Anda di halaman 1dari 16

Nama : Nur Sa’adah Rizqy

Semester : 1
Judul : Tugas UTS Semester 1

KADO UNTUK ROSY

Malam itu, remaja berumur 18-an terus memandangi langit gelap melalui jendela
berjeruji, bertirai polos yang sengaja ia buka. Udara pesantren yang begitu dingin membasuh
malam itu, membuat merah sipu kedua pipinya. Dia  tak bisa tidur sedari sejam yang lalu.
Tapi bukan sebab angin malam yang dingin.

“Dingi..iiin” suara seorang yang ia kenal. Sesegera mungkin remaja itu menutup tirai
rapat-rapat. “Maaf…” ucap remaja 18 tahun lirih. “kamu belum tidur Ros?” tanyanya.        

“Belum…” jawab remaja 18 tahun, pemilik nama ‘Rosy’ itu.

“Kenapa?”  

“Aku belum ngantuk kok. Maaf.. udah mbangunin kamu.”

“Ya. Gak apa. Bener, kamu belum ngantuk?” tanyanya untuk yang ketiga kalinya..

“Iya” jawab Rosy tersenyum kecil. “Hmm…, ya udah kalau gitu. Aku balik tidur lagi.
Kamu juga cepat tidur Ros…” perintah Lisa.

“Iya Lis”

Sejenak remaja 18 tahun itu memperhatikan punggung perempuan yang ia kenal


dengan sebutan ‘Lisa’ yang telah tertidur. Namun seketika terfikir kembali hal itu.
“Lis… ” panggil remaja 18 tahun lirih, tapi tak ada jawab. “Lisa… kata Kak Via.
Kalo kita sudah menikah kita gabakal kesepian ya, terus kalo sakit, ada ‘suami’ yang
perhatian.  Apa aja yang kita mau, bakal dikasih. Aku tahu Lis…aku masi terlalu muda untuk
ber-rumah tangga. Tapi aku mau diulang tahunku yang ke-19 besok bisa ketemu Mas Jodoh.
Walau cuman nglihat aja, juga gak apa-apa hehehe.” Ungkap remaja 18 tahun dalam
monolog.
“Hmm…“ 

“Lisa,Lis…?”
Sebenarnya Lisa memang sudah terjaga sejak remaja 18 tahun itu tak sengaja
membuatnya terbangun.“Rosy… Kan aku udah bilang berapa kali biar kamu tahu.Menikah
bukan perkara mudah, tapi kamu tetap kerasa kepala.Kamu gak usah  dengerin ceritanya si
KakVia.” Lisa dengan nada sedikit kesal, karena emosi yang belum stabil sebab sedari
bangun tidur.
“Hm. Iya, maaf.” Rosy  yang menyesal. “Ya, udah. Gak apa-apa. Sekarang kamu
tidur, besok kita kan bakal ada acara. “ Ungkap Lisa dengan senyum penuh arti. “Oh ya,
kalau besok aku gak bisa ngasih kado yang sesuai dengan yang kamu mau. Coba kamu minta
sama Allah. Percaya deh, pasti dikabulin” saran Lisa.
“ Sekalian kamu sholat tahajjud sama sholat hajat gih,biar makin cepet di
ijabah.”Suruh Lisa. “ Oke,makasih udah ingetin buat sholat tahjjud sama hajat,aku ambil
wudhu dulu ya.”
Rosy pun segera beranjak mengambil wudhu dan menunaikan sholat lalu memohon
kepada Allah agar acara esok yang ia nanti-nanti sesuai dengan apa yang ia
harapkan.Selepas sholat dan berdoa Rosy bergegas tidur.
Rosy memandang langit-langit kamar yang tak nampak, sambil memohon kepada
Allah Yang Maha Kuasa, “Semoga hari esok lebih baik dari hari ini. Semoga aku segera
dipertemukan dengan Mas Jodoh hehehe.” mohonnya dalam batin sembari berfikir matang-
matang apa yang ia harapkan.
“Nanti,kalua Mas Jodoh udah dateng bakal aku omelin,kenapa ga dari dulu aja
datengnya,duh lama.” Gumam Rosy dalam hati.
                                                                        ***

