Anda di halaman 1dari 91

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita haturkan kepada Tuhan


YME yang telah memberikan berkat dan kasih-
Nya sehingga saya dapat menyelesaikan novelet
berjudul “Mimpi dan Realita”.

Pada kesempatan kali ini, saya


mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
terlebih kepada Ibu Novita selaku guru Bahasa
Indonesia yang membimbing dan menuntun
pembuatan novelet ini.

Saya menyadari bahwa saya tidak luput dari


kesalahan. Oleh karena itu kritik dan saran yang
membangun dari pembaca sangat saya harapkan
untuk dijadikan sebgai evaluasi. Akhir kata saya
berharap dapat diterima untuk menambah
wawasan dan bermanfaat bagi pembaca.

Medan, 24 November 2023

Penulis

1
1.

JALAN BAGI MIMPI

Melbourne, Juni 2020 …..

Ethan duduk di tepi pantai Brighton di


Melbourne, memandang ombak yang bermain-
main di bawah sinar matahari terbenam. Sebelum
kembali ke Jakarta, dia ingin mengabadikan
momen terakhirnya di kota yang mempesonanya
dengan lukisan.

Dia membawa kanvas, cat minyak, dan


kuasnya ke pantai. Tepat di sebelahnya, tersedia
banyak makanan yang telah disiapkan oleh
Omanya yang terlihat sangat menggoda selera,
pai daging sapi favorit Ethan, sandwich timun
yang segar, dan pavlova, dessert khas Australia
yang merupakan spesialisasi Oma.
Sambil menikmati makanan lezat yang
disiapkan Oma, Ethan mulai melukis

2
pemandangan matahari terbenam yang
menakjubkan di cakrawala. Setiap goresan
kuasnya merekam keindahan panorama yang
akan selalu diingatnya. Warna-warna yang dia
campur di atas kanvas mencerminkan warna
langit yang berubah-ubah, memberikan kesan
kedalaman pada lukisannya. Ethan tebuai dalam
lukisannya, hingga ia tidak menyadari bahwa
waktu berlalu begitu cepat.

Saat matahari hampir tenggelam di


cakrawala, Ethan menyelesaikan lukisannya
dengan penuh perasaan. Dia melihat ke
sekelilingnya, memperhatikan detil pantai yang
indah, cahaya matahari yang memantul di
permukaan air, dan warna-warni langit.Sejenak,
ia memenjamkan matanya, bergumul dengan
tebakan apa yang akan terjadi setelah ia kembali
ke Jakarta.

Waktu menunjukkan pukul 22.00 AEST,


Ethan-pun mulai membereskan barang-
barangnya. Sambil mengosongkan baris terakhir

3
rak bukunya, entah kenapa, pertanyaan yang
sama seminggu ini terulang di kepalanya:
umurku baru aja jalan 18, tapi kenapa aku
merasa terlalu lelah untuk semua ini?

Kemudian, pintu di balik punggungnya


berderit pelan. Seseorang seperti menyentuh
pundaknya dengan lembut.

“Ethan” seru Oma dengan lembut, sesaat


membuyarkan lamunan Ethan. “Kamu tidak perlu
bebani kopermu dengan semua buku-buku ini.
Biar Oma saja ya yang kirim semua bukumu ini
ke Jakarta, supaya kamu tidak kesusahan
nantinya di bandara.” lanjut Oma.

Ethan kemudian tersenyum tipis


menanggapi perkataan Oma sembari menyusun
kembali buku-buku yang telah diangkutnya.
Hatinya terusik. Oma mengatakan itu seolah-olah
ia tidak akan pernah kembali lagi ke rumah ini.

Ethan tahu saat ini akan hadir tak


terelakkan. Hanya keajaiban yang bisa

4
membatalkannya kembali ke Indonesia.
Bertahun-tahun, Ethan berharap dan berdoa
keajaiban itu akan datang. Namun, tampaknya
keajaiban itu tidak akan pernah berpihak pada
Ethan. Hanya sesekali telepon dari Mamanya
yang memuji sketsa-sketsa yang ia kirim, tanpa
ucapan tambahan yang menyiratkan kalau ia bisa
terus tinggal di Melbourne bersama Oma,
menemani Oma yang berjuang agar tidak digusur
ke panti jompo karena dianggap terlalu tua untuk
hidup sendiri, melukis di tepi pantai Brighton
saat mentari terbenam, serta tumbuh besar
menjadi seniman-seniman yang ia kagumi.

Keajaiban yang dimiliki Ethan seperti


punya tanggal kedaluwarsa. Hanya enam tahun
saja. Orangtuanya bertengkar hebat seminggu
sebelum akhirnya memutuskan bahwa ia harus
dikirim ke negeri orang. Padahal Ethan tidak
merasa di negeri orang.

Bukankah di kota ini mamanya dilahirkan


dan menjadi pelukis, sampai akhirnya pergi ke

5
Indonesia dan berhenti menjadi pelukis? Ethan
tidak tahu persis apa yang terjadi. Bagaimana
mungkin orangtuanya, sumber dari bakat melukis
yang mengalir dalam darahnya, justru ingin
mematikan mimpinya?

Papa khawatir Melbourne akan


menghidupkan jiwa seorang seniman dalam diri
anaknya. Tapi kenapa….kenapa Papa takut?
Ethan dulu bertanya. Namun, jawaban yang ia
dapatkan hanyalah hinaan terhadap minat
bakatnya. Karena otakmu terlalu pintar untuk
cuma jadi pelukis, Ethan. Jawaban itulah yang ia
dapatkan dari papanya. Ethan pun bertanya-
tanya, haruskah dia mulai menyabotase nilai-
nilainya sendiri di sekolah agar papanya keliru?
Tapi, untungnya, sebelum itu terjadi, Papa dan
Mamanya sepakat. Dia diizinkan bersekolah di
Melbourne untuk enam tahun. Hanya enam
tahun.

“Ethan, Oma nemu ini di toko buku


kemarin, kamu bawa ya,” Oma menyerahkan dua

6
buah buku tebal bertuliskan ‘2500 Latihan Soal
SBMPTN, “supaya kamu bisa belajar di pesawat.
Setelah itu, kita makan sama ya, Oma tunggu di
meja makan ” Oma mengelus kepala Ethan
dengan lembut sambil tersenyum.

“Baik, Oma.” Ethan menyambut dua


buku tebal itu dengan senyum datar yang
tergambar di wajahnya, seolah ingin mengatakan
dia tidak menginginkan jalan yang sudah jelas
dirancang untuknya. Setelah Oma keluar, Ethan
manaruh buku tersebut di bawah kolong tempat
tidurnya dan kembali berberes.

Jakarta, Juli 2020

Cewek bertubuh mungil itu tak henti-


hentinya bernyanyi, melompat-lompat, bahkan
berputar-putar. Padahal kegiatannya hanyalah
mengemas buku ke dalam dus, tapi dia
memutuskan untuk mengombinasikannya dengan
berjoget. Telinganya tertutup earphone yang
memainkan musik Chrisye koleksi abangnya.

7
Dia baru lulus SMA sebulan yang lalu,
tapi selera musiknya sama dengan anak SMA
lima belas tahun yang lalu. Semua orang selalu
bilang, yang namanya Kugy itu luarannya doang
up-to-date, tapi dalamannya out-of-date. Yang
dikatai malah cuek cenderung bangga. Emily
tetap bersikeras bahwa musik tahun ’80-an
sangatlah keren dan penuh makna dibandingkan
musik kekinian yang cenderung dibuat untuk
memenuhi ekspektasi dan keingginan sesaat
penggemar daripada kualitas musik itu sendiri.

“Maka izinkanlah aku…


mencintaimu….Atau bolehkanlah aku sekedar
sayang padamuu….” Emily menggunakan sisir
yang dianggapnya sebagai mic-nya lalu
bernyanyi dengan suara yang sangat keras hingga
terdengar sampai keluar. Ia bernyanyi sambil
menghadap kaca besar yang ada di kamar-nya
dengan perasaan yang terkagum-kagum
menderngar suaranya sendiri.

8
Dari luar, adik perempuannya, Kugy,
mengetuk-ngetuk pintu. Setelah semenit tidak
ada hasil, Kugy yang tidak sabar mulai
menggedor-gedor. “Emily! Woooi! Ada telepon,
tuh!” Dari arah ruang tamu terdengar suara
dewasa berceletuk pelan dari belakang, “Kak
Emily.” Terdengar penekanan pada kata ‘‘Kak’’.

Kugy melirik ibunya sambil melengos.


Beliau tidak bosan-bosannya mengingatkan Kugy
untuk memanggil kakaknya dengan sebutan
‘kak’. Masalahnya, Kugy kelakuan kakak
perempuannya yang satu itu kurang layak
dipanggil kakak dengan sifatnya yang terkadang
lebih kekanak-kanakan dibanding dirinya.

Pintu yang sedari tadi digedor oleh Kugy


akhirnya terbuka. Emily pun keluar dengan muka
melongo dan earphonenya mengelilingi lehernya.
Bukannya buru-buru mengangkat telepon, dia
malah menengok ke ibunya dulu, “Ma, gimana
kalau aku ambil kelas nyanyi aja. Yah kali suara
sebagus ini disia-siain. Mmmm… tapi kalau pun

9
nanti aku akhirnya jadi penyanyi, kira-kira nama
panggung yang cocok untukku apa ya ma?” sahut
Emily dengan wajah berbinar-binar.

Mendengar itu, Kugy memelototi


kakaknya itu dengan tatapan putus asa “Bagus
dari Hongkong,” celetuk Kugy “tuh kan, Ma?
Dia emang aneh banget, kan?”

Mamanya pun hanya mengangkat bahu


sambil terus membaca. “Alhamdulillah kalau
betulan jadi…tapi kalau urusan nama, kalau
sekarang kamu ganti, mama jadi harus hapal lagi,
kalau kata mama sih mending nanti aja kalau
mama udah pikun. Jadi nggak ngaruh kan. Mau
nama kamu Emily, Eli, Elok….bebas deh”

Kugy dibuat melongo. Dia mulaii


menyadari dari mana keanehan Emily itu berasal.

Dengan logat British yang dibuat-buat,


Emily menjawab telepon. “Emily speaking. Who
is this?”

10
Selang beberapa detik sampai terdengar
jawaban dari ujung telepon. “Ly? Noni, nih.
Emang lu sangka siapa yang nelepon? Ratu
Inggris?”

