Anda di halaman 1dari 12

KAMBING HITAM

DUH, seharusnya saya tetap bungkam dan tidak menceritakan kisah mereka
berdua di saat-saat seperti ini kepada kalian. Semua ini pokoknya dimulai jauh sebelum
preman-preman Pulokambing menyerbu abang-abangan lapak angkot dan ojek
pangkalan Pulogebang. Untungnya, Pulogebang menjadi wilayah yang dijaga oleh
seorang petarung tangguh blasteran Purbalingga dan Jerman, namanya Adipati
Soerdjono Baldhart atau biasa dipanggil Mas John—iya, betul, pakai ejaan bahasa
Inggris karena katanya agar tetap kental darah Eropa secara tertulis.
Berdasarkan kabar yang beredar, Mas John adalah pria paling edan, gagah,
brutal dan metal (selera musiknya sih Didi Kempot). Perawakannya garang, seperti
tokoh wayang Gatot Kaca tetapi versi jarang pulang dan jarang mandi. Rambutnya
mirip lapangan yang licin dengan sedikit rumput, kumisnya tebal hitam pekat seperti
baru dioles semir sepatu, alisnya bagai ulat bulu kecemplung got, mata kanannya hitam
belo dan mata kirinya sedikit biru, tetapi lebih banyak putihnya (bukan karena blasteran
tapi karena katarak), hidungnya yang mancung menjadi satu-satunya warisan dari
mendiang ibunya, ototnya menonjol-nonjol layaknya batu kali di hilir sungai, badannya
berdiri setegak patung Sudirman di Setiabudi, dadanya bidang seolah-olah selalu
melotot dan menantang siapa pun dengan bulu-bulu kriting yang mengintip dari celah
kemeja bermotif bunga yang dibuka setengah, kakinya berbentuk kaki ayam Brahma
yang memberontak dari pelukan celana bahan, bahkan satu kakinya ini mampu
mencekik leher orang di antara betis dan pahanya. Pokoknya, dia orang paling ditakuti
sekaligus disegani.
Sejauh pengamatan gosip-gosip yang beredar, Mas John itu orang paling pelit
menggunakan kata-kata. Orang-orang hanya terbiasa mendengar Mas John berbicara,
“hmmmhh, haahh, nggeh, yaaa …” Terkesan orang yang malas berbicara dan tidak ada
jawa-jawanya karena terkesan begitu kurang ramah. Tetapi, yang aneh dari sosoknya
adalah karismanya. Ia memang tak perlu banyak cing-cong meyakinkan orang-orang
sekecamatan Pulogebang untuk percaya bahwa memang Mas John lah satu-satunya
pelindung yang bisa dipercaya. Karena memang tidak ada lagi yang bisa dipercaya
selain kata-kata yang tidak dijual dengan harga murah. Mas John ini juga punya istri
bernama Sri Endang Munawarah, atau biasa dipanggil Teh Ndang. Perempuan bernama
Teh Ndang ini adalah sosok yang paling beruntung se-kecamatan, bahkan mungkin
lebih beruntung dari Kecamatan Pulogebang itu sendiri. Mas John sangat merawat istri
kesayangannya meskipun Teh Ndang mandul dan tak bisa memberikan keturunan.
Entahlah, apa yang membuat Mas John selalu dengan penuh hati dan jiwa untuk
melindungi istri kesayangannya. Semua orang di Kecamatan Pulogebang percaya
dengan Mas John, kecuali satu orang. Ia adalah Izrail.
“Demi Tuhan gua bersumpah ya John! Bakal gua tagih janji lo sampai ke dalam
kuburan! Bakal gua bongkar nanah yang ngebusuk di dalem hati lo dan bakalan gua
lempar ke semua orang yang sayang ama lo! Itu janji!” Itu adalah ucapan terakhir dari
Izrail sebelum ia murtad ke Pulokambing untuk bikin persekutuan bernama PICEK atau
Petarung Idaman Cabang Empedu Kambing.
