Anda di halaman 1dari 6

CERPEN : PEREMPUAN HEBAT

OLEH : FAIHA ANSORI

Aku selalu memanggil dia perempuan hebat. Perempuan yang selalu membawakan senyuman
setiap ia memiliki rasa sakit, perempuan yang tidak pernah mengeluh meskipun selalu
disakiti, perempuan yang selalu memberikan kasih sayangnya dari hati. Dia sangat tulus,
setulus tetesan embun pagi yang selalu menyejukan ubun-ubun kepalaku hingga ke dasar
hati. Dia itu adalah makna dari kehidupanku, ketika dia hilang, itu sama saja dengan
membunuh kehidupanku pelan-pelan. Sekali lagi, dari ujung langit-langit malam aku
bersorak, engkau memang perempuan hebat!

Pagi itu matahari mulai menggantung tersipu, aku mengintipnya dari balik tirai kusam yang
sudah dihiasi sisa asap dari kepulan api lampu tempel. Sesekali aku hirup angin yang berlalu-
lalang dengan anggun, namun sayang, kenikmatan itu berhenti sesaat ketika perempuan
hebat-ku sedang menunduk terisak di bawah jemuran kain samping. Hmmh, ini memang
sudah menjadi sarapan setiap pagi. Sebelum aku memakan sesuap nasi putih sebagai sarapan,
sebelumnya aku harus menahan rasa getir melihat kesedihan perempuan hebat itu sebagai
hidangan pembuka. Mungkin karna itulah sampai saat ini aku masih kurus kerontang seperti
ini.

Dengan sigap aku hampiri perempuan hebat itu. Aku ambil sapu tangan kusut dari saku
seragamku. Kuhapus pelan-pelan air matanya sambil berusaha menghiburnya. Lalu dia
tersenyum sesaat dan lagi-lagi memberikan pancaran kasih sayang yang tidak terkira.
Jadilah orang pinter ya, nak! Jangan pernah kecewakan ibu.
Kamu harus menjadi orang yang sukses. Jangan pernah menjadi seorang wanita seperti
ibumu ini. Kamu harus mencari laki-laki yang baik, yang bisa menerima kamu apa adanya
tanpa melihat kejelekan atau keburukan yang kamu miliki. Insyaallah dia akan menjadi
pendamping hidup yang terbaik untukmu.
Aku mengangguk dengan begitu bersemangat.
Akan kuhadiahkan piala-piala buat ibu, nilai yang bagus buat ibu, piagam-piagam buat ibu,

1
dan kalau aku sudah sukses akan aku buatkan untuk ibu rumah yang bagus,
Aku memeluk perempuan hebat itu dengan penuh rasa cinta. Ternyata aku menjadi manusia
paling beruntung memiliki perempuan hebat sepertinya. Dia membelaiku dan sesekali
mengecup kepalaku. Sesaat aku rasakan, beban yang selama ini ia tanggung begitu berat
masih saja ia simpan dengan senyum di balik hatinya yang rapuh. Hari ini mungkin ia
dimaki-maki bapak, besok hari mungkin ia melihat bapak selingkuh, lusanya dia kena pukul
tangan bapak, dan hari-hari berikutnya entah apalagi yang harus dia terima. Tapi sekali lagi ia
tidak pernah mengeluh di hadapanku ataupun saudaraku yang lain, dan dia juga selalu
mengingatkan agar kami tidak membenci bapak. Sayang, umurku baru 12 tahun. Aku masih
belum berani mengajak ibu pergi meninggalkan bapak. Aku masih belum berani menjamin
kehidupan ibu agar bisa lebih baik dari sekarang. Karna itu, aku segera ingin pintar dan
sukses seperti apa kata ibu. Perempuan hebat-ku, tetaplah jadi bintang dalam hidupku untuk
menerangi setiap langkahku yang gelap, batinku. Lalu dengan wajah gamang kusentuh
telapak tangannya.
Bu, ibu masih sedih?
Ibu tidak akan pernah sedih nak, kamu tahu kenapa?
Aku menggeleng pelan.
Karna ibu memiliki kamu,
Benarkah ibu tidak sedih?
Aku menatapnya tajam. Dia hanya tersenyum, kemudian membalikkan badan. Aku yakin dia
menangis. Aku yakin itu.

