Anda di halaman 1dari 2

Nama : Keisha Azzahra Tetadrian

Kelas : XI. 10
Asal Sekolah : SMA Plus Negeri 17 Palembang

Serpihan Rasian

Tepatnya di sisi lain Kampus Hijau, sebutan rumah kedua bagi Isha yang tampak tengah
merutuki sepatu sekolah yang ia kenakan. Bagaimana tidak, kejutan dari sang ayah itu hanya
mampu bertahan secepat kedipan mata karena ukurannya terlalu kecil untuk menahan kakinya
sendiri –yang memang sebenarnya kecil itu. Mungkin sang ayah masih menganggap Isha tidak
akan pernah bertumbuh tinggi.
Isha melangkah sembari menatapi kaki yang berusaha ia kejar sendiri, lengkap dengan
tas bekal biru pemberian ibunda yang ia jaga ketat dengan kedua tangannya. Dari bawah turunan
gerbang sekolah, kau bisa melihat ia yang sedang bersusah payah menuruni jalanan kasar demi
tak membuat alas kaki tadi bertambah hancur jadinya. Isha selalu mengambil dua per tiga bahu
jalan dan tak pernah lupa menyapa kakek tua yang setiap hari berpapasan dengannya ketika
menuju sekolah.
Tak pernah luput rutinitas paginya tatkala memasuki gerbang warna perak itu,
menyalami guru satu persatu dan memasang wajah bahagia seperti hari-hari sebelumnya, tapi
yang paling ia benci adalah ketika harus memijakkan kaki di dalam kelasnya pada jam-jam pagi,
karena pasti tak ada yang nampak bersedia menjadi teman duduknya lagi dan lagi. Pasalnya,
tempat yang biasa ia duduki direbut oleh sang ketua kelas yang ukuran tubuhnya berkali-kali
lipat dari badan Isha, dalam kondisi itu Isha hanya bisa melengos pasrah dan meminta izin pada
teman lain agar bersedia untuk duduk bersama.
Biasanya Isha selalu melepas kegundahan paginya dengan menatap pepohonan dari luar
jendela lantai dua, tempat kelasnya berada. Sambil menerawang jauh, ia melupakan sejenak
mimpi-mimpinya dan sekelebat kegundahan di masa depan. Tiba-tiba saja kenangan malam tadi
datang kembali. Semalam ayah dan ibunda datang dari kampung menghampiri rumah kos
tempat perantauan Isha, saat itu Isha baru saja pulang dari bimbingan belajar pukul sembilan
malam. Perjalanan lebih kurang lima jam lamanya ditempuh ayah ibu untuk sekedar melepas
rindu beberapa waktu, setelahnya orang tua Isha pulang lagi ingat tuntutan pekerjaan yang tak
dapat dihindari.
Isha benci mengingat itu, pasalnya aktivitas sekolah hingga sore hari yang langsung
dilanjut kursus sampai malam hari selalu mendongkrak sendi-sendi. Semuanya dirasa begitu
melelahkan, pertemuan semalam yang harusnya mengharukan malah membawa kenangan buruk
pada ingatan. Lagi-lagi Isha tak mampu menghindari caranya yang ketus dalam berbicara, tapi
seperti itulah memang ia jika sudah bertemu dengan letih.
Isha tidak pernah membenci orang tuanya, mungkin? Lagipula orang tua dalah alasan
utama bagi Isha untuk menjemput mimpi. Tetapi mereka juga lah alasan Isha kehilangan mimpi-
mimpinya. Jauh sekali dalam benak Isha tidak ada yang ia inginkan selain membahagiakan
kedua orang tuanya. Namun, lambat laun ia malah semakin menyiksa dirinya sendiri,
menciptakan benci yang tiba-tiba merasuki diri.
Isha sangat menyukai seni, begitulah ia dikenal sedari kecil. Tapi akhir-akhir ini ibunda
dengan profesi dokternya nampak terus-terusan menekan Isha untuk mempertahankan nilai dan
prestasi. Mungkin sang bunda gengsi melihat anak teman-teman dokter lainnya berjajar rapi
pada kalangan tersohor atas nama perguruan tinggi negeri. Beliau memang tak pernah secara
langsung memaksa Isha menjadi dokter, tapi dari sudut manapun Isha amat tahu apa yang
ibunda impikan.
Tak ada jalan lain daripada itu. Pada kenyataannya Isha tak dapat menolak bahwasanya
ia lebih piawai pada ilmu-ilmu akademik daripada membaca prosa-prosa kesukaannya. Kemarin
saja Isha kalah lagi dalam lomba debat Bahasa Indonesia disusul lagi dengan lomba baca puisi
yang tak membawa apa-apa. Hanya untuk sekedar menoreh lukisan kesukaannya pun ia tak
segan, teman-teman makin mahir dan ia merasa tertinggal lebih jauh lagi. Semuanya datang
memukul jatuh, tanpa mengantre satu persatu. Semuanya berlakon seolah Tuhan mengisyaratkan
Isha memang seharusnya berpindah haluan.
Sekali lagi, tak ada lain di dunia ini yang paling ia inginkan selain mengukir senyuman
di wajah orang tuanya, dan lagi semakin dewasa semakin Isha menyadari bahwa sebenarnya
yang dibutuhkan orang tua adalah perkataan yang lembut dari bibir anaknya, dapat meluangkan
waktu dan menjawab telponnya. Kini Isha semakin paham bahwasanya orang tua akan bahagia,
jika ia juga bahagia.
Namun terlanjur sudah Isha tak tau cara lain membahagiakan kedua tersayangnya selain
lewat prestasi. Padahal semakin kesini, Isha tenggelam dalam apa-apa yang ia kira dapat
membuat ayah bunda bangga. Pada ujung cerita, Isha tidak punya banyak waktu untuk mereka,
hanya lelah pula yang tersisa bagi Isha hanya untuk sekedar memberi kabar. Dan lagi yang
paling celaka, hal-hal menyibukkan itu juga tak membuat Isha bahagia.
Dalam lamunan panjangnya, desiran angin bertiup menjemput daun-daun enyah dari
puannya. Di ujung pintu masuk bayang-bayang sang wali kelas nampak mendekat bersiap
bertengger di hadapan semua makhluk di dalam kelas. Suasana pasar tak karuan pun lenyap
seketika jadi pemakaman. Seketika itu sang ketua kelas memimpin doa, seketika itu tak ada
yang lain dalam hati Isha selain mendoakan kata ikhlas.
Pilihannya tak akan ragu kali ini, orang tua adalah yang utama untuk bahagia. Kalau Isha
jalani dengan sepenuh hati, perjalanan menjemput mimpi tak begitu berat untuk dijalani.
Semuanya hanya butuh proses, dan Isha ingin menghargai hidupnya lebih dari sekedar mencipta
prestasi tanpa ada rasa yang berarti.
Hingga akhirnya senja menyapa bersama bel pulang sekolah. Dari balik tas kainnya ada
suara kecil yang biasanya sangat ia benci untuk diindahi, tapi kini ia sangat antusias
menyambutnya dan menguatkan batinnya jika semua akan baik-baik saja. Seutas maaf dan kasih
yang begitu berat ia ucapkan selama ini akhirnya terucap juga pada sesorang di sisi lain garis
bujur peta. Layar gawai itu dengan bangga menunjukkan saluran telepon video, bertuliskan
saluran dari ayah dan ibunda. Penutup hari ini, dengan bulat Isha memproklamirkan pada dunia,
bahwa akhirnya Isha memilih untuk bahagia.

Anda mungkin juga menyukai