Anda di halaman 1dari 178

1.

Bermain Sepak Raga


WAKTU a sar sudah tib a. Am at ce rah hari petan g itu. Langit
tidak beraw an, hening jernih
san gat bagu snya. M atahari
bersinar dengan terang, suatu pun tak ada yang mengalanginya.
Lereng bukit dan puncak poho n-pohonan bagai disepuh rupanya. Tetapi lembah dan temp
at y ang keren dahan bura m
cahayanya. Demikianlah pula sebuah kampung y ang terletak
pada sebuah lembah, tidak jauh dari Bukittinggi.
Dalam sebuah surau, di t epi sungai y ang melalu i kampung
itu, kedengaran orang berkasidah. Suaranya amat merdu, turun
naik den gan beraturan. Apa-lagi karena su ara it u dirintangi
bunyi air sungai yan g mengalir, makin enak dan sedap pada
pendengaran. Seakan-akan dari d
alam sung ai suara itu
datangnya. Hilang-hilang timbul, antara ada dengan tiada.
"Akan menjadi orang laratkah en gkau nanti, M idun?" ujar
seseorang da ri hala man surau sambil naik. "Bukan kah berlagu
itu mengibakan hati dan menjauhkan perasaan? Akhir kelaknya
badan jauh jua karenanya."
"Tidak, Maun ," jawab orang ya ng dipanggilkan Midun itu,
seraya meletakkan tali
yang dipintalnya, "saya
berkasidah
hanya perint ang-rintang duduk. Tidak masuk h ati, melaink an
untuk memetahkan lidah dalam bahasa itu saja. Dari manakah
engkau?"
"Dari pasar. Tidakkah engkau tahu, bahwa petang i ni diadakan permainan sepak raga? Mari k ita ke pasar, kabarnya sekali
ini a mat ramai di sana, sebab b anyak oran g d atang d ari
kampung lain!"
"Sudah banyakkah orang di pasar engkau tinggalkan tadi?"
"Banyak juga jenang pun suda h datang. Waktu saya tinggalkan, orang sedang membersihkan medan."
"Si Kacak, kemenakan Tuanku Laras, sudah datangkah?"
"Belum, saya rasa tentu dia dat ang j uga, sebab dia suk a
pula akan permainan sepak raga."
Midun menarik napas. Maka ia pun berkata pula, k atanya,
"Ah, tak usah saya pergi, Maun.
Biarlah saya di surau saja
menyudahkan memintal tali ini akan dibuat tangguk."
"Apakah seb abnya engkau me narik napas? Bermu suhankah
engkau dengan dia?" ujar Maun dengan herannya.
"Tidak, kawan. Tapi kalau saya dat ang ke sana, bol eh jadi

www.fotoselebriti.net

mendatangkan yang kurang baik."


"Sungguh, ajaib.
Bermusuh tidak, tapi bole
h jadi
mendatangkan yang tidak baik. Apa pula artinya itu?"
"Begini! M aun! Waktu be rdua bel as d i masjid te mpo ha ri,
bukankah engkau duduk dekat saya?"
"Benar."
"Nah, adak ah engkau melihat b agaimana pe mandangan
Kacak kepada saya?"
"Tidak."
"Masa kendu ri itu k ita duduk pada deretan yang di t engah.
Kacak pada deret yan g k edua. Engkau send iri me lihat ket ika
orang kampu ng meletakk an hidangan di hadapan kita. Bertimbun-timbun, hingga hampir sama tingg i deng an duduk kita.
Ada yan g meletakkan nasi, cuku p dengan lauk-pauknya pada
sebuah talam. Ada pula yang meletakkan penganan dan lain lain sebagainya, menuru t kesukaan orang yang hendak bersedekah. Te tapi kepad a Kaca k tidak seberapa, tak cukup
sepertiga yang kepada kita itu."
"Hal itu sud ah sepatutnya, Midun. Pertam a, engkau seorang
alim. Kedu a, engkau di sukai dan d ikasihi orang ka mpung in i.
Oleh Kacak hanya derajatnya jadi kemenak an Tuanku Laras
saja yang dimegahkannya. Tent ang tin gkah laku dan peran gainya tidak ad a yang akan dihar ap. Memang d ia kurang di sukai
orang di seluruh kampung ini."
"Sebab itulah , maka sur am sa ja mukanya melihat hidangan
di muka kita. Ketika ia melayangkan pemandangan nya kepada
saya, nyat a benar terb ayang pa da muka Kac ak ke benciannya.
Cemburu dan jijik agaknya dia kepada saya."
"Suka hatinyalah. Bukankah hal itu kemauan
orang
kampung. Apa pula yang menyakitkan hatinya kepadamu?"
"Benar kat amu, suka ha tinyalah. Ta pi haru s eng kau ingat
pula sebaliknya. Kita ini h anya orang kebanyakan saja, tapi di a
orang ban gsawan tinggi dan keme nakan raja k ita di kampung
ini. Tidakkah hal itu boleh mendatangkan bahaya?"
"Mendatangkan bahaya? Bahaya apa pulakah yang akan tiba
karena itu? Segalanya ak an menjadi pikiran kepadamu. Apa
gunanya dihiraukan, su dahlah. Marilah kita pergi ber samasama!"
"Patut juga kita pikirk an, man a yan g rasanya bol eh mendatangkan yang kurang baik kepa da d iri. Tetapi k alau engkau
keras juga hendak membawa saya, baiklah."

"Ah, belum tumbuh sudah engkau siangi. Terlampau arif diri


binasa, kurang arif badan celaka . En gkau rupanya terlalu arif
benar dalam hal ini. Lekaslah, ti dak lama lagi permainan ak an
dimulai orang."
Maka kelihatanlah dua orang sahabat berjalan men uju arah
ke pasar di k ampung itu. Midun ialah seorang muda yang baru
berumur lebih kurang 20 tahun. Ia tel ah menjadi guru tua di
surau. Pak aiannya yang bersih
dan sederhan a rupanya itu
menunjukkan bahwa ia
seorang yan g suci dan baik hati.
Parasnya b aik, badannya kuat, b agus, dan sehat. Tiada lama
berjalan me reka keduapu n samp ailah ke pasar. Didapat inya
orang sudah banyak dan permainan sepak raga t idak lama lagi
akan dimulai.
Adapun pasar di kampun g itu terletak di tepi jal an besar.
Pada seberang jalan di muka pasar, berderet be berapa bu ah
rumah dan l epau nasi. Di belaka ng ru mah-rumah itu mengal ir
sebuah sungai, Pasar itu diramaikan hanya sekali sepekan, yaitu
tiap-tiap hari Ju mat. Itu pun ramainya hanya hin gga tengah
hari saja. O leh sebab i tu, segala dangau-d angau diangkat
orang. Tetapi dangau-dangau yang sebelah ke tepi pasar dibiarkan tertegak . Gunanya ialah untuk orang mu safir atau siapa
saja yan g su ka bermalam di situ, at au untuk berlindung daripada panas akan melepaskan lelah dalam perjal anan dan lainlain s ebagainya. La in. da ripada hari Jumat, pasar itu dipergunakan orang juga untu k berm ain sepak raga, r apat neger i,
dan lain-lain.
Ketika Midun kelihatan oleh beberapa orang muda di pasar
itu, mereka itu pun datanglah mendapatkannya. Mereka itu
semuanya amat bergirang hati
melihat Midun. Begitu pul a
ketika ia be rsalam den gan or ang-orang tua yang duduk berkelompok-kelompok di situ, nyata terbayang pa da muka orangorang itu kesenangan hatinya.
Apakah sebabnya demikian?
Memang Midun seorang muda yang sangat digemari orang di
kampungnya. Bud i peker tinya a mat baik d an te rtib sopan
santun kepada siapa jua pun.
Tertawanya manis, sedap didengar; tutur katanya lemah lembut . Ia gagah berani lagi baik
hati, penyay ang dan pen gasih, jaran g orang yan g sebaik d ia
hatinya. Sabar dan tak l ekas marah, serta tulus ikhlas dalam
segala hal. Hati tetap dan kemau annya keras; apa yang dimaksudnya jika tidak sampai, belum ia bersenang hati. Adalah

pula padany a su atu sifat yang baik, yakni b arang si apa yang
berdekatan atau bercampur dengan dia, tak dapat tiada senang
hatinya, hilang sedih hati olehny a. Karena itu, tua muda, kecil
besar di k ampung itu kasih dan sayang kepada M idun. Hampir
semua orang di kampungnya kenal akan dia. Sebab itu namanya
tergantung di bibir or ang banyak, dan budi pekertinya diambil
orang jadi teladan.
Orang sudah banyak di pasar, di san a-sini kelih atan orang
duduk berkelompok-kelompok. Orang yang akan menonton permainan se pak raga pun sudah ba nyak pula datang. Anak-anak
sudah berl arian ke san a kemar i, me ncari temp at yang baik
untuk menonton. Ada pul a di an tara mereka itu yang be rmainmain, mi salnya berkucing -kucing, berk uda-kuda dan lain-lain,
menanti permainan dimu lai. Sega la or ang di pasar itu rupanya
gelisah, tidak senang diam. Sebe ntarsebentar melihat ke j alan
besar, sebagai ada yang dinantikannya.
Tidak ber apa lama ant aranya, k elihatan seorang muda
datang menuju ke pasar itu. Ia bercelana batik, b erbaju Cin a
yang ber kerawang pad a saku dan punggungnya. Kopiahnya
sutera selalu, berterompah dan bersarung kain Bugis. Sungguh,
tampan dan alap benar kelihata nnya dari jauh. la berjalan
dengan ga gah dan kocak nya, apalag i diir ingkan oleh beberap a
orang pengiringnya.
"Itu dia Engku Muda Kacak sudah datang," kata Maun kepada
kawan-kawannya.
Mendengar perkataan Maun, oran g yang duduk berkelompok-kelompok itu berdiri. Setelah Kacak sampai ke pasar,
semuanya d atang be rsalam kep adanya. Sungguh pun Kac ak
masih berumur 21 tahun lebih, tetapi segala orang di pasar itu,
baik tua ataupun muda, sangat hor mat kepadanya dan dengan
sopan bersalam dengan dia. Tetap i mereka ber-salam tidak sebagai kepad a Midun, melainka n kebalikannya. Mereka itu
semuanya seolah-olah terpaksa, sebab ada yang ditakutkannya.
Sudah padan benar nama itu di lekatkan kepadanya, karena
bersesuaian dengan tingk ah lakuny a. la tinggi hati, sombong,
dan congk ak. Matanya j uling, kemerah-merahan warnanya.
Alisnya terjorok ke muk a, hidungnya panjang dan bu ngkuk. Hal
itu sudah menyatakan, bahwa ia seorang yang bu suk hati. Di
kampung itu ia sangat dibenci orang, karena sangat angkuhnya.
Perkataannya kasar, selalu menyakit
kan hati. Adat sopan
santun sedikit pun tak ada pada Kacak. Ke mana-mana berjalan

selalu ia pakai pengiring. Bahkan di dalam pemerintahan ia pun


campur pula, agaknya l ebih dar'r mamaknya. Sungguhpun
demikian, seorang pun tak ada yang berani menegurnya, karena
orang takut kepada Tuan ku Laras. Kacak pun seol ah-olah tahu
pula siapa dia: karena itu ia selalu menggagahkan diri di
kampung itu.
"Sudah sepet ang ini h ari, belum ju gakah jenang datang k e
medan?" ujar Kacak dengan agak
keras, sa mbil m elayangkan
pemandangannya, seakan-akan mencari seseorang dalam orang
banyak yang datang bersalaman kepadanya itu.
"Sudah, Engku Muda;" ujar Maun dengan sopan. "Itu beliau di
dalam lepau nasi sed ang bercak ap-cakap. Agaknya beliau
menantikan kedatangan Engku Muda saja lagi."
"Katakanlah saya sudah datang !" ujar Kacak pula dengan
pongahnya. " Sudah hampir terb enam matahari g ila me mbual
juga."
Tidak lama antaranya, keluarlah seorang yang a gak tua dan
bertubuh tegap dari d alam se buah lepau nasi. Orang itu ialah
jenang permainan sepak raga. Baru saja dilih atnya Kacak,
segera ia datang mendapatkannya. S ambil bersal am jen ang
berkata, katanya, "Sudah
lama Engku Muda datang?".
"Lama juga," jawab Kacak de ngan m uka ma sam. "Apak ah
sebabnya tidak dimulai juga ber
main sepak r aga? Akan
dinantikan terbenamnya matahari dulu, maka dimulai?"
"Ah, kami sudah dar i tadi da tang," ujar jenang dengan
hormat, "hanya menantikan Engku Muda saja lagi."
"Mengapa tidak dimul ai saja dulu? Sungguh, jika tak ada
saya rupanya takkan jadi permainan ini."
Segala pen onton sud ah duduk pada tempatny a masin gmasing, yan g telah disediak an oleh pengurus medan itu
sebelum bermain. Maka j enang pun pe rgilah be rsalam ke pada
beberapa or ang penonton yang t erpandang, y ang m aksudnya
tidak saj a memberi
selamat dat ang, tetapi seolah-ol ah
meminta izin juga, bahwa permainan akan dimulai.
"Rupanya banyak juga or ang datang dari jorong lain hendak
bermain hari ini," ujar seor
ang penghulu ketika bersalam
dengan jenang.
"Benar, Datu k," ujar jenang. "Sungguh, luar biasa ramainya
sekali ini."
Setelah jenang masuk k e tengah medan, maka segala

pemain pun datangl ah bersalam de ngan ho rmatnya, akan


mengenalkan diri ma sing-masing. Kemudian seg ala pemain
berdiri berkeliling, mem buat sebuah bundaran di medan itu.
Jenang yang berdiri di ten gah medan, lalu melihat berkeliling,
memperhatikan pemain yang berdiri di medan itu.
"Engku Muda Kacak!" k ata jenang sekonyong-konyong, "Permainan akan kita mulai."
Perkataan jenang yang demik ian itu sudah cukup untuk
menjadi sindiran kepada pemain, agar segera memperbaiki kesalahannya. Kacak kemal u-maluan, te tapi ap a hen dak dikat akan, karena di medan itu jenang lebih berkuasa daripad a d ia.
Dengan muk a merah dan menggi git bibir karena malu dapat
teguran jen ang, Kacak melihat ke k iri-ke kanan, k e muka dan
ke belakang, lalu me mperbaiki teg aknya. Segala p emain yan g
lain in saf p ula akan arti s indiran itu, lalu mereka
memperhatikan betul tidaknya tempat ia berdiri. Syukurlah hanya
Kacak seorang yang tidak sempurna tegaknya di medan itu.
Sesudahnya jenang memperbahasak an tamu, yaitu memberikan raga supaya disepakkan lebih dulu, permainan pun dimulailah. Jenang menyepak raga , lalu berkata, "Bagian Engku
Muda Kacak!"
Maka Kacak pun bersiap menanti raga. Dengan tangkas, raga
itu disepaknya tinggi ke atas, lalu berkata, "Bagianmu, Midun!"
Midun ber siap sert a memandang k e ar ah su ara itu datang.
Nyata kepadanya, bahwa yang berseru itu Kacak. D engan tidak
menanti anak raga, lalu Midun mempertubi-tubikan sepakny a
sampai sepuluh kali. Sudah itu
disepakkannya pu la ke arah
Kacak, lalu berkata, "Sambutlah kembali, Engku Muda!"
Kacak melihat hal Midun deng an kep andaiannya itu tidak
bersenang hati. Ia berkata dalam hat inya, "Berapa kepandaianmu, saya lebih lagi dari engkau."
Ketika raga tinggi melambung, ia memandang ke atas serta
menganjur l angkah ke belakang. M aksudnya akan men cari
alamat, dan hendak melo mpat s ambil menyepak raga, tetap i
celaka! Ket ika i a ak an m enyepak; kakinya yang sebelah kiri
tergelincir, l alu Kacak... bab, j atuh terenyak. Segala y ang
main, baik pun si pen onton se muanya tersen yum sa mbil
membuang muka. Mereka itu seakan -akan menah an tertawanya. Oleh karena itu, tak ada ubahnya sebagai oran g sakit gigi
tertawa. Sebabnya, ialah karena orang segan dan takut kepada
kemenakan Tuanku Laras itu. Wakt
u Kacak terduduk, dan

warna muk anya itu pucat menahan sakit, seorang daripada


mereka yang ma in itu b ernama K adirun berkat a, katanya ,
"Cempedak hutan!"
Adapun Kadirun itu ialah teman Midun semasa kecil. Ia amat
pandai membuat orang tertawa. Tak ada ubahnya sebagai alanalan (badut) pada komidi. Jangankan mendengar perkataannya,
melihat rupanya saja pun orang sudah hendak tertawa. Kadirun
adalah seorang mud a ya ng s abar. Biarpun b agaimana juga
diolok-olokkan or ang, ia tertawa s aja. M eskipun o rang marah
kepadanya, tetapi manakala berhadapan dengan dia, tak dapat
tiada tertawa. Memang sudah menjadi sifat padanya tabiat itu
sejak ke cil. Hamp ir semua orang di ka mpung itu su dah
mengetahui perangai Kadirun yang demikian.
Kawan-kawan Kadirun waktu masih k anak-kanak dahulu,
lebih kurang ada sepuluh orang yang hadir di san a. Mereka itu
mengerti ap a mak sud Kadirun be rkata beg itu. Semuanya
terkenang akan kejadian semasa mereka masih kecil itu, ketika
menggembalakan kerbau di hutan. Karena itu tid ak tertahan
lagi perut mereka itu hendak tertawa. Kesudahannya lepas jua,
mereka tertawa gelak-g elak mengenangkan perb uatan ma sa
dahulu.
Kacak bert ambah pucat muka nya karena malu. Apalagi
dalam permainan itu, ia dialahkan
Midun. Tubuhnya berasa
sakit te rjatuh. Pada
pikiran Ka cak or ang t ertawa itu
mengejekkannya. Sekonyo ng-konyong merah pad am muk anya.
Darahnya mendidih, sebab marah. Maka diturut nya Kadiru n
akan menanyakan, ap a maksud perk ataan " cempedak hutan"
itu. Kadirun anak muda yang sabar itu menjaw
ab katanya,
"Tanyakan kepada Midun apa maksudnya, Engku Muda!"
Mendengar perkataan itu, Ka cak makin meradang. Hatinya
bertambah panas, lebih-lebih mendengar nama oran g yang
dikatakan Kadirun itu, oran g yang tidak disuk ainya. Sejak
kenduri di masjid, hatiny a suda h mulai ben ci kepada M idun.
Dengan tidak berkata-kata lagi, lalu diturutnya Midun.
Ketika ia sampai di hadapan Midun, kebetulan Midun sedang
tersenyum. Pada pikiran Kacak menertawakannya. Ia tidak bertanya lagi, terus ditinjun ya. Midun mengelak, ia tak kena.
Kacak menyerang berturut -turut, tetapi Midun selalu mengelak
diri, sambil undur ke belakang. Kesudahannya Midun tersesak
ke balai-bal ai dangau, l alu bertal ian. Kacak menyerbukan diri
dengan deras. Midun melompat dan mengelak ke kiri. Karena

deras datang, tanganny a tert umbuk ke tonggak dangau.


Tonggak dan gau itu reba h, Kacak ter dorong ke da lam, di impit
oleh atap dangau itu. Orang tertawa karena geli melihat kepala
Kacak tersembul pada atap rumbia. Jenang lalu melompat akan
melerai perk elahian itu. Makin dis abarkan, makin keras Ka cak
hendak men yerang. Midu n sabar saj a, sedikit pu n tak ada
terbayang hati marah pada mukanya.
Setelah Kacak disabark an, Mi dun disu ruh oran g menerangkan apa arti kata "cempedak hutan" yang dikatakan Kadirun itu.
Midun mencari Kadirun dengan matanya di dalam orang banyak,
akan menyuruh meneran gkan art i perk ataan itu. Tetapi ket ika
perkelahian terjadi, Kadirun sudah melarikan diri
karena
ketakutan.
Midun berka ta, katanya, "Kawan-kaw an saya te rtawa itu
sekali-kali t idak menertawakan Engku Muda K acak. Tentu saja
mereka itu tidak berani menertaw akannya. Mereka tertawa
karena men genangkan perangainya semasa k
anak-kanak.
Dahulu wakt u kami kecil- kecil, pergi menggembal akan kerbau
ke hutan. Samp ai d alam hutan, k ami duduk saja di atas
punggung k erbau masing-masing. Samb il m emberi makan
kerbau kami bernyanyi d an ber senda gurau se suka-suka h ati.
Karena pekerjaan itu tidak berfaedah, melainkan menghabiskan
hari saj a, saya ajak kawan-kawan mu fakat di baw ah sepohon
kayu yang rindang. Saya kata kan kepadanya, daripad a bernyanyi, lebih baik kita mencari hasil di hutan itu. Kawan-kawan
tidak mau, karena mereka taku t kerbaunya diserang binatan g
buas. Mak a saya teran gkanlah kepada merek a itu bagaiman a
cerita ayah saya tentang keinginan kerbau menjaga diri d alam
hutan. Saya katakan ju ga, man akala kerbau diserang harimau
misalnya, ti daklah akan t erjaga, sebab kita s emuanya m asih
kanak-kanak.
Mendengar saya men gatakan 'har imau', apala gi d i dala m
hutan, kawan-kawan say a ketaku tan. Mereka mel arang saya
menyebut nama itu sek ali lagi. Jika saya hendak menyebut
juga, disuruhnya panggilkan saja 'inyi!' Perkataan k awan-kawan
saya itu saya bantah pula. Sedangkan nama Allah disebut orang,
istimewa na ma b inatang. Apala gi bi natang itu tidak ak an
mengerti perkataan orang.
Dalam pada saya bercerit a itu, tiba-tiba kedengaran bunyi
sebagai barang jatuh dua kali. Bunyi itu kedengaran tidak jauh
daripada kami. K awan-kawan saya terkejut dan k ecut hatinya.

Pada persangkaan mereka, tak d apat tia da h arimau yan g


melompat. Mereka itu duduk berdesak-desak, masin g-masing
hendak ke tengah ak an melindungi d iri. Berimpit-impit tid ak
bertentu lagu. Kelihatan tak ada ubahnya sebagai on ggokan
kecil. Seorang pun tak
ada y ang berani mengeluarkan perkataan, k arena lidahnya sudah ka ku dan mulut terkatup. Say a
pun sudah tersepit di tengah-tengah, hampir t idak dapat
bernapas lagi. Dengan segera saya terangkan, bahwa hal itu tak
usah ditakutkan sebelum diperi ksa dahulu. Lalu sayapun pergilah ke arah bunyi itu datang, akan melihat apa yang menyebabkan bunyi itu.
Amboi, bunyi yang kami takutkan it u, kiranya 'cempedak
hutan' yang baru jatuh. Keti
ka itu timbullah pikiran say a
hendak memperolok-olokkan kaw an-kawan. Saya ambil kedua
cempedak it u, lalu saya berjalan pe rlahan-lahan ke tempat
kawan-kawan say a. Setelah de kat, saya lemparkan kedua
cempedak itu, sambil berseru, 'Koyak, makan cempedak hutan!'
Mereka itu b erjeritan d an bersiap hen dak lari. Tet api kak i
mereka itu tak dap at lagi d iangkatnya, sebab sudah kaku
karena ketak utan. Sekonyong-ko nyong Maun berseru, katanya,
'Jangan lari, kawan, cempedak hutan kiranya.'
Sudah itu berbagai-bagail ah senda gurau untuk men ghilangkan ketakutan kami. Lebih-lebi h Kadirun yang membuat ulah
ini, sel alu kam i per olok-olokan dengan ce mpedak hutan itu.
Sakit-sakit perut kami te rtawa melihat tingkah lakunya yang
amat menggelikan hati itu.
Demikianlah kisah kami dengan cempedak hutan masa kami
kecil-kecil itu. Jadi nyatalah kepada Engku Muda Kacak ataupun
sanak-saudara yang lain, ba hwa ka mi ti dak menertawakan
Engku Muda, melainkan
tertawa
mengenangkan perangai
dahulu jua."
Segala orang yang mendengarkan cerita itu jangankan diam,
semakin jad i tertawanya. Amat gel i hati or ang mendengar
cerita Midun itu. Kacak mendengar orang makin bernyala-nyala.
Rasakan hen dak ditel annya Midun ketika itu. Pada pikirannya,
jangankan M idun mend iamkan tertaw a oran g, tetapi se akanakan men cari-cari perk ataan ak an m enggelikan hati, sup aya
orang mak in jadi tertaw a. Tetapi apa hendak di katakan, i a
terpaksa berjalan dari tempat itu karena malu. Akan berkelahi
sekali lagi, tentu tidak dibiar kan oran g. Dengan pemandangan
yang am at tajam kep ada Mid un, Kacak pun pulanglah ke

rumahnya.
Permainan sepak raga dihentik an, karena hari sudah jauh
petang. Mak a or ang di p asar itu pun pulanglah k e rumahnya
masing-masing. Midun pulang p ula ke surau. Sepan jang jalan
tampaktampak olehnya p emandangan Kacak yang a mat dalam
pengertiannya itu. Hat inya berdeb ar-debar, khaw atir k alaukalau hal itu menjadik
an tida k baik kepadan ya. Tetapi
kemudian timbul pula pikirannya, dan berkata dal am hati, "Ah,
tidak berutang tak membayar, tidak berpiutang tak menerima,
masakan saya akan dimusuhinya. Karena perangai Kadirun say a
akan dimusuhinya, tidak boleh jadi. Lagi pula masakan perkara
yang sekecil itu akan menjadikan dendam kepada Kacak."

