Ketika bercerita tentang Syekh Abu Madyan, penulis al-Najm berkata, Sayyid
Abu Madyan adalah pemimpin para arif dan teladan para salik. Ia adalah tokoh
istimewa dan wali Allah yang berada di garis terdepan. Allah menghimpun pada
dirinya ilmu syariat dan hakikat. Dengannya Allah terangi rambu-rambu tarekat.
Allah menjadikannya sebagai salah satu pilar alam maujud. Ia dimunculkan di
wilayah Maroko sebagai pemberi petunjuk dan penyeru seluruh makhluk.
Murid-muridnya datang dari berbagai penjuru dunia hingga ia dikenal dengan
gelar Syaikh al-Syuykh (mahaguru).
Ibn Badis, Ibn al-Khatib, Ibn al-Zayyat dan para pengagumnya yang lain
mengatakan, Lewat tangannya lahir seribu syekh yang merupakan wali Allah.
Mereka semua memiliki karamah dan doa mereka mustajab.
Kami hendak menyebutkan sebagian gambaran yang mereka tuturkan dengan
harapan semoga kita mendapat berkah dari jejak-jejak mereka itu:
Apabila tokoh-tokoh dari Andalusia disebutkan, sang guru berkata, Orang
Andalusia terbaik adalah Syuaib.
Abu Madyan memiliki berkah dan berbagai karamah yang menakjubkan. Ia sering
mengunjungi majelis para ulama.
Syekh Abu Madyan berkata, Aku menetap di Fes untuk mempelajari satu ayat
Al-Quran dan hadis. Setelah belajar, aku menuju sebuah tempat di pegunungan
yang arahnya tembus ke pantai. Di tempat itulah aku mengamalkan ayat dan
hadis yang kupelajari. Setelah itu aku kembali ke Fes untuk mempelajari satu
ayat dan hadis yang kemudian kembali kuamalkan. Tempat yang kutinggali di
pegunungan itu berupa bangunan yang sudah rusak. Hanya ruangan tempat
shalat yang tersisa dari bangunan itu. Setiap kali aku duduk di dalam tempat
shalat itu seekor kijang betina datang menghampiri. Aku tidak tahu, mungkin
kijang itu tadinya mencari pemilik bangunan ini yang sudah pergi. Mungkin kijang
itu terus datang ke sana karena merasa nyaman, atau mungkinkah ia sengaja
datang kepadaku?! Entahlah, tetapi yang jelas kijang itu selalu datang setiap
kali aku berada di sana. Ia mencium tubuhku dari atas sampai bawah kemudian
merebahkan diri di hadapanku. Pada hari Kamis aku pergi ke Fes dan malam
Jumat menginap di sana. Suatu hari aku bertemu seorang dari Andalusia, Abu
Abdillah ibn Abi Haj. Kutanyakan kepadanya tentang pakaianku yang ada
padanya. Ia bertanya, Apa yang hendak kaulakukan dengan pakaian itu?
Aku ingin menjualnya dan uangnya akan kuberikan kepada seseorang sebagai
jamuan untuknya.
Ia menjawab, Ambillah sepuluh dirham ini dan berikanlah kepadanya!
Setelah menerima uang itu aku mencari orang yang kumaksud, tetapi aku tak
melihatnya. Akhirnya, uang itu kusimpan dalam sebuah kantong, tergantung
di ikat pinggangku.
Dalam sejumlah riwayat disebutkan, Kupegang uang itu, kemudian aku pergi
ke tempatku di pegunungan melewati sebuah desa yang di dalamnya banyak
anjing. Semakin dekat ke desa itu, semakin nyaring bunyi gonggongan anjing
yang kudengar. Saat memasuki desa itu, anjing-anjing serabutan seperti hendak
menyerangku. Mereka menyalak keras. Untung saja penduduk desa
melindungiku hingga aku bisa meneruskan perjalanan dan sampai di tempatku
di pegunungan. Setibanya di bangunan rusak itu, kijang betina kembali datang
menciumku. Tetapi ia segera menjauhiku dengan sorot mata tidak bersahabat.
Lalu ia kembali datang untuk kedua dan ketiga kali, tetapi langsung menandukku.
Kuterima tanduknya dengan tanganku, dan kijang itu pun berbalik pergi. Aku
merenung memikirkan tingkah kijang itu yang tak seperti biasanya, begitu pula
anjing-anjing di desa tadi yang tidak bersahabat. Setelah lama berpikir, aku
baru sadar, semua itu terjadi lantaran uang yang tergantung di ikat pinggangku.
Maka, aku langsung melepas kantong itu dan melemparnya ke sebuah sudut.
Kijang itu kembali datang, menatapku, dan merebahkan tubuhnya seperti biasa.
Aku bermalam di tempat itu. Keesokan paginya, aku mengambil kantong uang
itu lalu kubawa kembali ke Fes.
Setibanya di sana, aku segera mencari orang yang berhak atas uang itu. Setelah
kutemukan orang itu, aku segera memberikan kantong uang itu dan aku pun
kembali pulang ke tempatku di gunung. Aku kembali melewati desa yang banyak
anjing, tetapi anjing-anjing itu terlihat jinak. Mereka hanya memandang ke arahku
sambil mengibas-kibaskan ekor, tak ada seekor pun yang menyalak keras ke
arahku hingga aku tiba di gunung. Kijang itu juga datang menghampiri. Ia
menciumku dari bawah hingga ke kaki. Setelah itu ia merebahkan diri di
depanku.
Syekh Abu Madyan mengalami begitu banyak mujahadat dan perjuangan,
terutama dalam hal tawakal. Ia juga memiliki banyak karamah.
Abu Ali Hasan ibn Muhammad al-Ghafiqi al-Shawwaf mendengar Abu Madyan
berkata, Orang yang mencari karamah sama seperti penyembah berhala. Ia
mengerjakan shalat hanya untuk melihat karamah.
Ia berkata, Aku melihat orang yang wushul hanya dalam enam bulan. Ketika
dikatakan kepadanya sejumlah rintangan seperti yang disebutkan oleh Hujjatul
Islam dalam Minhj al-Abidn, ia bilang, Aku telah melihat orang yang
menempuhnya dalam tujuh puluh tahun. Ia menempuh setiap rintangan darinya
dalam waktu sepuluh tahun. Namun, aku juga melihat orang yang melewati
seluruh rintangan hanya dalam waktu satu jam. Ibrahim ibn Adham, misalnya,
hanya melewatinya dalam waktu satu jam berkat taufik dari Allah.
Al-Tadili meriwayatkan dari Abu Abdillah Muhammad ibn Khalish dari Abu
al-Rabi al-Madyuni yang berkata, Seorang ahli mukasyafah mendatangi
murid-murid Abu Madyan. Ada beberapa hal yang tidak disukainya dari mereka
yang kemudian ia laporkan kepada Abu Madyan.