Namanya memang agak aneh, tetapi isi dari perkumpulan itu adalah orang-orang
sakit hati terhadap perlakuan Mas John yang dianggap terlalu berkuasa di lapangan
parkir terminal bus, angkot, pangkalan ojek, hingga wilayah pasar sekitar Pulogebang.
Mereka adalah sekumpulan orang-orang … maaf, maksud saya lebih tepatnya adalah
laki-laki sumbu pendek yang merasa tertindas lebih dalam, merasa lebih kecil dari orang
kecil, lebih terpinggirkan dari orang punggiran, dan lebih terlantar dari orang-orang
yang terlantar. Perkumpulan ini dipimpin oleh Izrail dan menetap di sekitar wilayah
pabrik tekstil Harja Busana di Pulokambing.
Masing-masing dari mereka memendam dendam pribadi terhadap Mas John.
Ada yang merasa lapak setoran parkirnya direbut, ada yang merasa tidak diperhatikan
usaha dagangannya, ada yang merasa Mas John tidak membantu mereka di masa-masa
sulit. Anehnya, mereka semua ini adalah orang-orang aneh yang terlalu menghambakan
Mas John seperti Don Corleone dalam film The Godfathers. Saking kecewanya, mereka
sampai sempat membuat pamflet yang mengatakan, “Tinggal tunggu waktu mainnya
sebelum Si JOHNTOR berkhianat.” Pamflet itu dibuat setelah Mas John bertarung
untuk pertama kalinya dengan Izrail yang menyebabkan bibirnya luka parah dan
semenjak saat itu, Mas John makin sunyi. Orang-orang jauh lebih memercayainya
ketimbang siapa pun. Tetapi, dari semua itu, yang paling punya luka dalam adalah
Izrail. 

Mengapa bisa Izrail?


Bagaimana semua ini bisa dimulai dari seseorang yang bahagianya saja
mustahil?
Perlu diingat kembali, semua ini terjadi jauh sebelum perseteruan dua daerah
dimulai. Semuanya dimulai bahkan sebelum Mas John lahir. Mas John terlahir dari
pernikahan Bapak Suriodjoio, seorang perantau dari Purbalingga yang menjadi Jawara
paling ditakuti se-Jakarta Timur dengan turis asal Jerman yang terlantar hingga menjadi
pelacur di belakang stasiun Matraman, bernama Sophia Baldhart. Mereka berdua
bahagia dengan pernikahannya, sampai suatu ketika seseorang bernama Lastri datang
menagih janji.
Janji seperti apa?
Janji yang Suriodjoio buat lima tahun sebelum bertemu Sophia, dari atas ranjang
ringsek bersama seseorang bernama Lastri di sarang penyamun. Suriodjoio berjanji
untuk menikahi Lastri dan berbagi surga di dalam rumah bersama anak yang akan
dikandungnya. Sampai waktu kelahiran pun tiba …
“Astaghfirullahaldzim! Ini anak gue nih?” Ujar Suriodjoio yang sudah
kehilangan darah Jawanya dalam sekali kaget.
Lastri pun jawab dengan sabar dan lelah, “Iya, Bang. Ini anak Abang. Ganteng
ya kayak Abang.”
“Biji mata lo gendut! Ini anak siape bego! Lo gila ye, mana ada anak gua
tangannya kayak garpu siomai, gua kalo mau ajan juga bingung itu kupingnya cuma
sebelah kiri yang kanannya nggak ada. Mana mata kanannya meletot, aduh itu yang
kirinya picek parah banget lagi. Ini makhluk kalo gua gendong juga takut remuk,
ringkih bener itu badan.”
“Istighfar, Bang…”
“Udah istighfar duluan gua ngeliatnya tanpa perlu lo suruh.”
“Ya, maksudnya kan ini anak Abang juga, ga mungkin anak orang lain. Hari-
hari juga Lastri di rumah gak kemana-mana. Malah Abang yang demen keluyuran.”
“Lah gua mah kerja, lo kali yang pergi waktu gua tidur terus balik ke habitat asli
lo, buat jualan selangkangan.”
“Heh, jaga mulutnya ya, Bang! Ini anak hasil bikinan kita berdua, Abang janji
buat saling isi bahagia satu sama lain.”
