Anda di halaman 1dari 5

Sudah sewajarnya kalau anak perempuan dekat dengan ibunya, bukan? Ya, akupun demikian.

Hubunganku dan bunda selayaknya ibu dan anak idaman yang sering muncul di #fyp aplikasi
Tictac, hangat. Tapi, aku menyembunyikan satu rahasia besar yang tidak pernah berani aku
utarakan pada bunda.

Kenyataan kalau aku sangat membencinya.


***
Pagi ini mendung,dan nyiur udara dingin terasa mengitari wilayah rumahku,atau barangkali
seantero Jakarta. Kuduga, hari ini akan hujan sepanjang hari. Tapi, tidak apalah, toh aku tidak
punya banyak rencana hari ini.
Aku berjalan dengan malas menuju meja makan, sementara bunda masih berkutat di dapur
dengan celemek hijau kesayangannya sekaligus setelan kerja berwarna khaki yang membuat
penampilan bunda dari belakang seperti gadis seumuranku.
“Loh, kok belum berangkat, Bun?”tanyaku singkat sembari duduk dan langsung mencomot
bakwan jagung yang sepertinya baru saja matang.

Bunda adalah seorang senior bisnis konsultan di salah satu perusahaan asing. Biasanya, pukul
06.30 bunda sudah berisik karena takut terlambat tapi ini sudah pukul 08.03 dan bunda masih
dalam mode tenang-tenang saja.

“Eh, nona muda tumben sudah bangun, baru mau Bunda bangunin, loh”sahut bunda sambil
melepas celemeknya dan menghampiriku dengan membawa segelas jus mangga.
“Issh, sukanya ditanya malah balik nanya, Bunda nih!”
“Ngambek! Dasar ambekan. Bunda izin berangkat siang, Kak.”
“Loh, kenapa?”
“Kok kenapa sih? Kan hari ini Kakak wisuda. Kakak lupa?”
Aku ternganga mendengar jawaban bundaku. Sepertinya bunda memang paling jago dalam hal
terlalu berlebihan dengan apapun yang menyangkut diriku. Ini hanya wisuda daring, apa yang
diharapkan dari ritual yang terlalu ketara simbolis ini,sih?
“Kak! Kok malah bengong,sih? Ayo buruan sarapan, keburu jam 10 loh”imbau bunda disertai
tangannya yang gesit menyendokkan sayur ke piringku.
“Bun, Kakak aja gak berniat ikut, kenapa Bunda yang riweh sih?”
“Nggak ikut? Maksudnya?”
“Ya nggak ikut. Kakak mau tidur, capek habis ngedit video semaleman. Tapi tenang Bun, Kakak
udah bayar joki buat gabung ke acara nanti kok”
Bunda terdiam dengan tangan yang terhenti di udara karena sebelumnya hendak menyeruput
kopi.
“Kakak bercanda? Ini sekali seumur hidup loh, Kak? Terus mau dijokiin gitu aja? Nggak! Bunda
nggak bolehin. Pokoknya Kakak harus datang!”seru bunda yang disertai pelototan tajam.
Aku mendengus dan memutar bola mata. Memang tidak sopan, tapi beginilah aku ketika tahu
apa yang akan terjadi setelah ini. Bunda terlalu berbeda denganku dalam menghadapi berbagai
hal, dan aku paling tidak suka bila terpaksa melakukan apapun dengan caranya. Akhirnya aku
tertawa.
“Oke. Tapi Kakak minta hadiah” kali ini aku tidak ingin kalah begitu saja. Aku harus menggunakan
taktik yang berbeda.
“Oke! Nanti Bunda carikan hadiah untuk Kakak” jawabnya tenang.
“Hadiahnya harus apa yang Kakak mau ya, Bun”
“Memang Kakak mau apa?”
Aku sudah selesai sarapan. Aku beranjak dari meja makan ke dishwasher sekaligus sedang
menyiapkan serangan untuk perempuan yang sangat kucintai tetapi juga yang menghancurkan
hatiku sehancur-hancurnya.
“Apa Kak?”ulang bunda sekali lagi.

Setelah selesai mencuci piring, aku berjalan ke arah bunda sembari mencari sesuatu di saku
celanaku. Saat sampai di depan bunda, kuletakkan selembar kertas kecil yang menampakkan
gambar sepeda. Bunda terperanjat dan langsung berdiri seiring gerimis yang mulai turun.
“Tidak!”ucap bunda tegas.
“Ayolah, Bun. Kakak gak pernah minta apa-apa kan ke Bunda? Sekali ini aja. Kakak cuma ingin
Bunda belikan sepeda ini ”
Aurumanian Crystal. Sebuah sepeda yang memiliki sejarah yang sangat besar bagi keluargaku.
Sepeda yang kuketahui secara singkat adalah penyebab abah dan bunda bercerai.
Abahku adalah seorang atlet sepeda. Sepeda kesayangan yang selalu abah pakai dari tahun 2008
adalah Aurumanian Crystal yang diberi nama Aran yang merupakan kependekan dari Aurumanian
Rania. Enam tahun lalu, saat umurku 15, abah mengalami kecelakan mobil sepulang bersepeda di
Puncak. Abah terluka serius hingga menyebabkan karirnya sebagai atlet hancur. Sejak saat itu,
abah dan bunda sering bertengkar, dan mereka selalu meributkan si Aran. Hingga setahun
kemudian mereka bercerai, atau lebih tepatnya bunda ngotot meminta cerai karena abah tidak
mau menjual Aran.

