Penulis
1
1.
2
pemandangan matahari terbenam yang
menakjubkan di cakrawala. Setiap goresan
kuasnya merekam keindahan panorama yang
akan selalu diingatnya. Warna-warna yang dia
campur di atas kanvas mencerminkan warna
langit yang berubah-ubah, memberikan kesan
kedalaman pada lukisannya. Ethan tebuai dalam
lukisannya, hingga ia tidak menyadari bahwa
waktu berlalu begitu cepat.
3
rak bukunya, entah kenapa, pertanyaan yang
sama seminggu ini terulang di kepalanya:
umurku baru aja jalan 18, tapi kenapa aku
merasa terlalu lelah untuk semua ini?
4
membatalkannya kembali ke Indonesia.
Bertahun-tahun, Ethan berharap dan berdoa
keajaiban itu akan datang. Namun, tampaknya
keajaiban itu tidak akan pernah berpihak pada
Ethan. Hanya sesekali telepon dari Mamanya
yang memuji sketsa-sketsa yang ia kirim, tanpa
ucapan tambahan yang menyiratkan kalau ia bisa
terus tinggal di Melbourne bersama Oma,
menemani Oma yang berjuang agar tidak digusur
ke panti jompo karena dianggap terlalu tua untuk
hidup sendiri, melukis di tepi pantai Brighton
saat mentari terbenam, serta tumbuh besar
menjadi seniman-seniman yang ia kagumi.
5
Indonesia dan berhenti menjadi pelukis? Ethan
tidak tahu persis apa yang terjadi. Bagaimana
mungkin orangtuanya, sumber dari bakat melukis
yang mengalir dalam darahnya, justru ingin
mematikan mimpinya?
6
buah buku tebal bertuliskan ‘2500 Latihan Soal
SBMPTN, “supaya kamu bisa belajar di pesawat.
Setelah itu, kita makan sama ya, Oma tunggu di
meja makan ” Oma mengelus kepala Ethan
dengan lembut sambil tersenyum.
7
Dia baru lulus SMA sebulan yang lalu,
tapi selera musiknya sama dengan anak SMA
lima belas tahun yang lalu. Semua orang selalu
bilang, yang namanya Kugy itu luarannya doang
up-to-date, tapi dalamannya out-of-date. Yang
dikatai malah cuek cenderung bangga. Emily
tetap bersikeras bahwa musik tahun ’80-an
sangatlah keren dan penuh makna dibandingkan
musik kekinian yang cenderung dibuat untuk
memenuhi ekspektasi dan keingginan sesaat
penggemar daripada kualitas musik itu sendiri.
8
Dari luar, adik perempuannya, Kugy,
mengetuk-ngetuk pintu. Setelah semenit tidak
ada hasil, Kugy yang tidak sabar mulai
menggedor-gedor. “Emily! Woooi! Ada telepon,
tuh!” Dari arah ruang tamu terdengar suara
dewasa berceletuk pelan dari belakang, “Kak
Emily.” Terdengar penekanan pada kata ‘‘Kak’’.
9
nanti aku akhirnya jadi penyanyi, kira-kira nama
panggung yang cocok untukku apa ya ma?” sahut
Emily dengan wajah berbinar-binar.
10
Selang beberapa detik sampai terdengar
jawaban dari ujung telepon. “Ly? Noni, nih.
Emang lu sangka siapa yang nelepon? Ratu
Inggris?”
11
“Kapan mulai beres-beres, Gy? Buku-
buku lu yang banyak banget itu dipaket aja ke
Bandung, nggak usah bawa sendiri. Bagasi
mobilnya Niko kan kecil, nanti nggak bakal
muat. Lu bawa baju-baju aja, ya? Tiket kereta api
udah pesan, belum? Lagi penuh lho. Ntar
terpaksa beli di calo. Sayang duit, tau gak?”
celoteh Noni panjang lebar.
12
“Emang orang gila lu ya!”
13
tidak repot-repot mengurus ini-itu ketika Kugy
harus bersiap kuliah di Bandung. Tapi, Noni
membereskan hampir segala persiapan Kugy
dengan baik dan sukarela.
