Anda di halaman 1dari 3

KETELADANAN RASULULLAH, SAW

Pendahuluan    
Bulan Rabi’ul Awal pada setiap tahun diperingati oleh umat Islam sebagai hari kelahiran Nabi
Muhammad SAW. Dalam menyambut merayakannya berbagai macam kegiatan dilaksanakan,
ada yang sifatnya material seperti kenduri di masjid, mushalla, atau surau. Masing-masing
jamaah membawa nampan-nampan berisi makanan mulai nasi dengan segala macam lauk-pauk,
buah-buahan, dan kue-kue. Banyak pula yang memperingatinya dengan kegiatan non material
misalnya hanya dengan mengadakan pengajian yang diisi oleh penceramah yang mengurai
tentang sejarah hidup beliau sampai dengan hikmah memperingatinya.
    Hikmah utama dari memperingati maulid Nabi Muhammad SAW. adalah menguraikan fungsi
beliau yang menjadi tauladan bagi umat Islam atau bahkan bagi umat manusia seluruhnya, sebab
beliau diturunkan tidak hanya membawa rahmat bagi alam dan isinya, tetapi pribadi beliau
sendiri adalah rahmat bagi alam semesta (QS. Al-Anbiya’: 107)
    Dalam memaknai “tauladan yang baik” bagi umat Islam, ada yang membawanya dalam makna
totalitas dari pribadi, perilaku, sampai tata cara berpakaian beliau adalah teladan. Sehingga
fenomena yang muncul ialah ada orang yang meneladani beliau mulai dari cara berpakaian,
potongan rambut yang panjang, jenggot yang panjang, dan sebagainya. Bahkan klaim yang
muncul dari sebagian mereka yang meneladani beliau secara totalitas, bahwa berpakaian selain
cara beliau berpakaian adalah meniru orang kafir. Namun di sisi lain, ada yang memilah pribadi
Rasulullah Muhammad SAW. dalam dua dimensi, yakni sebagai rasul yang membawa risalah
kenabian dan kerasulan maka beliau harus diteladani sepenuhnya, tetapi sebagai manusia biasa
yang memiliki selera k ada dalam cara berpakaian, makanan kesukaan, dan sebagainya tidak
keharusan untuk meneladaninya.
    Perbedaan pendapat seperti di atas membuat masyarakat awam kebingungan dalam memaknai
“meneladani” Rasulullah SAW. Maka makalah yang dipaparkan ini mencoba untuk menganalisis
makna “meneladani” ini dalam sebuah pembahaan yang kritis dan komprehensif.
Mengenal Rasulullah, Saw
    Para ahli sejarah hampir semua menyepakati bahwa Muhammad ibn Abdullah (Rasulullah
SAW.) dilahirkan dari rahim seorang wanita bernama Siti Aminah pada hari Senin tanggal 12
Rabi’ul Awwal bertepatan dengan tanggal     tahun 570 M. Diceritakan bahwa ketika beliau
dilahirkan terjadi peristiwa dahsyat yakni terguncangnya istana Kaisar Parsi sehingga
meruntuhkan 14 terasnya. Selain itu, api pemujaan mereka padam padahal selama 1000 tahun
belum pernah hal itu terjadi.
    Menurut penuturan Siti Aminah, bahwa ketika itu dari dalam rahimnya memancar sinar yang
begitu terang dan menyinari istana-istana Syam, yakni wilayah kekuasaan Romawi Timur.
