Anda di halaman 1dari 4

MAKALAH AGAMA

“ZAID BIN TSABIT”

DISUSUN OLEH :

NAMA : NAJWA ULYA YAHYA

KELAS : XI MIPA 1

NO. ABSEN : 26

DINAS PENDIDIKAN DAN KEBUDUDAYAAN PROVINSI NTB

SMA NEGERI 5 MATARAM

JL. UDAYANA NO. 2A, MATARAM


Zaid bin Tsabit an-Najjari al-Anshari (bahasa Arab: ‫زيد بن ثابت‬, 612 - 637/15 H) adalah
salah seorang sahabat Nabi Muhammad dan merupakan penulis wahyu dan surat-surat Nabi.
Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhu adalah seorang sahabat Anshar. Ia dipilih sebagai ketua tim
pembukuan Alquran di Abu Bakar dan di zaman Utsman bin Affan. Amanah yang besar itu
tentu menunjukkan sebesar apa kapasitas dan kedudukan beliau dalam Islam dan sejarah
umat Islam.

Asal-Usulnya
Beliau adalah Zaid bin Tsabit bin adh-Dhahak al-Anshari. Ia berasal dari Bani Najjar yang
merupakan keluarga Rasulullah di Madinah. Saat Rasulullah tiba di Madinah, kondisi Zaid
kala itu adalah seorang anak yatim. Ayahnya wafat pada Perang Bu’ats. Di tahun pertama
hijrah itu, usia Zaid tidak lebih dari 11 tahun. Ia memeluk Islam bersama keluarganya.

Kesungguhannya
Sewaktu kecil, ia bersama orang-orang dewasa berangkat menemui Rasulullah untuk turut
serta dalam Perang Badar. Tapi, Rasulullah tidak mengizinkannya karena ia terlalu muda dan
badannya pun masih kecil. Tidak menyerah karena ditolak saat Perang Badar, saat Rasulullah
menyiapkan pasukan Perang Uhud, Zaid kembali mendaftarkan diri. Kali ini ia berangkat
bersama rombongan remaja seusianya. Berharap Rasulullah mengikut-sertakan mereka dalam
pasukan mujahidin. Dan keluarga mereka lebih-lebih lagi harapannya agar Rasulullah
menerima mereka. Akhirnya, Zaid dan Tsabit bersama anak-anak seusiasanya memulai
pengalaman jihad mereka di Perang Khandaq pada tahun 5 H.

Zaid memegang bendera Bani Najjar di Perang Tabuk. Awalnya bendera tersebut di pegang
Umarah bin Hazm, tapi Rasulullah mengambilnya dan menyerahkannya kepada Zaid.
Umarah berkata, “Wahai Rasulullah, apakah ada sesuatu tentangku (yang buruk) yang sampai
kepadamu?” “Tidak ada. Tapi, yang lebih banyak menghafal Alquran layak dikedepankan.
Dan Zaid lebih banyak menghafal Alquran daripada engkau.”

Penghafal Alquran
Sejak dimulainya dakwah Islam selama lebih kurang 20 tahun sejak wahyu pertama turun,
terdapat sekelompok sahabat yang mampu menghafal dengan kemampuan biasa. Ada yang
mampu menghafal semua yang tertulis. Ada pula yang menghafal semua ayat yang tersusun.
Di antara mereka adalah Ali bin Abu Thalib, Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin Mas’ud,
Abdullah bin Abbas, dan Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhum ajma’in. Setelah Alquran
diturunkan secara sempurna, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakannya
kepada para sahabat dengan berurutan sebagaimana susunan surat dan ayat yang kita ketahui
sekarang.

Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhu pernah menyetorkan hafalannya kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tahun wafat beliau. Di tahun itu, Zaid menyetorkan
hafalannya sebanyak dua kali. Dan qiro-at tersebut dinamakan qiro-at Zaid bin Tsabit. Karena
dia pula yang menulis dan mengajukannya kepada Nabi agar dikoreksi. Dan teks tersebut
beliau bacakan kepada orang-orang hingga beliau wafat.
Awal Pembukuan Alquran
Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, kaum muslimin dibuat sibuk dengan
konflik melawan orang-orang murtad. Sehingga banyak korban jatuh dari kaum muslimin.
Dalam Perang Yamamah (perang menghadapi nabi palsu, Musailimah al-Kadzab) misalnya,
sejumlah besar penghafal Alquran gugur. Umar bin al-Khattab khawatir para penghafal
Alquran terus berguguran karena konflik belum juga usai. Ia mendiskusikan ide membukukan
Alquran dengan Khalifah Abu Bakar. Kemudian Abu Bakar beristikharah. Bermusyawarah
dengan para sahabat. Setelah itu, ia memanggil Zaid bin Tsabit, “Sesungguhnya engkau
adalah seorang pemuda yang cerdas. Aku akan memberimu tugas penting…” Abu Bakar
memerintahkanya membukukan Alquran.

Zaid pun memegang tanggung jawab besar. Ia diuji dengan amanah yang berat dalam proyek
besar ini. Ia mengecek dan menelaah hingga terkumpullah Alquran tersusun dan terbagi-bagi
berdasarkan surat masing-masing. Tentang tanggung jawab besar ini, Zaid berkata, “Demi
Allah! Kalau sekiranya kalian bebankan aku untuk memindahkan bukit dari tempatnya, tentu
hal itu lebih ringan daripada kalian perintahkan aku untuk membukukan Alquran.”

Ia juga mengatakan, “Aku meneliti Alquran, mengumpulkannya dari daun-daun lontar dan
hafalan-hafalan orang.” Namun dengan taufik dari Allah ia berhasil menjalankan amanah
besar tersebut dengan baik.

Penyeragaman Bacaan Alquran


Pada masa pemerintah Khalifah Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu jumlah orang yang
memeluk Islam semakin hari semakin bertambah. Hal itu terjadi di berbagai daerah. Tentu
saja hal ini sangat positif. Namun, hal ini bukanlah tanpa celah. Daerah-daerah tersebut
menerima riwayat qira-at yang berbeda-beda. Dan mereka belum mengenal variasinya.
Sehingga mereka menyangka orang yang berbeda bacaan Alqurannya membuat-buat bacaan
baru. Muncullah masalah baru.

Melalui usul sahabat Hudzaifah bin al-Yaman, Khalifah Utsman bin Affan pun membuat
kebijakan menyeragamkan bacaan Alquran. Utsman mengatakan, “Siapakah orang yang
paling dipercaya untuk menulis?” Orang-orang menjawab, “Penulisnya Rasulullah, Zaid bin
Tsabit.” Utsman kembali mengatakan, “Siapakah yang paling fasih bahasa Arabnya?” Orang-
orang menjawab, “Said bin al-Ash. Ia seorang yang dialeknya paling mirip dengan
Rasulullah.” Utsman kembali mengatakan, “Said yang mendikte dan Zaid yang menulis.”

Zaid bin Tsabit meminta bantuan sahabat-sahabat yang lain. Para sahabat pun membawakan
salinan Alquran yang ada di rumah Ummul Mukminin Hafshah binti Umar radhiallahu ‘anha.
Para sahabat saling membantu dalam peristiwa besar dan bersejarah ini. Mereka jadikan
hafalan Zaid sebagai tolok ukur. Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma mengatakan, “Pastilah para
penghafal Alquran dari sahabat Muhammad tahu bahwa Zaid bin Tsabit adalah orang yang
sangat mendalam ilmunya.”

