangkan, nilaipun
tak bisa menjadi nilai tertinggi, untung saja ia terlibat di kepengurusan OSIS selama satu periode .
Ialah Miftahul Haera, siswi kelas VIII Ar-Rafi.

Dari awal masuk di sekolah ini, dia sudah meniatkan harus menyumbangkan minimal 1
torehan prestasi, yakni ke nasional dan membawa nama baik sekolah. Namun, seiring waktu
berjalan, kegagalan lah yang terus didapatinya. Penelitian nya tak lolos ke nasional, ia pun sangat
jarang mendapatkan kesempatan untuk mengikuti lomba, tak seperti teman nya yang lain. “Ya
Allah, bagaimana caranya agar saya bisa membanggakan nama sekolah dan orang tua yang telah
berjasa di hidup saya.” Pungkasnya dalam hati disetiap waktunya.

Diapun selalu bermimpi membelikan sebuah oleh-oleh untuk salah satu gurunya ketika di
SD, guru yang terbilang sangat berjasa sehingga ia bisa sampai sekarang ini. Tapi kapan, sepertinya
tidak ada alasan yang memang pantas membawa dirinya ke nasional. Ia hanya ikut di ekskul IPS,
namun tak terlalu menonjol disitu. Apalah artinya, ia selalu mengaggap dirinya sebagai butiran
debu di Athirah yang tidak ada apa-apanya.

Sehingga ia harus tetap rajin dan produktif ketika mengerjakan tugas, agar ia benar-benar
tak tenggelam di Athirah. Ia paling suka dengan mencoret-coret bukunya dengan kata-kata apa yang
dia alami, sehingga nilai bahasa Indonesia nya terbilang tinggi ketika kelas 7 di mapel Pak
Nurholis, itu karena ketuntasan diarynya yang lengkap setiap hari. Tapi dia malas membaca. Ia
terkantuk kantuk saat melihat deretan kata, itulah alasannya.

Melihat teman-teman yang lain sudah pada menyumbangkan prestasi, hanya rasa iri yang ia
rasakan. Pusing dan tidak tahu langkah apa yang ia bisa lakukan. Sehingga tak berpikir banyak,
iapun mendaftarkan diri di kelas takhassus, masuk dikelas menulis, bergabung di ekskul IPS dan
berpartisipasi aktif di OSIS, mungkin dari sinilah ia dapat membalas jasa sekolah, yang menurutnya
hanya secuil saja. Ini tak cukup baginya.
Semuanya berlalu hingga tak karuan dan bingung harus fokus kemana, pilihannya untuk
membalas jasa sekolah justru membuatnya depresi dan pusing. hingga di suatu ketika harus kumpul
OSIS lagi dan lagi, ia meminta izin karena pusing, ternyata ia sudah meminum obat-obatan nya
yang ada karena berniat ingin mati saja.Toh, kalau mati sudah tidak ada tanggungan lagi. Namun,
obat-obatan itu tak berdampak sampai meninggal, ia hanya muntah biasa dan kembali vit seperti
biasanya.

Ekskul IPS yang telah ia dulu impikan sebagai jalan menuju nasional ternyata juga kandas,
karena ia diberikan pilihan antara OSIS atau OSN, namun ia lebih memilih organisasi karena alasan
kenyamanan dan kecocokan pada pribadinya. Ternyata di organisasi itu juga bermunculan berbagai
macam masalah, nampaknya memang pengurus OSIS merupakan incaran untuk dijadikan
gunjingan para siswa, seolah-olah OSIS selalu saja salah, sementara di sisi lain agenda OSIS juga
sering bertabrakan dengan jadwal di asrama takhassus, sehingga ia sangat pusing, komentar negatif
dari siswa-siswi lain, membuatnya tertekan seolah semuanya tak akan ada yang baik-baik saja.
Tidak ada keadaan yang stabil. Setoran hapalannya pun kerap tak selancar yang diusahakan nya
ketika menyetor, sering kali guru tahfidz menegurnya gara-gara hal ini. Tak lancarlah, target belum
tercapai, tajwid yang acak-acakan seolah dia tak layak dikelas takhassus tersebut.