17 November 2021 : 08.00

Pagi yang cerah di Pondok Pesantren Ar-Rabbani.Para santri wati sudah berkumpul di
Gedung utama PP Ar-Rabbani. Sudah menjadi tradisi para santri Di Pondok Pesantren ini
untuk merayakan ulang tahun setiap santrinya.
“Eii… bangun Ros. Udah jam 04.30, inget gak, ini hari apa?” Lisa mencoba
membangunkan Rosy si pemalas untuk kesekian kalinya, kali ini dengan sekuat tenaga dan
tanpa ampun.
“Hmm!” Rosy yang kesal karena Lisa membangunkannya dengan cara yang berbeda.
Yaitu memercikkan air ke wajahnya. “Ahhh! LISA!!apaan siih..!!” Rosy mulai membuka
mata. Dan akhirnya, bangun. “Iya, iya aku bangun. Udahan!” Pinta Rosy.
“Nah… anak pintar. Sekarang cepet ambil wudhu,keburu habis subuhnya, terus habis
sholat cepet mandi kita harus bantu-bantu buat siapin acara. Semua udah pada bantu-bantu
nyiapin acara.Hari ini bukan cuman nyerayain ulang tahun kamu aja. Jadi kita harus cepet-
cepet bantuin persiapan biar cepet kelar juga.” jelas Lisa. “Iya iya iya…” jawab Rosy.
Setelah selesai dengan urusan pembersihan diri, selanjutnya Rosy pun ikut membantu.
Lisa menyarankan Rosy untuk membantu dalam urusan dekorasi bersama tim dekorasi dan
dibantu oleh beberapa Kakak yang juga menuntun mereka. Melipat kertas origami, meniup
balon, menggunting kertas, mengecat banner, menggambar hiasan banner dan memajang
dekorasi yang telah siap. Semua melakukan tugas masing-masing dengan senang hati.
“Ros, hari ini bakal ada yang datang loh…” Tiba-tiba saja Ustadzah Rahmah
mengatakan sesuatu sembari menepuk pundak Rosy saat sedang asyik mengecat banner.
Perkataan Ustadzah Rahma berhasil mengagetkan Rosy. “Ah! Ustadzah Rahmah?”
 “Kamu pasti seneng.” Ustadzah Rahmah melanjutkan ucapannya barusan. “Ada yang
datang? Siapa us?” Rosy sama sekali tidak mengerti apa yang sebenarnya beliau katakan.
“Loh, belum tahukah anti?” tanya Bu Rahmah dengan heran.Rosy menggeleng polos
tanda tak paham akan perkataan Ustadzah Rahmah. Mencoba menerka apa yang sebenarnya
Bu Rahmah maksudkan. Tapi semakin ia berfikir, semakin ia tak mampu menemukan
jawabannya.
“Ya sudah, kalo gitu. Nanti Rosy liat aja sendiri. Biar Surprise, ya?” Ustadzah
Rahmah menyarankan. “Emang, siapa us? Siapa?” Rosylia yang mulai dipenuhi rasa
penasaran, sudah sampai pada puncak kesabaran.
“Ustadzah Rahmah! Minta tolong ke sini sebentar, boleh?” terdengar suara Ustadzah
lain memanggil, sumber suaranhya dari dapur. “Oh! Nggih Ustadzah!” Ustadzah Rahmah
menyanggupi. Akhirnya Ustadzah Rahmah pergi meninggalkan remaja 18 tahun itu dengan
sejuta rasa penasaran dan tanya dalam hati.
Disaat yang sama, “Ros, temani aku ke syirkah sebentar, mau?” Lisa juga muncul
disaat yang tak terduga. “Ah! Iyadeh ayo!” Sesaat setelahnya Rosy sudah melupakam
percakapannya dengan Ustadzah Rahma.