Di tengah bisingnya kamar operasi yang seadanya, seorang nenek yang bertugas
sebagai dukun spesialis kandungan membawa senyap ke dalam kamar itu. 
“Husst! udah-udah…ini gua jadinya mau dibayar kapan? Gak usah ribut, udah
akuin aja itu anak lo, kecium dari keringet sama darahnya itu dari lo,” ucap si dukun
kepada suriodjoio.
“Yaudah iyak, bentar gua ambil duit dulu.”
Sebelum Suriodjoio keluar, Lastri menghentikan sejenak kepergiannya. “Bang,
ini mau dikasih nama siapa?”
“Izrail, mukanya kayak raja iblis yang kayak kambing soalnya.”
“Kenapa gak Lucifer? Kan seenggaknya namanya cakep, Bang.”
“Gak ah, kekerenan. Gak pantes sama mukanya.”
Suriodjoio bergegas keluar dari kamar, keluar dari rumah, keluar dari kehidupan
Lastri dan seorang anak bernama Izrail. Lastri sebenarnya sudah tahu kalau suaminya
itu akan pergi tanpa jejak dan tanpa menjawab tanggungan dosanya, karena ia tahu
kalau dompet suaminya itu selalu ia yang pegang.
Meskipun begitu, Lastri lebih memilih untuk sabar, sebab ia tahu bahwa
kemanapun Suriodjoio pergi, pasti akan ia temukan. Untuk sementara, setidaknya untuk
lima tahun pertama pertarungan Izrail dengan kehidupan, Lastri selalu mendidik anak
semata wayangnya dengan tegas dan keras. Ia tahu bahwa kehidupan akan sulit ke
depannya untuk Izrail, kehidupan akan berlaku tidak adil untuk Izrail, dan Izrail
diajarkan untuk bisa berdiri tegak dan bertindak bijak di dalam hidup. Karena bagi
ibunya, di dalam hidup hanya keadilan yang buta dan tuli, sisanya bisa melihat dan
mendengar dengan jelas. 
Lima tahun pun berlalu sejak kelahiran dan kepergian menjadi antonim yang
hidup di dalam takdir yang harus dijalani Lastri. Lastri edisi paling baru mengenakan
pakaian yang sesuai dengan tema hidupnya; kenangan yang tinggal dibuang. Ia
memakai baju yang sama saat kelahiran dan kepergian terbesar terjadi di dalam
hidupnya —— daster putih yang lusuh dan lecek dengan corak burung merak, karet nasi
uduk untuk mengikat rambut ikalnya, rokok Gudang Garam merah dipeluk di bibirnnya,
di tangan kanannya menggenggam Izrail, dan di tangan kirinya ia memegang dompet
yang tertinggal.
“Suuuuuurrrioooodjooooiooooooo aaaakuuuu puuuulaaaang. Keluar doooong
aku udah siap masuk nih,” lantunan Lastri menggema dari luar rumah Suriodjoio hingga
membangunkan tidur malamnya yang nyenyak.
Suriodjoio pun keluar, sambil membawa dua golok tanpa sarung yang menjadi
senjata andalannya.
“Mau ngapain lo ke sini? Dibilang itu bukan anak gue,” Suriodjoio bertanya
dengan penuh geram
“Loh loh loh, Abang lupa janji Abang, ya? Katanya mau berbahagia dan berbagi
surga bersama, gimana, sih?”
“Itu dulu, gua lagi mabok tau gak!”
“Mabok kok tahan lama bener sampe jadi nih satu anak.”
“Udah gua bilang itu bukan anak gua!!!” Suriodjoio makin geram, ia ingin
menghampiri Lastri dan Izrail, seolah ia benar-benar tega untuk menggorok mereka
berdua.
Lastri membisikkan kata-kata ke kuping kiri Izrail. Kemudian, setengah meter
sebelum Suriodjoio menghampiri, tiba-tiba Izrail berani maju menerjang.
“Ayaaaaaaahh,” dengan polosnya Izrail berkata sambil balas menghampiri
ayahnya.