Mendengar suara Noni, mata Kugy


langsung berbinar. Noni adalah sahabatnya sejak
kecil. Dialah orang yang paling menunggu-
nunggu Kugy selesai berkemas supaya bisa
langsung pergi ke Bandung. Noni juga orang
yang paling repot, persis seperti panitia
penyambutan di kampung yang mau kedatangan
pejabat tinggi. Dia yang mencarikan tempat kos
bagi Kugy, menyiapkan jemputan, bahkan
menyusun daftar acara mereka selama seminggu
pertama. Singkatnya, Noni adalah seksi sibuknya.

“Jadi ke sini, nggak? Entar kamar kos lu


keburu gua lego ke orang lain!” Suara Noni yang
melengking begitu tajam dan keras.

“Santailah sedikit, Bu Noni.” Jawab


Emily santai

11
“Kapan mulai beres-beres, Gy? Buku-
buku lu yang banyak banget itu dipaket aja ke
Bandung, nggak usah bawa sendiri. Bagasi
mobilnya Niko kan kecil, nanti nggak bakal
muat. Lu bawa baju-baju aja, ya? Tiket kereta api
udah pesan, belum? Lagi penuh lho. Ntar
terpaksa beli di calo. Sayang duit, tau gak?”
celoteh Noni panjang lebar.

“Non, tau ga sih, lu tuh lebih cerewet


dari tiga nyokap gua dijadiin satu. Serius.”

“Minggu depan, pokoknya nggak mau


tahu, lu harus udah sampai di Bandung. Mobil
Niko udah gua suruh masuk bengkel dulu biar
nggak mogok pas ngejemput lu ke stasiun. Habis
itu kita langsung keliling buat belanja kebutuhan
lu. Kamar lu udah gua sapu-sapu dari kemarin.
Pokoknya dah beres, deh.”

“Tapi lu juga lebih rajin dari tiga


pembantu gua dijadiin satu.” Sambung Emily
memecah tawa.

12
“Emang orang gila lu ya!”

“Enak aja lu, gue lebih waras dibanding 3


orang gila dijadiin satu” sahut Emily yang
membuat Noni juga ikut tertawa.

“Ya udah, minggu depan pokoknya gua


tunggu di Bandung, ya. Jangan lupa: pesan tiket
KA, packing, paketin buku-buku lu, payung lipat
yang dulu lu pinjam, jaket denim gua—masih di
lu kan, ya? Terus ...”

Kugy menjauhkan gagang telepon


sebentar dari kupingnya, menunggu sayup suara
Noni selesai bicara sambil pindah-pindah saluran
tv

. “Ly? Udah dicatat semua? Emily?”


Emily buru-buru menyambar telepon kembali.
“Siap, nona Bos! Sampai ketemu minggu depan,
ya!”

Saat pembicaraan telepon itu usai, Kugy


terkikik-kikik sendiri. Sahabatnya yang satu itu
memang luar biasa. Keluarganya sendiri bahkan

13
tidak repot-repot mengurus ini-itu ketika Kugy
harus bersiap kuliah di Bandung. Tapi, Noni
membereskan hampir segala persiapan Kugy
dengan baik dan sukarela.

Dari mereka kecil memang selalu begitu.


Orang-orang bilang, Noni seperti mengasuh adik,
padahal mereka seumuran. Noni yang anak
tunggal dan Kugy yang dari keluarga besar
adalah sahabat karib yang saling melengkapi
sejak TK. Kedua ayah mereka sama-sama
merintis karier di perusahaan yang sama, dan
hubungan kedua keluarga itu terjalin akrab
semenjak hari pertama mereka berjumpa. Seperti
disengaja, kedua ayah mereka pun selalu
ditugaskan berbarengan.

Meski Noni selalu tampak lebih dewasa


dan teratur ketimbang Emily yang serampangan,
sesungguhnya Emily memiliki keteguhan yang
tidak dimiliki Noni. Sejak kecil, Emily tahu apa
yang dimau, dan untuk hal yang ia suka, Emily
seolah-olah bertransformasi menjadi sosok yang

14
sama sekali berbeda. Pilihannya mengambil
jurusan Sastra merupakah langkah awal yang
disusurinya untuk mimpinya. Pilihannya kuliah
di kota lain adalah untuk hidup mandiri. Di luar
dari perilakunya yang serba spontan, Kugy
merencanakan dengan matang perjalanan
hidupnya. Ia tahu alasan di balik semua
langkahnya, dan benar-benar serius menangani
impiannya.

15
2.

PINDAH KE BANDUNG

Jakarta, Agustus 2020

“Ethan mana, Ma?” tanya pria itu dengan


gelisah. Badannya, yang tinggi dan masih tegap
untuk umurnya yang memasuki kepala lima,
hanya berbalutkan kaus putih polos dan celana
olahraga.

“Palingan juga masih tidur,” jawab


istrinya santai sambil mengaduk kopi yang
sedang dibuatnya.

“Gimana, sih. Kok kayaknya kita yang


lebih antusias menunggu pengumuman SBMPTN
daripada pesertanya sendiri,” dumel suaminya
sambil terus mengecek HP-nya.

16
“ Eh, ini sudah keluar” sahut suaminya.
Seperti balap lari, Istrinya langsung buru-buru ke
menemui suaminya yang sedari tadi duduk di
ruang tamu. Dengan sigap mereka membuka
website dan langsung membuka halaman intinya
yang padat dengan barisan nama-nama.

“Ini namanya! Dia masuk!” istrinya


berseru dengan suara tercekat sambil menunjuk
satu nama. Antara percaya dan tidak, pria itu pun
meyakinkan dirinya berkali-kali, bahwa memang
cuma ada satu nama seperti itu: E T H A N.
Tercetak jelas.

“Kita bangunkan saja dia,Ma” ujarnya


tidak sabar. “Ah, nggak usah. Biar dia tidur
sepuas-puasnya. Kasihan Ethan,Pa, dari kemarin
begadang terus,” istrinya menyergah dengan
senyum mengembang, “toh hari ini dia sudah
membuat kita semua lega.” Padahal Ethan sudah
tahu apa yang terjadi. Tidak mungkin menutup
telinga dari suara apa pun di rumah kecil ini.

17
Sambil meringkuk dan memeluk lutut,
Ethan menerawang di atas tempat tidur, bertanya-
tanya pada dirinya sendiri: apakah ia salah karena
tidak merasakan kebahagiaan yang sama?
Apakah ia puas atas kesuksesannya
menyenangkan orang lain? Dan apakah ia cukup
berduka atas pengkhianatannya pada diri sendiri?
Di depan kanvas, mata Ethan terpaku.
Mendapatkan lembar kosong itu sebagai jawaban
pertanyaan hatinya.

Bandung, Agustus 2020

Tidak ada yang lebih menyenangkan


dibandingkan gabungan gerimis hujan diluar dan
selimut hangat di dalam kamar. Berguling-guling
di temapt tidur sepanjang sore sambil bermimpi
indah adalah satu-satunya misinya saat itu.
Sayangnya, ia lupa mengunci pintu.

18
Cahaya dari luar seketika menerangi
kamarnya yang sunyi dan gelap. Langkah tergesa
dan suara bernada tinggi mengacaukan suasana
hening yang membungkus Emily seperti
kepompong.

“Ly! Bangun! Pergi, yuk!” Selimut yang


mnggulung Emily tampak tidak bergerka sama
sekali.

“Gy, Niko udah di depan. Si Eko ‘mobil


Niko’ nggak bisa dimatiin, entar mogok. Yuk,
cepetaaan!” Emily menyahut dengan gumaman
tak jelas. Noni terpaksa mengambil tindakan
lebih ekstrem. Dengan gesit ia menggeser selimut
dan memercik-mercikkan air dari gelas di sebelah
tempat tidur.

Emily menghindar “Penyerangaaan!


Invasi ruang privaaaat!” teriak Emily dengan
keras.

19
“Nggak usah berlagak, deh. Ayo,
bangun.”Emily terduduk dengan paksa, mata
terpejam sebelah dan rambut berantakan.

“Non, berhubung kamar kita bakal


sebelahan, setidaknya dalam empat tahun ke
depan, gua jelaskan satu aturan yang sangat
penting, oke. Tidur siang adalah momen sakral
buat gua. Bonus hujan, lagi! Harusnya lu masuk
ke sini pun jalannya pake lutut dan sungkem dulu
ke kaki tempat tidur ....”

“Kita jemput sepupunya Niko ke stasiun,


yuk. Jam lima keretanya nyampe. Lu mau pakai
baju yang mana? Biar gua siapin,” Noni seperti
tak mendengar khotbah penting Emily.

Kedua mata Emily terbuka. “Bentar ...


bentar. Kenapa kok gua harus ikut? Itu kan
sepupu si Niko, kan pacarnya Niko elu, kenapa
gua harus dilibatin segala?” Emily berseru putus
asa. “Soalnya ... Si Eko ngadat lagi. Kalo mogok
harus ada yang dorong kan. Kalau kami Cuma

20
berdua mana kuat dorongnya. Yaudala, ly, ayok
cepeta, hitunh-hitunh olahraga sore.”

Emily menganga tak percaya “Jadi gua


dibangunin dari tidur nyeyak cumen buat jadi
cadangan tenaga dorong si Eko?”

“Ya iyalah, buat apa lagi”

“Emang gila lu ya” sambil menggerutu


Emily pun bangun.

“Mau pakai baju yang mana?”

“Yang ini!” Emily menunjuk pakaian


yang menempel di tubuhnya. Celana hitam
selutut yang sudah mengusam dan bermodel
robekan, dan kaus kegedean bertuliskan “I love
Bali” yang sudah tipis dan lentur seperti lap
dapur.

“Yah, jangan gitu-gitu amat, dong, Ly. Lu


ngambek, ya?”

“Oh, nggak. Gua cuma berdandan sesuai


kasta gua aja. Kuli dorong mobil. Ayo, cabut!”

21
sahut Emily seraya menyambar jaket denim di
gantungan.

Noni memandang temannya dengan


khawatir. Rambut sebahu Emily sebagian naik ke
atas seperti disasak setengah jadi. Bajunya
mendekati compang-camping. Jaket denim hitam
kebesaran yang ditarik Emily detik-detik terakhir
sebelum dia berangkat ke Bandung itu pun tentu
tidak membantu. Belum lagi, jam tangan plastik
Kungfu Panda yang nyaris tak pernah lepas dari
pergelangan tangannya. Lalu sandal khusus
kamar mandi dari bahan plastik berwarna pink
elektrik seolah menyempurnakan “keajaiban’’
penampilan Emily sore itu. Namun, Emily tetap
berjalan keluar dengan percaya dirinya. Hal itu
disambut Niko dengan tawa melihat
pemandangan nyentrik itu.

