Anda di halaman 1dari 5

TUGAS SINOPSIS NOVEL

Judul Novel  : Cahaya Cinta Pesantren


Penulis         : Ira Madan
Penerbit     : Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, Solo
Tahun Terbit : 2016
Cetakan       : Ke 3
Tebal            : 292 halaman
Ukuran         : 20 cm

Cahaya cinta pesantren adalah suatu karya Ira Madan (putri daerah Sumatera Utara yang
sangat menarik), selain menyuguhkan wisata ibukota di awal cerita, juga memaparkan suatu
alur cerita yang menggelitik perut, menyentuh hati dan menambah wawasan yang islami
dalam kehidupan sosok tokoh utama ketika memulai kehidupannya menjadi santriwati
sampai ketika mengarungi hidup baru setelah lulus menjadi alumni pondok pesantren.

Semua anak bangsa yang berasal dari Sumatera Utara adalah anak bangsa yang luar biasa.
Sastrawan yang juga guru matematika alumni pondok pesantren ini adalah salah satu
contohnya.

Cahaya cinta pesantren adalah suatu ungkapan seorang santriwati yang tetap menjaga
integrasi dan komitmennya untuk tetap menjadi santriwati yang mempunyai visi dan misi.
Sebab, visi santri/wati adalah Tafaqquh fi ad-Din dan misinya adalah Indzarul Qaum.

Tulisan dalam novel ini mengajak para santri/wati dan para alumninya untuk berani bermimpi
mengaktualisasi diri. Tidak saja sebatas survive menunjukkan bahwa santri/wati juga bisa,
melainkan lebih kepada bagaimana ia menjadi pemimpin dan berkontribusi.

MarShila Silalahi terlahir sebagai anak yang mempunyai kecerdasan, bahkan hingga
mendekati kata genius. Shila selalu menjadi juara di kelasnya. Selain itu dia juga khatam Al-
Qur’an. Namun ia memiliki sedikit kenakalan yang menurutnya hanya berbeda sangat tipis
dengan kreativitas. Justru kisah kenakalan-kenakalan ala santriwati inilah yang membuat
kisah dalam novel ini sangat menarik dan lucu hingga membuat kita terpingkal-pingkal.

Sistem pendidikan Kuliyyatul Muallimin Islamiyah di pondok pesantren yang ia tempati


banyak mengajarkan, diantaranya pendidikan kepesantrenan yang dianut dari sistem
pendidikan Darussalam Gontor.

Meski hidup dipesantren tidak mudah, kegigihan dan kecerdasannya mengantarkan Shila ke
Negeri sakura (Jepang). Bahkan kesempatan itu ia dapat dua kali. Kisah haru tentang sosok
ayah juga dipaparkan di sini dan tak lupa juga diselipkan kisah cinta yang manis.

Cerita ini dimulai dari pertemuan MarShila Silalahi dengan si Abo (teman kecilnya dimasa
duduk dibangku Sekolah Dasar). Abo kecil selalu memberanikan diri untuk dapat sebangku
denganya. Abo adalah sahabat terbaiknya saat itu. Sahabat yang manis, baik hati, tidak pelit,
dan lebih cengeng dari pada perempuan.

Shila mulai menceritakan dengan mengambil buku agenda yang tertulis “Angkatan 14
Alumni Pondok Pesantren Al-Amanah” yang bertuliskan emas begitu gagah menempel di
agenda itu. Didalmnya terdapat nasihat dari Buya, Majelis Guru dan pengasuh pondok
pesantren di awal halaman membuatnya terharu. Didalamnya juga terdapat foto-foto
bangunan pesantren, terutama masjidnya yang tegak gagah menjulang membuat kalbunya
merindu. Disaat wajah para sahabatnya dibuka, ada banyak cerita yang teringat dikepalanya.
Selembar demi selembar dibacakan profil mereka satu per satu.

Shila berpikir tentang alasan didirikan sebuah pesantren. Apakah memang pesantren ada
hanya untuk anak-anak (nakal) sepertinya. Walau sebenarnya, Shila sama sekali tidak merasa
menjadi anak yang nakal.