Setelah orang itu pergi, Abu Madyan berkata kepada murid-muridnya,
Biarkanlah ia. Anugerah yang diberikan kepadanya akan hilang. Ternyata
mukasyafah yang ia miliki lenyap. Nadzu billh. Orang itu kembali menjadi
kalangan biasa.
Ia menjadikan Ihy Ulm al-Dn sebagai bacaan utamanya. Buku Rislah
al-Qusyairiyyah juga selalu dibacakan di hadapannya sehingga berbagai jenis
ilmu ladunni terlimpah kepadanya.
Suatu hari, seperti diceritakan orang yang bisa dipercaya, di sebuah majelis
ketika seseorang hendak membaca sebagaimana biasanya, Syekh berkata,
Tunggu sebentar! Lalu, ia berpaling kepada seseorang yang ternyata datang
untuk menyanggah dan mengkritik Syekh. Apa maksud kedatanganmu? tanya
Syekh.
Orang itu menjawab, Aku datang untuk mereguk sebagian cahayamu.
Apa isi bungkusanmu itu? tanya Syekh lagi.
Mushaf.
Keluarkan!
Orang itu mengeluarkan mushaf dari kantongnya. Abu Madyan berkata, Bacalah
baris pertama! Ia membuka dan membaca baris pertama: orang-orang yang
mendustakan Syuaib itulah yang merugi.
Syekh Abu Madyan berujar, Apakah ayat ini tidak cukup bagimu? Orang itu
akhirnya bertobat.
Ketika keinginannya untuk belajar kepada para syekh terpenuhi, mata hatinya
terbuka, jiwanya bersinar, dan ia mendapat petunjuk dari Tuhan. Dan saat
beberapa gurunya meninggal dunia, ia pindah ke daerah timur. Ia berjumpa
dengan beberapa syekh lain, mereguk cahaya mereka, mengambil pelajaran
dari para zahid di antara mereka, serta mendapat banyak ilmu dari para alim
dan para wali.
Diceritakan bahwa Sayyid Abu Madyan sangat bangga bisa bersahabat dengan
Sayyid Abdul Qadir, yang ia anggap sebagai salah satu guru utamanya. Setelah
itu, Abu Madyan kembali ke Timur, tempat cahayanya semakin terang bersinar.
Ia sering pulang pergi ke Afrika hingga akhirnya menetap di Bijayah. Allah
membuatnya suka tinggal di kota itu.
Dikisahkan pula bahwa ketika membaca Al-Quran, Syekh Abu Madyan tidak
melampaui surah al-Mulk, karena rasa takutnya yang sangat besar kepada
Allah sehingga tak kuasa melanjutkannya.
Gurunya, Sayyid Abu Yazi bercerita, Ia pernah membaca sampai akhir surah
al-Zalzalah. Ketika bacaannya sampai pada ayat, Siapa yang melakukan amal
kebaikan meski seberat biji sawi, niscaya ia akan mendapat balasannya.
Sebaliknya, siapa yang melakukan keburukan meski seberat biji sawi, niscaya
ia akan mendapatkan balasannya, ia berkata, Cukuplah itu bagiku.
Ketika Syekh Abu Madyan menetap di Bijayah, para ulama, pejabat, dan
pembesar setempat mendatanginya. Mereka mengetahui ketinggian ahwal, ilmu,
dan pandangannya. Tetapi ada seorang alim yang tidak pernah mendatanginya,
yaitu Abu Muhammad Abdul Haq al-Asybili. Ia dikenal sebagai pemuka ahli
ilmu, hadis, dan nasihat. Ia juga menulis beberapa buku, di antaranya al-Ahkm
al-Kubr wa al-Shugr f al-Hadts, dan al-qibah f al-Tadzkr.
Ia berkata, Dari sisi ilmu, ia bersama kami, tetapi dari sisi amal, kami masih
harus berjuang untuk mengikutinya.
Suatu ketika ia bermimpi melihat Nabi saw. berkata kepadanya, Temuilah Abu
Madyan dan bacalah Al-Quran di hadapannya.
Ketika bangun ia mengucap, Subhnallh. Aku bisa membaca Al-Quran dengan
tujuh bacaan, menghafal tafsir beserta penjelasannya, dan juga menghafal
banyak hadis. Mengapa aku bermimpi seperti ini? Maka, ia menunggu apa
yang akan terjadi selanjutnya.
Pada malam kedua ia kembali bermimpi bertemu Nabi saw. yang mengucapkan
perintah serupa. Begitu pun pada malam ketiga. Ia langsung bangun
membulatkan tekadnya, dan berkata, Tentu ini petunjuk dari Allah. Kemudian
ia pergi menemui seorang Syekh ahli fikih, al-Qadhi al-Shalih Abu Ali Abdul
Haq al-Musayli, penulis al-Tadzkirah dan buku-buku ushuluddin. Keduanya
memang bersahabat dalam hal agama, ilmu, dan amal. Mereka pun bersaudara
dalam urusan zuhud, keyakinan, dan peneladanan terhadap para salaf saleh.
Mereka bersepakat menemui Abu Madyan dan mendengarkan ucapannya.
Keduanya telah mendengar sejumlah pengetahuan yang asing, pemahaman
yang menakjubkan, dan rahasia makrifat tersembunyi yang berasal darinya.
Mereka ingin mengetahui langsung apa yang terdapat padanya.
Keduanya segera beranjak pergi menuju masjid tempat Abu Madyan duduk
bersama beberapa murid khususnya. Mereka masuk dan melihatnya sedang
membahas sejumlah hal. Ia mengeluarkan mutiara dari kedalaman laut. Mereka
mengenali keutamaan Syekh Abu Madyan, tetapi belum mengetahui
kedudukannya. Kemudian mereka mengucapkan salam dan duduk di dalam
majelis.
Ketika majelis itu bubar dan ditutup doa, mereka bangkit dan mengucapkan
salam kepada Syekh Abu Madyan, yang langsung berujar, Orang ini, Abu
Muhammad Abdul Haq al-Isybili, adalah seorang fakih,. Sementara orang kedua
adalah Abu Ali al-Musayli.
Setelah itu Syekh pergi meninggalkan keduanya. Kini, mereka telah mengetahui
keutamaannya.
Mereka tahu bahwa Allah memiliki sejumlah anugerah yang tidak bisa ditampung
semata-mata dengan upaya manusia. Semua keutamaan berada di tangan Allah
yang Dia berikan kepada siapa yang Dia kehendaki. Syekh Abdul Haqq
mendatanginya dengan niat tulus, dan ketika mereka bertemu, Syekh Abu
Madyan menampakkan mukasyafahnya dan berkata, Nabi saw. menyuruhmu
membacakan Al-Quran di hadapanku. Maka, Syekh Abdul Haqq membaca
basmalah dan membaca surat al-Fatihah sampai habis.
Syekh Abu Madyan berkomentar, Jika kau meminta kepada Allah, tentu kau
tidak akan meminta kepada raja dan menteri.
Engkau benar, jawab Syekh Abdul Haqq. Kemudian ia beranjak pergi dan
berniat menjalankan nasihat Syekh Abu Madyan.