“Ly! Lu kayak gembel baru gila! Keren!”


teriak Niko sembari merogoh-rogoh ransel
mencari kamera. “Siap ... satu, dua, tiga, pose!”

22
Dengan cepat Emily langsung berpose klasik cis
dua jarinya.

******

Lautan penumpang kereta api telah


melewati tiga sekawan itu sejak sepuluh menit
yang lalu, tapi mereka belum juga menemukan
orang yang ingin mereka jemput. Noni dan Emily
sudah mulai resah. “Lu yakin dia pakai kereta
jam lima? Kok nggak muncul-muncul?” tanya
Emily pada Niko yang celingak-celinguk
daritadi.

“Gua yakin dia pakai kereta yang ini.


Masalahnya, gua nggak tahu mukanya.”

“HAH?” teriak Emily dan Noni


berbarengan.

“Kok kamu nggak bawa tulisan atau apa,


kek?” cecar Noni.

Niko nyengir masam. “He-he,


ketinggalan, Non.”

23
“Ampun, deh! Kalau bilang dari tadi kan
aku bisa cari kertas sama pulpen!” omel Noni.

“Tenang ... muka sepupuku tuh unik,


kok ... pokoknya gimana, ya ... hmm ....”

“Kapan kalian terakhir ketemu?” tanya


Emily.

“Waktu SD,” Niko menjawab setengah


menggumam. Emily dan Noni langsung
berpandang-pandangan. Noni memutuskan untuk
lanjut mengomel, sementara Emily bergegas ke
arah muka stasiun.

Dari jauh, Emily membalikkan badan.


“Ko! Siapa nama sepupu lu?”

“Ethan!”

“ETHAN?” Bersamaan dengan itu


muncul serombongan orang yang menghalangi
pandangan keduanya. Emily berharap ia tak salah
mendengar. “Ethan….Ethan….” ulangnya
sendirian sambil terus berjalan. Tak jauh dari

24
sana, seseorang merasa namanya dipanggil.
Ethan merasa sumbernya adalah perempuan yang
sedang bergerak ke arahnya. Ethan mengamati
dengan saksama. Ia yakin belum pernah
berkenalan dengan cewek satu itu seumur
hidupnya. Tepatnya, ia belum pernah
menemukan orang dengan penampilan seaneh
itu.

Ragu, Ethan mendekati, menjajarkan


langkahnya dengan Emily yang sedang berjalan
dengan terburu-buru. “Permisi ....” Emily
berhenti, tertegun menatap orang yang tahu-tahu
muncul di sampingnya dan kini persis di
hadapan.

Ethan mengamati sekali lagi. Perempuan


mungil setinggi dagunya, kelihatan seperti anak
SMP, gaya berbusana sedikit aneh, rambut
seperti orang baru kesetrum, kedua mata
membelalak seperti mengancam. Mendadak
Ethan menyesal telah memanggil.

25
“Ada apa, ya?” tanya Emily dengan suara
dibesar-besarkan. Berusaha sangar. Setengah
mati Ethan menahan senyum yang spontan ingin
membersit. Ternyata ia berhadapan dengan anak
kucing yang berusaha jadi singa.

“Nggak pa-pa. Saya salah mengenali


orang. Saya pikir tadinya kamu ... emm ... maaf,
ya.” Ethan mulai bingung menjelaskan, dan
akhirnya hanya tersenyum lebar lalu ambil
langkah seribu. Namun, dalam hati ia tahu, ia
tidak akan pernah melupakan wajah itu. Emily
pun hanya mengangguk kecil, lalu berjalan lagi
ke arah ruang informasi yang menjadi tujuannya.
Namun, sebenarnya, jauh dari dalam hatinya, ia
merasa sedikit bersemangat karena cowok yang
berdiri di hadapanya tadi terlihat sangat tampan
tetapi juga sedikit lucu.

26
3.

ALIEN

“Panggilan untuk Ethan penumpang KA


Parahyangan dari Jakarta, sekali lagi, saudara
Ethan, sepupu dari Niko Basuki Jahya, ditunggu
oleh saudara Niko yang ciri-cirinya sebagai
berikut: rambut cepak berjambul, tinggi 175 cm,
kulit cokelat kehitam-hitaman, mata besar bulu
mata lentik, pakai kaus POLA, ditemani oleh dua
cewek cakep ....” Noni dan Niko melongo.

27
Keduanya menoleh ke belakang, melihat
Emily di ruang informasi sedang menguasai
mikrofon. Tak lama seorang petugas datang
tergopoh-gopoh untuk mengendalikan situasi.
Seorang anak kurang ajar rupanya telah menjajah
daerah kekuasaannya saat ia pergi sebentar ke
kamar mandi barusan.

Tak hanya Noni dan Niko yang ikut


menoleh, seorang pemuda yang berdiri tak jauh
dari mereka pun ikut melongok. Dan kini orang
itu yakin bahwa perempuan aneh yang kini
tengah diusir petugas itu memang orang sama
yang memanggil namanya tadi. Sambil tertawa
riang,Emily menghampiri Noni dan Eko.

“Ha-ha ... salah sendiri posnya


ditinggal ....” Dari arah lain, tampak satu sosok
mendekati mereka bertiga. Baru saja Ethan mau
mengucap “permisi” untuk yang kedua kalinya,
matanya tertuju pada wajah yang kali ini rasanya
ia sungguhan kenal.

28
“Niko?” panggilnya setengah meragu.

“Ethan?” Niko membalas sama ragunya.


Keduanya termenung memandangi satu sama
lain. Dalam ingatan Ethan, Niko adalah anak
berbadan besar, periang, bermata cantik seperti
anak perempuan dengan bulu mata lebat dan
lentik. Dalam ingatan Eko, Ethan adalah anak
bule berambut kecokelatan, kurus dengan
tungkai-tungkai panjang, bersorot mata teduh dan
selalu tersenyum ramah, tapi jarang bicara. Dan
sekarang Ethan menjulang tinggi dan tegap,
rambutnya tak lagi cokelat melainkan hitam
pekat, tampak berponi. Hanya sorot matanyalah
yang tak berubah, yang sejak kecil membuat
Ethan tampak lebih dewasa dari umurnya.

Ethan pun tak akan mengenali sepupunya


jika saja tidak menemukan kedua mata bundar
yang dinaungi bulu-bulu lentik yang sejak dulu
menjadi ciri khas Niko, yang membuatnya dulu
dipanggil ‘‘Si Cowok Cantik’’.

29
“Bener juga kata Tante Lena, lu udah
makin kayak seniman sekarang!” seru Nko
sambil menepuk bahu Keenan.

“Kenalin, Nan. Ini cewek gua, Noni. Dan


ini sahabatnya Noni ....” Hanya Emily yang
tampak panik saat berkenalan dengan Ethan.
Wajahnya memerah saat ia mengulurkan tangan,

“Hai. Emily ....” Ethan tersenyum lebar


menyambut tangan mungil dengan muka yang
kini merunduk malu itu. Betulan seperti anak
kucing.

“Hai. Akhirnya kenalan juga.”

“Memangnya kalian udah ketemu?”


komentar NIko melihat pemandangan yang aneh
itu.

“Belum!” Keduanya menjawab kompak.


Mereka berdua berpandangan lalu tertawa.

“Sudah!” ralat keduanya lagi, juga


bersamaan. Dan mereka tertawa lagi.

30
“Gimana, sih?” Niko dan Noni mulai
merasa ada yang anaeh di balik ini semua.
“Mungkin kita sudah ketemu di kehidupan
lampau ....” timpal Emily cepat.

“Yup. Dan dulu dia galak sekali.” Ethan


ikut menambahka.

Niko bingung melihat keduanya, malas


mempermasalahkan apakah dua orang itu serius
atau bercanda. “Dari dulu dia udah hancur gini
belum dandanannya?” celetuknya sambil
menunjuk Emily.

“Oh, selalu!”Ethan nyengir. Kugy ikut


mengekeh, bangga. Percaya dirinya sudah
kembali. Seketika ada keakraban yang juga
mencairkan jarak dan waktu di antara mereka
berempat, seolah mereka telah berkenalan jauh
lebih lama dan bukannya barusan.

******

Di ruangan tamu yang digunakan bersama


itu, tampak karton pipih lebar bekas pizza

31
menganga terbuka. Sebuah TV yang tak ditonton
menyala. Empat orang duduk di lantai,
berbincang asik sambil tertawa-tawa dengan dus
pizza kosong sebagai pusat.

“Emily ... giliran lu kasih ide.”

“Oke,hm..di lingkaran suci ini, sebutkan


hal paling aneh yang pernah kita lakukan. Ayo,
yang jujur, ya!”

“Maaf, sebetulnya gua kurang setuju,”


Noni angkat tangan, “karena bagi Emily semua
hal nggak ada yang aneh, termasuk yang paling
aneh sekalipun untuk ukuran orang normal.”

Mereka tergelak-gelak, termasuk Kugy.


“Itu memang apesnya lu aja, Non. Dan untung di
gua,” celetuk Kugy.

Noni berpikir sejenak. “Waktu SD gua


pernah ikut drama sekolah, dan dapat peran
jadi .... Pak Roni. Lengkap dengan kumis palsu.”
Semua terkikik-kikik.

32
“Secara fisik lu memang kurang cocok,
Non. Tapi karakter pas banget.” Celoteh Emily
disambut tawa.

Giliran Ethan. “Jadi, waktu itu ada malam


kesenian di sekolah gua di Melbourne, dan
karena mereka tahu gua dari Indonesia, gua
diminta menyumbangkan satu kesenian yang
khas Indonesia. Yah, cuma itu yang gua bisa.
Tapi mereka suka banget. Satu sekolah ikut
joget.”

“Emang lagu yang mana, than?”

“Sakit Gigi.” Sunyi lagi. Tiba-tiba


terdengar suara tepuk tangan yang diprakarsai
oleh Niko. Tak lama, yang lain mengikuti.

“Terima kasih, terima kasih,” Keenan


membungkuk hormat. Giliran Emily. Anak itu
berpikir keras. Betul kata Noni, pikirnya,
berhubung hampir semua yang ia lakukan
cenderung aneh, susah sekali memilih satu.

33
“Ayo, dong. Lama banget, sih,” desak
Niko tak sabar.

“Bentar, bentar. Susah banget, nih,”


gumam Emily. Mukanya berkerat-kerut tanda
berpikir keras.

“Mau dibantu, Gy?” Tahu-tahu Noni


memberi usul.

“Please.”

