Anda di halaman 1dari 3

Merdeka.

com - Ahad sore pekan lalu, Hasan bin Mumammad bin Adullah al-Haddad, 65 tahun, duduk di
kursi menghadap pintu gerbang makam. Tempat biasa petugas dan pengurus menyapa peziarah makam
Habib Ahmad bin Alwi al-Haddad atau lebih dikenal dengan sebutan Habib Kuncung.
Di kursi itu, Hasan terus memperhatikan pengunjung lewat. Sekali-sekali ia membalas salam dan senyum
dari peziarah. Di sini kita tidak mewajibkan pengunjung mengisi buku tamu, tidak mau merepotkan
pengunjung, kata Hasan.
Tata cara berziarah juga dibebaskan. Pihaknya membolehkan peziarah membawa hadrah hingga yang
doanya terbilang cepat sekalipun. Dengan kelonggaran seperti itu, dia keberatan dipanggil juru kunci
makam.
Istilah juru kunci, menurut dia, terlalu kaku. Juru kunci merujuk kepada orang yang tugasnya
menjelaskan dan membimbing peziarah. Padahal, kata Hasan, aliran dalam Islam memiliki berbagai
pandangan tentang ziarah kubur dan tata caranya. Dengan membebaskan peziarah, dia tidak ingin
membuat sekat antar aliran. Siapa pun bebas mengunjungi pusara Habib Kuncung.
Tugas pengurus hanya memastikan pengunjung berpakaian sopan. Seperti perempuan tidak
menggunakan kerudung atau laki-laki memakai celana pendek. Peziarah melanggar langsung dicegat,
diberitahukan, dan dipinjami kerudung atau sarung. Hasan menegaskan pengunjung harus menghormati
makam wali Allah seperti Habib Kuncung.
Hasan menuturkan Habib Kuncung adalah ulama memiliki sikap sulit ditebak. Ia mencontohkan Habib
Kuncung diajak ke Pekalongan, namun dia menolak. Saat rombongan sampai di Pekalongan ternayata
Habib Kuncung sudah lebih dulu tiba di sana. Hanya orang-orang tertentu bisa melihat karomah yang
dimilikinya, ujar Hasan. Ia menambahkan Habib Kuncung terkenal suka membantu orang lain dengan
kemunculan tiba-tiba.
Hasan mengaku tidak mengetahui managib (kisah hidup) Habib Kuncung. Setahu dia, ia dilahirkan di
Hadramaut. Di sini saja tidak ada yang kuat dan berani menulis kisah hidup Habib Kuncung, kata Hasan.
Sebutan habib Kuncung diberikan karena kebiasaanya menggunakan kopiah lancip menjulang. Dalam
istilah Betawi disebut kuncung. 
Setelah menyelesaikan pendidikannya, ia melakukan perjalanan spiritual seperti halnya ulama-ulama
penyebar Islam. Dari riwayat yang ada, Habib Kuncung berdakwah pertama kali di Kupang, Nusa
Tenggara Timur. Setelah itu, ia ke Pulau Jawa hingga akhirnya menetap di Kalibata hingga wafat. Hasan
memperkirakan Habib Kuncung meninggal pada 1926. 
Hasan mengungkapkan tiap penutupan pengajian sepekan seblum Ramadan kmpleks pusara Habib
Kuncung selalu diguyur hujan. Ia percaya Habib Kuncung memiliki banyak cara menguji pezaiarah. Kalau
tidak kuat akan lari saat hujan turun, tapi tidak sedikit juga mampu bertahan, ujarnya. [fas

Di antara penjelasan Syekh Sholeh Darat As-Samarani yang dikutip Rikza Chamami (2016) tentang wali
dan karamah adalah dalam syarah nadzam Jauharut Tauhid Syekh Ibrahim Allaqani:

