Anda di halaman 1dari 7

Cerpen

Perdebatan.

Jarum jam berdetak 11 kali, suasana di suatu desa didekat sungai sudah terlalu

hening. Di suatu rumah yang masih menyala lampunya, seorang anak berusia kira-kira 2

tahun, berambut ikal, bermata sayu, berkulit sawo matang dan bernama Jono masih

terjaga dalam tidurnya. Dia membayangkan perang yang dulu dilakoni oleh kakeknya.

Dia masih terlihat tak terpengaruh oleh rasa kantuk, dia juga tidak terlihat lelah walau

siang tadi ia bermain bola dengan ayahnya di pekarangan rumahnya, setelah 9 jam setia

menunggu kepulangan ayahnya dari tempat ayahnya bekerja. Ayahnya adalah seorang

penegak hukum yang bekerja di kantor pengadilan. Yah, anak ini memang sangat dekat

dengan ayahnya dan saudara kembarnya sangat mirip dengannya tapi berkulit lebih

putih.

Dia sedang melihat-lihat buku pelajaran sejarah SMA milik kakak tertuanya,

yang sekarang sudah duduk dibangku kuliah di tanah Jawa. Dia asli melayu, yang

tinggal nun jauh dipedalaman tanah Rejang, di provinsi Bengkulu. Tentang buku yang

dilihatnya tadi, buku itu menceritakan penderitaan rakyat Indonesia saat dijajah

Belanda. Tapi dia hanya melihat, memperhatikan gambar-gambarnya. Jelas, karena ia

belum bisa membaca. Setelah lama membolak-balik buku itu, dan memperhatikan

seluruh gambarnya, itu menutup bukunya, tapi ia tetap tak tidur. Dia melamun, mungkin

termenung membayangkan gambar tadi, atau mungkin berkhayal. Telah lama dia masuk

dalam alam khayalnya, dia ikut mengalir bersama imajinasinya, melayang-layang dan

mengawang-awang. Tetapi ketika dia berada dipuncak khayalnya dia terkejut dengan

sapaan agak besar dan memekakkan teliganya, atau lebih tepat, jeritan.
“Hei, je pribumi yap!” teriak seseorang anak yang sebaya dia, berkulit putih

dengan aksen Belanda, secara tiba-tiba.

“iya, kowe pasti wong kompeni!” balas Jono dengan logat Jawa.

“Ik, tidak menangkap apa yang je bilang?” tanya anak Belanda sambil

mengerenyitkan dahi, bingung.

“ya ye ya ye, kowe ngomong opo toh, mas? Iyo sopo jenenge kowe mas?” tanya

Jono dengan nada bersahabat.

“Ik, tambah tidak mengerti je ngomong apa, pribumi?”. Si anak Belanda

bertanya sambil menggaruk-garuk belakang kepalanya yang tidak gatal.

“Nama! Nama! Aku tanya nama kamu!” kata jono sambil mendengus kesal.

“ohh” dengus anak Belanda. “mijn naam Joni” kata joni sambil mengulurkan

tangan hendak bersalaman.

“Joni, nama yang apik, aku Jono, mas” sahut Jono sambil menyambut uluran

tangan Joni.

“Ik kesini mau jajah negeri je!” jerit Joni seketika setelah lepas uluran tangan

mereka.

“ya ye ya ye terus. Kowe ora iso basa Indonesia opo?” sahut Jono dengan kesal.

“GAP! je ngomong apa? Je buat ik kesal lama-lama ya!” jerit Joni yang

sebenarnya hanya cari-cari alasan untuk marah.

“Ya ye ya ye lagi” cibir Jono sambil memencong-mencongkan mulutnya.

“Kowe ojo sombong kompeni!” kata Jono sambil berkacak pinggang.

“Hei, Ik keterlaluan yap! ik bisa tembak je punya kepala!” kata Joni dengan mata

menjelit seperti mau keluar.


“Tembak? Mana bedilmu, joni? Moso kompeni nggak punya bedil!” cibir Jono

dengan nada mengejek.

“Gap! Ik punya kenon banyak dibenteng Malbourough, ik hancurkan tampang

menjijikkan je nanti!” ancam Joni.

“Huh, ngomong aja! Mana buktinya!” tantang Jono.

“hei hei hei, je tidak tahu berurusan sama siapa yah?” sahut Joni dengan

sombong.

Seketika Jono terdiam, tapi bukan karena takut, melainkan bingung. Joni hanya

menatap Joni yang terdiam dengan perasaan bangga. Dia masih menyangka bahwa Jono

takut padanya. Tiba-tiba, Jono seperti terbangun dari lamunannya.

“ Iyo,yo? Aku ini berurusan sama siapa yah?” Tanya Jono tiba-tiba.

“Je berurusan sama ik, goblok!” jawab Joni dengan kesal.

“berurusan masalah apa?” pungkas Jono tidak kalah kesal.

“Je lupa? Ik mau jajah je!”

“terus?”

“je melawan dong!” si anak belanda mulai terlihat kesal.

“Yah terserah, mau jajah silahkan, tidak mau juga tidak apa-apa, aku ngikut-

ngikut saja” kata Jono dengan cuek.

“Je tidak melawan?”

“Untuk apa? Toh, akhirnya kalah juga, dan dijajah.” Sahut Jono masih dengan

cuek, seakan-akan tidak terjadi apa-apa.

“Dijajah itu kan tidak enak! Je gimana sih, melawan dong! Pusing ik je buat.