Suriodjoio pun kaget hingga sempoyongan dan jatuh ke tanah. “Hiiih, lo bukan
anak gue. Pergi lo jauh-jauh!” Suara Suriodjoio tidak menghentikan Izrail untuk terus
melangkah hingga jatuh ke pangkuan ayahnya.
Lastri kemudian menghampiri Suriodjoio yang tergeletak panik tak ingin
melihat anaknya sendiri. Dengan sebuah dompet di tangan kirinya, Lastri
menghempaskan dompet itu ke wajah Suriodjoio.
“Nih, dompet Abang ketinggalan. Isinya udah Lastri pakek, cuma tahan buat
sebulan,” ucap Lastri sebelum akhirnya menggandeng Izrail untuk pergi.
Lastri beranjak pergi menjauh dengan anaknya. Suriodjoio hanya bisa teriak,
“Gak usah lo balik lagi bawa anak haram itu!”
“Gak akan balik juga kok, Lastri udah gak butuh janji Abang. Tetapi, kalo Izrail
… dia yang bakal tagih haknya, dan itu pasti. Ada satu hal lain yang Abang lupa, satu
hal itu bakal jadi milik Izrail dan kematian Abang gak akan bisa menghentikan itu.”
Lastri pun pergi semakin jauh membawa Izrail. Esok paginya, Suriodjoio mengerahkan
semua anak buahnya untuk mencari serta membunuh istri dan anaknya. Sampai malam
pun tiba dan hanya ketakutan yang datang di hadapan Suriodjoio. Ia memutuskan untuk
pergi sendiri dan mencari ke tempat lokalisasi. Sesampainya di sana, tidak ada wajah
yang ia cari. Setidaknya pada malam itu, ia menghempaskan semua gundah ke semua
pelacur kelas kakap di Matraman, termasuk seorang perempuan bule Jerman.
Perempuan itu jelas akan menjadi istri Suriodjoio dan ibu dari Mas John dengan nasib
yang berbeda. Mas John memang sangat beruntung lahir dari bibit import sehingga
takdir hidupnya bukan untuk dicampakkan ayahnya. Takdirnya adalah untuk memegang
kekuasaan, berjaya, dikagumi, dicintai, tetapi juga untuk menjadi sasaran empuk ribuan
tinju pembalasan dendam. 
Mas John tumbuh dengan didikan yang baik, setidaknya itu baik bagi bapaknya.
Mas John diajarkan bela diri dari berbagai macam penjuru dunia dan menempuh
pendidikan Boarding School. Ibunya, Sophia, tidak tahu apa-apa tentang merawat
seorang anak, yang ia tau hanyalah hidup dan menghidupi dirinya sendiri. Suriodjoio
pun juga tidak peduli selama jatah mingguan tetap bergulir. Meskipun tumbuh tanpa
didikan yang penuh dari kedua orang tuanya, John sangat beruntung karena memiliki
orang-orang di sekitarnya yang mau membantu untuk membentuk hati yang baik dan
lembut pada dirinya. Semua hal yang baik dari dalam dirinya tumbuh karena dipupuk
dan dirawat oleh orang-orang yang tahu bahwa kedua orang tua Mas John tidak mampu
mendidiknya dengan baik. Oleh karena itu, orang-orang ini begitu menjaga Mas John,
katanya supaya kelak Jakarta Timur tidak lagi dipegang dengan tangan besi. Tetapi,
orang-orang ini juga yang nantinya kecewa dan menjadi bagian di dalam PICEK.
Berbeda dengan Mas John, Izrail tumbuh dibekali dengan kecerdikan buatan
dari ibunya. Sejak Izrail berumur tujuh tahun, Lastri sudah merancang semuanya. Hal
kecil yang Lastri mulai adalah membekali Izrail dengan buku-buku berat kelas kuliahan
untuk dilahap oleh Izrail sebagai makanan sehari-harinya. Lastri sering mengajak Izrail
untuk pergi ke Lorong Buku Batavia di Pasar Gembrong. Bukan untuk beli buku,
mereka tidak punya uang yang cukup untuk memenuhi isi kepala Izrail yang kosong.
