Anda di halaman 1dari 8

Jehan dan Jenny

Oleh : Fabia Yolana Jeni

Sakitnya tuh di sini di dalam hatiku. Sakitnya tuh di sini kau duakan aku.

Alunan merdu ke luar dari bibir mungil seorang remaja putri di halaman rumah

sambil membersihkan pekarangan rumahnya. Dedaunan menari ke sana – ke mari

seirama dengan hentakan sapu remaja tersebut.

“Je, nyanyi yang bener dulu!” Teriak seorang ibu dari dalam rumah.

Remaja tadi hanya celingak-celinguk seolah mencari sesuatu. Maklum, dia sedang

mengenakan earphone dengan volume maksimum. Remaja bernama Je tersebut

meneruskan aktivitasnya sambil melantunkan lagu yang berada di list handphone-nya.

Cintaku klepek-klepek sama dia. Sayangku klepek-klepek sama dia.

Lagi-lagi Je mengikuti musik yang ia dengar.

“Je! Jehan!” Teriak ibunya.

Kini ibunya tidak hanya berteriak dari dalam rumah. Ia mendekati Je dan berteriak

tepat di telinganya. Je tersontak kaget dan melepaskan earphone-nya.

“Ck! Apa-apaan sih, Bu? Ganggu kesenangan Je.” Ujar Je protes.

“Dibilangin orang tua, ngelawan aja kamu ini!” Bentak ibunya.

Je hanya cemberut tanpa suara. Dia kembali memasang earphone, menyampu

halaman dan membiarkan ibunya mengamuk seorang diri.

“Lepas eraphone kamu itu! Nggak sopan! Kamu ini hapal lagu-lagu seperti itu

tetapi tidak ada satupun pahlawan revolusi yang kamu ketahui! Kamu hapal semua lagu

cinta-cinta tetapi kamu nggak tahu isi dari sumpah pemuda!” Ujar ibu.

Je hanya menggaruk telinganya. Merasa kesal dengan ocehan ibunya, ia

membanting handphone-nya di atas meja di terasnya. Ia bermaksud meninggalkan


ibunya seorang diri. Tetiba, di tengah perjalanan memasuki ruang tengah, Je merasakan

kakinya menyenggol sesuatu.

“Aduuuh. Kak Je ini jalan yang bener loh. Emang dek Jenny bola, ditendang-

tendang. Jalan itu jangan sambil ngelamun makanya, Kak. Biar dek Jenny nggak

ketendang. Dek Jenny mana pernah jalan sambil melamun!” Ujar anak perempuan

mungil yang tidak lain tidak bukan adalah adiknya Je, bernama Jenny. Logat suara

Jenny mendayu-dayu.

Je terdiam melihat pemandangan di hadapannya. Remaja bermata sipit itu mencoba

memelototi adiknya. Dia mendapati adik semata wayangnya mengenakan lipstik

berwarna merah maroon, mewarnai kukunya dengan crayon, tak kurang pula ia melihat

adiknya mengenakan eyeshadow berwarna biru mengkilat. Je menghela napas panjang.

Tanpa basa-basi ia memarahi adiknya yang berdandan over.

“Jenny! Bersihin muka kamu! Nggak pantes! Nggak usah lenjeh. Masih TK udah

menor banget. Kebiasaan nonton sinetron alay sih!” Bentak Je.

“Ya kenapa? Dek Jenny kan lagi maen.” Bela Jenny.

“Maen? Maen apa sampe kayak badut ancol kayak gitu. Kamu itu masih umur 4

tahun! Nggak pantes pake kayak gitu! Lenjeh sih!” Ujar Je.

“Ini kenapa pada ribut?” Tanya Ibu. “Astaghfirulloh! Jenny apa-apaan kamu?”

Sebelum Je menjawab pertanyaan ibunya, beliau telah melihat apa yang membuat

Je marah. Ternyata, ulah anak bungsunya.

“Ibu sih selalu kasih kebebasan Jenny nonton TV. Segala macem dia ikutin, kan.”

Protes Je pada ibunya.


“Udah, udah, udah. Biar ibu buang aja TV-nya. Jenny! Ayo, ikut Ibu ke kamar

mandi. Apus make-up di wajah kamu! Ibu nggak suka.” Ujar ibu sambil menggamit

lengan Jenny.

“Ampun deh punya adek macem Jenny. Lenjeh!” Gerutu Je.

ළළළ

Bulan telah pada tugasnya sedangkan mentari bekerja di ufuk yang lainnya.

Gemerlap lampu menampakkan sinarnya di setiap sudut kota. Hampir jutaan jiwa telah

terhubung dalam dunia mimpi. Tapi, tidak dengan Jenny yang sedang sibuk dengan

kotak rokok milik ayahnya yang ia sulap menjadi handphone.

“Hai, Jeng. Lagi apa? Iya, aku lagi nunggu pacarku. Jeng, jangan lupa ya

belanjanya. Aduh, ini pacarku lama banget, ya?”