Aku tidak tau saat ini aku sudah menjadi remaja atau masi anak kecil, tapi semua juga tidak
penting bagiku. Sama saja, aku tidak memiliki hak bertanya apa yang sedang terjadi dengan
ayah dan ibuku saat itu. Aku seolah tak mengenal sama sekali dengan sikap yang ada pada
ayahku. Ia bukan seperti ayah yang kukenal selama ini. Orang yang tadinya lembut dan
penyayang tiba-tiba menjadi monster yang kejam dan tega membuat aku dan ibu harus rela
berkenalan dengan pukulan dan tendangan keras, hingga seluruh tubuh kami sakit berhari-
hari. Dan juga kadang aku merasa aneh, di rumah aku hanyalah seorang gadis remaja yang
pendiam, yang selalu melihat kesedihan ibuku di balik tirai kusam nan kusut itu. Tetapi ketika
aku berada di sekolah, aku menjadi seorang remaja yang periang seperti remaja pada
umumnya, seolah-olah tidak terjadi apa-apa dalam kehidupan yang ku jalani. Aku selalu
menunjukkan wajah ceriaku kepada guru dan teman-temanku.
Kali ini matahari menghajarku habis-habisan. Beberapa peluh dan keringat bercampur
membanjiri leher dan tubuhku. Namun aku masih berlari-lari dengan begitu bersemangat.
Sepatu merk Warrior jaman dulu yang aku pakai sudah hampir lepas dan sobek. Aku tak
peduli, aku ingin memberikan kado special untuk perempuan hebat-ku.

Langkahku mendadak terhenti, perempuan hebat itu tidak berdiri di depan pintu
menungguku. Mendadak menjadi khawatir atau semacam takut yang sedikit menggila. Aku
lihat ibu terkapar di tempat tidurnya. Asmanya selalu kambuh, dan sekarang sebagian
tubuhnya sudah hampir tak bisa digerakkan. Namun dia masih tersenyum melihat
kehadiranku. Perlahan aku berikan raportku padanya, dia tersenyum bangga.
Alhamdullilah, kamu juara lagi, Nak!
Aku mengangguk sambil menahan rasa iba.
Ibu kenapa? Lagi-lagi dia tersenyum.
Ibu tidak apa-apa, nak. Ibu cuma lelah,
Aku hanya terdiam iba ketika perempuan hebat itu dengan antusias melihat satu per satu nilai
raportku. Dia begitu terlihat bangga. Tapi aku yakin dibalik itu sebenarnya dia sedang