2. Senjata Hidup

TIDAK lama antaranya, perkelahian Kacak dengan Midun sudah


tersiar ke sel uruh kampung. Di lepau-lepau nasi dan pada tiaptiap ru mah, or ang memperkatakan perkelah ian itu s aja.
Percakapan itu hanyak pula yang
dil ebih-lebihi orang. Y ang
sejengkal sudah menj adi seh asta. Dari
seorang makin
bertambah-tambah jua. Ada y ang mengatakan, Kacak a mat
payah d alam perkelah ian itu, sehingga minta-minta a ir. Ada
pula yang b erkata, Midu n minta ampun, sebab takut kepada
Tuanku Lar as, ma mak s i Kacak. Be rbagai-bagailah perkataan
orang, ad a y ang be gini, ada p ula y ang begitu, semau-maunya
saja, ak an mempe rtahankan or ang yang disuka
i dan
dikasihinya.
Anak-anak lebih-lebih lagi. Mere ka it u berlari-lari pulang
akan memberitahukan apa yang telah terjadi di pasar hari itu.
Baru saja sampai di rumah, dengan
terengah-engah karen a
lelah berlari, ia mence ritakan perkela hian itu kep ada ibu dan
adiknya. Ada pula y ang menjadikan pertengkaran dan perkelahian kepada merek a itu, ketika mempercakapkan hal itu
dengan teman-temannya. Sebabnya, ialah k arena anak-an ak
murid Midun mengaj i mengatak an, gurunya yan g menang.
Tetapi yang bukan murid mengatakan Kacak yang berani. Belum
lagi terbenam matahari, mereka itu sudah dat ang ke surau. Di
halaman sur au merek a itu duduk berkelomp
ok-kelompok
mempercakapkan kebera nian gurunya . Kadang-kad ang keceknya itu disertai pula den gan langkah kaki dan gerak tangan,
meniru-niru bagaimana perkelahian itu terjadi.
Tetapi orang yang be rdiri sama tengah dan melihat dengan
matanya sendiri perkelahian itu, memuji kesabaran hati Midun.
Begitu pula ketangk asannya men gelakkan serangan K acak,
sangat men gherankan hati orang. Mereka it u semu anya
menyangka, tak dap at tiad a Mi dun ahli silat, k alau tidak
masakan sepandai itu benar ia mengalahkan serangan Kacak.
Tetapi di antara orang banyak yang melihat perselisihan Kacak
dengan Midun di pasar itu, ada
pula yang amat heran
memikirkan kejadian itu . Apal agi m elihat ke marahan h ati
Kacak dan caranya menyerang Midun, menakjubkan hati orang.
Pada p ikiran merek a itu, ma sakan se suatu se bab yang sed ikit

saja, m enimbulkan ama rah Ka cak yang hampir tak ada


hingganya. Tentu saja hal itu ada ekornya, kalau tidak takkan
mungkin demikian benar kegusaran hati Kacak kepada Midun.
Memang sebenarnyala h pikiran orang yang demik ian itu.
Sejak waktu masih k anak-kanak, sebelum mamak K acak menjadi Tuanku Laras, Midun dan Kacak sudah bermusuhan. Ketika
mereka masih kecil-kec il, acap kali terjadi pe rtengkaran,
karena berl ainan kemau an. Hampir setiap bulan ad a-ada saja
yang menyebabkan hingga merek a itu keduanya terpaksa
berkelahi, m engadu kekuatan ma sing-masing. Teta pi setelah
muda remaja dan telah berpiki ran, maka keduanya sa ma-sama
menarik diri. Apalagi
sejak mamak Kacak sudah menjadi
Tuanku Laras, Midun telah menj auhkan diri darip ada Kacak,
dan ia sudah segan saja kepada kemenakan raj a di kampung
itu.
Sekonyong-konyong ketika berd ua bel as di masjid, Kacak
sudah mulai benci kepada Midun. Kebencian itu lama-kelamaan
berangsur-angsur menjadikan dendam. Tidak saja karena waktu
berdua belas itu Kacak menaruh sakit hati kepada Midun, tetapi
ada pula beb erapa sebab yang lain yang tidak me nyenangkan
hatinya. Pe rtama, Midun dika sihi orang ka mpung, dia tid ak,
padahal ia k emenakan k andung Tuan ku Laras. Kedua, Kacak
mendengar kabar angin, bahwa M idun sudah mendapat
keputusan sil at daripad a Haji Ab bas, tetapi di a se ndiri minta
belajar, tidak diterima ol eh Ha ji Abb as. Ketiga, da lam se gala
hal kalau ada permufak atan pemuda-pemuda, Midun selalu
dijadikan ketua, tetapi dia disisihkan orang saja. Pendeknya, di
dalam pergaulan di kampung it u, Kacak terpen cil hidupnya,
seakan-akan sengaja ia disisihkan orang.
Oleh karen a itu pada
pikiran Kacak, tak dapat tiada
sekaliannya itu perbuatan Midun semata-mat a. Sesungguhnya,
jika t idak dipisahkan orang dal am pe rkelahian di pasar itu,
memang ia hendak menewaskan Midu n benar-benar. Kebencian
dalam hatin ya sudah
mulai be rkobar. Dan lagi karena
mendengar k abar Midun p andai bersiIat, dan dia sudah paham
pula dalam ilmu st
arlak, menimbulkan kein
ginan pula
kepadanya hendak mencobakan ketangkasannya kepada Midun.
Sebermula akan si Midun itu, ialah anak seorang peladang
biasa saja. Sungguhpun ayah Mi dun oran g peladang, tetapi
pemandangannya sudah l uas dan pen getahuannya pun dalam.
Sudah banyak negeri y ang ditempuhnya, dan telah jauh rantau

dijalaninya semasa muda. Oleh


sebab lama h idup banyak
dirasai, jauh berjalan banyak
dilihat, maka ora ng tua itu
dapatlah memperbandingkan mana ya ng baik dan mana yan g
buruk. Tahu dan mengertilah P ak M idun bagaimana caranya
yang baik menjalankan hidup dalam pergaulan bersama.
Dengan pen getahuannya yang
demikian itu, d ididiknyalah
anaknya Mid un dengan hemat c ermat, agar menjadi s eorang
yang berbahagia kelak.
Setelah Midun akil balig, timbullah dalam pikiran Pak Midun
hendak meny erahkan anaknya itu belajar silat. Ia amat ingin
supaya M idun menjad i se orang ya ng tangkas dan cekatan. Pak
Midun merasa, bahwa silat itu bergu na benar unt uk membela
diri dalam ba haya da n pe rkelahian. La in da ripada i tu, a mat
besar faedah silat itu untuk kesehatan badan. Karena Pak
Midun sendiri dahulu seorang pandai
silat, in saf benarlah ia
bagaimana k ebaikan pergerakan badan itu untu k menjaga
kesehatan tubuh.
Ketika Pak Midun dahulu hendak menyerahkan anaknya,
dicarinyalah seorang guru yang tel ah termasyhur k epandaiannya dalam ilmu silat. M aka demikian, menurut pikiran Pak
Midun, jika t anggung-tanggung ke pandaian guru itu, lebih baik
tak usah la gi anaknya bel ajar s ilat. Se orang pun ta k ada yang
tampak ole h Pak M idun, guru yang bersesuaian dengan
pikirannya di ne geri itu. La in da ripada Haji Abbas, guru Mi dun
mengaji dan saudar a seb apak dengan dia, tak ada yang berkenan pada pikir annya. Tetapi sayang, sudah du a tiga kali
maksudnya itu dikatakan nya, se lalu ditolak saja oleh Haj i
Abbas. Haji Abbas me mberi nasihat: supaya M idun diserahkan
kepada Pend ekar Sutan, adik kandungnya sendiri. Dikatakannya, bahwa sudah tua
tidak ku at l agi. Dan kepandaiannya
bersilat pun boleh dik
atakan hampir bersamaan dengan
Pendekar Sutan.
Maka diserahkanlah Midun belajar silat oleh ayahnya kepada
Pendekar Sutan. Karena P ak Midun seorang yang tabu dan alif,
tiadalah d itinggalkannya syarat-syarat aturan ber guru, me skipun tempat anaknya berguru itu adik sebapak dia. Pendekar
Sutan dipersinggah (dib awa, dijamu) oleh Pak Midun dengan
murid-muridnya ke ru mahnya. Sesudah makan- minum, maka
diketengahkannyalah oleh Pak Midun syarat-syarat berguru ilmu
silat, seba gaimana yang sudah dilazimkan orang di Minangkabau. Syarat berguru silat itu ialah: beras sesukat, kain putih

sekabung, besi sekerat (pisau sebuah), uang serupiah, penjahit


(jarum) tujuh, dan sirih pinang selengkapnya.
Segala barang-barang itu sebenarnya kiasan saja semuanya.
Arti dan wujudnya:
Beras se sukat, gunanya akan dimakan guru, s elama m engajari anak muda yan g hendak bela jar itu; se olah-olah m engatakan: perlukanlah mengajarnya, janganlah dilalaikan sebab
hendak mencari penghidupan lain.
Kain putih sekabung, "alas
tobat" namanya; maksudnya
dengan segal a putih hat i dan tulus an ak muda itu menerima
pengajaran; samalah dengan kain itu putih dan bersih hati anak
muda itu menerima b arang ap a yang diaj arkan guru. Ia akan
menurut suruh dan menghentikan tegah. Dan lagi mujur tak
boleh diraih, malang tak boleh ditolak, kalau sekiranya ia kena
pisau at au apa saja se dang bela jar, kain itulah ak an kafannya
kalau ia mati.
Besi seke rat (pisau sebuah) itu maksu dnya, sepert i senjata
itulah taj amnya pen gajaran yang diterimany a dan lagi
janganlah ia dikenai senjata,
apabil a telah tamat
pengajarannya.
Uang seru piah, ialah untuk pe mbeli te mbakau yang dii sap
guru waktu melepaskan l elah dalam mengajar anak muda itu,
hampir searti juga dengan beras sesukat tadi.
Penjahit tujuh, artinya sepekan tujuh hari; hendakl ah guru
itu tcru s mengajarnya, d engan pen gajaran y ang t ajam se perti
jarum itu. Dan me ski t ujuh mac amnya ma ra b ahaya yan g
tajam-tajam menimpa dia, mudah-mudahan terel akkan olehnya, berkat pengajaran g uru itu. Peng ajaran guru itu menjad i
darah daging hendaknya kepada nya, jangan ad a yang menghalangi, terus saja seperti jarum yang dijahitkan.
Sirih pinang selengkapnya, artinya ialah akan dikunyah guru,
waktu ia menghentikan l elah tiap-tiap sesudah mengajar anak
muda itu, dan lagi sirih pinan g itu telah menj adi adat y ang
biasa di tanah Minangkabau.
Setelah beberapa laman ya Mi dun belajar silat kepada
Pendekar Su tan, mak a t amatlah. Su ngguhpun demik ian P ak
Midun belum lagi bersen ang hati . Pada pikirannya kepandaian
Midun bersilat itu belum lagi mencukupi. Yang dikehendaki Pak
Midun: belajar sampai k e pulau, berjalan sa mpai ke batas.
Artinya silat Midun seboleh-bolehnya haruslah
berkesudahan
atau mend apat keputus an dari pada seor ang ah li silat yan g

sudah termasyhur. Oleh sebab itu,


ingin benar ia hendak
menyuruh menambah pengajaran Midun kepada Haji Abbas.
Di dala m ilmu sil at, me mang Haji Abb as sudah termasyhur
semana-mana di seluruh tanah Minan gkabau. Sebel um ia pergi
ke Mekkah, amat banyak muridnya bersilat. Di antara muridnya
itu kebanyak an orang d atang da ri negeri lain. Tidak sedik it
guru-guru sil at yang datang me ncoba ketangkasan Haji Abbas
bersilat, semuanya kalah dan me ngaku bahwa silat Haji Abbas
sukar didapat, m ahal dic ari di tan ah Minangk abau. Karen a
keahliannya di dalam
ilmu si lat itu, kendatipun ia tidur
nyenyak, jika dile mpar de ngan puntung apiapi saja, tak dapat
tiada barang itu dapat ditangkapnya.
Tidak hal yang demik ian itu saja yang memasyhurk an nama
Haji Abbas perkara silat, tetapi ada lagi beberapa hal yang lain.
Semasa muda, ketika Haji A bbas d an Pak Midun berdagan g
menjajah t anah Minangk abau, ti dak sedikit coba an yang telah
dirasainya. Acap kali ia d isamun oran g di tengah perjalanan,
diperkelahikan orang be ramai-ramai. Tapi kar ena ketangkasannya, segala bahaya itu dapat di elakkan Haji Abbas. Lebih-lebih
lagi yang makin menambah harum nama Haji Abbas, ketika ia
disamun orang Baduwi antara Jeddah dan Mekkah waktu dalam
perjalanan k e Tanah Suci. Lebih dari sepuluh
orang, orang
Baduwi yang memakai senjata tajam hendak
merampoknya;
dengan berte man hanya tiga oran g saj a dapat dite waskannya.
Sungguhpun berteman boleh dikat akan Haji Abbas seorangl ah
yang berkelahi dengan Baduwi itu. T ak dibiarkannya sedikit jua
segala Baduwi itu menyerang kawannya.
Dalam ilmu akhirat pun Haji Abbas adalah seoran g ulama
besar. M emang sud ah menjadi sifat pad a Haj i Abbas, jik a
menuntut sesuatu il mu berpantang patah di tengah. Sebelum
diketahuinya sampai ke urat-uratnya, belumlah ia bersen ang
hati. Muridnya mengaji amat banyak. Baik anak-anak, baik pun
orang tua, semuanya ke surau Haji Abbas belajar agama. Tidak
orang kampung itu saj a, bahkan banyak orang yan g datang dari
negeri lain belajar men gaji kepada Haji Abbas. Oleh karena
Haji Abbas adalah seorang tua, yan g lubuk akal gudang bicara,
laut pik iran t ambunan bu di, maka ia pun dimalui dan ditakuti
orang di kampung itu.
Keadaan yan g dem ikian i tu diketahui Pak Midun belaka.
Itulah tali sebabnya maka besar benar kein ginannya hendak
menambah pengajaran Midun ber silat kepada Haji Abbas.

Karena Haj i Abbas sel alu menolak permintaan Pak Midun,


dengan tipu muslihat dapat juga diikhtiarkanny a Midun belajar
silat dengan dia.
Demikianlah ikhtiar Pak Midun:
Mula-mula P ak Midun bermufak at den gan Pendekar Sutan.
Dikatakanlah kepada Pendekar Sutan, bahwa ia hendak men ipu
Haji Abb as. Sebabnya ial ah ka rena Midun ingin h endak mendapat se suatu dar i Haj i Abbas, tet api selalu d itolaknya saja.
Maka dicerit akannyalah oleh Pa k Midu n bagaiman a tipu y ang
hendak disuruh lakukannya kepada Midun.
"Biarlah, Pen dekar Sutan! " ujar Pak Midun, "bukankah silat
Midun sek arang sudah boleh di bawa ke teng ah. Tid ak ak an
gampang l agi or ang da pat mengen alnya. Meskip un dua-tiga
orang me mpersama-samakan dia, bel um tentu lagi i a akan
roboh. Oleh sebab itu, ketika Haji Abbas sedang tidur nyenyak
di surau, kit a suruh lempar oleh Midun dengan ranting k ayu.
Manakala Haji Abbas terkejut dan men angkap ranting kayu itu,
saat itulah Midun harus menyerang Haji Abbas."
"Saya pun sesuai den gan pi kiran Pak Midun itu!" jawab
Pendekar Sutan. "Tetapi hal ini tidak boleh kita permudah saja.
Boleh j adi M idun dapat dikenalnya, karena Haji Abbas guru
besar dan sudah termasyhur silatnya. Sungguh, sebenarnya saya
agak khawatir memikirkannya."
"Tak usah dikhawatirk an. Hal itu pun sudah saya pikirkan
dalam-dalam. Tentu tidak akan k ita biarkan Midun seorang diri
saja. Kita h arus sert a p ula menemaninya, ak an mengamatamati kalau -kalau ada bahaya
. Tetapi hen daklah kit a
bersembunyi melihat kejadian itu."
"Kalau demikian, baiklah," kata Pendekar Sutan pula sambil
tersenyum. "Saya pun ingin benar hendak melihat k etangkasan
Haji Abbas, sebab dari dahulu sa ya hendak belajar kepadanya,
selalu dit olaknya pula, hingga
terpaksa s aya be rjalan ki an
kemari mencari guru silat."
Pada su atu hari, sesudah sembahy ang lohor, kelihatanlah
Pak Midun, P endekar Sutan dan Mi dun di surau Haji Abbas. P ak
Midun dan Pendekar Su tan bers embunyi di surau kecil d i
sebelah. Waktu itu Haji Abbas sedang tidur nyenyak di mihrab,
karena sudah larut malam pulang dari mendoa semalam. Midun
pun bersiaplah, lalu melempar Haj i Abbas dengan ranting kayu.
Haji Abbas terkejut dan menangka p ranting kayu itu. Ketika itu
Midun mel ompat dan dengan tang kas dise rangnya Haji Abbas.

Maka terj adilah pada k etika itu... ya, perkel ahian bapak
dengan anak. Tangkap- menangkap, empas-menge mpaskan, tak
ubahnya sebagai orang yang berkelahi benar-benar.
Setelah beberapa lamany a dengan hal yang demik ian itu,
sekonyong-konyong M idun terempas ag ak jauh. Jika or ang l ain
yang tak pandai bersilat terempas demikian itu, tak dapat tiada
pecah kepal anya. Tetapi karena Midu n pandai silat pula, tak
ada ubahnya sebagai kucing diempaskan saja. Ketika Haji Abbas
bersiap akan menanti serangan, tampak olehnya Midun. Haji
Abbas meng gosok mat anya, seolah-olah ia t idak percaya
kepada matanya. Ia sebagai or ang be rmimpi, dan am at heran
karena kej adian itu. Setelah beberapa l amanya, nyatalah
kepadanya bahwa sebenarnyalah Midun yang menyerang dia.
"Sudah bertukarkah pikiranmu, Midun?" ujar Haji Abbas tibatiba dengan marah. "Hendak membunuh bapakmukah engkau?"
"Tidak, Bapak!" jatvab Midun dengan
ketakutan. "Pikiran
saya masih sehat; ayah dan Bap ak Pendekar ada d i surau kec il
di sebelah."
"O, jadi mereka itukah y ang menyuru h engkau melakukan
pekerjaan ini?" kata Haji Abbas pula dengan sangat marah. "Apa
maksudnya b erbuat de mikian in i? B osankah i a kep adamu atau
bencikah kepadaku, supay a kita salah seorang binasa? Pan ggil
dia, suruh datang keduanya kemari! Terlalu, sungguh terlalu!"
Tidak lama antaranya
Pak Midun dan Pendek ar Sutan
naiklah ke surau. Baru saja
ia sa mpai, Haji Abb as berkata
dengan marahnya, "Perbuatan ap a ini yang Pak Mid un suruhkan
kepada anak saya? Apakah denda m kamu kedu a yang tid ak
lepas, maka menyuruh l akukan perbuatan in i kepada M idun?
Sungguh terlalu!"
"Janganlah t erburu nafsu saj a Haji marah," ujar P ak Midun
dengan agak ketakutan. "Kejadian ini ialah karen a kesal ahan
Haji sendiri."
"Kesalahan saya?" jawab Haji Abbas dengan heran. "Apa pula
sebabnya say a yang Pak Midun salahkan? Buk ankah perbuat an
Pak Midun ini sia-sia benar?"
Ketika itu tampaklah kepada Pak Midu n, marah Haj i Abbas
sudah ag ak s urut. Pak Midun berkata sambil ber senda-gurau,
"Selalu saya diusik anak Haji, supay a ia d apat menambah
kepandaiannya dengan Haji. Be berapa kal i saya disuruhnya
mengatakan kepada Haj i, karena ia in gin benar hendak mendapat sesuatu tentang ilmu silat d aripada Haji. Tetapi tiap-tiap

permintaannya itu s aya sa mpaikan, selalu saja Haji t olak.


Kesudahannya terjadilah yang demikian ini. Sekarang kami yang
Haji salahkan. Haji kat akan, ap a dendam kami yang tak lepas.
Kalau Haj i ingin hendak mencob a, berdirilah! M emang s aya
sudah ingin hendak bersilat dengan Haji!"
Pak Midun berdiri, l alu mengendangkan t angan dan
melangkahan kaki. Sambil menari ia berkata pula dengan
tertawa, kat anya, "Ban gunlah, Haji, menga pa dud uk juga? Ah,
jadi muda lagi perasaan saya"
Melihat kelakuan Pak Midun ya ng jenaka itu, marah Haji
Abbas pun su rutlah. Hatinya tena ng bagai semula, dan tertawa
karena geli hatinya.
Pak Midun duduk kembal
i, lalu
bermufakatlah ketiga bapak Midun itu. Maka dikabulkanlah oleh
Haji Abbas permintaan Midun hendak belajar dengan dia.
Haji Abbas mengajar Midun amat berlainan dengan
Pendekar Sutan. Midun diajar
Haji Abbas tid ak pada suatu
tempat atau sa saran. Melainkan, ti ap-tiap pulang dari mendoa
atau pulang dari berjalan-jaIan, pada tempat yang sunyi, Midun
sekonyong-konyong d iserang oleh Haji Abbas. M aka bersilatlah
mereka itu d i sana beber apa lamanya. Demik ianlah diperbuat
Haji Abbas ada enam bulan, lamanya. Setelah itu barulah Midun
diberi keputusan silat oleh Haji Abbas.
Pertama, Midun dibaw a Haji Abbas b ersilat pad a sebidang
tanah yang jendul dan berbonggol. Di situ sama-sama berikhtiar
mereka akan mengena i mas ing-masing. M aksud Haji Abb as
membawa M idun bersilat pada tanah yang demikian, ialah
supaya kukuh ia berdiri, jangan tangkas pada t anah yang datar
saja.
Kedua, atas papan, misalnya di ru mah yang berl antaikan
papan. Bersilat di tempat itu sek ali-kali tidak boleh berbunyi
langkah kaki. Sekalipun teremp as, h endaklah sebagai kucing
diempaskan saja, tidak kera
s bunyinya dan tidak boleh
tertelentang.
Ketiga, bersilat di dalam bencah atau pada se bidang tanah
yang sudah dilicinkan. Midun tidak boleh jatuh, t etapi haru s
menangkis serangan guru.
Keempat, pada se bidang tanah yang diber
i bergar is
bundaran. M idun haru s bersilat den gan guru tidak boleh
melewati garis, tetapi guru be rusaha, supaya Midun melewat i
garis itu.

Kelima, bersilat di dalam gelap dan hendaklah dapat


mengalahkan seran gan orang yan g memakai s enjata taja m.
Bagian yang kelima inil ah ya ng sukar. Bagi Midun belu
m
sempurna be nar dapatnya. Sebabnya, karena pad a bagian ini,
haruslah tahu lebih dahulu gerak, angin, dan rasa. Hal itu tidak
dipelajari, melainkan timbul sendiri, setelah beberapa lamanya
pandai bersilat.
Mengingat ke adaan yang demikian itul ah m aka Pak M idun
amat terkej ut dan kha watir mendengar kab ar perkelahian
anaknya den gan Ka cak. Dalam hat inya am at ma rah kepad a
anaknya, k arena yang dilawan Midun berkelahi itu kemen akan
Tuanku Laras. Tetapi setelah mendengar kabar dari Maun, yang
kebetulan lalu di muka rumahnya hendak ke surau, agak senang
hatinya. Sungguhpun demikian, sebelum bertemu dengan Midun
belum sen ang benar h atinya. Pak Midun ingin hendak mendengar kabar itu daripada anaknya sendiri. Rasakan dicabutnya
hari men anti waktu magrib habis, karena waktu itu anaknya
pulang makan. Tegak resah, duduk pun gelisah, sebent arsebentar ia melihat ke jendela, kalau-kalau Midun datang.
"Maun, suruh pulang anak-anak itu semua!" kata Haji Abbas.
"Katakan kep ada mereka itu, mal am in i tid ak mengaji. M alam
besok saja suruh datang. Saya dengan Midun akan pergi mendoa
malam in i. Engkau tinggal di surau
dan kalau ada orang
menanyakan kami, katakan kami pergi mendoa ke rumah Pakih
Sutan."
Sesudah sembahyang magrib, Haji Abbas dan Midun turunlah
dari surau. S ebelum pergi mendoa, l ebih dahulu mereka itu
singgah ke rumah Pak Midun.
Setelah sudah
minum dan
mengisap rokok sebat ang seorang, Haji Abbas
pun berkata,
katanya, "Betulkah tadi engkau berkelahi dengan Kacak? Belum
cukup sebul an engkau tamat be rsifat sudah be rkelahi. Itu pun
yang engkau lawan bukan sembarang orang pula."
"Tidak, Bapak, tapi sudah umpama berkelahi juga namanya;
bukan saya yang salah, melainkan dia," jawab Midun dengan
ragu-ragu, se bab ia s endiri mer asa tid ak ada berk elahi. Akan
dikatakannya berkelahi, ia tida k ada meninju Kacak, melainkan
Kacak yang menyerang dia.
"Ganjil ben ar jaw abmu! Apa m aksudmu men gatakan
umpama berkelahi itu?"
Midun melihat kedua bapaknya itu sebagai tidak bersenan g
hati mendengar jawabnya. Tamp ak dan nyata kepa danya pada

muka merek a itu kekhawatiran atas kejadian hari itu. Maka


Midun menerangkan dengan pa njang lebar asal mula perselisihannya dengan Kacak waktu bermain sepak raga. Satu pun
tak ada yan g dilampau inya, diterangkannya sejel as-jelasnya.
Mendengar perkataan Midun, lega lah hati kedua bapaknya itu.
Apalagi kete rangan itu, bers esuaian dengan berita orang
kepada mereka, yang melihat se ndiri kejadian petang itu.
Tidak lama kemudian Haji Abbas berkata pula, katanya,
"Meskipun en gkau tid ak b ersalah, tapi percay alah engkau,
bahwa kejadian petang ini tidak membaikkan kepada namamu.
Biarpun tidak salahmu, t api ka ta orang keduanya salah. Tak
mau bertepu k sebelah tangan. Yang akan datan g saya harap
jangan hendaknya terjadi pula macam ini sekali lagi. Saya tidak
sudi melihat orang suka berkelahi. Kebanyakan saya lihat anakanak muda seba gai engkau ini, kalau sudah berilmu sedikit
amat sombong dan c ongkak. Tidak ber pucuk di at as enau lagi.
Pikirnya, tak ada yan g lebih dari pada dia. Lebih-le bih kalau ia
pandai ber silat. Dicari- carinya sel isih supay a ia berkelah i,
hendak memperlih atkan kecekatann ya. Salah-salah sedikit
hendak berkelahi saja. Begitulah yang kebanyakan saya lihat.
Padamu kami harap jangan ad a tab iat yang demik ian. Hal
itu se mata-mata mencelakakan d iri sendir i. Tid ak ada yan g
selamat, binasa juga akhir kela knya. Daripada sahabat kenalan
kita pun terj atuh pula. Contohnya ilmu padi, kian berisi kian
runduk. Begitulah yang k ami su kai dalam pe rgaulan bersama.
Satu pun tak ada fae dahnya meme gahkan diri, he ndak me mperlihatkan pandai be gini, tahu be gitu. Asal t idak akan
merusakkan kesopanan diri, d alam p ercakapan atau tingk ah
laku, lebih baik merendah saja. Bukanlah hal itu menghabiskan
waktu saja. Pergunakanlah waktu itu bagi yan g m endatangkan
keselamatan dan keuntungan dirimu.
Berani karena benar, takut karena salah. Akuilah kesalahan
itu, jika sebenarnya be rsalah. Tetapi perlihatkan keberanian,
akan menunjukkan kebenaran. Anak muda biasan ya lekas naik
darah. Hal itu seboleh-bolehny a ditahan. Dalam segal a hal
hendaklah berlaku sabar. Apalagi k alau dit impa malapetaka,
haruslah diterima dengan tulus ikhlas, tetapi bil amana perlu
janganlah u ndur baran g setapa k jua pun; itulah tandanya
bahwa kita s eorang laki-l aki. Be gitu pula halnya dengan hawa
nafsu. Hawa nafsu itu tak ada batasnya. Dialah yang kerap kali
menjerumuskan orang ke dalam lembah kesengsaraan. Jika tak

pandai mengemudikan hawa nafs u, alamat badan akan bin asa.


Jika diturutk an hawa nafsu, ma u ia sampai ke l angit y ang
kedelapanjika ada langit yang kedel apan. Oleh karena itu,
biasakan dir i me mandang ke bawah, jangan selalu ke ata s.
Hendaklah pandai-pandai me- megang kendali hawa nafsu,
supaya selamat d iri h idup di dunia ini. Pik ir itu pelita hat i.
Karena itu pekerjaan yan g hendak dilakukan, pik irkan dalamdalam, timbang dahulu buruk baiknya.
Lihat-lihat k awan seiring, ka ta oran g. Dalam pergaulan
hidup hendaknya ingat-ingat.
Jauh i segala percederaan.
Bercampur dengan orang alim. Tak d apat tiada kita alim pula.
Bergaul dengan pemaling, sekurang-kurangnya jadi ajar. Sebab
itu pand ai-pandai men cari sahabat k enalan. Jangan dengan
sembarang orang saja berteman. Kerap kali sahabat itulah yang
membinasakan kita. Dar ipada be rsahabat dengan seribu o rang
bodoh, lebih baik bermusuh dengan seorang pandai.
Nah, s aya ka takan terus terang kepa damu! Engkau adalah
seorang anak muda yang cekatan. Budi pekertimu baik. Dalam
segala hal engkau raj in dan pandai. Selama ini belum pernah
engkau mengecewakan hati ka mi. Segala pekerj aanmu boleh
dikatakan selalu menyenangkan hati kami. Tidak kami
saja
yang me muji engkau, ba hkan or ang kampung ini pun san gat
memuji pera ngaimu. Oleh karena itu, peliharakanlah namamu
yang baik selama in i. Pen getahuanmu untuk dunia dan akh irat
sudah memadai. Tentu engkau lolah dapat memahamkan mana
yang baik dan mana yang buruk wkianlah nasihat saya.
Midun tepekur mendengar nasihat Haji Abbas
itu. Diperhatikannya dengan sungguh-sungguh. Satu pun tak ada yang
dilupakannya. Masuk benar-benar nasihat itu ke dalam hat i
Midun. Kemu dian M idun b erkata, k atanya, "Saya minta ter ima
kasih banyak -banyak ak an nas ihat Bapak itu. Selama hayat
dikandung badan takk an saya lup a-lupakan. Seg ala pengaj aran
Bapak, set itik menjadi laut, se kepal menjadi gun unglah bagi
saya hendaknya. Mudah-mudahan segala nasihat Bapak itu menjadi darah daging saya."
"Nasihat bapakmu itu sebenarnya," u jar Pak Midun pula,
ingatlah dirimu yang akan datang. Siapa tahu karena Kacak tak
dapat mengenai engkau, perkara itu menimbulkan sakit hat i
kepadanya. Bukankah hal itu boleh mendatangkan yang t idak
baik. Insaflah engkau, pikirkan siapa kita dan siapa orang itu."
Setelah itu maka Haji Abbas dan Midun pergilah mendoa.

3. Dimusuhi

SUDAH umum pada


orang ka mpung itu, man akala ada
pekerjaan b erat, suk a bertolong-tolongan. P ekerjaan y ang
dilakukan dengan upah
hampir tak ada. Ap alagi di dala m
bahaya, misalnya kebakaran, mere ka itu tidak sayang kepada
dirinya untuk menolong orang sekampung. Tidak di kampung itu
saja, melainkan
di seluruh
tanah Minangkabau, boleh
disebutkan sudah turun -temurun pada anak ne
geri, suk a
bertolong-tolongan itu. Misalnya di dalam h
al ke sawah,
mendirikan rumah, dan lain-lain pekerjaan yang berat.
Musim menyabit sudah hampir datang. Ketika itu tidak lama
lagi har i akan puasa. Setiap har i tidak putus-putusnya bend i
membawa orang da ri Bukittinggi, berh enti di p asar kampung
itu. Mereka itu baru pul ang, kar ena sudah bebe rapa tahun
lamanya berdagan g mencari pen ghidupan di negeri
orang.
Karena itu h ampir set iap hari oran g ram ai di p asar. Banyak
orang men anti kaum kelu arganya yang baru dat ang. Tiap-tiap
bendi kelihatan dari jauh, hati mereka itu harap-harap cemas,
kalau-kalau di atas bendi itu sa nak, mamak, adikny a, dan lainlain.
Dalam beberapa hari saja kamp ung itu sudah ramai, karena
orang yang pulang merantau itu. Lain tidak yang dipercakapkan
orang, hal orang yan g baru p ulang saja. Begitu pula yang
datang, menceritakan penanggungannya masing-masing, selama
bercerai de ngan kaum keluargany a. Bahkan menceritakan
keadaan negeri tempatnya berdagang itu, tidak pula dilupakannya. Tidak lama kemudian kedengaranlah si A yang pulang dari
negeri Anu, sudah membeli saw ah untuk adik dan ibunya. Si B
yang pulang dari negeri Anu pula, su dah membuatkan rumah
untuk familinya dan lain -lain. B ermacam-macam kedengaran,
banyak di antara merek a itu yang melekatkan uang
pencahariannya kepada barang yang baik bakal hari tuanya kelak.
Hal itu sangat men arik hati ke pada oran g yan g tinggal di
kampung, ingin hendak pergi merantau pula. Tetapi ada pula
yang misk in dan melarat pulang masa itu. Malah an ada yan g
inembawa p enyakit dar i negeri o rang. M ereka yang demik ian
itu, tentu saja karena ceroboh dan boros di negeri orang. Tidak
hendak memikirkan h ari tua, hidup boros dan ban yak pelesir

memuaskan hawa nafsunya.


