Anda di halaman 1dari 3

Buku ini terinspirasi dari kisah anak sopir angkot dari kota Batu yang menjadi direktur di New

York City. Novel ini seperti rekam jejak memori seorang anak kampung dari kesunyian kebun
apel hijau di Batu, lalu meniti hidup dengan keras dan akhirnya menemukan dirinya berkantor di
The Big Apple, kota New York sebagai direktur perusahaan multi nasional. Buku ini adalah
bundelan kertas penting yang dipenuhi dengan hikayat kerja keras, kehangatan keluarga, dan
perantauan.
Cerita berawal saat Iwan bertemu dengan seorang bocah kecil memakai celana pendek merah
dan baju putih berkerah, persis seperti seragam SD-nya. Anak tersebut mengingatkan dengan
kehidupan masa lalu. Kehidupan yang sangat mengiris hati dan menguraikan perjuangan hidup
untuk mendapatkan pendidikan setinggi-tingginya.
Semenjak perjumpaan itu, dia kembali datang dan kembali lagi. Untuk berbagai hal, yang pasti
dia datang menanti untuk menerima dan memberi. Sosoknya mengingatkan Iwan pada masa
kanak – kanak.
Kanak – kanak yang ia habiskan di sebuah rumah. Rumah yang dimaksud bukanlah rumah yang
besar melainkan rumah yang penuh dengan cinta dan kesederhanaan. Di sanalah ia tumbuh
bersama Bapak, Ibu, Mbak Isa, Mbak Inan, Rini, dan Mira.
Perjalanan di SoHo Pagi itu Iwan berjalan di SoHo bersama bocah kecil, di sepanjang perjalanan
ia habiskan dengan bercerita tentang bapaknya yang bernama Abdul Hasim. Ia menceritakan
bahwa bapaknya adalah seorang sopir angkot di jalan – jalan di sekitar Batu Malang. Bapak yang
kini usianya tak lagi muda, bapak yang kini beruban, bapak yang dulu berjuang mati matian
untuk bisa membeli mobil sendiri demi kekuatan keluarga yang harus dipertahankan. Diatas
Brooklyn Bridge sosok bapak yang pernah jatuh dan bangkit itu tergurat. Iwan memeluk bocah
kecil yang berseragam merah putih, dan hanya mampu berbisik “aku kangen bapak”.
Hari berikutnya selepas kelas Yoga bocah kecil itu menemui Iwan. Seperti ada ketergesaan yang
ingin ia tanyakan, dan teryata tentang ibunya. Ibu Ngatinah yang begitu bercahaya. Malaikat
kombinasi cinta kasih, keserhanaan, dan ketegaran yang kuat. Pada bagian ini bagaimanapun
iwan meneteskan air mata, ia ingat persis bagaimana ibunya yang tak bersekolah tinggi itu begitu
lihai mengatur semua yang bisa menyelamat dirinya. Semua yang mungkin bisa mengantarkan
Iwan untuk bisa terbang atau mendayung kapal. “Dialah angin yang mampu mendorong laju
layar kapalnya yang berkali – kali hampir berhenti dan kehilangan arah. Ibuku yang paling
hebat”. Puisi hidupnya!
Kesempatan berikutnya pada bocah berseragam merah putih itu ia menceritakan pula kekuatan
besar Mbak Isa yang membuka segala awal mimpi dengan segenap prestasi yang Mbak Isa
miliki. Sekarang mbak Isa menjadi guru SD.Iwan meneritakan sastra yang indah dari Mbak Inan,
Mbak yang mengajariku banyak hal. Bahkan selanjutnya, meski bocah itu tak datang ia tuliskan
kisah tentang teman setianya, adik perempuan pertamanya Rini. Hingga ia sambung dengan
kisah tentang adiknya Mira, yang terindah. Mira yang kini menjadi dokter hewan, gadis pejuang
yang hebat.
Iwan berkata pada bocah itu, bahwa mereka semua adalah pelangi dalam rumah mungilnya.
Meski atap rumahnya kadang mendung dan hujan, namun semua itu ia yakin akan berganti dan
menjadi indah . Mereka adalah cahaya matahari yang menrefleksikan cinta. Mereka adalah
matahari yang memberikan kekuatan. Mereka adalah matahari yang menyinarkan kegembiraan.