“Emily suka kirim surat ke Dewa


Neptunus,” ungkap Noni sambil menahan geli.
Alis Ethan seketika terangkat

“Gimana caranya?”

“Oh, gampang. Dulu, waktu rumah gua


masih di dekat pantai, ya gua hanyutkan di laut.”
Emily langsung duduk tegak dan menjelaskan
dengan semangat.

“Terus, tujuannya lu kirim surat apa?”


Niko bertanya.

34
“Teman-teman, sudah saatnya kalian
tahu bahwa gua ini sebetulnya ...,” Emily
menahan napas, suaranya bergetar “... alien.”
Sunyi yang lebih mencekam, atau tepatnya
mencekik, seketika hilang. Niko sudah mau mati
menahan semburan tawa.

“Gua sebetulnya anak buah Neptunus


yang dikirim ke Bumi untuk jadi mata-matasahut
Emily lagi, “dan, SECARA KEBETULAN
SEKALI, zodiak gua Aquarius. Ajaib, kan?”
tambahnya dengan mata berbinar-binar.

“Sama, dong. Gua juga Aquarius,” sahut


Ethan.

“Yo! Bro’!” Emily kontan menjabat


tangan Ethan. Niko pun tertawa terpingkal-
pingkal.

“Kok gua serasa ada di tengah alien gini,


ya?” cetusnya

35
“Betul kan apa kata gua? Tantangan ini
memang nggak relevan buat si Emily,” kata Noni
lagi, “ayo, giliran kamu, Ko.”

“Dengan segala hormat, tapi hal paling


aneh yang pernah gua lakukan adalah ... naksir
Emily.” Ethan tertawa keras, diikuti Emily yang
sampai terguling di lantai.

Sementara mulut Noni menganga tak


percaya, “Kamu pernah naksir Kugy? Ka—
kapan?”

“Yah, waktu aku kelasnya sebelahan


sama dialah, pas kelas 1 SMA. Untung kamu
udah keburu pindah, Sayang. Jadi nggak perlu
ikut menyaksikan aib ini,” Niko menepuk bahu
Noni, “tenang, Non. Langsung menyesal, kok.
Dulu aku sering lihat Emily waktu dia jualin
buku-bukunya di sekolah. Bisa naksir karena
setiap ketemu Emily selalu pas dia lagi baca
buku. Begitu ngobrol ... bubar jalan!”

36
“Terus, kok kalian bisa ... jadian?” Ethan
perlahan menunjuk Niko dan Noni. Niko
langsung pasang tampang serius. “Sebetulnya
cinta sejati gua adalah Noni, Nan. Gua udah
naksir dia dari kelas 1 SMP ....”

“Alah! Gombal! Kenal aja belum!”


semprot Noni.

“Kamu kan kenal aku justru setelah aku


pindah. Gara-gara pernah ketemu aku di rumah
Emily, kan? Baru deh, sok akrab, sok udah naksir
aku dari kelas 1, padahal aku yakin kamu tahu
aku aja nggak,” cerocos Noni sengit.

“Ya’elah, Non. Dendam banget, sih.


Namanya juga usaha. Yang penting kan
hasilnya ...” Niko membujuk-bujuk.

“Jadi kalian dicomblangin Emily?” tanya


Ethan lagi.

“Boro-boro!” Kali ini Niko dan Noni satu


suara. Emily menggeleng, “Sori. Aku paling anti
percomblangan dan segala usaha perjodohan

37
lainnya,” sahutnya kalem. “Si Semprul satu ini
justru orang yang paling menghalang-halangi,
tahu nggak?” sambar Niko lagi. “Masa dia
pernah bilang ke Noni kalo gua itu spesies
berbahaya?”

“Yah, gua kan cuma menganalisa dari


statistik buku yang pernah lu beli dari gua, Ko.
Dan judul-judul apa yang lu pinjam. No hard
feeling, dong.”

“Tuh! Kebangetan nggak dia? Masa


prospek gua dihancurkan gara-gara track record
bacaan?”

“Memangnya Niko beli buku apa aja?”


tanya Ethan pada Emily. Betulan penasaran.

“Dua tahun jadi anggota masa cuma


pinjam Godam si Putera Petir? Dan lebih dari
sepuluh kali dia pinjam yang judulnya Anak
Rabaan Setan,” jawab Emily “terakhir-terakhir
malah udah nggak dibalikin! Gimana aku nggak

38
curiga?” Menyusul seketika ledakan tawa Keenan
dan Noni.

Wajah Niko merah padam. Kali ini ia


terpaksa bungkam. Emily berdehem lagi. “Nah.
Berhubung segala sesuatu yang berhubungan
dengan gua adalah keren adanya, jadi gua nggak
aneh. Dan Niko, yang harusnya lebih aneh karena
bisa suka sama orang aneh bahkan jadi anggota
perpustakaan orang aneh dengan pilihan buku
yang aneh, akhirnya juga jadi nggak aneh. Kalau
begitu, pemenang lingkaran suci kali ini
adalah ....” “Ethan!” Mereka bertiga berseru
kompak. Malam itu ditutup dengan Ethan yang
memperagakan lipsync lagu Sakit Gigi-nya
Meggy Z.

39
4.

PENULIS DONGENG

“Hai. Boleh masuk?” Emily yang sedang


mengetik di komputer terkejut melihat Ethan
muncul di pintu kamarnya yang setengah
terbuka.

40
“Lho. Belum pulang?” tanya Emily
sambil melirik jam yang sudah menunjukkan
pukul sepuluh lewat.

“Pinginnya, sih. Tapi nggak enak ganggu


yang pacaran. Cuma bingung juga bengong di
luar.” Emily pun segera membukakan pintu.

“Masuk sini” Ethan melihat sekitar,


tampak terkesan.

“Kenapa? Kamarku rapi, ya? Nggak


matching sama yang punya.”

“Iya. Aku nggak nyangka,” jawab Ethan


jujur. Matanya lalu tertuju pada foto keluarga
Emily.

“Keluarga besarku. The ‘E’ family. Lima


bersaudara. Nama depan kami dari ‘E’ semua,”
Kugy menjelaskan, “Ini abangku paling besar,
Eren. Kakak perempuanku, Enisa. Ini abangku
yang cuma beda setahun sama aku, Evan. Dan
adik bungsuku, Elena.”

41
“Nama kamu yang paling unik, ya.”

“Tepatnya, yang paling aneh,” Emily


tergelak, “kayaknya waktu itu orangtuaku habis
bahan. Masih untung nggak jadi Emisi.”

“Tapi kamu yang paling cantik.”


Mendadak kerongkongan Emily seperti tercekik.
Tangannya menunjuk ke arah rak buku tempat
koleksi komik dan buku dongengnya berbaris
rapi, demi mengalihkan pembicaraan. “Ini
sebagian kecil koleksiku. Yang di rumah jauh
lebih banyak.”

“Kata Niko, kamu suka nulis dongeng,


ya?”

“Iya. Hobi sejak kecil.”

“Tulisan kamu udah banyak?”

“Kalau kuantitas sih banyak, tapi


pembaca nggak ada. Dan bukannya tulisan baru
bermakna kalau ada yang baca?” Emily tertawa
kecil, “Sejauh ini sih cuma dinikmati sendiri aja.”

42
“Kenapa gitu?” “ Di zaman sekarang ini,
iapa sih yang masih mau baca dongeng?” Emily
terkekeh lagi. “Mungkin aku harus jadi guru TK
dulu, supaya punya pembaca. Minimal
dongengku bisa dibacakan di kelas.”

“Banyak penulis cerita dongeng yang bisa


terkenal, dan nggak harus jadi guru TK dulu
untuk punya pembaca kok, Ly” seru Ethan
sambil senyum dengan kedua alisnya terangkat
meyakinkan Emily. Senyum lebar mengembang
di wajah Kugy, seolah-olah hendak menjawab
pertanyaan klasik yang sudah ia hafal mati
jawabannya.

“Keenan, umurku 18 tahun, kuliah


jurusan Sastra, kepingin jadi penulis serius dan
dihargai sebagai penulis serius. Orang-orang di
lingkunganku kepingin aku jadi juara menulis
cerpen di tingkat kecil sekalipun, dan itu menjadi
pembuktian yang dianggap sah. Sementara isi
kepalaku cuma Pangeran Pisang, Peri Mangga,
Penyihir Kunyit, dan banyak lagi tokoh-tokoh

43
sejenis. Di umurku, harusnya aku nulis kisah
cinta, kisah remaja, kisah dewasa ....”

“Banyak cerita dongeng yang isinya kisah


cinta juga kok. ” seru Ethan berusaha memecah.

“Intinya adalah: semua itu nggak


matching! Antara umurku, profilku, cita-citaku,
pembuktian yang harus aku raih, dan isi kepala
ini.”

“Ly, aku masih nggak ngerti.” Ethan


memegang kedua bahu Emily sambil menatapnya
dengan mata penuh pengertian seolah mencoba
menenangkan Emily.

“Waktu aku kecil, aku punya cita-cita


ingin jadi penulis dongeng masih terdengar lucu.
Begitu sudah besar begini, penulis dongeng
terdengar konyol dan nggak realistis. Setidaknya,
aku harus jadi penulis serius dulu. Baru nanti
setelah mapan, lalu orang-orang mulai percaya,
aku bisa nulis dongeng sesuka-sukaku.”

44
“Jadi ... kamu ingin menjadi sesuatu yang
bukan diri kamu dulu, buat akhirnya jadi diri
kamu yang asli, gitu?”

“Yah, kalau memang harus gitu jalannya,


kenapa nggak?”

“Bukannya itu yang nggak matching?”


tanya Ethan lagi. “Asal kamu tahu, di negara ini,
cuma segelintir penulis yang bisa cari makan dari
nulis, Ly. Kebanyakan dari mereka punya
pekerjaan lain, jadi wartawan kek, dosen kek,
guru les kek. Apalagi kalau mau jadi penulis
dongeng! Sekalipun aku serius mencintai
dongeng, tapi penulis dongeng bukan pekerjaan
‘serius’. Nggak bisa makan.”

“Tadi kamu makan pizza. Nggak ada


masalah, kan? Artinya kamu bisa makan.” Sahut
Ethan.

“Aku harus bisa mandiri, punya


penghasilan yang jelas, baru setelah itu ... TER-
SE-RAH,” nada suara Emily mulai tinggi, “aku

45
nggak tahu kamu selama ini ada di planet mana,
tapi di planet gila realitas ini, aturan mainnya ya
gitu.”

Ethan terdiam. Di kepalanya melintas


tumpukan kanvas berisi lukisan yang ia
tinggalkan di Melbourne.