Pada suatu malam Pak Midun berk ata kepada anaknya,
"Midun! berit ahukanlah k epada kawan-kawanmu, bahwa hari
Ahad yang akan dat ang ini kita ak an mengirik padi di s awah.
Begitu pula kepada Pen dekar Sutan dengan murid-muridnya.
Orang lain yang engkau rasa patut dipanggil, panggil lah! Sekali
ini b iarlah ki ta me motong kamb ing unt uk penjamu orang yan g
datang mengirik ke sa wah ki ta. Saya rasa takkan berapa
bedanya menyembelih kambing
dengan memb eli daging d i
pasar."
"Engkau pula, Polam," k ata Pak M idun sambil berpalin g
kepada istrinya, "katakanlah kepada kaum keluarga, bahwa kita
akan mengirik padi h ari Ahad itu. Ipar besan yang patut diberi
tahu, orang sekampung yang akan dipanggil untuk mengirai dan
mengangin padi dan orang-oran g yang akan men olong kerj a
dapur. Hal itu semuanya pekerjaanmu."
Ibu dan anak itu menganggukkan kepala, membenarkan perkataan suami dan bapakny a. Kemudian Midun berkata, "Karena
kita akan me motong kambing, tidak baikkah jika kit a ramaikan
kerja itu dengan puput, salung, dan pencak sekadarnya, Ayah?"
"Hal itu leb ih baik engkau mu fakati dengan mamakmu,
Datuk Paduka Raja. Saya tela h memberitahuk an kepadanya,
hanya akan mengirik padi hari Ahad saja. Jika se pakat dengan
mamakmu, apa salahnya, lebih baik lagi."
"Baiklah, Ay ah! Sekarang juga saya cari beliau. Sudah itu
saya pergi kepada Bapak Pendekar Sutan."
Hari Ahad pagi-pagi, Midu n sudah memikul tongkat pengirik
padi ke sawah. Sampai di sawah iapun menebas tunggul batang
padi untuk orang mengirik. Setelah it u dibuatny a pula sebu ah
dataran untu k orang bermain pencak, berpuput-salung, dan
sebagainya. Maka dike mbangkannyalah tikar te mpat or ang
mengirik. Su dah itu d iturunkannya s eonggok de mi seonggok
padi itu daripada timbunannya.
Tidak lama antaranya kelihata nlah orang datang ke sawah
orang tua Midun. Berduyu n-duyun, sebondon g-sebondong amat
banyaknya. Segala orang itu dengan tertib sopan diterima oleh
Midun beserta bapaknya, lalu di persilakannya duduk dahulu ke
tikar yang t elah disediakan untuk penerima tamu. Dengan
hormat, Midu n meletakkan cerana tempat sirih di muka o rang
banyak. Rok ok yang sudah disediakann ya untuk itu, tidak pula
dilupakannya.

Setelah bebe rapa l ama mereka itu ber cakap-cakap ini d an


itu, mak a dimulail ah mengirik padi. Midun kerjan ya hanyalah
mengambil padi y ang sudah diirik orang.
Perempu anperempuan sibuk mengirai jer ami y ang su dah d iirik. A mat
ramai orang di sawah M idun. Sorak dan senda gurau orangorang muda tidak ket inggalan. Tertawa dan cu mbu tidak
kurang. Suka dan bersen ang hati benar rupanya or ang mengirik
padi di sawah Midun yan g baik hati itu. Bunyi hentam orang
mengirik ak an menyataka n, bahwa pa di yang di iriknya sudah
habis, seba gai or ang menumbuk padi. Belum tinggi matahari
naik, selesailah diirik padi setimbunan besar itu.
Sesudah itu maka segala orang itu dip ersilakan ole h M idun
duduk menghentikan lelah ke medan te mpat orang memencak.
Sudah mak an minu m, lalu dimulai pu la membunyikan salung
dan puput yang disertai d engan nyanyi. Amat merdu bunyinya.
Kemudian or ang ber andai, ber mencak, menar i p iring, dan
sebagainya. Sementara itu, orang-orang perempuan mengangin
padi jua, sambil menonton. Demikianlah halnya, hingga padi itu
selesai diirik dan diangin orang. Setelah padi itu dimasukkan ke
sumpit, permainan berh enti. Peralat an kecil itu pindah ke
rumah. Wakt u mereka itu akan pulang ke rumah Pak Midun,
pada bahunya masing-masing terletak sesumpit padi yang ak an
dibawa ke lumbung. Sepanjang jalan, mereka itu bersalung dan
berpuput jua, sambil bersenda gurau dengan riuhnya.
Tidak jauh dari sawah orang tua Midun, ada pula, saw ah
istri Kacak. Luas kedua sawah itu hampir sama. Kebetulan pada
sawah istri Kacak, hari itu pula oran g mengirik padi. Tetapi ke
sawah istrinya tidak berapa oran g datang. Yang dat ang itu pun
kebanyakan masuk b ilangan keluar ganya juga. Ken datipun ad a
beberapa orang la in, ny ata p ada m uka or ang i tu, bahwa
mereka han ya memandang karena sawah istri kemenakan
Tuanku Laras saja. Mengirik ke s awah istr i Ka cak itu adal ah
pada p ikirnya sebagai menjal ankan rodi. Di sawahnya tidak
kedengaran orang bersorak, apalagi bersuka-sukaan. Mereka itu
bekerja den gan muka muram s aja k elihatannya. Oleh orang
bekerja kur ang ber senang hati dan tid ak se berapa pula, tid ak
dapat disud ahkan mengirik pada hari itu. Terpaksa haru s
disambung pula pada keesokan harinya.
Melihat orang ramai di sawah Midun, Kacak sangat iri hat i.
Bencinya kepada Midun semak in berk obar. Apalagi mendengar
sorak dan senda gurau orang di sawah Midun, amat sak it hat i

Kacak. Hatin ya sangat panas, hingga men imbulkan maksud


jahat. Maka Kacak berk ata dal am h atinya, "J ika dibi arkan,
akhirnya M idun mau men jadi raj a di kampung ini. Kian seha ri
kian bertambah juga temannya dan orang pun makin banyak
yang suk a k epadanya. Orang ka mpung tua muda, laki-lak i
perempuan kasih sayang kepadanya. Malahan dia dihormati dan
dimalui orang pula. Hampir
sama horm at or ang kepad a
mamakku Tu anku Lar as dengan kepada Midun. Padahal ia
adalah seorang anak peladang biasa saja.
Saya se orang k emenakan T uanku Laras la gi b angsawan d i
kampung in i, tidak demikian d ihormati orang. Kenalan saya
tidak sebe rapa. Oran g kampung hampir tak ada yang suka
kepada saya. Hal itu ny ata, kalau orang bertemu di jalan
dengan saya. Seakan-akan dicarinya akal supaya ia dapat menghindarkan diri. Sekarang nyat alah kepadaku bahwa Midunlah
rupanya yang menyebabkan hal itu. Ka rena dialah maka orang
kampung benci kepadaku. Lihatlah buktinya, ke sawahnya amat
banyak orang datang, tet api ke sawah istr iku tidak seber apa.
Mulai dari sekarang ia kupandang musuhku.
Sayang saya tidak dapat me ngenainya dalam perkelahian
tempo hari, karena orang banyak. Jik a dapat, sebelum muntah
darah, tidaklah saya hen tikan. Saya tanggung, kalau hanya
macam si Midun itu, sekali saj a saya masuki dengan starlakku,
membuih air liurnya ke luar. Pe dih h atiku tid ak dapat saya
mengenainya jika t idak t ewas ia oleh ku, saya berguru st arlak
sekali lagi.
Biarlah! Tidak akan terla mpau waktunya. Pada suatu masa,
tentu akan dapat juga
saya membalasnya s akit hati saya
kepadanya. Ingatingat engkau, MidunP Tak dapat t iada engkau
rasai juga bekas tanganku ini, bi arpun engkau sudah mendapat
pelajaran dari Haji Abbas. Kita adu n anti silat mu itu dengan
starlakku. Lagi pul a tidakkah en gkau ketahui bahwa di sin i
kemenakan Tuanku Laras, boleh bersutan di mata, berada di
hati? Tidakkah engkau in saf, bahw a di sini ke menakan raja di
kampung in i, boleh merajalela berbuat sekehendak hati? Aha,
rupanya dia mau tahu siapa saya."
Sejak hari itu Kacak sangat be nci kepada Midun. la sudah
berjanji den gan dirinya, akan meng ajar Midun pada suatu
waktu. Makin sehari makin bert ambah bencinya. Bila bertemu
dengan M idun di j alan, meskipun dit egurnya t idak disahuti
Kacak. Adakalanya ia mel udah-ludah, akan menunj ukkan benci

dan jijiknya kepada M idun. Ka cak selalu mencari-cari jal an,


supaya ia dapat berkelahi dengan Midun. Dengan kiasan itu
Midun maklum atas kebencian Kacak kepadanya. Tetapi ia amat
heran, apa sebabnya Kacak jadi begitu kepadanya. Padahal ia
merasa belu m ber salah k epada ke menakan Tuank u Laras itu.
Dalam perkelahian waktu bermain sepak raga pun, ia tidak ada
mengenai K acak. Dan lagi hal itu bukan karenany a, melainkan
tersebab ole h Kadirun. K emudian timbul pula pik iran Midun,
boleh jadi K acak meludah-ludah itu tidak disen gajanya. Oleh
sebab i tu ti dak d ihiraukan a mat oleh Midun. T idak s edikit jua
masuk pada pikirannya, bahwa Kacak akan memusuhinya.

4. Membalas Dendam

PADA su atu hari, pasar di kamp ung itu sangat ramai. Dari
segala tempat banyak o rang datang. Ada yang berbelanja, ada
pula yang menjual hasil tanamannya. Saudagar- saudagar kecil
banyak pula datang dari Bukittin ggi ke pasar itu. Mereka per gi
menjual k ain-kain dan ada pula yan g membel i hasil tanah.
Tidak heran pekan seramai itu, ka rena tak lama lagi hari akan
puasa. Peka n sedang ra mai, or ang wdang sibuk berjual-beli,
sekonyong-konyong kede ngaran te riak or ang mengatakan,
"Awas, Pak Inuh lepas! Pak Inuh lepas! Dia membawa pisau!"
Orang di pasar be rlarian ke san a ke mari. Mereka l ari menyembunyikan diri, karena ta
kut k epada Pak Inuh. Yang
berkedai meninggalk an kedainya, yan g berbelanj a meninggalkan baran g yang telah dibelinya. Sangat sibuk di pasar ketika
itu. Berkacau-balau tidak berketentuan lagi.
Adapun Pak Inuh itu, i alah seorang kampung di san
a,
keluarga Tu anku Laras. Ia sudah beru mur lebih dari 45 tahun.
Semasa mu da, Pak Inuh seoran g yang gagah berani. Lain
daripada Haj i Abbas, se orang pun tak ada yang dise ganinya
masa itu. Orang k ampung seg an dan t akut kepadanya. Ketika
Tuanku Laras menjadi Pen ghulu Kepala di kampung itu, timbul
perusuhan. Waktu itu boleh
dikatakan Pak In uhlah yang
mengamankan negeri. Dengan t idak meminta ban tuan kepada
pemerintah, diamankan Pak Inuh kampung itu kembali.
Apakah sebabnya orang takut Pak Inuh datang ke pasar itu?
Pak Inuh sek arang sudah bertukar pikiran. Ia sudah menjadi
gila. Sudah empat tahun sampai kepada masa itu pikirannya tak
sempurna lagi. Dalam empat ta hun itu Pak Inuh tidak dibiark an
keluar lagi oleh Tuanku Laras.
Jika dilepaskan selalu mengganggu orang. Maka oleh Tuanku Laras dibuatkan sebuah rumah
untuk tempat Pak Inuh tinggal. Entah apa sebabny a hari itu ia
dapat melepaskan diri. Hal itu te rjadi sudah y ang kedu a
kalinya. jika datang ke pasar ia merajalela saja. Barang-barang
orang dipe rserak-serakkannya. Disepa kkannya ke s ana ke mari,
orang d i p asar d iburunya sa mbil be rteriak-teriak. J ika dapat
orang olehnya, dipukul dan diterjangkannya.
Sekarang Pak Inuh datang ke pasar membawa pisau. Hal itu

lebih men akutkan lagi. Seorang pun tak ada y ang berani
mendekati, apalagi akan menangkap, karena Pak Inuh berpisau,
lagi seorang yang berani. Meskipun ada yang akan menangk ap,
takut kepada Tuanku Laras. Ma
ka dibiarkan orang saj a ia
mengacau di tengah pasar itu. Ji ka tidak Tuanku Laras sendiri,
sukarlah ak an menangkapnya. Tetapi Tuanku Laras tak ada
beliau pergi ke Bukittinggi. Pa k Inuh makin ganas lakunya di
tengah pasar. Sungguh amat sedi h hati melih at kejadian itu.
Laki-laki perempuan tunggang-langgan g mel arikan diri. An akanak banyak yang terinjak, ka rena terjatuh. Di sana sini
kedengaran jerit or ang, mengaduh karena sakit sebab terantuk
atau jatuh. Lebih- lebih lagi melihat perempu an-perempuan
yang sedang mendukung anak. Anak dipangku, beban dijunjung
sambil melarikan diri jua.
Midun ketika itu ada pul a di pasar. Dia sed ang duduk di
dalam sebuah lepau nasi. Kejadian itu nyata kelihatan olehnya.
Midun hampir-hampir tak dapat menahan hatinya. Amat sedih
hatinya melihat perempuan-perempuan berlarian ke sanakemari. Pik irnya, "Aka n diberitahukan kepada Tu anku Laras,
beliau pergi ke Bukittin ggi. Tentu saj a Pak Inuh merusakkan
orang di pasar in i. Pada tangannya ada sebuah p isau. T akkan
satu bangkai terhantar karena dia. Hal ini tidak boleh dibiarkan
saja."
Ketika Midun melihat seorang perempuan diinjak-injak oleh
Pak Inuh, ia pun melompat ke tengah pasar mengejar Pak Inuh.
Baru saja Pak Inuh melihat Midun, ia berkata, "Heh, anak kecil,
ini dia makanan pisauku!"
Sambil melompat lalu diamukny a Midun. Midun sedikit pu n
tidak berubah warna mukanya. Kedatangan Pak Inuh dinantinya
dengan sabar. Segala orang yang mel ihat keadaan itu sangat
ngeri. Lebih- lebih perempuan- perempuan, berteriak menyuruh
Midun lari, karena cemas dan takut. Dengan tangkas Midun
menyambut pisau itu. D alam sesaat saja pisau Pak Inuh dapat
diambilnya. Pisau itu segera di lemparkan Midun jauh-jauh, dan
disuruhnya pungut kepada orang. Pak Inuh sangat marah, l alu
menyerang Midun seku at-kuatnya. Dengan mudah dapat ia
menjatuhkan Pak Inuh, lalu dita ngkapnya. Bagaimana pun Pak
Inuh hendak melepaskan diri, tidak dapat. Midun berkata,
"Sabarlah, M amak, takkan terlepask an tangkapan ku ini oleh
Mamak."
Maka Midun menyuruh mengambi l tal i untuk pengikat Pak

Inuh. Setelah sudah diikat , lalu ditipunya. Dibawanya ke lepau


nasi, diberik annya makan . Luka pada kening Pak I nuh karena
terjerumus, dibebat Midu n. Kemudian diantarkannya pulang ke
rumah famili Pak Inuh.
Sehari-hari dan itu Midun saja yang dipercakapk an orang.
Tua mud a, kecil be sar, l aki-laki p erempuan d i pa sar memuji
keberanian dan ketangkasan Midun menangkap Pak Inuh. Ketiga
bapak Midun amat heran mendengar kabar itu. Mereka ketiga
maklum bagaimana keberanian
dan pendekar
Pak Inuh.
Perbuatan Midun itu dipuj i oleh merek a ketiga. Hanya merek a
itu khawati r, kalau-kalau fam ili Tu anku Lar as tak bersenan g
hati, karena Pak Inuh l uka. Te tapi ketiganya percaya pula,
kalau Tuank u Laras berpikir panjan g, hal itu tidak ak
an
menimbulkan amarah, melainkan menyenangkan hati beliau.
Bukankah perbuatan Midu n menjaga keamanan dan keselamatan negeri.
Kacak ada pula mendengar kabar itu. Waktu hal itu terjadi,
ia ad a di ka ntor Tuanku Lar as. Denga n segera i a berlari ak an
melihat Pak Inuh. Didapatinya Midun tak ada lagi. Pak Inuh,
yakni jalan mamak kepada Kacak, telah ada di rumah. Tatkala
Kacak melihat Pak Inuh lu ka pada ken ingnya, lalu ia bertanya
kepada seseorang, bagaimana M idun menangk ap mamaknya.
Orang itu menceritakan bagaimana penglihat annya ketika
Midun menangkap Pak Inuh.
"Jika t ak ad a Midun," ujar o rang itu, "barangk ali banyak
bangkai terh antar di ten gah pasar. Untung, pisau yang
di
tangan Pak Inuh lekas dapat diambil Midun."
"Apakah sebabnya, mak a Pak Inuh sampai luka ini?" ujar
Kacak dengan marah.
Jawab oran g itu, "Karena tersungkur waktu Midun menyalahkan tikaman Pak Inuh."
Kacak j angankan me muji Midun mendengar perkat aan itu,
makin sakit hatinya. Ia sangat marah karena Midun beran i
melukai famili Tuanku Laras.
"Sekarang nyata, bahwa Midun musuhku," kata Kacak dalam
hatinya. "Sudah engkau lu kai mamakku, engkau bebat. Maksudmu tentu su paya kami jangan marah. Kurang aj ar sungguh!
Hati-hati eng kau, bes ok d apat b agian darip adaku. Bila Tuanku
Laras pulan g dari Bukittinggi, kuceritakan hal itu kepadanya.
Anak si pel adang jahanam, berani melukai famili raja di
kampung ini?!"

Pada keesokan harinya pagi-pagi datanglah dubalang Tuanku


Laras, memanggil Midun ke
rumah orang tu anya. Midun
didapatinya sedang makan. Dubalang b erkata, "Midu n, Tuanku
Laras memanggil engkau sekarang juga!"
"Baiklah, Mamak, say a suda h dulu makan," jawab Midun.
"Berhenti makan! Beliau menyuruh lekas datang!" ujar dubalang
dengan hardiknya.
,
Dengan ter gopoh-gopoh M idun mencuci tan gan, lalu
berangkat ke kantor Tuanku Laras.
"Tunggu," kata dubalang pula, "engkau mesti dibelenggu,
karena begitu perintah saya terima."
"Apakah kesalahan saya, maka dibele nggu macam se orang
perampok, Mamak!" kata Midun.
"Saya tidak tahu, di sana nanti jawab," ujar dubalang.
Midun amat heran, apa sebabnya ia dibelenggu itu. Pikirannya berkacau, karena ia tidak tahu akan kesalahannya. Dengan
tangan dibelenggu, ia diiringkan dubalang melalui pasar. Sangat
malu Midun, tak ada ubahnya se bagai seorang y ang ber salah
besar. Tetapi apa hendak dibu at, terpaksa mesti menurut. Bermacam-macam t imbul pi kirannya sepanjang j alan ke kant or
Tuanku La ras. Ke mudian ma klum juga ia, bahwa yang
menyebabkan ia dipanggil itu, tak dapat tiada perkara Pak Inuh
kemarin. Karena lain daripada itu Midun merasa dirinya t idak
bersalah. M aka tet aplah pik irannya, bahwa i a difitnahkan
orang. Mengerti pula ia masa itu, apa sebabnya ia dibelen ggu
dan dikerasi. Tentu Pak I nuh luk a itu diambilnya j adi senjata
untuk memfitnahkan. Ketika itu terbayang kepada Midun orang
yang empun ya perbuat an itu. Maka terkenanglah ia ak
an
pemandangan Kacak yang berarti dahulu.
"Tidak men gapa," kata Midun dalam hatinya. "Asal Tuanku
Laras sudi mendengar keterangan saya, tentu beliau insaf,
bahwa saya berbuat baik . Dan pasti beliau ak an memuji saya,
karena pekerjaan saya itu menjaga keamanan negeri."
Midun berbesar hati, lalu berjalan dengan senangnya. Tidak
terasa Iagi oleh Midun tangann
ya dibelen ggu, sebab
pekerjaannya kemarin itu baik semata-mata. Orang di pa sar
heran melihat Midun dibelenggu . Mereka takjub mel ihat Midun
sebagai pen curi tertangkap, padahal ia seor ang alim dan berbudi. Seorang bertanya kepada seorang, akan hal Midun dibawa
dubalang itu . Ada satu-dua oran g berkata bahw a Midun dipanggil, berhubung dengan pe nangkapan Pak Inu h kemarin.

tetapi p erkataan itu di sangkal o rang p ula men gatakan, baha sa


hal itu tidak boleh jadi, kare
na perbuatan M idun kemarin
mendatangkan kebaik an. Kalau karena perkara P ak Inuh tentu
ia tidak d ibelenggu. Be rmacam-macam per sangkaan or ang
tentang Midu n dibelenggu itu. Karen a itu banyak orang yang
mengiringkannya ke k antor Tu anku Laras, in gin tahu apa
sebabnya Midun dipanggil itu.
Ayah bunda Midun amat gusar melihat kedatangan dubalang
dan anaknya dibelenggu itu. Lebi h-lebih ibu Midun , hampir ia
berteriak menangis, karena amat sedih hatinya melihat anak
kesayangannya itu dibelenggu se bagai seoran g per ampok baru
tertangkap. Untunglah Pak Mid un lekas menyabarkannya, dan
menerangkan a pa s ebabnya Mi dun dipanggil itu. Pak Midun
mengerti apa yang dip anggilkan Tuanku Laras kepada anaknya.
Lain tidak tentang perkara Pa k Inuh ditangkap Midun kemarin
itu. Tetapi ia amat heran, karena an aknya dibelenggu dengan
kekerasan. Dengan terge sa-gesa Pak Midun mak an. Setelah itu
ia pun pergi ke kantor
Tuanku Laras menden garkan perkara
anaknya. Di jalan Pak
Midun sebagai orang
bingung saj a,
pikirannya melayang entah ke
mana. Jika i a dit egur oran g
hendak bert anyakan hal anaknya, seol ah-olah t idak terdengar
olehnya, karena kepalanya penuh dengan pikiran.
Waktu Midun hampir sampai di kantor, dari j auh sudah kelihatan olehnya Tuanku Laras berdiri di beranda kantor. Setelah
dekat Midun tidak b erani melihat muk a Tuanku Lar as, k arena
dilihatnya Tuanku Laras sebaga i orang hendak marah. Dengan
suara menggelegar sebab menahan marah, Tu anku Laras be rkata, "Awak yang bernama Midun?"
"Hamba, Tuanku," jawab Midun.
"Masuk ke dalam," kata Tuanku Laras dengan hardiknya.
Setelah Midun masuk ke dalam, oran g lain disuruh pergi.
Maka Tuanku Laras bertanya p ula dengan marahn ya, "Berani
benar rupanya awak memukul orang gila, sampai luka-luka. Apa
yang awak sakitkan hat i kepada P ak Inuh yang tak sempu rna
akal itu? Kurang ajar betul awak, ya kerbau!"
"Bukannya demik ian, Tuanku!" jawab Midun. Lalu diceritakanlah oleh Midun dari bermula sampai pengh abisan kejadian
kemarin itu. Tetapi Tuanku Laras sedikit pun t idak mengindahkan pe rkataan Mid un. Jang ankan Tuanku Laras reda
marahnya, melainkan bertamba h-tambah. Midun menundukkan
kepala saja, karena Tuanku La ras me maki di a de ngan tid ak

berhenti-henti.
Setelah puas Tuanku Lara s berkata, m aka Midun m enjawab
pula dengan sabar, katan ya, "L uka Pak Inuh itu karena beliau
jatuh sendiri. Sekali-kali tida k hamba yang melukai beliau,
Tuanku. J ika tidak ad a h amba ke marin, entah be rapa bangk ai
bergulingan, karena beliau meme gang senjata. Jika Tuanku
kurang per caya ata s kete rangan h amba itu, c obalah Tuanku
tanyakan ke pada orang l ain. Tetap i jika ha mba b ersalah berbuat demikian, ampunilah kiranya hamba, Tuanku."
Mendengar perkataan itu, adalah agak kurang marah Tuanku
Laras sedik it. Tetapi kare na pengaduan Kacak termasuk benar
ke dalam hatinya, lalu ia be
rkata, " Sebetulnya awak mesti
diproses perbal dan dibawa ke Bukittinggi* (ke kant or Tuan Assist ent
Resident Fort de Kock). Tetapi sekali in i say a maafkan. Sebagai
ajaran supaya jangan te rbiasa, aw ak dapat hukuman ena m
hari. Awak mesti mengadakan rumput kuda empat rajut sehari.
Sudah meny abit ru mput, awak beke rja di kant or ini dan jag a
malam."
Midun berdiam diri saja mend engar putusan itu . Ia tak
berani menjawab l agi, sebab d ilihatnya Tuanku Laras marah.
Waktu ia akan ke luar kantor, lalu ia berkata, "Bolehkah hari ini
hamba jalani hukuman itu, Tuanku?"
"Ya, boleh, hari ini mul ai, " uj ar Tuanku Laras dengan
sungutnya.
Midun segera ke luar, lalu dice ritakannya kepada ay ahnya,
apa sebab ia dipanggil, dan hukuman yan
g diterimany a.
Mendengar putusan itu, l apang ju ga dada P ak Midun, karena
anaknya tid ak masuk prose s perb al dan tidak dibawa ke
Bukittinggi. Maka Pak Midun herkata, "Teri malah dengan sabar,
Midun! Asal di kampung ini, ap a pun juga m acam hukuman
tidak mengapa. Besar h ati saya en gkau tidak dibawa ke
Bukittinggi. Tetapi t idak patu t engk au menerima hukuman,
karena engkau tidak bersalah. Engkau berbuat pekerjaan baik,
tetapi hukuman yang diterima ; apa boleh buat. Bukankah
Tuanku Laras raja kita dapat menghitamputihkan negeri ini."
Midun berdiam diri saja mendengar kata ayahnya. Tetapi
orang yang mengiringkannya be rsungut-sungut semuanya mendengar putusan itu. Midun teru s pulang mengambil sabit dan
rajut rumput. Sampai di pasar, banyak orang mengerumuninya,
akan bert anyakan perk aranya dipanggil itu. Midun menerangkan, bahwa ia dihukum enam
hari karena menangkap dan

melukai Pak Inuh. Dan hal itu menurut pikiran Midun sudah
patut, sebab ia meluk ai orang. Tet api s egala orang yang
mendengar menggigit bibi r, ka rena pada pik iran mereka itu,
tak patut Midun dihuku m. Mereka itu berkata
dalam hati,
"Tidak adil! Untung luka sedikit,
sebetulnya harus dibunuh
serigala itu. Kalau t ak ada Mid un, barangkali banj ir darah di
pasar ke marin. Kurang t imbangan, t entu beliau mendengar
asutan orang."
Banyak orang kampung itu
yang suka
menggantikan
hukuman Midun. Ada pula yang mau menyabit ru mput sepuluh
rajut seh ari dan menjaga kant or siang-malam, asal Midun
dilepaskan. Tetapi permintaan me reka itu sama s ekali d itolak
oleh Midun. Katanya, "Siapa ya ng beru tang dial ah yang membayar, dan s iapa yang ber salah di a me nerima hukuman. Saya
yang bersal ah, saudara-saudara yang akan dihukum, itu
mustahil. Biarlah saya dihukum,
tak usah dit olong. Atas
keikhlasan hati sanak-sau dara itu, say a ucapk an terima kasih
banyak-banyak."
Sesudah M idun menyabit rumput, lal u bekerja lain pula.
Membersihkan kandang k uda, mencabut rumput di halaman
kantor. Hab is sebu ah, sebuah lagi dengan tid
ak berhentihentinya. Segala pekerj aan itu di mandori oleh Kac ak. Ada-a da
saja yang disuruhkan Kacak. Se hari-harian itu Midun tak menghentikan tan gan. Untuk membuat rokok saja, h ampir t ak
sempat. J ika M idun berh enti se bentar karena lelah, Kacak
sudah menghardik, ditambah p ula dengan pe rkataan y ang
sangat kasar. Mengambil air ma ndi dan mencuci kakus, Midun
juga disuruhnya. Pada malam hari Midun tak dapat sedikit juga
menutup mata sampai-sampai pagi. Tiap-tiap jam Kacak datang
memeriksa Midun berjaga atau tidaknya.
Demikianlah penanggun gan Mid un dari sehari k e sehari.
Dengan sabar dan tulus, hal itu
dideritanya. Apa saja yan g
disuruhkan Kacak, ditu rut Midun dengan ikhlas. Berbagai-bagai
siksaan Kacak kepada Midun, hingga pekerjaan yang berat, yang
tak patut dikerjakan Midun disuruhnya kerjakan. S iang bekerja
keras, malam tak dapat tidur. Hampir Midun tidak kuat lagi
bekerja. Dal am t iga har i saja, M idun tak tegap d an subur itu
sudah agak kurus dan pucat.
Orang di kampung itu sangat kasihan melihat Midun telah
jauh kurusnya. Apalagi ibu Midun, selalu menangis bila melihat
rupa Midun y ang sudah berubah itu. Tetapi pada Midun hal itu

