Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH PEMBUKUAN AL-

QUR’AN SETELAH MASA NABI MUHAMMAD


SAW

Disusun untuk memenuhi tugas

Mata kuliah : Studi Al-Qur’an Dosen


Pengampu : Wildan Nafi’i, M. Pd. I.

OLEH

KELOMPOK

1.  ‘Azza Zaini Hidayat (201190305) 

2.   Adi Ikhwanul Muslim (201190307) 


 
3. Yahya Syarifudin Asyadad (201190293) 

KELAS PAI - I

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

PONOROGO 2019 
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Pembukuan Al-

Qur’an setelah masa Nabi Muhammad Saw.” ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Dosen
 pada mata kuliah Studi Al-Qur’an. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk
menambah wawasan tentang Sejarah pembukuan Al-Qur’an  setelah masa Nabi
Muhammad Saw. bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak Wildan Nafi’i, M. Pd. I. ,


selaku Dosen mata kuliah Studi Al-Qur’an  yang telah memberikan tugas ini
sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi
yang saya tekuni.

Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.

Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi
kesempurnaan makalah ini.

Ponorogo, 6 September 2019


 B

AB I 

PENDAHULUAN 

A.   LATAR BELAKANG
Belajar Al-Qur’an  tidak lengkap jika kita tidak mempelajari bagaimana
 pembukuan maupun proses penulisanya serta mengenal tokoh yang berperan di
dalam pembukuan Al-Qur’an tersebut seperti sebab mengapa Umar mengusulkan
agar mengumpulkan Al-Qur’an dan juga apa alasan Abu Bakar menerima usulan
tersebut.
Pada masa Utsman wilayahnya cukup luas itu menimbulkan car abaca yang
merubah makna dalam kandungan isi Al-Qur’an  yang lebih parah lagi saling
mengkafirkan dan dapat memicu pertikaian antar umat langkah apa yang diambil
Utsman untuk mengatasi hal tersebut.

B.   RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana sejarah perkembangan pembukuan Al-Qur’an setelah masa Nabi?
2. Apa penyebab Al-Qur’an di bukukan ?
3. Siapa sajakah tokoh-tokoh yang berperan dalam pembukuan Al-Qur’an ?
4. Bagaimana sejarah pembukuan dimasa modern ?

C.   TUJUAN
1. Mengetahui sejarah pembukuan Al-Qur’an setelah masa Nabi
2. Tahu sebab Al-Qur’an dibukukan
3. Tahu tokoh-tokoh yang berperan dalam pembukuan
4. Sejarah pembukuan di masa modern dan tidak meragukan keaslianya
 B

AB II 

PEMBAHASAN

A.   PEMBUKUAN AL-QUR’AN SETELAH NABI MUHAMMAD SAW.

Alqur’an merupakan sumber ajaran islam yang diwahyukan kepada


rasulullah secara mutawatir (periwayatan) pada saat terjadi suatu peristiwa,
disamping rasulullah menghafalkan secara pribadi. Nabi juga memberikan
 pengajaran kepada sahabat-sahabatnya untuk dipahami dan dihafalkan, ketika
wahyu turun Rasulullah menyuruh Zaid bin Tsabit untuk menulisnya agar mudah
dihafal karena Zaid merupakan orang yang paling berpotensi dengan penulisan,
sebagian dari mereka dengan sendirinya menulis teks Al-Qur’an untuk di milikinya
sendiri diantara sahabat tadi , para sahabat selalu menyodorkan Al-Qur’an kepada
 Nabi dalam bentuk hafalan dan tulisan-tulisan. Pada masa rasullah untuk menulis
teks Al-Qur’an sangat terbatas sampai-sampai para sahabat menulis Al-Qur’an di
 pelepah-pelepah kurma,lempengan-lempengan batu dan dikeping-keping tulang
hewan, meskipun Al-Qur’an sudah tertuliskan pada masa rasulullah tapi Al-
Qur’an masih berserakan tidak terkumpul menjadi satu mushaf (tulisan),
Pada saat itu memang sengaja dibentuk dengan hafalan yang tertanam
didalam dada para sahat dan penulisan teks Al-Qur’an yang di lakukan oleh para
sahabat. Dan tidak dibukukan didalam satu mushaf di karenakan rasulullah masih
menunggu wahyu yang akan turun selanjutnya, dan sebagian ayat-ayat Al-Qur’an ada
yang dimansukh oleh ayat yang lain, jika umpama Al-Qur’an segera dibukukan
 pada masa rasulullah, tentunya ada perubahan ketika ada ayat yang turun lagi atau
ada ayat yang dimanskuh oleh ayat yang lain.
Pembukuan Al-Qur’an  setelan nabi yaitu pada masa kholifah-kholifah
setelah nabi karena takut akan hilangnya Al-Qur’an dari muka bumi sebab, para
hafidzz yang meninggal dalam perang maupun untuk mengenalkan Al-Qur’an pada
masyarakat di luar jazirah arab.
 

