Anda di halaman 1dari 2

Cinta Tak Berlabuh

Bagian 1

Kala itu, aku masih duduk di bangku SMA yang banyak dikatakan masa yang paling indah.
Bagiku bukan ‘indah’ tapi masa ‘sibuk’ mencari jati diri. Aku memilih jalan untuk masuk di organisasi,
dengan sedikit warning dari orang tua, asal bisa membagi waktu, dan prestasi akademik tidak boleh
turun. Selama SMA, kata-kata itu yang jadi pedoman di keseharianku.

Kelas satu, masa adaptasi yang membutuhkan energy ekstra, karena full kegiatan Senin
sampai Minggu. Luar biasa saat itu aku bisa melewatinya. Senang sekali banyak teman baru yang
berasal dari berbagai daerah, dengan logat bicara, kebiasaan, cara berdandan, dan banyak lagi
ragamnya. Seru! Aku bisa berkunjung ke rumah teman-teman yang sebelumnya aku tidak
membayangkan bisa sampai ke daerah wisata Pantai Selatan atau ke daerah perbukitan yang sangat
indah pemandangannya.

Rumahku sering jadi tempat persinggahan. Saat itu, kami dijadwal dua shift pagi dan siang,
karena ruang kelas yang belum memadai. Jarak rumahku ke sekolah hanya dtempuh dengan waktu 5
menit saja dengan jalan kaki, sangat dekat kan? Sehingga teman-teman yang jauh tempat tinggalnya
sering istirahat sejenak untuk sholat atau ganti pakaian. Satu tahun berlalu, teman rasa saudara
sudah menjadi ciri angkatan kami.

Bagian 2

Lanjut di kelas 2 SMA. Aku mulai merasakan ada ketertarikan terhadap lawan jenis meski
masih takut kalau dekat dengan teman laki-laki. Mungkin itu biasa. Sahabat dekatku sudah punya
pacar, tapi tidak satu sekolah, dia sering janjian sepulang sekolah dengan pacarnya. Ada lagi
beberapa teman, yang ngeceng kakak kelas yang saat itu penampilannya ‘cool abis’, jadi buruan
para siswi. Aku justru merasa kagum saja dengan seseorang yang tampilannya ‘kalem’ dan
bersahaja. Mungkin itu kriteria laki-laki idamanku,ciee. Tapi aku tidak langsung tertarik, karena ingin
tahu dulu pribadinya. Ternyata selang beberapa minggu, dua teman perempuan yang berbeda kelas
denganku, dipatahkan hatinya. Ah, kecewa, ill feel jadinya. Sejak itu, aku memutuskan untuk tidak
ingin ikut-ikutan ngeceng lagi. Takut patah hati.

Aku berusaha hangat dengan semua orang. Sampai suatu saat aku dicalonkan sebagai salah
satu kandidat Ketua OSIS, kaget luar biasa karena bukan ambisiku untuk menjadi pejabat tertinggi di
kalangan siswa. Tapi karena kepercayaan dari teman-teman aku setuju. Pengalaman tidak
menyenangkan pun terjadi. Ada sekelompok kakak kelas yang jumlahnya kurang lebih ada tujuh atau
delapan orang masuk ke kelasku saat jam istirahat dan mencariku. Aku yang saat itu sedang
mencatat pelajaran yng tertinggal karena dispensasi OSIS heran. Satu orang perempuan yang
berbicara, “Hey kamu, ngaca dulu! Berani-beraninya jadian sama mantanku!”. Aku mengernyitkan
dahi, dalam hati hanya bergumam ‘Ada apa ini?’. Satu lagi kakak kelas yang ikut-ikutan komentar “ O
ini yang lagi bahagia udah jadian sama si Abang?”. Aku tambah tidak paham dan diam, begitu pun
beberapa teman yang masih ada di kelas. Aku tidak jadian dengan siapa-siapa. Saat itu aku focus
untuk pemilihan Ketua OSIS. Tidak lama kemudian ‘para senior’ itu pergi. Aku jadi buruan teman-
teman kelasku yang kepo maksimal, pensaran sama fakta yang sebenarnya. Aku ceritakan, tidak
jadian dengan siapa-siapa. Sahabat dekatku mengingatkan “Mungkin karena kamu sering bareng
sama A Inos”. Yang aku tahu, A Inos senior di sekbid-ku itu punya pacar dan masih berhubungan
baik. Perempuan itu adalah teman satu angkatannya yang bernama Dias. Perasaan bingung, takut,
ingin marah campur aduk. Tapi life show must go on.