Alhasil, mereka mencuri buku-buku yang ada di sana. Karena sudah terbiasa dengan
medan perang, mereka berdua begitu cekatan dalam memborong barang. Operasi ini
dilakukan secara berkala dan bertahap agar tidak ketahuan, sehari bisa dapat empat
sampai delapan buku, dan itu sudah cukup. Mulai dari buku tentang komunisme,
eksistensialisme, absurdisme, buku silat, agama, teologi, filsafat modern, kiat-kiat
manipulasi, ideologi pascamodernisme, hingga silsilah keluarga Suriodjoio dari Lastri
pun dicerna oleh Izrail. Sebelum Izrail menjadi manusia yang bisa hidup sendiri tanpa
siapa pun, termasuk tanpa ibunya yang harus pergi ke tempat lain, ibunya berpesan agar
tidak mudah percaya obralan janji yang seharga permen Warung Jawa.
Tiga puluh tahun pun berlalu, Mas John dan Izrail tumbuh besar dan semakin
dewasa. Perseteruan pertama mereka sudah dimulai sejak Mas John berusia 20 tahun,
ketika terjadi perebutan jatah lapak Pasar Gembrong. Hasil akhirnya? Bibir Mas John
cacat dan Izrail diasingkan dari Jakarta Timur sebelum akhirnya menetap dan
membangun sekutu di Pulokambing. Kekalahan pertama Izrail tetap memberikan
rentetan penderitaan yang tak henti dengan memanipulasi banyak laki-laki di
Pulogebang untuk mengkhianati Mas John.
Mas John  tahu akan hal itu, akan tetapi ia semakin diam membisu ketika ia
sadar bahwa ia belum cukup mampu mengontrol wilayah Jakarta Timur yang bahkan
baru 50% wilayah yang dikuasai. Pada suatu malam di hari Ulang Tahun Jakarta ke-
484, tepat di hari ulang tahun Mas John yang ke-25, ia berjanji saat berumur 30 kelak,
dirinya akan memberikan wilayah kekuasaan yang merata untuk Izrail dan
kelompoknya. Meskipun sudah berjanji, Mas John memang tidak menepati janjinya.
Hal ini dilakukan tepat di hari lahirnya ke-30, ketika salah satu intel Mas John di dalam
tubuh PICEK memberitahunya tentang rencana Izrail dan PICEK yang sudah
merancang kudeta besar-besaran saat nanti Terminal Pulogebang sudah mulai
beroperasi.
Waktu hening pun berjalan dan tiba pada tanggal 30 Januari 2016, satu bulan
lebih dua hari sejak peresmian Terminal Pulogebang. Sudah enam bulan janji Mas John
tidak ditepati. Izrail dengan PICEK sebagai aliansi sudah merencanakan berbagai
macam rencana, mulai dari penyimpanan pasokan senjata yang disimpan di belakang
Pasar Gembrong, menyuap polsek Jakarta Timur yang tak kebagian jatah keamanan dari
Mas John dengan duit rampokan pabrik tekstil Harja Busana, mengepung lima titik
gerbang utama Terminal Pulogebang, hingga menculik Istri-istri abang-abangan
Pulogebang, termasuk juga Teh Ndang.
Sore itu terminal berfungsi sebagaimana mestinya, tetapi ratusan kaki dan mata
yang hilir mudik merasakan serangan panik, serta jutaan bulu kuduk merasakan
panasnya darah yang mendidih dari kedua belah pihak yang bahkan mereka pun tak
kenal. Mas John sudah menantikan kedatangan Izrail dan PICEK, termasuk dengan
semua rencananya yang melibatkan Teh Ndang.
PICEK kemudian menyerbu abang-abangan Pulogebang dan saling bertarung.
Di tengah kericuhan, Izrail menghampiri Mas John dengan tangan kosong. Lengannya
terbuka seolah siap dari segala serangan. “Tepati janji lo John, gua dateng di sini buat
ngambil semua yang seharusnya jadi milik gua,” teriaknya kencang pada Mas John.