Diriwayatkan bahwa gubernur dan menteri datang berkunjung ke kota Abu
Muhammad, tetapi ia tidak pergi menemui kedua pejabat itu seperti yang biasa
dilakukannya di masa lalu. Maka, kedua pejabat itu bertanya kepada orang-orang
mengenai sikap Syekh Abdul Haqq. Seseorang yang dengki kepadanya berujar,
Abdul Haqq bersikap sombong kepada penguasa.
Tetapi sang gubernur berkata, Ilmu memang harus didatangi, tidak datang
sendiri. Karena itulah si gubernur itu pun mendatangi Abu Muhammad di
rumahnya.
Sejak saat itu, setiap kali Abu Muhammad mendatangi Syekh Abu Madyan,
ia mendapatkan sejumlah anugerah Tuhan, ilmu laduni, dan berbagai hal
menakjubkan lainnya, yang sebagiannya disebutkan Ibn al-Arabi al-Hatimi yang
dikenal dengan Ibn Suraqah.
Kisah tentang mimpi itu diceritakan oleh Abu Zaid Abdurrahman al-Tanmili
al-Fihri yang dikenal dengan nama al-Farmi. Syekh Abu Madyan memiliki
ungkapan terkenal dalam bidang tasawuf yang kemudian disusun oleh para
imam.
Apabila kau melihat orang yang mengaku sedang bersama Allah, sementara
lahiriahnya tidak menunjukkan tanda-tanda kebersamaan dengan-Nya maka
kau harus berhati-hati kepadanya!
Akhlak yang baik adalah memperlakukan setiap orang dengan sesuatu yang
menyenangkan dan tidak membuatnya kesal. Akhlak kepada ulama adalah
menjadi pendengar yang baik dan menunjukkan rasa butuh. Akhlak kepada
ahli makrifat adalah diam dan sabar menunggu. Akhlak kepada orang yang
memiliki kedudukan mulia adalah menunjukkan tauhid dan kondisi papa.
Allah Swt. mengetahui segala rahasia dan apa yang tersembunyi pada setiap
jiwa. Hati siapa pun yang lebih mengutamakan-Nya akan dijaga dari berbagai
ujian dan fitnah.
Duka dan kesedihan orang yang bermaksiat lebih baik daripada kesombongan
orang yang taat.
Tanda ikhlas adalah kau tidak melihat makhluk, karena kau menyaksikan Allah.
Orang arif selalu naik, bertemu lathifah yang berharga, tidak menoleh kepada
apa pun. Ia tak puas dengan Kabah; ia hanya puas dengan Pemilik Kabah.
Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad ibn Abi al-Fadhl ibn Sad al-Tilmisani
berkata, Di antara syair Syekh al-Imam al-Quthb al-Allamah al-Himam Abu
Madyan r.a. adalah yang ditujukan kepada para syekh, misalnya:
Sebagaimana dituturkan Ibn Jarir, Syekh Ibn Abi al-Fadhl berkata kepada Syekh
Abu Madyan r.a.:
Diriwayatkan bahwa siapa saja yang mendirikan shalat dua rakaat, kemudian
membaca salawat kepada Nabi saw. sesudah beristigfar, lalu membaca doa
seperti yang diajarkan oleh Nabi dan dilengkapi doa Syekh di atas, tentu ia
akan mendapatkan akibat yang baik dan besar harapan keinginannya akan
dikabulkan. Sebab, ia telah memadukan sunnah dan teladan al-imam. Ia akan
mendapatkan keberkahan. Allah akan menunjukkannya kepada jalan yang
terbaik.
Doanya yang lain adalah seperti yang diriwayatkan oleh penulis kitab al-Najm,
juga yang disebutkan oleh Sayyid Muhammad ibn Yahya dan juga Sayyid Abdul
Aziz al-Baburji. Diceritakan bahwa doa ini memiliki rahasia menakjubkan untuk
menyingkap bencana dan menyingkirkan musibah:
Syekh Abu Madyan hafal banyak hadis. Di antara riwayat yang berasal dari
Abu Umamah al-Bahili r.a. bahwa ia mendengar Rasulullah saw. bersabda,
Tuhan berjanji ada tujuh puluh ribu umatku yang masuk surga tanpa hisab
dan tanpa siksa. Bersama setiap seribu orang terdapat tujuh puluh ribu orang
lainnya berikut tiga cidukan.
Dan hadis ini diriwayatkan hanya darinya bahwa Rasulullah saw. bersabda,
Tujuh puluh ribu orang dari umatku masuk surga tanpa hisab. Mereka adalah
orang yang tidak melakukan rukyah dan tidak minta dirukyah, tidak merasa
sial, serta hanya bersandar kepada Tuhan.
Perhatikan pula redaksi hadis Nabi saw. yang berisi harapan, Umatku semuanya
diberi rahmat. Di antara mereka ada yang diberi rahmat oleh Allah lewat
shalatnya ...
Ketika membaca firman Allah: Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang
yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami. Lalu di antara mereka ada yang
menganiaya diri mereka. Di antara mereka ada yang pertengahan. Dan diantara
mereka ada pula yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan ijin Allah. Itu
adalah karunia yang amat besar, Rasulullah saw. bersabda, Semuanya berada
di surga.
Dalam riwayat lain disebutkan, Mereka yang lebih dahulu berbuat kebaikan
dari kita telah mendahului. Kelompok yang pertengahan menyusul. Lalu, yang
berbuat zalim di antara kita diampuni.
Hadis lain yang ia riwayatkan adalah yang berasal dari Jabir ibn Abdillah bahwa
Rasulullah saw. bersabda, Syafaatku akan diberikan kepada umatku yang
melakukan dosa besar.
Juga hadis dari Anas ibn Malik r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, Seluruh
infak adalah di jalan Allah kecuali infak bangunan (yang di luar kebutuhan).
Tidak ada kebaikan sedikit pun di dalamnya.
Maksudnya adalah bangunan yang tidak terlalu dibutuhkan. Tetapi jika bangunan
itu benar-benar dibutuhkan, orang yang memberikan infak akan mendapat
pahala. Demikianlah mereka menafsirkan hadis di atas. Hanya Allah yang lebih
mengetahui.
Hadis lain yang diriwayatkan olehnya dengan sanad tersambung kepada Nabi
saw. adalah, Siapa yang bangun malam, lalu membangunkan istrinya dan
mendirikan shalat dua rakaat maka mereka termasuk laki-laki dan wanita yang
banyak berzikir kepada Allah.
Hadis lain diriwayatkan dari Jabir ibn Abdillah r.a., bahwa Nabi saw. bersabda,
Tiga hal yang jika kalian lakukan pasti Allah akan memberikan naungan-Nya
dan memasukkanmu ke dalam surga-Nya: bersikap lembut kepada kaum duafa,
mengasihi orangtua, dan berbuat baik kepada budak sahaya.