***

10 November 2021 : 08.30

Rosylia Salsabilla, sebentar lagi aku dan ayahku akan menemui orang tuanya.  
Ternyata tidak semudah yang aku bayangkan.60 menit perjalanan menuju rumahnya degup
jantungku sudah tak beraturan. Aku begitu gugup.Ya Allah Mudahkanlah urusanku,
gumamku dalam hati.
Pagar rumahnya sudah terlihat,semakin deras keringat mengucur.Rumah bercat putih
dengan halaman luas mengelilinginya.
” Assalaamualaikum..” seruku sambil mengetuk pintu.
“Waalaikumsalaam.” Perempuan berumur 40-an membuka pintu dan mempersilahkan
masuk.Ah iya,itu bunda Rosy, calon bunda mertuaku.
Setelahnya, kedatanganku disambut dengan baik oleh ayah dan bunda. Ayah Rosy
mempertanyakan maksud kedatangaku. Semakin cepat degup jantungku. Langsung saja aku
mengutarakan niat baikku untuk melamar Rosy,putri pertama beliau. Sesaat kemudian ayah
menanyakan alasan mengapa aku begitu yakin akan menyempurnakan separuh agamaku
dengan putrinya. ”Mengapa kamu begitu yakin pada putriku?”
“Rosy adalah santri yang baik akhlaq dan hatinya,tapi Rosy sungguh curang,bayang-bayang
senyum Rosy selalu melintas difikiran saya. Saya takut syetan semakin menguji saya dengan
terus memikirkan Rosy. Setelah memohon petunjuk kepada Allah lewat Sholat
Istikhoroh,saya mendapat jawaban bahwa Rosy adalah yang terbaik untuk saya.” Paparku
panjang lebar untuk meyakinkan hati ayah dan bunda.
“Baiklah,InsyaAllah saya dan bunda menerima lamaranmu.Tidak perlu persetujuan Rosy lagi
karena dia sudah menyerahkan urusan pernikahan pada kami.InsyaAllah Rosy ikhlas
menerima lamaranmu.Besok kamu bisa mengucap ijab qobulnya.”
“Alhamdulillah,terimakasih ayah dan bunda yang telah menerima lamaran saya.”
Alhamdulillah,terimakasih Ya Allah engkau telah mempermudah jalan hamba. Syukurku
dalam hati.

***

Bismillahirrohmaanirrohim.
Beberapa jam lagi aku akan menjadi suami Rosy. Segera ku laksanakan Sholat Dhuha dan
banyak-banyak memohon kemudahan serta kelancaran pelaksanaan akad nanti kepada Allah.
Setelahnya segera rampungkan beberapa keperluan yang akan ku bawa saat pelaksanaan akad
nanti.
Waktu menunjukkan pukul 10.00 WIB. Aku sudah sampai di Masjid Baitul Muttaqin
tempat aku akan mengucap ikrar pada Allah atas Rosy.
***

17 November 2021 : 08.50

Rosy dan Lisa telah kembali setelah merampungkan keperluan mereka. Saat mereka
menuju Gedung utama, Rosy melihat ada mobil asing terparkir di halaman ndalem. Ah,
mungkin tamu. Pikirnya. Rosy terus mengalihkan perhatiannya pada mobil hitam yang sudah
terparkir sejak sebelum kembalinya mereka dari syirkah.
“Ah… akhirnya kita sampai juga. Capek banget ya Ros.” Rosy pun mengalihkan
pandangannya pada Lisa.
“Mau minum gak Lis?,tadi aku beli minuman dingin di Syirkah.” Tawar Rosy.
“Alhamdulillah,kamu beliin aku juga? Makasi banyak ya.”

Keadaan saat itu begitu ramainya, hingga Rosy tak sempat untuk memikirkan siapa
pemilik mobil itu.
Sekembalinya Rosy dan Lisa, semua sudah siap pada tempatnya. Tak lama mereka
pergi, tapi urusan telah terselesaikan. Karena acara itu bertepatan setelah perayaan ulang
tahun pondok, kemeriahan terompet masih bergema. Kebahagiaan pun juga turut bergema.
Setiap tahunnya, Pondok Pesantren Ar-Rabbani merayakan hari kelahiran mereka bersama-
sama. Jika bulan kelahiran mereka bersamaan, maka mereka akan merayakan diawal, atau
dipertengahan bulan tersebut. Kebersamaan yang begitu harmonis.
“Nah, ayo semua kumpul-kumpul sini! Tiara, Putri, Salma Dan Rosy. Kalian berdiri
di belakang sini” perintah Ustadzah Rahmah dan Rosy mengikuti arahannya.

Tak seperti tahun-tahun sebelumnya. Tahun ini acara perayaan ulang tahun terasa
lebih meriah.
Rosy sedari tadi hanya terdiam, sedang yang lain menyanyikan lagu ulang tahun
dengan gembiranya. Rosy memandang sekitar, entah apa yang ia cari. Dan disaat itu, ia
menangkap satu sosok yang menarik perhatiaannya sama seperti saat ia memperhatikan si
mobil hitam. Seorang lelaki berperawakan tinggi mengenakan sarung, kemeja putih serta jas
hitam. Dalam keramaian, sosok itu terbilang mencolok. Cukup lama Rosy menatap tajam
pada lelaki berperawakan itu.

