Anda di halaman 1dari 26

OLEH:

SYARIF HIDAYATULLAH, S.S.I, MA



Tasawwuf
Secara Bahasa: - (Berasal dari shafa) : Kesucian
- (Berasal dari shafwa) : Orang-orang terpilih
- (Berasal dari shafwa) : Baris/Deret
- (Berasal dari shuffah): Serambi rendah diluar Masjid Nabawi
- (Berasal dari shuf): Bulu domba
Secara Istilah: - Menurut Imam Junaid (w.910M): Ilmu dimana seseorang mengambil
setiap sifat mulia dan meninggalkan setiap sifat rendah/tercela
- Menurut Syekh Abul Hasan asy-Syadzili (w.1258M): praktik dan latihan diri melalui cinta
yang dalam (kepada Tuhan) dan ibadah untuk mengembalikan diri kepada jalan Tuhan
- Menurut Syekh Ahmad Zarruq (w.1494) dari Maroko: Ilmu yang dengannya seseorang dapat
memperbaiki hati dan menjadikannya semata-mata bagi Allah, dengan menggunakan
pengetahuannya tentang jalan Islam, [seperti pengetahuannya mengenai ilmu fiqh dan
pengetahuan-pengetahuan lain yang berkaitan], untuk memperbaiki amalnya dan menjaganya
dalam batas-batas syariat Islam agar kebijaksanaannya menjadi nyata.
- Menurut Syekh Ibn Ajiba (w.1809M): suatu ilmu yang mempelajari bagaimana cara
berperilaku agar berada dalam keridhaan Tuhan yang Maha Kuasa melalui penyucian batin
dan mempermanisnya dengan amal baik.
Sedangkan Sufi adalah: - orang-orang yang tertarik kepada pengetahuan batin, atau orang-orang yang
tertarik untuk menemukan suatu jalan atau praktik ke arah kesadaran dan
pencerahan batin guna mencari keridhaan dari Tuhannya dan mendekatkan diri
kepada-Nya.
- orang yang bersiteguh dalam menjaga kesucian hatinya karena Allah, dan
senantiasa berakhlak baik kepada makhluk lainnya serta mendekatkan dirinya
kepada Allah.
Abu Yazid al-Busthami
Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Thaifur bin Isa bin Surusyan al-Busthami, lahir di
daerah Bustham ( Wilayah Persia) tahun 874 - 947 M.
Ayahnya Surusyan, pada mulanya seorang penganut agama Majusi/Zoroaster kemudian
masuk Islam.
Ibunya berkata bahwa ketika dalam perutnya (dalam kandungannya), Abu Yazid akan
memberontak sehingga ibunya muntah jika ibunya menyantap makanan yang diragukan
kehalalannya.
Keluarga Abu Yazid termasuk orang berada di daerahnya, tetapi ia lebih memilih hidup
sederhana.
Sewaktu meningkat usia remaja, Abu Yazid terkenal sebagai murid yang pandai dan seorang
anak yang patuh mengikuti perintah agama dan berbakti kepada orang tuanya. Suatu kali
gurunya menerangkan suatu ayat dari Surat Luqman yang berbunyi, "Berterima kasihlah
kepada Aku dan kepada kedua orang tuamu". Ayat ini sangat menggetarkan hati Abu Yazid.
Ia kemudian berhenti belajar dan pulang untuk menemui ibunya.
Sikapnya ini menggambarkan bahwa ia selalu berusaha memenuhi setiap panggilan
Allah.
Perjalanan Abu Yazid untuk menjadi seorang sufi memakan waktu puluhan tahun. Sebelum
menjadi seorang sufi, ia terlebih dahulu telah menjadi seorang faqih (ahli fiqh) dari mazhab
Hanafi. Salah seorang gurunya yang terkenal adalah Abu Ali As-Sindi yang
mengajarkannya ilmu tauhid, ilmu hakikat, dan ilmu lainnya kepada Abu Yazid.
Ajarannya yang terkenal adalah al-fana, al-baqa, dan al-ittihad.
Dari segi bahasa, fana' berasal dari kata faniya yang berarti hilang, musnah atau lenyap. Menurut
al-Qusyairi, Fana yang dimaksud adalah : Fananya seseorang dari dirinya dan makhluk lain, yaitu
terjadi dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan tentang mahkluk lainnya.
Sebenarnya dirinya tetap ada dan demikian pula mahkluk lain ada, tetapi ia tidak sadar lagi pada
mereka dan pada dirinya.
Adapun salah satu jalan untuk mencapai fana disamping mendalamnya cinta dan rindu
kepada Allah , adalah dengan meditasi (pemusatan kesadaran) dengan perantaraan dzikir,
sebagaimana dijelaskan dalam kitab hikam.
Adapun baqa berasal dari kata baqiya. Arti dari segi bahasa adalah tetap. Sedangkan
berdasarkan istilah tasawuf berarti menisbahkan sifat-sifat terpuji kepada Allah. Paham baqa
tidak dapat dipisahkan dengan paham fana karena keduanya merupakan paham yang
berpasangan. Jika seorang sufi sedang mengalami fana, ketika itu juga ia sedang menjalani baqa.
Ittihad artinya bahwa tingkatan tasawuf dimana seorang sufi merasa dirinya bersatu dengan
Tuhan. Ittihad merupakan suatu tingkatan di mana yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi
satu.
Abu Yazid tidak meninggalkan karya tulis, tetapi ia mewariskan sejumlah ucapan dan
ungkapan mengenai pemahaman tasawwufnya yang disampaikan oleh murid-muridnya dan
tercatat dalam beberapa kitab tasawwuf klasik, seperti ar-Risalah al-Qusyairiyyah, Tabaqat as-
Sufiyyah, Kasyf al-Mahjub, Tazkirah al-Auliya, dan al-Luma.
Ia meninggal dunia tahun 261 H/ 874 M di kota kelahiranya Busthan.