Namun, itulah jalan terbaik. Ia menemukan asrama takhassus yang di dalamnya ia merasa
sangat adem, seperti tidak ada alasan untuk tidak beribadah disana dan tak ada sebab tuk berbuat
dosa, semua teman-temannya memiliki sifat yang alim dan jiwa religuisitas yang menjadi penanda,
atmosfer ditempat tahfidz seperti selalu terlindungi, tiada hari tanpa Al-Quran, dinasehati dengan al-
quran, bila mendapat hukuman juga tentang Al-Quran, pokoknya didikan yang diberikan semua
berdasar pada pedoman yang ada di dalam Al-Quran. Sungguh rezeki yang sangat ia syukuri,
walaupun sedang berada di titik terendah ia mengeluh dengan Allah, namun akhirnya ia
menemukan satu titik yaitu ikhlas. Dari semua itu, ia belajar ikhlas menerima cobaan, memang
begini lika-liku ketika menuntut ilmu. Semua harus dilewati dengan lapang dada dan ada waktu
yang tepat dimana Allah akan mencurahkan nikmatnya kepada hambanya yang pantas.
Kewajibannya hanyalah harus fokus pada amanah yang diberikan, yakni menuntaskan target
hapalan sebanyak 5 juz dalam satu tahun, dan pastinya tidak pernah lupa sedetikpun untuk berdoa
dan meminta rezeki yang melimpah kepada Allah.

Waktu terus berkejaran mengejar masa. Dari sisi lain, muncullah tawaran lomba menulis
esai bagi kelas menulis yang ia ikuti setiap Sabtu pagi. Tapi hanya 1 tulisannlah yang akan terpilih
untuk diikutkan ke tingkat nasional, dari jumlahnya sekitar 30 puluhan orang. Ia merasa tidak
mungkin, tak ada pengalaman menulis esai sebelumnya, sementara beberapa temannya yang lain
ada yang sudah dua tahun belajar di kelas itu. Pesimislah satu kata buatnya, mungkin belum disini
jalannya. Namun, ia tetap ikut. Karena ia merasa tidak enak kepada Pak Holis, padahal ia juga
pusing dengan masalah manejemen waktu antara OSIS dan takhassus, tapi ia meyakinkan pada
dirinya bahwa ini tak mengambil waktu banyak hanya perlu menulis masalah yang ada, namun ia
kembali bingung, masalah aktual apa yang perlu ia angkat. Ternyata sungguh keberuntungan, esai
yang lolos tahun lalu berasal dari anak tahfidz juga, teman sekamarnya pula, Adelia Maharani
Indra. Menengok esainya tahun lalu yang lolos tentang perairan Indonesia yang tak sesuai sajak-
sajak, iapun mengikuti gayanya dengan tema berbeda yakni pertanian yang kaya namun tak mampu
memenuhi kebutuhan pangan masyarakatnya, ditambah lagi penderitaan ekonomi keluarganya yang
juga sebagai petani. Iapun terinspirasi dan mengangkat judul esainya dengan judul, ‘tangisan di
negeri agraris’, persis seperti replika dari apa yang dialami keluarganya. Dengan mengandalkan dari
satu-dua tulisan beritanya dulu, iapun menulis.

Pak Holis pun sebagai penanggung jawab lomba memberikan deadline pengumpulan, dan
akan diumumkan 3 terbaik yang akan dievaluasi lagi menjadi 1 tulisan yang akan dikirim nantinya.
Dengan tetap memprioritaskan kelas takhassusnya, karena di kelas inilah nilai mata pelajaran non-
ujian nasioanl akan ditanggung, dengan syarat target hapalan harus sampai. Iapun harus mencuri-
curi waktu agar tulisan tersebut dapat selesai. Karena esainya harus dikumpulkan segera, untung
saja kak Adel ada untuk membantunya.