Jagoan Pulogebang itu seperti biasanya hanya terdiam dengan Golok almarhum
bapaknya di kedua tangan.
“Ngomong John! Gua tau apa yang lo tau. Lo tau pasti, kalo apa yang lo punya
itu harusnya milik gua… milik gua john! Hidup abadi adalah takdir gua!”
Mas John menancapkan kedua golok ke dalam aspal kasar dengan sangat
kencang, seolah menandakan betapa adidaya kekuatannya. Tidak berapa lama, Izrail
mengeluarkan Teh Ndang dari kerumunan PICEK sebagai sandra.
“Ngomong John! Kasih tau ke semua orang kalo lo dan bapak lo itu
pengkhianat! Lo gapernah layak nyimpen pusaka bapak lo di balik lidah lo itu! Gua
yakin kesaktiannya udah ilang karena lo ingkar janji, sama kayak bapak lo! Ngomomg,
atau gua bunuh bini lo!”
Semua orang pun diam, pusaka apa yang Izrail maksud? Tidak ada yang tahu
pada saat itu sebelum Mas John menghentikan puasa wicara …
“Ada satu hal yang luput dari apa yang lo tau.” Semua orang termasuk langit
pun menganga mendengar suara Mas John, “Pusaka itu memang akan berhenti bekerja
ketika penggunanya sekali mengingkari janji, tapi lo gak tau kalau …” Semua orang
semakin banyak bikin pertanyaan, termasuk Izrail.
“Gausah banyak bacot! Langsung ke intinya!”
“Intinya? Intinya gua bukan satu-satunya anak dari Suriodjoio”
“Terus kemana dia warisin itu pusaka, hah?! Pusaka ini cuma bisa diturunin ke
anak kandung!! Di mana sekarang pusaka itu!?”
“Lo mau jawaban? NDANG, SEKARANG!!!”
Ndang kemudian memberontak paksa, kemudian ia menjilat pipi Izrail. Ndang
pun lepas dari cengkraman. Tubuh Izrail tiba-tiba merasa kesakitan, tubuhnya
membungkuk hingga jatuh ke tanah, kerongkongannya tiba-tiba serak, adegan
menjijikan pun tersaji di hadapan ribuan mata yang terpaku ketika bulu-bulu halus nan
tebal muncul dari sekujur tubuh Izrail, diikuti dengan ekor yang bantet, kaki yang
membatu dan tumpul, hingga tanduk dari kepalanya. Izrail menjelma kambing tua yang
mengerikan. Badannya kurus, kupingnya sisa sebelah kiri, mukanya tak jelas, persis
seperti Izrail namun lebih menjijikan, “Mbeeeee,” teriakan Izrail dari dalam tubuh yang
tidak pernah ia inginkan. 
Teh Ndang menghampiri Izrail yang pasrah menghadapi takdir sambil berkata,
“Asal lo tau, anak dari Suriodjoio bukan cuma lo, darahnya juga di banyak tubuh orang
se-Jakarta Timur, bukan cuma di dalam tubuh lo atau Mas John, termasuk juga di tubuh
gua —— tetapi pewaris Pusaka Lidah Bandot yang sah itu cuma gua, tepatnya sekarang
ada di lidah gua ini. Kenapa bisa gua? Sini gua kasih tahu.”
Teh Ndang kemudian memulai pidatonya sambil mengelus bulu-bulu di tubuh
Izrail, “Pusaka Lidah Bandot ini lebih banyak kutukannya ketimbang saktinya. Pusaka
ini emang beneran sakti, punya dua kesaktian yang cuma bisa dipilih salah satunya.
Kesaktian pertama bisa ngubah orang jadi kambing, ya contohnya lo sekarang. Tetapi,
syaratnya pengguna gak boleh punya anak dan harus selalu punya lawan untuk diubah
jadi kambing, konsekuensinya ketika mata penggunanya akan menjadi kambing tua.