Peristiwa demi peristiwa dahsyat tersebut menjadi pertanda lahirnya seorang yang hebat yang
akan merubah wajah dunia yang ketika itu sedang dalam masa kegelapan dan kekacauan
sehingga zaman itu disebut dengan periode jahiliyah (kebodohan) karena kebodohan mereka
yang tidak mampu membedakan yang benar dan salah.
Sebagai seorang manusia biasa sebagaimana dinyatakan dalam QS. Fushshilat: 6 sesungguhnya
Rasulullah SAW. bisa dilukiskan oleh para pelukis terkenal, karena informasi tentang fisik,
penampilan, dan perawakan beliau sangat lengkap untuk dilukiskan dalam kanvas berdasar
imajinasi pelukisnya. Bahkan sosok beliau pun bisa dilakonkan dalam bioskop layar lebar
maupun sinetron serial sebagaimana tokoh-tokoh lainnya, seperti di Indonesia ada Kiai H.
Ahmad Dahlan dan Kiai H. Hasyim Asy’ari yang filmnya sudah beredar luas.
Namun hal itu tidak terjadi, karena rasa hormat kepada sosok beliau dan adanya kekhawatiran
munculnya dampak negatif berupa kultus individu yang berlebihan sehingga menjerumuskan
umat Islam ke jurang perbuatan syirik. Selain itu, dalam QS. Fushshilat: 6 itu dijelaskan pula
perbedaan beliau dari manusia biasa pada umumnya adalah karena beliau menerima wahyu
bahwa Tuhan yang patut disembah hanyalah Tuhan Yang Maha Esa.
Demikian pula dinyatakan dalam QS. Al-Qalam: 4 bahwa beliau adalah manusia agung, luhur,
dan berbudi pekerti mulia yang selama hidup tidak pernah menyakiti hati orang lain. Diceritakan
bahwa sahabat Anas ibn Malik, pembantunya pernah berkata, “Bahwa selama 10 (sepuluh) tahun
aku bekerja pada beliau, tapi tidak pernh sekalipun Beliau berkata “cis/hus” (dalam arti
menghardik) kepada saya.” Karena kesempurnaan kepribadian dan perangai beliau yang seperti
itulah, maka beliau mendapat predikat sebagai “al-insan al-kamil” (manusia sempurna).
Konsekuensi positif dari kesempurnaan beliau maka Allah menjadikan beliau sebagai “uswah”
(teladan) yang baik tidak saja bagi umat Islam tapi bagi umat manusia seantero jagad (QS. Al-
Ahzab: 21).
Sesungguhnya keteladan beliau memang sudah diskenario Allah sejak semula dalam rangka
menjadi “uswah hasanah”. Sementara kita bisa melihat bukti tentang rencana Allah   tersebut
dalam prjalanan hidup beliau sejak lahir yang bisa dibaca dalam kitab-kitab sejarah maupun
“sirah nabawiyyah” (perjalanan hidup kenabian).
Para pakar pendidikan memiliki teori bahwa kepribadian sesorang bisa dipengaruhi oleh 3 (tiga)
hal, yaitu: 1) pendidikan orang tua, 2) pendidikan di sekolah, dan 3) lingkungan pergaulan. Teori
ini digugurkan oleh fakta sejarah bahwa Rasulullah SAW. tidak pernah dipengaruhi oleh ketiga
faktor tersebut, karena dalam sebuah hadis beliau bersabda, (‫“ )أدبني ربي فأحسن تأديبي‬Tuhanku
mendidikku, maka sungguh baik hasil pendidikanNya.” Jadi pendidikan beliau diterima langsung
dari yang maha mendidik yakni Allah SWT.