1.   Pembukuan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar Ash-Shidiq


Pada masa Abu Bakar Ash-Shiddiq pada dasarnya seluruh Al-Qur’an sudah
ditulis pada waktu Nabi masih ada. Hanya saja, pada saat itu surat-surat dan ayat-
ayatnya ditulis dengan terpencar-pencar. Dan orang yang pertama kali
menyusunnya dalam satu mushaf (tulisan) adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Oleh
karena itu, Abu ‘Abdillah Al- Muhasibi berkata di dalam kitabnya, Fahm As-
Sunan, “Penulisan Al-Qur’an  bukanlah sesuatu yang baru. Sebab, Rasulullah
pernah memerintahkannya. Hanya saja, saat itu tulisan Al-Qur’an  berpencar-
pencar
 pada pelepah kurma, batu halus, kulit, tulang unta, dan bantalan dari kayu. Abu
Bakar kemudian berinisiatif menghimpun semuanya” 
Usaha pengumpulan tulisan Al-Qur’an yang dilakukan Abu Bakar terjadi
setelah perang Yamamah pada tahun 12 Hijriah. Peperangan yang bertujuan
menumpas habis para pemurtad yang juga para pengikut Musailamah Al-Kadzdzab
itu telah menjadikan 700 orang sahabat penghapal Al-Qur’an  syahid. Khawatir
akan semakin hilangnya para penghapal Al-Qur’an, sehingga kelestarian Al-Qur’an 
 juga ikut terancam, Umar datang menemui Khalifah pertama, Abu Bakar agar
segera menginstuksikan pegumpulan Al-Qur’an dari berbagai sumber baik yang
tersimpan di dalam hapalan maupun tulisan.
Zaid bin Tsabit, salah seorang sekertaris Nabi berdasarkan riwayat Al-
Bukhari (kitab “Fadh’ il Al-Qur’an”, mengisahkan bahwa setelah peristiwa
 berdarah yang menimpa sekitar 700 orang penghapal Al-Qur’an, Zaid diminta
 bertemu Abu Bakar. Turut hadir dalam pertemuan itu Umar bin Al-Khathathab.
Abu Bakar membuka pertemuan itu ‘Umar bin Al-Khaththab. Abu Bakar
membuka pertemuan itu dengan mengatakan, Umar telah mendatangiku dan
meminta korban sejumlah hafidzz Al-Qur’an. Aku khawatir hal ini meluar kepada
 para penduduk. Kalau demikian, akan banyak penghafal Al-Qur’an yang hilang.
Aku memandang perlunya penghimpunan Al-Qur’an.
Setelah Abu Bakar berbicara, Zaid bin Tsabit mengajukan keberatanya.
Kalimatnya ia arahkan kepada Umar karena usul penulisan datang darinya,
 bagaimana mungkin kita melakukan sesuatu yang belum dilakukan Rasulullah ?”
lalu Umar menjawab, Demi Allah ini sesuatu yang baik. Dan ketikan Umar belum
selesai mengucapkan kalimatnya, Allah telah melegakan hati Zaid tentang perlunya
 perhimpunan Al-Qur’an.
Kemudian Abu Bakar berkatan kepada Zaid, Kau adalah seorang lelaki
yang masih muda dan pintar. Kami tidak menuduhmu ( cacat mental ). Dahulu kau
menulis wahyu untuk Rasulullah. ( sekarang ), lacaklah Al – qur’an.
Bagi Zaid tugas yang dipercayakan khalifah Abu Bakar kepadanya bukan
hal yang ringan. Hal ini bisa dipahami dari kalimat yang terlontar dari mulutnya di
hadapan Abu Bakar dan Umar pada waktu itu, Demi Allah, sekiranya orang-orang
membebaniku memindahkan suatu gunung, hal itu tidak lebih berat dari pada apa
yang kau perintahkan kepadaku untuk menghimpun Al-Qur’an.
Dalam melaksakan tugasnya, Zaid menetapkan kriterian yang tepat untuk
setiap ayat yang di kumpulkanya. Ia tidak menerima ayat yang hanya berdasarkan
hafalan, tanpa di dukung tulisan. Kehati-hatianya di perlihatkan oleh ucapanya
sebagaimana tertuang pada akhir Hadits yang diriwayatkan Al-Bukhori diatas,
Hingga aku temukan akhir surat At – Taubah, pada tangan Abu Khuzaimah Al  – 
Anshari. Ungkapkanya itu tidak menunjukan bahwa akhir surat At-Taubah, itu
tidak Mutawattir, tetapi lebih menunjukan bahwa hanya Abu Khuzaimah Al  – 
Anshari yang menulisnya. Zaid dan sahabat  –  sahabatnya juga menghafalnya,
tetapi tidak memiliki tulisanya.
Sikap kehati-hatian Zaid dalam mengumpulkan Al – Qur’an sebenarnya atas
