Dulu saya sering duduk di rumahnya Kyai Abdul Fattah, untuk mengaji. Di
situ ada seorang wali, namanya Kyai Irfan Kertijayan. Kyai Irfan adalah sosok
yang nampak hafal keseluruhan kitab Ihya' Ulumiddin, karena kecintaannya
yang mendalam pada kitab tersebut. Setiap kali ketemu saya beliau pasti
memandangi dan lalu menangis. Di situ ada Kyai Abdul Fattah dan Kyai Abdul
'Adzim.
Lama-kelamaan akhirnya beliau bertanya, “Bib, saya mau bertanya. Cara dan
gaya berpakaian Anda kok sukanya sarung putih, baju dan kopyah putih,
persis guru saya.”
Saya mau ngaku cucunya tapi kok masih seperti ini, belum menjadi orang
yang baik, batinku dalam hati. Mau mengingkari/berbohong tapi
kenyataannya memang benar saya adalah cucunya Habib Hasyim. Akhirnya
Kyai Abdul Adzim dan Kyai Abdul Fattah yang menjawab, “Lha beliau itu
cucunya.”
Lalu Kyai Irfan merangkul dan menciumiku sembari menangis hebat saking
gembiranya. Kemudian beliau berkata, “Mumpung saya masih hidup, saya
mau cerita Bib. Tolong ditulis.”
“Begini,” kata Kyai Irfan mengawali ceritanya. Mbah Kyai Hasyim Asy’ari
setelah beristikharah, bertanya kepada Kyai Kholil Bangkalan, bermula
dengan mendirikan Nahdlatut Tujjar dan Nahdlah-nahdlah yang lainnya,
beliau merasa kebingungan. Hingga akhirnya beliau ke Mekkah untuk
beristikharah di Masjidil Haram. Di sana kemudian beliau mendapat
penjelasan dari Kyai Mahfudz at-Turmusi dan Syaikh Ahmad Nahrawi, ulama
Jawa yang sangat alim. Kitab-kitab di Mekkah kalau belum di Tahqiq atau
ditandatangani oleh Kyai Ahmad Nahrawi maka kitab tersebut tidak akan
berani dicetak. Itu pada masa Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, mufti Mekkah pada
waktu itu.
Syaikh Mahfudz at-Turmusi dan Syaikh Ahmad Nahrawi dawuh kepada Kyai
Hasyim Asy’ari, “Kamu pulang saja. Ini alamat/pertanda NU bisa berdiri hanya
dengan dua orang. Pertama Habib Hasyim bin Umar Bin Yahya Pekalongan,
dan kedua Kyai Ahmad Kholil Bangkalan (Madura).”
Maka Kyai Hasyim Asy’ari pun segera bergegas untuk pamit pulang kembali ke
Indonesia. Beliau bersama Kyai Asnawi Kudus, Kyai Yasin (mBareng Jekulo
Kudus, guru + mertua mbah Ahmad Basyir mbareng) dan kyai-kyai lainnya
langsung menuju ke Simbang Pekalongan untuk bertemu Kyai Muhammad
Amir (Muhammad Amir bin Idris, Pentashih Kitab Dalail Khairat, karya Syekh
Abi Abdillah Muhammad bin Sulaiman Jazuli) dengan diantar oleh Kyai Irfan
dan kemudian langsung diajak bersama menuju kediaman Habib Hasyim bin
Umar.
Baru saja sampai di kediaman, Habib Hasyim langsung berkata, “Saya ridha.
Segeralah buatkan wadah Ahlussunnah wal Jama’ah. Ya Kyai Hasyim, dirikan,
namanya sesuai dengan apa yang diangan-angankan olehmu, Nahdlatul
Ulama. Tapi tolong, namaku jangan ditulis.” Jawaban terakhir ini karena
wujud ketawadhuan Habib Hasyim.
Maka dari itu Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Al-Atthas dengan Habib
Hasyim Bin Yahya tidak bisa terpisahkan. Kalau ada tamu ke Habib Hasyim,
pasti disuruh sowan (menghadap) dulu kepada yang lebih sepuh yakni Habib
Ahmad bin Abdullah bin Thalib Al-Atthas. Dan jika tamu tersebut sampai ke
Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib maka akan ditanya, “Kamu suka atau
tidak kepada adikku Habib Hasyim bin Umar?” dengan maksud agar
sowannya ke Habib Hasyim saja. Itulah ulama memberikan contoh kepada
kita tidak perlunya saling berebut dan sikut, tapi selalu kompak dan rukun.
Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Alattas wafat tahun 1347 Hijriyah bulan
Rajab tanggal 14, dan haulnya dilaksanakan tanggal 14 Sya’ban. Tiga tahun
setelahnya, tahun 1350 Hijriyah, Habib Hasyim bin Umar Bin Yahya wafat.
Setahun kemudian (1351 H) adalah wafatnya Habib Abdullah bin Muhsin
Alattas Bogor. Waktu itu banyak para ulama besar seperti Mbah Kyai Adam
Krapyak dan Kyai Ubaidah, merupakan para wali Allah dan samudera
keilmuan.