“Betul. Aku tau kok cara mainnya gitu,


toh sekarang aku ada di planet yang sama kayak
kamu, kalau aku di planet Neptunus, aku jadi
salah satu teman Dewa kamu dong. ” gumamnya.
“Tapi, Ly, tolong banget kamu jangan berusaha
untuk berubah dengan mengatasnamakan realita,
biarin aja realita itu untuk sesaat bentrok sama
kamu, tapi kamu harus yakin kalau susatu saat
nanti, kamu bisa mencetak suatu realita baru
yang bisa dilanjutkan oleh orang-orang lain yang
mungkin saat itu punya pergumulan seperti yang
kamu alami saat ini” jelas Ethan sembari
mengacak-acak rambut Emily dengan lembut.

46
Keduanya membisu, cukup lama hingga
suasana di kamar itu mulai mencair.

“Aku tunggu di luar, ya. Siapa tahu Niko


bentar lagi mau pulang.” Ethan pun berjalan ke
arah pintu.

“Sebentar,” sergah Kugy, “aku mau kasih


pinjam kamu sesuatu.” Ia lalu membuka lemari
kecil di belajarnya dan mengeluarkan bundel
tebal berukuran A-4 yang dijili. Ethan menerima
bundel yang disodorkan padanya. Di sampul
depannya tertulis: “Kumpulan Dongeng Dari Peti
Ajaib—Oleh: Emily”.

“Aku punya peti kuno, dikasih sama


Eren, abangku. Bentuknya kayak peti harta karun
yang ada di komik-komik. Bang Eren bilang, peti
itu diambil dari perahu karam, dan isinya
gulungan-gulungan naskah sejarah yang jadi
hancur karena terendam air laut. Aku senang
banget dapat peti itu, darisitu aku bertekad untuk
mengisinya ulang dengan naskah-naskah

47
dongeng buatanku, supaya peti itu kembali
berisikan sesuatu. Aku menulis dengan super
semangat. Bertahun-tahun. Dan jadilah bundel
itu. Silakan kamu baca-baca. Kamu bisa
kembalikan kapan pun kamu mau.”

Ethan menatap Kugy, kehilangan kata-


kata. Diusapnya sampul depan bundel itu dengan
hati-hati. “Barang itu belum pernah berpindah
tangan sebelumnya. Aku juga nggak tahu kenapa
bisa tergerak meminjamkannya sama orang yang
baru aku kenal tadi sore,” ucap Kugy pelan.

“Makasih. Dan maaf kalau tadi saya ....”

“Baru beberapa tahun yang lalu aku tahu


kalau peti itu dibeli Bang Eren dan ayahku di
toko barang antik di Jakarta. Peti itu bukan peti
harta karun. Bukan juga dari kapal karam. Sama
seperti Neptunus yang nggak ada, dan surat-
suratku yang mungkin cuma jadi sampah yang
bikin sungai banjir,” Emily menatap Ethan tajam,
“dan itulah kenyataan di planet bernama Realitas

48
ini.” Keenan kembali kehilangan kata-kata.
Keheningan kembali membungkus ruangan itu.

5.

TEBAKAN BERHADIAH

Tempat kos Ethan terletak agak jauh dari


kampus mereka. Berbeda dengan tempat kos
Emily dan Noni yang padat, tempat kos Ethan

49
hanya diisi oleh beberapa orang saja. Kamar-
kamarnya berukuran luas dengan langit-langit
yang tinggi. Napas Emily seketika tertahan ketika
pintu besar itu terbuka dan Ethan menyalakan
sakelar lampu. Rel-rel kawat bersilangan di
bawah plafon dengan lampu-lampu warna-warni
kecil yang bergantungan menerangi beberapa
spot tempat lukisan-lukisan Keenan yang terpaku
di dinding atau didirikan begitu saja di atas
lantai.

Kamar dengan dinding abu-abu itu


tampak luas karena tidak banyak perabot. Hanya
satu tempat tidur, lemari pakaian kecil dan meja
belajar besar tempat alat-alat gambar Ethan
berjajar rapi.

“Than ..., harusnya kamu bukan kuliah


Manajemen, tapi Seni Rupa tau ga sih ...,”
gumam Emily sambil pelan-pelan melangkah
masuk, “dan ini lebih pantas disebut galeri
ketimbang kamar kos ....” Keenan membawa

50
Kugy berkeliling melihat lukisan-lukisannya,
seperti orang pameran.

“Ini judulnya: Sunset from the Rooftop ...


yang ini: The Shady Morning ... yang ini: Silent
Confession ... dan ini ....”

“Yang ini yang paling aneh,” potong


Emily, menunjuk lukisan yang hanya seperti
gradasi warna dan garis-garis halus. “Yang lain
ada gambar orangnya semua. Cuma ini yang
nggak ada.”

“Tebak judulnya apa.”

“Gila, itu sih aku menang lotre dulu baru


bisa jawab namanya. Mana mungkin ketebak.”

“Lukisan yang satu ini jangan dipikir, tapi


harus dirasa. Apa perasaan yang muncul ketika
kamu lihat lukisan ini? Itulah judulnya.”

Emily menatap lukisan itu dengan serius.


Lalu ia memejamkan mata. Lama. Lantas
terdengar napasnya mengembus, dan setengah

51
berbisik ia mengucap, “Bebas.” Giliran Keenan
yang terpaku. Perlahan, ia membalik lukisan
yang berdiri di lantai itu, dan menunjuk judul
yang tertera di baliknya. Emily melongo.

“Freedom?”

“Sumpah ... aku sama sekali nggak


nyangka kamu bisa menebak secepat dan setepat
itu,” Ethan garuk-garuk kepala, “ini kebetulan
yang aneh.” Emily menggeleng,

“Tapi sebetulnya ini gambar apa, sih?”

“Lukisan ini menggambarkan sudut


pandang seekor burung di angkasa saat terbang.
Dia tidak melihat batas apa-apa, tidak terikat oleh
Bumi. Bebas. Total.” Pandangan Emily yang tadi
melekat pada lukisan perlahan beralih pada
Ethan, ia seperti tergerak untuk menanyakan
sesuatu.

“Boleh tahu kapan kamu melukisnya?”

“Waktu tahu saya lolos SBMPTN.”

52
“Kamu ... sebetulnya ... terpaksa kuliah di
sini, ya?” ucap Emily patah-patah.

Ethan menatap Emily balik, dengan


senyum di wajahnya. “Nggak matching,” ujarnya
pendek, “antara minat, cita-cita, dan keinginan
orangtua. Aku…dipaksa…harus membuktikan
bahwa aku bisa mandiri lewat melukis, sementara
kesempatannya tidak pernah dikasih.” Ia lalu
mengangkat bahu, “Mungkin harus dengan cara
yang kamu bilang dulu. Beruabh menjadi sesuatu
yang bukan kita, demi bisa menjadi diri kita
lagi.” Ingatan Kugy kembali ke momen di kamar
kosnya dulu. Barulah ia mengerti, sesungguhnya
waktu itu Ethan membicarakan dirinya sendiri.

“Dan ... karena kamu sudah berhasil


menebak judul lukisan ini, aku mau kasih kamu
hadiah.”

“Nggak percaya kalau kita bisa telepati,


ya? Aku tuh bukan nebak, tauk ... tapi ...”
celotehan Kugy tahu-tahu berhenti. Di

53
hadapannya terbentang lembar pertama buku
sketsa yang dibuka Ethan. Perlahan, Kugy meraih
buku itu. Membuka lembar demi lembar.
“Ini ...?” Keenan menunjuk satu per satu sketsa
tersebut. “Pangeran Pisang ... Peri Mangga ...
Peniyhir Kunyit ... dan ini lembah tempat
mereka tinggal ...” dengan asyik Ethan
menjelaskan.

Setetes air tiba-tiba jatuh di lembar


sketsanya. Ethan terdiam dan mendongak,
mendapatkan Emily yang sudah berlinangan air
mata.

“Aduh. Maaf. Gambarnya kena, ya?


Sori ...,” Emily sibuk menyeka air mata di
pipinya.

“Nggak pa-pa, nggak masalah, kok. Justru


... kamunya nggak pa-pa?” tanya Keenan
khawatir.

Kugy terisak, antara tertawa dan


menangis. “Hi-hi. Aku cengeng, ya? Tapi ...

54
seumur hidup belum pernah ada yang
membuatkan ilustrasi buat dongengku ... bagus
banget lagi ... aku ... nggak tahu harus ngomong
apa ....”

Ethan tersenyum. “Kamu harus tau kalo


cerita kamu emang beneran bagus. Inspiratif.
Makanya aku tergerak buat bikin sketsa.”

“Ini ... boleh aku pinjam dulu?”


Emilymendekap buku itu di dadanya dengan
penuh harap.

“Buku itu buat kamu, Ly. Ambil aja.” Tak


ada yang bisa menahan Emily untuk memeluk
Ethan, tidak juga dirinya sendiri. Pelukan spontan
itu hanya berlangsung dua detik karena Emily
langsung tersandar dan langsung bergerak
mundur dengan muka yang memerah.

“Makasih , than...,” bisiknya nyaris tak


terdengar.

“Untuk sementara ... aku cuma bisa kasih


kamu ini.” Ethan menerima benda yang

55
disodorkan Emily. Sekaleng pisang susu. “Oke.
Impas yah” ucapnya sambil tersenyum kecil.

“i..yaa” jawab Emily sambil menunduk


malu dan sedikit terisak.

“Yaudah, kalau gitu nggak boleh nangis


lagi ya, pasukan dewa Neptunus kok nangis”
Ethan terenyum kemudian mengelus kepala
Emily dengan lembut.

6.

MENJADI DIRI SENDIRI

56
“KEENAN!” Suara yang ia kenal. Nada
ceria yang ia hafal. Derap langkah setengah
berlari yang khas.

“kamu apa kabar? Seru Emily.

“Baik, kamu?” jawab Ethan dengan


senyum lebar di wajahnya.

“Baik juga dong, aman ajaa.” Seru Emily


“sebenarnya ada yang pingin aku obrolin, tapi ya
udah, nanti-nanti aja.”

“Tentang?”

“Mmm ...,” Emily berpikir sejenak, “udah


hampir dua minggu aku kasih majalah yang ada
cerpenku itu, tapi ... he-he ... kok, kamu belum
kasih komentar apa-apa sih, Than,” \

Emily gugup, “nggak maksa, sih ... cuma


penasaran aja.”

Ethan menarik napas panjang untuk


kedua kali. “Boleh jujur?” tanyanya.

“Harus, dong!” seru Emily mantap.