tidak menjadi apa-apa. Ia, selalu memohonkan rah mat Tuhan,


agar kekuat annya bert ambah, sampai kepada hukumannya
habis dijalan inya. Dipoh onkannya pula, moga- moga hati K acak
disabarkan Allah daripada meng aniaya sesama makhluk. Bila
ibunya menangis mel ihat dia, Midun berkata, "S abarlah, Ibu,
jangan menangis juga. Ini baru siksaan dunia yang hamba rasai,
di akhirat nanti entah lebih da ripada ini penanggungan kita.
Bukankah tiap-tiap sesuatu itu telah takdir Tuhan, Ibu! Jadi apa
yang terjadi atas diri k ita tak boleh disesali, karen a perbuatan
itu sama h alnya dengan mengumpat Tuhan jua. Oleh karena
itu, senangkanlah hati Ibu , takkan apa-apa. Tuhan ada beserta
hamba. Hamba pucat d an kurus ini, karena baru bekerja berat.
Hal ini bukankah baik untuk pelajaran hidup, Ibu!"
Pada h ari yang kelima M idun hampir-hampir tak berdaya
lagi. Ketik a ia membaw a rumput ke kandang kuda, lalu jatuh
tersungkur. Kacak melompat, lalu berkata sambil memukul,
"Inilah balasan engkau
melukai mamakku. Rasai oleh mu
sekarang! Jangan pura-pura jatuh, bangun apa tidak!?"
Par! Pukulan Kacak tiba di.punggung Midun. Midun hampir
gelap pemandangannya. Kalau tidak lekas ia
menyabarkan
hatinya, tak dapat t iada sabitnya masuk perut Kacak. Dengan
perlahan-lahan ia ban gun, lalu berk ata, "J anganlah terlalu
amat menyiksa say a, Engku Muda! Kesalahan
saya tidak
seberapa, t idak be rpadanan dengan siksaan
yang saya
tanggung. Saya lihat Engku Muda seperti membalaskan dendam.
Apakah d osa say a kepa da En gku Mu da? Terangk anlah, kalau
nyata saya bersalah, ap a pun juga hukuman yang Engku
jatuhkan, saya terima."
"Memang en gkau mu suhku, jahanam!" ujar Kacak dengan
bengis. "Engkaulah yang meng
asut orang benci kepadaku .
Engkau hendak jadi raja di kampung ini, binatang!"
Dengan m arah amat sangat Mi dun dipukul, ditinju dan diterajangkan o leh Kacak. Di balaskannya sakit h atinya yang
selama ini. Untunglah hal itu le kas dilihat Tuanku Laras dari
beranda k antor. Tuank u Laras segera
memisahkan, dan
berkata, "Hendak membunuh orang engkau, Kacak?"
Mendengar suara itu,
baru Kacak berhenti
daripada
memukul Midun. Jika tak ada Tuanku Laras, entah apa jadinya.
Boleh jadi Midun membalas, bo leh jadi pula Midun binasa,
sebab sudah tidak berdaya lagi.
Pada keesokan harinya, Midun ja tuh sakit. Hari itu ia tidak

kuat lagi me nyabit rump ut. Pa gi-pagi benar Pak Midun telah
pergi menggantikan an aknya menyabit rumput. Belum lagi
matahari terbit, rumput empat rajut itu telah diantarkannya ke
kandang ku da. Kemudian ia pergi kepada Tu
anku Lar as
menerangkan, bahwa an aknya sak it keras. Ia m emohonkan
hukuman yang tinggal sehari itu, dia saja menjalankannya. Baru
saja Tuanku Lar as akan m enjawab, Haji Abbas data ng pula ke
kantor itu. Atas nama guru dan bapak Midun, ia memintakan
ampun muridnya. Apalagi Midun ketika itu di dalam sakit.
Maka Tuanku Lar as berk ata, katanya, "Karena per mintaan
Haji, saya ampuni Midun . Tetapi say a harap an ak itu diajar
sedikit, jangan sampai begitu kurang ajar. Terlalu, ya, sungguh
terlalu, mel ukai orang g ila. O rang yang tak sempurna ak al,
tentu tidak mengert i apa-apa. Kalau dilawan, ten tu kita j adi
gila juga."
Haji Abbas dan P ak Mi dun d iam saj a mendengar perkataan
itu. Kemudian mereka bermohon diri dan meminta terima kasih
atas ampunan yang dilimpahkan kepada Mi dun i tu. Di j alan
sampai pula ng, keduany a tid ak ber cakap-cakap sepatah jua
pun. Mereka tahu ba
hwa perkat aan Tuanku Lar as itu
kepadanyalah tujuannya. Karena itu amat pedih hati mereka,
padahal anaknya tidak bersalah. Tetapi apa hendak dikatakan,
mereka bert entangan dengan raj a di kampung itu. Setelah
sampai di
rumah, lama mer eka itu duduk berpandan
gpandangan. Haji Abbas amat sedih hatinya melihat Midun yang
telah kurus dan pucat itu. Dengan tak diketahui, air mata H aji
Abbas telah berleleran di pipiny a. T idak lam a anta ranya, Haji
Abbas berkat a, "Apamukah yang sakit, Nak? Apak ah sebabnya
maka engkau sakit ini?"
Dengan perl ahan-lahan Midun menj awab,"... Bapak...!
Karena bekerja terlalu berat. Ka lau saya tahu akan begini, mau
saya dibawa ke B ukittinggi da ripada d ihukum di s ini. K acak
rupanya musuh dalam sel imut bagiku. Entah apa dibencikannya, tiadalah saya t ahu. Malah sepe rti orang melepaskan sakit
hati ia ru panya. Tetapi saya belum merasa ber salah kep ada
Kacak. Tak boleh jadi k arena saya melukai P ak Inuh, Kacak
menyiksa say a. Seakan-ak an sudah l ama ia menaruh dendam
kepada say a. Biarlah, Bapak, karena ti ap-tiap sesuatu itu
dengan kehendak Tuhan. Siksaan kepada saya itu saya serahkan
kepada Y ang Mahaku asa. Peny akit say a ini tidakl
ah
membahayakan. Selama sakit akan sembuh, selama susah akan

senang."
Lama Haj i Abbas termen ung memikirkan perkataan Midun
itu. Kemud ian ia berkat a kepa da Pak Midun, kat anya, "Anak
kita dikasihi orang di kampung ini; tetapi Kacak dibenci orang,
karena tin gkah lakunya tidak
senonoh. Tidak ada ubahny a
sebagai anak yang tidak bertunjuk berajari. Karena angkaranya,
orang la in in i binat ang saja pa da pemandangannya. Boleh j adi
ia sakit h ati, karena Midu n ba nyak sa habat k enalannya. S iapa
tahu Midun dihukum ini, barangkali karena perbu atan Kacak.
Tetapi itu menurut persangk aan saya saj a. Tentu dengan
gampang saja ia melepaskan dendam, sebab ada Tuanku Laras
yang akan dipanggakkannya* (Dimegahkannya) ."
"Benar pe rkataan Bapak itu," ujar Midun pula. "Saya ras a
begitulah. W aktu berdua belas di masjid dahulu, sudah sal ah
juga pengl ihatannya kepada saya. Ketika ia melihat hidangan
bertimbun-timbun d i hadapan saya, tampak kebenciannya
kepada saya. Be gitu pula ketika ia salah meny abut raga y ang
saya berikan kepadanya, say a hendak ditinjunya. Dan dalam
mengirik baru-baru ini, makin nyata juga i ri hatinya itu. Sejak
itu saya tegur dia tidak menyahut lagi. Bila melihat saya ia
meludah-ludah dan muram saja mukanya."
"Boleh j adi," kata P ak Mi dun, "dubalang
Lingkik ada
mengatakan, bahwa Kacak benci benar melihat orang banyak di
sawah Midun. Lebih-lebih meliha t orang di sawah itu bergurau
senda, marah ia rupanya."
"Nah, s ebab itu ingatlah e ngkau yang akan datan g, Midun!"
ujar Haji Abbas. "Dia itu keme nakan raja kit a. Tiba di pe rut
dikempiskannya, tiba di mata dipej amkannya. Insafl ah engkau
akan perbuat anmu yang sudah it u. Sama sek ali or ang me muji
perbuatanmu, tetapi hasilnya engkau dapat hukuman."
Ada kira-kira sebulan, baru Midun sembuh daripada sakit.
Badannya se gar, kemb ali bagai s emula. Sejak itu Midun tidak
kerap kali lagi ke pasar. Jika tidak perlu benar, tidaklah ia
pergi. Sedan gkan rokok, ibunya saja yang m embelikan d ia d i
pasar. Malam mengaji, siang ke huma, demikianlah kerja Midun
setiap hari. Pulang dari hum a, ia menge rjakan pekerjaan
tangan. Sekali-sek ali ia menolon g adiknya m enggembalakan
ternak.

5. Berkelahi

SEKALI per istiwa p ada suatu pe tang Midun pergi ke


sungai
hendak man di. Tidak jauh ke sebel
ah hulu, tepian
mandi
perempuan. Pada m asa it u amat bany ak oran g ma ndi, baik d i
tepian perempuan, baik pun di tepian laki-laki. M ereka mandi
sambil bersenda gurau. Ada yang berketimbung sambil tertawa
gelak-gelak. B ermacam-macam tingkahnya, menurut kesukaan
masing-masing. Sekonyon g-konyong datanglah air besar dari
hulu. Sangat deras air mengalir, karen a hujan lebar di mudik .
Batu yang besar-besar, pohon-po hon kayu dan lain-lain banyak
dihanyutkan air. Mereka yang mandi pada kedua tepian itu
berlompatan ke darat. S angat k etakutan me reka itu rupanya.
Masing-masing men olong diri se ndiri-sendiri. Ad a yang jau h
juga d ibawa a ir, te tapi d apat melepaskan di ri. Tetapi ya ng
mandi jauh k e tengah, apalagi tak pandai berenang, tak dap at
tiada bin asalah. Sibuk or ang di tepian, ada yan g me mekik
sebab nger i, ada pul a yan g be rteriak menyuruh kawan segera
ke darat. Bunyi air yang deras itu sangat menakutkan. Tiba-tiba
kedengaran teriak orang mengatakan, "Tolong, tol ong! Katij ah
hanyut! Katijah hanyut!"
Tidak lama kelihatan rambut seorang perempuan d i d alam
air. Timbul-tenggelam dibawa air. Midun ketika itu ada pula di
sana, tetapi ia sudah mandi
dan hendak berangkat pulang.
Banyak oran g lari ke hilir akan men
olong yang hanyut itu.
Segala orang di p asar be rlarian, dahu lu-mendahului akan melihat atau menolong yang hanyut . Mereka tanya-be rtanya siapa
yang hanyut itu. Katijah, yaitu nama perempuan yang hanyut
itu, ialah istri Kacak yang baru dua bu lan dikawininya. Banyak
sungguh orang berdiri di tepi sungai. Orang itu semuanya hanya
kadar melihat yang hany ut saja. Seorang pun tak ada yan
g
berani menolong. Mereka takut dirinya akan binasa, sebab air
terlalu deras. Di dalam
orang banyak itu Midun serta pula
melihat. K asihan benar ia melih at jiw a perempuan yang terancam itu. K arena dil ihatnya ti dak seorang juga y ang hendak
menolong. Midun bersiap,
hendak terjun.
Pakaiannya
ditanggalkannya, hingga tingga l cel ana pendek saj a lagi.
Dengan tidak berpikir lagi, Midun lari ke hilir dan melompat ke
dalam sung ai. Am at suka r ia akan mencapai perempuan itu,

karena air makin de ras. Kayu-kayu besar yang h anyut sangat


mengalangi Midun akan mencapai Katijah. Setelah ia dekat
kepada perempuan yang hendak ditolongnya itu, terpaksa pula
Midun meny elam, karen a beberapa alangan. D engan su sah
payah d apat juga d itangkapnya pinggang K atijah, lalu berhanyut-hanyut ke hilir sambil
menepi sungai. D engan cara
demikian d apatlah Midun mencapai d aratan. S ampai d i darat
dipegangnya kaki perempuan itu lalu dipertunggan gnya* (Kaki ke
at as kepala ke bawah) , agar keluar air yang terminum oleh
perempuan itu. Katijah sudah pingsan, tidak tahu akan diri lagi.
Kain di badan tak ada, telanjang bulat.
Maka datan glah oran g berlari-lari membawa kain untu k
Katijah. Bersama itu pula Kaca k deng an dua oran g kawannya.
Di belakang itu orang ban yak ya ng ingin melihat kejadian itu,
bagaimana k esudahannya. Midun be rusaha se dapat-dapatnya
supaya K atijah yang pin gsan itu siuman akan d irinya. Setelah
orang b anyak datan g, maka K atijah diserahkan oleh Midun
kepada p erempuan, supaya dibel a dan diber i pak aian. K acak
masam saja mukanya mel ihat Midun. Jangankan minta terima
kasih, melainkan panas hatinya kepada Midun. Benar, sepatutnya ia minta syukur istrinya telah ditolong. Tetapi apakah
sebabnya maka si Midun, oran g yang sangat dibencinya itu pula
yang menolongnya. Lebih panas lagi h atinya ket ika diketahu inya istrinya itu dalam bertelanjang pul a. Maka tidak tertahan
panas hatinya lagi, l alu iapun be rkata, "Midun, ad akah dihalalkan dalam agama bahw a orang l aki-laki itu boleh menyentuh
kulit perempuan orang lain?"
Orang banyak sangat heran dan amat
sakit h atinya mendengar perk ataan Kac ak i tu. Ja ngankan ia minta t erima kasih
atas kebaktian Midun, malaha n perkataannya sangat melukai
hati orang. Midun sendiri takju b dan tercengang, karena tidak
disangkanya perkataan macam itu akan keluar dari mulut
Kacak. Maka Midun menjawab, katanya, "Engku Muda, saya
menolong k arena Allah. Jika Engku Mu da hendak bertanyakan
terlarang atau tidaknya dalam
agama, me mang hal itu
tersuruh, tak ada l arangannya. Ji ka tidak ada saya, barangk ali
istri Engku berkubur di dalam sungai ini."
"Kurang ajar, berani engk au berkata b egitu kepadaku?" ujar
Kacak dengan marah. "Engkau kira saya in i patun g saja, t idak
tahu men olong ist ri dalam ba haya? Lancang benar mulutnya
menghinakan daku, seorang kemenak an Tuanku Laras, di muka

khalayak seb anyak ini. H endak engkau rasai pulak ah tangank u


sekali lagi?"
"Saya maklu m Engku Muda keme nakan Tuanku Laras," ujar
Midun dengan sabar. "Saya pun tidak menghinakan Engku Muda,
karena perkataan saya itu sebenar-benarnya. Tadi setelah say a
lihat tidak seoran g jua yang ak an menolong, saya terus saja
terjun ke ai r akan membela i stri Engk u. Saya harap janganl ah
Engku terlalu benar men gatakan oran g 'kurang aj ar' sebelu m
dipikirkan lebih dahulu."
"Jika bena r engkau s aya katak an kurang aj ar, a pa
pikiranmu, anjing!" ujar Kaca k den gan sangat marah. "Akan
saya sembahkah engkau hendaknya, binatang!"
Kacak melompat hendak menyerang Midun, tetapi ditahan
orang, lalu disabark an. Makin disabarkan, mak in jadi, dipe rkitar-kitarkannya oran g yang me megang di a. Or ang bany ak
berkerumun melihat pert engkaran Kacak dengan Midun. Midun
tidak da pat la gi menahan h ati. Apalagi mend engar perkata an
"binatang" da n "anjing" itu di muka or ang banyak. A da jug a i a
hendak menyabarkan hatinya, tetapi t iada dapat. M aka ia pun
berkata, " Lepaskanlah, Saudar a-saudara, tak us ah dis abarkan
lagi! S anak saudara sek alianlah y ang akan menj adi saksiku
kelak, bahwa saya dal am hal ini tidak bersalah. Terlalu benar,
sementang kemenakan Tuanku Laras. Datan
gilah Kacak,
lepaskan dendammu! Menanti atau mendatang?"
Orang banyak rupanya menanti perk ataan Midun saja lagi.
Memang orang sang at be nci kepa da K acak yan g s ombong itu.
Mereka telah berjanji dengan dirinya ma sing-masing, apa pun
akan terjad i lamun ia te tap akan me njadi s aksi Midun kelak.
Kacak segera dilepaskan orang dan melapangkan tempat untuk
berkelahi. Dalam perk elahian itu, sekali pun tidak dapat K acak
mengenai Midun. Tiap- tiap Kacak menyerang selalu jatuh tersungkur. Kacak hanya berani membabi buta s aja, mukanya
berlumur darah. Midun sekali pun t idak mengenai Kacak. Kacak
tersungkur k arena deras datang yang selalu dielak kan Midun.
Sedapat-dapatnya Midun menah an hatinya akan melekatkan
tangan kepada Kacak. Kacak pay ah, akan lari malu, orang satu
pun tiada yang men olong. Akan minta ampun lebih malu l agi,
namanya an ak laki-laki. Ia hampir t idak berg aya lagi. Maka
katanya, "Tolonglah saya, kawan! jasamu tidak akan saya lupakan. Engkau biarkan sajakah saya seorang?"
Teman Ka cak yang du a orang tad i maju ke ten gah, lalu

berkata, "Ini dia lawanmu Midun, tahanlah!"


Maun melompat lalu berkata, "Satu
lawan satu. Engkau
berdua. Sama menolong teman, di sini juga begitu."
"Engkau jangan campu r, Maun!" ujar Midun. "Biark an saya
sendiri, biarpun sepuluh orang. Kal au saya kena atau mat i baru
engkau tunt utkan balas. Adat laki-l aki berpanj ang minta
tolong. Cobakanlah beranimu!"
Maun mengu ndurkan diri mendengar perkataan sah abatnya
itu. I a tiada berani membantah, sebab Maun sudah tahu sejak
dari kecil
akan t abiat Midun. Midun sekaran
g melepas
kekuatannya. Dalam se saat saja kedua orang itu jat uh. Mereka
kedua tak dapat bangun lagi karena tepat benar kenanya.
Melihat hal itu, Kacak melompat m enyerang d engan p isau.
Kacak te rjatuh pula, tidak dapa t bangun lagi. Ketika ia mencoba hendak bangkit pula, du
balang Lingk ik datang dan
menangkap pisau di tangan Kacak, lalu berkata, "Sa bar, Engku
Muda, malu kita kepada orang."
Dubalang Lingkik datang itu bersama dengan Penghulu
Kepala. Midu n, Kacak, d an dua oran g temanny a dibaw a ke
kantor Tuanku Laras. Kacak di papah orang seb ab sudah payah
dan kesakitan, dan muk anya su dah b ersimbah darah. O rang
banyak yang melihat perk elahian itu dibawa se muanya sebagai
saksi. Di mu ka Tuanku Laras, dubalang Lingk ik menerangkan
dengan sebenarnya. Dikatakanny a, bahwa pisau it u ditangkapnya di tangan Kacak. Dan dika takannya pula Kacak melawan
Midun tiga orang dengan t emannya. Kemudian Midun dan Kacak
ditanyai pul a oleh Tu
anku Laras. Saksi -saksi dipan ggil
semuanya, lalu ditany ai. Dengan berani,
mereka itu
menerangkan dari awal sampai ke akhir peristiwa itu. Meskipun
Kacak kemenakan Tuanku Laras, tetapi semu a berpihak kepada
Midun. Setelah sudah pemerik saan it u, Midun disuruh pulang.
begitu pula segala sak si-saksi semuanya pulang. Tu anku Laras
mengatakan, bahwa bila nant
i d ipanggil mesti dat ang
sekaliannya.
Tuanku Laras berk ata kepada Penghu lu Kepala, k atanya,
"Perkara in i saya pulan gkan kepada Penghulu Kepala dan
kerapatan penghulu. Kurang pant as dan tidak laik rupanya,
kalau saya y ang memerik sa. Sungguhpun demik ian, Penghulu
Kepala tentu maklum."
"Baiklah Tuanku; " jawab Penghulu Kepala. "Insya Allah akan
saya per iksa dengan sep atutnya, hingga menyen angkan hati

Tuanku."
Tiga hari kemudian daripada itu, Midun dipanggil Penghulu
hepala. Kacak dan saksi-saksi p un dipanggil semua. Pak Midun,
Haji Abbas, dan Pendekar Sutan pergi pula akan men dengarkan
putusan itu. Orang bany ak pula dat ang ak an mendengarkan.
Perkara Midu n itu diperik sa oleh kerapatan di kampung itu,
yang dikepal ai oleh P enghulu Ke pala sebagai ketu anya. Mulamula Midun ditanya, setelah itu Kacak. Kemudian segala saksisaksi y ang h adir dalam perkelahian it u. Setelah diperbin cangkan panjang lebar, maka perkara itu diputuskan oleh Penghulu
Kepala. Midu n harus ronda kamp ung setiap malam, lamanya
enam h ari. Midun diper salahkan membalas den dam kep ada
Kacak, karena kedua orang itu telah lama bercedera.
Setelah perk ara itu d iputuskan, Haj i Abbas pun b erdatang
kata, katany a, "Penghulu Kepala dan kerapat an yang hadir!
Karena pe rkara ini su dah diputuskan , saya sebagai guru d an
bapak Midun, mohon bicara sepatah kata. Saya amat bersenang
hati at as pu tusan itu, k arena Midun membela jiwa seoran g
perempuan, sekarang ia dihukum
harus ronda malam enam
hari. Hukuman yang diput uskan itu memang seadil-adilnya dan
telah pada t empatnya pula. Sa ya mengucapkan banyak-banyak
terima kasih kepada Kerapatan dan kepada Penghulu Kepala."
Kerapatan it u diam, seorang pun t ak ada yang menjawab
perkataan Haji Abb as ya ng amat d alam art inya i tu. Mereka
berpandang-pandangan s eorang akan seor ang, te tapi tak ada
yang berani menjawab. Demik ianlah h alnya sampai kerapat an
itu disudahi dan orang pulang semua. Sampai di ru mah Midun,
Haji Abbas berkata, " Pak Midun, oran g rup anya henda k
mencelakakan anak kita. Kita yang tua harus ingat-ingat dalam
hal ini. H al ini ti dak b oleh ki ta permudah- mudah saja l agi.
Orang lain sudah campur dalam perkara Midun den gan Ka cak.
Asal kita ikh tiarkan, k alau akan b inasa juga apa boleh buat.
Maklumlah Pak Midun?" '
"Saya kurang mengerti akan ujud perkataan Haj i itu," jawab
Pak Midun dengan heran.
"Sudah setua ini P ak Midun, belum t ahu juga akan ujud
putusan itu," ujar Haji Abbas. "Kilat beliung sudah ke kaki, kilat
cermin sudah ke muka. A nak kita m asa ini d alam bahaya. Kit a
harus beringat-ingat benar."
"Bahaya apa pula yang ak an datang ke pada Midun," jawab
Pak Midun. "Bukankah perkaranya sudah diputuskan?"

Dengan perlahan-lahan Haji Abbas berkata, "Rapat itu tidak


dapat menghukum Midun dengan huk uman y ang l ebih berat,
karena saksi semu a berpihak dan
mempertahankan Midun.
Sebab itu M idun disuruh ronda malam saja. D i dal am Midun
ronda itu, tentu orang dapat men celakakan Midun, supaya ia
mendapat hukuman yang berat, mengerti Pak Midun?"
"Amboi!" kata Pak M idun sambil menarik napas. Ia insaf dan
tahu sekarang, bahwa Midun dalam bahaya.
"Pendekar S utan," kata Haji
Abbas pula. "Dalam enam
malam ini hendaklah
engkau dengan mur id-muridmu dan
temanmu semua menemani Midun ronda malam di kampung ini.
Hati-hati engkau jangan orang dapat membinasakan anak kit a.
Saya harap dalam enam hari ini jangan ada terj adi apa-apa di
kampung."
"Kamu, Midun," kata Haji Abbas men
ghadapkan
perkataannya kepada M idun. "Kalau ada temanmu yang seh ati
dengan engk au, bawalah ia akan ka wan pergi r onda. Say a
sendiri den gan ayah mu akan
menolong engkau seda patdapatnya."
Setelah mereka itu berteguh-teguh janji, maka pulanglah ke
rumah masing-masing. M idun pun pergi men cari k awan, akan
teman pergi ronda. Pendekar Sutan dengan teman dan
muridnya 20 orang dan Midun dengan kawan-kawannya ada pula
12 or ang. M ereka itu mufakat, b agaimana h arus m enjalankan
ronda itu, dan menet apkan tanda-t anda kalau ada sesuatu
bahaya bertemu. Setelah sudah, mereka itu semuanya mulailah
menjalankan ronda.
Lima malam telah lalu a dalah selamat saja, tidak kurang
suatu ap a-apa. Ketig a ba pak Midun d engan tem annya, ingat
benar menjaga keselamatan di kampu ng itu dalam lima malam
yang sudah. Midun sendiri seba gai ketua dari kaw an-kawannya,
membagi-bagi r onda itu b erempat-berempat. Sek arang tin ggal
lagi malam yang penghabisan. Mereka sekarang h arus i ngatingat ben ar, karena i a m erasa bahw a mala m itu s eakan-akan
ada bah aya yang akan d atang. Midun meng atur dengan ba ik,
bagaimana harus melakukan ronda malam itu.
Demikian pu la Pendekar Sutan dengan anak
muridnya.
Midun dan Maun malam itu tidak bercerai. Keduanya lengkap
dengan senjata, mana yang perlu.
Kira-kira pukul tiga malam, Mi dun ronda melalui rumah istri
Kacak. Tiba-tiba Midun berhenti karena men dengar sesuatu

bunyi di rumah Kacak. Midun terkenang akan nasihat bapaknya,


bagaimana melihat orang dalam malam yang gelap. Maka ia pun
merebahkan diri dan men angkup, lalu melihat arah ke rumah
Kacak. D i halaman rumah keliha tan oleh Midun sesuatu sosok
tubuh; dan ada pula seorang sedang membuka pintu rumah.
Tak jauh di halaman tampak pula seoran g lagi. Dengan
perlahan-lahan Midun berkata ke pada Maun, "Mali ng. Perg ilah
panggil Bapak Pendekar dan kawa n-kawan, supay a dapat kita
mengepung. Masih ada w aktu, di a baru mulai membuka pintu.
Ingatlah, segala pekerjaan ini harus dilakukan dengan perlahanlahan benar, supaya kita jangan diketahuinya."
Dengan tidak menyahut sepata h jua, Maun pergilah. Tidak
lama antaranya datangl ah Pendekar Sutan dengan Maun.
Pekerjaan itu dilakukan dengan diam-diam dan hati-hati benar.
Midun bertanya dengan berbisik, "Sudahkah siap, Bapak?"
"Sudah," ujar Pendekar Sutan. "Pada keliling rumah ini, agak
jauh sedikit, orang sudah bersiap. Sudah saya perint ahkan mengepung rumah, takkan dapat maling melarikan diri. Mereka itu
hanya menanti perintah kita
saja. Sudah
saya kat akan
kepadanya, siapa yang lari, pukul saja."
Dengan sabar, Midun dan
kawan-kawannya menantikan
maling itu k e luar, supaya dapat t anda buktinya apabila d itangkap. Sudah di mufakati, bahwa yan g akan menyerang i alah
Midun dan Pendekar Sutan. Maun siap akan membela, manakala
di antara mereka kedua ada yang kena dalam perkelahian itu.
Ada sej am k emudian, keluarlah mal ing itu, sam bil mem ikul
barang cu riannya. Ketika hendak
turun janjang, kakinya
tergelincir, l alu ia jatuh , pukulan Midun tiba di
kepalanya.
Dengan segera mal ing itu bangun sambil mencabut pisau
hendak membalas. Tetapi Midun segera mendahului, memukul,
dengan gada sekali lagi. Pukulan itu tepat kena pada kenin g
maling itu, l alu terjatuh tidak be rgerak lagi. Ketika itu Maun
telah ada pada sisinya, lalu berk ata, "Biarkanlah orang ini saya
ikat dengan tali. Yang seoran g lagi dapat saya pu kul, tetapi
karena kurang tepat, masih kuat ia melarikan diri. Pergilah
tolong Mamak Pendekar, beliau sudah bergumul dengan maling
itu. Ny ata ke dengaran p ada saya, bah wa o rang itu belum tertangkap."
Dengan tidak berkata sep atah jua, Midun melom pat pergi
mendapatkan Pendekar S utan. Didapatinya maling itu sudah
pingsan te rhantar di tan ah. Pe ndekar Sutan kena pisau pada

pangkal lengannya. Untung tidak berat lukanya.