dasar pesan Abu Bakar kepada Zaid dan Umar. Abu Bakar berkata “ Duduklah
kalian di pintu masjid. Siapa saja yang datang kepada kalian membawa catatan Al-
Qur’an dengan dua saksi, maka catatlah. ” 
Di dalam menerangkan “ dua saksi” riwayat ini perlu di simak pendapat Ibn
Hajjar. Menurut tokoh Hadits penamaan ini, Syahidain ( dua saksi ) disini keduanya
tidak harus dalam bentuk hafalan, atau keduanya dalam bentuk tulisan. Sahabat
tertentu yang membawa ayat tertentu dapat di terima bila ayat di sodorkan didukung
dua hafalan dan atau tulisan sahabt lainya. Demikian juga, suatu hafalan ayat
tertentu yang dibawa oleh sahabat tertentu baru bisa di terima bila kuatkan oleh dua
catatan dan atau hafalan sahabt lainya.
Pemahaman Ibn Hajjar tentang Syahidain sedikit berbeda dengan apa di tangkap
As –  Sakhawi ( W. 643 H. )[8] Asy – Syakhawi memandang bahwa Syahidain
artinya catatan sahabat tertentu mengenai ayat tertentu. Ayat tertentu yang di
sodorkan sahabt dapat diterima jika memiliki dua saksi yang memberikan kesaksian
 bahwa catatan itu memang ditulis dihadapan Nabi.
Pekerjaan yang dibebankan kepundak Zaid dapat diselesaikan dalam waktu
kurang lebih satu tahun, yaitu pada tahun 13 H. dibawah pengawasan Abu Bakar,
Umar, dan para tokoh sabahat lainya. Ketiga tokoh yang telah disebut-sebut dalam
 pengumpulan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar, yakni Abu Bakar, Umar, dan Zaid,
mempunyai peranan yang sangat penting. Umar yang terkenal dengan trobosan-
trobosan jitunya menjadi pencetus Ide. Ini tetntunya punya arti tersendiri. Zaid
sudah tentu mendapat kehormatan besar karena ia dipercaya menghimpun kitab
suci Al-Qur’an yang memerlukan kejujuran, kecermatan, ketelitian, dan kerja keras.
Khalifah Abu Bakar sebagai kholifah pada masa itu menduduki porsi tersendiri.
Tak berlebihan bila Ali bin A bi Thalib memujinya dengan mengatakan, “ Semoga
Allah merahmati Abu Bakar. Ia orang yang pertama kali mengambil keputusan
mengumpulkan kitab Allah.
Setelah sempurna, kemudian berdasarkan musyawarah, tulisan Al-Qur’an yang
sudah terkumpul itu dinamakan “Mushaf”, sebagaimana disebutkan Ibnu
Asytah didalam kitab Al-Mashahif yang didasarkan pada riwayat yang sampai
kepadanya melalui jalan Musa bin ‘Aqabah dari Ibnu Syihab: “ setelah Al-
Qur’an terkumpul, mereka menuliskanya diatas kertas. Abu Bakar berkata, carilah nama
Al-Qur’an yang sudah ditulis ini. Sebagian sahabat mengusulkan nama ‘As-Sifr’.
Abu Bakar berkata, ‘itu nama yang diberikan oleh orang-orang yahudi. Merekapun
tidak menyukai nama itu. Sebagian sahabat yang lainya mengusulkan nama “Al-
Mushaf” karena orang – orang habsyi memakai nama itu. Mereka pun akhirnya
sepakat dengan nama itu. [1] 
2.   Pada masa khalifah Umar bin Khattab
Setelah Abu Bakar wafat muskaf tersebut dipegang oleh Umar
R.A. Menurut suatu riwayat Umar menyuruh menyalin Al-Qur’an  dari muskaf
tersebut menjadi sahifah (lembaran). Tetapi pendapat ini masih ditentang oleh
sebagian ahli ilmu karena pada masa Umar pemerintahan terfokus kepada perluasan
kekuasaan dan penataan pemerintahan.
Setelah Umar hafal mushaf itu di simpan oleh hafshah, adapun sebab
mengapa disimpan oleh hafshah dan tidak di simpan oleh ustman karena: hafshah
adalah istri rasul dan anak khalifah, hafshah adalah orang yang pandai menulis dan
membaca.
Abu Bakar dan Umar tidak menyuruh menyalin mushaf (memperbanyak
muskaf), Karena muskaf yang ditulis dimaksudkan hanya untuk orisinilnya bukan
untuk digunakan oleh orang-orang yang hendak menghafal Al-Qur’an. karena
masih banyak orang-orang yang belajar dan hafal Al-Qur’an yang dibimbing oleh
nabi Muhammad Saw. sendiri.