Tak selang berapa lama, sosok itu menyadari bahwa Rosy sedang memperhatikannya.
“Ros, kok diem aja? Ikut tiup lilinnya juga ya.” Ustadzah Rahmah menegur Rosa yang sedari
tadi hanya diam, seakan tak menikmati acara tersebut. Membuat Ustadzah Rahmah khawatir.

Rosy tersadar. Kemudian ia pun juga mengikuti ketiga santri lain meniup lilin.

Setelah usai, Rosa berbalik lagi mengalihkan pandangannya pada sosok itu. Namun
hasilnya nihil, ia tak menemukannya.

                                                                        ***

“Rosy!kesini!” terdengar suara Ustadzah Rahmah  dari teras depan ndalem. Rosy
yang sedang asyik dengan teman-temannya segera mencari sang pemilik suara. “Itu Ustadzah
Rahmah di Teras depan” Lisa mengerti maksud gerak-gerik Rosy. Rosy tersenyum. “Makasih
Lis.”
Rosy pun menyusul Bu Rahmah yang berada di Teras depan ndalem, tak tau apa yang
sebenarnya Ustadzah Rahmah inginkan. Rosy hanya menyanggupi.

“Ustadzah Rahmah, ada a..” belum selesai ia bertanya, Rosy mengalihkan


pandangannya pada seorang selain  Ustadzah Rahmah, yang juga ikut duduk di kursi Teras
depan ndalem itu.
Sosok yang beberapa waktu lalu  Rosy lihat, yang kemudian hilang dan sekarang
sosok itu berada dihadapannya. “Hai Rosylia!” Lelaki itu menyapanya dengan senyuman
ramah tanpa pamrih. “Ah. Ee… ehm… hha.. lo!” Rosy berusaha membalas sapaan orang
tersebut, tapi terasa begitu sulit baginya yang baru mengenal seseorang. Ustadzah Rahmah
tersenyum, memaklumi Rosy.

“Rosy masih inget kan? Waktu Ustadzah bilang, bakal ada yang datang.”Ustadzah
Rahmah angkat bicara. Akhirnya Rosy teringat kembali perbincangannya dengan Ustadzah
Rahmah. “Oh, yang waktu itu. Terus siapa yang Ustadzah Rahmah maksud?” Rosa mulai
bersemangat kembali.
Ustadzah Rahmah melihat ke arah yang tertuju pada lelaki berperawakan tinggi itu.
Rosy mengikuti arah pandang Ustadzah Rahmah. Tapi Rosy tetap tak mengerti isyarat yang
Ustadzah Rahmah berikan. Akhirnya Ustadzah Rahmah memberikan penjelasan. “Dia orang
yang Ustadzah bilang, ‘akan datang ke acara ulang tahun mu’.”
Lelaki berperawakan tinggi itu tersenyum kembali, lalu ia beranjak dari kursinya dan
berdiri menyejajari Rosy. Sontak Rosy sedikit ragu dan mundur selangkah dari tempat ia
berdiri sebelumnya.
“Ah, maaf sudah mengagetkanmu. Rosylia, perkenalkan. Namaku Reza, aku salah
satu kakak kelasmu saat SMP. Laki-laki yang halal untukmu, atau kamu juga bisa
menyebutku ‘Suami’. Itu terserah Rosalia sendiri mau memanggilku dengan sebutan apa.
Tapi sebelumnya aku mau mengucapkan ‘selamat ulang tahun yang ke-19’ semoga menjadi
yang terbaik dari yang terbaik dan semua doa yang kamu panjatkan di ijabah oleh Allah.”
Lelaki itu berkata sembari menyerahkan sebuah kotak kecil berwarna merah dengan pita
silver di atasnya.
“Ini… “ Rosy merasa tak yakin kotak itu ditujukan padanya.