Kesaktian kedua adalah bisa bikin hidup jadi abadi, tetapi syaratnya gak boleh sedikit
pun ingkar janji dan harus selalu punya 2 anak tiap tahun tanpa terlahir cacat
konsekuensinya jika melanggar, pengguna bakal berubah jadi kambing bandot pas
berumur 50 tahun. Satu-satunya cara batalin kutukannya cuma bisa pakek satu cara;
mindahin Pusaka Lidah Bandot ke anak kandung yang berlawanan jenis kelaminnya.”
Perihal kutukan dan kesaktian ini dibeberkan menjadi konsumsi publik yang sesaat.
Teh Ndang kemudian melanjutkan bicaranya setelah melihat ribuan patung di
Terminal Pulogebang yang gagal mudik, “Sebenarnya, apapun pilihannya, konsekuensi
kutukan sudah menunggu di depannya. Pengguna harus pilih salah satu kesaktian dan
menjalankan syarat serta menghadapi konsekuensinya.” Semua orang tambah
tercengang, di antaranya ada yang sampai terduduk lunglai hanya karena
mendengarnya.
“Kita berdua tau, Suriodjoio si tua bangka bejat satu itu lebih memilih hidup
abadi, tapi namanya nasib, si tua bangka itu akhirnya punya anak yang cacat untuk
pertama kalinya, yaitu lo. Ditambah dia keceplosan di depan muka nyokap lo kalau dia
bakal nurunin pusakanya ke lo. Lebih naasnya lagi, selama lima tahun sejak kelahiran
lo, si tua bangka itu gapernah punya anak perempuan sebagai penerusnya. padahal udah
coba berkali-kali bikin hamil pelacur-pelacur di Matraman. Setiap kali dicoba, anak-
anak yang lahir dari berbagai macam perempuan selalu laki-laki dan akhirnya pas udah
gede, dijadiin kacung sama si tua bangka itu. Termasuk Mas John, dia udah lahir satu
minggu sebelum gue. Si tua bangka itu berharap kalo punya anak bule mau laki-laki
atau perempuan pasti jadi bibit unggul yang bisa dimanfaatkan, dan bener aja, seumur
idupnya, Mas John cuma bagian dari rencana si tua bangka itu buat bikin semua orang
termasuk lo dan nyokap lo percaya kalo penerus kekuasaan adalah calon jawara.”
Keberuntungan ternyata tidak pernah begitu penuh untuk Mas John.
“Meskipun begitu dia tetep ngarep di sisa waktunya yang sedikit buat punya
anak perempuan sebagai penerus dan penyelamat idupnya, walaupun anak perempuan
itu harus diasingkan dan berpura-pura menjadi istri jawara baru, agar tidak tersentuh
sembarang tangan,” semuanya dijelaskan dengan detil latar belakang semua ini pada
hari itu. Jumlah orang yang pingsan tambah banyak karena tak percaya dengan semua
yang baru saja didengar.
Teh Ndang lanjut menjelaskan, “Seminggu setelah Mas John, gua akhirnya lahir.
Dari perut seorang perempuan yang menghembuskan napas terakhirnya waktu
ngelahirin gua. Perempuan yang sampai detik ini gua gapernah tau nama aslinya. Gua
muncul tiga hari lebih awal, yang bikin si tua bangka itu gak berubah jadi kambing. Lo,
Mas John, dan gua itu gak lebih dari sekedar produk investasi jangka panjang. Di antara
kita bertiga sebenarnya lo yang paling beruntung, diurus pakek rasa sayang sama
nyokap lo. Sedangkan gua dan John, cuma produk penggagal kutukan dan pelanjut
kekuasaan. Hidup itu adil, karena kita semua sama-sama merasakan ketidakadilan. Lo
boleh dapet kasih sayang, tapi yang dapet Pusaka Lidah Bandot dan kekuasaan cuma
gua seorang walaupun harus memainkan peran yang panjang, dan itu capeknya minta
ampun.” Rasa simpati tidak sepenuhnya muncul dari cerita kelahiran ini, beberapa ada
yang berpikir ini semua tentang upaya menarik simpati saja, sisanya mengangguk dan
menelan kata-kata Teh Ndang bulat-bulat dan mentah-mentah.
