Anda di halaman 1dari 40

Sejarah Wali Abdal

Dalam al-Maazi disebutkan bahwa ia adalah al-Syaikh al-Arif, al-Shiddiq


al-Akbar, Abu Madyan Syuaib ibn al-Husain al-Anshari. Ia berasal dari
Qutniyanah Sevilla Spanyol beliau tinggal beberapa lama di Jayy, dan kemudian
mengajak para pengikutnya pindah ke Marakis. Ia meninggal dunia sebelum
tiba di tempat tujuannya, dan dimakamkan di dekat kota itu.

Kami berpendapat bahwa ia meninggal di lembah dekat Tilmisan yang pernah


ia datangi pada 594 H. Sebagian mengatakan ia pernah ke sana pada 588
H. Namun, pendapat pertama lebih populer. Ia dikebumikan di daerah Abad,
dekat Tilmisan. Pendapat ini di antaranya dituturkan oleh al-Tadili.
Abu al-Shabr Ayyub ibn Abdillah al-Fihri ketika memperkenalkan Syekh Abu
Madyan berkata, Ia seorang zahid yang mulia dan mengenal Allah.
Ia juga berkata, Syekh adalah seorang zahid, warak, dan berpengetahuan luas.
Ia mengarungi lautan ahwal (kondisi ruhani) serta mendapatkan berbagai rahasia
makrifat, terutama maqam tawakal. Tidak ada yang sama dengannya dan
jejaknya dikenal banyak orang.
Dalam kesempatan lain ia mengatakan, Pengetahuannya luas, selalu menjaga
murqabah, dan setiap saat menghadap kepada Allah dengan hatinya sehingga
keadaan itu menjadi salah satu cirinya.

Sementara, Abu al-Abbas Zaruq berkata, Ia selalu memasuki kondisi khalwat


dengan kalimat l ilha illallh wahdahu l syarka lahu. Lahu al-Mulk wa lahu
al-hamd yuhy wa yumtu wa huwa al kulli syayin qadr.
Ia memiliki keistimewaan dalam maqam tawakal. Karena itu, tidak ada yang
sama dengannya dan kedudukannya sulit ditandingi.

Ketika bercerita tentang Syekh Abu Madyan, penulis al-Najm berkata, Sayyid
Abu Madyan adalah pemimpin para arif dan teladan para salik. Ia adalah tokoh
istimewa dan wali Allah yang berada di garis terdepan. Allah menghimpun pada
dirinya ilmu syariat dan hakikat. Dengannya Allah terangi rambu-rambu tarekat.
Allah menjadikannya sebagai salah satu pilar alam maujud. Ia dimunculkan di
wilayah Maroko sebagai pemberi petunjuk dan penyeru seluruh makhluk.
Murid-muridnya datang dari berbagai penjuru dunia hingga ia dikenal dengan
gelar Syaikh al-Syuykh (mahaguru).
Ibn Badis, Ibn al-Khatib, Ibn al-Zayyat dan para pengagumnya yang lain
mengatakan, Lewat tangannya lahir seribu syekh yang merupakan wali Allah.
Mereka semua memiliki karamah dan doa mereka mustajab.
Kami hendak menyebutkan sebagian gambaran yang mereka tuturkan dengan
harapan semoga kita mendapat berkah dari jejak-jejak mereka itu:
Apabila tokoh-tokoh dari Andalusia disebutkan, sang guru berkata, Orang
Andalusia terbaik adalah Syuaib.
Abu Madyan memiliki berkah dan berbagai karamah yang menakjubkan. Ia sering
mengunjungi majelis para ulama.

Al-Tadili meriwayatkan dari Muhammad ibn Ibrahim ibn Muhammad al-Anshari


yang mendengar Abu Madyan bercerita tentang awal mula kehidupannya: Aku
seorang yatim dari Andalusia. Saudara-saudaraku mempekerjakanku sebagai
gembala ternak mereka. Setiap kali melihat orang yang shalat atau membaca
Al-Quran, aku selalu tertarik dan terpesona. Maka, aku mendekati dan
memperhatikan mereka. Tetapi aku sering kali berduka lantaran tidak hafal
Al-Quran dan tidak tahu cara shalat. Ketika itulah muncul tekad kuat dalam
diriku untuk meninggalkan gembalaan agar bisa belajar Al-Quran dan shalat.
Saat aku berlari meninggalkan gembalaan, salah seorang saudaraku berlari
mengejarku, mengacungkan tombak, dan berteriak, Demi Allah, kalau tidak
kembali, kau akan kubunuh. Mendengar ancamannya, aku berhenti dan
memutuskan menetap kembali di sana beberapa waktu. Namun, aku telah
bertekad meninggalkan tempat itu. Suatu malam aku pergi lewat jalan lain.
Namun, saat matahari baru terbit, saudaraku berhasil mengejarku. Ia berkata,
Demi Allah, akan kubunuh kau agar aku merasa tenang. Ia mengangkat
pedangnya tinggi-tinggi lalu menyabetkannya kepadaku. Kutangkis sabetan
pedangnya itu dengan tanganku. Aku tersentak kaget, pedang itu hancur
berantakan.
Menyaksikan keanehan itu, saudaraku menangis dan berkata, Hai saudaraku!
Pergilah ke mana pun kausuka. Tanpa pikir panjang lagi, aku pergi
meninggalkannya menuju laut, lalu menyeberang ke Thanja. Aku bergerak
menuju pelabuhan Ceuta dan bekerja sebagai buruh untuk sejumlah nelayan.
Setelah beberapa lama, aku pergi berlayar ke Marakis.

Ia melanjutkan kisahnya, Setibanya di pantai, aku melihat sebuah kemah besar.


Lalu, tiba-tiba seorang laki-laki keluar dari kemah itu menemuiku. Ia menyangka
aku melarikan diri dari agama Nasrani. Setelah beberapa lama mengobrol, ia
lemparkan kail ke laut memancing ikan. Saat mendapatkan ikan, ia langsung
membersihkannya dan memberikannya kepadaku. Aku menerimanya dengan
senang hati dan memakannya. Setiap kali aku merasa lapar, ia melakukan hal
serupa.
Setelah itu ia berkata, Hai Fulan, sepertinya kau punya tujuan tertentu datang
ke sini. Ketahuilah, Allah tidak boleh disembah tanpa ilmu. Karena itu, pergilah
ke kota untuk belajar agama.
Maka, aku segera berjalan menuju kota Sala, kemudian ke Marakis. Saat tiba
di Andalusia, penduduknya mendaftarkanku menjadi tentara.

Beberapa lama bergabung dengan pasukan, mereka hanya memberiku sedikit


jatah makan, sementara mereka sendiri makan sepuasnya.
Beberapa orang bijak yang kutemui di sana memberi nasihat, Jika kau ingin
fokus beribadah, kau harus pergi ke kota Fes. Karena memang itu telah menjadi
tujuanku, aku segera pergi ke sana meninggalkan barak tentara. Kuhabiskan
sebagian besar waktuku untuk belajar dan beribadah di masjid al-Qurawiyyin.
Di sanalah aku belajar wudu dan shalat. Aku tak pernah absen menghadiri
majelis ilmu yang digelar di sana. Namun, meski banyak ulama yang
menyampaikan nasihat dan peringatan, tak seorang pun berkesan di hatiku
hingga aku mendengar ceramah seorang syekh yang menggugah jiwaku.

Ketika kutanyakan kepada orang-orang tentang syekh itu, mereka menjawab,


Ia Abu al-Hasan ibn Harzahem. Setelah mengenal namanya, aku berusaha
menemuinya dan kusampaikan kepadanya bahwa yang kuhafal hanyalah yang
kudengar darinya. Syekh berkata, Kebanyakan orang hanya berbicara dengan
lisan sehingga ucapannya cuma sampai ke telinga. Sementara, tujuan ucapanku
adalah Allah sehingga keluar dari hati dan masuk ke hati. Syekh kemudian
bercerita tentang kunjungannya kepada Abu Yazi. Itulah penuturan Syekh Abu
Madyan mengenai pertemuannya dengan Abu al-Hasan.
Syekh Abu Madyan mendampingi dan mengikuti Abu Ali Hasan ibn Muhammad
al-Ghafiqi al-Shawwaf selama tiga puluh tahun. Ia tak pernah meninggalkannya
sehingga Syekh Abu Ali Hasan meninggal dunia.

Ibn al-Zayyat menuturkan bahwa ia mendengar Syekh Abu Madyan bercerita,


Ketika menetap di Qutniyanah, muncul hasrat besar dalam diriku untuk
meninggalkan dunia. Maka aku pun berjalan menuju laut Maghrib selama tiga
atau empat hari. Di tengah lautan aku melihat pulau kecil yang di atasnya
berdiri sebuah kemah. Dari kemah itu keluar seorang syekh berjubah
mendatangiku. Ia menatapku tajam dan menyangka aku tawanan yang lari dari
negeri Romawi. Ia bertanya tentang diri juga asal-usulku dan kuceritakan
semuanya termasuk peristiwa terbaru yang kualami. Kemudian ia mengambil
seutas tali dengan kail di ujungnya, lalu melemparkannya ke laut. Tak lama
berselang ia berhasil mendapatkan ikan dan memberikannya kepadaku. Aku
menerima dan memakannya. Aku tinggal bersamanya selama tiga hari.

Setiap kali aku merasa lapar, ia lemparkan pancingnya hingga mendapatkan


ikan untuk kumakan. Setelah itu ia berkata kepadaku, Kelihatannya kau sedang
menghendaki sesuatu. Kembalilah ke kota. Allah hanya disembah dengan
landasan ilmu. Maka aku kembali ke Sevilla, kemudian ke Seres dan dari sana
menuju pulau hijau. Kuseberangi lautan untuk mencapai pelabuhan Ceuta. Dari
sana aku bergerak ke Fes, dan di sanalah aku bertemu dengan beberapa syekh.
Aku mendapatkan pelajaran Riyah al-Muhsibi dan Ihy Ulm al-Dn dari
Syekh Abu al-Hasan ibn Hazrahem. Aku juga mempelajari kitab al-Sunan karya
Abu Isa al-Tirmidzi dari Abu al-Hasan Ali ibn Ghalib. Aku belajar tasawuf dari
Abu Abdillah al-Daqqaq dan Abu al-Hasan al-Salawi.
Dalam tulisan yang lain Syekh berkata, Aku mengenakan khirqah dari Abu
Yazi, yang ia kenakan dari gurunya, Abu Syuaib, sementara yang terakhir
mengenakan khirqah dari beberapa orang gurunya.

Menurut mereka, kelompok-kelompok sufi terbagi dua. Pertama, orang yang


hanya sebatas berguru dan meneladani. Kedua, berguru, meneladani,
mengenakan khirqah, serta mendiktekan zikir dan berjabat tangan.
Jadi, orang yang mengingkarinya hanyalah orang yang bodoh dan tidak pernah
bersentuhan atau mengenal jalan ini.

Syekh Abu Madyan berkata, Aku menetap di Fes untuk mempelajari satu ayat
Al-Quran dan hadis. Setelah belajar, aku menuju sebuah tempat di pegunungan
yang arahnya tembus ke pantai. Di tempat itulah aku mengamalkan ayat dan
hadis yang kupelajari. Setelah itu aku kembali ke Fes untuk mempelajari satu
ayat dan hadis yang kemudian kembali kuamalkan. Tempat yang kutinggali di
pegunungan itu berupa bangunan yang sudah rusak. Hanya ruangan tempat
shalat yang tersisa dari bangunan itu. Setiap kali aku duduk di dalam tempat
shalat itu seekor kijang betina datang menghampiri. Aku tidak tahu, mungkin
kijang itu tadinya mencari pemilik bangunan ini yang sudah pergi. Mungkin kijang
itu terus datang ke sana karena merasa nyaman, atau mungkinkah ia sengaja
datang kepadaku?! Entahlah, tetapi yang jelas kijang itu selalu datang setiap
kali aku berada di sana. Ia mencium tubuhku dari atas sampai bawah kemudian
merebahkan diri di hadapanku. Pada hari Kamis aku pergi ke Fes dan malam
Jumat menginap di sana. Suatu hari aku bertemu seorang dari Andalusia, Abu
Abdillah ibn Abi Haj. Kutanyakan kepadanya tentang pakaianku yang ada
padanya. Ia bertanya, Apa yang hendak kaulakukan dengan pakaian itu?