14
sama sekali berbeda. Pilihannya mengambil
jurusan Sastra merupakah langkah awal yang
disusurinya untuk mimpinya. Pilihannya kuliah
di kota lain adalah untuk hidup mandiri. Di luar
dari perilakunya yang serba spontan, Kugy
merencanakan dengan matang perjalanan
hidupnya. Ia tahu alasan di balik semua
langkahnya, dan benar-benar serius menangani
impiannya.
15
2.
PINDAH KE BANDUNG
16
“ Eh, ini sudah keluar” sahut suaminya.
Seperti balap lari, Istrinya langsung buru-buru ke
menemui suaminya yang sedari tadi duduk di
ruang tamu. Dengan sigap mereka membuka
website dan langsung membuka halaman intinya
yang padat dengan barisan nama-nama.
17
Sambil meringkuk dan memeluk lutut,
Ethan menerawang di atas tempat tidur, bertanya-
tanya pada dirinya sendiri: apakah ia salah karena
tidak merasakan kebahagiaan yang sama?
Apakah ia puas atas kesuksesannya
menyenangkan orang lain? Dan apakah ia cukup
berduka atas pengkhianatannya pada diri sendiri?
Di depan kanvas, mata Ethan terpaku.
Mendapatkan lembar kosong itu sebagai jawaban
pertanyaan hatinya.
18
Cahaya dari luar seketika menerangi
kamarnya yang sunyi dan gelap. Langkah tergesa
dan suara bernada tinggi mengacaukan suasana
hening yang membungkus Emily seperti
kepompong.
19
“Nggak usah berlagak, deh. Ayo,
bangun.”Emily terduduk dengan paksa, mata
terpejam sebelah dan rambut berantakan.
20
berdua mana kuat dorongnya. Yaudala, ly, ayok
cepeta, hitunh-hitunh olahraga sore.”
21
sahut Emily seraya menyambar jaket denim di
gantungan.
22
Dengan cepat Emily langsung berpose klasik cis
dua jarinya.
******
23
“Ampun, deh! Kalau bilang dari tadi kan
aku bisa cari kertas sama pulpen!” omel Noni.
“Ethan!”
24
sana, seseorang merasa namanya dipanggil.
Ethan merasa sumbernya adalah perempuan yang
sedang bergerak ke arahnya. Ethan mengamati
dengan saksama. Ia yakin belum pernah
berkenalan dengan cewek satu itu seumur
hidupnya. Tepatnya, ia belum pernah
menemukan orang dengan penampilan seaneh
itu.
25
“Ada apa, ya?” tanya Emily dengan suara
dibesar-besarkan. Berusaha sangar. Setengah
mati Ethan menahan senyum yang spontan ingin
membersit. Ternyata ia berhadapan dengan anak
kucing yang berusaha jadi singa.
26
3.
ALIEN
27
Keduanya menoleh ke belakang, melihat
Emily di ruang informasi sedang menguasai
mikrofon. Tak lama seorang petugas datang
tergopoh-gopoh untuk mengendalikan situasi.
Seorang anak kurang ajar rupanya telah menjajah
daerah kekuasaannya saat ia pergi sebentar ke
kamar mandi barusan.
28
“Niko?” panggilnya setengah meragu.
29
“Bener juga kata Tante Lena, lu udah
makin kayak seniman sekarang!” seru Nko
sambil menepuk bahu Keenan.
30
“Gimana, sih?” Niko dan Noni mulai
merasa ada yang anaeh di balik ini semua.
“Mungkin kita sudah ketemu di kehidupan
lampau ....” timpal Emily cepat.
******
31
menganga terbuka. Sebuah TV yang tak ditonton
menyala. Empat orang duduk di lantai,
berbincang asik sambil tertawa-tawa dengan dus
pizza kosong sebagai pusat.
32
“Secara fisik lu memang kurang cocok,
Non. Tapi karakter pas banget.” Celoteh Emily
disambut tawa.
33
“Ayo, dong. Lama banget, sih,” desak
Niko tak sabar.
“Please.”
“Gimana caranya?”