Al-Hallaj
Nama lengkapnya adalah Abu Bakar al-Mughits al-Husain bin Mansyur bin Muhammad al-
Baidhawi. Al-Hallaj di lahirkan di kota Thur yang bercorak Arab di kawasan Baidhah, Iran tenggara,
pada 244 H/ 858 M.
Ia bukan orang Arab, melainkan keturunan Persia. Kakeknya adalah seorang Majusi dari silsilah Abu
Yaqub.
Ia mulai belajar Al-Quran pada Qurra (para Qari) Al Quran mazhab Hanbali dan dan ia menghafal
pada usia dini.
Pada tahun 260 H/ 873 M, dia pindah ke Tustar dan menjadi murid Sahl bin Abdullah al-Tusturi,
seorang sufi pengembara yang ketat dalam pengamalan tasawwufnya.
Setelah belajar 2 tahun dengan Tusturi, dia berangkat ke Basrah Di Basrah ia balajar dengan Amir
Makki (w.279 H / 909 M) salah seorang murid al-Junaid.
Setelah itu ia lalu melanjutkan perjalanan ke Baghdad. Di Baghdad ia menuntut ilmu dan berada di
bawah asuhan sufi bernama Abu Yakub al-Aqtha, yang juga merupakan murid al-Junaid, lalu ia
menikah dengan putri gurunya, Umm al-Husain.
Pada tahun 892 M, Al-Hallaj memutuskan untuk menunaikan ibadah haji ke Makkah. Ia menetap
disana selama setahun penuh, dan hampir setiap hari dihabiskannya dengan berpuasa dengan
tujuan untuk menyucikan hatinya menundukkannya kepada Kehendak Ilahi.
Ia pulang dari menunaikan ibadah haji dengan membawa pikiran-pikiran baru tentang berbagai topik
seperti inspirasi Ilahi, dan ia membahas pikiran-pikiran ini dengan para sufi lainnya.
Banyak reaksi baik positif maupun negatif yang diterima oleh Al-Hajjaj yang kemudian
memberinya keputusan untuk kembali ke Bashrah. Ketika al-Hallaj kembali ke Bashrah, ia
memulai mengajar, memberi kuliah, dan menarik sejumlah besar murid. Lalu ia pergi ke Tustar,
di Tustar ia terus mengajar dan meraih keberhasilan gemilang.
Pada 899 M, ia berangkat mengadakan pengembaraan ke arah perbatasan timur laut negeri itu,
kemudian menuju selatan, dan akhirnya kembali lagi ke Ahwaz pada 902 M. Dalam
perjalanannya, ia berjumpa dengan guru-guru spiritual dari berbagai macam tradisi.
Ketika ia tiba kembali lagi ke Tustar, ia mulai lagi mengajar dan memberikan kuliah. Ia berceramah
tentang berbagai rahasia alam semesta dan tentang apa yang terbersit dalam hati jamaahnya.
Akibatnya ia dijuluki Hallaj al-Asrar, (Hallaj berarti seorang penggaru (pengolah atau
penggembur) sedangkan Asrar bisa bermakna rahasia atau kalbu) yang berarti sang penggaru
segenap rahasia atau Kalbu.
Setahun kemudian, ia menunaikan ibadah haji kedua. Kali ini ia menunaikan ibadah haji sebagai
seorang guru disertai empat ratus pengikutnya. Sesudah melakukan perjalanan ini, ia mutuskan
meninggalkan Tustar untuk selamanya dan bermukim di Baghdad, tempat tinggal sejumlah sufi
terkenal, ia bersahabat dengan dua diantaranya mereka, Nuri dan Syibli.
Pada 906 M, ia memutuskan untuk mengemban tugas mengislamkan orang-orang Turki dan
yang lainnya. Ia berlayar menuju India selatan, pergi keperbatasan utara wilayah Islam, dan
kemudian kembali ke Bagdad. Perjalanan ini berlangsung selama enam tahun dan semakin
membuatnya terkenal di setiap tempat yang dikunjunginya dan jumlah pengikutnya makin
bertambah.
Ia kembali ke Baghdad pada tahun 296 H / 909 M. Di kota ini ia bersahabat dengan kepala rumah
tangga istana, Nashr al-Qusyairi, yang mengingatkan tentang sistem tata usaha yang baik dan
pemerintah yang bersih.
Al-Hallaj selalu mendorong sahabatnya melakukan perbaikan dalam pemerintahan dan selalu
melontarkan kritik terhadap penyelewengan yang terjadi.
Karena kekhawatiran pada kebesaran pengaruhnya, krtitikan-kritikan yang dilontarkannya,
kedekatannya kepada kelompok syi'ah, dan besarnya jumlah pengikutnya, penguasa di Baghdad
menangkap dan memenjarakannya pada 910 M / 297 H.
Ia ditangkap dan dipenjara dengan sejumlah tuduhan [bahwa ia berkomplot dengan kaum Syiah
Qaramithah, yang mengancam kekuasaan Daulah Abbasiyyah; ia juga dituduh sesat].
Setelah satu tahun dipenjara dia dapat melarikan diri dengan pertolongan seorang penjaga yang
menaruh simpati kepadanya. Dari Baghdad ia melarikan diri ke Sus (dalam wilayah Ahwas). Disinilah ia
bersembunyi selama empat tahun.
Pada tahun 301 H / 930 M ditangkap kembali dan dimasukkan lagi ke penjara hampir sembilan
tahun lamanya.