Aku ingin menjualnya dan uangnya akan kuberikan kepada seseorang sebagai
jamuan untuknya.
Ia menjawab, Ambillah sepuluh dirham ini dan berikanlah kepadanya!
Setelah menerima uang itu aku mencari orang yang kumaksud, tetapi aku tak
melihatnya. Akhirnya, uang itu kusimpan dalam sebuah kantong, tergantung
di ikat pinggangku.

Dalam sejumlah riwayat disebutkan, Kupegang uang itu, kemudian aku pergi
ke tempatku di pegunungan melewati sebuah desa yang di dalamnya banyak
anjing. Semakin dekat ke desa itu, semakin nyaring bunyi gonggongan anjing
yang kudengar. Saat memasuki desa itu, anjing-anjing serabutan seperti hendak
menyerangku. Mereka menyalak keras. Untung saja penduduk desa
melindungiku hingga aku bisa meneruskan perjalanan dan sampai di tempatku
di pegunungan. Setibanya di bangunan rusak itu, kijang betina kembali datang
menciumku. Tetapi ia segera menjauhiku dengan sorot mata tidak bersahabat.
Lalu ia kembali datang untuk kedua dan ketiga kali, tetapi langsung menandukku.

Kuterima tanduknya dengan tanganku, dan kijang itu pun berbalik pergi. Aku
merenung memikirkan tingkah kijang itu yang tak seperti biasanya, begitu pula
anjing-anjing di desa tadi yang tidak bersahabat. Setelah lama berpikir, aku
baru sadar, semua itu terjadi lantaran uang yang tergantung di ikat pinggangku.
Maka, aku langsung melepas kantong itu dan melemparnya ke sebuah sudut.
Kijang itu kembali datang, menatapku, dan merebahkan tubuhnya seperti biasa.
Aku bermalam di tempat itu. Keesokan paginya, aku mengambil kantong uang
itu lalu kubawa kembali ke Fes.

Setibanya di sana, aku segera mencari orang yang berhak atas uang itu. Setelah
kutemukan orang itu, aku segera memberikan kantong uang itu dan aku pun
kembali pulang ke tempatku di gunung. Aku kembali melewati desa yang banyak
anjing, tetapi anjing-anjing itu terlihat jinak. Mereka hanya memandang ke arahku
sambil mengibas-kibaskan ekor, tak ada seekor pun yang menyalak keras ke
arahku hingga aku tiba di gunung. Kijang itu juga datang menghampiri. Ia
menciumku dari bawah hingga ke kaki. Setelah itu ia merebahkan diri di
depanku.
Syekh Abu Madyan mengalami begitu banyak mujahadat dan perjuangan,
terutama dalam hal tawakal. Ia juga memiliki banyak karamah.
Abu Ali Hasan ibn Muhammad al-Ghafiqi al-Shawwaf mendengar Abu Madyan
berkata, Orang yang mencari karamah sama seperti penyembah berhala. Ia
mengerjakan shalat hanya untuk melihat karamah.

Ia berkata, Aku melihat orang yang wushul hanya dalam enam bulan. Ketika
dikatakan kepadanya sejumlah rintangan seperti yang disebutkan oleh Hujjatul
Islam dalam Minhj al-Abidn, ia bilang, Aku telah melihat orang yang
menempuhnya dalam tujuh puluh tahun. Ia menempuh setiap rintangan darinya
dalam waktu sepuluh tahun. Namun, aku juga melihat orang yang melewati
seluruh rintangan hanya dalam waktu satu jam. Ibrahim ibn Adham, misalnya,
hanya melewatinya dalam waktu satu jam berkat taufik dari Allah.

Al-Tadili meriwayatkan dari Abu Abdillah Muhammad ibn Khalish dari Abu
al-Rabi al-Madyuni yang berkata, Seorang ahli mukasyafah mendatangi
murid-murid Abu Madyan. Ada beberapa hal yang tidak disukainya dari mereka
yang kemudian ia laporkan kepada Abu Madyan.
Setelah orang itu pergi, Abu Madyan berkata kepada murid-muridnya,
Biarkanlah ia. Anugerah yang diberikan kepadanya akan hilang. Ternyata
mukasyafah yang ia miliki lenyap. Nadzu billh. Orang itu kembali menjadi
kalangan biasa.
Ia menjadikan Ihy Ulm al-Dn sebagai bacaan utamanya. Buku Rislah
al-Qusyairiyyah juga selalu dibacakan di hadapannya sehingga berbagai jenis
ilmu ladunni terlimpah kepadanya.

Suatu hari, seperti diceritakan orang yang bisa dipercaya, di sebuah majelis
ketika seseorang hendak membaca sebagaimana biasanya, Syekh berkata,
Tunggu sebentar! Lalu, ia berpaling kepada seseorang yang ternyata datang
untuk menyanggah dan mengkritik Syekh. Apa maksud kedatanganmu? tanya
Syekh.
Orang itu menjawab, Aku datang untuk mereguk sebagian cahayamu.
Apa isi bungkusanmu itu? tanya Syekh lagi.
Mushaf.
Keluarkan!
Orang itu mengeluarkan mushaf dari kantongnya. Abu Madyan berkata, Bacalah
baris pertama! Ia membuka dan membaca baris pertama: orang-orang yang
mendustakan Syuaib itulah yang merugi.

Syekh Abu Madyan berujar, Apakah ayat ini tidak cukup bagimu? Orang itu
akhirnya bertobat.
Ketika keinginannya untuk belajar kepada para syekh terpenuhi, mata hatinya
terbuka, jiwanya bersinar, dan ia mendapat petunjuk dari Tuhan. Dan saat
beberapa gurunya meninggal dunia, ia pindah ke daerah timur. Ia berjumpa
dengan beberapa syekh lain, mereguk cahaya mereka, mengambil pelajaran
dari para zahid di antara mereka, serta mendapat banyak ilmu dari para alim
dan para wali.

Kemudian ia dipertemukan dengan seorang syekh yang mulia, yang fasih


berbicara dan menulis, yang kokoh hati dan langkahnya, pemimpin para arif,
Abu Muhammad Abdul Qadir al-Jailani. Ia belajar banyak hadis darinya di tanah
suci. Syekh Abdul Qadir menganugerahinya pakaian tasawuf,
menyingkapkan untuknya banyak rahasia, serta menghiasinya dengan busana
cahayanya.

Diceritakan bahwa Sayyid Abu Madyan sangat bangga bisa bersahabat dengan
Sayyid Abdul Qadir, yang ia anggap sebagai salah satu guru utamanya. Setelah
itu, Abu Madyan kembali ke Timur, tempat cahayanya semakin terang bersinar.
Ia sering pulang pergi ke Afrika hingga akhirnya menetap di Bijayah. Allah
membuatnya suka tinggal di kota itu.

Ia berkomentar, Kota ini membantuku mendapatkan sesuatu yang halal.


Penulis kitab al-Najm berkata, Abu Madyan rahimahullh termasuk pemimpin
ulama dan penghafal hadis. Ia dapat menjawab berbagai fatwa dalam Mazhab
Maliki yang ditanyakan kepadanya.
Ia memiliki sebuah majelis ilmu tempatnya menyampaikan berbagai nasihat
kepada jamaah yang datang dari berbagai penjuru. Dikisahkan bahwa
kadang-kadang ketika ia berbicara dan ada burung yang lewat, burung itu
berhenti di udara. Ada sebagian burung itu yang mati dan jatuh ke tanah, dan
banyak pula yang mati di majelisnya.

Dikisahkan pula bahwa ketika membaca Al-Quran, Syekh Abu Madyan tidak
melampaui surah al-Mulk, karena rasa takutnya yang sangat besar kepada
Allah sehingga tak kuasa melanjutkannya.
Gurunya, Sayyid Abu Yazi bercerita, Ia pernah membaca sampai akhir surah
al-Zalzalah. Ketika bacaannya sampai pada ayat, Siapa yang melakukan amal
kebaikan meski seberat biji sawi, niscaya ia akan mendapat balasannya.
Sebaliknya, siapa yang melakukan keburukan meski seberat biji sawi, niscaya
ia akan mendapatkan balasannya, ia berkata, Cukuplah itu bagiku.

Ketika Syekh Abu Madyan menetap di Bijayah, para ulama, pejabat, dan
pembesar setempat mendatanginya. Mereka mengetahui ketinggian ahwal, ilmu,
dan pandangannya. Tetapi ada seorang alim yang tidak pernah mendatanginya,
yaitu Abu Muhammad Abdul Haq al-Asybili. Ia dikenal sebagai pemuka ahli
ilmu, hadis, dan nasihat. Ia juga menulis beberapa buku, di antaranya al-Ahkm
al-Kubr wa al-Shugr f al-Hadts, dan al-qibah f al-Tadzkr.

Ia berkata, Dari sisi ilmu, ia bersama kami, tetapi dari sisi amal, kami masih
harus berjuang untuk mengikutinya.

Suatu ketika ia bermimpi melihat Nabi saw. berkata kepadanya, Temuilah Abu
Madyan dan bacalah Al-Quran di hadapannya.
Ketika bangun ia mengucap, Subhnallh. Aku bisa membaca Al-Quran dengan
tujuh bacaan, menghafal tafsir beserta penjelasannya, dan juga menghafal
banyak hadis. Mengapa aku bermimpi seperti ini? Maka, ia menunggu apa
yang akan terjadi selanjutnya.
Pada malam kedua ia kembali bermimpi bertemu Nabi saw. yang mengucapkan
perintah serupa. Begitu pun pada malam ketiga. Ia langsung bangun
membulatkan tekadnya, dan berkata, Tentu ini petunjuk dari Allah. Kemudian
ia pergi menemui seorang Syekh ahli fikih, al-Qadhi al-Shalih Abu Ali Abdul
Haq al-Musayli, penulis al-Tadzkirah dan buku-buku ushuluddin. Keduanya
memang bersahabat dalam hal agama, ilmu, dan amal. Mereka pun bersaudara
dalam urusan zuhud, keyakinan, dan peneladanan terhadap para salaf saleh.
Mereka bersepakat menemui Abu Madyan dan mendengarkan ucapannya.
Keduanya telah mendengar sejumlah pengetahuan yang asing, pemahaman
yang menakjubkan, dan rahasia makrifat tersembunyi yang berasal darinya.
Mereka ingin mengetahui langsung apa yang terdapat padanya.

Keduanya segera beranjak pergi menuju masjid tempat Abu Madyan duduk
bersama beberapa murid khususnya. Mereka masuk dan melihatnya sedang
membahas sejumlah hal. Ia mengeluarkan mutiara dari kedalaman laut. Mereka
mengenali keutamaan Syekh Abu Madyan, tetapi belum mengetahui
kedudukannya. Kemudian mereka mengucapkan salam dan duduk di dalam
majelis.
Ketika majelis itu bubar dan ditutup doa, mereka bangkit dan mengucapkan
salam kepada Syekh Abu Madyan, yang langsung berujar, Orang ini, Abu
Muhammad Abdul Haq al-Isybili, adalah seorang fakih,. Sementara orang kedua
adalah Abu Ali al-Musayli.