2
menderita. Dia lelah bukan karna tenaganya yang terkuras habis. Dia lelah karna kehidupan
yang begitu pahit yang harus dia terima. Memar-memar di paha dan betisnya akhir-akhir ini
selalu menjawab semuanya kalau dia itu selalu disakiti. Batinnya yang selalu menjerit dalam
kelam malam itu seakan bicara kalau dia tidak mau dikhianati. Ya Allah, kenapa kau berikan
seorang laki-laki bejad seperti bapak untuk perempuan sehebat ini?
***
Saat itu aku sudah memiliki pekerjaan, aku sangat bersemangat bekerja agar mendapatkan
uang yang banyak supaya bisa membawa ibu dan adikku pergi meninggalkan rumah yang
penuh dengan penderitaan itu. Perempuan hebat itu mengulurkan kedua tangannya untuk
memelukku. Aku lihat tangan kanannya bergetar-getar seperti menahan sesuatu. Aku semakin
khawatir, perempuan hebatku harus menjadi seperti ini. Aku yakin dia sakit. Aku yakin
batinnya sakit. Aku yakin, dia benar-benar tersakiti. Buru-buru aku memeluknya dan
terisak dipangkuannya. Aku menangis karna aku benar-benar tak kuasa melihat raga ibu yang
semakin hari semakin menyedihkan.
Ibu tidak boleh berdagang lagi, ibu tidak boleh kerja lagi, ibu tidak boleh memikirkan
bapak lagi, ibu harus sembuh, ibu harus sembuh,
Tangisku meledak dalam pangkuannya. Entah kenapa dia memaksaku untuk diam. Dia sama
sekali tidak mengijinkan aku untuk menangis. Dia begitu tega tidak mengijinkan aku bersedih
untuknya sendiri.
Nak, ketika kamu jatuh, jatuhlah! Tapi ketika harus terbangun, bangunlah sendiri. Itu
artinya kamu harus mandiri. Jika suatu saat nanti kamu kehilangan ibu, kamu sudah siap
menjalani kehidupan ini sendirian. Kamu harus jadi anak yang kuat, kamu tidak boleh
menangis.
Aku tahan tangisanku ketika mendengar perempuan hebat-ku berbicara dengan nafas
beratnya. Mencoba menjadi karang seperti apa yang ia katakan, mungkin aku masih belum
mampu. Apalagi harus menjadi perempuan hebat setegar dia. Mungkin ketika aku jatuh, aku
harus mencari ranting atau uluran tangan seseorang, atau bahkan harus menangis merengek-
rengek meminta bantuan orang lain. Karena aku bukan perempuan hebat seperti ibu. Aku
hanya seorang wanita dewasa biasa yang tidak mau kehilangan cahaya hatinya. Aku hanya
seorang anak yang masih ingin dipeluk setiap pagi oleh ibunya. Aku hanya seorang anak
yang akan menangis ketika dia kehilangan sesuatu yang dicintainya. Ibu membelaiku dengan
sayang. Dia selalu menatapku begitu dalam seperti itu.
Tolong bu, jangan tatap aku seperti itu lagi, desisku.
Kenapa, nak?
Aku takut jadi pemberani,
Kenapa harus takut?
Karena ketika aku jadi pemberani nanti, ibu pasti akan meninggalkan aku,
Mendadak perempuan hebat itu terdiam dengan pandangan sayu.
Setiap orang harus pergi, nak. Suatu saat ibu juga akan pergi. Karena ibu sayang sama
kamu, karena itulah ketika ibu harus pergi maka ibu akan pergi,
Aku semakin menunduk, merasa kalah oleh keadaan. Kubasahi raportku dengan tetesan air
mataku.
Sekali lagi ibu bilang, kamu jangan nangis, nak!
Mata ibu mengiris tatapanku. Dan aku terpaku seketika.
Aku menangis, karna merasa disayang seperti ini, disayang untuk ditinggalkan. Kalau
begitu lebih baik ibu tidak menyayangiku,
Jangan bicara seperti itu, nak. Meskipun ibu tidak tahu kapan ibu akan meninggalkan kamu,
tapi ibu yakin suatu saat kamu pasti mengerti. Jika ibu terus-terusan bersamamu itu tandanya
ibu tidak memberikan kesempatan untukmu mempelajari arti kehidupan. Ibu ingin kamu
hidup bahagia dan sukses untuk ibu,