Pada hari itu, Teh Ndang juga membeberkan sedikit rencana panjangnya yang
sudah disusun untuk agenda terdepan, “Gua gak butuh umur panjang buat berkuasa atau
anak sebagai penerus kekuasaan, biar pusaka ini gua bawa sampai mati, meskipun nanti
gua harus jadi kambing waktu dikubur. Masalah lawan yang harus selalu gua ubah jadi
kambing, itu urusan gua dan Mas John sebagai tangan kanan gua, buat cari lawan di
dalam permainan yang bakal kita atur, sama kayak hari ini. Gua tahu Mas John gak
bakal berkhianat, seumur hidupnya selalu gua dan si tua bangka itu yang urus, dia
berhutang selamanya.” Dapat dikatakan, Mas John hanyalah wajah dengan tubuh
sempurna yang akan selalu dimainkan.
“Gua juga gak harus selalu nepatin omongan gua selama kekuasaan masih ada di
tangan gua walaupun dalam waktu yang singkat. Gua gak butuh anak sebagai penerus,
tapi kacung-kacung gua bakal saling sikut buat  jilat kaki gua supaya dapet kekuasaan
berikutnya, makanya mereka setia, ya walaupun juga karena takut sama Mas John dan
lidah gua ini. Ketika ada kacung gua yang jadi penerus, gua cukup kontrol dari jauh,
jadi kacung gua gak akan bener-bener jadi penerus selama benang di badan mereka
masih gua yang pegang sampe gua mati.” Benar dugaku dan beberapa orang pada hari
itu. Ini semua soal kekuasaan atau dinasti yang harus dilanggengkan dengan cara apa
pun. Semua pilihan untuk berkuasa dengan kesaktian, pasti akan ada kutukan di
depannya.
“Gua sadar betul kalau berkuasa kelamaan gak baik, berkuasa pakai tangan besi
juga gak baik, yang paling baik adalah berkuasa dengan waktu yang lama tanpa orang-
orang sadar kalau mereka lagi dikontrol di dalam kerangkeng besi yang gua bikin.
Gimana caranya? Bangun sistem kepercayaan yang dibentuk di masyarakat. Masyarakat
gak perlu tau ini semua, anggap aja ini mitos. Semua yang ngeliat hari ini bakal gua
tandain.” Mendengar pernyataan seperti itu makin gegerlah orang-orang. Ada yang
mencoba lari tapi tak sempat karena sudah dijegal, sisanya mematung ketakutan.
“Hidup, khususnya di kota ini, adalah soal bertaruh di antara menang dan kalah,
gua juga pasti bakal kalah suatu saat nanti, tetapi gua bakal pastiin kalo gua cuma bisa
kalah karena kematian, bukan karena yang lain,” pungkas Teh Ndang sebagai kata-kata
terakhir di hari itu.
Teh Ndang pun pergi bersama Mas John dan anak buahnya setelah pidato
singkat, meninggalkan Izrail dan PICEK dalam kekalahan. Kekalahan yang lebih buruk
dari kematian yang paling sunyi. Sebulan kemudian Pulokambing diubah menjadi
sektor jagal dan produsen daging kambing.
DUH … sudah ya, sekarang lagi musim pemilu, 2044 ini Mas John mau naik
jadi presiden, yang memang jelas Teh Ndang ada di belakang ini semua. Kalo kalian
beneran yakin mau ngangkat isu ini, tolong disebarkan ke kuping-kuping bawah tanah
dulu dan jangan cantumkan atau libatkan nama saya. Saya cuma kacung yang hidup
susah, mati pun juga masih maunya kapan-kapan karena keluarga masih butuh cuan,
termasuk dari kalian ini cuannya. Di satu sisi walaupun saya tidak diubah menjadi
seorang kambing, saya juga capek jadi hewan peliharaan tirani yang sunyi, maka dari
itu saya berani membocorkan cerita ini. Sudah, ya, saya mau sebar berita propaganda,
buat agenda mengkambinghitamkan lawan politik Teh Ndang.

Anda mungkin juga menyukai