Setelah serangkaian pemberontakan dan kudeta pun meletus di Baghdad, ia dan sahabat-
sahabatnya disalahkan dan dituduh sebagai penghasut dan sesat. Berbagai peristiwa ini
menimbulkan pergulatan kekuasaan yang keras di kalangan istana khalifah. Akhirnya pada tahun 309
H / 921 M, diadakan persidangan di masa khalifah al-Muktadir Billah. Pada tanggal 18 Zulkaidah
309 H, jatuhlah hukuman mati padanya.
Tak jelas bentuk hukuman mati untuk Hallaj itu, apakah digantung di tiang gantungan, dipenggal atau
disalib. Beberapa menit menjelang kematiannya, meski tubuhnya dililit rantai besi, Hallaj dengan riang,
seperti akan bertemu kekasih, menengadahkan wajahnya ke langit biru yang bersih, seakan siap
menyambut kedatangannya. Dia menyampaikan kata-kata monumental yang indah beberapa detik
sebelum meninggal:
Wahai Tuhan, lihatlah, hamba-hamba-Mu telah berkumpul. Mereka menginginkan kematianku demi
membela-Mu dan untuk lebih dekat dengan-Mu. Wahai Tuhan, ampuni dan kasihi mereka. Andai
saja Engkau menyingkapkan kepada mereka apa yang Engkau singkapkan kepadaku, niscaya
mereka tak akan melakukan ini kepadaku. Andai itu terjadi, niscaya aku tak akan diuji seperti ini.
Hanya Engkaulah Pemilik segala Puji atas apa yang Engkau lakukan. Hanya Engkaulah pemilik
segala puji atas apa yang Engkau kehendaki.
Selama di penjara, al-Hallaj banyak menulis hingga mencapai 48 buah buku. Kitab-kitab itu antara lain:
1. Kitab al-Shaihur fi Naqshid Duhur
2. Kitab al-Abad wa al-Mabud
3. Kitab Kaifa Kana wa Kaifa Yakun
4. Kitab Huwa Huwa
5. Kitab Sirru al-Alam wa al-Tauhid
6. Kitab al-Thawasin al-Azal
7. dan lain-lain.
Kebanyakan Kitab-kitab itu hanya tinggal nama, karena ketika hukuman dilaksanakan, kitab-kitab itu juga
ikut dimusnahkan, kecuali sebuah dengan judul Al-Thawasin al-Azal yang disimpan pendukungnya
yaitu Ibnu 'Atha. Dari kitab-kitab ini dan dari murid-muridnya dapat diketahui tentang ajaran-ajaran al-
Hallaj dalam tasawuf.
Pemikiran yang paling terkenal dari al-Hallaj adalah konsep al-Hulul, yang
menimbulkan polemik pada waktu itu bahkan dikalangan sufi sendiri, dan
paham ini dipandang sesat oleh penguasa Baghdad saat itu.
Al-Hulul secara bahasa menjadi menempati, bertempat tinggal, juga dapat
berarti luluh atau larut menyatu.
Al-Hulul merupakan perngembangan dari paham ittihad. Pengertian al-hulul
secara singkat adalah Tuhan mengambil tempat dalam tubuh seorang
manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat membersihkan dirinya dari
sifat-sifat kemanusiaan melalui fana (hilangnya kesadaran tentang dirinya dan
tentang mahkluk lainnya melalui dzikir dll), maka Tuhan akan menyatu dengan
dirinya dan terjadilah kesatuan antara manusia dengan Tuhan.

Al-Jili
Nama lengkapnya adalah Abd Al-Karim bin Ibrahim ibn Abd al-Karim bin Khalifah bin Ahmad bin Mahmud al-
Jili, lahir pada 767 H / 1365 M di Baghdad, Irak, namun orangtuanya bermigrasi ke Yaman untuk mencari
perlindungan, karena saat itu Baghdad tengah dilanda krisis politik dan keamanan akibat invasi tentara Mongol.
Nama al-Jili sendiri menurut para ahli berasal dari nama desa Jil di wilayah Baghdad, yang penduduknya mayoritas
adalah imigran dari Jilan/Kilan, Persia. Menurut beberapa sumber ia masih memiliki garis keturunan dari Syekh Abdul
Qadir al-Jailani (10771166 M).
Syekh Al-Jili tergolong ulama sufi yang produktif. Beliau menulis lebih dari dua puluh karya. Yang paling terkenal
adalah kitab al-Insn al-Kmil, yang terdiri dari dua jilid. Diantara kitab-kitabnya:
1. Aqidah al-Akabir al-Muqtabasahmin Ahzab wa Shalawa
2. Arbaun Mautinan
3. Bahr al-Hudus wa al-Qidam wa Mauj al-Wujud wa al-Adam
4. Al-Insan al-Kamil fi Marifat al-Awakhir wa al-Awail
5. Al-Kahf wa al-Raqim al-Kasyif an Asrar bi Ism Allah al-Rahman al-Rahim
6. Maratib al-Wujud wa Haqiqat al-Kull Maujud
7. Al-Isfar an al-Risalah al-Anwar fi ma Yatajalla li Ahl al-Zikr min Asrar li al-Syeikh al-Akbar
8. Al-Marqum fi Sirr al-Tawhid al-Majhul wa al-Malum
9. Haqiqah al-Haqaiq
10. Gunyah Arbab al-Sama fi Kasyf al-Ghina an Wajh al-Istma
11. Dan lain-lain
Sebagian kitab-kitab ini masih berupa manuskrip. Sebagian lainnnya belum ditemukan.
Al-Jili banyak melakukan perjalanan untuk mencari ilmu, iapernah singgah di India, Makkah, Persia dan Kairo. Ia
memiliki banyak guru, yang paling utama adalah Syekh Ismail bin Ibrahim al-Jabati di Zabid ( Yaman ) pada
tahun 1393 1403 M. Melaluinya Al-Jili mengenal dan mendalami dunia tasawuf.
Ajaran al-Jili yang paling terkenal adalah Insan Kamil (manusia sempurna), artinya adalah manusia sempurna,
berasal dari kata al-insan yang berarti manusia dan al-kamil yang berarti sempurna. Konsep ini merupakan
pengembangan dari konsep wahdatul wujud dari Ibnu Arabi.