3
Untuk ibu? aku berdesis pelan, aku harus sukses untuk ibu, harus bahagia untuk ibu,
kenapa ibu harus sejahat ini?
Ibu tidak jahat, nak. Ibu sayang sama kamu,
Ibu selalu menyuruhku bahagia. Ibu selalu menyuruhku untuk selalu senang. Tapi kenapa
ibu tidak pernah mengijinkanku menangis? Bahkan ketika aku menangis karna melihat ibu
sedih pun, ibu tidak pernah mengijinkanku,
Kamu salah nak, ibu tidak pernah bersedih,
Kenapa harus bohong?
Ibu tidak bohong,
Aku mendadak kesal bercampur sedih, aku segera beranjak meninggalkan tempat itu. Aku
tidak tahan berdebat untuk kehidupanku yang satu ini. Aku ingin menjadi perempuan hebat
sepertinya, namun aku juga tetap ingin menjadi anak manis yang selalu merindukan kasih
sayang ibunya.
Mau kemana, nak?
Aku terpaku. Aku diam sambil mengusap air mata.
Kemarilah, nak! dia mengulurkan tangannya.
Aku tidak mau bu, aku masih memunggunginya.
Kalau kamu ingin menangis, menangislah dipangkuan ibu sekarang,
Suaranya semakin datar dengan nafas yang tersengal. Mataku langsung berbinar. Aku segera
membalikkan badan ke arahnya dan segera berlari ke pelukannya.
Menangislah nak,
***
Empat tahun sudah, ini adalah sebuah perjalanan panjang untuk perempuan hebatku.
Perjalanan dengan tangan dan kaki yang mati sebelah. Perjalanan dengan segala cacian dari
suami tercinta, perjalanan hidup yang penuh perjuangan untuk selalu bisa tegar di hadapan
dunia. Aku mulai benar-benar kalah dengan keadaan ini. Aku pasrah, dan ibu benar,
semuanya harus diawali dari sekarang. Aku harus membahagiakan ibu ketika aku harus
berusaha tersenyum menjalani semuanya. Tanpa keluh kesah dan rasa sedih. Semakin hari
kondisinya semakin memburuk. Aku tidak pernah tahu apakah bapak juga peduli dengan
perempuan hebat itu. Aku semakin merasa takut, terlebih ketika aku masih belum mampu
memberikan yang terbaik untuknya. Perempuan hebatku benar-benar lumpuh. Aku hampir
tidak percaya, mengapa tuhan memberikan ujian ini pada ibu yang selalu berbakti pada
suaminya. Aku hampir tidak percaya mengapa Tuhan tidak memberikan rasa sakit itu untuk
bapak yang selalu menyakiti ibu? Tuhan tahu tidak, senyum ibu itu sungguh seyum
kehidupan?
****
Tanggal 8 Oktober itu masih menciut di tengah dingin mendung yang menyelimuti desaku.
Aku masih belum faham mengapa angin mendadak bersemilir begitu dingin menusuk sum-
sum tulangku. Aku masih belum faham mengapa hanya awan hitam yang menantang angkuh
di balik gunung itu. Buru-buru aku tutup gorden kumalku. Aku tidak mau berfikiran yang
tidak-tidak. Saat itu aku baru saja pulang mengaji, seperti mau ibu, aku harus bisa ngaji,
karna itulah aku mulai belajar. Aku harus memulai semuanya dari awal, agar aku bisa
menjadi karang seperti mau ibu. Agar aku bisa menjadi tegar seperti mau ibu. agar aku bisa
menjadi perempuan hebat. Itu seperti apa kata hatiku.

Malam itu juga aku mengaji untuknya. Aku berharap ibu mau mendengarkan aku. Meski
dengan suara serak dan terbata-bata, berpikir apakah aku bisa melantunkan surat Yassin
berkali-kali. Sampai tak terasa waktu sudah hampir pagi. Aku masih memandangai wajah ibu
yang masih tertidur. Dia terlihat sangat cantik dan bercahaya. Ada berjuta ketenangan dalam
tidurnya yang indah. Sesaat aku ingin menyelami wajah bidadari yang menjelma menjadi