Benar, jawab mereka, Kami mendengar engkau membaca Al-Quran tidak


melampaui surah al-Mulk.
Syekh menjawab, Itu adalah surahku. Andaikata aku melampauinya, tentu aku
akan terbakar. Kemudian Syekh berpaling kepada orang-orang yang berkata
dengan bahasa tasawuf, Ucapkan dengan-Ku. Tunjukkan kepada-Ku. Dan
Seluruhnya adalah Aku.

Setelah itu Syekh pergi meninggalkan keduanya. Kini, mereka telah mengetahui
keutamaannya.
Mereka tahu bahwa Allah memiliki sejumlah anugerah yang tidak bisa ditampung
semata-mata dengan upaya manusia. Semua keutamaan berada di tangan Allah
yang Dia berikan kepada siapa yang Dia kehendaki. Syekh Abdul Haqq
mendatanginya dengan niat tulus, dan ketika mereka bertemu, Syekh Abu
Madyan menampakkan mukasyafahnya dan berkata, Nabi saw. menyuruhmu
membacakan Al-Quran di hadapanku. Maka, Syekh Abdul Haqq membaca
basmalah dan membaca surat al-Fatihah sampai habis.

Syekh Abu Madyan berkomentar, Bacalah dengan tujuh bacaan berbeda.


Syekh Abdul Haqq tuntas membaca, Syekh Abu Madyan berkata, Jelaskan
tafsirnya kepadaku.
Syekh Abdul Haqq menafsirkannya dari berbagai sisi hingga mencapai ayat,
Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami meminta.

Syekh Abu Madyan berkomentar, Jika kau meminta kepada Allah, tentu kau
tidak akan meminta kepada raja dan menteri.

Abu Muhammad Abdul Haqq mengucapkan sesuatu, memotong pembicaraannya


sehingga Syekh Abu Madyan berujar keras, Jika kau ingin belajar, perhatikan
dan sibukkan dirimu dengan sesuatu yang berguna. Diamlah di rumah! Allah
pasti akan mencukupimu dan membuatmu tidak butuh kepada seluruh makhluk.

Engkau benar, jawab Syekh Abdul Haqq. Kemudian ia beranjak pergi dan
berniat menjalankan nasihat Syekh Abu Madyan.
Diriwayatkan bahwa gubernur dan menteri datang berkunjung ke kota Abu
Muhammad, tetapi ia tidak pergi menemui kedua pejabat itu seperti yang biasa
dilakukannya di masa lalu. Maka, kedua pejabat itu bertanya kepada orang-orang
mengenai sikap Syekh Abdul Haqq. Seseorang yang dengki kepadanya berujar,
Abdul Haqq bersikap sombong kepada penguasa.
Tetapi sang gubernur berkata, Ilmu memang harus didatangi, tidak datang
sendiri. Karena itulah si gubernur itu pun mendatangi Abu Muhammad di
rumahnya.
Sejak saat itu, setiap kali Abu Muhammad mendatangi Syekh Abu Madyan,
ia mendapatkan sejumlah anugerah Tuhan, ilmu laduni, dan berbagai hal
menakjubkan lainnya, yang sebagiannya disebutkan Ibn al-Arabi al-Hatimi yang
dikenal dengan Ibn Suraqah.

Kisah tentang mimpi itu diceritakan oleh Abu Zaid Abdurrahman al-Tanmili
al-Fihri yang dikenal dengan nama al-Farmi. Syekh Abu Madyan memiliki
ungkapan terkenal dalam bidang tasawuf yang kemudian disusun oleh para
imam.

Di antara ucapannya adalah sebagai berikut:

Apabila kau melihat orang yang mengaku sedang bersama Allah, sementara
lahiriahnya tidak menunjukkan tanda-tanda kebersamaan dengan-Nya maka
kau harus berhati-hati kepadanya!
Akhlak yang baik adalah memperlakukan setiap orang dengan sesuatu yang
menyenangkan dan tidak membuatnya kesal. Akhlak kepada ulama adalah
menjadi pendengar yang baik dan menunjukkan rasa butuh. Akhlak kepada
ahli makrifat adalah diam dan sabar menunggu. Akhlak kepada orang yang
memiliki kedudukan mulia adalah menunjukkan tauhid dan kondisi papa.
Allah Swt. mengetahui segala rahasia dan apa yang tersembunyi pada setiap
jiwa. Hati siapa pun yang lebih mengutamakan-Nya akan dijaga dari berbagai
ujian dan fitnah.

Ketika ditanya tentang sikap pasrah, ia berkata, Pasrah adalah membiarkan


jiwa berada dalam wilayah keputusan-Nya serta tidak mengasihaninya lantaran
ujian dan derita.
Orang yang diberi kenikmatan munajat, hilanglah keinginan untuk beristirahat.
Orang yang sibuk mencari dunia akan diuji dengan kehinaan di dalamnya.
Allah menjadikan hati pecinta dunia sebagai tempat kelalaian dan bisikan.
Sebaliknya, Allah menjadikan hati para arif sebagai tempat zikir dan kesenangan
bersama-Nya.
Orang yang mengenali dirinya tidak akan tertipu pujian manusia.
Orang yang melayani para saleh derajatnya akan naik. Sementara, orang yang
tidak menghormati mereka, Allah akan membuatnya dimurkai oleh
makhluk-Nya.
Pecinta dunia dilayani para budak dan gendak, sementara pecinta akhirat
dilayani orang-orang yang merdeka dan mulia.

Duka dan kesedihan orang yang bermaksiat lebih baik daripada kesombongan
orang yang taat.
Tanda ikhlas adalah kau tidak melihat makhluk, karena kau menyaksikan Allah.

Orang arif selalu naik, bertemu lathifah yang berharga, tidak menoleh kepada
apa pun. Ia tak puas dengan Kabah; ia hanya puas dengan Pemilik Kabah.

Ketika ditanya tentang cinta, ia menjawab, Awalnya berupa ingat terus-menerus,


pertengahannya menikmati zat yang diingat, dan ujungnya hanya melihat Allah.
Ketika ditanya tentang sosok Syekh yang mencapai hakikat, ia menjawab,
Syekh adalah orang yang keistimewaannya disaksikan oleh dirimu serta
dihormati dan dimuliakan oleh jiwamu.

Syekh adalah yang mendidikmu dengan akhlaknya, mengajarimu dengan


diamnya, serta menyinari batinmu dengan cahayanya.
Ia berkata, Tauhid adalah rahasia yang memancarkan sinar dengan kuat dan
meninggikan perhatian dengan kemuliaan akhlak. Tauhid adalah sumber
kehidupan, sementara yang lain hanyalah kematian.

Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad ibn Abi al-Fadhl ibn Sad al-Tilmisani
berkata, Di antara syair Syekh al-Imam al-Quthb al-Allamah al-Himam Abu
Madyan r.a. adalah yang ditujukan kepada para syekh, misalnya:

Kita hidup dirahmati dan dipenuhi berkah


Sukacita bertambah, kelapangan sempurna
Waktu semakin bening, dibantu cerah zaman
Kehidupan sangat subur, dan airnya berlimpah
Hati penuh bahagia dan kabar gembira tersebar
Dada sangat lapang dan benar-benar terasa hidup
Kebahagiaan terbit disertai tanda-tanda yang jelas
Setiap bahagia menjelang, tanda-tandanya terbaca
Meskipun musuh mengepung dari timur dan barat
Alhamdulillah, segala yang mati telah terangkat

Sebagaimana dituturkan Ibn Jarir, Syekh Ibn Abi al-Fadhl berkata kepada Syekh
Abu Madyan r.a.:

Wahai yang tinggi dan menyaksikan yang ada dalam hati


Serta yang ada di bawah tanah ketika malam gelap gulita
Engkau penolong bagi mereka yang dirundung kesulitan
Engkau petunjuk bagi mereka yang tak bisa berbuat apa-apa
Sungguh hanya Engkau yang kami tuju dengan penuh harap
Engkaulah yang diseru oleh semua dengan lara dan duka
Jika Kau mengampuni, itu lantaran Kau memang pemurah

Tapi jika Kau menghukum, sungguh Kau penguasa yang adil

Syairnya yang lain:

Penolong Ayyub dan yang mencukupi Dzunnun


Memberiku kelapangan dengan huruf kaf dan nun
Betapa papa menyelimuti angkasa-Nya yang terhampar
Dan terhadap yang lain wajahku belum lagi dihadapkan

Ia juga memiliki doa-doa menakjubkan yang berkaitan dengan istikharah dan


lainnya. Salah satu doa istikharahnya adalah yang seperti yang diriwayatkan
oleh Ibn Abi al-Fadhl dalam al-Najm-nya:

Ya Allah, pengetahuan adalah milik-Mu, terhijab dariku. Aku tidak mengetahui


urusan yang kupilih untuk diriku. Karena itu, kuserahkan urusanku sekaligus
aku berharap kepada-Mu lantaran aku papa.
Tunjukkanlah diriku kepada sesuatu yang paling Engkau cintai, yang paling
Engkau ridai, dan yang paling baik akibatnya. Engkau maha berbuat apa yang
Engkau kehendaki. Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.

Jika kau ingin melakukan istikharah dan mempergunakan doa di atas,


perhatikanlah adab dan tata cara yang baik, seperti yang diriwayatkan dari Nabi
saw. berkaitan dengan istikharah.

Diriwayatkan bahwa siapa saja yang mendirikan shalat dua rakaat, kemudian
membaca salawat kepada Nabi saw. sesudah beristigfar, lalu membaca doa
seperti yang diajarkan oleh Nabi dan dilengkapi doa Syekh di atas, tentu ia
akan mendapatkan akibat yang baik dan besar harapan keinginannya akan
dikabulkan. Sebab, ia telah memadukan sunnah dan teladan al-imam. Ia akan
mendapatkan keberkahan. Allah akan menunjukkannya kepada jalan yang
terbaik.

Doanya yang lain adalah seperti yang diriwayatkan oleh penulis kitab al-Najm,
juga yang disebutkan oleh Sayyid Muhammad ibn Yahya dan juga Sayyid Abdul
Aziz al-Baburji. Diceritakan bahwa doa ini memiliki rahasia menakjubkan untuk
menyingkap bencana dan menyingkirkan musibah:

Dengan samarnya kelembutan Allah, dengan lembutnya ciptaan Allah, dengan


indahnya hijab Allah, aku masuk dalam perlindungan Allah dan aku berlindung
dengan seribu l hawl wal quwwata ill billh.

Syekh Abu Madyan hafal banyak hadis. Di antara riwayat yang berasal dari
Abu Umamah al-Bahili r.a. bahwa ia mendengar Rasulullah saw. bersabda,
Tuhan berjanji ada tujuh puluh ribu umatku yang masuk surga tanpa hisab
dan tanpa siksa. Bersama setiap seribu orang terdapat tujuh puluh ribu orang
lainnya berikut tiga cidukan.

Dan hadis ini diriwayatkan hanya darinya bahwa Rasulullah saw. bersabda,
Tujuh puluh ribu orang dari umatku masuk surga tanpa hisab. Mereka adalah
orang yang tidak melakukan rukyah dan tidak minta dirukyah, tidak merasa
sial, serta hanya bersandar kepada Tuhan.

Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, Aku memohon kepada Tuhan,


dan ternyata Dia memberiku tujuh puluh ribu orang yang masuk surga tanpa
hisab.
Umar r.a. bertanya, Ya Rasulullah, engkau tidak meminta tambahan?
Sudah, jawab Rasulullah saw..
Berapa Dia menambahkan untukmu?
Setiap orang dari ketujuh puluh ribu orang itu bisa memintakan syafaat untuk
tujuh puluh ribu orang.

Demikian pula orang yang ketiga atau keempat.