Diriwayatkan pula bahwa Syekh Abu Madyan selalu membaca dan tenggelam
dalam kitab Ihy. Salah satu bagian yang disukainya dari kitab itu adalah kisah
seorang Imam yang zahid, Malik ibn Dinar.
Disebutkan bahwa pada suatu malam Ibn Dinar merasa lemah dan tak bisa
bangun. Ia berkata, Aku bermimpi melihat seorang wanita yang tidak seperti
wanita dunia. Wanita itu memegang lembaran, dan ia berkata. Wahai Malik,
kau bisa membaca? tanyanya. Ya, jawabku. Ia memberiku lembaran itu yang
ternyata berisi tulisan sebagai berikut:
Riwayat lain menuturkan peristiwa serupa terjadi pada Dzunnun. Sejak peristiwa
itu Malik tidak tidur malam sehingga ada yang mengatakan bahwa ia mendirikan
shalat subuh dengan wuduk shalat isya selama empat puluh tahun.
Pada masa itu ada empat puluh tabiin yang melaksanakan shalat subuh dengan
wuduk shalat Isya selama empat puluh tahun. Wallhu alam.
Semua ini ditegaskan oleh Abu Thalib al-Makki. Ia meriwayatkan bahwa
Dzunnun menyebutkan sebuah syair:
Mereka berada di atas mimbar cahaya. Abu Thalib al-Makki berada di atas
mimbar yang tinggi, sementara Abu Hamid al-Ghazali berada di atas mimbar
di depannya. Abu Thalib bertanya kepada para sufi itu. Masing-masing mereka
memberikan jawaban sesuai dengan ilmu yang dimiliki.
Rahasia tauhid terletak pada ucapan l ilha ill an (tiada Tuhan selain Aku).
Sementara, seluruh alam wujud adalah huruf yang mengandung makna. Karena
makna-makna itulah huruf-huruf itu tampak. Dengan nama-nama-Nya semua
yang jinak mendekat. Dengan sifat-sifat-Nya semua yang diberi sifat tampak.
Perhatian-Nya terhadapnya sungguh tak terbagi. Seluruh makhluk berserah diri
kepada-Nya. Sebab, Dia adalah Zat yang mencipta dan menghadirkan mereka.
Dari-Nya mereka bermula dan kepada-Nya mereka kembali. Keadaan itu seperti
yang tampil pada hari ketika dikatakan, Bukankah aku Tuhanmu? Ya, jawab
mereka. Wahai Abu Thalib, Dia menggerakkan wujudmu. Dia juga yang bertutur
dan menggenggam. Jika kau melihat dengan hakikat, semua makhluk lenyap.
Dengan-Nya wujud menjadi tegak serta perintah-Nya dalam kerajaan-Nya
bersifat kekal. Hukum-Nya pada makhluk berlaku umum sama seperti kedudukan
ruh dalam tubuh. Dengannya mereka tampak meski dalam bentuk yang
berbeda-beda. Di antaranya lisan untuk menjelaskan. Namun dalam waktu yang
sama Dia tidak dilalaikan oleh satu pun urusan sehingga melupakan urusan
lain.
Dari mana engkau mengetahui semua ini, wahai Abu Madyan? tanya Abu
Thalib.
Jadi, pertanyaan Abu Thalib kepada Abu Hamid, Di mana Abu Madyan dan
ilmu yang ia ajarkan? seakan-akan merupakan jawaban terhadap mereka yang
ditanya tetapi tidak bisa menjawab dengan benar. Pertanyaan itu pun
dimaksudkan untuk menegaskan kemuliaan Abu Madyan, memuliakannya, serta
menjelaskan kedudukannya yang agung. Ini seperti bunyi pepatah, Bicaralah!
Dari sana dirimu akan dikenal.
Perlu diketahui, Syekh Abu Madyan selalu menjaga sikap istikamah yang
dibuktikan dengan pencapaian karamah yang tak terhitung. Keadaan lahiriahnya
tampak sama seperti gurunya, Sayyid Abu Yazi dan Sayyid Abdul Qadir.
Ada banyak manakib tentang dirinya, di antaranya dikisahkan oleh Ibn Badis
dalam syarah al-Nafaht al-Qudsiyyah. Ia menukilnya dari Syekh al-Fadhil
al-Imam al-Zahid, dari Sayyid Abu Muhammad Shalih, yang menuturkan, Suatu
ketika di Barat, tepatnya di Andalusia berlangsung perang antara pasukan
Romawi dan kaum muslimin.
Maka aku bergegas pergi ke kebun, tetapi segera kembali menemuinya karena
belum ada anggur yang berbuah. Namun, Syekh berkata tegas, Ada di dalam.
Aku kembali memasuki kebun dan mendapati semua anggur di dalam kebun
itu berbuah lebat. Maka, aku memetiknya dan membawanya ke hadapan mereka
sehingga semua orang memakannya, termasuk aku.
Abu al-Abbas al-Warnidi yang dikenal dengan nama Ibn al-Hajj, ketika
men-syarah al-Nafaht al-Qudsiyyah, menuturkan sebuah riwayat dari Abu
Muhammad Shalih dan Ibn Badis, dari Abu al-Hajjaj al-Anshari yang mendengar
Syekh Abu Muhammad Abdurrazzaq al-Jazuli berkata, Syekh Abu Madyan
melewati beberapa desa di Maghrib. Di sebuah desa, ia melihat seekor singa
memakan keledai sehingga pemilik keledai itu yang sangat miskin menangis
sedih. Syekh Abu Madyan memegang ubun-ubun atau telinga singa itu dan
menggiringnya dengan mudah. Ia berkata kepada si pemilik keledai, Peganglah
singa ini dan pergunakanlah ia sebagai ganti keledaimu.
Aku takut, jawabnya.
Ia tidak akan menyakitimu.
Sebenarnya, jumlah mereka ada tujuh puluh orang, tetapi hanya sepuluh rahib
yang diutus untuk menguji Syekh. Agar tidak terlihat mencurigakan, mereka
mengubah penampilan dan mengenakan pakaian kaum muslim. Mereka masuk
masjid kemudian duduk bersama yang lain. Tak seorang pun di antara hadirin
yang mengenali mereka.
Syekh duduk diam cukup lama seperti menunggu sesuatu. Ketika seorang tukang
jahit datang, Syekh bertanya, Apa yang membuatmu terlambat?
Syekh menarik napas lagi, dan tiba-tiba semua lilin di masjid kembali nyala.
Cahayanya bersinar sangat kuat sehingga nyaris saling bertumpuk.
Kemudian Syekh membaca ayat sajadah, lalu ia sujud dan semua orang ikut
sujud, termasuk para rahib itu. Mereka ikut-ikutan sujud karena takut samaran
mereka terbongkar.
Ketika para rahib itu mengangkat kepala, terangkat pula semua penentangan
dan sikap permusuhan kepada Syekh dari dalam dada mereka. Tak sedikit
pun mereka merasakan kebencian atau keraguan kepada Syekh, seakan-akan
mereka telah lama mengenalnya. Mereka menundukkan diri di bawah keteduhan
agama Allah Yang Maha Esa. Mereka putuskan untuk masuk Islam dan berusaha
mencapai tujuan.