3.   Pada masa Utsman bin Affan


Latar belakang pengumpulan Al-Qur’an pada masa Utsman R.A berbeda
dengan faktor yang ada pada masa Abu Bakar. Daerah kekuasaan Islam pada masa
Utsman telah meluas dan orang-orang Islam telah terpencar di berbagai daerah dan
kota. Di setiap daerah telah popular bacaan sahabat yang mengajar mereka.
Penduduk Syam membaca Al-Qur’an mengikuti bacaan Ubay bin Ka’ab, penduduk
Kufah mengikuti bacaan Abdullah Ibnu Mas’ud, dan sebagian yang lain mengikuti
 bacaan Abu Musa Al-Asyari. Di antara mereka terdapat perbedaan tentang bunyi
huruf, dan bentuk bacaan. Masalah ini membawa mereka pada pintu pertikaian dan
 perpecahan antarsesama. Hampir satu sama lainnya saling mengufurkan karena
 perbedaan pendapat dalam bacaan.
Ketika terjadi perang Armenia dan Azerbaijan dengan penduduk Irak, di
antara orang yang ikut menyerbu kedua tempat itu ialah Huzaifah bin al-Yaman. Ia
melihat banyak perbedaan dalam cara-cara membaca Al-Qur’an. Sebagian bacaan
itu bercampur dengan kesalahan; tetapi masing-masing mempertahankan dan
 berpegang pada bacaannya, serta menentang setiap orang yang menyalahi
 bacaannya dan bahkan mereka saling mengkafirkan. Melihat kenyataan demikian
Huzaifah segera menghadap Utsman dan melaporkan kepadanya apa yang telah
dilihatnya.
Utsman juga memberitahukan kepada Huzaifah bahwa sebagian perbedaan
itu pun akan terjadi pada orang-orang yang mengajarkan qiraat kepada anak-anak.
Anak-anak itu akan tumbuh sedang di antara mereka terdapat perbedaan dalam
qiraat. Para sahabat amat memprihatinkan kenyataan ini karena takut kalau-kalau
 perbedaan itu akan menimbulkan penyimpangan dan perubahan. Mereka
 bersepakat untuk menyalin lembaran-lembaran pertama yang ada pada Abu Bakar
dan meyatukan umat Islam pada lembaran-lembaran itu dengan bacaan yang tetap
 pada satu huruf.
Utsman kemudian mengirimkan utusan Hafsah (untuk meminjamkan
mushaf Abu Bakar yang ada padanya) dan Hafsah pun mengirimkan lembaran-
lembaran itu kepadanya. Kemudian Utsman memanggil Zaid bin Sabit al-Ansari,
Abdullah bin Zubair, Sa’id bin ‘As dan Abdurrahman bin Haris bin Hisyam, ketiga
orang terakhir ini adalah suku Quraisy; lalu memerintahkan mereka agar apa yang
diperselisihkan Zaid dengan ketiga orang Quraisy itu ditulis dalam bahasa Quraisy,
karena Al-Qur’an turun dalam logat mereka.
Huzaifah amat terkejut oleh perbedaan mereka dalam bacaan. Lalu ia
 berkata kepada Utsman: ‘Selamatkanlah umat ini sebelum mereka terlibat dalam
 perselisihan (dalam masalah Kitab) sebagaimana perselisihan orang-orang Yahudi
dan Nasrani. ’ Utsman kemudian mengirimkan surat kepada Hafsah yang isinya:
‘Sudilah kiranya Anda kirimkan kepada kami lembaran-lembaran yang bertuliskan
Al-Qur’an itu, kami akan menyalinnya menjadi beberapa mushaf, setelah itu kami
akan mengembalikannya. ’ Hafsah mengirimkannya kepada Utsman, dan Utsman
memerintahkan Zaid bin Sabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin ‘As dan
Abdurrahman bin Haris bin Hisyam untuk menyalinnya. Mereka pun menyalinnya
menjadi beberapa mushaf.
Mereka melaksanakan perintah itu. Setelah mereka selesai menyalinnya
menjadi beberapa mushaf. Utsman mengembalikan lembaran-lembaran asli itu
kepada Hafsah. Selanjutnya Utsman mengirimkan ke setiap wilayah mushaf baru
tersebut dan memerintahkan agar semua Al-Qur’an atau mushaf lainnya diBakar.
Perlu kita ketahui, tujuan dibuatnya salinan itu adalah untuk meniadakan
 perbedaan dan pertentangan mengenai cara membaca Al-Qur’an. Sehingga Utsman
 pun memerintahkan kepada kaum muslimin untuk memBakar mushaf yang lain dan
semua catatan Al-Qur’an yang dilakukan oleh masing-masing orang dengan
caranya sendiri-sendiri untuk keperluan pribadi serta memerintahkan kepada
mereka untuk menyalin kitab suci menurut kitab induk. Tindakan Utsman untuk
memBakar mushaf tersebut dinilai sangat bijaksana, sebab jika semua mushaf
dengan bermacam-macam cara penulisannya itu tetap dipertahankan, maka akan
menambah tajam dan runcing perpecahan di kalangan kaum muslimin. [2] 