Zaid Bin Tsabit sang Pena Rasulullah


Rasul meminta Zaid bin Tsabit untuk mempelajari tulisan dan bahasa orang Yahudi. Dia pun
menaati perintahnya. Seiring waktu, Zaid menguasai bahasa Ibrani, baik lisan maupun
tulisan. Dia mampu menerjemahkan kata-kata Rasulullah ketika ingin berkomunikasi dengan
orang Yahudi, baik saat berpidato maupun berbentuk surat.
Begitu juga ketika Yahudi menuliskan surat untuk Nabi, Zaid yang menerjemahkannya ke
dalam bahasa Arab. Setelah bahasa Ibrani, Rasul pun memerintahkannya untuk mempelajari
bahasa Syria. Dengan tugas ini, Zaid telah melakukan tugas penting sebagai penerjemah
Rasul dengan mereka yang tidak bisa berbahasa Arab.

Berkat antusiasme dan keterampilan dia dan mampu melaksanakan tugas selama ini, Nabi
menambahkan tugas dan tanggung jawab yang lebih berat. Dia memerintahkan untuk
mencatat wahyu Allah dengan tulisan dan merekam dengan hafalannya. Ketika Rasul
mendapatkan wahyu, dia memanggil Zaid sambil meminta membawa perkamen, tinta, dan
tulang belikat hewan untuk menulis bagian dari Alquran tersebut.
Zaid memang bukan satu-satunya penulis pribadi Rasulullah. Sumber lain mencatat, terdapat
48 orang yang biasa menulis untuknya, tetapi Zaid yang paling menonjol di antara mereka.\

Zaid bin Tsabit telah meriwayatkan sembilan puluh dua hadits, yang lima di antaranya
disepakati oleh Bukhari dan Muslim, empat hadits oleh Bukhari saja, dan satu hadits oleh
Muslim saja.

Yang Pertama Membaiat Abu Bakar


Abu Said al-Khudri radhiallahu ‘anhu mengisahkan:
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, orang-orang Anshar angkat bicara.
Salah seorang di antara mereka mengatakan, ‘Wahai orang-orang Muhajirin, sesungguhnya
jika Rasulullah menugaskan salah seorang di antara kalian, beliau akan menjadikan salah
seorang di antara kami sebagai pendampingnya. Karena itu, kami memandang setelah beliau
kepemimpinan ini dipegang oleh dua orang. Satu dari kalian dan satu dari kami’.

Orang-orang Anshar pun menyuarakan demikian. Lalu berdirilah Zaid bin Tsabit. Ia berkata,
‘Sesungguhnya Rasulullah berasal dari Muhajirin. Dan kepemimpinan itu pada Muhajirin dan
kita adalah penolong mereka. Sebagaimana kita telah menjadi Anshar nya Rasulullah’.

Abu Bakar pun berdiri dan berterima kasih atas ucapan Zaid yang menenangkan suasana.
Abu Bakar berkata, ‘Wahai orang-orang Anshar, benarlah apa yang teman kalian ucapkan.
Seandainya kalian melakuakn selain itu, tentu kami tidak membenarkannya’.

Zaid menggapai tangan Abu Bakar, kemudian berkata, ‘Ini adalah sahabat kalian. Baiatlah
dia’.Apabila Abu Bakar berhaji, maka Umar dan Zaid bin Tsabit yang menggantikan beliau
sebagai khalifah. Zaid juga diberi amanah membagi ghanimah di Perang Yarmuk. Ia juga
merupakan salah seorang dari enam orang ahli fatwa: Umar, Ali, Ibnu Mas’ud, Ubay, Abu
Musa, dan Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhum ajma’in. Umar dan Utsman tidak melebihkan
seorang pun dalam permasalah kehakiman, fatwa, faraidh, dan qiroa-ah dibanding Zaid bin
Tsabit.

Wafatnya
Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhu wafat pada tahun 45 H di masa pemerintahan Muawiyah
bin Abu Sufyan radhiallahu ‘anhu. Di hari wafatnya Zaid, Abu Hurairah berkata, “Pada hari
ini telah wafat tintanya umat ini. Semoga Allah menjadikan Ibnu Abbas sebagai
penggantinya.”Tinta adalah ungkapan untuk keluasan ilmu. Karena di zaman dahulu, menulis
ilmu itu membutuhkan tinta.

Anda mungkin juga menyukai