Anda di halaman 1dari 3

Sufi Ala Syekh Abul Hasan as-Syadzili

Parasnya lelaki itu sungguh menakjubkan, perawakannya menarik, kulitnya sedang, mukanya
bulat lonjong,pakainnya menunjukkan kewibawaannya, tata katanya lugas dan fasih, melihatnya
membuat iman semakin bertambah, Beliau adalah al-Imam Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili.

Nama Lengkap beliau adalah Abu Hasan Ali Ibn Abdul Jabbar . Beliau lahir tahun 593 H./ 1197
M. di desa Ghumarah, dekat kota Sabtah, Maroko. Nasabnya bersabung sampai ke Rasulullah SAW.
Melalui jalur sayyidina Hasan RA.

Saat kecil, orangtuanya menginginkan Abu Hasan menjadi tokoh agama yang taat dan
pengemban syariat. Karena itulah, orangtuanya menanamkan pendidikan dasar agama yang kuat sejak
masa belia. Tetapi, masa-masa selanjutnya ia tak memperlihatkan diri sebagai orang yang terpelajar. Ia
lebih menyukai kajian tentang jiwa manusia dan mempunyai semangat yang besar dalam menjalani
kehidupan spiritual. Dunia sufi lebih menarik perhatiannya.

Ilmu Tasawwuf pertamanya didapatkan dari Syekh Abu Abdullah. M Ibnu Harazim, Murid dari
Abu Madyan. Tahun 615 H, Beliau pergi ke dunia timur dan tertarik pada aliran Rifa’iyyah, dibawah
bimbingan Syekh Abul Fath Al- Wasithi. Melalui gurunya inilah ia kemudian tertarik kepada Sufi Qutb.
Keinginan itu ia sampaikan kepada mursyid (guru)-nya. Al-Washiti menyarankan untuk kembali ke
daerah asalnya, Maroko. “Kembalilah ke Maroko. Engkau akan menemukan Qutb di sana.”  Di Maroko,
ia menjumpai Qutb pada diri Abdus Salam ibn Masyisy, sufi dari Fes. Di bawah tuntunan spiritual Abdus
Salam, Abu Hasan mempersiapkan diri menyelami dunia spiritual.
Namun, mata batin Abdus Salam menunjukkan bahwa Abu Hasan akan menemukan dunia
spiritualnya dan akan menjadi Sufi Qutb jika ia berkelana ke Tunisia, tepatnya di desa Syadzili. Abu
Hasan mengikuti anjuran Sufi Qutb itu. Beliaupun meninggalkan Maroko,  menuju Syadzili, sebuah
daerah di wilayah Tunisia.  Di sana Ia hanya menyendiri di goa sepi dekat desa Syadzili. Di gua itu, Beliau
beribadah, menjalankan ritual zikir dan mendekatkan diri kepada Allah. Hanya sekali-sekali saja ia keluar
berdiskusi dengan para ulama dan sufi setempat.

Pada dasarnya kecerdasan Syekh Hasan As-Syadzili makin terlihat ketika ia berdiskusi dengan
dengan para sufi di desa Syadzili tempat beliau menetap, akhirnya ia diminta untuk menjadi pengajar
dan penceramah di desa tersebut. Tak lama waktu berselang, pengikut beliau bertambah banyak dan
kiprahnya semakin tesohor di negeri itu.
Sayangnya banyak tokoh dari kalangan ulama fikih konservatif yang merasa tersaingi dengan
kehadiran beliau. Meraka pun menfitnah dengan cara menyampaikan berita miring kepada Sultan Abu
Zakariyya al-Hafsi, Beliau pun sering mendapat tekanan dan gangguan begitu pula pengikutnya.

Di tengah masa genting ini, Syekh Abul Hasan as-Syadzili bermimpi bertemu Rasulullah SAW.
Dalam mimpi tersebut Baginda nabi SAW. bertitah kepadanya agar hijrah ke Mesir. Di sana sudah ada
40 murid yang membutuhkan bimbingannya. Maka pada tahun 642 H. Beliau bersama beberapa
pengikutnya hijrah ke Mesir dan menetap di Iskandariyah. Beberapa ulama senior pun aktif menghadiri
pengajiannya, seperti Ibnu Yasin (murid utama Ibn Arabi), Muhyidin ibn Suraqah, Jamaluddin Usfur, Ibnu
Shalah, Taqiyuddin ibn Daqiqil ‘Id dan tak terkecuali Sultanul Ulama (pemimpin orang alim) ‘Izzuddin ibn
Abdus Salam. Mesir kemudian menjadi tempat pertumbuhan pesat bagi tareka Syadziliyah. Beberapa
hizib dan do’a Sufi ia ciptakan lalu disebarkan oleh para muridnya ke seantero Mesir begitu pula murid-
muridnya di Tunisia.