‫واثبتن لالوليإ الكرامة ٭ ومن نفاها انبذن كالمه‬

Wali menurut Mbah Sholeh Darat adalah seorang ‘arif billah (mengetahui Allah) sekedar derajat dengan
menjalankan secara sungguh-sungguh taat kepada Allah dan menjauhi maksiat.
Artinya para wali itu menjauhi segala macam kemaksiatan berbarengan dengan selalu bertaubat kepada
Allah. Sebab wali itu belum kategori ma’shumin (terjaga) seperti Nabi. Maka wali belum bisa
meninggalkan maksiat secara penuh. Makanya mereka disebut waliyullah.
Keberadaan wali yang sedemikian agung ini mendapatkan keistimewaan dalam hidupnya. Mereka dalam
hidupnya selalu mengingat dan menggantungkan diri, dan menyatukannya pada Allah. Hati selalu
menghadap dan pasrah dengan takdir Allah saja. Itulah definisi sederhana mengenai wali menurut Mbah
Sholeh Darat.
Adapun karomah menurut Mbah Sholeh Darat sesuatu yang nulayani adat (berbeda dari sewajarnya)
jika dilihat secara kasat mata. Mereka yang mendapat karomah selalu menunjukkan kepribadian baik
dan meniru jejak Rasulullah dengan bekal syariah dan baik secara ideologi serta perilakunya.
Karomah yang dimiliki oleh wali itu tidak hanya nampak ketika hidup saja. Tetapi setelah wafat,
waliyullah masih diberi karomah. Dan bagi pengikut Ahlussunnah wal Jama’ah, kepercayaan terhadap
adanya waliyullah dan karomah itu perlu diyakini secara baik. Bahkan empat imam madzhab sudah
bersepakat mengenai karomah yang ada para wali ketika hidup maupun sudah wafat.
Habib Muhammad Luthfi bin Yahya Pekalongan dalam karyanya Secercah Tinta (2012) mengungkapkan,
banyak Nabi-nabi dari Bani Israil dengan mukjizatnya bisa menghidupkan orang mati. Lalu bagaimana
umatnya Rasulullah SAW? Umat Rasulullah pun sama.
Jika pada Bani Israil ada Nabi yang bisa menghidupkan orang mati, maka umat Nabi SAW pun bisa
menghidupkan orang mati dengan karamahnya, seperti Syekh Abdul Qadir Jailani, sebagaimana
disebutkan dalam manaqib-nya.
Demikian juga Imam Yahya bin Hasan yang juga keturunan Syekh Abdul Qadir Jailani akhirnya disebut
Bin Yahya. Karomah-karomahnya juga bisa menghidupkan orang mati. 
Melalui riwayat Habib Luthfi, dikisahkan suatu ketika berjalan dengan romobongan dari Tarim,
Hadhramaut, Yaman, rombongan tersebut hendak ziarah ke Baitullah al-Haram Makkah kemudian ziarah
ke makam Nabi Muhammad SAW.
Dalam perjalanan ke Madinah setelah dari Makkah, seorang rombongannya ada yang meninggal.
Kemudian ada yang melapor kepada Imam Yahya bahwa ada anggota rombongan yang meninggal. 
Lalu Imam Yahya datang dan memegang telinga orang tersebut dan berkata: “Hai kamu mau saya ajak
ziarah ke jaddana (kakekku) al-Musthafa SAW. Nanti setelah berziarah ke jaddana al-Musthafa SAW,
mau mati, matilah. Ayo qum biidznillah, hiduplah kembali dengan izin Allah.”

Akhirnya seorang anggota rombongan yang mati itu hidup kembali. Tetapi ketika kembali sampai di
Tarim setelah ziarah ke makam Baginda Nabi Muhammad SAW, orang tersebut meninggal lagi. 

Itulah asal-usulnya kenapa disebut Bin Yahya, karena mempunyai karamah bisa menghidupkan.
Menurut sumber kedua, disebut Yahya itu memang yang memberikan nama adalah Baginda Nabi SAW
sesuai keterangan Habib Alwi bin Thahir Al-Hadad, Mufti Johor.

Karomah-karomah seperti itu tercatat tidak sedikit. Mukjizatnya Nabi Allah Uzair, hewan yang sudah
mati sekian ratus tahun bisa dihidupkan kembali. Umat Sayidina Muhammad SAW ada yang seperti itu,
bisa menghidupkan hewan yang sudah mati, yaitu Habib Abu Bakar bin Abdullah bin Thalib al-Athas.
Kambing kesenangannya mati, akhirnya dihidupkan kembali oleh Habib Abu Bakar. Wallahu’alam
bisshawab.(Fathoni

