Anda di halaman 1dari 5

TERJATUH DARI SEPEDA+revisi 2

Oleh Anggraeni Rahmawati

Karena terlalu asyik menonton TV, aku terbangun


kesiangan. Aku tidak menyadari jika acara TV yang
kutonton selesai hingga larut malam. Aku pun terburu-
buru mandi, lalu memakai seragam yang sudah aku
siapkan sebelumnya. Tak lupa aku berpamitan dan
mencium tangan kedua orangtuaku.

Dalam perjalanan menuju sekolah, aku bertemu


dengan Puput, kemudian mengajaknya berangkat
bersama-sama. Rumah Puput memang tidak jauh dari
rumahku, hanya beberapa gang saja.

Puput mengeluarkan sepeda lipat merahnya dari


halaman. Di perjalanan menuju sekolah kami mengobrol
banyak hal.
“Kamu sudah mengerjakan PR dari Bu Ana?”
tanya Puput padaku.
“Sudah. Memangnya kenapa? Kamu belum ya?”
godaku.
“Iya. Aku lupa karena aku terlalu asyik bermain
he..he..he..” Puput terkekeh.
“Dasar pemalas.” Aku mencubit lengan Puput,
dan ia membalas mencubitku. Kami tertawa-tawa di atas
sepeda kami masing-masing. Sampai kemudian
sepedaku oleng, dan aku tak mampu mengendalikannya.
BRUK!
Aku terjatuh bersama sepedaku. Aku menangis
menahan sakit dan perih di kakiku yang tertindih sepeda.
Setelah menjagang sepedanya, Puput segera membantu
menolongku. Beberapa orang yang melihat peristiwa itu
pun berlari membantu memapahku ke rumah salah satu
warga dan memberikanku minum untuk
menenangkanku. Ibu pemilik rumah mengeluarkan kotak
P3K dari dalam rumahnya. Aku mengernyit menahan
perih saat Ibu tersebut membersihkan lukaku dan
mengoleskan obat anti septik sebagai pertolongan
pertama. Seorang Bapak yang hendak berangkat bekerja
berhenti dan menawarkan mengantarku ke dokter.
“Mari, nak Bapak antar ke dokter. Sepedamu
sementara di titipkan dahulu di sini.” Bapak itu
menawarkan.
“Terima kasih, Pak. Tapi saya rasa tidak perlu,
nanti Bapak terlambat bekerja. Biar saya membonceng
saja pada teman saya.” Aku menoleh pada Puput yang
berdiri di sampingku.
“Tetapi luka itu bisa infeksi. Paling tidak jika ke
dokter, akan diberikan obat untuk meredakan rasa
sakitnya. Bapak rasa itu tidak akan lama.” Bapak itu
menjelaskan.
“Tidak, Pak terima kasih. Kami sedang terburu-
buru sekolah. Karena hari ini kami ada ulangan.”
Akhirnya Bapak itu menyerah dan hanya mengantarku ke
sekolah dengan mengikuti Puput yang bersepeda di
depannya.

Setelah mengucapkan terima kasih kepada


Bapak yang mengantarku, aku menuju ke kelasku
dengan dipapah oleh Puput. Terlihat sekali ia merasa
sangat bersalah kepadaku. Ia tak mengizinkanku
kemana-mana, bahkan untuk membeli minum di kantin
pun ia yang pergi membelikannya. Ia juga membelikanku
berbagai kudapan karena tahu kakiku masih terasa sakit
untuk berjalan ke kantin yang letaknya tak jauh dari
kelasku.

Pulang sekolah Puput memboncengku hingga


tiba di rumah. Ia berjanji besok akan mengantarku
mengambil sepedaku yang di titipkan di rumah warga
yang tadi menolong kami. Aku mengangguk dan
berterima kasih padanya karena sudah mengantarku
pulang.

“Assalamualaikum” salamku sambil membuka


pintu yang tidak terkunci.
“Wa’alaikumsalam” wajah ibu muncul dari dapur.
Mata ibu langsung tertuju pada kakiku ketika di lihatnya
aku berjalan terpincang mencium tangannya.
“Kakimu kenapa, nak?” ekspresi kecemasan
mendadak muncul di wajah ibu.
“Kenapa bajumu kotor sekali? Apakah sesuatu
terjadi padamu? Lalu dimana sepedamu?” Ibu
menuntunku ke kamar. Cepat ibu melesat ke dapur untuk
mengambil gelas dan menuang air dari dalam kulkas.
“Ini, minumlah dulu.” Perintah Ibu.
“Apakah sesuatu yang buruk terjadi padamu?”
tanyanya sekali lagi.
“Reni jatuh dari sepeda, Bu, tadi saat berangkat
sekolah.” Jawab Reni sambil mengaduh kesakitan.
“Astaghfirullah!” pekik beliau.
“Tetapi kamu tidak apa-apa kan, nak?” Tanya
Ibu.
“Tidak apa-apa, Bu. Hanya kaki Reni saja yang
sakit karena tertimpa sepeda.” Aku menunjukkan luka
lecet di lututku yang sudah di berikan obat anti septik oleh
orang-orang yang tadi sudah menolongku.
“Bagaimana awalnya sampai jatuh dan tertimpa
sepeda?” Ibu mengambil duduk di sebelahku yang
sedang memijat-mijat kakiku yang masih terasa nyeri.
“Reni mengendarai sepeda sambil bercanda
dengan Puput, Bu, lalu karena terlalu seru bercanda,
Reni tidak bisa mengendalikan sepeda dan kemudian
terjatuh.” Menyadari kesalahanku, aku menunduk tanpa
berani memandang wajah Ibu. Karena aku tahu aku
sudah bersikap ceroboh, terutama saat sedang di jalan
raya dan ada kendaraan lain yang melintas. Untung saja
hanya kecelakaan kecil, itupun sudah membuatku belajar
untuk lebih berhati-hati dengan tidak mengulanginya lagi.
Ibu membelai rambutku lembut. “ Nanti sore biar
Ayah dan Kakak saja yang mengambil sepeda Reni
sekalian mengucapkan terima kasih kepada orang-orang
yang sudah menolong Reni, sementara Reni istirahat
saja di rumah. Besok akan ibu pamitkan pada Bu Ana
kalau Reni izin tidak masuk sekolah karena sakit.” Aku
memeluk Ibu dengan perasaan lega dan bahagia karena
Ibu tidak marah.

Anda mungkin juga menyukai