Usai shalat, mereka bergegas menemui Syekh Abu Madyan dan menyatakan
diri masuk Islam di hadapannya. Mereka bertobat, menangis, dan menyesali
semua yang telah mereka lakukan. Ratapan dan tangisan menggema memenuhi
rongga-rongga masjid.
Kisah keislaman para rahib ini sangat terkenal. Dikisahkan bahwa ada tiga orang
yang meninggal dalam majelis itu karena desakan sukacita yang tak
tertanggungkan. Tentu saja Syekh sangat gembira menyaksikan keislaman
mereka.
Tidak ada riwayat yang dengan jelas menyebutkan bahwa Syekh kembali pulang
atau menetap lagi di Andalusia setelah meninggalkan kota itu. Namun, karena
ia termasuk wali Allah yang memiliki berbagai karamah dan keajaiban maka
segala sesuatu mungkin terjadi, termasuk apa yang sebelumnya dianggap tidak
mungkin terjadi, seperti kisah keislaman para rahib itu.
Ketika ditanya tentang sifat wali ahli hakikat, Muhammad ibn Sahl ibn Abdillah
menjawab, Ketika menghendaki suatu tempat, ia akan berada di tempat itu
seketika. Saat disibukkan dengan suatu urusan, Allah menggantinya dengan
malaikat yang berbicara dengan lisannya. Orang-orang mengira yang berbicara
adalah ia, padahal bukan.
Dikisahkan bahwa di antara karamah yang dimiliki Syekh Abu Madyan adalah
bahwa ia mendirikan shalat subuh di Baghdad kemudian datang ke Makkah
untuk menemui murid-muridnya di waktu subuh. Ia termasuk kalangan shiddiqqin
yang shalat Subuh di Makkah, Lohor di Madinah, Asar di Baitul Makdis, Magrib
di bukit Tursina, dan Isya di bendungan Zulkarnain, bermalam di sana, kemudian
kembali mendirikan shalat Subuh di Makkah.
Bagi sebagian mereka, waktu seperti dilipat sehingga terasa sangat cepat. Bagi
sebagian lain, waktu seperti dibentangkan sangat luas sehingga mereka bisa
berzikir dan membaca Al-Quran sekehendak hati tanpa batas. Karamah seperti
itu di antaranya dimiliki oleh al-Shadrani Musa, murid Abu Madyan. Hal senada
diceritakan oleh Jamaluddin ibn Syihabuddin al-Suhrawaradi dalam hujjah yang
ia sampaikan kepada ayahnya pada 628 H.
Abu Hafsh Umar ibn al-Faridh menuturkan fenomena itu dalam sebaris syairnya:
Seandainya lebih banyak ruang yang tersedia, kami akan tuturkan lebih banyak
lagi keutamaan hamba-hamba Allah yang dianugerahi berkah dan karamah ini
sehingga dapat memuaskan jiwa dan melenyapkan keraguan. Allah memberikan
manfaat kepada manusia melalui mereka. Sungguh mereka adalah orang yang
telah mendapat pertolongan-Nya. Orang yang tenggelam dan tersesat sehingga
tidak memercayai kesucian mereka pasti tidak akan selamat kecuali jika Allah
memberinya karunia hingga diselamatkan lewat cinta, pembenaran, dan
penyerahan.
Abu al-Abbas Ahmad ibn Muhammad al-Warnidi yang dikenal dengan nama
Ibn al-Hajj serta imam Abu Ali al-Husain ibn Abi al-Qasim menuturkan dalam
Syarh al-Nafaht al-Qudsiyyah, Dikisahkan bahwa dalam sebuah
perjalanannya Syekh Abu Madyan melewati pesisir.
Dalam syarah al-Nafaht al-Qudsiyyah, Abu Bakar Ali Hasan juga meriwayatkan
bahwa Abu Muhammad Shalih mendengar Syekh Abu Madyan r.a. pada 560
H berkata, Aku telah berjumpa dengan Abu al-Abbas al-Khidir. Kutanyakan
kepadanya perihal beberapa Syekh dari negeri timur dan barat yang hidup di
era tersebut serta tentang Syekh Abdul Qadir. Ia menjawab, Ia adalah imam
kaum shiddiqin dan hujjah kaum arifin.
Syekh Abu Yazi dan Syekh Abu Madyan sama-sama memuliakan Syekh Abdul
Qadir, mengagungkan namanya, dan meninggikan kedudukannya. Mereka
merupakan orang-orang mulia yang senantiasa menjaga adab dan etika
masing-masing. Syekh Abu Madyan juga sering memuji Syekh Abu Yazi seperti
yang kami ceritakan dalam bab kelima tentang kesaksian para Syekh.
Menurutnya, Syekh Abu Yazi memiliki kedudukan yang tinggi dan berada di
barisan terdepan para saleh.
Diriwayatkan bahwa Syekh Abu Madyan memiliki tingkatan cinta yang tinggi
dan agung. Abu Ali Hasan ibn Badis dan Abu al-Abbas al-Warnidi menceritakan
bahwa suatu hari Syekh Abu Madyan berbicara di majelisnya, tiba-tiba
segerombol burung datang dan terbang mengelilinginya.
Majelis itu tersentak mendengar lantunan syair tersebut dan sekejap kemudian
suasana menjadi riuh. Seekor burung tiba-tiba mengepakkan sayap dengan
keras lalu jatuh dari udara dan menggelepar mati di tengah majelis. Tak hanya
burung, salah seorang jamaah yang hadir di majelis itu meninggal dunia.
Ia melanjutkan, Bagaimana mungkin tubuh bisa tegak dan akal tidak linglung
sementara tak lama lagi amal ditampakkan di hadapan-Nya, buku catatan amal
akan dibacakan, dan malaikat berdiri di hadapan Tuhan Yang Mahagagah
menunggu perintah-Nya atas orang yang baik maupun yang jahat.
Ada banyak bait syair lain yang ia ungkapkan selain bait-bait di atas.
Abu Ali Hasan ibn Muhammad al-Ghafiqi al-Shawwaf mendengar Abu Madyan
berkata, Aku pernah mengerjakan shalat magrib bersama Umar al-Shabbagh.
Usai salam, ia berujar, Tadi dalam shalat aku melihat tiga atau empat bidadari.
Mereka menampakkan diri di sudut rumah.
Abu Yazid terus menangis dan bersimpuh dalam sujud hingga para bidadari
itu lenyap dan terhijab darinya. Barulah ia mengangkat kepalanya. Ada banyak
riwayat lain yang menuturkan sikap dan pencapaian Abu Yazid.
Ketika mereka tenggelam dalam kondisi itu, seseorang datang dan berkata
dengan nada yang sedih dan bingung, Wahai kaum, adakah keledai yang
masuk ke sini?