Dijajah itukan menderita, goblok!” kata Joni setengah putus asa.


“eh, siapa yang bilang tidak dijajah itu tidak menderita! Buktinya kami seperti

dijajah saudara sendiri, mana harga-harga naik, mahal, inflasi melambung tinggi, tapi

gaji pejabat naik, gaji wong kecil, tetap saja kecil, tetep wae menderita, mas” jawab

Jono seenaknya.

“Tapi, kalau je dijajah, je tidak bisa bebas berekspresi” sahut Joni sambil

mendelik dan dengan nada ketus.

“Bagus itu, daripada terlalu bebas berekspresi, foto anak SMA bugil depan

kamera berserakan dimana-mana, artis-artis juga buat video porno kok, bahkan yang

paling parah nih, ada video kayak gitu, tapi pemerannya masih pakai baju dinas pe-en-

es. Sableng kan?” Jawab Jono masih seenak perutnya.

Suasana tiba-tiba hening. Joni masih berfikir. Dan tak sampai sepeminum teh

kemudian, perdebatan itu kembali terjadi.

“Tetap saja je yang gila, mana ada penjajahan yang enak!” kata Joni angkat

bicara untuk memulai lagi perdebatan mereka.

“Enak, nggak enak loh mas, sing penting bermanfaat” sahut Jono.

“Manfaat? Manfaat apa? Je kira kalau je dijajah je bisa dapat manfaat?”

“Iyalah, kami bisa belajar sampai Belanda. Staff pengajar disekolah Belanda

pasti professional dan competitive. Terus, kami bisa belajar taketik perang, taketik

bisnis, atawu taketik bermain sepak bola….” Jawab Jono. Sebenarnya masih banyak

yang hendak dikatakannya tapi kata-katanya berhenti karena langsung dipotong sama

Joni.

“Sepak Bola? Je sudah gap, yah? Kami tidak pernah mengajri yang namanya

main sepakbola-sepak bola itu. Kalau je dijajah, tidak ada yang namanya main-main

sepak bola itu” potong Joni.


“Buktinya, waktu kami dijajah, eh masuk piala dunia, mas. Lah sekarang yang

katanya Indonesia Raya merdeka-merdeka itu, sepak bolanya malah kacawu balawu.

Pe-es-es-i-nya nggak karuan loh, pemimpinnya juga nggak karuan, mimpi saja nggak

berani aku, mau masuk piala dunia.” Dengus Jono dengan kesal seperti mengutuki

dirinya sendiri.

“Gap! Gap! Gap! Kalau kami mau jajah kalian, kalian jangan mau dong!

Lawan! Mana mental “Garuda” kalian?” kata Joni seakan-akan sudah putus asa.

“Mental? Tanya saja sama Gayus Tambunan, de-e sing paling punya mental di

negaraku Indonesia raya merdeka-merdeka ini. Nggak takut sama hukum mas, hukum

bisa dibelinya, lari dari penjara juga berani kok, keren banget!” sahut Jono seenaknya.

“Ampun God, jangan buat ik stress! Pribumi goblok!” jerit Joni sambil menjelit.

“Kowe yang goblok, wong nggak mau ngelawan kok maksa” jawab Jono enteng.

“Je yang dwass” jerit Joni sambil mendekatkan wajahnya ke wajah Jono dengan

mata tetap menjelit seperti mau keluar.

“kowe yang goblok”. Balas Jono tidak kalah menjelit, sambil mendekatkan juga

wajahnya kewajah Joni sehingga hampir menempel.

“Kowe yang goblok!” Jawab Joni dengan logat jawa.

“Je yang dwass” sahut Jono.

“hei, terbalik!” jerit Joni.

“iyo, lali aku” jawab Jono.

“Je yang dwass” sahut Joni

“Kowe yang…”
“Jono, Joni sudah malam nak, sudah jam berapa ini. Kok, belum tidur jagoan-

jagoan mama nih.” Terdengar lembut suara wanita keibuan memotong peredebatan

yang berjalan alot antara Jono dan Joni.

“Iya, ma” kata Joni dan Jono hamper berbarengan.

“Dek Joni”. Kata Jono tiba-tiba. Ia memanggil saudara kembarnya itu dengan

sebutan dek, karena menurut dokter ia yang lebih tua walau lahirnya berbarengan.

“Iya, kak.” Sahut Joni sambil menyiapkan tempat tidurnya.

“Besok lagi mainnya yah, tapi besok kak Jono jadi Belanda yah, ribet ngomong

pakai logat jawa tu,” kata Jono lembut.

“Oke, aman.” Jawab Joni sambil mengacungkan jari jempolnya.

“Belum tidur juga anak-anak mama nih?” tiba-tiba pintu kamar mereka terbuka.

Dan terlihat samar-samar dipintu tegak seorang wanita paruh baya, agak gendut,

berambut ikal, dan berwajah cantik melihat mereka dengan marah.

Melihat itu, kedua kakak beradik kembar itu terkejut sebentar dan sesaat

kemudian dengan tergesa-gesa mereka mengambil posisi tidur, membaca doa dan

memejamkan mata. Tak lama kemudian jarum jam berdetak dua belas kali, dan kedua

kakak beradik itu ikut larut dalam suasana hening malam yang meneduhkan ditemani

bunyi derik jangkrik dan burung hantu yang bersahutan merdu saat itu.

Curup, 20 Februari 2011


(Sedikit sentilan sambil terus berdoa untuk kemajuan negeriku.)

Anda mungkin juga menyukai