“Kasihhh”, teriak ibukku dari luar. “Iya bu, sebentar”, jawabku sambil tergesa-gesa
keluar dengan membawa piring-piring yang disuruh ibu untuk aku ambilkan. Sesampainya
diluar, ibu marah-marah kepadaku, “kamu ini lelet sekali, kerja itu harus cepat dasar anak
pemalas kau ini,” teriak ibuku memaki-makiku di depan pelangganya, ibukku penjual
gorengan, entah mengapa ibu tidak malu memaki-makiku didepan orang banyak, apa dia
tidak sadar yang dipermalukan itu anaknya sendiri, aku tak mengerti. Begitulah hari-hari
yang aku jalani, tidak pernah 1 haripun ibu libur memarahiku, setiap hari dia selalu
memarahiku, setiap hari dia selalu marah-marah kepadaku, padahal aku rasa tidak ada salah
pada diriku, tapi kenapa dimatanya aku selalu salah ?. hufftttttht......seperti tidak ada pun
sedikit rasa sayang ibu kepadaku, layaknya seorang ibu yang tidak menyayangi anaknya.
Jujur saja aku iri dengan tetanggaku yang mendapat kasih sayang dari orang tuanya, seumur
hidupku aku cuman mengenal 1 orang keluargaku yaitu ibu. Aku tak pernah kenal pada
bapakku, ibu tak pernah mau memberitahu siapa bapakku setiap kali aku bertanya, “ibu,siapa
bapakku? Dimana dia sekarang ? apakah dia masih hidup ?”, tanyaku pada suatu hari pada
ibu, “ Ahh, sudahlah, jangan kau bertanya-tanya siapa bapak kamu, sampai kapan pun kau
tidak akan pernah tahu dan ketemu siapa bapak kamu”, bentak ibu. “Tapi mengapa bu ?.....
aku hanya ingin tahu siapa sebenarnya bapakku, selama ini aku tidak pernah tahu siapa
“Kalau kamu mau tahu, cari tahu sendiri, pergi dari rumah ini dan jangan kembali
lagi,” sambil meninggalkan kritik kenapa ibu selalu berkata kasar kepadaku, selama ini aku
tidak pernah melihat dia tersenyum kepadaku, dia tidak pernah memperdulikan aku saat aku
susah, dia tidak pernah menghibur aku saat aku sedih, tidak pernah mengusap air mataku saat
aku menangis, aku bagaikan hidup sendiri di dunia ini, aku heran dengan ibu dia tidak pernah
menganggap aku sebagai anaknya, aku memang jauh berbeda dengan ibu, dari segi fisik
sangat bertolak belakang, aku yang tinggi dan putih, sedangkan ibu hitam dan kerdil, bahkan
orang-orang bilang aku seperti orang indo, apa lagi rambut aku yang pirang, sedangkan ibu
seperti orang negro, aku tidak pernah mempermasalahkan hal ini, padahal tetangga,
pelanggan ibu dan teman- teman sering heran dan mempertanyakan hal itu, tapi aku tak
pernah menghiraukan hingga pada saat ini aku menyadari semua ini, hati kecil ku
berkata,”Sebenarnya apa yang terjadi selama ini?...kenapa aku berbeda dengan ibu
ku?...kenapa dia tidak pernah memberitahu aku siapa bapakku?...kenapa ibu benci
padaku?...kenapa dia tidak memberiku kasih sayang kepadaku layaknya seorang ibu kepada
anaknya?...apa aku lahir tanpa bapak?...atau aku anak pungut?...atau aku anak yang
aku sebenarnya?.
Malam itu aku menangis, aku duduk sendiri didepan rumah, pertanyaan-pertanyaan
itu selalu menghantuiku, kepala aku pusing hingga aku tertidur diteras rumah, ibu tidak
memperpedulikan aku. “Sekarang aku sudah remaja, umurku sudah menginjak 17 tahun,
selam itu juga aku tinggal dengan ibu dengan kehidupan yang penuh dengan kesedihan
bagiku, dulu aku memang tidak pernah mempermasalahkan semua ini, tapi aku sekarang
sudah bisa memikirkannya, aku mulai curiga pada ibu, dia tidak membolehkan aku sekolah,
sholat, jalan-jalan, bermain, bahkan aku ingin memakai jilbab, dia tidak membolehkan aku,
padahal dia orang islam, aku heran. “Aku bagaikan di penjara seumur hidup, aku hanya boleh
dirumah, membantunya berjualan, selama ini aku kenal ibu seorang akau punya teman tapi
tidak bisa berteman bebas, bagi ku dunia ini sangat sempit, hanya sebatas rumah ku dan
tetangga kiri kanan ku saja, rumah yang hanya berdinding atap dan berlantai saja, kami
sangat miskin, aku tetap sabar mengalami semua ini, aku tetap sabar atas penderitaan yang
aku alami”. Jika ibu tidak dirumah, saat itulah aku ada kesempatan untuk pergi kerumah
tetangga, untung tetanggaku baik, dia sering mengajariku tentang sholat, membaca Al-qur’an,
berdo’a pada Tuhan, aku sholat diam-diam. “Aku yakin, sabar itu indah pada waktunya, dan
mudah-mudahan itu akan aku dapatkan pada suatu hari nanti. Tapi kapan ? tapi aku merasa
itu tidak akan terjadi, tidak mungkin ! “, bentakku dalam hati. “semua itu hanya mimpi !
mimpi yang tak mungkin jadi kenyataan, aku tak ingin bermimpi lagi !”, aku menangis
meratapi diriku.
Hingga pada suatu hari aku bertekad ingin pergi dari rumah, aku ingin bebas, meski
aku tidak tahu tujuanku akan kemana, aku akan terus berjalan dan berjalan sampai aku
menemukan cahaya kebahagiaan, mendapatkan kasih sayang yang selama ini aku butuhkan,
mewujudkan semua mimpi-mimpiku yang sangat jauh diangan. Tapi aku tidak akan pernah
putus asa, aku tidak akan menyerah, aku akan tetap mencari kebahagiaan itu sampai
kapanpun dan sampai kapanpun, jika aku tidak dapat kebahagiaan didunia ini, aku hanya
dapat bero’a, karena aku hanya manusia yang lemah dan berselimut dosa semoga Tuhan