Tibalah di Hari Sabtu, dimana ekskul menulis diadakan. Namun Pak Holis akan
memberitahukan 3 tulisan yang lolos di akhir jam pelajaran. Ketika waktu itu tiba, ia tak terlalu
fokus mendengarkan nya, karena ia merasa pasti tak mungkin. Sampai setelah nama-nama itu
diumumkan dan disuruh untuk tinggal, semua anak-anak yang lain disuruh untuk meninggalkan
kelas, iapun ikut keluar. Ternyata betul, ini belum jalannya. Tiba-tiba teman dibelakangnya
menegur, “ kenapa kau tak tinggal di dalam, namamu kan tadi disebutkan?”, tegur temannya.
“iyakah? Jangan bohong loh . Kamu Serius?”, balasnya. “Iya, serius, ada namamu tadi”. Celoteh
teman nya. Dengan suara teriakan yang tersembunyi dibalik hati, dan tak dia tampakkan ia pun
masuk ke kelas, dan benar, ternyata Pak Holis sudah menunggunya. Disana sudah ada Eva dan Izzul
juga. Mereka bertiga pun diberikan penjelasan dan pencerahan mengenai kekurangan esainya
masing-masing, dan kembali diperintahkan untuk memperbaiki dan mengumpulkan nya kembali di
Hari Senin sore. Hari Selasa pagi, pak Holis akan langsung memanggil orang dengan esai yang
terpilih tuk dikirim.

Iapun segera turun ke mushola sebagai tempat paling adem tuk menyelesaikan nya, supaya
tidak ada beban lagi. Hingga dzuhurpun ia berhasil menyelesaikan nya. Dan mengumpulkannya di
hari Senin mendatang. Ia merasa bahwa mungkin Eva lah yang menang, karena ia penulis yang
berpengalaman dari kelas 7, ia sudah menggeluti kelas menulis dengan tema yang menarik pula,
yakni tentang facebook. Dan sudah mengikhlaskan jika memang begitu nantinya.

Hari Senin pun datang, iapun segera mengumpulkan esainya bersama Eva, yang juga
merupakan teman sekelasnya sendiri. “Oke, besok tunggu saja panggilan nya yah!”, pungkas pak
kholis, “oke, pak”.Ucap mereka.

Hingga tibalah hari Selasa, karena Mifta merupakan anggota takhassus, iapun menuju ke
musala sebagai tempat tahfidznya, karena mata pelajaran hari ini sampai dhuzur adalah non-ujian
nasional,sehingga tak perlu mengikuti perwalian di kelas. Dengan terburu – buru menuruni anak
tangga demi anak tangga, tiba-tiba ia Pak Holis meneriakinya ” Mifta nanti langsung turun yah ke
ruang guru ! ”, Teriak Pak Kholis. Teriakan itu, bagai pelangi di tengah terik. “Betulan pak ?
Serius ? ”. Walaupun masih di sekolah, dan tak pasti ke nasional, tapi dia kelihatan sangat girang.
Segera ia menuju kembali ke kamar takhassus tuk mengambil laptop dan menuju ruang guru.
Disana sudah ada teman-teman yang lain yang juga ikut lomba literasi di cabang lain. Ia pun segera
menyelesaikan tugas yang diberikan pak Holis dan registrasi setelah itu. Semua lewat begitu saja.
Pak Holis hanya berpesan jangan lupa dijaga sholat duhanya agar bisa lolos ke nasional. Walaupun
dia benar benar merasa tak mungkin bisa lolos ke sana. Karena memaksakan dirinya untuk optimis
itu sangat susah.

Hari-hari terus berlalu, ternyata dihari seharusnya pengumuman itu keluar, belum juga ada
pengumuman di website resminya. “Ah, mungkin saya juga tidak lolos” remeh temehnya dalam
hati. Ia hanya terus berdoa dengan tidak melupakan pesan dari pak Holis untuk tetap menunaikan
duha dan tahajjud. Iapun bernazar jika memang ia lolos, ia akan menyedekahkan sebagian hadiah
nya bagi anak yatim. Tapi tawakkal adalah kunci ketenangan agar tidak terlalu memikirkannya.

Tak ada tanggal pasti kapan pengumuman itu keluar. Hanya saja ada pemberitahuan kalau
pengumumannya diundur. Hanya doalah yang bisa ia perkuat.Selama esainya dikirim, ia tak pernah
ketinggalan tuk mencurahkan niatnya ke nasional di sujud terakhir disetiap jenis salat.
Di malam itu, ketika membuka dilaptop ia dengan iseng memeriksa website
ditp.smp.kemdikbud, ternyata tanpa disadari, pengumuman LME dan OLSN telah keluar, tanpa
berharap apa-apa, website nya pun mulai loading, dan saat ia scroll ke bawah, ternyata di urutan 27
tertulis provinsi Sulawesi Selatan, Kab.Bone, atas nama Miftahul Haera. “ Subhanallah….Kau
tahu?jalan siapa itu?…manusiakah?…Aku kah?Aku hanya berusaha, berjuang, optimis untuk
berhasil walau toh aku tak tahu akan berhasil. Lalu jalan siapa itu? “ Ungkapnya dalam relung hati
terdalam.