B.   SEBAB-SEBAB PEMBUKUAN AL-QUR’AN 


Sesudah wafatnya junjungan kita Nabi Muhammad Saw. terjadilah suatu
 peristiwa seorang penipu bernama Musailamah Al-Kazzab yang menganggap
dirinya sebagai nabi. Maka orang yang lemah imannya banyaklah yang kembali
murtad.
Sesudah itu, keadaan bertambah genting. Saiyidina Abu Bakar R.A. telah
mengisytiharkan perang bagi membenteras gejala buruk ini, maka terjadilah satu
 peperangan yang hebat. Dengan bantuan Allah Swt. tentera Islam dapat
menewaskan dan membunuh Musailamah. Dalam peperangan ini banyak para
hafiz (Penghafal Al-Qur’an) yang terbunuh. Hal ini amat membimbangkan
Saiyidina Abu Bakar. Maka beliau memerintahkan Zaid bin Thabith untuk
mengumpulkan lembaran ayat-ayat Al-Qur’an  untuk dibukukan. Sesudah
mendengar perintah itu Zaid berkata “Dengan nama Allah, jika tuan hamba
menyuruh hamba memindahkan gunung dari satu tempat ke satu tempat yang lain
tidaklah ia membebankanku dari mengumpulkan lembaran ayat-ayat Al-Qur’an.
Bagaimanakah sanggup tuan hamba melakukan sesuatu yang baginda sendiri tidak
melakukannya?" Saiyidina Abu Bakar R.A. menerangkan bahwa tindakan ini
terpaksa dibuat demi menyelamatkan Al-Qur’an dari terpupus.
Setelah Zaid mendengar keterangan itu, maka ia pun menemui penduduk-
 penduduk di situ dan mengumpulkan satu demi satu lembaran ayat-ayat Al-Qur’an dari
mereka dan menyalinnya. Zaid R.A. juga menemui para hafidzz yang
menghafalnya dalam hati mereka sehingga dapatlah Zaid mengumpulkan hingga
ayat yang terakhir.
Sedangkan penulisan pada masa Utsman terjadi pada tahun 25 Hijriah.
Penulisan pada masa ini adalah dalam rangka menyatukan berbagai macam
 perbedaan bacaan yang beredar di masyarakat saat itu. Ketika terjadi perang
Armenia dan zarbaijan dengan penduduk Irak, di antara orang yang ikut menyerbu
kedua tempat itu ialah Huzaifah bin Yaman. Ia melihat banyak perbedaan dalam
cara – cara membaca Al –qur’an. Sebagian bacaan itu bercampur dengan
kesalahan,
tetapi masing –m  asing mempertahankan dan berpegang pada bacaannya, serta
menentang setiap orang yang menyalahi bacaannya dan bahkan mereka saling
mengkafirkan. Melihat kenyataan demikian Huzaifah segera menghadap Utsman
dan melaporkan kepadanya apa yang dilihatnya.
Dengan keadaan demikian, Utsman pun khawatir bahwa akan adanya
 perbedaan bacaan pada anak –  a  nak nantinya. Para
sahabat memprihatinkan kenyataan karena takut kalau ada penyimpangan
dan perubahan. Mereka
 bersepakat untuk menyalin lembaran – lembaran pertama yang ada pada Abu Bakar
dan menyatukan umat Islam pada lembaran – lembaran itu dengan bacaan yang tetap
 pada satu huruf.
Utsman kemudian mengirimkan utusan kepada Hafsah untuk meminjam
mushaf yang ada padanya. Kemudian Utsman membentuk panitia yang
 beranggotakan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin ‘As, dan
Abdurrahman bin Haris bin Hisyam, ketiga orang terakhir adalah suku Quraisy.
Lalu memerintahkan mereka untuk memperbanyak mushaf. Nasehat Utsman
kepada mereka:
1. Mengambil pedoman kepada bacaan mereka yang hafal Al –qur’an 2.
Jika ada perselisihan di antara mereka tentang bahasa (bacaan), maka
haruslah dituliskan dalam dialek suku Quraisy, sebab Al –qur’an
diturunkan menurut dialek mereka.
Mereka melaksanakan perintah tersebut. Setelah mereka selesai
menyalinnya menjadi beberapa mushaf, Utsman mengembalikan lembaran asli
kepada Hafsah. Al –qur’an yang telah dibukua dinamai dengan “Al –  Mushaf”, dan
 panitia membuat lima buah mushaf. Empat di antaranya dikirimkan ke Mekah,
Syria, Basrah dan Kufah, agar di tempat  –  tepat itu disalin pula, dan satu buah
ditinggalkan di Madinah, untuk Utsman sendiri, dan itulah yang dinamai Mushaf
“Al–Imam”, dan memerintahkan agar semua Al–qur’an atau mushaf yang ada
diBakar.
Dengan demikian, dibukukannya Al –qur’an di masa Utsman manfaatnya
yang utama adalah:
1.   menyatukan kaum muslimin pada satu macam mushaf yang seragam
ejaan dan tulisannya.
2.   menyatukan bacaan, dan kendatipun masih ada kelainan bacaan, tetapi
tidak tidak bertentangan dengan ejaan ushaf Utsman.
mushaf  –m 3.  menyatukan tertib susunan surat –s  urat.