Pertama kali saat Shila memasuki kamar yang akan ditempatinya untuk karantina calon
pelajar  baru, ia bertemu dengan Icut (berasal dari aceh) yang akan menjadi teman satu
kamarnya dan selang satu hari mereka memiliki teman kamar barunya yang bernama Aisyah.
Setelah salat maghrib berjama’aah mereka menemukan seseorang yang sedang menangis
tersedu-sedu sendirian, dan mereka berkenalan dengan orang itu, ia bernama Sherli Amanda,
pada akhirnya mereka berteman dan menjadi empat orang dikamarnya.

Disaat itu Shila menatap sosok misterius berparas tampan yang memakai seragam putih,
papan namanya berwarna hijau, sepatunya hitam, jam tangannya coklat dan senyumannya
lebih indah dari pada senyuman rembulan dan jelas ia adalah seorang santri. Hatinya Shila
sangat senang melihat wajahnya yang parasnya seperti itu saat tersenyum. Hanya sebatas
senang dan sedikit penasaran siapa sebenarnya dia.

Shila, Icut dan Aisyah duduk dikelas 1(1) sedangkan hanya Manda sendiri yang tidak sekelas
dengan mereka, Manda duduk dikelas 1(4). Sampai-sampai Manda mengeluh kepada mereka
bertiga yang mudah untuk mengerjakan tugas kelasnya. Karena kelas di pondok itu
dikelompokkan sesuai urut prestasi dan untuk kelas satu terdapa 5 kelas.

Kejadian demi kejadian sudah mulai beradabtasi hingga pernyataan icut saat berbisik pada
Shila dikala subuh itu ternyata benar. Jika ukhti bagian pengajarnya berwahjah cantik maka
bunyi protes kesumat korban pukulan sajadah mahaguna sakti itu akan seperti ini.
“Cantik...sih...cantik, tapi galak!”.

Banyak kejadian memadati buku harian Shila, mulai dari hiruk pikuk segala macam kegiatan,
rekor masuk bagian keamanan dan bahasa, pergaulan antarsahabat dengan variasai sifat
hingga perlombaan-perlombaan penyegar kreativitas. Seperti lomba drama, puisi, shalawat,
nasyid, marhaban, tari, dan desain kostum.

Hari kamis yang membuatnya sedikit berkeluh kesah, Shila berniat untuk mencari angin di
luar pesantren. Mereka izin untuk keluar dan dizinkanlah, lalu mereka pergi ke maal terbesar
dikota itu. Sedikit berbelanja dan makan, dan akhirnya mereka terlambat 30 menit dari waktu
yang sudah ditentukan. Akhirnya Shila menjelaskan suatu alasan yang amat pandai maupun
licik kepada sang ukhti  bagian keamanan itu, dan akhirnya mereka terbebas dari hukuman
walaupun telat.

Diantara sahabatnya Shila yang bernama Icut, ia mempunyai suatu cita-cita dimasa
mendatang. Icut ingin mengabdi dipesantren ini dan ia ingin menjadi seorang ustadzah agar
tetap tinggal dipesantren ini. Karena papa dan mamanya sudah lama bercerai.

Aisyah mempunyai keinginan untuk mendapatkan beasiswa dari Sudan. Setaunya syarat
mendapatkan beasiswa ke Sudan antara lain harus hafal lima juz dari kitab suci Al-Qur’an,
lalu lulus tes tulis seputar pelajaran nahwu, sharaf, dan musthalahul hadits. Aisyah ingin
mewujudkan impian abahnya. Dulu abahnya ingin mendapatkan beasiswa ke Sudan, tetapi
tidak lulus karena mungkin abahnya berasal dari sekolah kampung dan bukan pesantren.

Manda mempunyai suatu rencana masa depan yaitu hanya ingin menjadi alumnus pondok
pesntren ini dengan stambuk yang sama dengan mereka. Karena Manda takut akan tinggal
kelas lagi. Karena Manda pada saat duduk dibangku kelas tiga SD ia tidak bisa membaca.

Dan untuk Shila, ia mempunyai suatu harapan, impian, dan obsesinya sekarang adalah ingin
menjadi sosok istri shalihah bagi suaminya. Aisyah berkata “Allah Mahabesar dan Maha
Mendengar apa pun yang kita inginkan sekarang, kita harus mencapainya dengan do’a,
ikhtiar, dan usaha, insya Allah kita bisa!”

