Anda di halaman 1dari 3

Nama : Zulfan Nisa’ul Fikriyah

Kelas : XI MPLB 4
No. Absen : 35

Berbeda Tapi Sama


Oleh : Siti Ismail Liana

Terlihat seorang pemuda yang sedang gelisah dalam duduknya diantara barisan shaf salat di
dalam sebuah masjid yang tak terlalu besar itu. Dia sebenarnya sedang mengikuti salat shubuh
berjamaah di masjid dekat rumahnya. Namun sekarang masih berdoa, sedangkan ia sudah
sangat ingin beranjak pergi karena teringat akan kartun kesenangannya yang akan tayang
sebentar lagi.

Akhirnya pemuda itupun menyerah. Dengan segera ia mengubah posisinya untuk beranjak
pergi. Sayangnya, ketika kakinya hendak melewati pintu keluar matanya tak sengaja
menangkap suatu pemandangan yang aneh menurutnya. Dan jiwa-jiwa kekepoan-nya pun
otomatis berkibar dengan semangat.

Iya, pemuda itu ternyata termasuk dalam tipe orang yang memiliki tingkat ke-kepo-an yang
sangat tinggi terkait dengan hal-hal yang baru dijumpainya. Lantas ia lupa begitu saja dengan
acara kartun kesayangannya itu. Tanpa disadari, dia tetap berdiri mematung sambil terus
mengamati seseorang yang menarik perhatiannya tadi.

“Dek”

“Ah iya…” pemuda itu terkejut ketika seseorang yang diamatinya sedari tadi ternyata sudah
berdiri tepat dihadapannya sambil melambai-lambaikan tangan di depan wajah linglungnya.
Entahlah, mungkin pemuda itu terlalu banyak berpikir dan berspekulasi hingga lupa dengan
keadaan di sekitarnya.

“Kamu kenapa sih dek kok dari tadi liatin kakak terus, emangnya ada yang aneh sama
kakak?” Pemuda yang lebih tua itupun mengeluarkan uneg-unegnya sedari tadi. Sorot
matanya tajam menusuk lawan bicaranya.

Sedang pemuda yang lebih kecil itupun terkesiap dan segera menyadari situasi yang sedang
dihadapinya saat itu.

“Ah, tenang dulu kak, aku ngga berniat aneh-aneh kok. Cuman aku ngerasa aneh aja dengan
cara salatnya kakak.”

Yang diajak bicara hanya menautkan alisnya bingung. Tak ada yang aneh kok, pikirnya
begitu. Namun tiga detik kemudian ia baru menyadari hal apa itu. Sorot matanya berubah
lembut. Dan ia malah mengajak pemuda yang lebih kecil darinya itu untuk mengobrol di
taman samping masjid.

“Jadi hal apa yang menurutmu aneh itu dek?” yang lebih tua memastikan apakah yang
dipikirkannya itu benar.
“Oh, itu kak. Kenapa tadi kakak mengangkat tangan seperti sedang berdoa, padahal kakak kan
masih salat tadi. Memangnya boleh ya?” Nah, benar dugaannya. Ia tadi salat di lingkungan
orang yang tidak menggunakan qunut ketika salat shubuh. Pantas saja anak ini sedari tadi
memasang wajah penasaran terus.

“Emmm, sebelumnya nama kamu siapa dek?”

“Rio kak”

“Oh, kelas berapa sekarang?”

“Kelas 5 SD Kak.”

“Hemm, Rio, kenalkan nama kakak Deka. Dan hal yang adek lihat tadi namanya membaca
qunut. Kamu pasti belum pernah liat ya.”

Rio pun hanya menganggungkan kepalanya saja sebagai guna merespon pernyataan Deka.

“Wajar sih kalau kamu belum tau, masih kecil soalnya.” Tambah Deka lagi sambil tertawa
kecil.

“Kita itu sama Rio, sama-sama Islam kok. Ya meski kakak salatnya agak beda sama kamu,
tapi intinya sama, kita menghadap Allah Swt. Kamu denger kakak ya, Islam di luaran sana itu
jauh lebih baaaaaaaanyak lagi perbedaan-perbedaan yang bakalan kamu temui, nggak cuma
sama kakak aja yang beda.”

“Ada laki-laki yang suka pakai baju kaya gamis, ada yang nggak mau pake celana panjang di
bawah mata kaki, perempuan yang pakai cadar kemana-mana, sampai perempuan yang ngga
pernah pakai kerudung pas keluar rumah-pun itu tetap seorang muslim jika dia menyatakan
diri sebagai penganut agama Islam. Dan yah, bagaimanapun cara beribadah mereka, kamu
jangan pernah ya yang namanya menghina dan mengejek kebiasaan mereka lalu menganggap
kalau cara yang kamu lakukan adalah yang paling benar.” Jeda sejenak, Deka mengambil
nafas sekaligus mengamati reaksi dari Rio. Sedang Rio sendiri memberikan perhatiannya
secara penuh kepada Deka sedari tadi.