Lima tahun berlalu. Aku bukan lagi gadis remaja yang hanya bisa mendengar dan mengikuti
keinginan bunda. Aku bukan remaja yang bisa dibohongi dengan alasan kalau abah dan bunda
hanya tidak bisa lagi bersama.

Mengungkit kisah abah tentu bukan hal bagus di hari yang harusnya sangat membahagiakan
bagiku ini. Tapi aku hanya ingin bunda menjelaskan semua padaku. Aku hanya ingin tahu kenapa
bunda sejahat itu pada abah dan diriku.

“Tidak! Ke kamar sekarang! Kamu perlu siap-siap untuk wisuda”titah bunda pelan.
“Bun, ayolah. Boleh ya”rengekku.
“Rania! Jangan merengek seperti anak kecil! Cepat ke kamar!”

Aku tersentak. Bunda tidak pernah menggunakan nada tinggi padaku. Tidak sekalipun. Aku
berjalan meninggalkan bunda, tapi sebelum aku menapaki tangga pertama, aku berhenti.

“Apa karena itu sepeda kesayangan Abah, jadi Bunda tidak memperbolehkan aku memilikinya?
Ternyata Bunda masih seegois dulu”
“Rania Khanza! Jaga bicara kamu!”bentak bunda.
“Kamu minta apa saja, akan Bunda berikan, bahkan nyawa Bunda sekalipun tapi tidak dengan
sepeda itu!”

Aku tertawa sinis. Lagi-lagi bunda berbicara seolah-olah hanya dia yang menyayangiku. Aku
berbalik menghadap bunda, ternyata bunda juga sedang menatapku dengan tatapan yang sulit
kuartikan.
“Kalau begitu, cukup jawab pertanyaan Kakak, Bun. Kenapa Bunda sejahat itu meninggalkan
Abah, padahal Abah sedang terpuruk? Kenapa kalian bercerai?!”tanyaku menggebu.
“Kamu nggak perlu tahu”jawab bunda lirih.
“Kenapa? Rania udah besar, Bun, bukan anak kecil lagi yang gak bisa mikir, yang gak bisa
mencerna. Kenapa Kakak gak boleh tau apa yang menyebabkan hidup Kakak berantakan karena
punya keluarga yang gak utuh lagi?! Kenapa Bunda?! Jawabannya karena Bunda terlalu egois! “

“Bunda hanya ingin semuanya sesuai dengan pedoman yang menurut Bunda benar! Bunda nggak
mau bersama Abah yang sudah hancur! Bunda nggak mau menerima kegagalan. Makanya Bunda
selalu mengatur hidup Kakak sedemikian rupa. Tahu nggak Bun, Kakak capek terus pura-pura jadi
anak baik buat Bunda,capek Bun! Kakak ikutin semua keinginan Bunda, cuma biar Kakak bisa
tetap hidup. Kalau Kakak sudah nekat menjalani kehidupan yang Kakak inginkan, mungkin Kakak
sudah bunuh dari dulu!”

“Rania! Semua yang Bunda lakukan itu demi kebaikan kamu, kamu cuma gak perlu tahu
alasannya” balas bunda.

Dalama 21 tahun hidupku, baru kali ini aku bertengkar dengan Bunda. Baru kali ini aku melihat
Bunda menahan tangis sekaligus amarah yang sebenarnya sudah sangat jelas hampir meledak
itu.

Aku diam dengan air mata yang sudah sedari tadi mengalir. Aku tidak tahu apakah yang kulakukan
ini benar atau tidak, tapi aku tidak boleh mundur. Bunda terlalu menutupi segalanya dan aku
sudah tidak tahan lagi.

“Demi kebaikan Kakak ya? Jadi, menjauhi Abah sendiri itu juga kebaikan? Itu cuma ego Bunda!
Bunda gak maukan kalau Kakak dekat sama Abah, terus akhirnya tahu kalau disini, Bundalah
penjahatnya!”

Bunda menatapku. Hanya menatapku kemudian berbalik hendak meninggalkan arena


pertarungan yang tidak semestinya tercipta.

“Bunda! Jawab Kakak! Pergi terus. Apa cuma itu yang bisa Bunda lakukan? Menjadikan pergi
sebagai jalan keluar setiap ada pertengkaran. Dulu, dengan Abah minta cerai, sekarang apa?
Mencoret Kakak dari Kartu Keluarga, begitu?!” teriakku.