Sebab –s  ebab Al –qur’an belum dibukukan semasa Rasulullah Saw.


hidup Sebab –s  ebab mengapa Al –qur’an belum dibukukan pada masa Nabi
Saw. masih hidup adalah:
1.   Al-Qur’an diturunkan secara berangsur– angsur dan terpisah – p  isah.
2.   Sebagian ayat ada yang dimansukh. Mansukh dan nasikh adalah
menurut para ulama salaf pada umumnya adalah pembatalan hukum
secara global, dan itu merupakan istilah para ulama muta’akhirin
(belakangan); atau pembatalan dalalah (aspek dalil) yang umum, mutlak
dan nyata. Pembatalan ini dapat berupa pengkhususan atau pemberian
syarat tertentu, atau mengartikan yang mutlak menjadi yang terikat
dengan suatu syarat, menafsirkannya dan menjelaskannya.
3.   Susunan ayat dan surat tidaklah berdasarkan urutan turunnya.
4.   Masa turunnya wahyu terakhir dengan wafatnya Rasulullah adalah
sangat dekat.
Demikianlah periode masa dibukukannya Al –qur’an, sejak zaman Khalifah
Utsman bin Affan sampai dengan Al –qur’an yang ada pada sekarang. Bahkan
sampai saat ini, dengan adanya mushaf Al –qur’an, Al–qur’an menjadi satu–s 
atunya
 buku yang paling banyak dihafal oleh manusia di dunia, baik sebagian maupun
keseluruhan isinya. Sehingga keberadaan dan kemurnian Al –qur’an akan selalu
terjaga sampai hari kiamat sebagaimana tersebut dalam firman Allah SWT :
‫ن‬ ‫ظ‬ 
‫ف‬‫ ه‬   ‫ح‬   ‫ كر‬ ‫ الذ و‬ ‫ز‬ ‫ح‬   

   

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami


 benar – benar memeliharanya. ”. (Qs. Al –H  ijr : 9)[3] 

C.   SEJARAH PEMBUKUAN AL-QUR’AN PADA MASA MODERN.


Sejak awal diturunkannya Empat belas abad yang lalu Sampai masa
modern saat ini Al-Qur’an senantiasa terjaga kemurnian dan kesuciannya. Karena
Al-Qur’an satu-satunya kitab yang dijaga oleh Allah keotentikannya, sebagiamana
firman Allah SWT dalam surat (al Hijr, ayat: 9), yang berbunyi :
‫ن‬ ‫ظ‬ 
‫ف‬‫ ه‬   ‫ح‬   ‫ كر‬ ‫ الذ و‬ ‫ز‬ ‫ح‬   

   