Samar-samar, Je mendengar suara Jenny dari kamarnya. Je beranjak dari tempat

tidurnya dan memergoki apa yang sedang adiknya lakukan. Ia membuka pintu secara

perlahan. Ia sembulkan sedikit kepalanya dan memicingkan mata, alangkah terkejut saat

ia melihat tingkah adiknya. Ternyata, di sana ada ayah dan ibunya.

“Iya, Jeng. Aku mau beli gelang, sepatu jinjit, ukh, banyak banget.” Ujar Jenny

sambil meletakkan bungkus rokok di telinganya, seolah-olah sedang menelpon

seseorang. Ia tidak memperdulikan ayah dan ibunya yang sedang bercengkrama di

dekatnya. Asyik dengan aksinya.

“Jenny! Ayah sama Ibu nggak suka Jenny bertingkah seperti itu. Jenny tidur gih.”

Ujar ayah Jenny.

“Iya itu, Yah. Dari tadi siang Jenny seperti itu. Je yang marah-marah sama Jenny.”

Ucap ibu.

Jenny hanya menatap ayah dan ibunya. Dan kembali dengan dunianya.
“Maaf Jeng. Iya, bentar lagi aku berangkat, Jeng. Udah dulu ya, Jeng.” Ujar Jenny

melanjutkan aksinya.

“Bu, Jenny pasti abis nonton sinetron.” Ujar ayah pada ibu. “Inilah akibat Jenny

nonton sinetron. Udah Ayah bilang, jangan bairkan Jenny nonton sinetron. Akibatnya

fatal banget ini. Jenny bertingkah tidak sesuai dengan usianya. Dewasa tidak pada

waktunya.”

“Ibu sudah memperingatinya, Yah. Ayah kan tau Jenny seperti apa. Nggak dituruti

sakit. Nggak diladenin jerit-jerit. Ibu ya pusing, Yah.” Ujar Ibu.

“Ya sudah, Ayah jual aja ya Jen TV-nya. Ayah sama Ibu nggak suka Jenny menel-

menel seperti ini!” Gertak Ayah.

Jenny tertunduk, “Jangan, Yah.”

“Kalo nggak mau Ayah jual. Jenny harus janji nggak akan nonton sinetron. Jenny

nonton saja kartun.” Ujar ayah. “Dan buat Ibu, tolong dibimbing Jenny agar tidak salah

memilih film. Ibu harus bisa memilah acara TV yang bisa dijadikan edukasi buat

Jenny.”

Je sependapat dengan ayahnya. Adiknya benar-benar berlakon seperti gadis remaja.

Ia geleng-geleng kepala melihat tingkat adiknya dan ia kembali ke kamar. Lelah rasanya

menasihati Jenny. Bahkan perkataan ayah dan ibu tidak pernah Jenny dengarkan. Ia

berharap, gertakan ayahnya mengenai ingin menjual TV dapat memulihkan Jenny.

Je merenung dalam kamarnya. Mengenang masa kecilnya yang berbeda seratus

delapan puluh derajat dengan adiknya. Adiknya masih TK nol kecil, umur 4 tahun.

Tapi, bertingkah seperti remaja yang telah mengenal lawan jenis. Sedangkan semasa

kecil Je, ia menghabiskan waktunya bermain bersama teman-temannya, seperti

menyusuri persawahan, mencari jangkrik, ataupun bermain petak umpet. Nah, adiknya?
“Adekku salah pergaulan. Aku mempunyai masa kecil nggak seburuk Jenny. Tapi,

sekarang aku melupakan norma dan etika dalam pergaulan. Bener juga perkataan ibu

tadi siang. Aku hapal semua lagu-lagu dangdut masa kini tetapi aku nggak paham isi

dari sumpah pemuda. Bahkan, aku nggak terlalu hapal lagu Tanah Airku. Nah, apalagi

Jenny yang sedari dini telah terperangkap dalam pengaruh sinetron alay?”

Dalam batin Je berkata pada dirinya, apabila ia ingin merubah adiknya, ia harus

merubah dirinya terlebih dahulu. Jenny benar-benar harus diajari. Pada dasarnya,

sesusia dirinya adalah fase mengikuti. Ia mengikuti apa yang ia lihat. Je tersenyum

seolah menemukan cara. Ia tarik selimutnya dan tidur, berharap esok pagi ia mampu

merubah dunia.

ළළළ

Je bersiap menyapu pekarangan rumahnya, ia menghidupkan handphone-nya dan

memilih aplikasi winamp. Kemudian, ia memilih salah satu lagu di list-nya. Tanpa basa-

basi, ia mengikuti alunan lagu yang terdengar di telinganya.

Indonesia, merah darahku, putih tulangku bersatu dalam semangatmu. Indonesia,

debar jantungku, getar nadiku. Berbaur dalam angan-anganmu. Kebyar-kebyar pelangi

jingga.