"Dalam luka Bapak?" ujar Midun dengan cemas.
"Tidak," jawab Pendekar Sutan. "Waktu saya menangkapnya,
kaki saya terperosok ke d alam lubang tempat orang memeram
pisang. Ketika itulah saya kena ditikamnya. Untung dapat juga
saya menangkis, kalau tidak te ntu tepat kena say a, dan hanya
bangkai yang akan engkau dapati di sini. Engkau bagaimana?"
"Selamat," ujar Midun," orang itu sudah diikat Maun. Marilah
kita ikat pula orang ini."
"Yang satu l agi ke mana?" ujar Pendekar Sutan. Bukankah
engkau mengatakan mereka tiga orang banyaknya?"
"Biarlah, Bapak," kata M idun pula. "Asal yang dua in i dapat,
'sudahlah. Tentu ia sudah mela rikan diri. Ia ada juga kena
dipukul oleh Maun. Besok tak dapat tiada y ang l ari itu akan
tertangkap juga, asal
yang dua i ni dipak sa menyuruh
menunjukkan temannya yang seorang itu. Sungguhpun
demikian, boleh jadi ia sudah ditangkap kawan-kawan."
Haji Abbas, karena suraunya berdekatan dengan rumah istri
Kacak, mendengar perk elahian itu, m emang H aji Abbas tid ak
tidur se malam-malaman i tu, me ndengar kalau-kal au ada yang
terjadi atau orang memanggil dia. I a sege ra tur un dengan
melalui jendela surau. Tiba-tib a terasa olehnya s eakan-akan
ada orang ya ng hendak b ertumbuk de ngan di a. De ngan tid ak
berpikir lagi . Haji Abb as me mainkan kakinya, orang itu
berteriak, "Saya Kacak, mengapa dipukul, aduh...!"
Mendengar suara itu, Haji Abbas menghilang di dalam gelap.
Akan kedua maling itu s udah diik at, lalu diirin gkan mereka
beramai-ramai ke rumah Penghulu Kepala. Barang-baran
g
curian itu d ibawa Maun se muanya. Maklumlah anak mudamuda, tentu mereka t ak kurang mel ekatkan tangan kepada
maling itu, hingga sampai ke rumah Penghulu Kepala. Ketika itu
hari sudah lewat pukul e mpat pagi. Karena Penghulu Kepala di
rumah istrinya yang seorang lagi, lalu dibawa kedua maling itu
ke rumah Tuanku Laras.
Biasanya p ada tiap-tiap kampun
g yang di bawah
pemerintahan Tuanku Lara s itu, di adakan orang tongton g.
Tongtong itu digantungkan pada tiap-tiap rumah jaga, dan
dijagai oleh dua orang sekura ng-kurangnya. Manakala ada
bahaya, baru tongtong itu
boleh dibunyikan, misalnya
kebakaran, k emalingan, dan lain -lain y ang semacam itu. P ada
tiap-tiap bah aya, berla in-lainan c ara oran g me mbunyikannya.

Yang lazim, jika kebak aran teru s-menerus saja buny i tongt ong
itu. Kalau kemalin gan, lain la gi macam bunyinya. Pada mala m
kemalingan di ru mah Kacak itu, amat sibuk buny i tongt ong.
Bersahut-sahutan kampun g yang sebu ah dengan kampung lain,
akan me mberitahukan b ahwa ada b ahaya. Mendengar bunyi
tongtong itu, oran g maklum suda h, bahaya apa y ang terjadi.
Masa itu mana yang berani,
berlompatan turun ke halaman
dengan senj atanya. Mereka itu terus lari ke rumah jaga
menanyakan di mana k emalingan. Tetapi s i pe nakut me mperbaiki s elimutnya, a da pula yang bangun memeriksa pintu,
dan ada pula yang duduk saja ketakutan di dalam rumahnya.
Demikian pul a halnya Tu anku Laras. Ketika ia mendengar
bunyi tongtong itu, ia t erkejut lalu bangun. Tuanku Laras amat
heran mendengar bunyi tongtong, karena sudah hampir 5 tahun
sampai wakt u itu, belum pernah ada bahaya yan g terjadi di
kampung itu , pada pikir annya, "Tak dapat tiad a ada oran g
maling menj arah dari negeri lain ke kampung in i. Atau boleh
jadi... Tetapi mengapa Penghulu
Kepala pul ang ke ru mah
istrinya di kampung lain?"
Maka i a pu n seger a memakai b aju mala m, d iambilnya
terkul. Ia terjun ke halaman, diiringkan oleh
dua orang
dubalang. Tiada jauh Tu anku La ras berjalan, sudah kelihatan
olehnya suluh berpuluh-puluh buah. Di muka tampak dua orang
yang sudah terikat, dan di belakang amat banyak oran
g
mengiringkannya. Mereka itu semu a menuju ke ru mah Tuanku
Laras. Den gan sege ra seorang du balang di suruh Tuanku L aras
membawa maling itu ke kantornya.
Kedua mal ing itu tidak dapat ditany ai malam itu, karena
berlumur darah dan letih. Baru saja sampai di be randa kantor
mereka pingsan t idak sadark an d iri lag i. Ti ap-tiap orang
sepanjang jalan mengirimkan sepak terjang kepada mal ing itu.
Orang bany ak itu disuru h pulang ole h Tuanku L aras semua.
Pendekar Su tan, Maun, dan Mi dun dipanggil ke dalam oleh
Tuanku Laras.
"Di mana kamu tangkap maling ini?" ujar Tuanku Laras.
Midun lalu menerangkan bahwa kemalingan itu di ru mah
Engku Muda Kacak. Segala tanda bukti diperlihatkannya semua.
Kemudian d iceritakannya, ba gaimana c aranya menangkap
maling itu sejak dari bermula
sampai tertangk ap. Pendekar
Sutan luka t idak dikatakan Mid un. M endengar cerita M idun,
Tuanku Laras mengan gguk-anggukkan kepala saja. T etapi pada

mukanya nyata ada sesuatu yang terpikir dalam hat


inya.
Setelah habi s Midun berce rita, Tuanku Laras be rtanya, "Kacak
ada di rumah istrinya?"
"Tidak, Tu anku!" jawab Midun. "Menurut keterangan
istrinya, ia pulang ke rumah istrinya yang lain. Tetapi ke rumah
istri beliau yang mana, tidaklah hamba tahu."
Baru saja h abis Midun berkata, Pen ghulu Kepala datang
dengan teren gah-engah. R upanya Penghulu Kepala berlari dari
rumah i strinya di ka mpung la in, k arena mendengar bunyi
tongtong. Setelah Iepas lelahnya, maka Tuanku Laras dibaw a
Penghulu Kepala bercakap ke dala m sebuah bilik kantor itu.
Kira-kira setengah ja m, baru keduan ya keluar de ngan muk a
masam. Mak a Tuanku La ras berkat a, "Midun! Kar ena kedua
orang mal ing ini masih pingsan, belu m boleh ditanyai, kamu
boleh pulan g saj a dah ulu. Na nti bilamana saya
panggil,
hendaklah segera engkau datang." '
"Baiklah, Tu anku, kam i mohon m inta izin," uja r M idun
dengan hormatnya.
Sampai d i rumah, Mid un mencer itakan kepad a ayah
bundanya kejadian pada malam itu. Ibu bapak Midun berbesar
hati dan meminta syukur kepada Tuh an seru seka lian alam,
karena an aknya Ada selamat s aja, te rhindar d aripada bah aya.
Tetapi dalam hati Midu n timbul suatu perasaan yang ganjil,
ketika ia me ngenangkan perkat aan Tuanku Laras menanyakan
Kacak dan k etika P enghulu Kepala membawa Tuanku Laras
bercakap ke dalam bilik. Sebab itu ia ingin hendak menget ahui
bagaimana k esudahan pemerik saan perkara itu. Pak Midun
mengangguk-anggukkan kepala saj a. Ia telah maklum selukbeluk perbuatan orang hendak mencelakakan anaknya. Apalagi
kabar yan g dikatakan Haji Abb as den gan rah asia kepadanya,
tentang kejadian malam itu, makin meneguhkan kepercay aannya. Ngeri P ak Midun memikirkan, j ika an aknya dapat bahay a
pula.
Tetapi senang pula hatinya, karen
a hal yang sangat
mengerikan itu sekarang sudah terlepas.
Ketika Mi dun, ayah bund a, dan adik-adiknya sudah mak an
pagi itu, kedengaran orang batuk di halaman. Orang yang batuk
itu ialah Haj i Abbas; ia naik ke rumah. Setelah Haji Abbas
duduk, kopi dan pengan an pun dihidangkan oleh ibu Midun.
Tidak l ama kemudian H aji Abbas berkata, "Mak lumlah Pak
Midun sek arang, apa ujud oran g menghukum Midun enam hari

itu?"
Sedang Pak Midun mengangguk-an ggukkan kepala, menyatakan kebenaran perkataan Haji Abbas, Pendekar Sutan dan
Maun naik pula ke ru mah. Baru saja Pendekar S utan duduk,
Haji A bbas b erkata sambil tersenyum dan menyin dir, "M idun,
saya dengar kabar bap akmu kena tika m semalam. Hampir saja
kita berkabung hari ini. Waktu saya mendengar kabar itu, saya
menyangka t entu Midun terburai perut nya kena pisau. Sedang
bapaknya yang sudah termasyhur p endekar la gi ke na, b ahkan
pula anaknya. Kiranya terbalik , anak selamat tet api bapak...
Ah, sungguh tak ada pendekar yang tidak bulus."
"Benar," ujar Pak Midun pula sambil tersenyum menyela perkataan Haji Abbas akan mengganggu Pendekar Sutan. "Agakny a
langkah Pen dekar Sutan sumbang malam t adi. Yang patut
langkah maj u, mundur ke belakang. Dan boleh jadi juga
terlampau tinggi membuang tangan, ketika itu pisau bersarang
ke rusuk Pendekar Sutan."
Seisi rumah riuh tertaw a, tetapi Pen dekar Sutan merah
mukanya me ndengar s indiran me reka berdua. Ia pun berkata,
"Mengatakan saja me mang gampan g. Jika Haji at au Pak Midun
sebagai saya semalam, baran gkali berbunyi cacing gelanggelang di
perut ketakutan,
setidak-tidaknya putih tapak
melarikan diri. Sebabnya, pertama orang y ang b ertentangan
dengan saya itu tidak s embarang orang, saya kenal benar akan
dia. Kedua, kaki saya terperosok masuk lubang, dalam pada itu
tikaman bert ubi-tubi pula datang nya. Ketiga, hari gelap amat
sangat, sedikit saja salah menangkis, celaka diri.
Keempat, pikiran tak pula se nang, memikirkan anak sedang
berkelahi. Biarpun Midun pendekar, begitu pula Maun, keduanya masih muda-muda, belum tahu tipu muslih at perkelahian.
Lagi pula maling itu siap dengan alat senjatanya, t etapi kita
tidak demikian benar."
Mendengar perkataan Pendekar Sutan, mereka k
eduanya
berdiam diri, lalu Haji Abbas be rkata, "Berbahay a juga kalau
begitu? Cobalah ceritak an, su paya kam i dengar. Siapa dan
bagaimana orang yang berkelahi dengan Pendekar itu."
"Untung dia dengan say a bertentan gan," ujar Pendekar
Sutan memul ai ceritanya. "Orang itu ialah Ma Atang, seorang
perampok, p enyamun, pe maling, ya, seorang p embatak yan g
amat jahat. Nama Ma Atang telah dikenali orang di mana-mana
sebab kejahatannya. Keberaniannya dan ketangkasan Ma Atang

pun sudah termasyhur. Ia sudah tiga kali dibuang menjadi orang


rantai. Ketiga kal i pembuang annya itu ialah perkara pembunuhan dan perampokan di Palembayan dahulu. Sungguhpun
demikian, perangainya y ang jahat it u tidak juga berubah.
Macam-macam kat a orang tentang ke beranian Ma Atang. Ad a
yang meng atakan i a keba l, tida k luput oleh senjat a. Ada yang
mengatakan, kepandaiannya bersilat sebagai terbang di udar a.
Bahkan ada pula or ang yang men gatakan, b ahwa ia t ahu
halimunan. Hati s iapa tak kan kecut, s iapa yan g tak kan genta r
berhadapan dengan orang m acam it u. Apal agi h atinya h ati
binatang, tidak menaru h kasi h me sra kep ada sesa manya
manusia. As al ak an b eroleh u ang, apa saja mau ia
mengerjakannya. Nyawa oran g di pandangnya sebagai nyawa
ayam saja. Untung juga saya mengetahui Ma Atang itu setel ah
hadir di kantor Tuanku Laras. Jika sebelum itu saya mengetahui
Ma Atan g, boleh jadi bergoyan g iman saya, dan saya bina sa
olehnya.
Semalam, ke tika saya m endekati akan me mukul ke pala M a
Atang itu, terinjak olehku ranting kayu . Bunyi itu didengarnya,
lalu ia berbal ik. Saat itu saya pergun akan, saya gada mukanya.
Dengan tangkas ia mengelak, dicabutnya pisau dari pi nggangnya. Hal itu tam pak te rbayang kepa daku. Saya t angkis p isau
itu, lalu kami pun bergu mul. Dalam perkelahian itu saya selalu
maju d an merapatkan d iri, sebab ia berpisau dan hari gel ap.
Sedikit pun t ak saya be ri kese mpatan ia menikam. Ma At ang
dapat saya tangkap,
dan saya em paskan ke po hon ka yu.
Jangankan i a terempa s, melainkan se akanakan ta k menjejak
tanah ia ru panya. Sebagai kilat ce pat Mak At ang berb alik
menikam saya. Ketika saya menyalahkan tikaman itu, kaki saya
terperosok masuk lubang pemeram pisang... pangkal lengan
saya pun kena. Waktu itu belum terasa apa-apa oleh saya kena
pisau. Saya tarik kaki saya kuat-kuat, lalu saya menidurkan diri,
tetapi siap menanti. De ngan mu slihat itu, pad a pikir an M a
Atang te pat saja ken a tik amannya. Dengan amuk sambil lari,
diulangnya menikam saya sekali lagi. Masa itulah ia dapat saya
kenai; tepat benar k aki saya mengenai...maaf, ibu Midun
kemaluannya. Ia pun jatuh pi
ngsan, Midun su dah dat ang
mengikatnya."
Segala isi ru mah ngeri mendengar cerita Pendekar Sutan.
Lebih-lebih ibu Midun, sebentar -sebentar ia menjerit. Maklumlah seisi rumah itu sekarang, bagaimana ke adaan Pendekar

Sutan malam itu. Sebab it u Haji Abbas dan Pak Midun tidak lagi
memperolok-olokkan adiknya. Kemud ian Haji Abbas be rtanya
pula, "Engkau bagaimana pula lagi dengan musuhmu, Midun?"
"Bagi saya mudah saj a, Bapak, " ujar Midun. "Ketika Bapak
Pendekar dan Maun datang, kami mu fakat lalu b erbagi-bagi.
Yang di jalan bagian Maun , yang di p intu gapura bagian Bapak
Pendekar Su tan, dan yang ma suk ru mah b agian saya. M aun
kami larang menyeran g, supaya dapat men olong kami, kalau
ada yang kena. Sungguhpu n demikian ia selalu siap. Saya t ahu,
bahwa jarak maling itu dengan temannya berjauhan. Saya pun
merangkak k e tangga, di pintu tempat ia masuk. K arena anak
tangga itu betung, dengan mudah saya buka anaknya sebuah.
Saya pun berdiam d iri de kat tang ga it u men antikan dia turun.
Tidak lama, maling itu turun sambil memikul barang curiannya.
Waktu ia turun semata anak tang ga, kakinya tergelincir, jatuh
ke bawah. Ketika itulah saya gada kepalanya
sekuat-kuat
tenaga saya. Saya sangk a tentu ia terus pingsan. Tetapi tidak,
ia bergerak lagi hendak menyeran g saya. Saya pukul lagi
mukanya, ia pun pingsan tak sadarkan dirinya."
Setelah tamat pula cerita Midun, Haji Abbas bertanya pula,
"Engkau bagaimana pula dengan musuhmu, Maun?"
"Saya tid ak menyerang, melainkan b erdiam dir i saja dek at
jalan," ujar Maun. "Waktu sa ya mendenga r M amak Pendeka r
Sutan berkel ahi, tiba-tib a saya bertumbuk den gan se seorang
yang rupanya hendak melarikan diri. D engan segera saya pukul
akan d ia. En tah kepala, entah punggungnya yang kena, saya
tidak tahu.
Tetapi dia t erus juga lar i. Kalau saya kejar tentu dapat,
tetapi saya tidak menepati janji. Lagi pula saya takut akan
digada teman-teman yang sudah berkeliling mengepung rumah
itu. Saya segera
mendapatkan Midu n, dan dia
saya suruh
menolong Mamak Pendek ar. Maling yang dipukul Midun itu lalu
saya ikat."
Haji Abbas
mengangguk-anggukkan kepala, t erkenang
kepada Kacak yang
mengaduh kena kakinya se malam itu.
Menurut pikiran Haji Abbas, ta k d apat tiada orang yang lar i
dipukul Maun dan yang kena sepa knya itu, ialah Kacak. Setelah
adik-adik Midun disuruh pergi bermain, lalu Haji Abbas berkata,
"Midun dan Maun, cerit a bapak mu t adi banyak yang patut
engkau ambil jadi teladan. Demikianl ah hendakny a mu slihat
jika berkelahi dengan orang yang memegang pisau. Dal am

perkelahian yang tidak memak ai pisau pun, ada ju ga tipunya.


Misalnya mengumpan oran g dengan pura-pura meny umbangkan
langkah. Tet api manak ala dala m per kelahian ban yak, artinya
engkau se orang dipe rsama-samakan orang, jang an sekali-k ali
maju. Hendaklah engkau selalu mengundurkan
diri, sambil
menangkis serangan oran g. Dan kal au dapat, carilah tempat
vang tiga persegi, yang dinamakan orang: kandang sudut. Di
tempat itu, sukarlah orang mengenai kita."
Maka Haji Abbas menerangkan dengan panjang lebar, bagaimana tipu muslihat dalam perkelahian kepada Midun dan Maun.
Untuk menjadi mi sal, Ha ji Abba s me nceritakan k eadaannya
dengan Pak Midun semasa muda. Ke mudian Haji Abbas menyambung perkataannya, "Rupanya waktu Ma Atang berkelahi
dengan Pen dekar Sutan , nyata ba hwa Ma At ang hendak
membunuh lawannya ben ar. Jika saya tidak salah tampa, tak
dapat t iada Pendekar Su tan disangk anya Midun. Orang yang
dipukul Maun itu, pada h emat saya tentu Kacak. S udah dapat
pukulan dar i Maun, dapat bagian pula dari saya. Te tapi K acak
sekali-kali tidak tahu, bahwa sayalah yang bertemu dengan dia.
Ingatlah, hal ini haru s dirahasiakan benar-benar. Cu kuplah kita
yang enam orang in i saja men getahuinya. Perk ara Midun ini
rupanya su dah dicampur i orang tu a-tua. Sebab itu jika kuran g
hati-hati, tentu kita cel aka. Ki ta ini hanya orang biasa saj a,
tetapi Kacak kemenakan Tuanku Laras. Yang ak an datang,
hendaklah engkau in gat-ingat benar dalam hal apa juapun,
Midun. Ingat sebelum ken a, hemat sebelum habis, jerat serupa
dengan jerami."
"Baiklah, Ba pak," ujar Mid un. "Hingga i ni ke atas saya akan
berhati-hati benar. Dalam pada itu jik a sudah saya ikhtiarkan,
tetapi dat ang juga bencana atas diri saya, ap
a boleh buat,
Bapak."
Dari sehari k e sehari Midun menanti panggilan tidak juga
datang. Habis hari berganti pekan, habis pekan berganti bulan,
Midun tidak j uga dipanggil akan diperiksa tentang maling yang
ditangkapnya itu. Ada yang mengat akan, bahwa malin g itu
sudah dikirim ke
Bukittinggi. Setengahnya pul a berk ata,
"Sungguh amat ajaib perkara ini. Semalam kemalingan di rumah
istri Kacak, besoknya Kacak j atuh sakit. Pada hal Kacak tidak
ada di ruma h is trinya ma lam kema lingan i tu. Da n la gi perka ra
itu didiamkan saja, seolah-olah ada berudang di balik batu.
Jangan-jangan pencurian itu ada bertali dengan
sesuatu hal

yang muskil, yang tidak diketahui orang."


Demikianlah perkara itu: terapung tak hanyut, terendam
tak basah, h ingga sampai Ka cak sembuh, Midun b elum juga
terpanggi

6. Pasar Malam

MATAHARI telah turun menjelang tirai peraduan di balik bumi,


meninggalkan cahaya yang mera h ku ning laksan a emas baru
disepuh dip inggir langit di p ihak barat. Burung-burung beterbangan pulang ke sarangnya. Den gan ter gesa-gesa s ambil
berkotek me manggil an ak, inasuk lah ayam ke dalam kandang,
karena h ari t elah samar muka. Cengk erik mulai berbunyi bersahut-sahutan, menyatakan bahwa hari sudah senjakala. Ketika
itu sunyi sen yap, seorang pun tak ada kelihatan orang di jalan.
Di jembatan pada sebuah kampung, kelihatan tiga orang duduk
berjuntai. M ereka duduk seakan- akan ada suatu r ahasia yan g
dimufakatkannya, yang tid ak boleh sed ikit juga did engar orang
lain. Sambil melihat ke sana kemari, kalau-kalau ,ida orang lalu
lintas, mereka itu mulai bercakap-cakap.
"Sebulan lagi ada pacu
an kuda dan pasar malam di
Bukittinggi," kata seorang di anta ra mereka itu yang tidak lain
dari K acak memulai p ercakapannya. "Saat itulah yang seb aikbaiknya bag i kita akan mem balaskan dendamku sela ma ini
kepada Midun. Tak dapat tiada tentu Midun pergi pula melihat
keramaian it u. Oran g kampung tel ah tahu semua, bahwa say a
bermusuh dengan dia. Jadi kala u dia saya bin asakan di sin i,
malu awak kepada orang. Tentu orang kampung sy ak wasangka
kepada saya saja, kalau ada apa-apa kejadian atas diri Midun.
Lagi pula ia tak pernah keluar, hingga sukar akan rnengenalnya.
Oleh sebab itu telah bulat pi kiran saya, bahwa hanya di
Bukittinggilah dapat me mbinasakannya. Bag aimanakah piki ran
Lenggang? Sukakah Lenggang menolong saya dalam hal ini? Budi
dan cerih Lenggang it u, insya Allah takkan saya lu pakan. Bila
yang di maksud sam pai, saya berj anji akan me mberi se suatu
yang menyenangkan hati Lenggang."
"Cita-cita En gku M uda itu mu dah-mudahan sampai, " jawab
Lenggang, sambil mel ihat keliling, takut kalau-kalau ada orang
mendengar. "Kami berdua berjanj
i menol ong Engku Muda
sedapat-dapatnya. Jik a t ak samp ai y ang dimaksu d, tidakl ah
kami kembali pulang. Tidak lalu dendang di dar at kami layerkan, tak dapat dengan
yang lahir, dengan bat in kami perdayakan. Sebab itu apa yang kami
kerjakan di Bukittinggi,
sekali-kali jangan Engku Muda campu ri, supay a Engku jangan

terbawa-bawa. Biarkanlah kami berdu a, dan dengar saja oleh


Engku Muda bagaimana k ejadiannya. Ada du a jalan yang harus
kami kerjakan. Tetapi... maklumlah, Engku Muda, tentu dengan
biaya. L ain daripada itu ing atlah, E ngku-Muda, rahasia ini
hanya kita bertiga saj a hendaknya yang tahu. Pandai-pandai
Engku Muda menyimpan, sebab hal ini tidak dapat dipermudah,
karena perkara jiwa."
"Seharusnya saya yan g a kan berkata begitu," ujar Kac ak
sambil men geluarkan uan g kertas Rp 25,- dari koceknya, lalu
diberikannya kepada Lenggang. "Bukankah Tuan-tuan membel a
saya, masak an saya buk akan rahasia ini. Biar apa pun akan
terjadi atas diri Lenggang kedua, jang an sekali-kali nama saya
disebut-sebut. Saya ucapkan,
mo ga-moga ya ng di maksud
sampai, karena bukan main sak it hatiku kepada Midun, anak si
peladang j ahanam itu. Jika dia sudah luput dari dunia
ini,
barulah sen ang hati saya. Sekara ng baik kit a be rcerai-cerai
dulu, karena kalau terlalu lama bercakap-cakap, jangan-jangan
dilihat orang."
Setelah ketiganya bertegu h-teguhan janji bahwa rahasia itu
akan dibawa mati, mak a mereka pun pulang ke ru mah masingmasing. Lenggang dengan temanny a san gat bersuka hat i
mendapat uang itu. Gelak mereka ter
bahak-bahak,
lenggangnya mak in jadi, tak ubah
sebagai namanya pul a.
Bahaya apa yang akan menimpa mereka kelak, sedikit pun tidak
dipedulikan Lenggang. Memang Lenggang sudah biasa menerima
upah semacam itu. Pekerjaan itu sudah biasa dil
akukannya.
Sudah banya k ia meng aniaya o rang, satu pun tak ada or ang
yang tahu. P andai benar ia me nyimpan rahasia dan melakukan
penganiayaan itu. Jik a a da yang menaruh dendam kepada
seseorang, dengan uang seringgit atau lima rup iah saja, telah
dapat Lenggang d isuruh akan
membinasakan or ang itu.
Pekerjaan it u dipandangnya mudah saja, karena sudah biasa.
Akan membinasakan Midun itu, tidak usah ia berpikir panjang,
karena h al itu gampan g saj a pada pikirannya. Hanya yang
dipikirkan Lenggang, tentu ia mendapat upah amat banyak dari
Kacak, jik a yang dimaksudny a sa mpai. Kacak seorang kaya ,
sedangkan b agi per mintaan yang per tama diberin ya Rp 25,padahal belum apa- apa lagi. Ak an mengambil jiwa Midun ,
seorang yang boleh dikatakan ma sih kanak-kanak, tak usah dihiraukannya.
Dua pekan la gi ak an di adakan pa cuan kuda di Bukittinggi.

Tetapi sekali ini pacuan kuda itu akan diramaikan dengan pasar
malam lebih dahulu. Kabar pasar malam di Bukittinggi itu sudah
tersiar ke mana-mana d i tana h Min angkabau. H al itu sudah
menjadi buah tutur orang . Di mana-m ana orang mempercakapkannya, kare na pas ar mal am baru sekali itu akan diadakan di
Bukittinggi. Demikian pula Midun, yang pada masa itu sedang
duduk-duduk di surau menanti waktu asar bersama Maun, pasar
malam itulah yang selalu diperbincangkan.
"Ah, alangkah ramainya keramaian di kota sekali in i, Maun,"
kata Midun memulai percakapan itu. "Kabarnya 'alat'* ( Maksudnya
pacuan kuda) sekali in i ak an sang at ra mai s ekali, sebab di sertai
dengan p asar mal am. Di dalam pa sar malam itu, o rang mempertunjukkan berbagai-bagai kera jinan, ternak, h asil tan ah,
dan lain-lain sebagainya. Segala pert unjukan itu, mana yan g
bagus diberi hadiah. Per mainan-permainan tentu tidak pul a
kurang. Tak inginkah Mau n pergi ke Bukittinggi? Saya berhaj at
benar hendak melih at keramaian se kali ini. K epada ayah saya
sudah minta izin. Tetapi hati be liau a gak berat melepas saya,
berhubung dengan Kacak yang selalu mengin
tai hendak
menerkam mangsanya. Sungguhpun demik ian, beliau izink an
juga, asal saya ingat-ingat menjaga diri."
"Memang saya ingin pergi ke Bukittinggi," ujar Maun, "Sejak
kecil belum pernah say a meliha t p asar mala m. B agi say a tak
ada alangan apa-apa. Per kara K acak yang engk au k atakan itu,
saya jug a m erasa khawa tir. I a selalu mengint ai-intai, M idun!
Kepada saya sendiri, kal au bertemu agak lain
pandangnya,
tetapi t idak saya pedu likan. Kemarin, waktu
kita pergi
sembahyang Jumat, ad a kita be rjumpa deng an seorang yang
belum pernah bertemu, apalagi dikenal. Oran g it u saya lih at
memandang kepada kita dengan tajam. Sudah kenalkah engKau
kepada orang itu? Bukankah engkau ada ditegurnya?"
"Tidak, sekali-kali tidak, saya heran karena saya dit egurnya
dengan sopan benar, padahal ia belum saya kenal i. Saya rasa
tentu ia tidak orang j ahat, sebab ada juga sembahyang. Tetapi
waktu kita bertemu dengan dia kemarin, darah saya berdebar.
Entah apa sebabnya tidaklah saya tahu. Malam tadi tak senang
sedikit juga hati
saya. Ada say a tanyakan ke pada Bapak
Pendekar akan orang itu. Bapak Pendekar menerangkan, bahwa
orang itu bu kanlah orang kampung sini. Tetapi beliau kenal
namanya dipanggilkan orang Lenggang. Dahulu memang dia
seorang jah at, pemaling dan pe ncuri. Kedatangannya kemari

tidak beliau ketahui. Beliau ka takan pula, bahwa Lenggang itu


acap kali kelihatan pergi k e rumah famili Tuanku Laras. Karena
itu, menuru t tilikan beliau,
Lenggang tentu sudah. baik
sekarang, apalagi telah sembahyang. Kalau tidak, tentu ia tidak
berani menampakkan diri ke rumah Tuanku Laras. Sungguhpun
demikian, beliau suruh saya hati-hati juga menjaga diri, jangan
lengah sedikit juga. Musuh dalam selimut, kata beliau."
"Perasaan saya pun begitu, Midun. Lain perasaan saya waktu
melihat oran g itu kemarin. Unt ung beliau telah maklum. Say a
sudah berniat juga hendak mengatak annya kepadamu. Sudah
jauh kita di amat-amatinya juga ngeri saya melihat rupanya,
bengis dan menakutkan su ngguh. Ingat-ingat, Midun! Kita harus
hati-hati, supaya jangan binasa."
"Yang sejengkal itu tak mau ja di sedepa, kawan! T ak usah
kita hawat irkan benar h al itu. Syak wasan gka dan cemburu
yang berlebi h-lebihan me rusakkan p ikiran dan me mbinasakan
diri. Jika n asib kit a akan dapat malapetaka, apa boleh buat.
Bukankah tiap-tiap sesuatu dengan takdir Tuhan."
"Jadi rupanya Midun menanti takdir saja, dan bila takdir itu
datang, sudahlah."
"Sebenarnya, kawan! Tetapi en
gkau jangan pula salah
pengertian. Bukan maksud saya be rserah diri saja sebab takdir,
sekalikili t idak. Kita dijadi kan Tuhan dan di beri p ikiran
secukupnya. Dengan pik iran itulah k ita men imbang man a yan g
baik untuk keselamatan diri kit a. Buka nkah segal a dua dijad ikan Allah? Pilihlah dengan pikira n itu mana yang akan dikerjakan. Kita waj ib mengusahakan diri agar terhind ar dari bencana
dunia ini. Bilamana ikhti ar su dah dij alankan, d an kita dap at
malapetaka j uga, itulah y ang dn amakan nasib. Dan kalau kita
sekarang sekonyong-konyong kena tombak misalnya, padah al
tidak disen gaja, itulah yang di katakan oran g takdir. Mengertikah engkau, Maun? Jadi tentu saja kita harus horh ati-hati. Jika
dapat dihindarkan, ba ik kita hin darkan, supaya jangan dapat
bahaya. Tetapi bila ter sesak padan g ke rimb a, ter hentak ruas
ke buku, apa boleh buat, wajib kita membela diri."
"Sekarang m engerti s aya maksud mu itu. Nah, bilakah kita
berangkat? Tak perlukah kita membawa apa-apa untuk dijual di
kota akan belanja selama di sana?"
"Tiga hari pasar malam akan di mulai, kita berangkat dar i
sini."
"Uang simpananku ada R p 25 ,-. Kamu adakah menyimpan

uang?"
"Ada, saya r asa h anya sebanyak uan g si mpananmu pula
agaknya."
"Mari kit a pe rniagakan u ang it u! Saya dengar k abar, lada
dan telur amat mahal sekarang di Bukittinggi. Untungnya itulah
untuk belanja. Lain daripada itu kita tolong pul a menjualkan
lada ibu."
Pada tepi jal an di pasar k ampung itu kelihatan lada, ayam,
dan lain-la in seba gainya. Dua oran g muda memuat bar angbarang itu k e dalam ped ati. Se telah selesai, Midu n dan Mau n
pun bersal am dengan ay ah-bunda masing- masing, yang ketika
itu ada pula di sana menolong memuat barang itu ke dalam
pedati. Mereka kedua minta izin, lalu bersiap ak an berangkat.
Ketika Midun bersalam minta ma af kepada ibunya, lama benar
tangannya maka dilepask an ibuny a. Amat ber at hati ibu itu
melepas anaknya ke Bukittinggi . Sungguhpun Buk ittinggi tidak
berapa jauh dari kampun gnya, te tapi tak ubah h al ibu Midun
sebagai seorang yang he ndak melep as anaknya be rjalan jauh.
Amat lain perasaannya, takut kal au-kalau an aknya dapat
bahaya. R asa-rasa tampak kepada ibu itu bah aya yang ak an
menimpa an aknya, karen a Midun dimusuhi orang. Tetapi ia
terpaksa harus melepas Midun, anak yang sangat dikasihiny a
itu.
Maka berangkatlah Midun dan Maun menumpang pedati yang
membawa barang-barangnya itu. Dari ka
mpungnya ke
Bukittinggi adalah semalam perj alanan dengan pedati. Ia
berangkat p ada pet ang hari Jumat. Pagi-pagi hari Sabtu,
sebelum matahari terbit, sudah sa mpai di Bukittinggi. Di dalam
perjalanan keduanya adalah selamat saja.
`
Belum tinggi matahari terbit , baran g-barang yang dibaw anya diborong oleh orang Cina dengan harga Rp 160,-. Setelah
itu keduanya pergi makan ke sebuah lepau nasi dan menghitung
laba masing- masing. Barang yang ber pokok Rp 50,- dijual Rp
100,- dan beruntung Rp 50,-. Pe njualan lain kepun yaan ibunya
Rp 60,- ' di simpan mer eka uang nya. S etelah dipotong biaya,
lalu dibaginy a dua keunt ungan itu, y aitu Rp 20,-, seorang.
Sesudah makan, Midun berkata, "Sungguh bukan sedikit untung
kita, Maun! Patutlah Datuk Palindih lekas benar kayanya. Belum
lama ia j adi saudagar, su dah ba nyak i a memb eli s awah. Uang
yang diperniagak annya pun tida k sedikit, k arena berpuluh
pedati ia membawa b arang-barang yang tel ah dibel inya.