Beliau menambahkan, Disertai tiga cidukan. Mendengar kalimat terakhir itu,
Umar r.a. berkata, Ya Rasulullah, Allah Mahakuasa untuk memasukkan mereka
semua ke dalam surga tanpa hisab dengan satu cidukan.

Perhatikan pula redaksi hadis Nabi saw. yang berisi harapan, Umatku semuanya
diberi rahmat. Di antara mereka ada yang diberi rahmat oleh Allah lewat
shalatnya ...

Ketika membaca firman Allah: Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang
yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami. Lalu di antara mereka ada yang
menganiaya diri mereka. Di antara mereka ada yang pertengahan. Dan diantara
mereka ada pula yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan ijin Allah. Itu
adalah karunia yang amat besar, Rasulullah saw. bersabda, Semuanya berada
di surga.

Dalam riwayat lain disebutkan, Mereka yang lebih dahulu berbuat kebaikan
dari kita telah mendahului. Kelompok yang pertengahan menyusul. Lalu, yang
berbuat zalim di antara kita diampuni.
Hadis lain yang ia riwayatkan adalah yang berasal dari Jabir ibn Abdillah bahwa
Rasulullah saw. bersabda, Syafaatku akan diberikan kepada umatku yang
melakukan dosa besar.

Juga hadis dari Anas ibn Malik r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, Seluruh
infak adalah di jalan Allah kecuali infak bangunan (yang di luar kebutuhan).
Tidak ada kebaikan sedikit pun di dalamnya.

Maksudnya adalah bangunan yang tidak terlalu dibutuhkan. Tetapi jika bangunan
itu benar-benar dibutuhkan, orang yang memberikan infak akan mendapat
pahala. Demikianlah mereka menafsirkan hadis di atas. Hanya Allah yang lebih
mengetahui.

Hadis lain yang diriwayatkan olehnya dengan sanad tersambung kepada Nabi
saw. adalah, Siapa yang bangun malam, lalu membangunkan istrinya dan
mendirikan shalat dua rakaat maka mereka termasuk laki-laki dan wanita yang
banyak berzikir kepada Allah.

Hadis lain diriwayatkan dari Jabir ibn Abdillah r.a., bahwa Nabi saw. bersabda,
Tiga hal yang jika kalian lakukan pasti Allah akan memberikan naungan-Nya
dan memasukkanmu ke dalam surga-Nya: bersikap lembut kepada kaum duafa,
mengasihi orangtua, dan berbuat baik kepada budak sahaya.

Diriwayatkan pula bahwa Syekh Abu Madyan selalu membaca dan tenggelam
dalam kitab Ihy. Salah satu bagian yang disukainya dari kitab itu adalah kisah
seorang Imam yang zahid, Malik ibn Dinar.

Disebutkan bahwa pada suatu malam Ibn Dinar merasa lemah dan tak bisa
bangun. Ia berkata, Aku bermimpi melihat seorang wanita yang tidak seperti
wanita dunia. Wanita itu memegang lembaran, dan ia berkata. Wahai Malik,
kau bisa membaca? tanyanya. Ya, jawabku. Ia memberiku lembaran itu yang
ternyata berisi tulisan sebagai berikut:

Jika perhatianmu tertuju pada kelezatan dan kenikmatan


Maka ketahuilah, kesenangan hanya terdapat dalam surga
Engkau akan hidup kekal, dan takkan kaudapati kematian
Setiap saat engkau bercanda dengan para bidadari istana
Karena itu, bangunlah dari tidur panjangmu
Tahajud dengan Al-Quran, lebih baik dari tidurmu

Riwayat lain menuturkan peristiwa serupa terjadi pada Dzunnun. Sejak peristiwa
itu Malik tidak tidur malam sehingga ada yang mengatakan bahwa ia mendirikan
shalat subuh dengan wuduk shalat isya selama empat puluh tahun.

Pada masa itu ada empat puluh tabiin yang melaksanakan shalat subuh dengan
wuduk shalat Isya selama empat puluh tahun. Wallhu alam.
Semua ini ditegaskan oleh Abu Thalib al-Makki. Ia meriwayatkan bahwa
Dzunnun menyebutkan sebuah syair:

Al-Quran dengan semua janji dan ancamannya


Membuat mataku enggan terpejam tiap malam
Mereka yang benar-benar pahami firman Tuhan
Leher mereka selalu tertekuk, sujud kepada-Nya

Ada sebuah cerita tentangnya sebagaimana diriwayatkan oleh sekelompok ulama


seperti Ibn al-Khathib, Abu al-Shabr, al-Azafi, dan Ibn al-Zayyat. Syekh Abu
Madyan r.a. berkata, Seorang saleh datang kepadaku dan menceritakan
mimpinya. Ia melihat satu majelis dengan para sufi besar di dalamnya, termasuk
Abu Yazid al-Busthami, Dzunnun al-Mishri, dan para Syekh yang lain.

Mereka berada di atas mimbar cahaya. Abu Thalib al-Makki berada di atas
mimbar yang tinggi, sementara Abu Hamid al-Ghazali berada di atas mimbar
di depannya. Abu Thalib bertanya kepada para sufi itu. Masing-masing mereka
memberikan jawaban sesuai dengan ilmu yang dimiliki.

Setelah mendengar semuanya, Abu Thalib berkata kepada Abu Hamid, Ke


mana perginya ilmu yang diajarkan oleh Abu Madyan di dunia?
Ia ada di samping kananmu. Tanyakan langsung kepadanya!
Abu Thalib menoleh kepadanya. Wahai Abu Madyan, ceritakan kepadaku
tentang rahasia hidupmu?
Ia menjawab, Dengan rahasia kehidupan-Nya hidupku tampak, dengan cahaya
sifat-Nya sifatku bersinar, dengan cahaya nama-Nya karakterku terlihat terang,
dan dengan keabadian-Nya kerajaanku kekal, serta dalam tauhid kepada-Nya
kufanakan keinginanku.

Rahasia tauhid terletak pada ucapan l ilha ill an (tiada Tuhan selain Aku).
Sementara, seluruh alam wujud adalah huruf yang mengandung makna. Karena
makna-makna itulah huruf-huruf itu tampak. Dengan nama-nama-Nya semua
yang jinak mendekat. Dengan sifat-sifat-Nya semua yang diberi sifat tampak.
Perhatian-Nya terhadapnya sungguh tak terbagi. Seluruh makhluk berserah diri
kepada-Nya. Sebab, Dia adalah Zat yang mencipta dan menghadirkan mereka.
Dari-Nya mereka bermula dan kepada-Nya mereka kembali. Keadaan itu seperti
yang tampil pada hari ketika dikatakan, Bukankah aku Tuhanmu? Ya, jawab
mereka. Wahai Abu Thalib, Dia menggerakkan wujudmu. Dia juga yang bertutur
dan menggenggam. Jika kau melihat dengan hakikat, semua makhluk lenyap.
Dengan-Nya wujud menjadi tegak serta perintah-Nya dalam kerajaan-Nya
bersifat kekal. Hukum-Nya pada makhluk berlaku umum sama seperti kedudukan
ruh dalam tubuh. Dengannya mereka tampak meski dalam bentuk yang
berbeda-beda. Di antaranya lisan untuk menjelaskan. Namun dalam waktu yang
sama Dia tidak dilalaikan oleh satu pun urusan sehingga melupakan urusan
lain.
Dari mana engkau mengetahui semua ini, wahai Abu Madyan? tanya Abu
Thalib.

Ketika Dia memberiku dengan rahasia-Nya, aku tenggelam dalam lautan


karunia-Nya. Wujudku dipenuhi cahaya, yang kemudian melahirkan kondisi
lenyap dan hadir bersama-Nya. Dia memberiku minuman yang suci sekaligus
melenyapkan kesesatan dan kepalsuan. Cahaya-Nya menyelimuti akhlakku.
Semoga di hari kiamat aku bisa melihat Tuhan Yang Mahaabadi.

Jadi, pertanyaan Abu Thalib kepada Abu Hamid, Di mana Abu Madyan dan
ilmu yang ia ajarkan? seakan-akan merupakan jawaban terhadap mereka yang
ditanya tetapi tidak bisa menjawab dengan benar. Pertanyaan itu pun
dimaksudkan untuk menegaskan kemuliaan Abu Madyan, memuliakannya, serta
menjelaskan kedudukannya yang agung. Ini seperti bunyi pepatah, Bicaralah!
Dari sana dirimu akan dikenal.

Perlu diketahui, Syekh Abu Madyan selalu menjaga sikap istikamah yang
dibuktikan dengan pencapaian karamah yang tak terhitung. Keadaan lahiriahnya
tampak sama seperti gurunya, Sayyid Abu Yazi dan Sayyid Abdul Qadir.

Ada banyak manakib tentang dirinya, di antaranya dikisahkan oleh Ibn Badis
dalam syarah al-Nafaht al-Qudsiyyah. Ia menukilnya dari Syekh al-Fadhil
al-Imam al-Zahid, dari Sayyid Abu Muhammad Shalih, yang menuturkan, Suatu
ketika di Barat, tepatnya di Andalusia berlangsung perang antara pasukan
Romawi dan kaum muslimin.

Ketika pasukan Romawi mengalahkan kaum muslim, Syekh mengambil


pedangnya lalu keluar menuju padang pasir ditemani beberapa orang, termasuk
aku. Kemudian ia duduk di atas gundukan pasir. Tiba-tiba sekelompok pasukan
Romawi berdiri di hadapannya. Syekh langsung lompat ke tengah-tengah
mereka. Ia hunus pedang dan mengangkatnya tinggi-tinggi melampaui kepala
mereka. Ia tebas seorang penunggang kuda hingga jatuh menggelepar beserta
kudanya. Ia terus sabetkan pedangnya hingga banyak orang Romawi yang
tumbang. Akhirnya, pasukan Romawi yang tersisa melarikan diri menghindarinya.

Setelah keadaan kembali tenang, kami mendekatinya dan ia berkata, Mereka


adalah orang Eropasemoga Allah menghinakan. Waktu telah mencatat
perjalanan kita dalam lembaran sejarah. Saat ini merupakan saat kemenangan.

Para pejuang mendatanginya dan memeluk kedua kakinya. Mereka berkata,


Tuan, seandainya engkau tidak menolong kami, tentu kami binasa. Mereka
bilang, seandainya ia tidak ada, tentu mereka sudah dibunuh kaum kafir atau
menjadi tawanan. Kaum muslimin yang ikut berperang saat itu menyaksikan
kegigihan dan ketangkasannya menghancurkan kavaleri Romawi.
Ketika perang selesai dan kaum musyrik dikalahkan, mereka tidak pernah
melihatnya lagi. Jarak antara dirinya dan daerah itu lebih dari sebulan perjalanan.
Abu Shalih Muhammad al-Dakkali berkata, Beberapa orang dari Timur datang
dan menginginkan anggur dari daerah kami di luar musim anggur. Maka, Syekh
Abu Madyan berkata kepadaku, Hai Shalih, pergilah ke kebun dan ambilkan
anggur untuk kami.

Maka aku bergegas pergi ke kebun, tetapi segera kembali menemuinya karena
belum ada anggur yang berbuah. Namun, Syekh berkata tegas, Ada di dalam.

Aku kembali memasuki kebun dan mendapati semua anggur di dalam kebun
itu berbuah lebat. Maka, aku memetiknya dan membawanya ke hadapan mereka
sehingga semua orang memakannya, termasuk aku.