Bunda berbalik dan mendekatiku. Sekarang aku bisa melihat dengan jelas kalau bunda sudah
menangis. Selama hidupku, aku hanya pernah dua kali melihat bunda menangis. Yang pertama
kali ketika abah dan bunda resmi bercerai. Malam setelah persidangan, aku melihat bunda
menangis semalaman di kamarnya. Dan yang kedua kali adalah saat ini.

“Apa selama ini hanya itu yang ada dipikiran kamu, Kak? Apa Bunda tidak pernah terlihat tulus
saat mendidik dan menyayangi kamu?”tanya bunda pelan diiringi air matanya yang terus
mengalir.

Aku memalingkan wajah. Aku tidak tahu antara aku merasa bersalah atau muak,hanya saja aku
tidak kuasa melihat bundaku menangis.
“Bunda tidak menyayangi Kakak. Bunda hanya ingin menjadikan Kakak sebagai piala agar orang-
orang menganggap meskipun orangtua tunggal, Bunda tetap berhasil mendidik anak!
Iyakan?”jawabku.

Aku yang mengucapkan, tapi aku sendiri merasa terluka dengan ucapanku. Kenapa ini terasa
sangat salah? Bukankah aku membenci bunda? Seharusnya ini mudah.

Aku memantabkan hati untuk kembali menatap wajah bunda. Aku merasakan kehangatan dari
pandangan mata yang berurai air mata itu. Bunda mengelus kepalaku pelan.

“Anak Bunda ternyata sudah besar. Sudah bisa bertengkar dengan Bunda. Maaf ya, Bunda selalu
menganggap kamu masih kecil sampai tidak sadar kalau kamu seharusnya memilih jalanmu
sendiri”ucap bunda pelan masih dengan tangannya mengelus kepalaku.

Tapi aku muak. Aku benar-benar benci bunda yang selalu bisa mengendalikan emosinya. Akupun
menepis tangan bunda lalu menatapnya tajam.

“Rania benci Bunda! Hanya karena sepeda, Bunda menceraikan Abah! Hanya karena sepeda,
Bunda menghentikan impian Rania yang juga ingin menjadi atlet! Hanya karena sepeda bernilai
milyaran itu, Bunda menghancurkan semuanya! Rania tidak pernah ingin jadi seperti Bunda,
karena Bunda pecundang!”desisku tanpa gentar.

‘Plak’

Bunda menamparku. Untuk pertama kalinya. Ternyata disinilah batas kesabarannya. Aku sudah
mendapatkan salah satu keinginanku, kemarahannya.

“Cukup Rania! Itu bukan “hanya” sepeda seperti yang kamu kira! Sudah cukup kamu
merendahkan Bunda. Sepeda sialan itulah yang hampir membuat Bunda kehilangan kamu! Kamu
pikir, Bunda melarang kamu bertemu dengan Abahmu hanya karena ego Bunda? Kamu salah
Rania, Bunda hanya tidak mau kamu membenci Abahmu kalau kamu tahu kenyataan bahwa
Abahmu lebih memilih sepedanya ketimbang kamu! Iya, Rania. Abahmu terlilit hutang karena
gagal maju perlombaan, jadi Abahmu harus mengganti rugi uang kontrak yang tidak kecil. Hanya
si Aran yang bisa membebaskan hutangnya, tapi dia berkeras enggan menjual sepeda itu. Sampai
suatu malam, teman Abahmu datang, menawarkan bantuan bersyarat. Kamu mau tahu
syaratnya? Syaratnya adalah kamu, Rania! Kamu! Temannya ingin menikahi kamu yang baru
berumur 15 tahun. Kamu boleh tidak percaya, tapi pada akhirnya Abahmu hendak mengiyakan
tawaran temannya. Bunda harus berusaha keras mencegah kegilaan Abahmu, meskipun Bunda
harus merelakan pernikahan Bunda”

Aku jatuh terduduk di lantai berusaha memahami semuanya. Tidak mungkin abah sejahat itu,
tidak mungkin. Aku tertawa dan menangis sesenggukan.

“Kamu pikir Bunda menginginkan semua ini? Tidak, Rania! Tidak sekalipun. Dalam doapun Bunda
selalu meminta pada Tuhan agar keluarga kita selalu utuh. Bunda tidak pernah ingin menyakiti
kamu dengan perceraian. Bunda juga tidak pernah ingin meninggalkan Abahmu sendirian. Tapi
akhirnya Bunda harus memilih antara menyelamatkan Abahmu, atau kamu. Itu bukan pilihan
mudah, Rania. Bunda sangat mencintai Abahmu, tapi Bunda tidak bisa menghancurkan masa
depanmu. “

“Bunda tidak ingin kamu membenci Abahmu, jadi Bunda berusaha menutup semua akses yang
bisa membawamu dekat dengan Abahmu, salah satunya dengan menghentikan kesukaanmu
terhadap sepeda dan cita-citamu sebagai atlet. Bunda hanya tidak ingin kamu semakin terluka
karena semua ini. Tapi inikan, yang kamu mau? Bunda tidak pernah bohong perihal akan
memberikan semuanya untukmu.”

Anda mungkin juga menyukai