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an dan Sesungguhnya Kami


 benar-benar memeliharanya. ” (QS : Al-Hijr, Ayat : 9)
Setelah periode Rasulullah dan para Khalifah, pada abad ke-16 Eropa
menemukan mesin cetak yang dapat digerakkan (dipisah-pisahkan), maka
mulailah al-Qur’ an  dicetak untuk pertama kalinya di Hamburg, Jerman pada
abad ke-17, tahun 1694 M. Tidak diketehui dengan jelas nama pemrakarsanya,
namun dapat dipastikan bahwa yang melakukan hal tersebut adalah dari kalangan
non muslim. Cetakan Al-Qur’an  pertama kali atas prakarsa orang Islam
dilaksanakan pada abad ke- 18 tepatnya tahun 1787 di St. Petersburg-Rusia,
didirikan oleh Maulana Utsman (sultan Ottoman). Setelah itu, Al-Qur’an dicetak
di Kazan 1828, Persia 1833,Istambul 1877, dan Mesir pada tahun 1925.
Setelah itu pada tahun 1834, Gustav Flugel mencetak Al-Qur’an dengan edisi yang
resmi, yang disebut dengan edisi Leipzig. Cetakan ini dijadikan sebagai rujukan
resmi dan standar untuk penelitian Al-Qur’an  dan penerjemahan Al-Qur’an  ke
 bahasa-bahasa Eropa. Namun, terbitan Al-Qur’an  yang dikenal dengan edisi
Fluegel ini ternyata mengandung cacat yang fatal karena sistem penomoran ayat
tidak sesuai dengan sistem yang digunakan dalam mushaf standar. Oleh sebab itu,
mulai Abad ke-20, pencetakan Al-Qur’an  dilakukan umat Islam sendiri.
Pencetakannya mendapat pengawasan ketat dari para Ulama untuk menghindari
timbulnya kesalahan cetak. Sedangkan Al-Qur’an  yang dicetak dan digunakan
secara luas oleh umat Islam di dunia, termasuk Indonesia dan kemudian
dikembangkan menjadi versi yang standart disebut dengan edisi Mesir atau juga
dikenal dengan edisi Raja Fuad. Sebab edisi cetakan ini diperkenalkan di Mesir di
 bawah kekuasan Raja Fuad dan di bawah pengawasan Universitas Al-Azhar.
Pertama kali dicetak di Kairo tahun 1925/1344H berdasarkan Qiraat Ashim riwayat
Hafs. . Selanjutnya, pada tahun 1947 M untuk pertama kalinya Al Quran dicetak
dengan tekhnik cetak offset yang canggih dan dengan memakai huruf-huruf yang
indah. Pencetakan ini dilakukan di Turki atas prakarsa seorang ahli kaligrafi turki
yang terkemuka Said Nursi.
Pencetakan Al-Qur’an itu adalah ikhtiar yang luar biasa, karena upaya ini
merupakan upaya yang paling berhasil dalam sejarah kodifikasi dan pembakuan Al-
Qur’an sepanjang masa. Terbukti kemudian, Al-Qur’an Edisi Mesir itu merupakan
versi Al-Qur’an  yang paling banyak beredar dan digunakan oleh kaum Muslim
termasuk Indonesia. Kini sudah ada sebuah percetakan khusus Al-Qur’an 
yang
 bernama “Majma’ Malik Fahd Li Thiba’ah Mushaf Syarif”. Ini adalah percetakan
Al-Qur’an  terbesar di dunia, yang memang hanya mencetak Al-Qur’an  saja.
Letaknya di kota Madinah di bawah Kementerian Agama Kerajaan Arab Saudi, dan
mulai beroperasi sejak tahun 1984. Dalam satu tahun, percetakan ini mampu
memproduk cetakan Al-Qur’an sebanyak 30 juta eksemplar. Adapun penulisan Al-
Qur’an di Indonesia, berdirinya kerajaan Islam pada tahun 1290 mengasumsikan
 bahwa Al-Qur’an juga telah ditulis sebagai salah satu bentuk pembelajaran agama
Islam, meskipun aktivitas penulisan Al-Qur’an  tidak ditulis secara utuh berupa
mushaf melainkan hanya beberapa ayat atau potongan ayat saja. [4] 
Menurut Mahmud Buchori penulisan Al-Qur’an dalam bentuk mushaf telah
ada pada abad 16 M. Di Pulau Ambon ada seorang ulama Faqih dan Shalih bernama
Afifuddin Abdul Baqri ibn Abdullah al-Admi. Dia telah berhasil menulis mushaf
Al-Qur’an pada tahun 1585 M. , tepatnya pada tanggal 7 Zul Qa’dah 1005 H. Lima
tahun kemudian, pada tahun 1590 M. -menurut Rosehan Anwar, seorang gadis
 bernama Nur Cahya menyelesaikan penulisan Mushaf Al-Qur’an di Pegunungan
Wawane Ambon. Sedangkan mushaf Al-Qur’an yang beredar di Indonesia hingga
kurun waktu tahun 1970-an tidak terlalu banyak ragamnya. Menurut E. Badri
Yunardi corak Al-Qur’an yang beredar di masyarakat Islam Indonesia waktu itu
adalah Al-Qur’an cetakan atau edisi Bombay, Pakistan dan Al-Qur’an Bahriyyah
cetakan Istambul. Pada saat itu pula belum banyak penerbit yang secara khusus
menerbitkan Al-Qur’an, di antara penerbit yang sudah mencetak Al-Qur’an adalah:
CV. Afif Cirebon, PT. Al-Ma’arif Bandung, CV. Salim Nabhan Surabaya dan
Tintamas Jakarta. Dan kini Departemen Agama RI membentuk sebuah badan yang
salah satu tugasnya adalah mengawasi pencetakan Al-Qur’an, yakni Lajnah
Pentashih Mushaf Departemen Agama RI. Jadi, setiap penerbit yang akan
menerbitkan Al-Qur’an dan terjemahnya harus di-tashih (diteliti dan diedit) oleh
Lajnah ini. Setelah lolos pen-tashih-an, Lajnah akan memberikan sertifikat izin
 pencetakan Al-Qur’an. Barulah penerbit tersebut boleh mencetak Al-Qur’an, baik
untuk kepentingan komersil maupun amal. [5] 
BAB