Abu al-Abbas al-Warnidi yang dikenal dengan nama Ibn al-Hajj, ketika
men-syarah al-Nafaht al-Qudsiyyah, menuturkan sebuah riwayat dari Abu
Muhammad Shalih dan Ibn Badis, dari Abu al-Hajjaj al-Anshari yang mendengar
Syekh Abu Muhammad Abdurrazzaq al-Jazuli berkata, Syekh Abu Madyan
melewati beberapa desa di Maghrib. Di sebuah desa, ia melihat seekor singa
memakan keledai sehingga pemilik keledai itu yang sangat miskin menangis
sedih. Syekh Abu Madyan memegang ubun-ubun atau telinga singa itu dan
menggiringnya dengan mudah. Ia berkata kepada si pemilik keledai, Peganglah
singa ini dan pergunakanlah ia sebagai ganti keledaimu.
Aku takut, jawabnya.
Ia tidak akan menyakitimu.

Akhirnya, ia memberanikan diri membawa singa itu sehingga membuat semua


orang terheran-heran. Di sore hari si pemilik keledai membawa singa itu
menemui Syekh dan berkata, Tuan, ke mana pun aku berjalan, singa ini terus
membuntuti. Aku takut.
Syekh berkata, Kalau begitu, tinggalkan saja singa itu! Tidak apa-apa.
Kemudian Syekh berkata kepada singa, Pergilah! Kalau kau menyakiti manusia,
aku akan membuatmu berada dalam kendali mereka.
Al-Harfusyi menuturkan bahwa Syekh Abu Madyan termasuk wali utama. Ia
memiliki kedudukan mulia, pemilik lintasan pikiran, langkah, dan karamah.
Dikisahkan bahwa pada suatu hari setelah shalat subuh, sebagaimana hari-hari
lainnya, Syekh berbicara tentang hakikat di sebuah masjid di Andalusia. Banyak
orang hadir di sana. Para rahib kerajaan yang mengetahui kemasyhuran Syekh
bermaksud mengujinya.

Sebenarnya, jumlah mereka ada tujuh puluh orang, tetapi hanya sepuluh rahib
yang diutus untuk menguji Syekh. Agar tidak terlihat mencurigakan, mereka
mengubah penampilan dan mengenakan pakaian kaum muslim. Mereka masuk
masjid kemudian duduk bersama yang lain. Tak seorang pun di antara hadirin
yang mengenali mereka.
Syekh duduk diam cukup lama seperti menunggu sesuatu. Ketika seorang tukang
jahit datang, Syekh bertanya, Apa yang membuatmu terlambat?

Ia menjawab, Wahai Syekh, aku baru saja menyelesaikan beberapa kopiah


yang Tuan pesan. Sekarang saya telah menyelesaikan semuanya, dan ini salah
satunya. Tukang jahit itu menyerahkan sebuah kopiah kepada Syekh yang
ternyata serupa benar dengan kopiah yang dikenakan sepuluh rahib yang hadir
di majelis itu. Syekh berdiri dan orang-orang yang hadir di sana merasa heran
melihat kesamaan kopiah milik Syekh dengan kopiah sepuluh rahib itu. Mereka
tak mengetahui apa yang sedang terjadi.

Kemudian Syekh memulai pembicaraannya dan kemudian ia berujar, Wahai


kaum yang fakir, jika angin penerimaan, taufik, dan karunia berembus dari Tuhan
ke dalam hati yang bersinar, embusannya akan memadamkan seluruh cahaya.
Syekh menarik napas dan tiba-tiba semua lilin di masjid, yang jumlahnya lebih
dari tiga puluh, padam bersamaan. Kemudian Syekh diam dan menundukkan
kepala.
Keadaan benar-benar hening. Tak seorang pun berani bicara atau bergerak.
Semua tunduk diam.
Beberapa saat kemudian Syekh mengangkat kepalanya dan berkata, L ilha
illallh. Wahai kaum yang fakir, ketika cahaya pertolongan-Nya menyinari hati
yang mati, ia akan menyingkirkan semua kegelapan.

Syekh menarik napas lagi, dan tiba-tiba semua lilin di masjid kembali nyala.
Cahayanya bersinar sangat kuat sehingga nyaris saling bertumpuk.
Kemudian Syekh membaca ayat sajadah, lalu ia sujud dan semua orang ikut
sujud, termasuk para rahib itu. Mereka ikut-ikutan sujud karena takut samaran
mereka terbongkar.

Dalam sujudnya, Syekh Abu Madyan berdoa, Ya Allah, Engkau mengetahui


pengaturan terhadap makhluk-Mu dan apa yang menjadi kemaslahatan
hamba-Mu. Para rahib itu mengikuti kaum muslim dari sisi pakaian dan sujud
kepada-Mu. Aku telah mengubah lahiriah mereka, namun tak ada yang mampu
mengubah hati mereka selain-Mu. Telah kutundukkan mereka dalam hidangan
karunia-Mu. Selamatkanlah mereka dari syirik dan perbuatan yang melampaui
batas. Keluarkan mereka dari gelap kekufuran menuju cahaya iman.

Ketika para rahib itu mengangkat kepala, terangkat pula semua penentangan
dan sikap permusuhan kepada Syekh dari dalam dada mereka. Tak sedikit
pun mereka merasakan kebencian atau keraguan kepada Syekh, seakan-akan
mereka telah lama mengenalnya. Mereka menundukkan diri di bawah keteduhan
agama Allah Yang Maha Esa. Mereka putuskan untuk masuk Islam dan berusaha
mencapai tujuan.

Usai shalat, mereka bergegas menemui Syekh Abu Madyan dan menyatakan
diri masuk Islam di hadapannya. Mereka bertobat, menangis, dan menyesali
semua yang telah mereka lakukan. Ratapan dan tangisan menggema memenuhi
rongga-rongga masjid.

Kisah keislaman para rahib ini sangat terkenal. Dikisahkan bahwa ada tiga orang
yang meninggal dalam majelis itu karena desakan sukacita yang tak
tertanggungkan. Tentu saja Syekh sangat gembira menyaksikan keislaman
mereka.

Tidak ada riwayat yang dengan jelas menyebutkan bahwa Syekh kembali pulang
atau menetap lagi di Andalusia setelah meninggalkan kota itu. Namun, karena
ia termasuk wali Allah yang memiliki berbagai karamah dan keajaiban maka
segala sesuatu mungkin terjadi, termasuk apa yang sebelumnya dianggap tidak
mungkin terjadi, seperti kisah keislaman para rahib itu.

Setelah menceritakan kisah itu Syekh al-Harfusyi berkata, Sungguh ini


merupakan sifat wali pilihan, pemimpin para alim, sosok kepercayaan Allah atas
hamba-Nya, dan rahmat untuk mereka.
Dalam Karmt al-Awliy, Hujjatul Islam mengatakan, Bagi mereka, bumi
hanya satu langkah. Mereka bisa berjalan ke mana pun mereka inginkan.

Ketika ditanya tentang sifat wali ahli hakikat, Muhammad ibn Sahl ibn Abdillah
menjawab, Ketika menghendaki suatu tempat, ia akan berada di tempat itu
seketika. Saat disibukkan dengan suatu urusan, Allah menggantinya dengan
malaikat yang berbicara dengan lisannya. Orang-orang mengira yang berbicara
adalah ia, padahal bukan.

Sementara, penulis Raudh al-Rayyhn menuturkan, Percayalah kepada


mereka, tentu kau akan mendapat keutamaan mereka dan meraih berkah mereka.
Jangan sekali-kali mendustakan mereka, karena kau akan celaka. Tidak ada
daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah Yang Mahatinggi dan
Mahaagung.

Dikisahkan bahwa di antara karamah yang dimiliki Syekh Abu Madyan adalah
bahwa ia mendirikan shalat subuh di Baghdad kemudian datang ke Makkah
untuk menemui murid-muridnya di waktu subuh. Ia termasuk kalangan shiddiqqin
yang shalat Subuh di Makkah, Lohor di Madinah, Asar di Baitul Makdis, Magrib
di bukit Tursina, dan Isya di bendungan Zulkarnain, bermalam di sana, kemudian
kembali mendirikan shalat Subuh di Makkah.
Bagi sebagian mereka, waktu seperti dilipat sehingga terasa sangat cepat. Bagi
sebagian lain, waktu seperti dibentangkan sangat luas sehingga mereka bisa
berzikir dan membaca Al-Quran sekehendak hati tanpa batas. Karamah seperti
itu di antaranya dimiliki oleh al-Shadrani Musa, murid Abu Madyan. Hal senada
diceritakan oleh Jamaluddin ibn Syihabuddin al-Suhrawaradi dalam hujjah yang
ia sampaikan kepada ayahnya pada 628 H.
Abu Hafsh Umar ibn al-Faridh menuturkan fenomena itu dalam sebaris syairnya:

Dalam waktu satu jam atau kurang


Mereka membaca seribu kali khatam
Al-Farghani dan penulis mukhtashar-nya, Abu Abdillah Sayyid Muhammad ibn
Abdil Aziz al-Marakisy menyebutkan berbagai karamah yang menakjubkan.

Seandainya lebih banyak ruang yang tersedia, kami akan tuturkan lebih banyak
lagi keutamaan hamba-hamba Allah yang dianugerahi berkah dan karamah ini
sehingga dapat memuaskan jiwa dan melenyapkan keraguan. Allah memberikan
manfaat kepada manusia melalui mereka. Sungguh mereka adalah orang yang
telah mendapat pertolongan-Nya. Orang yang tenggelam dan tersesat sehingga
tidak memercayai kesucian mereka pasti tidak akan selamat kecuali jika Allah
memberinya karunia hingga diselamatkan lewat cinta, pembenaran, dan
penyerahan.

Abu al-Abbas Ahmad ibn Muhammad al-Warnidi yang dikenal dengan nama
Ibn al-Hajj serta imam Abu Ali al-Husain ibn Abi al-Qasim menuturkan dalam
Syarh al-Nafaht al-Qudsiyyah, Dikisahkan bahwa dalam sebuah
perjalanannya Syekh Abu Madyan melewati pesisir.

Tiba-tiba, sekelompok pasukan Romawi menyerang dan menawannya kemudian


menggiringnya ke atas kapal. Ternyata di atas kapal itu ada beberapa muslim
lain yang ditawan pasukan Romawi. Namun, sekuat apa pun orang Romawi
itu berusaha, kapal mereka tak mau berlayar meskipun angin bertiup kencang.
Tentu saja pasukan Romawi panik karena yakut dikejar pasukan muslim. Mereka
sadar bahwa Syekh yang mereka tawan memiliki keutamaan dan rahasia luar
biasa sehingga mereka menyuruhnya turun.
Namun, Syekh Abu Madyan berkata, Aku tidak akan turun kecuali jika kalian
melepaskan seluruh tawanan muslim. Orang Romawi itu tak memiliki pilihan
lain sehingga melepaskan semua umat Islam yang mereka tawan. Setelah semua
tawanan turun dari kapal, barulah kapal itu bisa berlayar kembali.

Dalam syarah al-Nafaht al-Qudsiyyah, Abu Bakar Ali Hasan juga meriwayatkan
bahwa Abu Muhammad Shalih mendengar Syekh Abu Madyan r.a. pada 560
H berkata, Aku telah berjumpa dengan Abu al-Abbas al-Khidir. Kutanyakan
kepadanya perihal beberapa Syekh dari negeri timur dan barat yang hidup di
era tersebut serta tentang Syekh Abdul Qadir. Ia menjawab, Ia adalah imam
kaum shiddiqin dan hujjah kaum arifin.

Syekh Abu Yazi dan Syekh Abu Madyan sama-sama memuliakan Syekh Abdul
Qadir, mengagungkan namanya, dan meninggikan kedudukannya. Mereka
merupakan orang-orang mulia yang senantiasa menjaga adab dan etika
masing-masing. Syekh Abu Madyan juga sering memuji Syekh Abu Yazi seperti
yang kami ceritakan dalam bab kelima tentang kesaksian para Syekh.
Menurutnya, Syekh Abu Yazi memiliki kedudukan yang tinggi dan berada di
barisan terdepan para saleh.

