Cerpen ini penulis angkat dari kisah nyata yang pernah penulis lihat sendiri di pondok
tempat penulis tinggal, di mana penulis saat sangat sedih dan terharu melihat keadaan sang anak
yang merasa tertekan dan terganggu pertumbuhan serta psikologisnya karena tekanan dari
Ayahnya, mari simak kisah mereka pada cerpen berikut.
Namanya Hana anak bungsu dari delapan bersaudara, meskipun kata orang anak bungsu itu
identik dengan kasih sayang yang belimpah, namun sangat berbeda dengan Hana yang tertekan,
dibanding-bandingkan dengan kakak-kakaknya, dan bahkan tidak diberikan waktu untuk
bermain. Hana memiliki ayah yang sangat otoriter meskipun ayahnya dipandang alim oleh
masyarakat sekitar, tapi tutur katanya sangat kasar dan bahkan kadang terdengar lebih menghina
atau merendahkan. Memang kedelapan saudara itu sedari kecil sudah dipaksa menghapal al-
qur’an oleh ayahnya itu, tapi cara yang digunakan ayahnya itu lebih terkesan memaksa yang
berlebihan sehingga bahkan jika salah atau lupa ayat yang dihapal maka dipaksa untuk loncat-
loncat sebanyak 50 kali, dan bukan itusaja bahkan jika salah tempat duduk atau bangku
melayang ke kepala Hana dan pekikan kesakitan remaja itu terdengar mengiba meminta belas
kasihan, bukan hanya itu tendangan kaki ayahnya itu pada tubuhnya berkali-kali, kejam!!! Dan
ternyata semua anaknya diperlakukan nya begitu, hingga anak-anaknya tak merasajan kasih
sayang dari ayah mereka.
“Hai Hana…bagaimana kabarmu hari ini? (sapa ramah dan membahagiakan dari mahasiswi itu).
“Tidak bahagia kak, aku sedih banget di sekolah tadi aku dibully sama teman aku mereka
menjelek-jelekkan aku, bahkan menghinaku. Ayahku juga begitu tak pernah mengijinkan aku
bermain dan ayah juga selalu memarahiku, kak aku kadang berpikir tak ada seorang pun yang
menyayangiku di dunia ini (berbinar matanya mengiba pada mahasiswi itu).
“Dik, jangan ngomong begitu dik. Kakak sangat menyayangimu ( Memeluk Hana dengan
kelembutan dan kasih sayangnya)
Meskipun memiliki 7 saudara, Hana tidak pernah dekat dengan kakak-kakaknya itu,
entah mengapa juga mereka bersaudara terlihat sangat tidak akur dan sama sekali tidak terlihat
senang dengan ayah mereka yang otoriter itu, Begitulah kehidupan Hana, dia selalu berdoa agar
ayahnya bisa berubah dan menyanginya layaknya anak-anak yang lain yang diberikan
kesempatan bermain dan memiliki teman.