Tak sadarkan diri, dia langsung bersujud ditengah pengapnya ruangan laptop saat itu. Ia
kaget dan menanyakan benarkah namanya itu, padahal secara rasional tulisannya sangat jelek.
Masih banyak tulisan lain yang lebih baik. Ia yakin bahwa inilah yang disebut campur tangan
Tuhan. Besoknya, ia segera mencari Pak Holis, namun ternyata pak kholis tidak ada karena lagi ada
kesibukan. Di sore harinya, ia segera menelpon mamanya, diseberang telepon terdengar idaman
terharu dari mamanya. Dengan menahan kesenangannya, ia menunggu pak Holis hingga esok hari.

Esok harinya, di tengah pembelajaran olahraga, ia akhirnya mengingat bahwa ia harus


segera menemui pak kholis, di tengah ruang guru itu, pak Holis sudah standby bersama laptopnya.
Ia segera berlari ke kelas untuk mengambil laptopnya dan menunjukkan website itu kepada pak
Holis. Pak Holis pun dengan terkejut dan menunjukkan raut muka kegirangan bertanya dengan
kebingungan, benar kah ini. Dengan yakin Mifta mengiyakan dan berkata bahwa ini benar pak.

Pak Holis pun segera menyuruhku bersiap, karena mulai besok ia akan karantina lagi.
Dan ia segera mengurus kelengkapan berkas, hingga harus ke Makassar untuk mengambil surat
rekomendasi. Ia sangat terharu dengan semangat dan keseriusan yang tinggi pada Pak Holis. Selang
beberapa hari kemudian, tibalah waktu keberangkatannya, ia bersama rombongan festival pelajar
SMA, berangkat menuju Makassar dan menginap di asrama Athirah Baruga. Besoknya, sekitar
pukul 4 subuh, dengan badan semua sudah siap. Pak Basri pun Kepala SMP Athirah Bone,
mengantarku menuju bandara Sultan Hasanuddin Makassar bersama pak Holis.

“Subhanallah, ini benar-benar nyata. Ini merupakan kali pertama aku naik pesawat. Ini
benar, rezeki darinya !”, ucapnya dalam hati. Walaupun ia terlihat sangat kampungan di dalam
bandara tersebut, tapi ia mampu menikmati betul detail-detail perjalanan nya. Setelah sholat subuh
dilaksanakan, pesawat Garuda pun meluncur menuju bandara Soekarno-Hatta, Jakarta. Inilah
pertama kalinya ia keluar provinsi, itupun ke Ibukota. Ia sangat bersyukur, bukan kepintaran, tapi
kata beruntung adalah kata yang tepat untuknya.

Disana, kenikmatan-kenikmatan terus mengguyur, menginap di hotel, makanan,


akomodasi, dapet pakaian gratis ia rasakan, ditambah lagi uang pembinaan prestasi dan uang harian,
liburan gratis ke Dufan, ke blok M dan tanah abang sehingga iapun mampir ke salah satu simbolis
negara Indonesia, Monas. Dan mesjid Terbesar di Asia tenggara, Masjid Istiqlal. Maka nikmat
tuhanmu manakah yang kau dustakan, QS: Ar-Rahman. Inilah kata yang terus berulang di relung
hatinya.

“Inilah yang disebut sebagai kekuatan suprarasional, tidak adanya kekuatan yang rasional, mampu
digantikan dengan keajaiban duha dan tahajjud. Dan satu lagi dari hadist nabi, tentang
memperbanyak doa di akhir sujud. Semua itu adalah ilmu yang saya dapatkan ketika berada di
asrama takhassus. Tempat ini telah mengajarkan saya arti dari sisi keagamaan, dan benar tak semua
hal di dapatkan secara logika. Karena inilah kekuatan yang haqiqi. Karena kekuatan ini bukan
kaleng-kaleng” Jawabnya ketika ditanyai mengenai sebab lolosnya ke nasional. Itulah yang dapat
dia petik dari kejadian ini.

Anda mungkin juga menyukai