Diriwayatkan bahwa Syekh Abu Madyan memiliki tingkatan cinta yang tinggi
dan agung. Abu Ali Hasan ibn Badis dan Abu al-Abbas al-Warnidi menceritakan
bahwa suatu hari Syekh Abu Madyan berbicara di majelisnya, tiba-tiba
segerombol burung datang dan terbang mengelilinginya.

Syekh melantunkan bait syair berikut:

Derita orang yang sakit, rasa takut orang yang diburu


Rasa cemas orang yang risau, duka orang yang lara
Cinta orang yang digelisahkan kerinduan
Tarikan napas orang yang mabuk kepayang
Jatuhnya orang yang sakit tak mendapat tabib
Pikiran yang melayang, penglihatan orang yang tenggelam
Mereka semua ingin mengambil bagian dari minyak shafa
Pedih kalbu yang dibingungkan segala yang datang
Lantaran rindu kepayang, diri hina tidak seperti lazimnya
Menahan rasa gelisah dan memendam perasaan cinta
Bertempat dan menetap di hati yang senantiasa dicinta

Majelis itu tersentak mendengar lantunan syair tersebut dan sekejap kemudian
suasana menjadi riuh. Seekor burung tiba-tiba mengepakkan sayap dengan
keras lalu jatuh dari udara dan menggelepar mati di tengah majelis. Tak hanya
burung, salah seorang jamaah yang hadir di majelis itu meninggal dunia.

Bait-bait syair yang dilantunkan Syekh Abu Madyan sesungguhnya merupakan


milik Imam Dzunnun al-Mihsri. Diceritakan bahwa suatu ketika Dzunnun ditanya
oleh seseorang, Apa yang membuat manusia lemah dan penat?
Ia menjawab, Ia lemah dan penat karena mengingat kedudukannya, sementara
bekalnya sedikit, dan takut kepada hisab.

Ia melanjutkan, Bagaimana mungkin tubuh bisa tegak dan akal tidak linglung
sementara tak lama lagi amal ditampakkan di hadapan-Nya, buku catatan amal
akan dibacakan, dan malaikat berdiri di hadapan Tuhan Yang Mahagagah
menunggu perintah-Nya atas orang yang baik maupun yang jahat.

Dzunnun berhenti sejenak, kemudian melanjutkan, Bayangkan itu terjadi kepada


kalian dan renungkanlah selalu! Setelah itu ia mengucapkan bait-bait syair
di atas. Dzunnun dikenal sebagai sufi yang banyak menggubah syair.

Ada banyak bait syair lain yang ia ungkapkan selain bait-bait di atas.
Abu Ali Hasan ibn Muhammad al-Ghafiqi al-Shawwaf mendengar Abu Madyan
berkata, Aku pernah mengerjakan shalat magrib bersama Umar al-Shabbagh.
Usai salam, ia berujar, Tadi dalam shalat aku melihat tiga atau empat bidadari.
Mereka menampakkan diri di sudut rumah.

Aku berkata kepadanya, Ulangi shalatmu! Orang yang shalat sesungguhnya


sedang bermunajat dengan Tuhan, sementara kau bermunajat dengan bidadari.
Syekh Abu Madyan menegur Umar al-Shabbagh dan ingin mengangkatnya
menuju kedudukan yang lebih tinggi. Ucapannya, Ulangi shalatmu!
dimaksudkan untuk mendidiknya. Sebab, segala sesuatu selain Allah merupakan
hijab. Seorang salik tidak boleh berhenti pada sesuatu dan merasa puas dengan
sesuatu.

Abu Yazid menuturkan bahwa ia pernah diperlihatkan kepada empat puluh


bidadari cantik, dan kemudian ada yang berujar, Lihatlah mereka! Ketika
melihat mereka, ia terhijab dari kedudukannya selama empat puluh hari sesuai
dengan jumlah bidadari yang dilihatnya. Itu merupakan teguran baginya. Dan
di waktu lain diperlihatkan kepadanya delapan puluh bidadari yang jauh lebih
cantik. Ketika ada yang berujar, Lihatlah mereka! Abu Yazid memejamkan
mata dan bersujud seraya berkata, Aku hanya butuh kepada Allah; tidak kepada
mereka.
Ia terus berdoa, Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari selain-Mu.

Abu Yazid terus menangis dan bersimpuh dalam sujud hingga para bidadari
itu lenyap dan terhijab darinya. Barulah ia mengangkat kepalanya. Ada banyak
riwayat lain yang menuturkan sikap dan pencapaian Abu Yazid.

Dengan keluasan pengetahuan yang dimilikinya, Syekh Abu Madyan r.a.


mendorong para murid untuk menempuh perjalanan ruhani melalui berbagai
sisi. Ia juga mendorong mereka dengan berbagai isyarat dan petunjuk.

Diceritakan, suatu hari Syekh Abu Madyan berada di majelisnya yang


dikhususkan untuk murid-muridnya yang telah mencapai makrifat. Seperti biasa,
ia ajari mereka berbagai hakikat dan menghadirkan aneka hal menakjubkan
yang menunjukkan kedekatannya kepada Allah serta semua keutamaan para
pecinta.

Ketika mereka tenggelam dalam kondisi itu, seseorang datang dan berkata
dengan nada yang sedih dan bingung, Wahai kaum, adakah keledai yang
masuk ke sini?
Lelaki itu bertanya sambil membawa sepotong bambu untuk menggiring keledai.
Melihat kedatangan lelaki itu, seseorang di antara mereka mengangkat kepalanya
dan berkata, Hai fulan, ini masjid. Kami tidak melihat keledaimu. Syekh Abu
Madyan diam dan menundukkan kepala. Tidak lama kemudian, ia mengangkat
kepalanya dan berkata, Adakah di antara kalian yang sedang jatuh cinta?
Tiba-tiba saja ia berbicara tentang cinta, padahal sebelumnya ia tengah
membahas masalah yang lain. Semua diam, tak ada yang menjawab, karena
tidak mengetahui maksud ucapan Syekh. Mereka saling pandang satu sama
lain. Lalu, Syekh Abu Madyan kembali kepada topik pembicaraan sebelumnya,
menyelesaikannya, dan kemudian menutup majelis.

Setelah itu Syekh bangkit berdiri diikuti oleh murid-muridnya, sementara kepala
mereka merenungkan pertanyaan Syekh, Adakah di antara kalian yang sedang
jatuh cinta? Akhirnya, sebagian mereka berpendapat bahwa dengan pertanyaan
itu Syekh hendak menjelaskan bahwa seorang pecinta pasti mencari kekasihnya
di setiap tempat ke mana pun ia pergi seperti kelakuan lelaki itu yang mencari
keledainya hingga ke dalam masjid.

Sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Najm, Abu al-Fadhl berkata, Aku


mimpi melihat Sayyid Abu Madyan sedang belajar al-Muwathth kepada seorang
alim, Syekh Abu Abdillah ibn al-Abbas. Kemudian aku bermimpi seakan-akan
berziarah di makam Sayyid Ibrahim al-Mashmudi, dan di sana aku melihat
seorang Syekh yang penuh wibawa. Ia duduk di depan kuburan sultan yang
dikubur di sisi Sayyid Ibrahim.

Terlintas dalam benakku bahwa ia adalah Sayyid Abu Madyan. Aku maju untuk
mencium tangannya. Salm alayk! ujarnya. Aku baru sadar, saat masuk tidak
mengucapkan salam karena tertegun melihat orang yang masuk. Syekh
mengulurkan tangannya yang berbalut kain wol kasar, pakaian khas orang Mesir.

Ketika mencium tangannya aku merasakan ketenangan. Aku meminta sesuatu


darinya, doa atau apa pun. Tangan kanannya memegang sajadah dari kulit
binatang. Ia memberikannya kepadaku dan aku langsung menerimanya. Setelah
itu aku pergi. Hatiku dipenuhi rasa senang luarbiasa. Hanya Allah yang lebih
mengetahui betapa aku sangat berbahagia saat itu.
Mimpi itu sepertinya dimaksudkan sebagai peringatan agar selalu bersikap
tawaduk, tetapi disampaikan dengan cara yang baik, tidak merendahkan. Itulah
ciri kaum shiddiqin.

Ketawadukan seperti itu bukan untuk kepentingan diri sendiri seperti yang
dilakukan para pecinta dunia, dan juga bukan untuk mendapat pahala seperti
yang dilakukan para pecinta akhirat. Tawaduk itu semata-mata dengan Allah
dan untuk Allah. Itulah sifat kaum arif.

Penulis al-Najm al-Tsqib menceritakan dari murid utama Syekh Abu Madyan,
yaitu Abu Muhammad Shalih al-Dakkali al-Majidi al-Qurasyi al-Makhzumi, yang
berkata, Ketika aku dan murid-murid lain duduk bersama Syekh Abu Madyan,
tiba-tiba ia menundukkan kepala dan berdoa, Ya Allah, Engkau dan para
malaikat-Mu menjadi saksi, bahwa aku mendengar dan aku taat.

Ketika para murid menanyakan maksudnya, Syekh berkata, Saat ini Sayyid
Abu Muhammad Abdul Qadir al-Jailani naik mimbar di majelisnya di Baghdad,
kemudian berujar, Kakiku ini berada di atas leher setiap wali. Kami diperintah
untuk mendengar dan taat.

Abu Muhammad Shalih melanjutkan, Peristiwa yang terjadi hari itu tidak dapat
kami lupakan. Beberapa hari kemudian, beberapa murid yang baru tiba dari
Baghdad menceritakan bahwa Syekh Abdul Qadir mengucapkan perkataan
tersebut pada hari yang Syekh Abu Madyan menyampaikannya kepada kami.

Meski memiliki kedudukan yang agung, Syekh Abu Madyan sering memuji Abu
Yazi dan memuliakannya sebagai wali yang berada di barisan terdepan. Pujian
seperti itu pulalah yang disampaikan para tokoh sufi lain.
Ibn Shaid mengatakan, Abu Madyan menghafal banyak hadis, terutama yang
terdapat dalam kitab al-Tirmidzi. Ia banyak meriwayatkan hadis-hadis itu dari
gurunya.
Salah satu karamah Sayyid Abu Madyan yang menakjubkan adalah bahwa para
wali pada zamannya meminta fatwa kepadanya mengenai berbagai persoalan
rumit yang tidak dipahami para fukaha. Abu Madyan dapat menjawabnya saat
itu juga, seperti saat ia memberikan jawaban kepada seorang murid yang
bernama Abu Imran Musa al-Shadrani al-Thayyar.

Penulis al-Najm, al-Imam Ibn al-Khathib dan Ibn al-Zayyat berkata, Mereka
semua meriwayatkan dari Abu Abdillah Muhammad ibn Abdul Khaliq ibn
Muhammad al-Tunisi, bahwa Abu Madyan r.a. berkata, Setiap hari ketika fajar
merekah, seseorang datang kepadaku menanyakan berbagai hal yang tidak
dipahami banyak orang.

Saat itu aku sering mendengar kabar tentang seseorang bernama Musa yang
konon bisa berjalan di atas air, terbang di udara, dan memiliki berbagai karamah
lain. Pada suatu malam, terlintas dalam benakku bahwa pagi ini pemilik aneka
karamah itu akan datang kepadaku. Karena itulah aku tak sabar menunggu
datangnya fajar agar segera bertemu dengannya.

Saat fajar tiba, orang itu datang mengetuk pintu. Aku langsung menemuinya.
Ia tanyakan sebuah pertanyaan. Aku menjawab pertanyaannya dan kemudian
balik bertanya kepadanya, Apakah engkau Musa? Ia menjawab Ya. Keajaiban
semacam itu adalah sesuatu yang biasa terjadi di kalangan para wali.