Menurut al-Jili Insan Kamil memiliki 2 pengertian:
1) Insan Kamil dalam pengertian pengetahuan mengenai manusia yang sempurna. Dalam pengertian yang
demikian, insan kamil terkait dengan pandangan mengenai sesuatu Yang mutlak, yaitu Tuhan. Yang
Mutlak tersebut dianggap mempunyai sifat-sifat tertentu, yakni yang baik dan sempurna. Sifat sempurna
inilah yang patut ditiru oleh manusia. Seseorang yang makin memiripkan diri pada sifat sempurna dari Yang
Mutlak tersebut, maka semakin sempurnalah dirinya.
2) Insan Kamil terkait dengan jati diri seorang manusia yang mengidealkan kesatuan nama serta sifat-sifat
Tuhan kedalam hakikat atau esensi dirinya.
Menurut al-Jili, Insan Kamil dalam pengertian yang kedua itulah, nama, esensial dan sifat-sifat Ilahi tersebut pada
dasarnya juga menjadi milik manusia yang sempurna, yaitu bahwa seorang manusia adalah bayangan/cerminan
dari Tuhan dan Tuhan adalah Obyek abadi yang manusia cerminkan, jadi menurutnya dunia hanyalah
manifestasi Allah, pada hakikatnya hanya Allah yang hadir dan ada dalam kekekalan
Menurut al-Jili, manusia dapat mencapai Insan Kamil dalam pengertian yang kedua tersebut, melalui latihan
rohani dan pendakian yang bersifat mistik, bersamaan dengan turunnya/mendekatnya Yang Mutlak (Tuhan)
ke dalam diri manusia tersebut melalui berbagai tingkat. Latihan rohani itu diawali dengan manusia bermeditasi
tentang nama dan sifat-sifat Tuhan (berdzikir).
Menurut al-Jili Intensitas Insan Kamil (manusia sempurna) yang paling tinggi terdapat dalam diri Nabi
Muhammad SAW. Sehingga, manusia lain, seperti misalnya para wali, bila dibandingkan dengan Nabi
Muhammad, bagaikan al-kamil (yang sempurna ) dengan al-akmal (yang paling sempurna) atau al-fadil (yang
utama) dengan al-afdhal (yang paling utama).
Al-Jili meninggal di Baghdad, Iraq pada 811 M / 1409 M.
Ibnu Arabi
Nama lengkapnya adalah Muhiddin Abu Abdullah Muhammad bin Ali bin Muhammad bin
Ahmad bin Abdullah Hatimi at-Tha'i, dikenal dengan nama Ibnu Arabi (bukan Ibnul Arabi
yang ahli ilmu tafsir). Ia lahir di Murcia , wilayah al-Andalus (Sekarang Spanyol), pada 17
Ramadhan 560 H/ 28 Juli 1165 M.
Orang-orang sezamannya, khususnya Sadruddin al Qunawi memanggilnya AbuAbdullah.
Hal ini untuk membedakan dirinya dengan salah seorang tokoh Andalusia lainnya yang
terkenal, yakni Abu Bakr Muhammad bin Arabi (1076-1148), juga dipanggil Ibnu Arabi,
seorang kepala hakim (Qadi) Sevilla ; kelak Ibnu Arabi belajar pada sepupu dari tokoh ini.
Sejak menetap di Sevilla ketika berusia delapan tahun, Ibnu Arabi memulai pendidikan
formalnya. Di kota pusat ilmu pengetahuan itu, dibawah bimbingan sarjana-sarjana terkenal
mempelajari Al Quran dan tafsirnya, hadist, fiqih, teologi, dan filsafat. Sevilla adalah
suatu pusat sufisme yang penting, dengan sejumlah guru sufi terkemuka yang tinggal disana.
Selama menetap di Sevilla, Ibnu Arabi muda sering melakukan perjalanan ke berbagai
tempat di Spanyol dan Afrika Utara. Kesempatan itu dimanfaatnya untuk mengunjungi para
sufi dan sarjana terkemuka. Salah satu kunjungannya yang sangat mengesankan ialah ketika
berjumpa dengan Ibnu Rusyd (w 595 H / 1198 M) di Cordova, Andalusia.
Pada 590 H (1193 M) ia berkelana mengelilingi Andalusia. Petama ia munuju kota Murur, untuk
menemui Syeikh Abu Muhammad al Maururi. Selanjutnya ia meneruskan kelananya ke Cordova
dan Granada, Setelah puas menikmati kelananya ke berbagai kota di Andalusia ia menyeberangi
laut dan menuju daratan lain (Afrika). Ia pun pergi ke Bejayah (Bugia) Aljazair untuk mengunjungi
Syeikh Abu Madyan, seorang pendiri aliran tasawuf.
Dari Bugia IbnuArabi meneruskan kelananya ke Tunisia. Disana dia mengkaji kitab Khalan
Nalain karya seorang sufi politisi Abu al Qasim bin Qushai, pada tahun yang sama IbnuArabi
mengunjungi beberapa murid Abu Madyan seperti Abd al Aziz al Mahdawi dan Abu Muhammad
Abdallah al Kinani.
Pada akhir 1194 M setelah kembali ke Andalusia ia menulis salah satu karya besarnya, Mashashid
al Asrar (kontemplasi atas misteri-misteri) untuk sahabat-sahabat dari Mahdawi. Dan sekitar tahun
yang sama ia menyusun Tadbirat al Ilahiyyah (pemerintahan ilahiyah) untuk al Mawruri.
Selama dua tahun di Makkah (1202-1204), Ibnu Arabi sibuk dalam penulisan. Karya-karyanya pada
periode ini adalah : Misyktul Anwr, ilyatul Abdl, Ruhul Quds, dan Tjul Rsail. Namun karyanya
yang paling monumental adalah Al Futtul Makkiyyah.