34
“Teman-teman, sudah saatnya kalian
tahu bahwa gua ini sebetulnya ...,” Emily
menahan napas, suaranya bergetar “... alien.”
Sunyi yang lebih mencekam, atau tepatnya
mencekik, seketika hilang. Niko sudah mau mati
menahan semburan tawa.
35
“Betul kan apa kata gua? Tantangan ini
memang nggak relevan buat si Emily,” kata Noni
lagi, “ayo, giliran kamu, Ko.”
36
“Terus, kok kalian bisa ... jadian?” Ethan
perlahan menunjuk Niko dan Noni. Niko
langsung pasang tampang serius. “Sebetulnya
cinta sejati gua adalah Noni, Nan. Gua udah
naksir dia dari kelas 1 SMP ....”
37
lainnya,” sahutnya kalem. “Si Semprul satu ini
justru orang yang paling menghalang-halangi,
tahu nggak?” sambar Niko lagi. “Masa dia
pernah bilang ke Noni kalo gua itu spesies
berbahaya?”
38
curiga?” Menyusul seketika ledakan tawa Keenan
dan Noni.
39
4.
PENULIS DONGENG
40
“Lho. Belum pulang?” tanya Emily
sambil melirik jam yang sudah menunjukkan
pukul sepuluh lewat.
41
“Nama kamu yang paling unik, ya.”
42
“Kenapa gitu?” “ Di zaman sekarang ini,
iapa sih yang masih mau baca dongeng?” Emily
terkekeh lagi. “Mungkin aku harus jadi guru TK
dulu, supaya punya pembaca. Minimal
dongengku bisa dibacakan di kelas.”
43
sejenis. Di umurku, harusnya aku nulis kisah
cinta, kisah remaja, kisah dewasa ....”
44
“Jadi ... kamu ingin menjadi sesuatu yang
bukan diri kamu dulu, buat akhirnya jadi diri
kamu yang asli, gitu?”
45
nggak tahu kamu selama ini ada di planet mana,
tapi di planet gila realitas ini, aturan mainnya ya
gitu.”
46
Keduanya membisu, cukup lama hingga
suasana di kamar itu mulai mencair.
47
dongeng buatanku, supaya peti itu kembali
berisikan sesuatu. Aku menulis dengan super
semangat. Bertahun-tahun. Dan jadilah bundel
itu. Silakan kamu baca-baca. Kamu bisa
kembalikan kapan pun kamu mau.”
48
ini.” Keenan kembali kehilangan kata-kata.
Keheningan kembali membungkus ruangan itu.
5.
TEBAKAN BERHADIAH
49
hanya diisi oleh beberapa orang saja. Kamar-
kamarnya berukuran luas dengan langit-langit
yang tinggi. Napas Emily seketika tertahan ketika
pintu besar itu terbuka dan Ethan menyalakan
sakelar lampu. Rel-rel kawat bersilangan di
bawah plafon dengan lampu-lampu warna-warni
kecil yang bergantungan menerangi beberapa
spot tempat lukisan-lukisan Keenan yang terpaku
di dinding atau didirikan begitu saja di atas
lantai.
50
Kugy berkeliling melihat lukisan-lukisannya,
seperti orang pameran.
51
berbisik ia mengucap, “Bebas.” Giliran Keenan
yang terpaku. Perlahan, ia membalik lukisan
yang berdiri di lantai itu, dan menunjuk judul
yang tertera di baliknya. Emily melongo.
“Freedom?”
52
“Kamu ... sebetulnya ... terpaksa kuliah di
sini, ya?” ucap Emily patah-patah.
53
hadapannya terbentang lembar pertama buku
sketsa yang dibuka Ethan. Perlahan, Kugy meraih
buku itu. Membuka lembar demi lembar.
“Ini ...?” Keenan menunjuk satu per satu sketsa
tersebut. “Pangeran Pisang ... Peri Mangga ...
Peniyhir Kunyit ... dan ini lembah tempat
mereka tinggal ...” dengan asyik Ethan
menjelaskan.
54
seumur hidup belum pernah ada yang
membuatkan ilustrasi buat dongengku ... bagus
banget lagi ... aku ... nggak tahu harus ngomong
apa ....”