Maukah Maun berniaga pula nanti?"


"Baik, saya pun amat su ka berniaga," jawab Mau n. "Jika
pandai menjalankan perniagaan, memang lekas benar naiknya.
Tapi jatuhny a mudah pul a. Lihatl ah Baginda Sutan itu! Dari
sekaya-kayanya, jatuh jadi se
miskin-miskinnya. Sekarang
pikirannya tidak sempurna lagi."
"Benar katamu itu. Karena Baginda Sutan sangat tamak akan
uang dan sangat kikir pu la, ia dihukum Tuhan. Boleh jadi ia
berniaga terl ampau bany ak mengambil untung, lalu dimurkai
Allah. Kekikirannya jangan dikata lagi. Bajunya baju hitam yang
sudah berk ilat lehernya, karena tidak bercuci. Baunya pun
tidak terperikan busukny a. Uang seduit dibalik-baliknya dulu
baru dibelanjakan."
Maka mereka pun menanyakan kepada orang lepau itu, agar
mereka ked ua diizink an bermala m di sana s
elama a da
keramaian. Bagi orang lepau itu, k arena d ilihatnya Midun d an
Maun orang baik-baik, tiadalah menjadi halangan mereka kedua
menumpang di lepau itu. Setelah itu M idun dan Maun berjalan
akan melihat-lihat keramaian "p asar malam". Pad a kir i kana n
jalan dekat lepau itu sampai ke pintu gerban g dihiasi den gan
pelbagai sulur-suluran dan hung a-bungaan. Bergelung-gelung
amat indah-indah rupany a. Pada tiap -tiap rumah sepanjang
jalan, berkibaran bendera si
tiga warna. Dari jauh sudah
kelihatan pintu gerbang pasar
malam itu. Tin ggi d i at as
puncaknya t erpancang bendera Belanda yang amat besar,
berombak-ombak ditiup angin. Tonggak pintu gerbang itu dililit
dengan k ain yang berwarna-warna. Pelbagai bun ga-bungaan
bersusun amat beraturan, menyedapkan pemandangan.
Midun dan M aun sampai di pint u gerbang itu. Dengan heran
inereka mel ihat keindahannya. Agak k e sebel ah dalam sedikit
ada sebu ah rumah yang amat kukuh, bangun rumah itu tak
ubah dengan balairung sari bu atan o rang Minan gkabau za man
dahulu.
Sungguh tertarik hati melihat bangun rumah itu. Atapnya
dari ijuk, be rdinding papan beru kir. Di tengah-tengah bal ai itu
ada se buah pintu ma suk yang am at b esar. Jika orang hendak
melihat pasar malam, harus melalui pintu bal ai itu. Di atas
pintu agak s ebelah ata s, ada kepala kerbau yang bertanduk.
Kepala kerbau itu ialah menjadi su atu tanda kebesaran orang
Minangkabau.
Konon kabarnya, menurut cerita orang: pada z aman dahulu

kala orang Jawa datang ke Minangkabau akan menyerang negeri


itu. Melihat kedatangan oran g Jaw a yang sangat banyak itu,
orang Minan gkabau khaw atir, takut akan kalah perang. Oleh
sebab itu, dicarinya akal akan menghindarkan bahaya itu. Maka
dikirimnya s eorang utus an ol eh raja Minang kabau ke pada
panglima perang orang Jawa itu membawa kabar, mengatakan:
bahwa jika b erperang tentu akan men gorbankan ji wa manu sia
saja. Oleh karena itu, dimintanya berperang itu dihabisi dengan
jalan men gadu kerbau saja. Manak ala kerbau orang Minan gkabau kalah, negeri itu akan diserahkan kepada orang Jawa.
Tetapi kalau men ang, segala kapal-kapal dengan muat annya
harus diser ahkan kepada orang Minangkabau. Permintaan itu
dikabulkan oleh or ang Jawa de ngan segala suk a h ati. Mak a
dicarinya seekor kerbau yang am at besar. Tet api o rang
Minangkabau mencari seekor anak kerbau yang sudah tiga hari
tidak diberinya menyusu. Pada moncong an
ak kerbau itu
diberinya be rminang yan g amat t ajam. Setelah datang h ari
yang ditentukan hadirlah rakyat kedua kerajaan itu. Ketika
orang Jaw a melihat an ak kerbau oran g Minangkab au, merek a
tertawa den gan ri angnya. Pasti kep ada mer eka it u, bahwa ia
akan menang. Tetapi setelah kedua kerbau itu dilepask an ke
tengah gel anggang, anak kerbau itu pun berlari-lari k epada
kerbau besar orang Jawa itu, hendak menyusu... sehingga perut
kerbau itu tembus oleh min ang yang lekat di monc ongnya.
Kerbau orang J awa itu mati, m aka menanglah k erbau orang
Minangkabau itu. Demikianlah ceri tanya. Benar tidaknya cerita
itu, wallahu alam.
Balai itu dih iasi den gan a mat ba gus d an indahnya. Di atas
balai itu kelihatan beberapa orang engku-engku berdiri.
Ketika Midu n tercengan g-cengang memperhat ikan pintu
gerbang itu, tampak olehnya huruf yang dibuat dengan air mas.
Huruf itu terletak pada t engah-tengah gaba-g aba. Sedang
Midun melih at-lihat, dat ang seorang dekat pad anya. Midun
menyangka tentu anak itu murid sekolah, lalu bertany
a,
"Buyung, apakah bunyi bacaan yang tertulis pada gaba-gaba
itu?"
Anak itu pun berkata, katanya, "Pasar Malam."
Midun me minta teri ma k asih kepad a anak itu, k emudian
berkata kep ada Maun. "Jika orang h endak ma suk ke dalam
rupanya membayar. M ari kit a be li pula yang seperti dibaw a
orang itu, kita masuk ke dalam!"

Sesudah membeli karcis, lalu ke duanya masuk. Belum lagi


sampai ke tengah, mereka amat heran melihat kebagusan pasar
malam itu. Pondok-pondok berdiri dengan amat teratur. Los-los
pasar dihiasi dengan bermacam -macam bunga. Midun pergi
melihat-lihat keadaan di pasar itu. M ula-mula dilihatnya pada
sebuah pon dok seorang perempu an menenun kain. Midun
sangat heran mel ihat bagaiman a cekatannya perempuan itu
bertenun. Setelah lama diperhat ikan, ia pun meneruskan perjalanannya pula melihat yang
lain-lain, misalnya, cara
menanam tumbuh-tumbu han yang subur, pemel iharaan ternak
yang baik dan lain-lain sebagainya. Segala yang dilihat Midun di
dalam pasar mal am itu , dipe rhatikannya sun gguhsungguh.
Setelah petang hari, baru mereka pulang ke lepau nasi. Ketik a
ia melalui sebuah los dek at pi ntu kelu ar, kedengaran olehnya
orang berseru-seru, katanya, "Lihatlah peruntungan, Saudarasaudara! Bai k atau tidak nya nasib k elak, dapat dinyatakan
dengan mengangkat batu ini!"
Midun dan Maun tertarik benar hatinya hendak melihat, lalu
mereka pergi ke tempat itu. Midun melihat sebu ah batu yang
besar be rtepikan suasa. Batu itu telah tua benar rupanya.
Agaknya sudah berabad-abad umurnya. Tidak jauh daripada itu
ada pul a te rletak sebu ah pedupaan (peras apan). Berti mbun
kemenyan y ang dit aruhkan or ang di sana. Mak a b ertanyalah
Midun kepada oran g yang berseru itu, katanya, "Batu apa in i,
Mamak? Bag aimanakah, maka kita dapat menent ukan nasib
kelak dengan batu ini?"
"Batu ini ialah batu keramat, pusaka dari Raj a Pagaruyung
yang telah berabad-abad lamany a," jawab oran g itu. "Jik a
orang muda dapat mengangkat batu in i sampai ke a tas kepala,
tandanya orang muda akan berbahagia kelak. Teta pi bila tidak
dapat, boleh saya pastikan, bahwa nasib orang muda tidak baik
akhir kelakn ya. Dan barang si apa y ang tidak p ercaya akan
perkataan saya, tentu ia dikutuki batu keramat ini."
Midun dan Maun amat takjub mendengar perkat aan orang
itu. Karena ia seorang al im pula, bersalahan sungguh pendapat
orang ini dengan ilmu pengetahuann ya. Pikirnya, "Ini tent u
suatu t ipu u ntuk pengisi kantung saja. Mengapak ah hal y ang
semacam ini kalau dibiarkan saja oleh pemerint ah? Bukankah
hal ini bersalahan dengan ilmu pengetahuan dan agama? Orang
ini bar angkali tidak ber agama, karena batu disangk anya dapat
menentukan buruk baik untung orang."

Berkacau-balau pikir an Mi dun tentang batu yang dikatakan


keramat itu. Tetapi ia tidak be rani mengeluarkan perasaannya,
karena takut kepada orang banyak yang mengelilinginya. Tibatiba datang seorang, lalu membak ar kemenyan se besar ibu jari
pada pedupaan. Ketika ia membakar kemenyan, lalu memohonkan rah mat kepada hatu itu, mo ga-moga ba ik na sibnya kelak.
Kemudian i a me masukkan uang sebenggol ke dalam t abung
yang sud ah t ersedia. Sa mbil m emperbaiki s ikap dan me mbaca
bismillah, maka diangkatnyalah batu it u perlahan-lahan, sebab
takut akan ketulahan. Telah mengalir peluh di badan orang itu,
jangankan t erangkat be rgerak pun tidak batu itu.
Dengan
bersedih hat i dan muka yang
suram, berjalanlah ia, tidak
menoleh-noleh ke belakang.
Midun berb isik kepada Maun, "Bersedih hati benar r upanya
orang itu, k arena batu in i tidak terangkat olehnya. Kepercayaannya penuh, bahwa batu keramat. Tentu saja tidak terangkat
olehnya batu sebesar ini, karena ia sudah tua. Sungguh kasihan
dan boleh jadi ia menyesali hidupnya dan sesalan itu boleh
menimbulkan pikiran, hendak membinasakan diri, karen
a
sangkanya, daripada hidup seng sara kelak, lebih baik mat i
sekarang. Berbahaya benar, tidak patut hal ini dibiarkan."
Maun menarik napas,
lalu berkata perlah
an-lahan,
"Sungguh, amat banyak orang sesat , karena kebodoh an dan
kepercayaan yang bukan-bukan. Janganlah kita bicarakan juga
hal in i. J ika terdengar ol eh yang pun ya dan oleh orang-orang
yang mempercayainya keramat batu ini, boleh jadi kita binasa."
"Baiklah, ma ukah Maun mengan gkat batu ini? Sa ya ingi n
hendak mengangkat ber apa beratnya, sebab sudah tiga orang
tak ada yang kuat. Sungguhpun ti dak percay a, kita pura-pura
saja seperti orang itu."
Maka Midun membakar kemenyan, ke mudian me masukkan
uang lima sen ke tabung. Setelah itu diangkatnya batu yang
dikatakan ke ramat itu. Oleh Mi dun, seoran g muda yang sehat
dan kuat, dengan mudah saj a batu itu diangk atnya. Segal a
orang yang melihat amat heran, lalu berkata, "Anak muda yang
berbahagia."
Benci benar Midun mendengar perkataan itu, hampir-hampir
tak dapat ia menah an hati. Ti ba-tiba telanjur juga, lalu
berkata, " Tuhan yang d apat menentukan berb ahagia atau
tidaknya untung nasib seseorang, tetapi batu ini ...."
Midun dan Maun segera berjalan pulang ke lepau nasi,

karena ketika hendak berkata la gi, dilihatnya muka yang punya


batu berubah sekonyon g-konyong. S epanjang j alan mereka
sepatah pun tidak ber cakap, karena memikirk an batu yang
bertepikan suasa itu. Sudah mak an, baru mer eka me mpercakapkan penglihat annya sehari itu. Tetapi y ang men arik
hati mereka benar, ialah memp erkatakan batu yang keramat
itu saja.
Pada malam hari Midun dan Maun pergi pula k e pasar
malam. Se sampai di p intu masuk, takjub sun gguh Midun
melihat pint u gerbang pasar malam itu. Gab a-gaba d iterangi
dengan berpuluhpuluh lampu, meluk iskan ukuran yang amat
indah-indah. Balai dihiasi dengan lampu yang berw arna-warna.
Huruf-huruf pada gaba-gaba dan di gonjong balai, seakan-akan
terbuat daripada l ampu laiknya. Dengan segera M idun membeli
karcis, lalu masuk ke dalam. Midun dan Maun berjalan tidak
seperti si ang tadi, mel ainkan d iperhatikannya isi ti ap-tiap
pondok di pasar itu. Banyak pe nglihatan Midun yang berfaedah
untuk penghidupannya kelak. Misalnya pekerjaan tangan, cara
memelihara ternak, k eadaan bibit tanaman
yang bagus,
contoh-contoh barang perniagaan, dan lain-lain.
Demikianlah pekerjaan mereka itu dua hari laman ya. Pada
hari y ang kelima, pagi-pagi, Midun dan Maun per gi ke p asar.
Mereka herb elanja membeli in i d an it u, karena h endak teru s
pulang setel ah mel ihat pacuan kuda lusanya. Tengah hari
kembalilah mereka ke Iopau. Se gala barang-barang yang dibeli,
dipertaruhkannya kepada orang lepau itu. Setelah itu Midun
duduk hendak mak an, tetapi M aun masih di lu ar membeli
rokok. Baru saja Midun duduk, Maun berseru dari lu ar katanya,
"Midun! Midun! Lihatlah, apa ini?"
Midun melompat lari ke l uar, hendak melihat y ang diseurkan kawanny a itu. Di jal an ke lihatan beberapa engku-engku
dan tuan-tuan diarak dengan musik militer. Tib a-tiba M idun
terkejut, karena di dalam oran g bany ak itu kelihat an olehnya
Kacak. Dengan segera dit ariknya tan gan Maun, lalu dibawanya
masuk ke dalam lepau.
Dengan perl ahan-lahan Midun berka ta, "Maun! Adak ah
engkau melihat Kacak di antara orang banyak itu?"
"Tidak," jaw ab Maun de ngan ce masnya. "Adak ah engkau
melihat dia?"
"Ada, ru panya ia ad a pul a dat ang ke mari. Ketik a saya melihatnya tadi, ia memandang ke sana kemar i, seakan-akan ada

yang dic arinya di antara orang bany ak itu. Entah siap a yang
dicarinya dengan matanya itu tidaklah saya ketahui. Saya am at
heran karena ketika saya menampaknya tad i, dar ah saya berdebar. Yan g biasa t idaklah demi kian benar hal saya bil amana
melihat Kacak. Boleh jadi kita di sini diintip orang, Maun! Siapa
tahu dengan tidak disan gka-sangka k ita dapat bahaya kelak.
Sebab itu haruslah kita ingat-ingat selama di sini."
"Tidak kelihatankah engkau kepadany a tadi? Tetapi say a
rasa takkan berani Kacak berbuat apa-apa kepada kita di dalam
peralatan besar in i. Nyata kepada saya ketakutannya bertentangan dengan engkau, waktu pe rkelahian di tepi sungai
dahulu. Sedangkan di kampung demikian keadaan nya, apal agi
di sin i. Siap a yang akan dipang gakkannya di sin i? Karena it u
tidak boleh jadi ia akan menyerang kita. Sungguhpun demikian,
kita harus berhati-hati juga."
"Saya tid ak k elihatan olehnya. Tetap i j ika tak ad a y ang d icarinya, masakan seliar it u benar mat anya. Saya pun maklu m,
bahwa di a ti da k akan berani menyerang kita d i sini. Tet api
karena dia orang kaya, t entu bermacam-macam jalan dap at
dilakukannya akan me mbinasa. k an kita. Biarlah, as al kit a
ingat-ingat saja."
Sesudah m akan mereka pun berjalan-jalan ke pasa
r,
melihat perarakan anak-anak sekolah dan lain-lain: Malam h ari
Midun tidak keluar, mel ainkan ting gal di lepau n asi saja. Lain
benar perasaannya sej ak melihat K acak h ari itu. Besokny a
ketika p acuan kuda d imulai, mereka i tu tidak pergi melihat,
melainkan t inggal di lepau saj a. Hany a pada h ari yang kedu a
saja mereka hendak pergi
sebentar. Sudah itu mak sudnya
hendak terus pulang ke kampung.

7. Di Pacuan Kuda.

PAGI-PAGI benar Midun dan Maun sudah bangun. Setelah mandi


mereka kedu a pergi se mbahyang kep ada se buah surau yang
tidak herapa jauh dari lepau na si tem patnya menumpang itu.
Sudah sembahyang subuh, mereka pun berkemas membungkus
dan mengikat barang-barang ya ng telah dibeliny a. Setelah
selesai, ditaruhnya dalam sebuah bilik lepau itu. Ketika mereka
itu hendak minum pagi, dilihatnya hari sudah agak tinggi. Maun
berkata, katanya, "Ah, hari sudah pukul tujuh agak nya, Midun!
Boleh jadi kita terlambat . Saya rasa l ebih baik kit a mak an di
pacuan kuda saja n anti. Jika k ita minum pula dahulu, tentu
kita tidak dapat lagi me lihat orang berpacu book* (Art inya merebut
piala/ beker) . Sekalipun kit a tidak minum, agaknya terlambat juga
sampai ke sana. Marilah kita na ik ben di saj a ke pacuan kuda.
Pacu boko kabarnya mulai pukul delapan betul."
"Benar katamu, mari kita naik bendi saja," kata Midun.
"Tetapi kabarnya sewa be ndi sangat mahal sekaran g. Lebih
tiga k ali lipat daripa da s ewa yang b iasa. Lagi pu la tidakk ah
jauh amat, karena kita pergi ke perhentian bendi dahulu?"
"Tidak, kit a tawar dahulu berapa sew anya. Dari sini tidak
berapa jauh ke perhentian bendi. Mudah-mudahan sebelum kita
sampai ke sana, bertemu dengan bendi yang mencari muatan."
Keduanya berjalanlah menuju tempat perhentian bendi.
Sampai di sana, lalu ditanyakan Midu n berap a se wa bendi k e
gelanggang pacuan kuda. Kusir bendi menjawab pendek saja,
bahwa sewa bendi t idak kurang d ari f1,- se orang ke pacu an.
Jadi dua orang f2,-. Mau n amat heran mendengar jawab kusir
bendi meminta sew a semahal itu. P adahal ant ara Bukittin ggi
dengan p acuan kuda han ya sep al lebih sedikit. Maka Maun
berkata den gan sungutnya, "Uang dua rupiah itu pada pik iran
kusir mur ah saja, M idun! M emang lidahnya tidak bertulang,
mudah saja ia menyebutkannya. Marilah kita berjalan kaki saja.
Tidak cukup setengah jam kita sudah samp ai. Har i baru pukul
tujuh."
Baru saja Midun berbalik hendak berjalan, tiba-tiba tampaklah olehnya seseorang melintas jalan. Darah Midun tersirap
melihat orang itu, karena rasa-rasa su dah bertemu dengan dia.
Setelah dipik irkannya di mana orang itu bertemu dengan dia,

baru Mi dun maklum Den gan suara g agap i a be rkata, "Maun!


Lenggang yang bertemu dengan kita pulang dari sembahyang
Jumat d i k ampung temp o ha ri ada pula ke mari. Itu di a d i
seberang jal an. Lih atlah, tajam benar pandan gannya kepada
kita. Saya amat heran, sudah dua kali say a berte mu dengan
dia, selalu darah saya saja yang t ersirap. Pert emuan y ang
kedua ini, tidak darah saya saja yang tersirap, tetapi tegak pula
bulu kuduk saya rasanya. Bukankah ajaib itu?"
Maun, yang memang sej ak dahulu tidak senang hatinya
melihat dan mendengar n ama Lenggang itu, terperanjat pula,
lalu berhenti berjalan akan melihat orang itu. Sambil berpalin g
pula hendak berjalan ia berkata, " Hati-hati, M idun, tidak
darahmu saja yang te rsirap, tetapi urat kuduk saya mendenyut
melihat Len ggang itu. Jangan kita b ercerai-cerai barang
setapak jua pun. Tertelentang sama terminu m air, tertangkup
sama termakan tanah, menyuruk sama bungkuk, melompat
sama pat ah, musuh mu mu suh saya . Saya selalu bersedia akan
membelamu, bia r b agaimana jug a. Jika ad a apa-apa yang terjadi, jangan engkau laran g-larang la gi, sebag ai keti ka engkau
berkelahi dengan Kacak dahulu. Sa ya tahu apa yang akan saya
perbuat, unt uk keselamat an diri kita berdua. Jan gan lagi kita
lama-lama d i pa cuan. Asal sudah kita melihat p acu b oko, k ita
terus pulang saja. Tidak perlukah kita membawa pisau, Midun?"
"Nasihatmu itu saya pegang benar-ben ar. Kit a t idak boleh
lengah dan alpa sedik it juga sampai-sampai pulang ke
kampung. Te ntang me mbawa pisau itu tidak usah lagi. Tulan g
delapan kerat yang
dijadikan Tuhan ini sajalah kita pergunakan. Banyak bahayanya ki
ta berpisau dar ipada tid ak
berpisau. Jika tiku s seekor p enggada seratus, artiny a d ia
banyak kita berdua, kita buat saja l angkah se ribu, daripada
mengamuk atau menikam orang.
Tentang kes etiaan h atimu itu kepada saya, saya ucapkan
terima k asih banyak-b anyak. Te tapi sebenarnya dalam hal ini
engkau tidak campur sedikit jua. Jik a misalnya bah aya dat ang
tiba-tibatetapi janganlah hendaknya saya t idak suka engkau
terbawa-bawa p ula sebab s aya. Ta k be ban b atu dig alas, ka ta
orang. Tentu saja engkau teraniaya, k arena hendak menolong
seorang teman. Tetapi melihat pen gakuan dan keyakinanmu
kepada saya, tak dapat saya
men olak perkataanmu itu.
Kebersihan dan keikhlasan hati en gkau itu, saya hargakan
sungguh-sungguh. Kebanyakan or ang bersahabat ialah akan

lawan tert awa saja, te tapi l awan menangis su kar dicari.


Bagimu rupa nya tidaklah demik ian. Saya telah en gkau san gka
seperti saudara kandung seibu seayah, tidak berubah dari mulut
sampai ke hati. Badan saja ya ng du a, tetapi nyawa umpama
satu."
"Kawanku Midun! Sejak kecil kita tidak bercerai setapak
juapun. Selama itu saya rasa, belum pernah saya menumangkan
engkau. Bagi saya engk au tidak saya pandang orang lain lag i,
melainkan telah sepert i saudara kandung. Jik a en gkau su sah,
saya akan lebih berdukacita, dan jika engkau tertawa, saya pun
lebih bersuk a hati. Sudahlah, ti dak guna kita pe rbincangkan
lagi. Apa guna
dipikirkan, bukanlah kita sek arang dalam
peralatan? Waktu ini kit a harus bersu ka-suka. Yan g segantang
tidakkan mau jadi se sukat. Asal kita ingat saja menjaga diri,
sudahlah!
Benar ju ga katamu itu, dengan be rmacam-macam akal
tentu ia dapat berlaku akan membinasakan kita. Oleh sebab itu
untuk menjaga keselamat an kita, jangan kita berja lan sepe rti
yang sudah-sudah lagi. Mulai sekarang kita ubah, lebih baik kita
berjalan beriring-iring. Engkau di muka, saya di bel akang. Saya
perlu menjaga engkau, karena en gkaulah yang dimu suhi orang,
saya t idak. Kalau kit a berjalan be rsisi-sisi at au engkau di
belakang, te ntu gamp ang oran g me mbinasakan kita. Siap a
tahu, engkau diserang orang de ngan tiba-tiba dar i belakang.
Manakala say a di belakan g, te ntu boleh saya memberi ingat
kalau ada apa-apa. Saya t idak akan lengah dan selalu menjaga
dengan ingat-ingat."
"Terima kasih banyak-banyak, Maun! Sebetulnyalah pikiranmu itu. Bila kita selalu dalam ha ti-hati, tetapi bahaya jua yan g
dapat, sudah suratan badan kita yang celaka dan tidak menjadi
sesalan lagi."
Dengan tidak diketahu i mereka kedu a, mak a sampailah ke
pacuan kuda. Sepanjahg jalan ya ng dilaluinya itu berkibaran
bendera pada kiri-kan an jalan. Pada pintu masuk p acuan kuda,
ada pula sebuah gab a-gaba yang amat ind ah-indah, dihi asi
dengan pelbagai bunga-bungaan . Sek eliling pacuan itu penuh
dengan ber bagai-bagai b endera. Seb uah dar ipada bang salbangsal di pacuan itu, amat ku kuh buatannya. Bangsal itu ialah
tempat engk u-engku dan tuan-tuan melihat kuda berpacu.
Amat permai dan cantik bangsal yang sebuah itu, karena dihiasi
dengan bun ga-bungaan yang amat bagus. Pada puncaknya

berkibar bendera yang bercorak tiga.