Gus Dur tampak berbeda pagi itu. Ia minta dicarikan baju koko dan sarung baru. Persis hendak
menyambut Lebaran. Alhasil terpilihlah pakaian milik santri untuk dikenakan. Anehnya, para tamu
terhormat di depan rumah Ciganjur tak ada yang boleh masuk. Kecuali kakek tua cungkring berpeci
hitam, janggut putih, dengan kain diselempang ke bahu, dan celana pangsi selutut. Bila tertawa,
wajahnya mirip seperti bayi imut.Menurut pengakuan kakek cungkring, yang saat itu diantar seorang
aktivis Aceh, ia berjalan kaki dari tanah Serambi Makkah. Setelah dipersilakan masuk, Gus Dur
mengajaknya duduk di karpet. Lalu keduanya tidur selama 15 menit—dalam kondisi duduk. Setelah
terbangun, kakek cungkring pun pamit. Santri yang sejakawal direpoti Gus Dur pun bertanya dan
beroleh jawaban singkat.Tamunya tadi adalah seorang Wali Allah dan hanya satu di Indonesia. Wali yang
sejenis dengannya, hanya ada di Sudan. Merujuk pada la ya’riful wali illal wali (tiada yang mengetahui
wali selain wali), sudah jelas bagaimana Gus Dur memosisikan dirinya. Dengan kata lain, bangsa besar ini
pernah dipimpin oleh seorang Wali besar yang lahir di tanah keramat: Nusantara.Dari kejadian itu
mencuatlah nama Abu Ibrahim Woyla yang bernama lengkap Teungku (Kiyai) Ibrahim bin Teungku
Sulaiman bin Teungku Husen.Lahir di kampung Pasi Aceh, Kecamatan Woyla, Kabupaten Aceh Barat
pada 1919 M. Abu Ibrahim Woyla hanya sempat menamatkan Sekolah Rakyat (SR). Selebihnya
menempuh pendidikan Dayah (Pesantren Salafi/Tradisional) selama hampir 25 tahun.Sosok ini
merupakan orang yang sangat dihormati di Aceh. Masyarakat di sana memanggilnya “Tgk Beurahim
Wayla” dan percaya bahwa ia sering menunaikan Salat Jumat di Makkah dan kembali pada hari itu juga.
Ia bisa berjalan cepat dan lebih cepat dari mobil. Sudah terlalu banyak saksi yang melihatnya bisa
menghilang. Inilah “dewa tidur” dari Aceh, yang menghabiskan harinya dengan tidur semata. Posisi
tidurnya pun melengkung (meukewien). Mirip kucing. Abu Ibrahim Woyla juga bisa mengetahui perilaku
seseorang dan sering kali orang yang menemui beliau dibacakan kesalahannya agar diperbaiki.Sebelum
terjadi tsunami, Abu Ibrahim pernah berkata bahwa, ”Air laut bakalnaik sampai setinggi pohon
kelapa.”Mungkin perjamuan di Ciganjur itu semacam MoU Pulang bersama antara Gus Dur dan Abu
Ibrahim Woyla. Abu Ibrahim wafat pada 18 Juli 2009 dalam usia 90 tahun, sedang Gus Dur pada 30
Desember, tahun yang sama, dalam usia 69 tahun. Pusara terakhir Abu Ibrahim tak jauh dari
kediamannya di Desa Pasi Aceh, Kecamatan Woyla, Kabupaten Aceh Barat. Selama sebulan penuh,
ribuan masyarakat berduyun melayat demi memberi penghormatan terakhir pada manusia mulia yang
pernah lahir di Tanah Rencong.Maqbarah Gus Dur berjajar tiga dengan kakeknya yang mulia,
Hadratussyaikh Muhammad Hasyim Asy’ari dan ayahanda tercinta, KH Wahid Hasyim, di Ponpes
Tebuireng. Seperti Ibrahim Woyla, ribuan orang tumpah ke jalan demi mengantar Wali Tidur ini ke
haribaan Ibu Pertiwi, dan berjabat erat dengan waktu

Contoh karomah dalam sunah yang sahih adalah apa yang dialami Usaid bin Hudhair dan ‘Abbad bin
Basyir saat ia pulang dari sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di malam yang gelap, ternyata pada
keduanya ada cahaya di hadapannya (yang menerangi jalan). Ketika keduanya berpisah, cahaya itu ada
pada masing-masingnya sampai mereka berdua kembali ke keluarganya. Demikian pula yang dialami
Khubaib bin ‘Addi yang tertawan di Mekah, ia diberi makan buah anggur, padahal di Mekah tidak ada
anggur.
Demikian juga pada kisah seorang pemuda yang mendatangi tukang sihir dan mendatangi seorang rahib,
di mana Allah memberikan kepadanya karomah mampu menyembuhkan berbagai penyakit dengan izin
Allah, dan pada kisah Juraij yang dituduh berzina, lalu bayi dari pezina itu lahir dan Juraij bertanya
kepadanya, “Siapa bapakmu?” Bayi dari wanita pezina itu berkata, “Fulan yang mengembala kambing
itu.”Demikian juga pada kisah tiga orang Bani Israil yang bermalam di gua, kemudian gua itu tertutup
batu besar, akhirnya masing-masing berdoa kepada Allah dengan menyebut amal saleh yang
dikerjakannya, sehingga batu itu bergeser dan akhirnya mereka bisa keluar.Pada kisah seorang yang
yang mendengar suara di awan, “Siramilah kebun si fulan.” Di mana orang yang disirami kebunnya biasa
membagi hasil kebunnya tiga bagian; sepertiga untuk diri dan keluarganya, sepertiga untuk
disedekahkan dan sepertiga dikembalikan ke kebun, dan lainnya ( Riyadhush Shaalihin bab Karaamaatul
awliyaa’ wa fadhluhum).Sedangkan Contoh karomah dalam atsar adalah melihatnya Umar radhiyallahu
‘anhu pasukan Sariyah ketika ia sedang berada di atas Mimbar di Madinah, sedangkan pasukan Sariyah
berada di Nahawand di bagian Timur, ia memanggil mereka, “Wahai Sariyah! Naik ke gunung.” Maka
Sariyahnya mendengar seruan itu dan mengikuti arahannya sehingga mereka selamat dari tipu daya
musuh.

Anda mungkin juga menyukai