“Eh, Je? Tumben nyanyi seperti itu? Biasanya dangdut. Kamu lagi sakit?” Celetuk

ibunya dari dalam rumah.

“Je tidak sakit, Bu.” Ujar Je pelan.

Je bukannya sakit. Ia hanya telah sadar alangkah banyak virus dan racun yang

merajalela merusak otak para pemuda Indonesia. Je sadar, banyak pemuda-pemudi

Indonesia terjerumus dalam malapetaka yang menyesatkan jiwa. Saat banyak penerus

bangsa yang melupakan sejarah Indonesia, mereka malah dengan sukses menceritakan
kembali adegan sinetron yang mereka tonton atau mereka khatam menghapal lagu-lagu

terbaru yang terkadang minim akan pesan moral. Bukankah bangsa yang kuat adalah

bangsa yang selalu menjaga dan melestarikan budayanya? Mengingat perjuangan

pahlawannya?

Je merasa karakter bangsa telah terkikis oleh kemajuan jaman. Saat mereka mampu

membaca dongeng fiksi yang memiliki ribuan halaman tetapi mereka enggan membaca

realita kehidupan perjuangan para pahlawan.

Je benar-benar tergugah hatinya. Hidup di jaman modern bukan berarti harus

melupakan perjuangan pahlawan. Seharusnya, para penerus bangsa tetap melanjutkan

perjuangan dengan cara belajar yang rajin, memiliki inovasi terbaru, dan yang paling

penting adalah melestarikan kebudayaan agar tidak terkikis dan tenggelam oleh

keadaan. Agar Indonesia tetap memiliki karakter yang kuat dan menjadi bangsa yang

hebat.

“Aku memang tidak begitu paham tentang sejarah Indonesia. Aku pun tidak begitu

mengerti akan keanekaragaman budaya Indonesia. Tetapi, mulai detik ini aku berjanji

akan menjaga dan melestarikan budaya Indonesia. Aku anak sulung dan wajib

mengajarkan si Jenny agar tidak salah gaul, nggak menel. Aku nggak mau, Jenny

dewasa sebelum waktunya. Aku nggak mau, Jenny mengikuti apa yang ia tonton.

Apalagi sinetron.” Ujar Je seusai menyapu halaman.

Pas banget, ini hari Minggu. Je menyalakan TV. Ia pencet tombol remote. Ada

sebuah tayangan di salah satu channel TV yang membuat Je kesal. Seharusnya penerus

bangsa melakukan tarian tradisional bukannya memamerkan keindahan lekuk tubuh

yang tidak semestinya ditampilkan. Seharusnya media apapun turut mendukung

kemajuan budaya bukannya berlomba-lomba mengadakan kompetisi goyang yang tidak


sewajarnya dipertunjukkan. Indonesia adalah negara yang berbudaya. Seharusnya

penerus bangsa memiliki martabat dan karakter yang bersahaja.

“Hufb, sedih aku. Aku berharap, semoga makin banyak anak bangsa yang segera

insaf.” Ujar Je mematikan TV.

Hari ini, Je belum melihat adik semata wayangnya. Ia penasaran, sedang apa

adiknya saat ini? Apakah sedang betingkah macam kemaren atau semalam? Ternyata,

Jenny sedang berada di beranda rumah sambil bermain congklak.

“Aih, tumben anak itu main congklak. Biasanya, mana mau dia main begituan.

Setiap aku ajak main pasti jawabannya sabar ya kak Je aku mau telpon pacarku dulu,

kesambet setan apa dia?” tanya Je pada dirinya sendiri.

Tanpa basa-basi, Je menghampiri Jenny yang sedang bermain seorang diri. Dan ia

pun ikut bermain bersama Jenny. Mereka terlihat tertawa ceria. Setidaknya, Jenny sudah

bisa bersikap dan bermain selayaknya anak usia 4 tahun. Semoga begitu seterusnya.

TAMAT
BIODATA DIRI

Saya adalah Fabia Yolana Jeni dan biasa dipanggil Bia atau Yola. Menulis adalah
bagian dari hidup saya. Beberapa kali pernah memenangkan lomba menulis cerpen dan
puisi. Saat ini, saya sedang menikmati pendidikan S1 Akuntansi di Universitas
Lampung. Selain menulis dan kuliah, kegiatan lain yang saya lakukan adalah mengajar
di bimbingan belajar Taman Belajar Al-Uswah. Saya tinggal di
Jl. Raya Natar no. 55 Kecamatan Natar (Taman Belajar Al-Uswah) Lampung Selatan.
Jika kalian ingin menghubungi saya, bisa dilakukan di via
sms/telpon : 089625673958
twitter – instagram : @biacocolate
Email : yolana.407@gmail.com
facebook : Bia Yolana Jeni

Anda mungkin juga menyukai