Rasulullah, Saw Sebagai Teladan 


Pendidikan yang diberikan Allah SWT. kepada Rasulullah SAW. menjadikan beliau sebagai
manusia yang paling layak untuk menjadi “teladan yang baik” bagi umat Islam yang
menginginkan kehidupan yang bahagia di dunia dan akhirat. Pertanyaannya kemudian  adalah
“Apakah Rasulullah Muhammad SAW. harus diteladani dalam semua kehidupan beliau, ataukah
ada hal-hal yang harus diteladani dan lainnya boleh diteladani dan boleh tidak?”
Untuk menjawab pertanyaan ini, ada pendapat beberapa ulama yang bisa menjelaskan
permasalahan tersebut. Al-Zamahsyari menafsirkan “uswah hasanah” dalam ayat di atas dengan
2 (dua) makna: (1) kepribadian beliau secara totalitas adalah teladan, dan (2) dalam kepribadian
beliau ada hal-hal yang patut diteladani, yang menurut mafhum mukhalafahnya “juga ada yang
tidak harus diteladani”. Sedang al-Qurthubi berpendapat bahwa “dalam hal-hal yang merupakan
urusan agama, maka harus diteladani dan wajib dilaksanakan, tetapi dalam urusan duniawi, hal
itu hanya merupakan anjuran yang boleh atau tidak diteladani. Sebab dalam urusan duniawi,
beliau menyerahkan sepenuhnya kepada para ahli atau pakar di bidangnya masing-masing,
sebagaimana dinyatakan dalam sabda beliau, “Apa yang kusampaikan menyangkut ajaran
agama, maka terimalah; sedangkan kamu lebih tahu persoalan duniamu.”
Pendapat yang lebih komprehensif disampaikan oleh Imam al-Qarafi yang memilah-milah
ucapan atau perbuatan beliau dalam peran beliau sebagai: (1) rasul, maka segala ucapan maupun
perbuatan beliau pasti benar karena beliau adalah hamba yang terjaga dari kesalahan (ma’shum)
yang oleh karenanya wajib diteladani, (2) mufti (pemberi fatwa), semua fatwa yang beliau
sampaikan berdasarkan pada pemahaman beliau terhadap teks keagamaan yang beliau diberi
wewenang untuk menjelaskannya. Karena itu, fatwa yang beliau berikan pasti benar dan wajib
diteladani/dilaksanakan sebagaimana pada peran pertama, (3) hakim, keputusan beliau secara
formal pasti benar, tetapi secara material ada kalanya keliru, sebab orang yang berperkara bisa
saja menyembunyikan fakta yang sebenarnya dan dengan kemampuannya bisa mengajukan
bukti-bukti palsu. Berkaitan dengan hal ini, beliau bersabda, “‫”نحن نحكم بالظواهر و هللا يتولى السرائر‬
)kami memutus perkara berdasarkan bukti-bukti konkrit (nyata), sedangkan masalah yang
tersembunyi/disembunyikan adalah urusan Allah), (4) pemimpin, beliau selalu menyesuaikan
pola kepemimpinannya dengan kondisi masyarakat yang dipimpinnya, sehingga memungkinkan
terjadinya pola kepemimpinan yang berbeda-beda. Dalam hal ini, beliau patut diteladani dalam
hal-hal yang sesuai dengan sikon yang kita hadapi, dan (5) pribadi, dalam hal ini bisa dilihat dari
2 (dua) perspektif: (a) kekhususan-kekhususan beliau yang tidak boleh dan tidak harus
ditetadani, misalnya: perkawinan beliau dengan lebih dari 4 (orang) wanita, kewajiban salat
malam, dhuha, menyembelih qurban, dan tidak boleh menerima zakat, dan (b) sebagai manusia
biasa, jika perbuatan yang beliau lakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT.
maka termasuk yang diteladani, tetapi jika merupakan rutinitas kemanusiaan maka boleh
ditetadani dan boleh tidak. Misalnya: model pakaian yang beliau kenakan, karena hal itu
disesuaikan dengan budaya masyarakat di mana beliau tinggal. Dalam hal ini, pakaian Rasulullah
SAW. tak berbeda dengan pakaian Abu Jahal dan Abu Lahab serta orang-orang Arab lainnya,
dan itu bukan urusan agama tetapi urusan manusia sepenuhnya. Dalam hal pakaian, yang
menjadi urusan agama bukan model pakaiannya tetapi batasan-batasan aurat baik laki-laki
maupun perempuan yang harus ditutup dengan pakaian yang sekiranya tidak menonjolkan lekuk-
liku tubuhnya. Selain itu,masih ada selera beliau tentang warna sepatu/sandal, warna kain yang
dikenakan sebagai baju, dan lain sebagainya yang semuanya tidak harus diteladani tetapi mubah
untuk diteladani.
Kesimpulan 
    Dari uraian di atas maka masalah Rasulullah SAW. sebagai teladan bisa disimpulkan sebagai
berikut:

 Sebagai seorang rasul, maka semua risalah agama beliau adalah berdasarkan pada wahyu
sehingga apa yang beliau bawa pasti benar dan wajib diteladani.
 Sebagai manusia biasa, maka Rasulullah SAW. seperti halnya kita semua memiliki selera dalam
hal cara berpakaian atau model pakaian, makanan yang disukai, warna sepatu atau sandal, yang
semuanya adalah urusan duniawi yang urusannya diserahkan sepenuhnya kepada kebebasan
manusia untuk memilih, sehingga beliau boleh diteladani dan boleh juga tidak.
 Ada kekhususan yang dianugerahkan Allah SWT. kepada beliau dan tidak kepada manusia
lainnya, misalnya: menikah dengan banyak wanita (lebih dari empat orang), kewajiban salat
malam, salat dhuha, qurban di hari raya Idul Adha, dan larangan menerima zakat serta tidak
mewarisi dan diwarisi. Semua itu tidak harus diteladani karena hal itu merupakan syariat khusus
untuk beliau tidak untuk umatnya.

Wa Allah a’lam bi al-shawab

Anda mungkin juga menyukai