Tidak seperti anggapan beberapa kalangan yang berasumsi bahwa seorang sufi itu tak akan
memerhatikan penampilannya, bahkan acap kali menggunakan pakaian tak layak pakai. Sosok Imam
Syadzili merupakan sufi yang senantiasa memerhatikan pakaian yang ia gunakan, karena pada dasarnya
pakaiaan atau penampilan merupakan salah satu bentuk kewibawaan seseorang.

Kelompok orang-orang sufi kadang identik dengan kelompok yang pasrah dalam menjalani
kehidupannya, berpakain ala kadarnya, tidak memperhatikan penampilan dhohir dan bahkan kadang
tidak memiliki tempat tinggal. Syekh Abu Hasan Al Syadzili tentu tidak ada yang meragukan
kezuhudannya, beliau adalah seorang mursyid bahkan pendiri dari aliran tarekat Syadziliyah namun
kehidupan beliau sangat memperhatikan pakaian dan penampilan. Rumah beliau bagus, tanah
pertaniannya luas, dan memiliki kuda-kuda yang kuat dan tegap. Karena baginya kesufian adalah gerak
batin seorang hamba, harta dan kekayaan boleh ada ditangan tetapi jangan sampai melekat dalam hati.

Suatu ketika Syekh Abu Hasan Al Syadzili ditanya oleh seseorang mengapa penampilannya
mewah dan menaiki kereta kuda yang gagah, padahal ia adalah seorang ulama sufi ?, maka beliau
menjawab bahwa agar ia tidak terkesan sebagai orang yang butuh kepada orang lain, karena hanya
kepada Allahlah kita menggantungkan kebutuhan. Beliau juga pernah berkata kepada muridnya Abu
Abbas Al Mursi, “Kenalilah Allah, lalu hiduplah sesukamu”
Jika dipandang dari sudut lain, maka makna sufi tak selalu soal meniggalkan dunia seutuhnya.
Lebih dari itu, kita diajak bagaimana menyelaraskan keduanya( litakuuna ddunyaa mazroa’atul Akhirah)
sehingga tak menimbulkan kerancuan dan kesalahpahaman di tengah masyarakat.

Abu Hasan Al Syadzili juga berpesan kepada murid-muridnya,“Anakku dinginkan air yang akan
kau minum. Sebab, jika kau minum air hangat lalu mengucap alhamdulillah; tak ada semangat dalam
ucapanmu. Berbeda jika kau meminum air dingin, lalu mengucap alhamdulillah; niscaya seluruh organ
tubuhmu turut mengucap Alhamdulillah”. Begitulah cara al-Imam Abu Hasan asy-Syadzili memandang
kehidupan seorang mukmin harus selaras dengan do’a yang selalu dibacanya “fiddunnya hasanah wa fil
akhiroti hasanah” bahagia dunia akhirat.

Di akhir hayatnya, beliau melakukan perjalanan haji. Sebelum berangkat ia menyuruh murid-
muridnya untuk mempersiapkan alat untuk menggali. Hal itu sedikit aneh bagi meraka, lalu salah
seorang menanyakan hal tersebut, Syekh Abul Hasan as-Syadzili lalu menimpali “fii humaitsara saufa
taraa” Di tengah perjalanan beliau mengalami sakit parah. Didirikanlah tenda sementara di gurun
‘idzab, sebuah daerah di tepi pantai Laut Merah, tepatnya di desa Humaitsarah. Dari kejadian ini,
indikasi dari titah beliau sebelum berangkat. Sebelum wafat, beliau berwasiat kepada para muridnya
untuk senantiasa membaca Hizb Bahr “ Jagalah Hizb Bahr untuk anak-anak kalian, sungguh di dalamnya
terdapat Asma’ al-Mua’dzam”. Setelah itu, Imam Abu Hasan asy-Syadzili menyuruh muridnya untuk
mengambilkan air dari sumur terdekat. Akan tetapi, muridnya mengatakan, “Wahai tuanku, air di
daerah ini asin sedangkan air yang kita bawa terasa segar”.   “Bawakan air sumur kepadaku, sungguh
apa yang aku inginkan berbeda dengan yang kalian persangkakan” jawab Imam Abu Hasan asy-Syadzili.  
Maka, Imam Abu Hasan asy-Syadzili berkumur dengan air sumur tersebut dan ia mendoakan air bekas
berkumurnya. Kemudian, air bekas berkumur beliau dimasukkan kedalam sumur terdekat. Dengan izin
Allah SWT. air sumur tersebut berubah menjadi segar dan melimpah. Imam Abu Hasan asy-Syadili wafat
pada tahun 656 H di sebuah gurun pasir bernama Humaitsarah yang berada di antara daerah Luxor dan
Qina.

Anda mungkin juga menyukai