4
perempuan hebat-ku.
Bu, ibu cantik sekali, batinku. Namun mendadak aku baru sadar kalau ibu sudah tidak
bergeming. Bahkan nafasnya yang naik turun sudah tidak aku lihat lagi. Aku mulai panik.
Saudara-saudaraku datang berhamburan sambil menangis. Ternyata kecerahan raga dalam
tidurnya adalah pertanda kedamaiannya yang abadi.
Dia bukan tidur, dia sudah meninggal, seseorang berbicara seperti itu.
Inalillahi, Mendadak persendianku remuk dan darahku berhenti. Aku seakan ditimbun
batu-batu gunung yang besar dan berat.
Ini tidak mungkin, ini tidak mungkin, ini tidak mungkin! teriakku.
Aku lunglai di bawah kaki ibu. aku menciumi kaki ibu berulang-ulang sambil tak kuasa
menahan tangis.
Bu, jangan tinggalkan aku,
Aku menjerit sebisa-bisanya, berusaha protes untuk suratan yang tidak pernah kukehendaki.
Kubersujud sebisa-bisanya memohon kepada-Nya mengembalikan ibu seutuhnya. Aku
meronta sebisa-bisanya berharap tak ada satupun yang bisa memisahkan aku darinya. Namun
sesaat kulihat sosoknya begitu damai, ternyata perempuan hebatku lebih bahagia dengan
kepergiannya daripada hidup menderita bersamaku. Ya, dia harus pergi. Harus pergi!
****

Akhir Mei 2002 tepat 2 tahun kepergian ibuku, saatnya aku melukis suatu impian. Di tempat
keja aku bertemu dengan seorang laki-laki yang baik hati dan sekarang telah menjadi
suamiku. Awal pernikahan aku di beri cobaan kepada Allah dengan menyatakan bahwa aku
terserang kangker stadiun awal, kala itu aku sangat terpukul, aku berpikir apakar sudah
saatnya aku menyusul ibuku. Aku sangat bersedih, tetapi suamiku selalu menguatkanku. Aku
sangat bersyukur memuliki suami yang bertanggungjawab sepertinya. Saat itu aku sangat
takut jika harus meninggalkannya secepat itu. Aku dan suamipun memutuskan untuk
membawaku ke rumah sakit untuk berobat. Baru beberapa kali melakukan pengobatan,
dokter memberikanku harapan bahwa aku bisa sembuh, aku legah mendengarnya.

Aku mulai menjalani hari-hariku sebagai seorang istri. Aku sangat taat dan tidak pernah
sekalipun menolak jika suamiku membutuhkanku meskipun aku masih sibuk dengan
mengerjakan sesuatu. Sebenarnya suami tidak mengizinkan aku melakukan pekerjaan rumah
tangga. Orang tuanya juga mengizinkan begitu. Dirumah, disediakan dua orang pembantu
yang mengurusi membersihkan rumah dan memasak. Tetapi aku merasa tidak enak hati, aku
juga selalu menginat pesan-pesan yang ibu berikan kepadaku. Aku merasa tidak akan lengkap
hari-hariku sebagai seorang istri tanpa aku sendiri yang menyiapkan makanan dan pakaian
suami. Suamiku pun mengizinkan aku melakukan tugas kecil rumah yang tidak begitu berat.
Setelah sarapan bersama, aku dan suamiku menemui dokter yang baru datang. Selama aku
menjalini pengobatan dengan secara rutin serta dengan kuasa Allah dan doa dari keluarga,
akupun terbebas dari penyakit itu. Dokter mengatakan bahwa aku telah sembuh.

Selamat buk, dengan pengobatan yang ibu jalani selama ini membuat sek kanker yang ada
dalam tubuh ibu itu mati.
Apakah itu berarti bahwa saya telah sembuh, dok?
Iya buk, sekali lagi saya ucapkan selamat.
Aku dan suamiku pun saling bertatapan. Betapa bahagianya aku dan suamiku saat itu.
Setelah itu, aku melanjutkan kehidupanku seperti biasanya, yaitu bekerka sebagai karyawan
perusahan dan mengurus pekerjaan rumah tangga.

5
Cikarang, 21 Juli 2009 20.16 PM

Anda mungkin juga menyukai