57
“Aku nggak suka.” Harapan dalam hati
Emily mendadak seperti disambar petir. Hangus.
Raut mukanya seketika berubah, meski ia
berusaha tampil tenang. “Buat orang yang nggak
tahu kamu, cerpen itu mungkin bagus. Tapi aku
ngerasa dongeng-dongeng kamu jauh lebih
otentik, lebih orisinal, dan lebih mencerminkan
kamu yang sebenarnya. Dalam cerpen itu, aku
sama sekali nggak ngenalin kamu. Yang aku lihat
hanya penulis yang pintar merangkai kata-kata,
tapi nggak ada nyawa,” sambung Ethan lagi.

Seluruh tubuh Emily serasa terpaku.


Kata-kata Ethan seolah menyulapnya menjadi
patung.

“Maaf ya, Ly. Kalau memang kamu


kepingin aku jujur. Nggak kurang, nggak lebih.”

Emily mengangguk kecil. “Makasih udah


jujur,” ucapnya pelan. Tak lama kemudian, Ethan
pamit pulang, dan Emily tetap berdiri di
tempatnya. Merenungi kata demi kata yang

58
menusukny. Menyakitkan sekaligus
membekukan.

Malam itu Emily terjaga lama di tempat


tidur. Telentang menghadap langit-langit kamar
kosnya dengan pikiran yang terus berputar dan
hati yang teraduk-aduk. Ia tak mengerti mengapa
komentar Ethan meninggalkan dampak yang
begitu dalam. Ia juga tak mengerti mengapa ia
begitu menunggu-nunggu pendapat Ethan, seolah
pendapat manusia satu itulah yang terpenting.

Seharian Emily bertanya dan bertanya:


apa yang salah? Bagaimana mungkin Ethan
menyebutnya penulis yang cuma pintar
merangkai kata tapi tak bernyawa? Padahal ia
setengah mati mengerjakan cerita pendek itu.
Setiap kata dipilihnya dengan cermat dan teliti. Ia
menulis dengan plot yang sudah diatur apik.
Setiap konflik dimunculkan dengan momen yang
sudah diperhitungkan. Ia hafal mati formula dan
teori dari pedoman membuat cerita yang baik dan
benar. Mungkinkah selera Ethan yang ‘‘salah’’?

59
Emily terduduk tegak. Membuka majalah
yang memuat cerpennya, dan mulai membaca
dari awal hingga akhir. Lalu ia menyalakan
komputer, membuka salah satu file dongengnya,
dan juga membacanya saksama. Emily mulai
menyadari sesuatu. Dalam dongengnya, ia seolah
berlari bebas, sesuka hati. Dalam cerpen itu, ia
seperti berjalan memegang tali, berhati-hati dan
penuh kendali. Dan ada satu perbedaan yang kini
menjadi sangat jelas baginya: dalam dongengnya
ia bercerita untuk memuaskan dirinya sendiri,
sementara dalam cerpennya ia bercerita untuk
memuaskan orang lain. Ingatannya pun kembali
mundur ke siang tadi, dan kembali ia rasakan
perih sayatan kata-kata Ethan. Namun, kali ini
Emily ikut merasakan kebenarannya.

60
7.

PERGI KE UBUD

61
Meja makan dengan empat kursi itu baru diisi
tiga orang, satu kursi masih kosong. Meski hanya
bertiga, suasana di meja makan itu terasa
semarak. Dua bersaudara laki-laki itu mengobrol
tanpa henti seolah sudah tahunan tak bertemu.
Ibu mereka sesekali menimpali, atau ikut tertawa
bersama. Terdengar suara pintu depan terbuka,
dan seseorang memasuki ruang makan, duduk di
kursi keempat.

“Hai, Pa ...,” Jerome dan Ethan menyapa.

“Maaf ya, kalian jadi menunggu. Tamu


itu sudah Papa suruh datang ke kantor saja, tapi
dia maksa datang ke sini karena udah nggak ada
waktu lagi, katanya.”

“It’s okay.” Lena tersenyum sambil


menuangkan teh panas ke cangkir suaminya.

“Ethan punya pengumuman buat kamu,


tuh.”

62
“Oh, ya? Apa, Than?” tanya ayahnya
sambil meminum teh itu sedikit demi sedikit.
Ethan melirik ibunya, seperti ragu untuk bicara.

“Mmm ... IP saya 3,9 semester ini.”

“Tertinggi di angkatannya,” Lena


menambahkan dengan senyum berseri.

“Bagus,” sahut ayahnya datar, ditambah


sedikit manggut-manggut. Namun, ada kepuasan
yang tak bisa disembunyikan membersit di
wajahnya. “Sudah kubilang kamu memang cocok
kuliah di Ekonomi. 0,1 lagi untuk IP sempurna,
semester depan kira-kira bisa?”

“Mungkin,” jawab Ethan pendek. “Apa


pun yang kamu butuh, komputer baru, buku-buku
referensi ... bilang saja. Nanti Papa siapkan.”

“Saya mau minta waktu.” Cangkir teh itu


segera diletakkan di meja.

“Maksud kamu?”

63
“Saya minta ekstra seminggu dari jatah
liburan kuliah.”

“Dia minta waktu untuk pergi ke


Ubud ...” Lena berusaha menjelaskan.

“Aku ngerti maksudnya,” potong ayahnya


tajam. “Kamu minta izin seminggu bolos kuliah,
gitu?” Ethan mengangguk. “Buat Papa, kuliah
kamu harus jadi prioritas. Dan kamu sudah
membuktikan itu di semester ini. Lalu ... kamu
malah minta hadiah berupa ... bolos kuliah?”

Ethan mengangguk lagi. “Aneh. Nggak


ngerti,” ayahnya geleng-geleng kepala, “lalu,
barusan kamu bilang mau meningkatkan IP kamu
sampai 4, gimana itu bisa terjadi kalau belum
apa-apa langsung bolos seminggu?”

“Saya kan nggak janji, Pa. Saya cuma


bilang: mungkin.”

“Than, jangan mulai sok pintar, ya ....”

64
“Pa, saya nggak minta macam-macam.
Saya nggak minta kendaraan. Saya nggak minta
komputer baru. Saya nggak minta buku apa-apa.
Saya cuma minta waktu tambahan satu minggu di
tempat Pak Wayan.” Nada bicara Ethan mulai
mengeras.

“Tapi minta bolos itu namanya ‘macam-


macam’. Seminggu lagi! Buat apa sih kamu
lama-lama amat di Ubud?”

“Saya udah kasih enam bulan buat Papa.


Dan sekarang saya cuma minta satu minggu ....”
“Memangnya kamu kuliah buat saya?” sergah
ayahnya. Ethan tak menjawab, hanya menghela
napas, seolah menghadapi pertanyaan retoris
yang semua orang di situ tahu jawabnya. Tawa
canda yang tadi semarak seperti menguap tanpa
bekas, berganti dengan ketegangan yang sunyi.
Empat orang duduk kaku tanpa suara.

65
“Aku yakin Ethan nanti bisa mengejar
ketinggalan satu minggunya,” akhirnya Lena
berkata.

“Terserah,” sahut suaminya setengah


menggumam, lalu berdiri dan pergi. Semua
perlengkapannya sudah terkemas rapi. Begitu
juga dengan Jerome yang bahkan sudah siap
packing sejak dua hari yang lalu. Dia akan
menemani abangnya beberapa hari di Ubud,
sebelum menyusul teman-temannya yang study
tour di Kuta. Jerome mengaku bisa mati bosan di
Ubud yang sepi, tapi ia rela mengorbankan
beberapa hari liburannya demi menghabiskan
waktu bersama abangnya itu. Hanya ada satu hal
yang Ethan ingin lakukan sebelum dia pergi ke
bandara sebentar lagi. Dibukanya buku kecil
berisikan daftar nomor telepon teman-temannya,
mencari satu nama.

“Halo ....” Suara remaja cewek


menyambutnya. “Selamat pagi, bisa bicara
dengan Emily?” Suara dari ujung sana terdengar

66
riuh, berlatar belakang sekian banyak orang yang
berbicara. “Emilyyy! Telepooon!”

“Di kamar mandi kayaknya!” Terdengar


ada suara perempuan yang menyahut. “Ly! Lama
amat sih? Berak, ya? Telepon, tuh!” Ada suara
laki-laki menimpali.

“Halo,” akhirnya terdengar suara Emily


menyapa. “Hai, Ly.” Mata Emily membundar
seketika. “Ethan?”

“Iya. Rame banget di rumah kamu. Lagi


ada acara?”

“Oh, nggak. Tiap hari memang begini,”


Emily tertawa kecil, “kamu ... apa kabar? Kok,
tumben telepon? He-he, bukannya nggak boleh,
lho. Cuma aneh aja. Bukan aneh gimana, sih.
Cuma ... yah ....” Emily mulai salah tingkah.

“Saya mau ke Bali, mungkin sampai


sebulan. Mau pamitan.”

“Oh ....”

67
“Habis ini saya juga mau telepon Niko
atau Noni. Pamitan juga,” gugup Ethan
menambahkan. “Mau oleh-oleh apa?” “Hmm.
Apa, ya?” Emily berpikir-pikir,

“Kaus barong udah punya lima, sarung


pantai ada tiga, miniatur papan surfing ada
satu ....” “Kacang asin?” “Aku tahu!” seru Kugy,
“Sesuatu yang nggak boleh dibeli.”

“Jadi dicuri?” Emily tergelak, “Bukan.


Sesuatu yang harus dibikin.”

“Oke,” Ethan tersenyum, “saya janji.”


Terasa ada sesuatu yang mengaliri darahnya.
Emily merasa hangat. Terasa ada sesuatu yang
menariki kedua ujung bibirnya. Emily merasa
ingin terus tersenyum. Sekilas Kugy melihat
bayangannya di lemari kaca, dan merasa gila
sendiri.

“Ly ... udah harus cabut, nih. Sori nggak


bisa telepon lama-lama. Baik-baik, ya. Sampai
ketemu semester depan.”

68
“Sip. Sampai ketemu semester depan.”
Dan telepon itu ditutup.Emily meletakkan gagang
telepon dengan hati-hati, lalu terduduk lama.
Percakapan telepon barusan tak sampai dua
menit, tapi serasa waktu telah melemparkan
jangkarnya dan berhenti di sana.

69
8.