Lelaki itu bertanya sambil membawa sepotong bambu untuk menggiring keledai.
Melihat kedatangan lelaki itu, seseorang di antara mereka mengangkat kepalanya
dan berkata, Hai fulan, ini masjid. Kami tidak melihat keledaimu. Syekh Abu
Madyan diam dan menundukkan kepala. Tidak lama kemudian, ia mengangkat
kepalanya dan berkata, Adakah di antara kalian yang sedang jatuh cinta?
Tiba-tiba saja ia berbicara tentang cinta, padahal sebelumnya ia tengah
membahas masalah yang lain. Semua diam, tak ada yang menjawab, karena
tidak mengetahui maksud ucapan Syekh. Mereka saling pandang satu sama
lain. Lalu, Syekh Abu Madyan kembali kepada topik pembicaraan sebelumnya,
menyelesaikannya, dan kemudian menutup majelis.
Setelah itu Syekh bangkit berdiri diikuti oleh murid-muridnya, sementara kepala
mereka merenungkan pertanyaan Syekh, Adakah di antara kalian yang sedang
jatuh cinta? Akhirnya, sebagian mereka berpendapat bahwa dengan pertanyaan
itu Syekh hendak menjelaskan bahwa seorang pecinta pasti mencari kekasihnya
di setiap tempat ke mana pun ia pergi seperti kelakuan lelaki itu yang mencari
keledainya hingga ke dalam masjid.
Terlintas dalam benakku bahwa ia adalah Sayyid Abu Madyan. Aku maju untuk
mencium tangannya. Salm alayk! ujarnya. Aku baru sadar, saat masuk tidak
mengucapkan salam karena tertegun melihat orang yang masuk. Syekh
mengulurkan tangannya yang berbalut kain wol kasar, pakaian khas orang Mesir.
Ketawadukan seperti itu bukan untuk kepentingan diri sendiri seperti yang
dilakukan para pecinta dunia, dan juga bukan untuk mendapat pahala seperti
yang dilakukan para pecinta akhirat. Tawaduk itu semata-mata dengan Allah
dan untuk Allah. Itulah sifat kaum arif.
Penulis al-Najm al-Tsqib menceritakan dari murid utama Syekh Abu Madyan,
yaitu Abu Muhammad Shalih al-Dakkali al-Majidi al-Qurasyi al-Makhzumi, yang
berkata, Ketika aku dan murid-murid lain duduk bersama Syekh Abu Madyan,
tiba-tiba ia menundukkan kepala dan berdoa, Ya Allah, Engkau dan para
malaikat-Mu menjadi saksi, bahwa aku mendengar dan aku taat.
Ketika para murid menanyakan maksudnya, Syekh berkata, Saat ini Sayyid
Abu Muhammad Abdul Qadir al-Jailani naik mimbar di majelisnya di Baghdad,
kemudian berujar, Kakiku ini berada di atas leher setiap wali. Kami diperintah
untuk mendengar dan taat.
Abu Muhammad Shalih melanjutkan, Peristiwa yang terjadi hari itu tidak dapat
kami lupakan. Beberapa hari kemudian, beberapa murid yang baru tiba dari
Baghdad menceritakan bahwa Syekh Abdul Qadir mengucapkan perkataan
tersebut pada hari yang Syekh Abu Madyan menyampaikannya kepada kami.
Meski memiliki kedudukan yang agung, Syekh Abu Madyan sering memuji Abu
Yazi dan memuliakannya sebagai wali yang berada di barisan terdepan. Pujian
seperti itu pulalah yang disampaikan para tokoh sufi lain.
Ibn Shaid mengatakan, Abu Madyan menghafal banyak hadis, terutama yang
terdapat dalam kitab al-Tirmidzi. Ia banyak meriwayatkan hadis-hadis itu dari
gurunya.
Salah satu karamah Sayyid Abu Madyan yang menakjubkan adalah bahwa para
wali pada zamannya meminta fatwa kepadanya mengenai berbagai persoalan
rumit yang tidak dipahami para fukaha. Abu Madyan dapat menjawabnya saat
itu juga, seperti saat ia memberikan jawaban kepada seorang murid yang
bernama Abu Imran Musa al-Shadrani al-Thayyar.
Penulis al-Najm, al-Imam Ibn al-Khathib dan Ibn al-Zayyat berkata, Mereka
semua meriwayatkan dari Abu Abdillah Muhammad ibn Abdul Khaliq ibn
Muhammad al-Tunisi, bahwa Abu Madyan r.a. berkata, Setiap hari ketika fajar
merekah, seseorang datang kepadaku menanyakan berbagai hal yang tidak
dipahami banyak orang.
Saat itu aku sering mendengar kabar tentang seseorang bernama Musa yang
konon bisa berjalan di atas air, terbang di udara, dan memiliki berbagai karamah
lain. Pada suatu malam, terlintas dalam benakku bahwa pagi ini pemilik aneka
karamah itu akan datang kepadaku. Karena itulah aku tak sabar menunggu
datangnya fajar agar segera bertemu dengannya.
Saat fajar tiba, orang itu datang mengetuk pintu. Aku langsung menemuinya.
Ia tanyakan sebuah pertanyaan. Aku menjawab pertanyaannya dan kemudian
balik bertanya kepadanya, Apakah engkau Musa? Ia menjawab Ya. Keajaiban
semacam itu adalah sesuatu yang biasa terjadi di kalangan para wali.
Abu Ali Hasan ibn Badis al-Qasthanthini r.a. berkata, Ketahuilah bahwa Abu
Madyan termasuk orang yang paling dekat kepada Allah, pemuka ahli makrifat,
pemilik berbagai hakikat dan karamah, yang mampu menggabungkan ilmu
hakikat dan syariat. Ia adalah pemimpin di jalan ini. Banyak yang datang berguru
kepadanya, termasuk Sayyid Abdurrahim al-Qanawi, Abu Abdillah al-Qurasy,
dan Abu Muhammad Shalih.
Penulis Hirz al-Atqiy bercerita, Seorang saleh mimpi bertemu Nabi saw. dan
ia bertanya kepada beliau, Wahai Rasulullah, bagaimanakah pendapatmu
tentang Abu Madyan? Rasulullah saw. menjawab, Ia guru para guru.
Syekh Abu Madyan mengambil tarekatnya dari Abu al-Hasan Harazim, dari
Ibn al-Arabi, dari al-Ghazali, dari Abu Thalib al-Makki, dari al-Junaid, serta
dari pamannya, al-Sari al-Saqathi, dari Maruf al-Karkhi, dari Dawud al-Thai,
dari Habib al-Ajami, serta dari Hasan al-Bashri.
Ia juga mengambil tarekat dari Syekh Abu Yazi, yang memberinya khirqah
seperti yang juga diberikan oleh Abu al-Hasan ibn Harazim. Keduanya menerima
dari al-Qadhi Abu Bakr ibn al-Arabi dari al-Imam.
Ia juga mengambil tarekat dari Syekh Abdul Qadir al-Jailani dengan sanadnya
sebagaimana telah disebutkan.