Ada pun pacuan itu dikelilingi oleh bukit. Tiap-tiap bukit itu
berpuluh-puluh pondok didirikan orang. Pondok-pondok itu
ialah temp at or ang berjual nasi, juadah, dan lain-lain
sebagainya. Penuh sesak orang
di bukit itu, berkelompokkelompok sangat bany aknya. Hampir dari selu ruh tanah
Minangkabau, amat banyak data ng melihat pacuan kuda itu.
Sebabnya ialah karena pacuan itu kepunyaan anak negeri, dan
kuda yang dipacu, kuda negeri pula. P ada har i itu oran g dua
kali seb anyak kemar innya. Berde sak-desak o rang menc ari
tempat akan mel ihat perlombaan ku da. Hal itu lain tid ak
karena orang hendak melihat pa cu bo ko, yang s angat d isukai
orang.
Pacu b oko itu akan
merebut
priys y ang dinamakan
"Minangkabau Beker". Siap a yang mena ng tidak saj a ia me mperoleh piala, tetapi menerima hadiah uang yan g banyak pula.
Sebab itu, k uda yang dipacu ti dak sedikit. Tiap-tiap luhak di
Minangkabau, diambil dua ekor kuda y ang terkencang. Ketika
itu hanya empat belas ek or kuda sek ali lepas. Dengan mel ihat
pakaian anak pacuannya, tahulah orang dari luhak mana-mana
kuda itu datangnya. Ketik a itu ad a pula kuda yang datang dari
Padang Hilir*(Negeri-negeri sebelah pesisir dinamai Padang Hilir, sebelah ke
Gunung Padang Darat ).
Midun dan Maun mencari tempat yang baik, agar dapat melindungkan diri dari bahaya. Setelah dapat, mereka berdirilah
di sana. Sungguhpun tempat it u amat baik, Maun selalu ingatingat jua. Tidak lama kemudian, kuda dilepas orang. Gemuruh
bunyi sorak orang sekel iling pacuan itu. Ada yan g menyerukan,
"Agam, Agam," dan ada pula "Payakumbuh, Payakumbuh," yaitu
masing-masing menyeruk an luha knya. Rasakan hendak belah
bumi rup anya. Tidak be rsorak saja, musik militer pun selalu
berbunyi selama kuda it u berlar i. T iap-tiap or ang geli sah da n
tidak bersen ang hat i, manakala mel ihat kuda dari luhaknya
kalah. Tetapi yang
menang, orang luhaknya rasa hendak
terbang karena kegiran gan ha ti. M ereka mel ompat-lompat,
tertawanya berderai- derai d an perkataan nya sepert i
merendang kacang se bab sukany a. Setelah sudah berpacu,
nyata yang menang masa itu kuda dari luhak Agam. Maka orang
dari luhak itu berlarian ke teng ah gelanggang pacuan, berarak,
dan bersorak -sorak menunjukkan suka hatinya. M usik militer
pun turun, lalu kuda yan g menang itu diarak sekeliling pacuan.

Orang di gel anggang itu herkacau-balau tidak ber tentu lagi.


Midun dan Maun tidak be rani keIuar dari tempatnya, melainkan
ia melihat saja dari jauh. Sete lah sudah orang mengarak kuda
barulah tenang kembali. Midun berkata kepada Maun, "Maksud
kita sudah sampai, perut sudah la par, mar i kita per gi mak an.
Sesudah makan, kita ambil barang-barang kita, terus pulang."
"Di lepau nasi manakah yang baik kita makan?" jawab Maun.
"Mari kita makan ke puncak buki t itu! Di sana tentu senang
kita makan dan tidak terganggu."
Maka kedu anya pun naik ke puncak bukit, men cari lepau
nasi yang agak baik. P
ada ki ri kanan tempat yang dilalui
mereka itu orang dud uk berkelom pok-kelompok. Di muka
mereka terbentang sehelai tikar dan sebuah piring dengan dadu
dan tutupnya. Berpuluh-puluh uang t erletak di muka merek a
itu. Demikianlah halnya tiap-tiap kelompok or ang itu. Di sini
kelihatan orang main dadu, di sana dadu kuncang, dan lainlain. Segala macam judi ada di situ. Berbagai-baga akal mereka
mencari uang. Tidak main dadu saja, bertaruh kuda pun banyak
pula. Midun tidak lama memperhat ikan orang main dadu itu,
melainkan i a terus be rjalan ke puncak bukit. Setelah didapat
lepau nasi yang berkenan kepadanya, maka makanlah ia di situ.
Sesudah makan, lalu turun pula ke bawah, hendak pergi k
e
tempatnya menumpang mengambi l barang-baran gnya. Belum
jauh berjalan, dilihatnya beberapa orang opas berjalan keliling
tempat orang ma in itu. Opas itu melemparkan r inggit ke tik ar
dadu, ke mudian d ikembalikan orang r inggit itu den gan sebuah
rupiah akan tamb ahnya. Seda ng Midun memikirk an hal itu,
Maun yang berdiri di belakangny a meli hat sese orang berger ak
dekatnya, k emudian ter bayang p ada matany a s ebuah pi sau
yang menuj u rusuk Midun. Se
bagai kilat Maun melompat
menangkap pisau itu, sambil berseru, "Awas, Midun!" '
Midun berbal ik, dilihatnya Maun telah berkelahi, lawannya
memegang sebuah pisau . Ketika Midun hendak melompat
menolong Maun, tiba-tiba ia diserang orang pula dengan pisau.
Orang itu ialah Lenggang yang dilihatnya pada perhentian bendi
tadi pagi. Midun la lu menangkis serangan, sambil mengundu rkan diri ke arah Maun berkelahi. Setelah dekat, Midun berkata,
"Lepaskan, jaga di belakang saya!"
Suara itu t erdengar ol eh M aun, lalu ia mel
ompat ke
belakang Midun. Maun sekarang hanya menjaga kalau-kalau ada
serangan d ari kir i-kanan saja. K edua orang itu M idun send iri

yang mel awan. Bukan main tangk as Midun menyambut dan


mengalahkan tikam lawan nya. Ti dak lama pisau yang seoran g
terpelanting kena sepak Midun. Tinggal lagi Lenggang yang
berpisau. Midun dan Maun se
lalu mengundurkan diri ke
belakang. Ke mudian ia te rtumbuk pad a dindin g se buah lepau
nasi. Di sana merek a kedua dap at tempat untu k bertahan.
Orang makin banyak menyerang Midun, karena teman Lenggang
selalu berte riak, mengatakan, "Panc acak*(Pencuri, dal am orang
ramai) !"
Karena itu orang meny angka Midun seoran g pencuri. Dari
kiri kan anin dan dari mu ka mu suh datang; amat sibuk tidak
tentu lawan kawan. Oran g banyak itu tidak diped ulikan Midu n
amat, melainkan yang sangat di jaganya L enggang. B agi orang
banyak itu lain tidak ilmu, sepak terjang saja. Tetapi Lenggang
sengaja hen dak membun uh dia. Tidak lain yang kedengaran
masa itu, hanya bunyi sepak te rajang, pukulan dan tinju orang
saja. Huru-h ara ben ar d i bukit sebu ah itu. Anak- anak a mat
banyak terin jak oleh orang yang melarikan diri. Perempuanperempuan yang berpakaian ba gus-bagus, tung gang-Ianggang
jatuh ke bawah sebab
dilanda orang yang berk elahi. Jerit,
tangis, dan t eriak orang mengatakan "bunuh dan amuk", tidak
pula kurang. Polisi bekerja keras memadamkan perkelahian itu.
Meskipun dengan pedang bercabut menghentikan perkelahian
itu, tidak dipedulikan or ang. Ma lahan polisi sendiri ada yan g
berguling-guling jatuh k e bawa h ke na kaki orang. Setelah
datang serdadu selusin dan memb unyikan bedil serentak, barulah peperan gan kecil it u aman ke mbali. Jika tidak lekas
serdadu datang, entah berapa gerangan bangkai terhantar.
Ketika bedil berbunyi, kebetulan dekat Midun ada seorang
yang terh antar di t anah. Tiba -tiba ia telah dipe gang Tuan
Kemendur dari ru suk, yang pada ketika itu datan g bersamasama den gan serda du aka n mem adamkan perkelah ian. Midun
ditangkap karena bajuny a ber lumur darah. Maun ditangk ap
juga, seb ab ia berd iri dek at se orang vang terh antar di t anah.
Orang yang terhantar itu terus dibawa ke rumah sakit. Orang
itu ialah Lenggang. Ia pingsan karena perutnya kena amuk oleh
pisaunya sendiri. Tetapi lukanya ti daklah b erat benar. P ada
lengan Lenggang ada sebuah pisau yang berlumur darah. Teman
Lenggang melenyapkan diri di dalam orang banyak itu. Or ang
lain yang serta dalam perkelah ian karena melepaskan dendam
atau mempertahankan diri, ketik a bedil meletus berlarian

menyembunyikan badan.
Midun dan Maun dibaw a oleh se orang opa s. Ketika mereka
itu sampai p ada perhent ian bend i di gelanggang pacuan kuda,
bertemu dengan Pendek ar Suta n. Melihat Midun dan Maun
diiringkan op as, Pendek ar Sutan s angat terkejut. M aka ia pu n
bertanyakan hal itu kepada Midun. Midun men ceritakan perkelahiannya dengan Len ggang. Setelah sudah, Midun berkata,
katanya, "Hal ini janganlah Ba pak beri tahukan dah ulu kepada
orang di k ampung. Manakala di dal am sepuluh hari ini tak ada
seorang jua di antara kami yang pulang, barulah Bapak
ceritakan hal kami ini."
"Baiklah!" jawab Pendekar Sutan dengan cemasny a, karena
ia maklum d ari mana a salnya m aka terjadi p erkelahian itu.
"Syukurlah, engkau kedu a tidak b inasa. Say a b elum akan
pulang, karena saya hendak me nantikan kabarnya. Jika dalam
sepekan ini perkara ini belum juga diperiksa, baru saya pulang
ke kampung. Engkau kedua jangan kh awatir, k arena sipir dan
beberapa tukang kunci* ( Opas Penj ara) penjara berkenalan
dengan saya. Bi arlah, be sok s aya te mui di a ke pe njara akan
mempertaruhkan engkau, supaya j angan di ganggu orang d i
dalam penjara."
Midun dan Maun terus dibawa ke penjara. Mereka k edua ditahan di sana, sementara perkaranya belum diputuskan. Empat
hari sesudah peralat an, Midun dan M aun mulai diperiksa oleh
jaksa. Dalam pemeriksaan yang pertama itu, nyata bahwa Maun
tidak campur apa-apa. Oleh jaksa Maun diizinkan pulang, tetapi
manakala dipanggil haru s dat ang sebagai saksi. Maka Maun
pulanglah bersama P endekar Sutan yang sengaja menanti
kabarnya.

8. Menjalani Hukuman

SETELAH dua bulan lebih kemudi an daripada itu, Maun terpanggil dat ang ke Bukittinggi. Maka iapun datan glah bersamasama dengan Pak Midun, Haji Abbas, dan Pendekar Sutan yan g
hendak mendengar keputusan perkara itu.
Tiga hari berturut-turut La ndraad memeriksa pe rkara itu
dengan hemat. Pada hari yang
kee mpat, baru dijatuhkan
hukuman masing-masing. Midun dihukum enam bu lan. Sebab
menjalankan hukuman. Hukuman itu dijalankann ya tidak di
Bukittinggi, melainkan di Pada ng. Lenggang dihuk um set ahun
penjara dan dibuang ke Bangka hulu. Ia disalahk an mengamuk,
karena pisaunya berlumur darah.
Setelah Midun keluar dari kantor Lan draad, diceritakannyalah kepada ketiga bapak nya, bahwa ia dihukum ke Padang
lamanya empat bulan. Dan dikatakannya pula besoknya ia mesti
berangkat menjalankan h ukuman itu. Midun meminta dengan
sangat kepada ketiga bapaknya itu menyuruh pulang hari itu
juga, jangan ia di antarkan ke stasiun b esoknya. Permintaan itu
dikabulkan oleh mereka itu. Pak Midun berkata dengan air mata
berlinang-linang, kat anya, "Baik- baik engkau d i n egeri or ang,
Midun! Ingat-ingat menjaga di ri! Engk au anak l aki-laki, sebab
itu beranikanlah hatimu. Mudah-mudahan janganlah hendakny a
kurang suatu apa engkau menjalan kan hukuman. Jika engk au
sudah bebas, lekas pulang. Segala nasihat kami y ang sudahsudah, pegang erat-erat, genggam teguh-teguh."
Baru sekian perkataan Pak Midun, air matanya sudah bercucuran. Ia tidak dap at lagi me neruskan perkataannya, karena
amat se dih hatinya b ercerai deng an anaknya yang sangat
dikasihinya itu. Sambil bersalam dengan Midun, lalu didekapnya
anaknya. Ia pun berjalan deng an tidak menengok-nengok lagi
ke belakang ke lepau te mpat ia menumpang. De mikian pula
Haji Abbas dan Pendekar Sutan, hanya sepat ah-dua patah saja
menasihati Midun. Setelah ber maaf-maafan, mereka itu b erjalan dengan sedih yang amat sangat.
Hancur luluh hati Midun ketika ditinggalkan ketiga bapaknya
itu. Tetapi dengan kuat ia menahan h ati, supaya air matanya
jangan kelu ar. Ketik a Maun bers alam akan meminta m aaf
kepadanya, iapun berkata, katanya, "Saudaraku Maun! Sekarang

kita akan be rcerai. Nyaw a di dalam t angan Allah, tidak tentu


besok atau lusa diambil yang punya. Siapa tahu perceraian kita
ini ent ah u ntuk sela ma-lamanya. Tetapi mudah-mudahan
janganlah hendaknya terj adi demik ian. Lekas ju a kita dipertemukan Tuhan kembali."
Suara Mi dun tertahan k arena menahan sedih. Air matanya
bercucuran, seolah-ol ah tidak sanggup ia ber
cerai dengan
sahabatnya yang ak rab sejak da ri kecil itu. Kemudian Midun
menyambung perkataann ya pula, katanya, "Sejak kecil kit
a
bergaul, bel um pernah engkau men gecewakan h atiku. Dalam
segala h al h idup be rtolong-tolongan, tidak pern ah bersel isih
paham, mel ainkan sepakat saj a. H anya saya y ang bany ak
berutang bu di kepadamu . Perbuatank u selama in i terhadap
kepadamu, belum ada ya ng menyenan gkan hati en gkau. Saya
ulang sekali lagi akan menyatakan teri ma ka sih saya tenta ng
perkelahian di pacuan ku da itu. Jika engkau tid ak me nangkap
pisau teman Lenggang, barangkali jiwaku mel ayang, karena
saya ditikamnya dari belakang. Untung engkau sel alu ingat dan
dapat menangkis. J adi adalah s eakan-akan j iwaku yang
seharusnya t elah bercerai deng an badanku, engkau pulangkan
kembali.
Lain daripada itu, Maun! Ibu bapakmu ialah ibu bapak saya.
Thu bapakku saya harap engkau san gka ibu bapakmu pula.
Bagaimana engkau mengasihi ibu bapakmu, begitu pula hendaknya kepada orang tuaku. Engkaulah yang ak an mengulangulangi beliau selama saya jauh dari kampung. Jan gan engkau
perubahkan, buatlah seperti di ru mahmu sendiri di rumah ibu
bapakku. Sek ianlah petaruh saya kepa damu ke mbali. Sambutlah salamku dan maafkanlah saya, Saudara!"
Maun tidak dapat menjawab perkat aan sah abatnya itu,
karena sudah didahului ol eh air mata yang tak dapat ditah annya lagi. Ia menangis, h atinya remuk dan sedih amat sangat.
Setelah bebe rapa l amanya me reka itu bertangis-tangisan, berkatalah Mau n dengan p utus-putus s uaranya, "Sa ya mem bela
sanakku, tid ak usah en gkau me minta teri ma k asih pul a.
Kesalahanmu tidak ada k epadaku. Jika tidak me mikirkan ibu
bapak k ita di kampung, tent u say a sama- sama terhukum
dengan engkau. Bukankah mudah saja saya menjalankan jawab
waktu dit anyai h akim, su paya dapat dihukum. Sel amat jalan,
Saudara, beranikanlah hatimu!"
Maun mengambil tan gan Midun, kemudian dilek askannya,

lalu berjalan lekas-lekas mengikuti Pak Midun ke lepau nasi


tempat mereka itu menu mpang. Dengan tidak menoleh-noleh
ke belakang, ia berj alan terhuyung-huyung, karena sedih hat inya. Hari it u juga keempatnya terus pulan
g k e kampung.
Mereka itu b erjalan kaki saja, sa mbil mem perbincangkan hal
Midun. Tetapi Pak Midun sepanjang jalan tidak berkata sepatah
juga pun. Hancur lulu h hatiny a mengenangkan perceraian
dengan anak kesayangannya itu. Amat sakit hatinya memikirkan
apa dan siapa yang meny ebabkan per ceraian deng an anaknya
itu. Demikianlah hal mereka itu sampai pulang.
Hal Midun dihukum itu tersiar di kampungnya. Segala oran g
di kampun g itu amat bersedih ha ti kehilangan Midun, seorang
anak muda yang baik hati dan sa ngat dicintai oleh segala orang
di kampungnya. Banyak orang di kampung itu yang menyangk a
bahwa Midun dihukum it u tak dapat tiada be rtali dengan si
Kacak musuhnya. Sejak itu orang di kampung itu semakin benci
kepada kemenakan Tuan ku Laras itu . Melihat mukanya saja
orang amat jijik, dan
kalau ber temu se dapat-dapatnya
dihindarkannya. Tetapi Kacak mendengar kabar itu sangat
bergirang hati. Orang yang dibe ncinya tak ada lagi. Kalau ia
bercakap-cakap den gan k awannya, selalu i a berjuj at tentang
perangai Midun. Dikatakannya bah
wa Midun seoran g-orang
jahat, kalau tidak masakan di hukum. Tetapi di dalam hati
Kacak merasa berang dan kesal, k arena Midun tidak sampai
tewas nyawanya dalam perkelahian di gelanggan g pacuan kuda
itu.
Midun sangat bersedih h ati, karen a ia akan meninggalkan
negerinya. Makin remuk redam lagi hati Midun, ka rena ia tidak
dapat menemui bunda dan adik-adiknya yang sangat dikasihinya
itu lebih dah ulu. Sepanjang jala n ke penjara pik irannya tidak
bertentu saja. Sebentar begin
i, sebentar pula begitu
mengenangkan nasibnya y ang malang itu. Kadang-kadang besar
dan suk a hat i Midun dihu kum, karena ia dapat men ghindarkan
musuhnya yang berbah aya itu. Ji ka ia di kampung j uga, boleh
jadi hidupnya lebih celaka lagi. Bermusuh dengan seorang kaya,
keluarga o rang berpangk at dan bangsawan tinggi pula, tentu
saja mudah ia bin asa. As al M idun lengah sedikit saja, tentu
Kacak dapat menerkam mangsany a. Sebelum Midun lenyap di
dunia ini, tidaklah Kacak akan bersenang hati. Makin dikenang
makin jauh, makin dipikirkan makin s usah. De ngan pi kiran
demikian itu, lain t idak hasilnya sedih dan pil u, padah al

nasibnya tak kan berubah, tetap begit u juga. Maka Midun pun
membulatkan pikirannya, lalu berkata di dal am h atinya, "Ah,
sudahlah, memang adat laki-l aki su dah demikian. Tiap-tiap
celaka ada gunanya. Tidak guna saya sesalkan, karena hal ini
kemauan Tuhan dan kehendak Allah jua."
Pagi-pagi waktu Midun akan berangkat, ia memohonkan perlindungan Tuhan, hubaya-hubaya sel amat dalam hidup yan g
akan dij alaninya itu. Ketika it u hari masih gelap, kabut amat
tebal. Angin tak ada,
burung-burung seekor pun tidak
kedengaran berbunyi, seolah-ola h bersedih hat i pula ak an
bercerai den gan Midun. Faja r mulai menying sing di sebelah
timur, tetapi amat suram, cahaya. Maka turunlah h ujan rintikrintik, angin berembus sepoi-sepoi basa. Segalanya itu seakanakan berdukacita melepas orang muda yang amat baik hati itu,
yang barangkali entah lama l agi ak an dap at menjejak tana h
airnya kemb ali. T idak l ama datanglah seo rang o pas, Gempa
Alam namanya, yang akan mengantarkan Midun ke Padang hari
itu. Baru saj a opas itu d atang, Midun berkata, "Apa kabar,
Mamak? Sekarang saya berangkat ke Padang?"
"Ya, kita sek arang berangkat, s udah si apkah Mi dun?" u jar
Gempa Ala m, sebagai o rang yang t elah kenal kepadanya,
"kereta api berangkat pukul tujuh, sekarang sudah setengah
tujuh lewat."
"Sudah, Mamak," jawab Midun dengan pendek.
"Kalau beg itu, mar ilah kita berangkat sekaran g juga.
Sebetulnya Midun haru s saya belenggu, karena begit u perintah
saya teri ma. Tap i sudah tig a hari M idun saya kenali, saya
jemput dan saya ant arkan waktu perkara, nyata kepada saya
bahwa Midun seorang yang baik. Saya percaya Midun tidak akan
melarikan diri. Oleh sebab itu tadi sudah saya pohonkan kepada
sipir, supaya engkau jangan dibe lenggu ke Padang. Karena say a
berani menjamin atau menangg ung bahasa Midun tidak akan
lari, permintaan saya itu dikabulkan oleh sipir."
"Mamak bukankah su dah tahu b
agaimana duduknya
perkaranya. Tentang akan melarikan diri itu, jangan lah Mamak
khawatirkan. Sedikit pu n tidak ada kenang-ken angan saya
dalam hal itu. Apa yang seolah di gerakkan Tuhan atas diri saya,
harus d an wajib saya teri ma de ngan se gala suka h ati.
Kemurahan M amak itu, asal tid ak a kan merus akkan kepada
pekerjaan Mamak, saya ucapkan terima kasih banyak-banyak."
"Midun, jika saya
menaruh khawatir kepadamu, dengan

tidak bertanya-tanya lagi belen ggu in i sudah saya lekatkan di


tangan M idun. Tetapi karena saya su dah maklum siapa dan
bagaimana e ngkau, say a pohonkan su paya jang an dibelenggu.
Marilah kita berangkat!"
Maka kelihat anlah Midun deng an se orang op as m enuju ke
stasiun. Midun kelihatan sabar saja, sedikit pun tidak ada tanda
ia dalam bersedih hati. Kendatipun pikiran Midun sudah tetap,
tidak lagi akan mengenan g-ngenangkan nasibnya, tetapi ketik a
lonceng t iga berbunyi, lain be nar perasaannya. P ikiran Midun
melayang kepada ay ah bunda dan adik-adiknya. Tamp aktampak dal am pikiran M idun se gala sahabat ken alannya di
kampung. Pada perasaannya ia meninggalkan kampung 4 bulan
itu, tak ubah sebag ai seorang ya ng tidak akan bal ik-balik lagi
atau pergi meranto bertahun-tahun. Demikianlah kesedih an
yang selalu menggoda Midun, hi ngga dengan t idak diketahu i
sudah dua buah halte kereta api terlampau.
Melihat muka M idun mur am seb agai orang ber sedih ha I i
Gempa Alam belas kasih an kepa danya. Akan menghalangk an
duka Midun, maka Gempa Alam berkata, "Midun, sekalipun saya
sudah maklum duduk perkara yang
menghukum engkau ini,
ingin ju ga saya hendak mend engar dari mulut mu sendiri,
bagaimana asal mulanya perkar a Mi dun berkela hi di p acuan
kuda, dan apa yang
menyebabkannya. Cobal ah cerit akan
kepada saya dari bermula sampai kita naik kereta api sekarang
ini."
"Saya dihuku m in i tidak utang yan g dibay ar, d an tid ak
piutang yang diterima, " ujar Midun memulai perkataanny
a.
"Saya adalah seoran g yang teraniay a, Mamak. Dengarlah s aya
ceritakan dari bermula samp ai tamat. Setelah habis cerita
saya, akan nyata kepad a Mamak, bah wa saya ter aniaya. Cerita
saya in i tidak saya lebihi dan tidak pula dikurangi, melainkan
sebagaimana yang terjadi atas diri saya saja."
Maka Midun pun bercerit a kepa da Gempa Ala m, mulai dar i
ia berdua bel as di masj id, sampai ia dihukum itu. Satu pun tak
ada yang dilampaui Midun, habis semua diceritakannya. Karena
asyik mendengar cerita itu, dengan t idak diketahu inya keret a
api sudah sampai di h
alte Kandan gempat, lewat Padang
panjang. Baru saja M idun tamat ber cerita, Gempa Alam mengangguk-anggukkan kepala, samb il menarik napas panjan
g.
Kemudian ia berkat a, "C eritamu itu hampir be rsamaan bena r
dengan n asib say a semasa mud a. Hanya saja pada per-

mulaannya y ang agak be rlainan se dikit. Sebab tidak tahan


hidup di kampung, sudah 15 tahun lamanya saya meninggalkan
negeri. Dalam 15 tahun itu belum pernah sekali jua saya menjejak kampu ng tempat kelahiran s aya. Amat b anyak penanggungan saya selama itu, ma cam-macam pek erjaan yan g
telah saya k erjakan untu k meng isi perut se suap p agi, se suap
petang.
Sekarang sebagai engkau lihat sendiri, saya telah menjadi
komandan opas. Ak an pulang ke kampung, taku t... ya akan
dapat malap etaka pula, sebab ya ng m emusuhi say a itu mas ih
memegang jabatannya."
"Mamak, kalau saya tidak salah umur Mamak sudah l ebih 40
tahun," ujar Midun. "Selama Mama k hidup, tentu t elah banyak
negeri yang Mamak lih at, dan sudah jauh rantau yang Mamak
jelang. Saya rasa tidak sedikit pengetahuan Mamak bertambah.
Tetapi saya, Mamak, umur ba ru set ahun jagung, darah baru
setampuk pinang, pomandangan bel
um jauh, pendengaran
belum ban yak, pengetahuan bel
um seberapa. Bahkan
meninggalkan kampung barulah se kali ini. Sebab itu saya be rharap, sudilah kiranya Mamak menceritakan hal Mamak itu.
Mudah-mudahan dalam cerita Mamak itu ada y ang bergun a
akan jadi teladan. Deng an ceri ta Mamak itu, tentu dapat saya
membandingkan, baga imana sa ya harus menjal ankan penghidupan saya kelak."
"Baik, dengarkanlah!" ujar Gempa Alam. "Dahulu waktu saya
masih mud a, pekerjaan saya bern iaga kecil saj a di pasar.
Dengan jalan demikian, dapat sa ya uang untuk pokok berniaga
yang agak besar. Dengan rajin dan sun gguh serta h emat, saya
menjalankan periliagaan. Dalam dua tahun saja saya mendapat
untung yang bukan sedikit juml ahnya. Uang itu dapat saya
pergunakan untuk mengganti pondok orang tua saya dan pembeli saw ah. Saya telah menjad i sau dagar, dan nama saya di
kampung sudah haru m pula. Sungguhpun uang saya belum
seberapa, tetapi karena sudah sanggup mengganti rumah orang
tua dan me mbeli sawah, pada p ikiran orang, saya sudah k aya
raya.
O ya, saya lu pa, Midun! K etika saya berniaga berkecil-kecil
itu, umur saya sudah 16 tahun. Waktu itu saya sudah beristri.
Sayang istri saya itu tidak lama umurnya. Belum cukup setahun
saya bergaul dengan dia, ia su dah meninggalkan dunia. la meninggal itu karena kelulusan* ( Beranak-muda, belum cukup bulannya),

dan kata setengah or ang sebabnya, karena ia te rlampau muda


kawin den gan saya. Perkataan orang itu boleh jadi benar,
karena w aktu ia kawin, paling tinggi u murnya 13 tahun. Sejak
itu say a tidak mau k awin lagi. Sa ya b eristri itu ial ah karen a
terpaksa saja. Tidak boleh saya mengatakan tidak mau, melainkan m esti teri ma. Biarpun ba gaimana s aya mengata kan: sa ya
belum hendak kawin, tetapi mamak saya memaksa juga. M aka
demikian bel um ada dal am pikiran saya hendak kawin, karena
ibu bap ak saya or ang miskin. Saya pe rlu me mbela ibu ba pak
dan adik-adik saya dulu. Jika ti dak saya tolong, tent u sengsara
penghidupan kami.
Nah, setelah istri saya meninggal, say a berusaha, sehingga
mencukupi u ntuk dimakan petang p agi, se bagai sudah saya
katakan t adi. Saya pun terus ju ga berniaga menjual barangbarang hutan. Dengan permintaan kaum famili, saya mesti pula
kawin sekali lagi. 'Patah tumbuh, bilang berganti,' katanya, 'jika
tidak di ganti malu kepad a or ang sek ampung.' Per mintaan itu
saya terima, karena penghidupan saya telah men cukupi. Maka
saya dik awinkan dengan s eorang janda Tuanku Lara s di neger i
saya. Amat banyak janda Tuanku Laras itu, Midun! Yang say a
ketahui m asa itu, ada 15 orang. P adahal waktu it u ia baru 3
tahun diangk at menj adi Tuanku Laras. Jik a sudah 20 t ahun ia
memegang pangkatnya itu, entah berapa agaknya janda Tuanku
Laras itu. Ada yang karena diminta orang, ada pula yang karena
maunya sen diri. M anakala perempu an itu sudah beran ak
seorang at au sudah bo san ia me makainya, lalu di ceraikannya
saja. Tidak karena itu saja, ka dang-kadang baru sebulan ia
kawin sudah talak, sebab ia hendak kawin lagi. Sebabnya, ialah
karena menurut agama hanya boleh beristri 4 oran g. Jadi yang
empat orang itu selalu bergant i tiap-tiap tahun. Jika boleh
beristri sampai 20 o rang, barangkali hal itu akan t erjadi pad a
Tuanku Laras di negeri saya itu. Apa yang akan disusahkannya,
membelanjai tidak, me mbelikan pak aian i stri pun tidak pula.
Dan Tuanku Laras itu, jik a pula ng kepada salah seoran g istrinya, disembah-sembah, dijunjung-junjung, sangat dihormati
oleh fa mili s i pere mpuan itu. Yang ti dak ad a di adakan, dan
yang kurang dicukupkan, asal hati Tuanku Laras itu jangan tersinggung.
Segala janda Tuanku Laras itu, jarang yang bersuami lagi,
Midun! Orang takut akan ketulaha n menggantikan istri rajanya.
Oleh sebab itu, kebanyakan janda Tuanku Laras itu janda