PANGERAN SEJATI

Beberapa bulan berlalu, Emily sekarang


sudah menjadi staf desain marketing di sebuah
perusahaan milik teman ayahnya. Disana ia
bertemu dengan Remi, anak dari pemilik
perusahaan, Direktur perusahaan tersebut.
Mereka menjalani hubungan yang sudah berjalan
kurang lebih 5 bulan. Entah bagaimana ceritanya,
Emily menerima pernyataan cinta Remi tetapi
satu hal yang pasti, belum ada yang dapat
membuatnya melupakan sosok yang sebelumnya
pernah ada di sisinya tiap saat dan mengetahui
saat terburuk dirinya.Ia merasa sudah cukup
mencintai Remi hingga sosok itu kembali lag.
Hal itu berbarengan dengan konflik yang
dialaminya dengan Remi karena Remi yang sulit
menerima hobi Emily.

70
Hari dimana Remi menyatakan cintanya pada
Emily….

Pagi harinya, Noni datang mengunjungi


Emily di kamarnya dan ingin menyampaikan
kabar gembira kalau Ethan sudah balik ke
Indonesia dan sekarang ia ada di Jakarta. Namun,
sebelum ia sempat memberitahu Emily berita
tersebut, Emily duluan membertitahu Noni berita
oenting darinya

“Sekarang, gua mau kasih tahu lu


sesuatu,” Emily tersenyum cerah. Ia kelihatan
berbunga-bunga. Noni menyadari perubahan
wajah sahabatnya.

“Lu— lagi jatuh cinta, ya? Sialan. Sama


siapa, hayo? Bilang!”

“Non ... gua punya pacar!” Emily lalu


jingkrak-jingkrak sendiri, kegirangan. Noni
menjerit histeris.

“Siapaaaa?”

71
“Bos gua sendiri! Ha-ha!” Emily tertawa-
tawa. Noni mengernyit.

“Ngeheng emang lu, tap it,s okay la!”


Tapi tak lama Noni ikut tertawa, “I’m happy for
you, too. Kenalin, dong.”

“Pastilah. Nanti pas acara tunangan lu,


gua ajak dia, ya?”

“Asyiiik!” Noni bertepuk tangan.

*****

Hari ini adalah hari kelahiran Emily.


Namun sayangnya, pada hari ulang tahunnya,
Emily terpaksa meringkuk di tempat tidur karena
sakit flu. Dalam hati, Emily bersyukur. Ia sudah
mendengar desas-desus bahwa satu kantor
bermaksud mengerjainya habis-habisan hari ini,
dan isu utamanya justru bukan dalam rangka
perayaan ulang tahun, melainkan gara-gara ia
kini resmi menjadi pacar Bos Besar. Ulang
tahunnya hanyalah alat tumpangan strategis di
mana semua kawannya punya kesempatan untuk

72
meluapkan emosi dan ekspresi apa pun atas
hubungan barunya dengan Remi.

Entah itu sekadar mengucapkan selamat,


menimpuk pakai telur, membanjur air, dan
seterusnya. Seharian penuh ia hanya teronggok di
tempat tidur, bertimbunkan bantal dan guling.
Kugy menikmati betul istirahat ini. Tiba-tiba
terdengar suara ketokan di pintu. Emily melirik
jam. Bahkan belum pukul tujuh malam. “Masih
kenyang! Aku makan malamnya nanti aja!” seru
Emily tanpa beranjak dari kasur. Namun, pintu
itu tetap membuka. Dan muncullah Remi, dengan
wajah bersinar diterangi lilin kecil. Emily
mengangkat badannya sedikit. Remi? Kue tar?

Remi masuk hati-hati, membawa kue tar


cokelat kecil dengan satu lilin yang menyala,
seikat bunga rose segar, bernyanyi pelan, “Happy
birthday to you ... happy birthday to you ....”
Emily langsung terduduk tegak. Antara kaget dan
ingin tertawa. Namun, ia terpaksa menunggu
Remi menyelesaikan dulu lagunya, dan kemudian

73
meniup lilin yang disorongkan ke mukanya. Usai
lilin itu padam, tawa Emily langsung lepas,

“Kamu, tuh! Apa-apaan sih, pakai prosesi


ginian segala?”

“Kenapa memangnya? Ada


masalah?”Emily menggeleng cepat, pipinya
merah padam. “Aku malu. Kikuk kalo
diperlakukan kayak gini,” ujarnya pelan.

“Aneh,” balas Remi geli, “tukang khayal


tapi kena jurus cemen gini aja kikuk. Kelamaan
jomblo, ya?” ia lantas mengecup kening Emily,
“Selamat ulang tahun ya, Lyly-ku. Badan kamu
masih hangat.”

Emily menempelkan telapak tangannya


di keningnya sendiri, “Iya, ternyata masih. Tapi
rasanya aku udah baikan, kok. Apalagi setelah
kamu muncul bawa kue dan bunga barusan.
Lumayan ada bahan ledekan,” Emily terkekeh.
“Saya punya sesuatu yang bisa bikin kamu
sejukan,” lantas Remi mengeluarkan kotak hitam

74
ramping dari kantong celananya, “ini ... hadiah
ulang tahun untuk kamu.”

Emily terbengong-bengong melihat kotak


yang terbuka di hadapannya. Seuntai gelang yang
terdiri dari batu-batu mungil berwarna biru
cemerlang. “Benda ini barangkali nggak akan
matching dengan jam Kungfu Panda kamu. Tapi,
tolong dipakai, ya?”

Remi lalu memasangkan gelang itu di


pergelangan kiri Emily. “Ini namanya batu lapis
lazuli,” ia menerangkan, “warna birunya paling
menyerupai biru laut. Jadi, kalau kamu kangen
pantai, kangen laut, kamu bisa lihat warna
birunya di gelang ini.” Kali ini Emily hanya
dimampukan untuk diam dan menelan ludah.
“Kenapa lagi sekarang?” Remi tersenyum seraya
mengelus pipi Emily. “Aku nggak tahu kamu
sedang pakai jurus apa, tapi ... aku belum pernah
dapat hadiah seindah ini,” bisik Emily.

75
Ia lalu menggerakkan tubuhnya yang
masih lemah untuk mendekap Remi seerat
mungkin, “Makasih, ya. Aku akan pakai tiap
hari.”

“Aku nggak pakai jurus apa-apa kok, Ly,”


Remi balas berbisik, “I just love you.
Sesederhana itu.” Dalam dekapan Remi, Emily
menyadari sesuatu. Ethan mungkin adalah
Pangerannya saat ia masih berumur 18 tahun.
Sebuah dongeng indah. Namun, inilah kenyataan
sederhana yang membangunkannya dari tidur
panjang dalam alam dongeng. Remilah Pangeran
Sejatinya. Remi nyata, ada, dan mencintainya.

76
9.

PERTEMUAN KEMBALI

Saat ini hubungan Remi dan Emily


sedang rehat dan diambang putus. Sudah hampir
gelap ketika Ethan sampai di rumah itu. Eren
sendiri yang membukakan pintu. Ia tampak
terkejut melihat kedatangan Ethan. “Mas Eren,
Lyly-nya ada?” tanya Ethan sopan. Pasti ada.
Karel tak langsung menjawab. Ia kelihatan
sedang berpikir. “Kamu aja yang nyusulin dia,
ya,” akhirnya ia berkata sambil membalik badan,
menunjuk satu pintu, “dia lagi di tempat jemuran
belakang. Kamu ke pintu itu. Ada tangga besi di
dekat sana. Kamu naik aja. Emily ada di atas.”

77
Keenan mengangguk. Langsung menuju
tangga yang dimaksud Eren, menaikinya hati-
hati. Balkon belakang itu hanya berbentuk dak
beton. Sebuah kursi dan meja plastik terparkir di
sana. Tampak siluet Ethan duduk
memunggunginya. Kepalanya menengadah,
menatap langit senja. Rambutnya tergerai di
sandaran kursi, berkibar halus ditiup angin. Ethan
menahan napas.

. “Kamu ... kok ... bisa ada di sini?” ia


bertanya, terbata.

“Radar Neptunus,” jawab Ethan ringkas


seraya tersenyum sekilas. Ia lalu berjalan
mendekati Emily. Berjongkok di depannya.

“Kenapa harus ngilang, Ly?” tanyanya


halus.

“Aku juga nggak tahu kenapa,” Emily


menggelengkan kepala, “tiap hari aku di sini,
cuma untuk cari tahu kenapa. Dan masih belum
tahu jawabannya.”

78
“Aku mau bantu kamu. Boleh?” Ethan
lantas meraih tangan Emily. “Empat tahun saya
kepingin bilang ini: Emily, aku cinta sama kamu.
Dari pertama kali kita ketemu, sampai hari ini,
aku selalu mencintai kamu. Sampai kapan pun
itu, aku nggak tahu. Aku nggak melihat cinta ini
ada ujungnya.” Emily tertegun. “Itu satu hal.
Masih ada lagi yang harus saya bilang,” Ethan
mengatur napasnya, “aku sudah tahu soal Remi,
Ly. Kalau aku harus merelakan kamu untuk
seseorang, cuma dialah orangnya. Nggak ada
lagi. Dia orang yang sangat, sangat baik. Kamu
beruntung.”

“Banyak sekali yang ingin saya lakukan


bareng kamu, Ly,” bisik Ethan. Emily
mendongak. Tersenyum sebisanya.

“Bisa. Pasti bisa. Kita tetap bisa bikin


buku bareng, kan? Dan aku tetap bisa jadi
sahabatmu.” Emily nyaris tersedak mengucapkan
kata terakhir barusan. Menyadari bahwa
persahabatan barangkali adalah muara terakhir

79
yang harus ia paksakan untuk menampung
seluruh perasaannya pada Ethan. Tak bisa lebih
dari itu.

“Iya. Kita tetap bisa bikin karya bersama.


Dan kita selalu menjadi sahabat terbaik,” Ethan
menelan ludah. Kalimat itu begitu susah
diucapkan.

“Kamu turun, ya, Than. Pulang.” Ethan


mengangguk. Memang tak ada lagi yang perlu
dibicarakan. Hanya akan membuat hatinya makin
terluka.

“Kamu juga jangan kelamaan di sini, Ly.


Udah malam.” Ethan menyentuh pipi Emily
sekilas. Perlahan, berjalan pergi. Air mata Emily
akhirnya jatuh bergulir, membuat pandangannya
kembali terang, meski langit sudah gelap, dan
Ethan tinggal bayangan hitam yang berjalan
menjauh. “Than ...,” panggilnya.

“Ya?” Ethan berbalik. “Aku nggak


kepingin, sepuluh ... dua puluh tahun lagi dari

80
sekarang, aku masih merasa sakit di sini tiap kali
ingat kamu.”

“Nggak, Ly. Nggak akan. Kalau saya


bisa, kamu juga bisa.”