Sampai saat ini belum ada jumlah pasti yang disepakati para peneliti atas karya-karya Ibnu
Arabi. Berbagai angka telah disebutkan oleh para sarjana, L. Massignon, seorang orientalis
Perancis mengemukakan, Ibnu Arabi menulis sekitar 300 karya. Sementara C. Brockelmann
mencatat tidak kurang dari 239 karya. Menurut Stephen Hirtenstein, Ibnu Arabi menulis tidak
kurang dari 350 buku. Osman Yahya dalam karyanya, menyebutkan 846 judul dan menyimpulkan
bahwa hanya sekitar 700 yang asli dan hanya 400 yang masih ada. Ibnu Arabi sendiri dalam Ijazah
li al Malik al Muzaffar menyebutkan 289 judul.
Ajarannya yang terkenal adalah Wahdatul Wujud. Wahdatul wujud terdiri dari
dua kata yaitu wahdah dan wujud, wahdah mempunyai mempunyai arti tunggal
dan wujud berarti ada, dengan demikian wahdatul wujud berarti kesatuan
wujud/keberadaan.
Pada dasarnya Ibnu Arabi memopulerkan kesatuan dari keserbameliputan
(ahadiyyah al-jam'/the unity of all-comprehensiveness).
Dalam wahdatul wujud adalah suatu pemahaman yang dibangun atas pendapat
bahwa di alam ini hanya terdapat satu wujud, yaitu wujud Allah, sementara
yang lainnya pada hakikatnya hanya bayangan/manifestasi dari Tuhan.
Ibnu Arabi meninggal pada di Damaskus, pada Rabi'uts Tsani 638 H/ Oktober
1240 M.
Dzun Nun al-Mishri
Nama lengkapnya adalah Abu al-Faidh Tsaubah bin Ibrahim al-Mishri. Ia
dilahirkan di Ikhmim, dataran tinggi Mesir, pada tahun 180 H/796 M.
Ia pernah menjelajahi berbagai daerah di Mesir, Makkah, Hijaz, Syiria,
Pegunungan Libanon, Antiokia, dan lembah Kanan. Hal ini memungkinkan
baginya untuk memperoleh pengalaman yang banyak dan mendalami
sejumlah ilmu.
Ia pernah belajar pada Imam Malik bin Anas di Madinah, dan sering
bertemu dengan Ahmad bin Hanbal, Maruf al Kakhi, Sirri al Saqathi dan
Bisri al Hafi. Semuanya adalah tokoh-tokoh terkemuka pada zaman itu.
Adapun gurunya di bidang tasawuf adalah syarqam al Abd atau Israfil al
Maghribi. Ia menjadi seorang yang alim, baik dalam ilmu syariat maupun
tasawuf.
Dzun Nun al Mishri adalah pelopor paham al-Marifat (mengenal).
Menurut Dzun Nun al Mishri , Marifat adalah: karunia Allah yang dilimpahkan pada seorang arif.
seperti yang dikemukakannya ketika ia di tanya: Dengan apakah kau mengenal mengenal Tuhanmu? Ia
menjawab: Aku mengenal Tuhanku dengan Tuhanku! Tanpa Tuhanku, aku tidak mungkin mengenal
Tuhanku.
Adapun tanda-tanda seorang arif, menurut Al-Misri, adalah:
a) Cahaya marifat tidak memadamkan cahaya kewaraan (kerendahan hati)nya.
b) Ia tidak meyakini bahwa dengan mengetahui ilmu batin ia tidak memerlukan hukum lahir.
c) Banyaknya nikrnat Tuhan tidak mcndorongnya menghancurkan tirai-tirai larangan Tuhan.
Dalam kitabnya, al-Qalam ala al-Basmalah, Dzun Nun al Mishri, membagi makrifat ke dalam tiga
klasifikasi : Marifah (mengenal) Allah itu ada tiga macam:
1) Marifat tauhid, yang ini bagi orang-orang beriman yang awam,
2) Marifat alasan dan uraian mengenai Tuhan, yang ini bagi para ilmuwan,
3) dan Makrifat tentang sifat-sifat keesaan dan ketunggalan Tuhan, yang ini bagi para wali dan
kekasih Allah.
Menurutnya al-marifat jenis ketiga tersebut (ini bagi para wali dan kekasih Allah) adalah dimana
Allah menyinari hati seorang hamba-Nya dengan cahaya al-marifat yang murni, seperti matahari yang
tak dapat dilihat, kecuali dengan cahayanya, sehingga seorang hamba tersebut mendekat kepada
Allah, maka hamba tersebut merasakan dengan apa yang telah diberikan oleh Allah padanya,
bicara dengan ilmu yang telah diletakkan oleh Allah pada lidah mereka, melihat dengan
penglihatan Allah, dan berbuat dengan perbuatan yang telah ditunjukkan Allah.
Ia meninggal di Kaim pada tahun 246 H / 856 M.
Al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali ath-Thusi asy-Syafi'i, ia
berdarah Persia, ia dikenal sebagai Algazel di dunia Barat abad Pertengahan. Ia lahir di Thus pada 450 H /
1058 M.
Gelar Asy-Syafi'i menunjukkan bahwa ia bermazhab Syafi'i. Para ulama nasab berbeda pendapat mengenai
gelar nama Imam Al Ghazali. Namun umumnya mengatakan, bahwa gelar tersebut berasal dari tempat
kelahirannya di daerah Ghazalah di Thus, Persia (Iran), sedangkan sebagian lagi berpendapat bahwa gelar
tersebut berasal dari mata pencaharian dan keahlian keluarganya yaitu menenun.
Al-Ghazali memulai belajar di kala masih kecil. Ia mempelajari fikih dari Syaikh Ahmad bin Muhammad Ar-
Razakani di kota Thusi. Kemudian ia berangkat ke Jurjan untuk belajar dari Imam Abu Nashr Al Ismaili dan
menulis buku At-Taliqat.