“Untuk kamu Ros.” Lelaki itu meyakinkannya sekali lagi. Bahwa benda itu kini milik
Rosylia seutuhnya.
“Apa ini?” tanyanya padaku.
“Itu cincin pernikahan kita.”
Sedetik kemudian Reza telah memakaikan cincin nikah pada jrai manis Rosy.
Rosylia begitu senang, namun bingung dengan apa yang telah terjadi padanya.
Meskipun ia baru mengenal lelaki itu, tapi ia yakin bahwa Reza adalah sosok yang begitu
baik dan mampu membimbing Rosy untuk kedepannya.
Ustadzah Rahmah tersenyum melihat keakraban mereka. Namun juga ada sedikit
kesedihan dalam hatinya. “Rosy. Bagaimana jika ‘Suamimu’ Reza membawamu pulang?”
Tiba-tiba saja Ustadzah Rahmah mengatakan suatu hal yang menarik perhatian
Rosy.“Maksud Ustadzah?”

“Sebenarnya, ‘Suamimu’ Reza telah memohonkan izin pada pihak dzurriyah untuk
membawamu pulang.” Ustadzah Rahmah setengah menjelaskan. “Aku kemari, juga untuk
menjemputmu.” Reza melanjutkan penjelasan Ustadzah Rahmah. “Menjemput?” Rosy masih
belum mengerti maksud dari pembicaraan mereka.
“Kamu akan tinggal Bersama Reza, di rumahnya. Dia sudah meminta izin pada orang
tua mu.” Jelas Ustadzah Rahmah.
“Tapi Ustadzah,semua yang ada disini sudah Rosy anggap sebagai keluarga.”
Bu Rahmah mengerti keadaan Rosy. Tapi ia juga tahu betapa ingin Reza tinggal dan
bertemu setiap hari dengan Rosy.  
“Tapi, Reza, ayah dan bundamu dirumah itulah keluargamu yang sesungguhnya
Rosy,dia sudah sah menjadi suami mu.” Lisa muncul di tengah perbincangan mereka.
“Mereka, adalah keluargamu, sebelum kamu bertemu kami. Keluarga yang sesungguhnya.
Kalau mereka tidak ada di dunia ini, kamu juga tidak mungkin ada. Dan kamu juga tidak
akan bisa bertemu kami. Jadi, kembalilah ke keluargamu dan jangan lupakan kami di sini.
Ok? Rosy.” 

Sesaat Rosy mampu menahan tangisannya. Tapi, kemunculan Lisa membuatnya tak
kuasa menahan tangis. Sebentar Reza melihat ke arah Lisa dan melemparkan senyuman
dengan maksud berterima kasih, Lisa pun juga membalas senyuman itu.
                                                     ***

“Semua sudah?”

“Sudah.”

“Nggak ada yang ketinggalan?”

“Ya, kayaknya sudah nggak ada Lis.”


“Rosy Sudah siap?” Ustadzah Rahmah masuk ke kamar Rosy  untuk memastikan
kesiapannya. “Iya. Sudah Ustadzah.” 

“Lisa, tolong bawakan sebagian barang Rosy. Simpan di bagasi mobil yang terparkir
di depan.” Perintah Ustadzah Rahmah. Tanpa membuang waktu Lisa segera melaksanakan
tugasnya. Ustadzah Rahmah dan Rosa juga tak ketinggalan segera menyusul.
Seluruh santri Pondok Pesantren Ar-Rabbani telah berkumpul di Teras depan ndalem
sejak tadi. Menunggu Sang tokoh utama keluar. Reza juga tak kalah. Ia menunggu keluarnya
Rosy, sambil membantu membawakan barang keperluan Rosy yang kemudian ia singgahkan
di bagasi.
Sesampainya Rosy di teras depan ndalem semua santri diam. Hening menambah
kepekatan udara malam. “Mulai hari ini. Rosa akan pulang dan tinggal bersama Reza dan
ayah bundanya.” Ustadzah Rahmah memberi kumandang informasi. 

Sekali lagi Rosy tak mampu menahan tangis. Dan yang lain pun ikut merasakan apa
yang Rosy rasakan. Hawa perpisahan telah lekat tercium oleh indra. Kemudian Rosy
memeluk dan bersalaman dengan mereka satu per satu sebagai tanda perpisahan, serta
perjumpaan bagi mereka kelak nanti.
Berlanjut, Ustadzah Rahmah, dan terakhir Lisa. “Baik-baik ya… jangan ngrepotin
suamimu, karena dia sendiri yang akan menjaga kamu. Kalau ada waktu, sempatkan untuk
singgah ke sini. Semua pasti rindu sama kamu ‘si cerewet’. Hehehe… “ Lisa menasihati
Rosy untuk kesekian kalinya.
“Rosy. Reza sudah menunggu di mobil.” Ustadzah Rahmah mengingatkan. “Ah. Iya
Ustadzah.”