Abu Ali Hasan ibn Badis al-Qasthanthini r.a. berkata, Ketahuilah bahwa Abu
Madyan termasuk orang yang paling dekat kepada Allah, pemuka ahli makrifat,
pemilik berbagai hakikat dan karamah, yang mampu menggabungkan ilmu
hakikat dan syariat. Ia adalah pemimpin di jalan ini. Banyak yang datang berguru
kepadanya, termasuk Sayyid Abdurrahim al-Qanawi, Abu Abdillah al-Qurasy,
dan Abu Muhammad Shalih.

Penulis Hirz al-Atqiy bercerita, Seorang saleh mimpi bertemu Nabi saw. dan
ia bertanya kepada beliau, Wahai Rasulullah, bagaimanakah pendapatmu
tentang Abu Madyan? Rasulullah saw. menjawab, Ia guru para guru.
Syekh Abu Madyan mengambil tarekatnya dari Abu al-Hasan Harazim, dari
Ibn al-Arabi, dari al-Ghazali, dari Abu Thalib al-Makki, dari al-Junaid, serta
dari pamannya, al-Sari al-Saqathi, dari Maruf al-Karkhi, dari Dawud al-Thai,
dari Habib al-Ajami, serta dari Hasan al-Bashri.

Ia juga mengambil tarekat dari Syekh Abu Yazi, yang memberinya khirqah
seperti yang juga diberikan oleh Abu al-Hasan ibn Harazim. Keduanya menerima
dari al-Qadhi Abu Bakr ibn al-Arabi dari al-Imam.
Ia juga mengambil tarekat dari Syekh Abdul Qadir al-Jailani dengan sanadnya
sebagaimana telah disebutkan.

Secara lahiriah dikatakan bahwa Sayyid Abu Yazi menerima tarekat dari
al-Imam Ibn al-Arabi, sementara Ali ibn Harazim menerimanya dari Syekh.

Al-Ustad al-Allamah Abu Jafar Ahmad ibn Ibrahim ibn al-Zubair al-Gharnathi
memberikan komentarnya mengenai Syekh Abu Madyan dalam kitabnya, Hilyah.
Abu al-Shabr al-Fihri bercerita mengenai keterkaitannya dengan beberapa tokoh
sufi. Ia pun menyebutkan sifat zuhud dan makrifat mereka. Ibn Badis dan
beberapa orang lain bercerita tentang kezuhudan Syekh yang selalu memisahkan
diri dari dunia dan memusatkan diri kepada Allah, juga kezuhudan Abu al-Najat
Salim al-Jayjali yang berasal dari Saragosa, tetapi menetap dan wafat di Bijay.

Ada beberapa tokoh terkemuka yang mengambil riwayatnya dari Syekh Abu
Madyan r.a., termasuk Abu Jafar ibn Abdillah ibn Muhammad ibn Sidyunah
al-Khuzai yang menetap di timur Andalusia termasuk wilayah Jativasemoga
Allah mengembalikan wilayah ini kepada Islam.
Abu Muhammad termasuk sufi pemilik maqam tawakal. Ada juga Syekh Abu
Muhammad Abdul Aziz ibn Abu Bakr al-Harawi yang, menurut Abu al-Abbas
Zaruq, dimakamkan di Marsa Eidun. Ia dikenal sebagai sufi pemilik maqam
cinta.

Kemudian ada Syekh Abu Muhammad Abdurraziq al-Jazuli, pemilik maqam


ilmu. Ia dikebumikan di Iskandariah Mesir.
Abu al-Abbas ibn al-Khatib bercerita, Aku bermimpi melihat Nabi saw. bersama
Abu Hamid al-Ghazali dan Abu Madyan. Abu Hamid bertanya kepada Abu
Madyan, Apakah ruh dari ruh?
Makrifat, jawab Abu Madyan.
Lalu, apakah ruh makrifat?
Kenikmatan.
Apakah ruh kenikmatan?
Melihat Allah.

Abu al-Abbas melanjutkan, Kemudian cahaya yang sangat dahsyat


pancarannya menerangi mereka sehingga mereka diraih para malaikat dan terus
dibawa sampai akhirnya menghilang dari pandanganku.

Sebuah riwayat menuturkan keluasan pengetahuannya, yaitu ketika terjadi


perbedaan pendapat di kalangan fukaha wilayah Jayy mengenai hadis Nabi
saw. yang berbunyi, Jika seorang mukmin meninggal dunia, ia mendapat
separuh surga.

Secara lahiriah dipahami bahwa ketika seorang mukmin mati, ia berhak


mendapatkan surga seluruhnya, bukan hanya separuh. Tetapi dalam hadis ini
disebutkan bahwa ketika mukmin mati, ia diberi separuh surga. Para fukaha
merasa kesulitan memahaminya sehingga akhirnya sebagian mereka berkata,
mereka berkata, Hadis ini hanya bisa dijelaskan oleh seorang Shiddiq.

Pada masa itu Syekh Abu Madyan dikenal sebagai Syekh yang paling terkemuka.
Maka mereka bergegas menemuinya karena mereka mengenal hakikat dan
kedalamannya dalam bidang ilmu dan makrifat. Sebelumnya ia juga dapat
memecahkan persoalan yang sulit mereka pahami.

Ketika mereka datang, ia tengah membahas al-Rislah al-Qusyairiyyah di


majelisnya. Melihat kedatangan mereka, Syekh beralih dari kitab yang sedang
dibaca dan bertanya kepada mereka, Apakah kalian datang untuk menanyakan
makna hadis yang sulit kalian pahami itu? Mereka sadar, Syekh telah
mengetahui maksud kedatangan mereka. Ya, jawab mereka.
Ia menjelaskan, Maksud Nabi saw. adalah bahwa apabila seorang mukmin
meninggal, Allah memberinya separuh dari surga yang telah dituliskan untuknya
di Lauh Mahfuzh sebagaimana yang dijanjikan untuknya di akhirat.

Ketika ajal menjemputnya, Allah memperlihatkan kepadanya kedudukan yang


akan ia raih di surga dengan tujuan agar ia merasa senang, tenteram, dan
bahagia melihat tempat kembalinya. Ketika kiamat tiba, lalu manusia dikumpulkan,
timbangan ditegakkan, dan hisab dilakukan, barulah ia diberi separuhnya lagi
sehingga apa yang ditetapkan untuknya di Lauh Mahfuzh menjadi sempurna.

Memang benar, sebelum kematian datang menjemput, seorang mukmin akan


melihat surga yang dijanjikan untuknya. Nabi saw. bersabda, Seorang hamba
memiliki dua tempat: tempat di surga dan tempat di neraka. Apabila hari kiamat
tiba, orang kafir mengambil tempatnya di neraka, sementara orang mukmin
menempati tempatnya di surga.

Allah berfirman, Kami akan mewarisi apa yang ia katakan dan ia akan datang
kepada Kami seorang diri. Jadi, ia mendapatkan separuh ketika mati dan
separuhnya lagi diberikan ketika setiap orang mendapatkan kemuliaan dan
kemurahan yang telah Allah siapkan. Allah berfirman, Orang yang takut kepada
kedudukan Tuhannya mendapatkan dua surga.

Syekh Abu Madyan menjelaskan makna hadis itu secara menyeluruh. Makna
serupa terdapat dalam beberapa hadis yang berkaitan dengan pertanyaan dua
malaikat kepada hamba

Ketika seorang mukmin mati, dibukakan kepadanya sebuah pintu menuju


neraka sehingga ia bisa melihat kedudukannya. Kedua malaikat berkata
kepadanya, Ini kedudukanmu seandainya kau berbuat baik.

Syekh Abu Madyan pertama kali dibaiat ke jalan Sufi oleh Syekh Abdullah
al-Daqaq, seorang sufi eksentrik yang sering berkeliaran di jalan-jalan dan
berteriak mengaku-aku dirinya Wali Allah, dan oleh Syekh Abu Hasan al-Salawi,
seorang sufi misterius. Kepada Syekh al-Daqqaq, seorang Wali Allah yang aneh
dan luar biasa, Abu Madyan mendalami kandungan kitab Tasawuf penting,
ar-Risalah karya ABU AL-QASIM AL-QUSYAIRI. Syekh Abu Madyan juga
berteman dan berguru kepada Syekh AHMAD RIFAI, seorang Wali Qutub pendiri
Tarekat Rifaiyyah di Irak. Meski disebut2 ketenaran dan signifikansinya sejajar
dengan Syekh Abdul Qadir Jailani, Syekh Abu Madyan mengakui dan tunduk
pada ucapan syatahat Syekh Abdul Qadir Jailani, Kakiku berada di atas bahu
Awliya Allah dan salah satu riwayat mengatakan beliau menerima ijazah
ruhaniah dari Syekh Abdul Qadir al-Jailani.

Melalui jalur Abu Madyan inilah di kawasan maghribi muncul sufi-sufi besar
yg menjadi poros2 utama kewalian di kawasan maghribi dan sekitarnya. Syekh
Ahmad Rifai, guru dari Syekh ABu Madyan, juga dikenal sebagai sufi yg eksentrik.
Tarekatnya dianggap agak aneh karena cara zikirnya yang terdengar seperti
meraung atau seperti suara gergaji. Pengikut Tarekat Rifaiyyah belakangan lebih
dikenal karena kekuatan dan keajaiban-keajaiban mereka, seperti kebal senjata,
kebal racun dan sebagainya. Tentu saja, efek-efek ini menyebabkan tarekat
ini rawan diselewengkan oleh orang-orang yg tidak bertanggung jawba, sehingga
sebagian sufi secara tegas mengecam penyimpangan tersebut tersebut. Namun
apapun penyelewengan itu, ajaran dan amalan Syekh Ahmad Rifai
sesungguhnya adalah amalan tarekat yang mutabar, atau sesuai dengan Quran
dan Sunnah Nabi.

Jadi pada periode sesudah Syekh ABu Hamid al-Ghazali ini mulai berkembang
bentuk baru organisasi tarekat yang strukturnya lebih kompleks. Perkembangan
ini barangkali adalah keniscayaan sebab pada masa itu mulai banyak sekali
orang Islam yg menempuh jalan ruhani (tasawuf). Sebagaimana lazimnya
sesuatu yang menjadi besar, selalu ada penyimpangan-penyimpangan yg
dilakukan oleh sufi-sufi palsu. Karenanya, sebagian syekh Sufi merasa perlu
melembagakan ajarannya dalam satu wadah di mana otoritas mursyid yg
kamil-mukammil bertindak sebagai pembimbing sekaligus penjaga agar pengikut
mereka tidak menyeleweng. Tetapi itu bukan berarti bahwa sufi-sufi yang berada
di luar organisasi tarekat tidak menjalankan amalan tarekat sebab tarekat
dalam pengertian yg lebih umum adalah Jalan ruhani itu sendiri.

Apapun efeknya, organisasi tarekat telah membuka kesempatan baru bagi


orang-orang Islam yang tidak menemukan akses ke wali-wali Allah yg biasanya
tersembunyi. Kemunculan wali-wali masyhur di dalam organisasi tarekat
menambah semarak perkembangan keruhanian Islam. Sebagian dari alasan
meningkatnya popularitas tarekat paada saat itu adalah karena kondisi sosial
politik di dunia ISlam sedang mengalami pergolakan hebat, setelah pasukan
Salib mulai merangsek ke wilayah kekuasaan kekhalifahan Islam. Banyak
murshid-murshid tarekat dan sufi-sufi individual yg terlibat langsung dalam
peperangan itu. Syekh Abu Madyan, misalnya, ikut membantu perang melawan
tentara Salin dari kelompok pasukan Perancis di sekitar Maroko, dan berperan
penting dalam kemenangan pasukan Islam di sana.