Ia lalu mendatangi kota Naisabur dan berguru kepada Imam Haramain, Al Juwaini dengan penuh
kesungguhan. Ia lalu berhasil menguasai dengan sangat baik fikih mazhab Syafii dan fikih perbandingan,
ilmu perdebatan, ushul, manthiq (ilmu logika), hikmah dan filsafat.
Karena ketinggian ilmunya, perdana menteri dari Dinasti Saljuk, Nizamul Malik mengangkatnya menjadi
pengajar di madrasah (universitas)nya di Baghdad dan memerintahkannya untuk pindah ke sana. Maka pada
tahun 484 H ia berangkat ke Baghdad dan mengajar di Madrasah An Nidzamiyah dalam usia tiga puluhan
tahun. Disinilah ia berkembang dan menjadi terkenal serta mencapai kedudukan yang sangat tinggi.
Kedudukan dan ketinggian jabatannya ini tidak membuatnya congkak dan cinta dunia. Bahkan dalam jiwanya
berkecamuk polemik (perang batin) yang membuatnya senang menekuni ilmu-ilmu kezuhudan (tidak berminat
kepada sesuatu yang bersifat keduniawian, ataumeninggalkan gemerlap kehidupan yang bersifat material).
Hal ini menyebabkannya menolak jabatan tinggi dan kembali kepada ibadah, ikhlas dan perbaikan jiwa. Pada
bulan Dzul Qaidah tahun 488 H ia menunaikan haji berhenti dari jabatannya sehingga saudaranya yang
bernama Ahmad diangkat sebagai penggantinya.
Ia lalu tinggal di Damaskus (wilayah Suriah) sekitar 10 tahun. Ia banyak menulis dan
tinggal di menara barat masjid Jami Umayyah. Ia mendengarkan kitab Shahih Bukhari
dari Abu Sahl Muhammad bin Ubaidilah Al Hafshi.
Ia lalu pergi ke Baitul Maqdis,Palestina, lalu ke Mesir dan tinggal beberapa lama di
Iskandariyah, kemudian kembali ke Thusi.
Imam al-Ghazali mempunyai daya ingat yang kuat dan bijak berhujjah
(berargumen/berdalil), ia digelari Hujjatul Islam karena kemampuannya tersebut.
Akhir kehidupan beliau dihabiskan dengan kembali mempelajari hadits dan berkumpul
dengan ahlinya serta menelaah shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim).
Al-Ghazali wafat di Thus, pada 1111 M / 14 Jumadil Akhir 505 H, pada usia 5253 tahun.
Abul Faraj Ibnul Jauzi menyampaikan kisah meninggalnya al-Ghazali dalam kitab Ats-
Tsabat Indal Mamat: Pada shubuh hari Senin, ia berwudhu dan shalat, lalu
berkata, Bawa kemari kain kafan saya. Lalu ia mengambil dan menciumnya serta
meletakkannya di kedua matanya, dan berkata, Saya patuh dan taat untuk menemui
Malaikat Maut. Kemudian ia meluruskan kakinya dan menghadap kiblat. Ia meninggal
sebelum langit menguning (menjelang pagi hari).
Dalam ilmu tasawwuf, ia mengembangkan konsep al-Marifat yang telah ada sebelumnya, menurutnya
al-marifat yang sebenarnya adalah ialah pengetahuan yang meyakinkan, yang hakiki, yang
dibangun di atas dasar keyakinan yang sempurna (haqq al-yaqin) yang didapatkan melalui lewat
kemurnian qalbu yang mendapat ilham atau limpahan nur dari Tuhan. Ia berpendapat bahwa
marifat merupakan suatu maqam/tingkat yang tertinggi yang bisa dicapai oleh seorang sufi, seorang
yang telah sampai pada maqom/tahapan ini akan merasa hidupnya terpenuhi oleh cahaya Tuhan.
Adapun sumber ma'rifat menurut al-Ghazali ada empat yaitu :

a. Pancaindera; Menurut al-Ghazali, pancaindera adalah termasuk juga sumber ma'rifat. Akan tetapi bekerjanya
hanya dalam beberapa sumber, akan tetapi tidak dalam yang lain.
b. Akal; Sebagaimana pancaindera, akal juga adalah merupakan salah satu sumber ma'rifat dalam beberapa
sumber. Tetapi sekali lagi, al-Ghazali menerangkan bahwa akal bukanlah segala-galanya. Menganggap dan
memberikan cakupan yang luas bagi akal sebagai sumber ma'rifat dapat menyebabkan penyepelean terhadap al-
Qur'an sebagai utama.
c. Wahyu; Menurut al-Ghazali, wahyu adalah sumber terbesar bagi Ma'rifat. Wilayah cakupannya sangat luas,
sesuai dengan posisinya sebagai sumber pertama dan utama bagi ajaran Islam.
d. Kasyf; yang dimaksud dengan kasyf oleh al-Ghazali adalah cahaya yang dihunjamkan ke dalam hati hamba,
sehingga hati dapat melihat dan merasakan sesuatu dengan 'ain al-yaqin. Kasyf adalah sumber kedua bagi
ma'rifat yang terbesar setelah wahyu.
Tingkatan ma'rifat, menurut al-Ghazali berjenjang sesuai dengan tingkatan iman seseorang. Karena itu, tingkatan
ma'rifat dibagi menjadi tiga sesuai dengan tingkatan iman seseorang. Tiga tingkatan tersebut yaitu :

a. Tingkatan pertama; imannya orang awam. Iman dalam tingkatan ini adalah iman taqlid (mengikuti para ulama
tanpa mengetahui sumber-sumber/dasar-dasarnya) yang murni.
b. Tingkatan kedua; Imannya para ahli kalam. Mereka adalah orang-orang yang mengaku ahli akal dan berpikir
atau mengaku sebagai tokoh penelitian dan ahli istidlal (berdalil).
c. Tingkatan ketiga; Imannya para 'arifin (orang-orang arif) yaitu orang-orang yang menyaksikan dengan 'ainul
yaqin.