Rosy pun beranjak dengan sedikit perasaan tak rela. Lalu ia masuk dan duduk tepat di
sebelah bangku kemudi. “Maaf Ros, aku nggak bermaksud memisahkan kamu dengan teman-
temanmu.”

“Nggak apa-apa. Lagi pula aku sudah memutuskan pilihanku. Kamu kan juga
keluargaku, suamiku lebih tepatnya.” Rosy berusaha untuk tersenyum dan menahan
kesedihannya. Karena, jika ia terus terlihat menyedihkan, itu hanya akan membuat suaminya
merasa bersalah.
“Rosy, daaah..! Hiks.” Via melambaikan tangannya sambil menahan isak tangis
karena ditinggal oleh teman yang juga sudah seperti saudara baginya. Melalui jendela mobil
yang terbuka, Rosy pun ikut melambaikan tangan. “Terima kasih semua.” Dan kaca mobil
menutup kembali.

                                                                        ***

27 Maret 2021

Tak terasa, waktu begitu cepat. Bagaikan aliran air, dan aku adalah daun kering yang
terbawa olehnya. Begitu rapuh, juga mudah terombang-ambing oleh arusnya.Kini aku di sini,
di rumah ternyaman yang pernah aku singgahi.Jika ku putar kembali waktu, dulu seakan
seperti mimpi dalam tidurku.
Tuhan mempertemukanku dengannya, Reza Akbar kakak kelas SMP ku kini seakan
peristiwa itu terasa biasa bagiku.Jika aku putar kembali, waktu dulu saat pertama kali aku
bertemu lagi dengannya setelah sekian lama kita tidak bertemu, peristiwa itu seakan ajaib
bagiku. Luar Biasa. Aku amat mensyukuri nikmat Nya. Laki-laki itu amat menyayangiku.Dia
pria dingin tapi hangat saat bersamaku.
Kehidupan baru ku berawal sejak aku tinggal Bersama suamiku, Reza Akbar. Dia
seorang penulis novel. Suami yang sangat bertanggung jawab atas hidup dan mati istrinya.
Kurang lebih sudah 9 tahun lamanya. Sebelum aku tinggal bersamanya, sudah ada seseorang
yang berada di sisinya. Tapi kini, sosok itu telah tiada tidak lama sebelum ia menjemputku
dulu. Sosok yang dicintai olehsuamiku, ibu yang begitu dicintainya.
“Rosy! Sudah sediakan piring dan gelasnya di meja makan?”Pemilik suara berasal
dari dapur itu adalah Reza suamiku. Hari ini giliran Reza yang membuat makanan. Kami
bergiliran, sesuai jadwal piket yang kami sepakati. “Ah. Sebentar Za. Paragraph terakhir!”
Dan sekarang aku juga sibuk mengetik untuk ‘Enter’ blogku. “Sedikit lagi.”
“Ros. Mana piringnya?” sekarang suamiku telah kembali dengan masakannya yang
siap untuk dihidangkan. Sedangkan aku belum menyiapkan satupun piring dan gelas di atas
meja. “Maaf , Za… “ Aku memasang tampang memelas padanya. “ Shut Down laptop mu,
sekarang. Lalu singkirkan dari meja makan. Kamu bisa melanjutkannya nanti.”
Suamiku ini orang yang baik. Walaupun begitu, tidak selalu aku bisa bermanja-manja
