kesiangan. Aku tidak menyadari jika acara TV yang kutonton selesai hingga larut malam. Aku pun terburu- buru mandi, lalu memakai seragam yang sudah aku siapkan sebelumnya. Tak lupa aku berpamitan dan mencium tangan kedua orangtuaku.
Dalam perjalanan menuju sekolah, aku bertemu
dengan Puput, kemudian mengajaknya berangkat bersama-sama. Rumah Puput memang tidak jauh dari rumahku, hanya beberapa gang saja.
Puput mengeluarkan sepeda lipat merahnya dari
halaman. Di perjalanan menuju sekolah kami mengobrol banyak hal. “Kamu sudah mengerjakan PR dari Bu Ana?” tanya Puput padaku. “Sudah. Memangnya kenapa? Kamu belum ya?” godaku. “Iya. Aku lupa karena aku terlalu asyik bermain he..he..he..” Puput terkekeh. “Dasar pemalas.” Aku mencubit lengan Puput, dan ia membalas mencubitku. Kami tertawa-tawa di atas sepeda kami masing-masing. Sampai kemudian sepedaku oleng, dan aku tak mampu mengendalikannya. BRUK! Aku terjatuh bersama sepedaku. Aku menangis menahan sakit dan perih di kakiku yang tertindih sepeda. Setelah menjagang sepedanya, Puput segera membantu menolongku. Beberapa orang yang melihat peristiwa itu pun berlari membantu memapahku ke rumah salah satu warga dan memberikanku minum untuk menenangkanku. Ibu pemilik rumah mengeluarkan kotak P3K dari dalam rumahnya. Aku mengernyit menahan perih saat Ibu tersebut membersihkan lukaku dan mengoleskan obat anti septik sebagai pertolongan pertama. Seorang Bapak yang hendak berangkat bekerja berhenti dan menawarkan mengantarku ke dokter. “Mari, nak Bapak antar ke dokter. Sepedamu sementara di titipkan dahulu di sini.” Bapak itu menawarkan. “Terima kasih, Pak. Tapi saya rasa tidak perlu, nanti Bapak terlambat bekerja. Biar saya membonceng saja pada teman saya.” Aku menoleh pada Puput yang berdiri di sampingku. “Tetapi luka itu bisa infeksi. Paling tidak jika ke dokter, akan diberikan obat untuk meredakan rasa sakitnya. Bapak rasa itu tidak akan lama.” Bapak itu menjelaskan. “Tidak, Pak terima kasih. Kami sedang terburu- buru sekolah. Karena hari ini kami ada ulangan.” Akhirnya Bapak itu menyerah dan hanya mengantarku ke sekolah dengan mengikuti Puput yang bersepeda di depannya.
Setelah mengucapkan terima kasih kepada
Bapak yang mengantarku, aku menuju ke kelasku dengan dipapah oleh Puput. Terlihat sekali ia merasa sangat bersalah kepadaku. Ia tak mengizinkanku kemana-mana, bahkan untuk membeli minum di kantin pun ia yang pergi membelikannya. Ia juga membelikanku berbagai kudapan karena tahu kakiku masih terasa sakit untuk berjalan ke kantin yang letaknya tak jauh dari kelasku.
Pulang sekolah Puput memboncengku hingga
tiba di rumah. Ia berjanji besok akan mengantarku mengambil sepedaku yang di titipkan di rumah warga yang tadi menolong kami. Aku mengangguk dan berterima kasih padanya karena sudah mengantarku pulang.
“Assalamualaikum” salamku sambil membuka
pintu yang tidak terkunci. “Wa’alaikumsalam” wajah ibu muncul dari dapur. Mata ibu langsung tertuju pada kakiku ketika di lihatnya aku berjalan terpincang mencium tangannya. “Kakimu kenapa, nak?” ekspresi kecemasan mendadak muncul di wajah ibu. “Kenapa bajumu kotor sekali? Apakah sesuatu terjadi padamu? Lalu dimana sepedamu?” Ibu menuntunku ke kamar. Cepat ibu melesat ke dapur untuk mengambil gelas dan menuang air dari dalam kulkas. “Ini, minumlah dulu.” Perintah Ibu. “Apakah sesuatu yang buruk terjadi padamu?” tanyanya sekali lagi. “Reni jatuh dari sepeda, Bu, tadi saat berangkat sekolah.” Jawab Reni sambil mengaduh kesakitan. “Astaghfirullah!” pekik beliau. “Tetapi kamu tidak apa-apa kan, nak?” Tanya Ibu. “Tidak apa-apa, Bu. Hanya kaki Reni saja yang sakit karena tertimpa sepeda.” Aku menunjukkan luka lecet di lututku yang sudah di berikan obat anti septik oleh orang-orang yang tadi sudah menolongku. “Bagaimana awalnya sampai jatuh dan tertimpa sepeda?” Ibu mengambil duduk di sebelahku yang sedang memijat-mijat kakiku yang masih terasa nyeri. “Reni mengendarai sepeda sambil bercanda dengan Puput, Bu, lalu karena terlalu seru bercanda, Reni tidak bisa mengendalikan sepeda dan kemudian terjatuh.” Menyadari kesalahanku, aku menunduk tanpa berani memandang wajah Ibu. Karena aku tahu aku sudah bersikap ceroboh, terutama saat sedang di jalan raya dan ada kendaraan lain yang melintas. Untung saja hanya kecelakaan kecil, itupun sudah membuatku belajar untuk lebih berhati-hati dengan tidak mengulanginya lagi. Ibu membelai rambutku lembut. “ Nanti sore biar Ayah dan Kakak saja yang mengambil sepeda Reni sekalian mengucapkan terima kasih kepada orang-orang yang sudah menolong Reni, sementara Reni istirahat saja di rumah. Besok akan ibu pamitkan pada Bu Ana kalau Reni izin tidak masuk sekolah karena sakit.” Aku memeluk Ibu dengan perasaan lega dan bahagia karena Ibu tidak marah.