Ia menulis banyak kitab di berbagai bidang ilmu, diantaranya:
Bidang Teologi/Aqidah:
a) Al-Munqidh min adh-Dhalal
b) Al-Iqtishad fi al-I`tiqad
c) Al-Risalah al-Qudsiyyah
d) Kitab al-Arba'in fi Ushul ad-Din
e) Mizan al-Amal
f) Ad-Durrah al-Fakhirah fi Kasyf Ulum al-Akhirah
Bidang Tasawuf:
a) Ihya Ulumuddin (Kebangkitan Ilmu-Ilmu Agama), merupakan karyanya yang terkenal
b) Kimiya as-Sa'adah (Kimia Kebahagiaan)
c) Misykah al-Anwar (The Niche of Lights / lentera cahaya)
Bidang Filsafat:
a) Maqasid al-Falasifah
b) Tahafut al-Falasifah, buku ini membahas kelemahan-kelemahan para filosof masa itu, yang kemudian ditanggapi
oleh Ibnu Rushdi dalam buku Tahafut al-Tahafut (The Incoherence of the Incoherence/ kerancuan dari kitab
kerancuan).
Bidang Fiqih:
a) Al-Mushtasfa min `Ilm al-Ushul
Bidang Mantiq/Logika:
a) Mi`yar al-Ilm (The Standard Measure of Knowledge)
b) al-Qistas al-Mustaqim (The Just Balance)
c) Mihakk al-Nazar fi al-Manthiq (The Touchstone of Proof in Logic)

Rabiah al-Adawiyah
Nama lengkapnya adalah Ummu al-Khair bin Ismail al-Adawiyah al-Qisysyiyah/ al-Qaysyiyyah, dikenal juga
dengan nama Rabiah al-Bashri. Ia adalah seorang sufi wanita. Ia Lahir di Basrah, Iraq diperkirakan antara 95
dan 99 H / antara 713 dan 717 M. Ia dilahirkan dari sebuah keluarga miskin dari suku Atiq.
Rabiah tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga biasa yang shaleh dan zuhud (tidak berminat
kepada sesuatu yang bersifat keduniawian, atau meninggalkan gemerlap kehidupan yang bersifat material). Ia
terkenal cerdik dan lincah. Ia juga juga memiliki keistimewaan lain yaitu kekuatan daya ingatnya yang telah
dibuktikan dengan kemampuannya menghafal Al-Quran saat usianya 10 tahun.
Masa remaja Rabiah dilalui tanpa kedua orang tuanya, karena mereka telah meninggal dunia pada saat ia
beranjak dewasa. Hal itu menyebabkan kehidupan Rabiah dan kakak-kakaknya semakin parah kondisinya
sehingga memaksa mereka untuk meninggalkan gubuknya. Rabiah dan semua saudaranya terpencar satu sama
lain. Mereka berkelana ke berbagai daerah untuk mencari penghidupan.
Dalam pengembaraan ini, Rabiah jatuh ke tangan perampok dan dijual sebagai budak dengan harga yang
murah, yaitu sebesar 6 dirham.
Kehidupan dalam belenggu perbudakan telah mengisi lembar hidup Rabiah. Tuannya memperlakukannya
dengan sangat bengis dan tanpa perikemanusiaan. Tetapi Rabiah menjalaninya dengan sabar dan tabah. Shalat
malam tetap dilakukannya dengan rutin, lisannya tidak pernah berhenti berdzikir dan beristighfar.
Dan pada suatu malam, tuannya mendengar rintihannya dan doanya. Hal ini sangat menyentuh hatinya hingga
akhirnya ia pun memerdekakannya.
Setelah merdeka, kehidupan Rabiah tetap lurus dalam jalan dan petunjuk Allah SWT. Ia mencurahkan
hidupnya di masjid-masjid dan tempat-tempat pengajian agama. Ia kemudian menjalani kehidupan sufi
dengan beribadah dan merenungi hakikat hidup. Tidak ada sesuatupun yang memalingkan hidupnya dari
mengingat Allah.
Rabiah al-Adawiyah banyak belajar mengenai ilmu tasawwuf kepada Hasan al-Bashri.
Setelah ia memilih kehidupan sebagai seorang sufi, Rabiah menepati janjinya pada Allah untuk selalu
beribadah kepada-Nya sampai menemui ajalnya. Ia selalu malakukan shalat tahajjud sepanjang malam hingga
fajar tiba.
Rabiah bersikap zuhud (tidak berminat kepada sesuatu yang bersifat keduniawian, atau meninggalkan gemerlap
kehidupan yang bersifat material) dalam hidupnya, tidak tergoda kehidupan duniawi, hatinya hanya tertuju
pada Allah, ia tenggelam dalam kecintannya pada Allah SWT dan beramal demi keridhaan-Nya.
Ia wafat pada usia 90 tahun, mayoritas ahli sejarahnya meyakini wafatnya sekitar tahun 185 H / 801 M.
Rabiah dikenal sebagai sufi yang mengembangkan paham tentang mahabbah (cinta), salah satu sebab
pentingnya kedudukan Rabiah al-Adawiyah di dalam tasawwuf adalah dikarenakan dia menandai konsep zuhud
dengan corak lain dari konsep zuhud Hasan al-Basri yang ditandai dengan Khauf (corak rasa takut dan
harapan); Rabiah al-Adawiyah melengkapinya dengan corak baru, yaitu cinta yang menjadi sarana manusia
dalam merenungkan keindahan Allah yang abadi. Cinta yang suci murni itu lebih tinggi daripada takut dan
pengharapan.
Konsep mahabbah (cinta) baginya adalah Tuhan merupakan zat yang dicintai dan rasa cintanya yang
mendalam hanya kepada Tuhan. Karena itu, dia mengabdi dan melakukan amal saleh bukan karena takut
masuk neraka atau mengharap masuk surga, tetapi karena cintanya pada Allah.