padanya. Dia orang yang disiplin waktu. Jadi aku sering sekali dinasihatinya. Pernah sekali
aku dimarahinya. Dan itu membuatku benar-benar trauma. Dia menyeramkan sekali kalau
marah.
“Hm… enak Za. Makin hari makin enak. Level masak Reza bertambah lagi ya...? “
Aku mencoba basa-basi. “Mau membuka pembicaraan atau mengalihkan pembicaraan?”
Reza juga orang yang berlidah tajam dan dingin. “Iya iyaa… Aku kan sudah minta maaf tadi.
Oh ya Za. Hari ini tanggal berapa ya?” Aku mengganti topik obrolan, mencoba
memancingnya.   Dia ingat nggak ya?
“Hhm… tanggal 31. Kamu itu ya. Segitunya banget, sampai lupa tanggal. Makanya,
liburan gini jangan males-malesan aja. Cepat pikun nanti, masih muda sudah pikun. Istriku
tersayang. Ckckck” Ini dia sifat yang paling aku tidak suka darinya. Jika berbicara, asal
‘ceplas-ceplos’. Terutama jika itu tertuju padaku. Nggak ada manis-manisnya.  Dan dugaanku
memang benar, DIA LUPA HARI ULANG TAHUNKU!?  Atau lebih tepatnya dia tidak
peduli. 
“Za. Sekali-kali, aku mau berkunjung ke pondok tanpa harus diantar.” Aku mengubah
topik obrolan lagi, tapi kali ini tanpa basa-basi. “E? Kenapa tiba-tiba?” sendoknya terhenti
saat akan masuk ke dalam mulutnya. “Aku mau coba untuk lebih mandiri.” Aku mencari
alasan. “Tapikan masih ada aku yang bias mengantarmu setiap saat, dan kamu belum aku
izinkan bawa kendaraan pribadi. Kalo naik motor di sekitar rum…” “Iya. Kalau itu aku juga
tahu. Aku akan berkunjung ke pondok dengan angkutan umum kok.” Aku berkata sambil
menatap piringku yang masih terisi oleh makanan, sebab aku tak berani menatap wajahnya
langsung. Dia marah tidak ya?  Aku melakukan hal ini agar tidak merepotkannya, sebab dia
telah memberikan segalanya untukku. Rumah, makan, pakaian juga kebahagiaan. Dan itu
sudah lebih dari cukup.
Kkrekk!   Aku mendengar deritan kaki kursi, yang ternyata itu kursi Reza. Dia
beranjak dari kursinya, dan berdiri meninggalkan meja makan.   Dia benar-benar
marah!?“Reza… ah, kamu marah hanya karena aku tidak ingin diantar berkunjung ke
pondok? Maaf…”   Aku pun juga ikut beranjak dari kursiku lalu ragu-ragu aku mendekatinya.
Khawatir nanti jika aku terkena imbasnya. Dia membalikkan badan dan melihatku sebentar
“Ha? Untuk apa aku marah? Aku mau ambil minum, kamu lupa menyediakan minum di meja
makan tadi.” Huft.. Ternyata mau ambil minum. Aku kira dia marah. Rasanya aku malu
sendiri karena perbuatanku.
“ Ya, sudah. Itu terserah kamu kalo mau berangkat tanpa harus diantar. Tapi kamu
harus bisa jaga diri, ya?” Tanpa ragu aku mengindahkan perintahnya “Siap Bos!” Sudah 9
tahun lamanya, dan aku bahagia bisa bertemu, juga berada di sisinya. Semoga aku bisa terus
bersamanya. Semoga.
***