Mereka ingin mencapai masa mendatang itu dan berspekulasi dengan nasib mereka masing-
masing. Di bawah kubah masjid yang gagah ini, mereka saling menuangkan apa yang ada di
pikiran mereka tentang masa depan dan berusaha melukis masa depan dengan  tinta doa
harapan, usaha optimal, dan semangat kebersamaan dan kepercayaan.

Mereka mempunyai cara belajar tersendiri, diantaranya Manda kemana-mana selalu


membawa buku ditangannya sampai hendak mandipun dibawanya. Berjalan kemana-mana
dengan buku terbuka, hendak tidur sampai bangun pun, buku tak pernah absen di sisinya.
Bahkan, terkadang ia menjadikan bukunya itu sebagai bantal di malam hari.

Cara belajar Icut, jika ia ingin belajar dengan khidmat maka harus sendiri dipojokan ruangan
menatap dinding bisu, kalau sudah begitu jangankan mereka, lalat lewat saja dihajarnya
habis-habisan.

Lain dengan halnya Aisyah, ia lebih suka merangkum inti sari semua pelajaran dan dicatat
dalam buku kecil. Catatan dibawanya kemana-mana sambil sesekali dibaca. Mereka sering
meminjam catatannya untuk difotocopy.

Kalau Shila paling tidak bisa belajar serius. Apalagi kalau terlalu sering. Tapi syukurnya
Shila dapat langsung mengerti dan paham jika guru menerangkan di kelas walau Shila juga
tercatat sering tidur.
Setelah mereka shalat tahajud bersama tujuh rekannya, Shila dan rekan-rekan memetik
mangga pada pukul 02.00, kelakuan mereka itu hampir ketahuan oleh petugas pengasuhan
dan kepala Shila mulai pusing karena ia yang memetik mangga itu keatas pohonnya.

Pesan ustadzah Handayani, “Jangan terlalu keras dan memaksakan diri untuk berlari dari
tangga itu karena kamu bisa lelah dan tak sanggup berlari lagi. Jangan pula terlalu tergesah-
gesah hingga kurang berhati-hati karena jika sudah tersandung dan jatuh maka kamu akan
mengulang dari tangga awal lagi. Hanya mengikuti jalan tangga tersebut sesuai urutan
rutenya, diiringi kesungguhan, keimanan dan takwa kepada Sang Pencipta. Insya Allah kamu
akan berhasil sampai tujuan.”

Seluruh ustadzah yang mengabdi di pesantren ini dulunya adalah alumnus dalam kategori
terbaik di periodenya masing-masing. Hanya yang mendapat nilai teristimewa yang dapat
mengajukan dirinya untuk mengabdi di pesantren.
Setiap ustadz atau ustadzah yang dapat kesempatan mengabdikan dirinya di pesantren yang
sangat kami cintai ini tidak diperbolehkan kuliah di tahun pertama masa pengabdian demi
memusatkan amanah menjalankan tugas sebagai pendidik dan penggerak kemajuan pondok
pesantren.

Datang dimana hari adalah hari perpisahan kelas 6, Shila sedih namun tidak bisa menangis,
tidak seperti teman-temannya yang mungkin sangat terpukul atas perpisahan ini. Didalam
hatinya Shila terdapat kebahagian yang dimana disimpannya sendiri. Shila sangat gembira
setelah tahu jika Akhi Rifqie Al-Farisi akan menjadi salah seorang ustadz di Pesantren Al-
Amanah ini.

Pesantren Al-Amanah ini berdiri atas sistem badan wakaf sehingga masa depan dan
kelanggengannya insya Allah akan terjamin dengan syarat pengelolaannya benar-benar
memahami hakikat badan wakaf.

Pesantren Al-Amanah Medan yang didirikan sejak tahun 1979 dengan sistem badan wakaf
telah berkonsentrasi pada pendidikan menengah, yang tidak menutup kemungkinan akan
dikembangkan pada semua usia pendidikan, dari pendidikan anak usia dini (PAUD) hingga
perguruan tinggi.