Hingga tercipta pelangi indah dalam rumah kami.
Hari itu musim gugur saat ia menceritakan tentang suka cita Bapak ketika kelahirannya. Selepas
ia puaskan kegemaran barunya, membaca. Iwan menuliskan surat tentang dirinya karena berhari
– hari bocah itu tak datang.Iwan menuliskan rumah semasa kecilnya yang berukuran 6 x 7 meter.
Iwan yang sering kesal saat tetangga berbondong – bondong menumpang untuk menonton
televisi di ruang keluarga yang kala itu sekaligus tempat tidurnya, tempat belajar dan
bermainnya. Dimana ia menghabiskan waktunya untuk berkutat bersama buku. Track record
perjalanan pendidikan Iwan hingga mengingat cita – cita tiruannya sebagai handship. Bahkan
tentang mimpi dan ruang baru yang teretas dari pesona teater.
Kemudian ia menceritakan tentang keberhasilannya masuk jurusan statistika IPB lewat jalur
PMDK hingga super tour masa KKN. Tak ketinggalan juga tentang segala badai yang menerpa
kapalnya. Saat-saat ia harus bertahan dengan keterbatasan, dengan penghabisan dan pinjaman
yang membuatnya pernah mengungkapkan “aku ingin kerja di kawasan “Blok M”.
Keretakan perjalanan yang ia ukir seperti relief, terlebih saat ia akhirnya lulus dan menagih janji
perubahan. Menyambut profesi di Nielsen Jakarta, berlanjut ke Danareksa, hingga Iwan pun
terbang ke Amerika dan berjumpa dengan Mbak Ati.
Kemudian bocah kecil tersebut tersenyum, saat Iwan menceritakan tentang Audrey. Wanita yang
ia kenal di kelas yoga. Wanita yang sempat ia sediakan yoga mat bersebelahan dengannya,
wanita yang kemudian pergi sebelum musim gugur datang menjemput.
Di waktu lain, ia menceritakan pula tentang sesuatu. Ini bukan kisah cinta. Ketika itu autumns,
ketika itu dia yang datang ke New York, saat itu dia yang Iwan sebut sebagai Kalista menetap
selama delapan hari. Gadis yang ia kenal dari facebook, yang menghabiskan enam hari
berkunjung ke Central Park. Gadis yang kemudian pergi kembali melanjutkan perjalanannya,
dan sempat mengatakan Iwill miss you bukan I love you bukan juga good bye.
Hingga akhirnya kerinduannya pada Batu dan rumah membuncah, menyeruak dari sela – sela
kesibukan menjadi Director, Internal Client Management bocah kecil itu berkata berkata akan
pergi. Entah kenapa, setiap ia bertanya bocah itu hanya berkata bahwa “kamu telah lebih dari
kuat dan aku akan meninggalkanmu”.
Sampai suatu hari ketika Iwan akhirnya kembali ke tanah air, Indonesia. Bocah itu ikut
bersamanya bertemu dengan Bapak, Ibu, mbak Isa, Mbak Inan dan lainnya termasuk rumah
kecilnya. Bocah itu melihat Iwan memperagakan yoga pada mereka, ia haanyatersenyum.
Hingga Iwan mengajaknya mendaki gunung Rinjani. Ada sesuatu yang tak pernah bisa Iwan
tuliskan, ada sebuah ruang yang seketika menjadi begitu damai. Ruang yang kemudian
mengatakan semua telah berubah dan akan baik lebih baik dari sebelumnya. Ruang yang
kemudian mengendap bersama sesuatu yang lain yang saling bicara dalam diam dan
kebahagiaan. Ketika itulah bocah kecil tersebut pergi, dengan tenang dan guratan yang sempurna
di puncak Rinjani.
Ketika semua yang menjadi mimpi terdaki. Ketika waktu berjalan, ketika musim berganti. Ketika
hati berbicara untuk kembali, saat itulah 9 summers 10 autumns terpungkasi namun tak berakhir.
“Impian harus menyala dengan apapun yang kita miliki meskipun yang kita miliki tidak
sempurna, meskipun retak retak”-9 summers 10 autumns (Iwan Setyawahyu)

Anda mungkin juga menyukai