Cinta ini lah yang mendorongnya ingin selalu dekat dengan Allah dan cinta itu pulalah yang membuat dia
bersedih dan menangis karena takut terpisah dari yang dicintainya. Pendek kata, Allah baginya merupakan
zat yang sangat dicintainya, bukan sesuatu yang harus ditakuti.
Baginya cinta yang suci murni, tidaklah mengharapkan apa-apa dan cinta murni kepada Tuhan itulah puncak
Tasawuf Rabiah.
Di antara ucapan-ucapannya yang melukiskan tentang konsep zuhud yang dimotivasi cinta adalah:
Wahai Tuhan! Apapun bagiku di dunia yang akan Engkau karuniakan kepadaku, berikanlah semuanya kepada
musuh-musuh-Mu. Dan apapun yang Engkau akan berikan kepadaku kelak di akhirat, berikan saja pada Hamba-
Hamba-Mu. Bagiku, Engkau pribadi sudah cukup.

Jalaluddin ar-Rumi
Nama lengkapnya adalah Jalaluddin Rumi Muhammad bin Hasin al Khattabi al-Bakri.
Ia adalah seorang penyair dan sufi yang lahir di Balkh (sekarang Afganistan) pada tanggal 6 Rabiul Awwal
tahun 604 Hijriah, atau tanggal 30 September 1207 Masehi. Ayahnya masih keturunan Abu Bakar,
bernama Bahauddin Walad. Sedang ibunya, Muminah Khatun berasal dari keluarga kerajaan
Khwarizm. Ayah Rumi seorang cendekia yang saleh, ia seorang guru yang terkenal di Balkh, yang karena
kepintarannya diberi gelar Sulthan al-Ulama (sultan para ulama).
Selain populer sebagai seorang sufi ia juga dikenal sebagai pakar fikih, ulama kalam (teologi), dan
sastrawan ulung yang melahirkan setidaknya empat karya terbesar, yaitu: Matsnawi (berisi kumpulan
25.600 puisi dalam enam jilid buku), Dewan-e Kabir (Dewan-e Tabrizi), Fihi ma Fihi, dan Makatib.
Pada 1220 M ayahnya, Bahauddin Walad untuk menghindari invasi bangsa Mongol memutuskan untuk
membawa hijrah keluarganya. Mereka hijrah melalui Iran dan Syria, di mana Rumi sempat mempelajari
sejarah dan literatur Arab.
Mereka kemudian menuju Anatolia, kawasan yang tak tersentuh bangsa Mongol, dan menetap di Laranda
(sekarang bernama Karaman) pada 1221 M. Selama tujuh tahun, keluarga Bahauddin tinggal di sana dan
membina hubungan erat dengan Sultan Saljuk, Alauddin Kaykobad.
Di kota yang sama, Rumi menikah pada 1225 M, dan anak pertamanya yang kemudian hari jadi penyair
terkenal juga, Sultan Walad, lahir setahun kemudian.
Pada Tahun ketujuh di Anatolia, Sultan Seljuk mengajak keluarga Bahauddin tinggal di Konya. kemudian
mengajaknya tinggal di Konya. Bahauddin menerima undangan sultan itu, dia menjadi guru di Konya pada
1228 M hingga ia meninggal.
Rumi kemudian mengambil alih sekolah ayahnya dan dengan segera membuatnya jadi sekolah dengan reputasi
tinggi di Konya. Rumi mulai memperkenalkan seluruh aspek filsafat dalam pendidikannya dan mengajarkan
karya-karya pengarang klasik dunia.
Pendalaman tasawuf ia mulai ketika kawan seperguruan ayahnya, Burhanuddin Muhaqqiq, tiba di Konya pada
penghujung 1230-an dan memperkenalkannya pada sufisme dan pemikiran-pemikiran ayahnya. Rumi pun
mempelajari karya-karya sastrawan Persia Hakim Sanai dari Ghazna.
Penghindaran atas serdadu Mongol akhirnya sia-sia. Pada 1235 M, Anatolia diduduki balatentara dari timur itu.
Suasana menjadi kacau balu dan penuh ketidakpastian. Namun pada masa itulah, sekitar 1244 M, Rumi bertemu
Syamsuddin Tabriz yang mengubah jalan hidupnya. Diskusi-diskusi tasawwuf segera terjalin antarkeduanya.
Ia banyak menciptakan puisi yang melantunkan rasa cinta kepada Tuhan, dengan diwarnai tarian
berputar dan alunan musik.
Taian berputar ini kemudian dikenal dengan nama Shema, orang Barat menyebutnya sebagai Whirling
Darwishes.
Tarian sufi Shema ini merupakan ungkapan rasa cinta yang amat mendalam di dalam hati kepada Sang Kekasih
(Tuhan) sehingga mereka seolah-olah menyatu dengan Tuhan, larut, dan hanyut seiring dengan alunan musik
yang diiringi tarian.
Para sufi yang terlibat dalam tarian ini biasanya mengenakan jubah putih sebuah perlambang warna pakaian
kematian (kain kafan). Pada awal tarian, pakaian putih ini diselubungi jubah hitam, yang melambangkan pusara.
Mereka pun mengenakan tutup kepala yang tinggi dan bundar, berwarna coklat atau putih, memperlambangkan
batu nisan mereka.
Tangan kanan lurus ke samping dengan telapak tangan menengadah ke atas sebagai simbol hamba Tuhan
(abid) yang memohon kedekatan diri kepada Sang Khaliq (pencipta), sementara tangan kiri lurus ke samping
menengadah ke bawah sebagai simbol khalifah, yang menyalurkan kasih kepada para makhluk lainnya.
Ia wafat pada 17 Desember 1273 M di Konya.

Tarian Sufi Shema/ Whirling Darwishes yang diciptakan oleh Jalaluddin ar-Rumi:

Anda mungkin juga menyukai