“Ya enggak lah Kak, ngapain juga aku ngehina, palingan juga aku kepoin aja kayak kakak
gini.” Sambung Rio menanggapi Deka, karena ia belum memuka obrolan kembali.

“Wahh sip sip, mantap Yo. Sekalian nambah wawasan juga itu biar tambah pinter. Nah,
mereka itu punya dasar masing-masing gimana mereka beribadahnya Yo. Mudah kata,
mereka punya panutan alias ustadz masing-masing gitu. Dan meskipun hasil pemikiran
ustadz-ustadz itu berbeda tetapi sebenarnya intinya sama, bersumber dari al-Qur’an dan
Hadits semua.”

“Loh, kalo sumbernya sama kenapa hasilnya bisa beda Kak?” Rio pun mengeluarkan
pertanyaan yang mengganjal di pikiran. Kedua alisnya menukik cukup tajam menunjukkan
ketidakpahamannya.

“Bisa kok. Misalnya nih Yo, kamu pas lagi main ternyata di sms sama ibuk kamu, terus
disuruh buat beli gula waktu pulang. Tapi pas kamu mau tanya lagi sama ibukmu mau beli
gula apa ternyata hp kamu udah nggak bisa nyala kehabisan batrai. Jadinya pas pulang main
kamu beliin ibuk kamu gula pasir aja, soalnya itu yang kamu tau.”

Si Rio ngangguk-ngangguk aja dari tadi sambil ngedengerin Deka cerita.

“Eh ternyata, pas kamu kasih ke ibuk kamu, beli gulanya salah, bukan gula pasir tapi
harusnya gula aren.”

“Jadi yang salah ibuk dong kak, bukan aku.” Cerocos Rio langsung begitu Deka memberi
jeda.
Deka senyum aja denger itu sebelum dia ngerespon lagi. Ia menatap Rio dengan raut wajah
yang serius.

“Rio, bukan itu poin utamanya disini. Ibaratnya disini SMS itu adalah satu-satunya petunjuk
yang ada dan kita tidak bisa mendapatkan petunjuk yang lain lagi. Sehingga keputusan
selanjutnya ditentukan oleh kamu, si pelaksana perintah itu. Nah, begitu juga dengan Islam,
oleh Allah Swt. kita diberikan petunjuk dalam bentuk al-Qur’an dan Hadits yang disampaikan
melalui Baginda Rasulullah. Dimana sumber itu sudah paten dan setelah Rasulullah wafat
tidak ada lagi yang bisa memberikan petunjuk. Sedangkan zaman terus bergerak dan situasi
serta kondisi lingkungan pun begitu. Alhasil akan banyak cara beragama yang harus
disesuaikan pula. Misalnya seperti masjid pada zaman Rasul dulu kan hanya beralaskan tanah,
sedangkan sekarang masjid berlantai marmer, ber-AC, diberi sajadah juga, dan sebagainya.
Dan yang paling berhak mengambil keputusan selanjutnya guna pedoman kita dalam
beragama adalah ulama-ulama alias ustadz. Karena tidak semua muslim mampu
melakukannya Yo.”

“Oooh, begitu ya kak.” Rio mengangguk-anggukan kepalanya mengerti.

“Iya Yo. Dan semua ulama yang berhak mengambil keputusan itu adalah orang-orang yang
dipercaya, berilmu dan kompeten dibidangnya. Jadi kita sebagai orang awam yang tidak
menguasai keilmuan semacam itu tidak boleh mempersalahkan yang berbeda dengan kita.”

“Oh iya dong kak, pasti itu. Hehe.” Rio menjawab dengan antusias disertai cengiran lebar di
wajahnya yang menggemaskan itu.

Deka pun senyum menanggapinya, tak lupa tangan kanannya mengacak rambut Rio gemas.
Tak berselang lama ia teringat dan segera melirik jam tangannya dan menyadari jika ia sudah
cukup lama berbincang dengan Rio hingga matahari sudah sangat nampak cerah di pagi itu.

“Nah Rio. Ngga terasa sekarang sudah siang, kakak harus segera pergi. Dan kamu harus siap-
siap ke sekolah kan.” Terang Deka, ia ingin melanjutkan perjalanannya yang terhenti tadi.

“Emm iya kak. Terimakasih banyak penjelasannya. Hati-hati ya dijalan.” Rio berdiri
mengantarkan Deka hingga ke pinggir jalan raya. Ia terus sajamemasang senyum sambil
melambai-lambaikan tangannya hingga Deka menghilang di ujung jalan.

“Hahhh, sudah siang ternyata. Aku harus segera bersiap nih.” Gumam Rio sambil agak berlari
untuk kembali ke rumahnya.

Anda mungkin juga menyukai