“Dan kamu yakin bisa?” tangis Emily.

“Pasti ....” Suara Ethan bergetar. Penuh


keraguan, kebimbangan, dan kegentaran. Namun,
ia tak mungkin lagi mundur. Satu-satu,
dituruninya tangga besi itu. Lenyap dari
pandangan Emily. Harus ada yang bisa, batinnya,
kalau tidak .... Ethan menggosok matanya yang
berkaca-kaca. Ia tak bisa mengingat, kapan
hatinya pernah sepilu ini. Di tempat yang sama,
Emily menangis bisu. Ia berjanji, inilah tangisan
terakhirnya untuk Ethan, sekaligus tangisan yang
paling menyakitkan. Ia bahagia sekaligus patah
hati pada saat yang bersamaan. Saat ia tahu dan
diyakinkan bahwa mereka saling mencintai, dan
selamanya pula mereka tidak mungkin bersama

81
10.

REMI

Keesokan harinya, Emily memutuskan keluar


dari tempat persembunyiannya. Berhenti menjadi
parasit di rumah abangnya. Kembali pulang ke
rumah. Dan orang paling pertama yang ia
hubungi adalah Remi. Hanya dibutuhkan satu
telepon untuk mendaratkan Remi ke rumahnya.
Pria itu tak menunggu lebih lama lagi. Begitu
Emily menghubunginya, Remi langsung
berangkat malam itu juga menemui Emily. Remi
datang membawa seberondong pertanyaan yang

82
sudah siap ia gencarkan. Namun, semuanya
buyar pada detik pertama ia melihat Emily.
Sebagai ganti, ia hanya mendekap Emily. Lama.
Ribuan pertanyaannya mengkristal menjadi satu
tanya,

“Kamu kenapa, Ly?” Segala sesuatu yang


dipersiapkan Kugy ikut buyar. Meleleh dan
meluruh dalam dekapan Remi. Segalanya
mengkristal menjadi satu pernyataan, “Maafkan
aku, ya.” Remi melonggarkan dekapannya,
meraih tangan kiri Emily. Cincin itu masih di
sana. Ia mengembuskan napas lega “Remi,
sekarang aku siap,” kata Emily, tegas.

“Remi, dongeng adalah segalanya buat


aku. Impianku yang paling tinggi. Dan ... ini
adalah sesuatu yang paling mendekati impian itu.
Sekarang, aku masih membuatnya pakai tangan.
Entah kapan, tapi mudah-mudahan, satu saat
nanti aku bisa berbagi sebuah buku dongeng
betulan dengan kamu. Tapi, sebelum buku itu
ada, inilah benda paling berharga buatku. Belum

83
pernah berpindah tangan satu kali pun.” Emily
menelan ludah lagi.

“Hari ini, aku ingin membaginya dengan


kamu. Karena, aku juga berharap bisa berbagi
hidupku dengan—” Emily rasanya tak bisa
melanjutkan. Dadanya makin sesak. “Hanya
dengan kamu,” akhirnya Emily berkata. Remi
terkesiap. Lama. Sepanjang ingatannya, tak
pernah ada yang mengatakan hal seindah itu
padanya. Ia baru tersadar ketika melihat Emily
menangis. Remi langsung merengkuh tubuh
mungil itu lagi,

“Kenapa nangis, Ly? Aku paling nggak


bisa lihat kamu nangis ....” Dalam isakannya,
Emily membisik, “Aku nangis bukan karena
sedih ....” Dengan lembut, Remi membelai-belai
rambut Emily, “Apa pun alasannya, aku di sini
untuk kamu. Makasih untuk buku ini. Makasih
kamu sudah membagi milik kamu yang paling
berharga. Makasih sudah meyakinkan aku.” Saat
itu Emily memang bukan menangis karena sedih,

84
tapi bukan juga karena bahagia. Sejujurnya,
Kugy sendiri tidak tahu kenapa.

11.

MIMPI DAN REALITA

Enam bulan sudah semenjak


kedatangannya kembali ke Jakarta. Ayahnya
telah berubah drastis. Manusia itu telah menjadi
bukti hidup bahwa mukjizat itu ada. Seseorang
yang terkapar lumpuh sama sekali, dengan
prediksi kerusakan fatal di sana sini, berhasil
sembuh dan berfungsi seperti sedia kala. Ia telah
lama meninggalkan kursi roda dan alat bantu apa
pun. Segala sesuatunya memang sudah hampir
seperti dulu, kecuali satu. Kembali ke kantor.
Itulah satu-satunya hal yang masih belum
disarankan dokter.

85
Semua orang tahu, Ethanlah penyebab
sekaligus penawar yang kemudian mendatangkan
keajaiban tersebut. Tak hanya mendampingi
ayahnya kapan pun ia bisa, Keenan bahkan
menggantikan fungsi operasional ayahnya setiap
hari di kantor. Memastikan perekonomian
keluarga mereka masih bisa berjalan seperti
biasa. Namun, Keenan pun tahu, saat ini pasti
tiba. Keajaiban yang satu hari harus berhadapan
dengan kejujuran. Dan tak ada yang tahu pasti,
mana yang akan keluar sebagai pemenang.

Hati-hati, Ethan membuka pintu kamar


orangtuanya. Tampak ayahnya sedang duduk
sendirian di tempat tidur, membaca buku.

“Pa ...,” panggilnya pelan. “Masuk, Than.


Ada apa?” Adri meletakkan buku yang ia pegang,
sekaligus menanggalkan kacamata bacanya.
Ethan lantas duduk di samping ayahnya.

“Pa, saya harus bicara tentang sesuatu.


Tentang pekerjaan.”

86
“Ada masalah apa di kantor?” tanya Adri
langsung. Ethan menelan ludah, lalu menggeleng.
“Nggak ada masalah, Pa.”

“Jadi?”

“Saya yang punya masalah,” Ethan


berkata lirih, “saya nggak tahu sampai kapan bisa
bertahan—” Ethan berhenti sejenak. Dan
akhirnya, ia mengatakan sesuatu yang selama ini
sudah mengganjal lama di tenggorokannya, yang
setiap harinya ia tahan, yang setiap harinya ia
tunda, dan sekarang tak bisa ia membendungnya
lagi: “Pa, saya ingin kembali melukis.”

Adri berusaha mencerna kalimat anaknya.


Berusaha membaca ekspresi di wajahnya.
Berusaha mengerti konsekuensi apa yang
mengikuti pernyataan Ethan.

“Kamu ingin berhenti dari kantor?” tanya


Adri dengan nada ragu. Berat, Ethan
mengangguk. “Tapi ... kalau bukan kamu, siapa
lagi yang bisa menjalankan—”

87
“Saya akan tetap menjalankan tugas saya
sampai Papa benar-benar pulih. Atau sampai ada
orang lain yang bisa menggantikan saya. Tapi,
intinya ...,” Ethan menelan ludah untuk yang
kesekian kali, “saya nggak mungkin selamanya
bertahan di kantor. Saya mau melukis lagi.”

“Kenapa? Apa masalahnya?” desak Adri


lagi. Ethan menatap ayahnya, tak berkedip. “Papa
masih perlu tahu alasannya?” Perlahan, Adri
menggeleng. “Papa tahu. Kamu memang selalu
ingin melukis. Cuma Papa yang selalu susah
menerima.”

Ethan gantian bertanya, pertanyaan yang


tahunan ia tunda, ia tahan, dan sekarang tak bisa
ia membendungnya lagi. “Kenapa, Pa? Apa
masalahnya? Sejak kecil saya selalu berusaha
membuktikan sama Papa, bahwa melukis adalah
dunia saya. Tapi Papa selalu menanggapi seperti
tembok. Papa menutup mata, menutup telinga,
dan benar-benar nggak mau tahu. Saya nggak
pernah mengerti kenapa. Kenapa?”

88
Adri tak tahu dari mana harus
menjelaskan. Cerita yang sudah berkarat tapi
menghantuinya selama puluhan tahun. Dunia
lukisan adalah penghubung Lena dengan cinta
lama yang seperti tak mengenal kata mati. Dunia
lukisan kembali menjadi penghubung anaknya
dengan seseorang yang selalu ingin ia hindari
entah karena perasaan bersalah, atau justru
karena perasaan tersaingi. Dan semua itu pernah
begitu membutakannya hingga ia ingin
membunuh potensi Keenan dengan cara apa pun.

Namun, Adri tidak punya kesanggupan


untuk menceritakannya. “Semua salah Papa,
Than,” Adri mengucap lirih, “Papa yang nggak
berusaha memahami kamu, berusaha mengurung
kamu, dan nggak pernah memberi kamu
kebebasan menjadi diri kamu sendiri. Sementara
kamu ... kamu sudah berani mengorbankan
impian kamu, demi bisa kembali ke sini,
mengurus keluarga ini.”

89
“Selamanya, saya akan tetap melakukan
hal yang sama. Dengan situasi Papa waktu itu,
pulang ke sini bukanlah pilihan bagi saya, bukan
juga pengorbanan,” sergah Ethan, “tapi sekarang,
saya ingin kembali memilih.” Adri tersenyum.

“Di mata Papa, semua itu terbalik, Than.


Kamu nggak perlu memilih untuk melukis. Itulah
diri kamu. Selamanya.” Mata Ethan membelalak.
Napasnya tercekat. “Jadi ... Ethab boleh—?”

“Kapan pun kamu siap, kamu bisa


berhenti,” Adri berkata lembut, “jangan khawatir
tentang apa-apa. Papa pasti bisa cari jalan lain.
Papa yakin,” napas Adri mengembus panjang, tak
pernah terbayangkan ia akan mengucapkan hal
yang satu ini, “kamu bahkan bisa kembali ke
Bali, kalau itu yang kamu mau.”

Hati Ethan berguncang hebat. Bahkan


dalam mimpi sekalipun, ia tak pernah berani
membayangkan ayahnya akan sampai pada
kerelaan seperti itu. Tubuh Ethan pun bergerak

90
maju, lengannya membuka, merengkuh ayahnya.
Untuk pertama kalinya dalam belasan tahun, ia
merasa dipahami. Dan memahami. Bahwa apa
yang tak terucap terkadang tak lagi penting.

Ethan tidak ingin menuntut penjelasan


lebih lanjut. Semuanya sudah cukup. Akhirnya
Ethan bisa merasakan cinta itu, kasih sayang itu,
dan kebebasan yang akhirnya lahir dalam
hubungan mereka berdua.

Begitulah semuanya berjalan dalam


alurnya masing-masing, antara mimpi dan
realita.

91

Anda mungkin juga menyukai