Secara lahiriah dikatakan bahwa Sayyid Abu Yazi menerima tarekat dari
al-Imam Ibn al-Arabi, sementara Ali ibn Harazim menerimanya dari Syekh.
Al-Ustad al-Allamah Abu Jafar Ahmad ibn Ibrahim ibn al-Zubair al-Gharnathi
memberikan komentarnya mengenai Syekh Abu Madyan dalam kitabnya, Hilyah.
Abu al-Shabr al-Fihri bercerita mengenai keterkaitannya dengan beberapa tokoh
sufi. Ia pun menyebutkan sifat zuhud dan makrifat mereka. Ibn Badis dan
beberapa orang lain bercerita tentang kezuhudan Syekh yang selalu memisahkan
diri dari dunia dan memusatkan diri kepada Allah, juga kezuhudan Abu al-Najat
Salim al-Jayjali yang berasal dari Saragosa, tetapi menetap dan wafat di Bijay.
Ada beberapa tokoh terkemuka yang mengambil riwayatnya dari Syekh Abu
Madyan r.a., termasuk Abu Jafar ibn Abdillah ibn Muhammad ibn Sidyunah
al-Khuzai yang menetap di timur Andalusia termasuk wilayah Jativasemoga
Allah mengembalikan wilayah ini kepada Islam.
Abu Muhammad termasuk sufi pemilik maqam tawakal. Ada juga Syekh Abu
Muhammad Abdul Aziz ibn Abu Bakr al-Harawi yang, menurut Abu al-Abbas
Zaruq, dimakamkan di Marsa Eidun. Ia dikenal sebagai sufi pemilik maqam
cinta.
Pada masa itu Syekh Abu Madyan dikenal sebagai Syekh yang paling terkemuka.
Maka mereka bergegas menemuinya karena mereka mengenal hakikat dan
kedalamannya dalam bidang ilmu dan makrifat. Sebelumnya ia juga dapat
memecahkan persoalan yang sulit mereka pahami.
Allah berfirman, Kami akan mewarisi apa yang ia katakan dan ia akan datang
kepada Kami seorang diri. Jadi, ia mendapatkan separuh ketika mati dan
separuhnya lagi diberikan ketika setiap orang mendapatkan kemuliaan dan
kemurahan yang telah Allah siapkan. Allah berfirman, Orang yang takut kepada
kedudukan Tuhannya mendapatkan dua surga.
Syekh Abu Madyan menjelaskan makna hadis itu secara menyeluruh. Makna
serupa terdapat dalam beberapa hadis yang berkaitan dengan pertanyaan dua
malaikat kepada hamba
Syekh Abu Madyan pertama kali dibaiat ke jalan Sufi oleh Syekh Abdullah
al-Daqaq, seorang sufi eksentrik yang sering berkeliaran di jalan-jalan dan
berteriak mengaku-aku dirinya Wali Allah, dan oleh Syekh Abu Hasan al-Salawi,
seorang sufi misterius. Kepada Syekh al-Daqqaq, seorang Wali Allah yang aneh
dan luar biasa, Abu Madyan mendalami kandungan kitab Tasawuf penting,
ar-Risalah karya ABU AL-QASIM AL-QUSYAIRI. Syekh Abu Madyan juga
berteman dan berguru kepada Syekh AHMAD RIFAI, seorang Wali Qutub pendiri
Tarekat Rifaiyyah di Irak. Meski disebut2 ketenaran dan signifikansinya sejajar
dengan Syekh Abdul Qadir Jailani, Syekh Abu Madyan mengakui dan tunduk
pada ucapan syatahat Syekh Abdul Qadir Jailani, Kakiku berada di atas bahu
Awliya Allah dan salah satu riwayat mengatakan beliau menerima ijazah
ruhaniah dari Syekh Abdul Qadir al-Jailani.
Melalui jalur Abu Madyan inilah di kawasan maghribi muncul sufi-sufi besar
yg menjadi poros2 utama kewalian di kawasan maghribi dan sekitarnya. Syekh
Ahmad Rifai, guru dari Syekh ABu Madyan, juga dikenal sebagai sufi yg eksentrik.
Tarekatnya dianggap agak aneh karena cara zikirnya yang terdengar seperti
meraung atau seperti suara gergaji. Pengikut Tarekat Rifaiyyah belakangan lebih
dikenal karena kekuatan dan keajaiban-keajaiban mereka, seperti kebal senjata,
kebal racun dan sebagainya. Tentu saja, efek-efek ini menyebabkan tarekat
ini rawan diselewengkan oleh orang-orang yg tidak bertanggung jawba, sehingga
sebagian sufi secara tegas mengecam penyimpangan tersebut tersebut. Namun
apapun penyelewengan itu, ajaran dan amalan Syekh Ahmad Rifai
sesungguhnya adalah amalan tarekat yang mutabar, atau sesuai dengan Quran
dan Sunnah Nabi.
Jadi pada periode sesudah Syekh ABu Hamid al-Ghazali ini mulai berkembang
bentuk baru organisasi tarekat yang strukturnya lebih kompleks. Perkembangan
ini barangkali adalah keniscayaan sebab pada masa itu mulai banyak sekali
orang Islam yg menempuh jalan ruhani (tasawuf). Sebagaimana lazimnya
sesuatu yang menjadi besar, selalu ada penyimpangan-penyimpangan yg
dilakukan oleh sufi-sufi palsu. Karenanya, sebagian syekh Sufi merasa perlu
melembagakan ajarannya dalam satu wadah di mana otoritas mursyid yg
kamil-mukammil bertindak sebagai pembimbing sekaligus penjaga agar pengikut
mereka tidak menyeleweng. Tetapi itu bukan berarti bahwa sufi-sufi yang berada
di luar organisasi tarekat tidak menjalankan amalan tarekat sebab tarekat
dalam pengertian yg lebih umum adalah Jalan ruhani itu sendiri.
Kaum sufi, baik di dalam dan di luar organisasi tarekat, berdasar fakta sejarah
sesungguhnya berperan penting dalam pengembangan potensi ekonomi, sosial,
poliitk dan ilmu pengetahuan di dalam peradaban Islam. Namun peran sosial
mereka yg penting itu sering terlupakan, atau sengaja disembunyikan oleh
kelompok anti-Tasawuf terutama karena kebanyakan pengikut tarekat atau
sufi yang terkenal lebih menonjol dalam bidang keruhanian dan lebih ketat dalam
menjalani kehidupan yg zuhud, serta karena karamah-karamah mereka lebih
memikat untuk dikisahkan ketimbang peran ekononi dan sosial-politik
mereka.Peran-peransosial atau peran horisontal mereka semakin jelas dalam
perkembangan sesudah tahun 1100-an M.