55
disodorkan Emily. Sekaleng pisang susu. “Oke.
Impas yah” ucapnya sambil tersenyum kecil.
6.
56
“KEENAN!” Suara yang ia kenal. Nada
ceria yang ia hafal. Derap langkah setengah
berlari yang khas.
“Tentang?”
58
menusukny. Menyakitkan sekaligus
membekukan.
59
Emily terduduk tegak. Membuka majalah
yang memuat cerpennya, dan mulai membaca
dari awal hingga akhir. Lalu ia menyalakan
komputer, membuka salah satu file dongengnya,
dan juga membacanya saksama. Emily mulai
menyadari sesuatu. Dalam dongengnya, ia seolah
berlari bebas, sesuka hati. Dalam cerpen itu, ia
seperti berjalan memegang tali, berhati-hati dan
penuh kendali. Dan ada satu perbedaan yang kini
menjadi sangat jelas baginya: dalam dongengnya
ia bercerita untuk memuaskan dirinya sendiri,
sementara dalam cerpennya ia bercerita untuk
memuaskan orang lain. Ingatannya pun kembali
mundur ke siang tadi, dan kembali ia rasakan
perih sayatan kata-kata Ethan. Namun, kali ini
Emily ikut merasakan kebenarannya.
60
7.
PERGI KE UBUD
61
Meja makan dengan empat kursi itu baru diisi
tiga orang, satu kursi masih kosong. Meski hanya
bertiga, suasana di meja makan itu terasa
semarak. Dua bersaudara laki-laki itu mengobrol
tanpa henti seolah sudah tahunan tak bertemu.
Ibu mereka sesekali menimpali, atau ikut tertawa
bersama. Terdengar suara pintu depan terbuka,
dan seseorang memasuki ruang makan, duduk di
kursi keempat.
62
“Oh, ya? Apa, Than?” tanya ayahnya
sambil meminum teh itu sedikit demi sedikit.
Ethan melirik ibunya, seperti ragu untuk bicara.
“Maksud kamu?”
63
“Saya minta ekstra seminggu dari jatah
liburan kuliah.”
64
“Pa, saya nggak minta macam-macam.
Saya nggak minta kendaraan. Saya nggak minta
komputer baru. Saya nggak minta buku apa-apa.
Saya cuma minta waktu tambahan satu minggu di
tempat Pak Wayan.” Nada bicara Ethan mulai
mengeras.
65
“Aku yakin Ethan nanti bisa mengejar
ketinggalan satu minggunya,” akhirnya Lena
berkata.
66
riuh, berlatar belakang sekian banyak orang yang
berbicara. “Emilyyy! Telepooon!”
“Oh ....”
67
“Habis ini saya juga mau telepon Niko
atau Noni. Pamitan juga,” gugup Ethan
menambahkan. “Mau oleh-oleh apa?” “Hmm.
Apa, ya?” Emily berpikir-pikir,
68
“Sip. Sampai ketemu semester depan.”
Dan telepon itu ditutup.Emily meletakkan gagang
telepon dengan hati-hati, lalu terduduk lama.
Percakapan telepon barusan tak sampai dua
menit, tapi serasa waktu telah melemparkan
jangkarnya dan berhenti di sana.
69
8.
PANGERAN SEJATI
70
Hari dimana Remi menyatakan cintanya pada
Emily….
“Siapaaaa?”
71
“Bos gua sendiri! Ha-ha!” Emily tertawa-
tawa. Noni mengernyit.
*****
72
meluapkan emosi dan ekspresi apa pun atas
hubungan barunya dengan Remi.
73
meniup lilin yang disorongkan ke mukanya. Usai
lilin itu padam, tawa Emily langsung lepas,
74
ramping dari kantong celananya, “ini ... hadiah
ulang tahun untuk kamu.”
75
Ia lalu menggerakkan tubuhnya yang
masih lemah untuk mendekap Remi seerat
mungkin, “Makasih, ya. Aku akan pakai tiap
hari.”
76
9.