Sejak berkiprah di bawah bimbingan majelis pengasuh, Pesantren Al-Amanah telah banyak
input dalam sistem pendidikan yang dibutuhkan masyarakat, khusunya Kota Medan dan
Sumatera Utara pada umunya.

Banyak alumni Pesantren Al-Amanah yang menjadi dokter, hakim, dosen, polisi, pengusaha,
entertainer, dan lain-lain. Bahkan, alumni juga maju menjadi pemimpin-pemimpin yang
disegani masyarakat.

Suatu ketika adanya rumor tentang hubungan Shila dengan Abu, tetapi Shila sebenarnya
hanya ingin menjalin persahabatan dengannya tanpa harus ada embel-embel yang lain.
Menurut Shila, Abu Bakar adalah sosok santri yang sangat tampan. Meski prestasi belajarnya
amat memperhatikan, ia tetaplah sahabat seperjuangnya. Shila bisa saja berpura-pura tidak
pernah membaca tumpukan surat cintanya kepada Shila asalkan ia dapat bersikap biasa-biasa
saja.

Disaat ada pemeriksaan ruangan kamar, gelang hitam Shila terkena razia oleh petugas kamar,
dipanggilah Shila untuk menuju ruangan petugas untuk memberikan suatu surat perjanjian
diatas kertas putih. Tiba-tiba didalam ruangan Shila melihat foto Ustadz Rifqie Al-Farisi
dengan seorang gadis yang wajahnya tak asing baginya.

Shila merasa cemburu melihat foto itu, padahal mereka adalah saudara sepupu, Shila
berusaha sekuat tenaga untuk percaya diri dan tidak terlalu terpuruk dalam keadaan cemburu
itu, tapi tidak begitu dengan kenyataan yang sama sekali tidak mendukungnya.

Belum pulih rasa sakit itu, kini untuk pertama kali Shila mendapati Avira sedang
bercengkerama dengan Ustadz Rifqie. Ternyata Avira diberikan suatu bros dari Ustadz
Rifqie.

Sudah larut malam Shila pun tak bisa tertidur, tubuhnya merasa tidak nyaman, hatinya masih
berdesir gelisah. Tiba-tiba Shila berjalan mengendap-endap di tengah sunyinya malam. Pukul
02.00 dan Shila mencabut bros cantik berwarna pink di jilbab Avira yang digantung di paku
pintu depan. Lalu bros itu dihancurkan dengan sebuah batu besar dan dikubur di dalam
lubang kecil yang dibuatnya sendiri.
Semangat belajarnya menurun karena melihat Avira begitu murung dan sedih, karena Avira
merasa kehilangan bros itu. Shila merasa bersalah dan berjanji akan menggnatikannya yang
baru.

Kecerian menghampiri Shila karena ia dapat membelikan bros yang tak kalah cantik dari bros
yang sebelumnya. Shila berjalan cepat mendatanagi Avira namun disitu ada Ustadz Rifqie
dan teman-temannya. Ketika bros itu diberikan kepada Avira, ternyata Ustadz Rifqie sudah
membelikannya yang baru untuk Avira.

Ustadz Rifqie menjelaskan bahwa, Avira ini sudah dianggap seperti adik kandungnya sendiri.
Karena wajahnya Avira sangat mirip dengan almarhum adik kandungnya dan Avira mudah
sekali sakit.

Setelah shalat maghrib selesai, tiba-tiba Shila dipanggil ke bagian keamanan pesantren.
Ternyata Shila terkena fitnah, masuk ke kamar 12 dan mengambil uang Sukma, padahal Shila
tidak  mengambilnya. Shila bisa tertuduh fitnah karena fakta sebenarnya, Shila dipergoki oleh
petugas kamar yang pada saat itu Shila sedang ada diluar halaman dan Shila sedang
mengubur brosnya Avira.

Ternyata uang itu ada ditong sampah yang dibungkusi oleh plastik, ini adalah keteledoran
dari Sukma sendiri. Shila tetap merasa bersalah karena sudah mengendap-enap ditengah
malam dan pada akhirnya jadi tertuduh. Sungguh perbuatan yang amat rentan dengan fitnah
dan Shila berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak akan bertindak lagi seperti orang gila.

Anda mungkin juga menyukai