III PENUTU
P

A. KESIMPULAN
Pengkodifikasian dan penulisan Alquran pada masa Nabi Saw. terkumpul
dalam hapalan dan ingatan, serta catatan yang masih berserakan. Pada masa Abu
Bakar, di samping terkumpul dalam hapalan, juga dikumpulkan shahifah-shahifah
yang terpisah-pisah. Kemudian pada masa Umar, shahifah-shahifah tersebut ditulis
dalam satu mushhaf. Selanjutnya, pada masa ‘Utsman, semua hapalan sahabat dan
Mushhaf yang diwariskan oleh Umar, ditata ulang dan dicatat dalam satu dialek
qira’ah yang melahirkan suatu Mushhaf disebut dengan Mushhaf Imam.
Dapatlah dipahami bahwa penulisan teks-teks Alquran pada masa Utsman
merupakan masa pembentukan naskah resmi, yang dimaksudkan untuk meredam
 berbagai kevariasiaan dalam pembacaannya.

B. SARAN
Demikianlah Penyusunan makalah ini disusun, sebagai cacatan penutup bahwa
 pemakalah menyadari akan banyaknya kekurangan dan kelemahan pada karya tulis
ini, olehnya itu pemakalah berharap agar ada kritik, saran atau masukan yang
sifatnya membangun untuk perbaikan makalah, terakhir adalah permohonan maaf
 jika sekiranya apa yang disajaikan oleh pemakalah, terdapat kekurangan dan
kekeliruan didalamnya.
 
DAFTAR PUSTAKA

Hasbi ,Muhammad. Sejarah dan pengantar ilmu Al-Qur’an Dan tafsir. Semarang


: PT. Pustaka Rizki Putra
Mustaqim,abdul dan Syamsudin ,sahiron. study Al-Qur’an kontemporer:Wacana
 baru berbagai metodologi tafsir
Cahaya, Widya. 2011. Al-Qur’an  dan Tafsirnya: Muqadimah. Jakara: Ikrar
Mandiri Abadi.
Ahmad. Blogspot. com. 2012, Studi-Al-Qur’an  dalam http://sanadtkhusus.
 blogspot. com, di akses pada minggu, 22 okt 2017.
Khazanah. Wordpress. com. 2012, pembukuan Al- Qur’an, dalam http://www.
Republika. co. id, di akses pada senin, 23 okt 2017.

[1]  Ahmad. Blogspot. com. 2012, Studi-Al-Qur’an  dalam


http://sanadtkhusus. blogspot. com, di akses pada minggu, 22 okt 2017.
[2]  Muhammad Hasbi ,. Sejarah dan pengantar ilmu Al-Qur’an Dan tafsir.
Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra
[3]  Khazanah. Wordpress. com. 2012, pembukuan Al- Qur’an, dalam
http://www. Republika. co. id, di akses pada senin, 23 okt 2017.
[4] Mustaqim,abdul dan Syamsudin ,sahiron. study Al-Qur’an 
kontemporer:Wacana baru berbagai metodologi tafsir
[5] Cahaya, Widya. 2011. Al-Qur’an dan Tafsirnya: Muqadimah. Jakara:
Ikrar Mandiri Abadi.

Anda mungkin juga menyukai