PERTEMUAN KEMBALI
77
Keenan mengangguk. Langsung menuju
tangga yang dimaksud Eren, menaikinya hati-
hati. Balkon belakang itu hanya berbentuk dak
beton. Sebuah kursi dan meja plastik terparkir di
sana. Tampak siluet Ethan duduk
memunggunginya. Kepalanya menengadah,
menatap langit senja. Rambutnya tergerai di
sandaran kursi, berkibar halus ditiup angin. Ethan
menahan napas.
78
“Aku mau bantu kamu. Boleh?” Ethan
lantas meraih tangan Emily. “Empat tahun saya
kepingin bilang ini: Emily, aku cinta sama kamu.
Dari pertama kali kita ketemu, sampai hari ini,
aku selalu mencintai kamu. Sampai kapan pun
itu, aku nggak tahu. Aku nggak melihat cinta ini
ada ujungnya.” Emily tertegun. “Itu satu hal.
Masih ada lagi yang harus saya bilang,” Ethan
mengatur napasnya, “aku sudah tahu soal Remi,
Ly. Kalau aku harus merelakan kamu untuk
seseorang, cuma dialah orangnya. Nggak ada
lagi. Dia orang yang sangat, sangat baik. Kamu
beruntung.”
79
yang harus ia paksakan untuk menampung
seluruh perasaannya pada Ethan. Tak bisa lebih
dari itu.
80
sekarang, aku masih merasa sakit di sini tiap kali
ingat kamu.”
81
10.
REMI
82
sudah siap ia gencarkan. Namun, semuanya
buyar pada detik pertama ia melihat Emily.
Sebagai ganti, ia hanya mendekap Emily. Lama.
Ribuan pertanyaannya mengkristal menjadi satu
tanya,
83
pernah berpindah tangan satu kali pun.” Emily
menelan ludah lagi.
84
tapi bukan juga karena bahagia. Sejujurnya,
Kugy sendiri tidak tahu kenapa.
11.
85
Semua orang tahu, Ethanlah penyebab
sekaligus penawar yang kemudian mendatangkan
keajaiban tersebut. Tak hanya mendampingi
ayahnya kapan pun ia bisa, Keenan bahkan
menggantikan fungsi operasional ayahnya setiap
hari di kantor. Memastikan perekonomian
keluarga mereka masih bisa berjalan seperti
biasa. Namun, Keenan pun tahu, saat ini pasti
tiba. Keajaiban yang satu hari harus berhadapan
dengan kejujuran. Dan tak ada yang tahu pasti,
mana yang akan keluar sebagai pemenang.
86
“Ada masalah apa di kantor?” tanya Adri
langsung. Ethan menelan ludah, lalu menggeleng.
“Nggak ada masalah, Pa.”
“Jadi?”
87
“Saya akan tetap menjalankan tugas saya
sampai Papa benar-benar pulih. Atau sampai ada
orang lain yang bisa menggantikan saya. Tapi,
intinya ...,” Ethan menelan ludah untuk yang
kesekian kali, “saya nggak mungkin selamanya
bertahan di kantor. Saya mau melukis lagi.”
88
Adri tak tahu dari mana harus
menjelaskan. Cerita yang sudah berkarat tapi
menghantuinya selama puluhan tahun. Dunia
lukisan adalah penghubung Lena dengan cinta
lama yang seperti tak mengenal kata mati. Dunia
lukisan kembali menjadi penghubung anaknya
dengan seseorang yang selalu ingin ia hindari
entah karena perasaan bersalah, atau justru
karena perasaan tersaingi. Dan semua itu pernah
begitu membutakannya hingga ia ingin
membunuh potensi Keenan dengan cara apa pun.
89
“Selamanya, saya akan tetap melakukan
hal yang sama. Dengan situasi Papa waktu itu,
pulang ke sini bukanlah pilihan bagi saya, bukan
juga pengorbanan,” sergah Ethan, “tapi sekarang,
saya ingin kembali memilih.” Adri tersenyum.
90
maju, lengannya membuka, merengkuh ayahnya.
Untuk pertama kalinya dalam belasan tahun, ia
merasa dipahami. Dan memahami. Bahwa apa
yang tak terucap terkadang tak lagi penting.
91