Rosylia Salsabilla… Aku begitu menyayanginya. Seperti aku menyayangi ibu. Hingga
aku takut jika harus kehilangan dia, seperti disaat aku kehilangan Ibu. Begitu banyak hal
yang aku sukai dari nya.Tentangnya, tentang senyumnya, tentang perlakuan manisnya, dan
apapun yang terkait dengannya. Tapi,begitu banyak juga yang aku sembunyikan
darinya,tentang aku dan ibu tiri ku.‘Sepandai-pandai menyembunyikan bangkai pasti akan
tercium baunya’. Dan benar, itu menjadi kenyataan yang harus kuhadapi saat ini.
            Siang itu ibu tiriku tiba-tiba datang ke rumah. Dia sudah mengetahui keberadaan
Rosy yang aku nikahi dengan sepengetahuannya. Kedatangannya adalah untuk memastikan
keadaan Rosy dan untuk menjelaskan baik-baik tentangnya. “Aku ingin menanyakan
beberapa hal terkait Rosy. Kamu pasti sudah tahu tentang hal ini. Dan kamu
menyembunyikan hal ini dari Rosy, Reza.” Aku tak bisa berkata apa-apa lagi, juga tak bisa
menentang kebenaran itu.
            Ruang tamu yang tak begitu luas ini membuatku semakin terpojokkan. “Ibu ini ibu
tiri mu,tapi kamu tidak menceritakan yang sebenarnya kepada Rosy. Apa maksudmu?.
Sampai kapan kamu mau menyembunyikan hal ini? Kalau dia sampai tahu, apa jadinya nanti.
Dia sudah pasti akan sangat kecewa. Reza? Jangan hanya diam, jelaskan yang sebenarnya!”
            Tiba-tiba saja aku mendengar langkah kaki seseorang. Menuruni anak tangga, dan
berhenti tepat di ruang keluarga. “Rosy?” meskipun suara Ibu lirih, aku langsung tersadar.
Rosy sedari tadi mendengarkan percakapan kami.
           Perempuan itu terus menatapku tajam. Seakan sedang menatap sesuatu yang ia benci.
Wajahnya memerah seakan ia menahan sesuatu yang ingin ia utarakan. “Pembohong!” kata
yang pertama ia ucapkan adalah ‘pembohong’. Ya. Aku memang pembohong, penipu,
pembual.  Rosy beranjak dari tempat ia berdiri, meninggalkanku yang hanya diam dan tak
dapat berkutik lagi.“Reza! Kamu mau diam sampai kapan? Kalau saja sejak awal kamu mau
menjelaskannya baik-baik dengan Rosy, tidak akan ada kejadian seperti ini. Jelaskan
alasanmu padanya. Dia pasti akan mengerti. Karena dia bukan anak kecil lagi.”
            Akupun mengindahkan permintaan Ibu. Ibu benar, aku tidak bisa terus diam seperti
ini.   Aku berjalan dengan cepat menuju lantai 2, kamarku dan Rosy. Aku berusaha untuk
tetap tenang dan tak mengacaukan keadaan. Tokk, tokk, tokk..  “Rosy?” Tapi tak ada jawab.
Aku mencoba membuka pintunya, tapi tak bisa. Dia menguncinya dari dalam?“Rosy,
dengarkan penjelasanku. Ku mohon. Ini yang terakhir. Dan aku tidak akan mengulangi
kesalahan itu lagi. Jadi aku mohon dengar penjelasanku.” Walaupun aku baru akan
menjelaskan , tapi tetap tak ada jawab.
“Dengar, aku akan menceritakan tentang Ibu tiri ku juga alasan mengapa
akumenyembunyikannya darimu. Jadi ku mohon, dengarkan. Itu… dulu, aku sangat takut
akan keputusan ibu tiriku yang ingin menjodohkanku dengan anak kolega bisnisnya.Aku
takut ibu tidak menerimamu,ternyata aku salah.Selama ini ibu sudah sangat menerima dan
menyayangimu Rosy,hanya saja aku masih mencari waktu yang tepat untuk menceritakan
yang sebenarnya kepadamu.”
            Kreeek..  pintu kamar nya pun terbuka. Dia terus menundukkan kepalanya. Aku
mencoba menyentuh wajahnya dan menengadahkannya.Tampak wajahnya begitu mendung.
Matanya merah bengkak, menandakan dia habis menangis. Dia menatapku kosong. “Maafkan
aku Rosy… “ Dia lalu menepis tanganku dari wajahnya. Namun tetap menatapku kosong.
“Apa aku sebegitu burknya. Sampai kamu takut ibu tidak bisa menerimaku?” Air itu ternyata
tak cukup berhenti, setetes, lalu menyusul tetesan lain dari ke-2 pelupuk matanya. “Aku
melakukan itu bukan karna kamu tak cukup baik. Tapi aku hanya takut ibu belum bisa
menerimamu. Dia sudah berjanji akan menyayangimu dan memperlakukanmu dengan baik.
Jadi percayalah.”
“Lalu, kenapa kamu menutupi kebenaran ini?”
“Aku takut. Kalau-kalau kamu tau akumenyembunyikan ibu tiriku, kamu tidak akan mau
memaafkanku.” Aku tak bisa menatapnya. Aku benar-benar pengecut. “Tapi kamu
bilang.’Ibu sudah menerima dan menyayangiku sejak awal kita menikah kan, yang berarti
kau tak perlu mencemaskan ku.”
Aku memberanikan diri untuk menatapnya. Tapi tiba-tiba saja, tanpa ku duga. Dia
memelukku. “Aku memaafkanmu. Jadi ku mohon Reza! Jangan pernah menutup-nutupi
sesuatu dariku, atau berbohong padaku lagi! Aku menyayangimu, seperti aku menyayangi
Ibu. Berjanjilah!”
            “Ya. Aku berjanji Rosy. Terima Kasih sudah memaafkanku. Aku juga
menyayangimu.”

***

Anda mungkin juga menyukai