Kaum sufi, baik di dalam dan di luar organisasi tarekat, berdasar fakta sejarah
sesungguhnya berperan penting dalam pengembangan potensi ekonomi, sosial,
poliitk dan ilmu pengetahuan di dalam peradaban Islam. Namun peran sosial
mereka yg penting itu sering terlupakan, atau sengaja disembunyikan oleh
kelompok anti-Tasawuf terutama karena kebanyakan pengikut tarekat atau
sufi yang terkenal lebih menonjol dalam bidang keruhanian dan lebih ketat dalam
menjalani kehidupan yg zuhud, serta karena karamah-karamah mereka lebih
memikat untuk dikisahkan ketimbang peran ekononi dan sosial-politik
mereka.Peran-peransosial atau peran horisontal mereka semakin jelas dalam
perkembangan sesudah tahun 1100-an M.

Selain perkembangan tarekat-tarekat, dunia Tasawuf juga diwarnai oleh


perkembangan pemikiran mistis/makrifat yang luar biasa. Periode menjelang
abad 13 M, atau akhir era 1100-an adalah era di mana hampir semua bidang
peradaban Islam sedang mengalami kejayaan sekaligus melahirkan benih-benih
bayang-bayang kesuraman peradaban Islam. Kemajuan sisi lahiriah di bidang
ekonomi, politik, ilmu pengetahuan dan sebagainya diimbangi oleh lahirnya
kemajuan ruhani. Namun pada masa ini perkembangan paling menonjol selain
tarekat adalahmunculnya sufi-sufi besar yang menulis literatur yang abadi,
yang sangat memengaruhi dunia Tasawuf dan dunia Islam pada umumnya
sampai ke abad 21 dan barangkali akan masih terus berpengaruh hingga
di abad-abad mendatang. Tokoh-tokoh sufi yang agung pada periode ini antara
lain Fariduddin Attar (wafat 1220), Ibn al-Farid sang penyair mistis (wafat 1235),
Syekh Akbar Ibn Arabi, penggagas konsep wahdatul wujud, Jalaluddin Rumi
sang penyair cinta mistis terbesar sepanjang sejarah Islam (w. 1273) dan al-Iraqi,
penyair penerus tradisi wahdatul wujud.

Pada tanggal 28 Juli 1165 lahirlah seorang anak manusia yang kemudian dikenal
sebagai Muhammad ibn Ali ibn Muhammad ibn al Arabi al Tai al Hatimi atau
lebih populer dengan nama Ibn Arabi. Beliau dikemudian hari lebih dikenal
sebagai seoarang sufi dari andalusia, dan diberi gelar Muhyidin (Penghidup
agama) dan Syaikh al Akbar (Syaikh Agung). Karya karya yang lahir darinya
terutama dari dua kitabnya yang monumental Fushush al Hikam dan Futuhat
al Makkiyyah telah mempengaruhi sudut pandang kaum muslimin dalam
memahami agamanya, yang diridhai Allah (Islam). Pemikiran Ibn Arabi adalah
pemikiran yang telah mempengaruhi salah satu cara pandang kita dalam melihat
otosentisitas Islam (Tauhid).

Gagasan gagasan dasar ajaran Ibn Arabi telah menimbulkan reaksi yang luas
di kalangan kaum muslimin, yang pro maupun yang kontra. Yang tidak setuju
menuduh bahwa ajarannya merupakan panteisme. Yang pro justru menganggap
ajaran ini merupakan ajaran yang tinggi dan sangat radikal dalam interpretasinya
mengenai tauhid. Ibn Arabi lebih dikenal sebagai tokoh ajaran wahdatul wujud,
yang sering disalah tafsirkan sebagai ajaran yang menekankan pada aspek
imanensi mutlak Tuhan.

Namun sesungguhnya Ibn Arabi tidak menekankan imanensi Tuhan semata,


namun juga transendensi-Nya. Menurut beliau: dilihat dari sisi tasybih, Tuhan
adalah identik, atau lebih tepat seruap dan satu dengan alam walaupun kedua
duanya tidak setara karena Dia, melalui nama nama Nya, menampakkan diri
Nya dalam alam. Tetapi dilihat dari sisi tanzih, Tuhan berbeda sama sekali
dengan alam karena Dia adalah Dzat Mutlak yang tidak terbatas, di luar alam
nisbi yang terbatas. Ide ini dirumuskan oleh ibn Arabi dengan ungkapan singkat
huwa la huwa. Tuhan adalah imanen (tasybih) dan transenden (tanzih)
sekaligus.

Dalam doktrin wahdat al wujud Tuhan betul betul esa karena tidak ada wujud,
yaitu wujud hakiki kecuali Tuhan; wujud hanya milik Tuhan. Alam tidak lebih
dari penampakan Nya. Doktrin ini mengakui hanya satu wujud atau realitas
karena mengakui dua jenis wujud atau realitas yang sama sekali independen
berarti memberikan tempat kepada syirik atau politeisme. Doktrin wahdat al wujud
ibn Arabi mempunyai posisi yang kuat karena didukung oleh atau bersumber
dari ayat ayat Al Quran dan Hadis Nabi saw.

Wahdat al Wujud Menurut Syaikh Akbar Ibnu al Arabi benar benar merupakan
pemikiran genius di zamannya. Karya karyanya telah membuktikan hal itu. Ibn
al Arabi mengungkapkan ajaran ajaran dan berbagai pandangan genarasi sufi
yang mendahuluinya secara sistematis dan rinci. Ibn Arabi adalah jembatan
atau penghubung antar dua fase historis Islam dan tasawuf dan penghubung
antara tasawuf Barat dan Timur.

Menurut Ibn Arabi, dalam hadis Qudsi, Allah berfirman, Aku adalah harta
simpanan tersembunyi, karena itu Aku rindu untuk dikenal. Maka aku ciptakan
makhluk, sehingga melalui Ku mereka mengenal Ku. [hadits Qudsi] Allah adalah
harta simpanan tersembunyi (kanz makhfiyan), yang tidak dapat dikenal kecuali
melalui alam. Maka alam adalah cermin bagi Tuhan, yang dengannya Ia
mengenal dan memperkenalkan Wajah Nya. Kanz makhfi, dengan demikian
adalah Yang Tersembunyi dari Yang Tersembunyi, Dzaat, yang tidak dapat
dijangkau oleh siapapun ditinjau dari segi Dzaat Nya. Misteri Dzaat, yang
tersembunyi ini berakibat kerinduan dan kesepian. Dalam kerinduan dan
kesepian primordial ini membuat Dia rindu untuk dikenal. Maka Ia pun ber
tajalli. Tajalli Al Haqq adalah penampakan diri Nya dengan menciptakan alam.
Tajalli Al Haqq terjadi dalam bentuk bentuk yang tidak terbatas jumlahnya. Alam
berubah setiap saat, terus menerus tanpa henti. Setiap waktu Dia dalam
kesibukan (Q.S.55;29). Seperti yang dikatakan oleh Ibn Arabi; Sesungguhnya
Allah Subhanahu selama lamanya tidak melakukan tajalli dalam satu bentuk
bagi dua individu atau pribadi, dan tidak pula dalam satu bentuk dua kali.
Tajalli Nya adalah pemberian Nya yang telah ditetapkan sejak Azali, persis
seperti yang ada dalam Ayan tsabitah, Pengetahuan Abadi dalam Hakikat Tuhan.
Jadi hakikat yang sebenarnya dari setiap segala sesuatu yang berasal dari
tajaliyyat Nya selalu ada, yakni dari dalam kedalaman batin Wujud Nya (Potensi
Abadi Nya), yang merupakan Ilmu Nya (pengetahuan Nya) yang tetap dan
abadi (ayan tsabitah). Dari sudut padang ini, dunia pada hakekatnya merupakan
perwujudan (manifestasi) Tuhan, namun dalam Diri Nya, yakni dalam Dzat Nya,
Dia terlepas dari setiap perwujudan itu sendiri. Ayan tsabitah pada dasarnya
hanyalah potensi abadi yang karena sifatnya itu ia bisa menjadi aktual atau
bisa juga tidak. Karenanya, Kemungkinan (Potensialitas) itulah yang
sesungguhnya nyata. Dan karena itulah, ayan tsabita tetap tidak berubah dan
tidak ada secara aktual dalam ilmu Tuhan. Meskipun disifati dengan
kepermanenan, ia tidak disifati dengan wujud, yakni ia tetap dalam keadaan
yang disifati dengan ketiadaan yang dimiliki oleh yang mungkin, bukan oleh
yang tidak mungkin. Jadi, Ayan tsabita, dalam ketiadaannya siap menerima
wujud. (Fusus al Hikam). Dalam Futuhat al Makiyyah mengenai hal ini dikatakan:

Ilmu Al Haqq tentang Diri Nya sama dengan ilmu Nya tentang alam karena
alam selama lamanya disaksikan Nya, meskipun alam disifati dengan ketiadaan.
Sedangkan alam tidak disaksikan oleh dirinya [sendiri] karena ia tidak ada.
Ini adalah lautan tempat binasanya para pemikir teoritis, yaitu orang orang yang
tidak diberi kasyaf. Diri Nya selama lamanya ada, maka ilmu Nya selama lamanya
ada pula. Ilmu Nya tentang Diri Nya adalah ilmu Nya tentang alam;karena itu
ilmu Nya tentang alam selama lamanya ada. Jadi Dia mengetahui alam dalam
ketiadaannya. Dia mewujudkan alam menurut bentuk Nya dalam ilmu Nya.
Karena itu, alam tidak pernah ada diluar Tuhan yakni; tidak ada dalam wujud
kecuali Allah dan sifat sifat dari ayan, dan tidak ada sesuatu pun dalam adam
[ketiadaan] kecuali entitas entitas mumkinat (kemungkinan) yang dipersiapkan
untuk diberi wujud. (Futuhat)

Dengan demikian, alam semesta dan semua yang terkandung di dalamnya


adalah wujud, dan pada saat yang sama adalah tak berwujud (adum). Dengan
cara yang sama, Tuhan selalu meliputi alam dan juga mengatasi alam. Dia
sekaligus transenden dan imanen, tanzih dan tasybih, seperti yang dikatakan
oleh Ibn Arabi sendiri:

Allah Taala berfirman, Laysa kamitslihi bi syai, maka dengan demikian Dia
menyatakan Tanzih Nya; wa huwa al samial bashir, maka dengan demikian
Dia menyatakan Tasybih Nya.

Gaung gagasan Ibn Arabi melampaui batas-batas geografis dunia Islam.


Gagasannya dengan cepat menyebar dari Afrika sampai ke anak benua India,
kemudian masuk ke Asia Tenggara, termasuk ke Indonesia. Sebagian pengikut
Ibn Arabi di era yg lebih modern menyebarkannya ke Eropa dan Amerika,
hingga ke Amerika Selatan dan Amerika Latin. Di Inggris didirikan Ibn Arabi
Society, yang berpusat di Oxford. Sebelumnya, Rauf dari Turki mendirikan
Beshara, dan Rauf sendiri menerjemahkan sebagian karya Ibn Arabi, terutama
Fusush al-Hikam ke dalam bahasa Inggris.

Selain memengaruhi kajian spiritualitas Islam, gagasan Ibn Arabi juga


memengaruhi filsafat Islam pada umumnya, seni Islam (arsitektur, musik, dan
sastra) dan sebagainya. Salah satu contoh luar biasa dari penerapan gagasan
kosmologi mistis Ibn Arabi ke dalam wilayah aristektur adalah bangunan Taj
Mahal di India. Bangunan indah ini dibangun berdasarkan prinsip keselarasan
geometris struktur kosmos ruhani dan makrokosmos lahiriah dan perhitungan
astronomi yang rumit.

Anda mungkin juga menyukai