Masa kampanye kandidat ketua OSIS menjadi riuh, karena ada salah satu pertanyaan
‘nyeleneh’ yang bertuju padaku. “Apa yang kamu lakukan, jika ada temanmu yang merebut pacar
orang?”. Ugh, rasanya ingin lari saja dari ruangan itu. Tapi aku jawab sederhana, “ Bisa diajak
berbicara dari hati ke hati untuk menghindari konflik.” Untungnya, tidak ada pertanyaan lanjutan.
Tibalah saat pemilihan, seluruh siswa diberikan surat suara dan memilih salah satu kandidat. Setelah
penghitungan suara, aku dan calon wakilku memperoleh suara tertinggi. Aku menjadi ketua osis
perempuan kedua setelah seniorku. Bersyukur dan mencoba membenahi diri untuk bisa menjadi
pemimpin yang amanah.

Bagian 3

Sampailah di penghujung jenjang sekolah menengah. Kelas 3, kelas tertinggi banyak


tuntutan dan tanggung jawab yang harus segera diselesaikan. Saat itu pula banyak ‘godaan’ dan
ujian. Kegiatan akhir organisasi yaitu laporan pertanggungjawaban harus segera rampung. Di
samping itu, persiapan ujian nasional pun harus difokuskan. Pikiran dan tenaga dikuras habis,
ditambah lagi ada beberapa kakak kelas yang coba mendekati. Karena di awal aku sudah komitmen,
tidak akan punya pacar di satu sekolah karena takut ada konflik terjadi, pikirku saat itu. Beberapa
kakak kelas aku tolak secara halus.

Kegiatanku di luar sekolah, masih aktif mengaji di madrasah di kelas muda-mudi. Justru
ketertarikanku jatuh pada seseorang, yang usianya dua tahun lebih tua dariku, tapi masih dalam satu
kelas. Orangnya humble, bisa membuat orang lain merasa nyaman, senang bercanda. Dia adalah
sepupu sahabat kecilku, yang sampai saat itu masih menjadi sahabat, partner ngaji, mungkin akan
menjadi calon saudara (harapanku). Aku sering memperhatikan dari jauh. Tidak berani mendekat,
bahkan ketika berkumpul sama seluruh anggota pengajian pun aku tidak berani menatapnya. Tidak
paham sama perasaan sendiri. Aku hanya beri perhatian alakadarnya, ketika dia ulang tahun aku
berikan hadiah walau hanya sebatang cokelat saja. Hadiah pun aku titipkan saja ke sepupunya.
Ketika dia sakit pun aku hanya, berkirim surat saja, malu rasanya.

Sahabatku yang sekaligus saudara kecenganku itu, semangat untuk jadi mak comblang. Dia
getol promosi tentangku, tapi saat itu aku tidak berharap banyak, karena banyak yang saingannya,
ups. Dia mengisyaratkan rasa yang sama terhadapku namun untuk berkomitmen untuk ‘pacaran’
tidak dulu. Jawabannya tidak sesuai harapanku. Dia memilih untuk tidak berkomitmen dulu, karena
ingin mengejar cita-citanya untuk membahagiakan orang tua. Dia yang lulusan SMK membuat
planning untuk bisa bekerja di luar negeri, agar mendapatkan pekerjaan dan penghasilan yang
mumpuni. Aku menerima dengan kelapangan hati. Tujuan yang mulia mesti mendapat support
terbaik dari orang-orang yang menyayanginya. Perjuangan dan do’anya membuahkan hasil. Dia
diterima bekerja di salah satu perusaan asing dengan perjanjian penilaian kerja satu tahun unggul
akan diberangkatkan ke Korea Selatan sebagai karyawan teknisi utama disana.

*** The End***

Siti Marlina Sukmawati- Minggu,8 Agustus 2021

Anda mungkin juga menyukai