Pada tanggal 28 Juli 1165 lahirlah seorang anak manusia yang kemudian dikenal
sebagai Muhammad ibn Ali ibn Muhammad ibn al Arabi al Tai al Hatimi atau
lebih populer dengan nama Ibn Arabi. Beliau dikemudian hari lebih dikenal
sebagai seoarang sufi dari andalusia, dan diberi gelar Muhyidin (Penghidup
agama) dan Syaikh al Akbar (Syaikh Agung). Karya karya yang lahir darinya
terutama dari dua kitabnya yang monumental Fushush al Hikam dan Futuhat
al Makkiyyah telah mempengaruhi sudut pandang kaum muslimin dalam
memahami agamanya, yang diridhai Allah (Islam). Pemikiran Ibn Arabi adalah
pemikiran yang telah mempengaruhi salah satu cara pandang kita dalam melihat
otosentisitas Islam (Tauhid).
Gagasan gagasan dasar ajaran Ibn Arabi telah menimbulkan reaksi yang luas
di kalangan kaum muslimin, yang pro maupun yang kontra. Yang tidak setuju
menuduh bahwa ajarannya merupakan panteisme. Yang pro justru menganggap
ajaran ini merupakan ajaran yang tinggi dan sangat radikal dalam interpretasinya
mengenai tauhid. Ibn Arabi lebih dikenal sebagai tokoh ajaran wahdatul wujud,
yang sering disalah tafsirkan sebagai ajaran yang menekankan pada aspek
imanensi mutlak Tuhan.
Dalam doktrin wahdat al wujud Tuhan betul betul esa karena tidak ada wujud,
yaitu wujud hakiki kecuali Tuhan; wujud hanya milik Tuhan. Alam tidak lebih
dari penampakan Nya. Doktrin ini mengakui hanya satu wujud atau realitas
karena mengakui dua jenis wujud atau realitas yang sama sekali independen
berarti memberikan tempat kepada syirik atau politeisme. Doktrin wahdat al wujud
ibn Arabi mempunyai posisi yang kuat karena didukung oleh atau bersumber
dari ayat ayat Al Quran dan Hadis Nabi saw.
Wahdat al Wujud Menurut Syaikh Akbar Ibnu al Arabi benar benar merupakan
pemikiran genius di zamannya. Karya karyanya telah membuktikan hal itu. Ibn
al Arabi mengungkapkan ajaran ajaran dan berbagai pandangan genarasi sufi
yang mendahuluinya secara sistematis dan rinci. Ibn Arabi adalah jembatan
atau penghubung antar dua fase historis Islam dan tasawuf dan penghubung
antara tasawuf Barat dan Timur.
Menurut Ibn Arabi, dalam hadis Qudsi, Allah berfirman, Aku adalah harta
simpanan tersembunyi, karena itu Aku rindu untuk dikenal. Maka aku ciptakan
makhluk, sehingga melalui Ku mereka mengenal Ku. [hadits Qudsi] Allah adalah
harta simpanan tersembunyi (kanz makhfiyan), yang tidak dapat dikenal kecuali
melalui alam. Maka alam adalah cermin bagi Tuhan, yang dengannya Ia
mengenal dan memperkenalkan Wajah Nya. Kanz makhfi, dengan demikian
adalah Yang Tersembunyi dari Yang Tersembunyi, Dzaat, yang tidak dapat
dijangkau oleh siapapun ditinjau dari segi Dzaat Nya. Misteri Dzaat, yang
tersembunyi ini berakibat kerinduan dan kesepian. Dalam kerinduan dan
kesepian primordial ini membuat Dia rindu untuk dikenal. Maka Ia pun ber
tajalli. Tajalli Al Haqq adalah penampakan diri Nya dengan menciptakan alam.
Tajalli Al Haqq terjadi dalam bentuk bentuk yang tidak terbatas jumlahnya. Alam
berubah setiap saat, terus menerus tanpa henti. Setiap waktu Dia dalam
kesibukan (Q.S.55;29). Seperti yang dikatakan oleh Ibn Arabi; Sesungguhnya
Allah Subhanahu selama lamanya tidak melakukan tajalli dalam satu bentuk
bagi dua individu atau pribadi, dan tidak pula dalam satu bentuk dua kali.
Tajalli Nya adalah pemberian Nya yang telah ditetapkan sejak Azali, persis
seperti yang ada dalam Ayan tsabitah, Pengetahuan Abadi dalam Hakikat Tuhan.
Jadi hakikat yang sebenarnya dari setiap segala sesuatu yang berasal dari
tajaliyyat Nya selalu ada, yakni dari dalam kedalaman batin Wujud Nya (Potensi
Abadi Nya), yang merupakan Ilmu Nya (pengetahuan Nya) yang tetap dan
abadi (ayan tsabitah). Dari sudut padang ini, dunia pada hakekatnya merupakan
perwujudan (manifestasi) Tuhan, namun dalam Diri Nya, yakni dalam Dzat Nya,
Dia terlepas dari setiap perwujudan itu sendiri. Ayan tsabitah pada dasarnya
hanyalah potensi abadi yang karena sifatnya itu ia bisa menjadi aktual atau
bisa juga tidak. Karenanya, Kemungkinan (Potensialitas) itulah yang
sesungguhnya nyata. Dan karena itulah, ayan tsabita tetap tidak berubah dan
tidak ada secara aktual dalam ilmu Tuhan. Meskipun disifati dengan
kepermanenan, ia tidak disifati dengan wujud, yakni ia tetap dalam keadaan
yang disifati dengan ketiadaan yang dimiliki oleh yang mungkin, bukan oleh
yang tidak mungkin. Jadi, Ayan tsabita, dalam ketiadaannya siap menerima
wujud. (Fusus al Hikam). Dalam Futuhat al Makiyyah mengenai hal ini dikatakan:
Ilmu Al Haqq tentang Diri Nya sama dengan ilmu Nya tentang alam karena
alam selama lamanya disaksikan Nya, meskipun alam disifati dengan ketiadaan.
Sedangkan alam tidak disaksikan oleh dirinya [sendiri] karena ia tidak ada.
Ini adalah lautan tempat binasanya para pemikir teoritis, yaitu orang orang yang
tidak diberi kasyaf. Diri Nya selama lamanya ada, maka ilmu Nya selama lamanya
ada pula. Ilmu Nya tentang Diri Nya adalah ilmu Nya tentang alam;karena itu
ilmu Nya tentang alam selama lamanya ada. Jadi Dia mengetahui alam dalam
ketiadaannya. Dia mewujudkan alam menurut bentuk Nya dalam ilmu Nya.
Karena itu, alam tidak pernah ada diluar Tuhan yakni; tidak ada dalam wujud
kecuali Allah dan sifat sifat dari ayan, dan tidak ada sesuatu pun dalam adam
[ketiadaan] kecuali entitas entitas mumkinat (kemungkinan) yang dipersiapkan
untuk diberi wujud. (Futuhat)
Allah Taala berfirman, Laysa kamitslihi bi syai, maka dengan demikian Dia
menyatakan Tanzih Nya; wa huwa al samial bashir, maka dengan demikian
Dia menyatakan Tasybih Nya.