sampai tua, jarang yang bersuami lagi. Sebulan sudah kawin,


saya dipanggil berjaga k e kant or Tu anku Laras. Ketika itu
urusan perniagaan saya banyak benar. Sebab yan g biasa b oleh
diupahkan berjaga itu say a upah kan saja. Tetapi Tu anku Laras
tidak menerima, melaink an harus say a jalani sendiri. Berjaga
itu ial ah se bagai ber odi juga maksudnya. Tetapi menj aga
kantor itu, mengerj akan segala keperluan Tuanku Laras saja.
Apa yang disuruhkannya mesti diturut. Pendeknya kit
a jad i
budak benar -benar; lamanya se minggu. Ah, tak usah saya
sebutkan l agi ap a yan g dikerjakan d i s ana, M idun! Engkau
sendiri bukankah telah merasai sakitnya. Itu pun bagimu belum
seberapa. Bagi saya, Allah yang akan tahu, tidak kerja lagi yang
dikerjakan, t ak ubah sebagai budak be lian saya dip erbuatnya.
Bukan main azab yang saya terima masa
itu; ngeri say a
mengenangkannya. Tidak dari Tuanku Laras saj a, lebih-lebih
lagi dari familinya. K arena tida k tert ahan, lebih dari azab a pi
neraka rasan ya, saya pun gelap mata. Saya... mengamuk,
Midun! Seor ang dari pada keme nakan Tuanku L aras i tu s aya
tikam, untu ng tidak mati. Da n saya dihukum ke Padang,
lamanya set ahun. Tahuk ah Midun, apa sebab saya dibu atnya
demikian?"
"Tahu, Mamak," ujar Midun,
"tentu saja karen a Mamak
berani menggantikan janda Tuanku Laras itu."
"Benar demik ian," ujar Gempa Alam pula, lalu meneruskan
ceritanya. "Ini neraka yang kedua lagi, Midun! Engkau tentu
akan merasai pula nant i. Di da lam pe njara, tidak sedik it pula
cobaan yan g diteri ma. S iapa ber ani, siapa d i ata s. Jika k ita
berani, ad alah agak di segani orang sedikit. Te tapi s iksaan
tidaklah kurang karena itu. Sedi kit-sedikit kak i tiba di ru suk.
Terlambat sedikit saja,
kepala ke na gada. Jika berbuat
kesalahan, kita dipukul dengan rot an. Tidak ubah nya merek a
sebagai memukul anjing saja. Ti dak penjaga penjara saja yang
mengazab kita, tetapi sama-sama orang hukuman pun begitu
pula. Ad a k alanya kit a d iadu pe gawai penjar a sebagai ayam.
Sungguh, bengis dan ganas benar penjaga-penjaga penjara itu.
Tidak sedikit jua berh ati kasih mesra kepada se sama makhluk.
Sudah berpancaran tahi orang, air ludah membuih keluar kena
sepak terajang, tidak dipedulikan mereka, melainkan terus saja
disiksanya. Sungguhpun demikian, janganlah Midun gusar. Boleh
jadi sekarang, segala perbuatan yang bengis itu t idak ada lagi.
Kalau ada sekalipun Midun jang an khawatir, ber anikan h ati

tetapkan iman, insya Allah sela mat. Apalagi Midun saya l ihat
seorang an ak muda yan g tangkas, takkan mudah diperbuat
orang semau- maunya saja. Sekali lagi saya katakan, beranikan
hatimu, jangan takut menentang bahaya apa pun jua. Tunjukkan tanda engkau laki-laki, bila perlu."
Gempa Ala m terkenang waktu ia di penjara dahu lu. Amat
sedih hatinya melihat Midun, anak muda yang remaja itu akan
menanggung sengsara sebagai dia dahulu pula. Gempa
Alam
mengetahui, bahwa sampai masa it u di dalam penjara di
Padang masih dijalankan orang keganasan yang demikian lebihlebih lagi kepada orang
hukuman yang datang dari sebelah
Darat. Hanya ia mengatakan "bar angkali s ekarang tidak la gi"
kepada Midu n, untuk menyenangk an hati Midun saja. Dengan
tidak d iketahui, ai r m ata Ge mpa Al am berl inang memikirkan
Midun, seorang anak yan g baik hati dan berbudi pekerti itu.
Hampir-hampir keluar dari
mulut Gempa Al am perkataan,
"Lebih ba ik l ari s aja, M idun!" Sedang Gempa Alam berp ikirpikir, M idun berkat a, k atanya, " Atas nasih at M amak, saya
ucapkan ban yak-banyak t erima k asih. Jangan Ma mak khawat ir
melihat saya. Saya maklum bahw a Mamak bersedih hati, lain
tidak karen a kasihan kepada sa ya ak an ma suk penjara, dan
akan merasai seperti y ang telah Mamak tanggun gkan dahulu.
Tentang diri saya tidak usah Mamak cemaskan, barangkali saya
tidak akan demikian benar diperbuat orang. Tuhan ada bersama
kita, tentu saja ia akan melindungi yang tidak bersalah. Jika
telah tumbuh baru kita siangi, sebab itu tidak ada gunanya hal
itu kita pikirkan sekarang."
Baru habis Midun berkata, kedengaran condecteur berseru,
"Padang; karcis!"
Mereka kedua sudah hampir di st asiun Padang. Tid ak lama
kereta berhenti.
"Di sini kita turun, Mamak?-" ujar Midun.
"Tidak," jawab Gempa Alam, "kita turu n di Pul au Air. Kalau
di sin i kita turun, jauh lagi ke penj ara. Tetapi dari stasiun
Pulau Air hanya kira-kira 10 menit perjalanan."
Setelah sampai di st asiun Pulau Air, mereka k
eduapun
turunlah. Sebelum pergi ke penjara, Gempa Al am mengajak
Midun pergi makan ke lepau nasi. Su dah mak an, Gempa Alam
berkata, "Se karang engk au terpak sa dibeleng gu. Jik a tid ak,
boleh jadi saya celaka. Tentu sa ja saya dipand ang sipir lalai,
atau mengabaikan pekerjaan."

"Baik, Mamak," ujar Midun, "ka rena saya, jangan hendaknya


terbawa-bawa Mamak pula."
Midun dibelenggu oleh Gempa Al am. Ketika ru mah penjara
itu kelihatan oleh Gempa Alam, darahnya berdebar. Midun
tersirap pula darahnya melihat rumah itu, tetapi lekas ia menghibur hat i, sambil berk ata, "Ini kah penjara itu Mamak? P antas
Mamak katakan neraka No. 2, karena hebat sungguh rupanya."
Gempa Al am tidak m enyahut, sa mbil berjalan pi kirannya
entah ke m ana. Samp ai di penjar a, G empa Alam memberikan
surat kepad a si pir. Setela h sele sai, i a bersalam de ngan Mi dun
akan me mberi sela mat ti nggal. Kemu dian Ge mpa Alam pu n
pergi. Sep anjang jal an tampak-tampak oleh Gempa Al am
bahaya apa yang akan menimpa Midun dalam penjara.
"Sambut, si pengamuk datang dari Darat," demikianlah seru
sipir ke pada tukang kunci yang tengah berdiri di pintu rumah
penjara itu.
Midun men gerti apa
maksud perkataan
itu, karena
dilihatnya sipir itu berk ata ke ras da n g agah. Se bab i tu Mid un
berlaku ingat-ingat, lalu masuk ke dalam.
"Ha, ha! Belum lagi tu mbuh rambut di ubun-ubunmu, sudah
berani mengamuk," kata tukang kunci deng an b engis sambil
mengejekkan. "Berani su ngguh ...." Pap, Midun melompat
mengelakkan sepak yang sekonyong-konyong datangnya itu.
"Benar, tangkas, nanti kita co ba," ujar tukang ku nci pula
dengan b engis, sebab Midun beran i mengelakkan sep aknya.
"Ayoh, masuk ke dala m k amar ini, tuk ar paka ian, d an uang mu
mari sini semua!"
Sesudah belenggunya dibu ka tu kang k unci, den gan segera
Midun mengambil uang dalam saku baju, banyaknya Rp 15,- lalu
diberikannya kepada tu kang k unci itu. Paka iannya dituka r
dengan pakaian orang hukuman. Setelah itu Midun menurutkan
tukang kunci dari bel akang. Sa mpai di muka k amar, tukan g
kunci berkata pula, "Masuk, binatang! Lekas, anjing!"
Mendengar perkataan itu tak dapat yang ak an dikatak an
Midun, karena sangat pedih hatinya. Tetapi ia terpaksa berdiam
diri saja, lalu masuk ke dala
m kamar itu. Setelah kamar
dikuncikan, maka tukang kunci itu berjalan, lalu berkata, "Hatihati engkau, berani mengelakkan kaki saya."
Midun dimasukkan ke d alam kamar sempit berdinding batu.
Dekat pintu masuk ad a s ebuah jende la kecil yan g berter ali
besi. Di d alam kamar itu ada sebu ah bangku tempat duduk.

Midun berkat a dalam hatinya, "A duhai, tak ubah saya sebagai
perampok b aru ditan gkap. Bag aimanakah akan t idur di d alam
kamar sebe sar ini? Akan duduk sajak ah saya siang malam di
sini? Ak an dipengapakan nyakah saya, maka disu ruhnya hatihati?"
Berkacau-balau pikir an Midun waktu itu. Tidak tentu apa
yang akan di buatnya, kar ena ia belu m menge rti apa m aksud
orang atas dirinya. Dengan hal begitu, tiba-tiba terdengar pula
suara orang, "Keluar!"
Biarpun tidak disuruh, k etika pintu t erbuka Midu n hendak
keluar juga, karena sangat panas dan pelak di dalam kamar itu.
Tidak saja p anas, tet api napa snya berasa ses ak sebab bau
busuk. Sampai di luar dili
hatnya berpuluh orang hukuman
bertinggung berjajar. De ngan tolak an yang am at keras, Midun
disuruh pula bertinggung bers ama orang-orang hu kuman itu.
Setelah disebutkan sipir nama masing-masing, lalu semuany a
disuruh berdiri mengambil perk akas. Ketika Midun hendak
berdiri pula, datang seoran
g hukuman mel andanya dari
belakang, hampir saja ia tersungkur. Karena Midun tahu bahwa
ia dil anda it u dengan sen gaja, i a pun berkatalah, " Lihat orang
sedikit, Mam ak, kita s ama-sama orang hukuman, tidak ba ik
begitu!"
Midun tidak tahu bahwa or ang te mpat i a ber kata itu,
seorang yang telah masy hur ka rena keberaniannya. Sebelum
kamar itu t erbuka, o rang itu sudah disuruh oleh sip ir akan
mencobanya. Maka ia pun berkata dengan geramnya, "Hai, anak
kecil, berani engkau berkata begitu kepadaku?"
Belum h abis ia be rkata, orang itu melo mpat sa mbil
menerjang lalu menan gkap Midun h endak dihempaskannya.
Midun menyambut dan mengelak badan, sambil merendahkan
diri ia melompat ke tem pat ya ng lapang. Orang h ukuman yang
banyak lalu menepi akan melihat perkelahian itu. Orang itu
menyerang pula sekali l agi, menumbuk dan menyepak dengan
sekaligus. M idun merendah, meny ebelah diri men angkis, lalu
membuang langkah arah ke ki ri. Or ang i tu tertumbuk ke
tonggak lampu, karena deras da tangnya. Sudah dua kal i ia
hendak mengenai Midun, t etapi sia-sia. Mukanya me rah karena
marah, seb ab Midun masih anak
muda dan
dia sudah
termasyhur berani. Sa mbil tertawa, sipir be rkata, "Cobal ah,
Ganjil, sekarang en gkau sudah bert emu den gan lawan mu.
Sungguhpun anak muda, tetapi la da padi, cabe rawit, kata

orang Betawi."
Midun maklu m, bahwa ia diadu orang. Nyata kep adanya s i
Ganjil itu disuruh sipir. Ia ragu -ragu, karena terpikir olehnya
orang itu su dah agak tua, dan karena tersuruh
oleh kepal a
penjara. Tet api melihat si Ganj il itu sungguh-sungguh hendak
membinasakan dia, ter
paksa ia
mesti mel awan untuk
memelihara akan diri. Timbul p ula pikiran Midun, bahwa ia
sama-sama orang hukuman, dan perlu pula memperlihatkan
lelaki-lakiannya sedikit. Sebab itu Midun bersiap menant
i
serangan, seraya b erkata, "Rupanya k ita d iadu se bagai ayam,
apa boleh buat, datangilah!"
Si Ganjil mengendangkan tangan ke muka dan dengan lekas
ia menyerang, sebab marahnya amat sangat. Dengan membabi
buta ia mendesak Midun. Midun selal u menyalahk an seran gan
Ganjil, satu pun tidak ada ya
ng mengena. Kemu dian Midun
berkata, "Tahan pula balasan dari saya, Mamak."
Dengan tangkas Midun menangk is serangan Gan jil, lalu
mengelik seakan-akan merebahkan diri. Kemudian sebagai kilat
kaki Midun... pap, Ganjil tertel entang tidak, bergerak lagi,
karena tepat benar kenanya.
Sega la or ang h ukuman itu
tercengang dan
amat heran
melihat ketangk asan Midun
berkelahi. S ipir dan segala tukang kunci t akjub, karena belu m
pernah mer eka melih at a nak muda ya ng setangk as itu. Sambil
berjalan, sipir berkata, "Tunggu sampai besok, boleh ia rasai."
Ganjil dipapah or ang ke ka marnya, dan M idun disuruh
masuk ke dalam sebuah kamar la in, tetapi tidak kamar yang
mula-mula t adi. Kamar itu agak lapang, di dalamnya ada
sebuah pangkin, yang luas dengan tikar. Sampai di kamar itu,
Midun menarik napas l
alu berkata sendirinya, "Ya Allah,
peliharakan apal ah ki ranya hambaMu ini. Telah engk
au
lepaskan say a dari bah aya ya ng pertama, begit ulah pula
seterusnya h endaknya. Sedih hat iku melihat si Ganjil saya
kenai, tetapi apa boleh buat karen a terpak sa. K alau begini,
tentu bermacam-macam siksaan yang akan saya terima..."
Petang hari itu Midun tidak diganggu-ganggu orang. Kira-kira
pukul lima, diantark an orang nasi . Melihat nasi den gan lauknya
itu, hampir Midun muntah. Na sinya kotor dan merah kehitamhitaman. Di atas nasi itu ada sepotong daging setengah masak
dan garam sedikit. Baru saja Midun menggigit daging itu, ia
telah muntah. Daging itu tidak masak dan masih berbau. Tetapi
karena perut Midun sudah meminta hendak makan, dimakannya

juga nasi itu dengan garam, se kalipun kersik dalamnya hampir


sama bany ak dengan nasiny a. Setelah hari malam, Midun
tinggal seorang diri di dalam kamar itu. Lampu tidak ada, sebab
itu ia b ergelap-gelap saja. Tetapi t iadalah gelap be nar, karena
ada juga cahaya lampu dari lua r melalui ant ara terali besi.
Malam itu Midun tak dapat tidu r sekejap jua pun, karena
hatinya tidak senang sedikit jua. Perkelahian hari itu tak dapat
dilupakan Midun.
"Musuhku sudah bertambah seoran g lagi; " pikir Midun. "Tak
dapat tiada, Ganjil dendam kepadaku. Jika saya lengah, tentu
binasa. Saya harus ingat-ingat dalam hal apa ju
apun. Ah,
sungguh malang benar saya in i. Di kampung
badan tidak
senang, di sini makin susah lagi."
Setelah lonceng berbunyi dua
kali, barulah Midun dapat
menutupkan matany a. B ermacam-macam m impi yang men ggoda Midun malam itu. Sebentar -sebentar ia terbangun. Kirakira pukul lima, kedengaran pi ntu k amarnya dibuka orang.
Midun segera duduk, takut kalau-kalau musuh yang datang.
"Keluar, ambil ransu m!" ujar tukang kunci yang menerima
dia kemarin juga.
Midun keluar, lalu berbaris de ngan or ang-orang hu kuman.
Maka Midun men cari Ganjil dengan matanya, musuhny
a
kemarin di da lam or ang hukuman yang banyak itu. Tetapi biar
bagaimana i a menc ari, Ganjil tidak juga kelihatan. Maka
senanglah hatinya, karen a pada pikiran Midun, tentu kakiny a
kemarin memberi bekas, mati tidak boleh jadi. Atau boleh jadi
Ganjil dipisahkan, sebab belum semua oran g hukuman yang
keluar. Midu n membaw a piring lalu pergi mengambil ran sum.
Bukan main ganas tukang-tukang kunci itu. M ereka itu main
tempeleng, sepak, dan te rajang saja kepada oran g hukuman.
Terlambat sedikit at au kurang b
eratur be rjalan, par,
tempelengnya telah tiba. Pendeknya, asal bersalah sedikit,
dengan t idak ampun lagi, kaki t iba di ru suk. Midun sendiri
dapat b agian pula, ketika ia
terlambat mengambil piring
makan. Tidak ubah sebagai binat ang segala orang hukuman it u
dibuat oleh pegawai pen jara. Mak in mengaduh makin disiksa,
jika melawan mak in celak a la gi. Sudah me minta-minta am pun
orang kepadanya, tidak hendak berhenti mereka melekatkan
tangan. Midun amat belas ka
sihan m elihat orang-orang
hukuman itu. Tetapi apa hend ak dibuat, sed ang nasibny a
sendiri belum tentu pula.

Sudah makan, segala orang hukuman itu tersinggung dan


berjajar pula. Nama masing-mas ing dipanggil sip ir, dan h arus
menyahut ".iya" bila sampai kepada namanya. Di sini pun tidak
sedikit pula orang hukuman kena terajang, hingga tersungku r
sampai men cium tanah. Manakala t erlambat menyahut atau
tidak terden gar namanya dipang gil, pukulan sudah tiba di
pinggang. Kemudian segala orang itu diperiksa badannya. Tibatiba kedapat an seorang hukuman menaruh uang 5 sen dan
rokok di dal am saku baj u. Karena hal itu terlaran g di dal am
penjara, orang itu lalu ditarik oleh tukang kunci. S etelah itu ia
diikatkan kepada sebuah tonggak, dan dibuka bajunya. Seorang
tukang kunci yang l
ain memegan g sebu ah rotan, lalu
membelasah orang hukuman itu pada punggungnya. Sampai ke
langit hij au agaknya orang hukuman itu memekik karena
kesakitan, tidak sedik it j ua diacuhk an tukang ku nci itu. Sesudah dipukul, orang hukuman itu jatuh pingsan, tidak sadarkan
dirinya lagi. Midun tidak sanggu p melihat penganiayaan yang
sangat ngeri itu. Entah hagaiman a gerangan punggung orang itu
sesudah dipukul...
"Midun bekerja dengan mandor Saman !" ujar sipir setelah
habis nama orang hukuman itu disebutkan semuanya.
Seorang yang bermisai panjang datang menghampiri, sambil
memegang telinga Midun , ia berkat a, "Ha, ha, anak ini yan g
mengalahkan Ganjil kemarin, En gku?" katanya ke pada sipir.
"Hati-hati engkau bekerja dengan saya, mengerti!" ujarnya pula
menghadap kepada Midun.
Midun diam saja, telingan ya am at sakit ditarik mandor itu.
Jika dia tidak mandor, t entu Midun melawan agaknya. Mulamula Midun disuruh mandor itu membongkar tahi di kakus.
Midun enggan men gerjakannya, te tapi karena ancaman,
dikerjakannya juga pek erjaan itu. Sehari-harian itu Midun
bekerja pak sa. Tak sed ikit jua ia dap at berhenti melepaskan
lelah. Asal saja ia berhenti sebentar, mandor itu sudah menghardik. Di ancamnya M idun dengan p erkataan, manakala t idak
bekerja, hukumannya akan ditambah. Hanya waktu makan saja
ia d apat ber henti. Pekerj aan yang d ikerjakan Midu n sehar i itu
pekerjaan berat dan h ina pula. Seakan-akan sen gaja or ang ia
kerja paksa sehari itu. P etang hari Midun amat letih. Ketika
orang hukum an itu berb aris p ula, M idun hampir tidak ku at
berjalan lagi. Sedang ia b ertinggung, tiba-tiba datang seorangorang yang besar t inggi k epadanya, lalu berkata, " Hai anj ing,

berani engkau menggantikan tempat duduk saya? Ayoh, pergi!"


Mendengar perkataan orang itu, telinga Midun merah
.
Sekalipun badannya sangat lesu, mendengar k
ata anjin g it u
kembali kekuatannya, kar ena sakit hat inya. Oran g i tu berkata
dengan bahasa l ain, sebab itu ny ata k epadanya, bahwa orang
itu bukan or ang M inangkabau. Apalagi o rang itu sama-sama
orang hukuman dengan dia dan bukan bangsany a, mak in bertambah marah dan sakit hati Midun. Midun menj awab dengan
lantang suara, "J angan begitu k asar, di sini te mpat or ang
hukuman." Dengan tidak menjawab lagi orang itu melompati
Midun, yang pada waktu itu masih bertinggun g jua. Biarpun
Midun sudah letih, tetapi ti
daklah kurang kekuatannya
menangkis serangan orang itu. Di a tidak mempermain-mainkan
musuh seperti dengan Gan jil kemarin. Setelah oran g itu jatuh,
datang pula seorang lagi. Yang seorang tadi bangu n lagi, lalu
berdua-duakannya melawan Midun. Kemudian jatuh pula sekal i
lagi, tidak bangun kembali. Tetapi sudah datang pula kawannya
akan menggantikan. Sungguhpun demikian, Midun setapak tidak
undur. Tiga lawan satu, bukan main riuhnya dalam penjara itu.

9. Pertolongan dan Kalung Berlian

ALKISAH mak a tersebutlah perkataan bahwa di dalam penjara


itu adal ah b ermacam-macam bang sa orang hukum an. Mereka
itu tidak ada yang kurang huk umannya dari set ahun. Demikianlah, di antara orang huk uman y ang banyak itu ada seorang
Bugis, yang dapat huku man se umur hidup. Namanya Turigi,
umurnya lebih kurang 50 tahun.
Turigi adal ah seoran g yang
baik, sabar, dan r amah-tamah. Amat dal am ilmunya, dan
banyak pengetahuannya orang tua itu. Dalam hal agama Turigi
alim pula. Konon kabarnya ia se orang bangsawan di negerinya,
dan menj adi penasihat dan dukun. Tetapi kal au ia marah, tak
ada yang berani bertent angan dengan Turigi. Agaknya entah
karena ia dibuang selama hidup itu gerangan. Jika Turigi marah
tidak me mbilang lawan dan tidak takut kepada siap a pun jua.
Segala orang hukuman it u takut kepada Turigi. Bukan karena
beraninya saj a ia ditakuti orang, tetapi terutama ial ah karen a
sudah or ang tua; kedua, dala m pengetahuannya; dan ketiga,
amat baik b udi pekertin ya. Sipir pe njara itu sendiri segan
kepada Tur igi, apalagi tu kang kuncinya. Sebab itu Turigi di
dalam penjara tidak ada yang beran i me merintahi, dan ia
bekerja sesuka-suka h atinya s aja. Sekalipun Turigi oran g
hukuman, tapi keadaann ya di penjara tidak ubah seperti di
rumahnya sendiri, bahk an lebih agaknya. Makannya dila inkan,
diberi tempat tidur yang baik, dan l
ain-lainnya. Pendeknya,
segala keperluan Turigi dicukupkan.
Ketika Midun berkelahi dengan Ganjil kemarin, Tu rigi ada
pula mel ihat. Senang benar ha ti Turigi melih at oran g muda
yang tangkas dan berani itu. Menurut ilmu firasat nya, Midu n
seorang anak yang amat b aik tingkah laku dan tertib sopannya.
Sebab itu ia amat heran , dan berkat a dalam hat i, "Apak ah
sebabnya orang yan g sebaik itu dapat hukuman? Kesal ahan
apakah yang telah diperbuatnya ? Ka sihan, b iarlah bes ok atau
lusa tentu saya ketahui j uga ke salahan oran g mud a itu maka
dihukum. Ingin benar saya hendak berkenalan dengan dia."
Pada keesokan harinya dilihat Turigi, Midun bekerja paksa.
Hampir-hampir tidak terderita oleh Midun pekerjaan yang di
kerjakannya itu. Apalagi melihat Midun mengerjakan pekerjaan
yang amat hina, timbul kasih an Tur igi. T ampak nyata oleh

Turigi, Midun hampir tidak kuat lagi menahan siksaan pegawai


penjara. Melihat hal itu, Turigi men arik napas, akan melarang
tidak berani, karena dia sendiri orang hukuman pula. Tetapi
melihat Midun sudah
payah bekerj a seh ari it u sekarang
dipersama-samakan orang pula, Tu rigi tak dapat lagi men ahan
hati.
Pada pi kiran Turigi, "P erbuatan i tu ti dak p antas, da n ti dak
boleh d ibiarkan. Seor ang anak muda sesudah disik sa, disuruh
perkelahikan pula oleh tiga orang."
Dengan tidak berkata sepatah kata jua, Turigi melompat ke
tengah perk elahian itu. Ia berkat a dengan geram, "Berhenti
berkelahi! J ika tidak, bi ar s iapa saj a say a pata hkan batan g
lehernya. Tidak adil!"
Mendengar perkataan itu, segal a oran g hukuman menepi.
Sipir dan tukang kunci undur, ka rena melihat Turigi sangat
marah. Dari ketiga o rang yang mem persama-samakan itu, dua
sudah jatuh dikenai Midun. Ya ng seoran g lagi, ketika mendengar suara Turig i, mel ompat lar i. Oran g itu su dah berni at
juga hendak lari, karena selalu kena saja tiap-tiap mendatangi
Midun. Maka i a m elawan juga, hanyalah karena malu. Untung
benar ia, Tu rigi datan g memisahkan perkelahian itu. Midun
tidak lar i, ia tegak berdiri di.tengah medan perke lahian itu.
Amat heran ia melihat orang it u. Midun tidak mengerti, apa
sebabnya or ang habis lari d an sipir, tukang kun ci undur ke
belakang mendengar perkataannya.
"Siapakah orang in i?" kat a Midun dalam hat inya. " Malaikatkah atau manusiakah yang hendak menolong saya dalam bahaya
ini? Atau b apakku Haji Ab baskah yang terbang ke mari hendak
menolong anaknya? Amboi, jika datang seorang lagi menyerang
saya, tak dapat tiada nyawaku mel ayang. Untung .. . ia dat ang
menolongku."
Sedang pikiran Midun
melayang-layang d an r agu-ragu
melihat orang tua itu, Turigi mengh ampiri Midun, lalu berkata,
"Apa anakkukah yang ke na? Ba pak lihat pucat benar!" Mendengar perk ataan itu semangat Mi dun ra sa te rbang. P ada
pikirannya, pasti bapak nyalah vang datan g membela dia.
Pemandangan Midun tidak terang akan melihat benar-benar
rupa orang i tu. Pertam a hari sud ah sa mar muk a, kedua ia
sangat payah. Midun t
erduduk karena sangat lelah, lalu
berkata, "Tidak, Pak, hanya badan saya yang letih."
Turigi seger a memangk u Midun, l alu dibawanya ke

kamarnya. Midun pingsan, tiada tahu lagi akan dirinya. Dengan


perlahan ia ditidurkan T urigi di at as temp at tidu r. Setengah
jam kemudian daripada itu, Midun mulai sadar. Ketika ia membukakan mat a, terlihat k epadanya cahaya teran g. Ia merabaaba, tera sa olehnya ba hwa ia t idur di at as k asur. Midun
menggerakkan kepala ak an melih at sekeliling k amar itu. Tibatiba tampak kepadanya seorang tua sedang sembahyang.
"Hai, bermimpikah aku in i?" pikir Midu n dalam hat inya. "Di
manakah saya sekarang? Siapakah yang membawa saya kemari?"
Midun meng gosok mata, seolah -olah tidak per caya kepad a
matanya. Bi ar baga imana juga Midun menggosok mata, tetapi
pemandangannya tetap demik ian juga, tiada berubah. Dengan
segera Midu n bangun, l alu duduk. Dilihatnya orang tua itu
sudah sembahyang. Maka Midun pun berkatalah, " Di manak ah
saya ini, Bapak?"
Turigi meny ahut, katanya, "Di penjara, tetapi sama jug a
dengan di rumah sendiri, bukan? Sudah baik benarkah, Anak?"
"Sudah, Bapak," ujar Midun. "Siapakah Bapak dan mengapa
Bapak di sini?"
"Bapak in i or ang hukum an, sa ma jug a dengan Anak," ujar
Turigi. "Tetapi bapak dihukum
selama hidup. Bapak bukan
orang sini, n egeri bapak di Bugis. Sudah sepuluh tahun dengan
sekarang, b apak d ibuang kemari. S ebab itu b apak pand ai
berbahasa orang sin i. N ama Anak s iapa dan orang man a?
Apakah kesalahan Anak, maka sampai kemari?"
Midun baru insaf,
di mana dia d an dengan sia pa ia
berhadapan. Tahulah ia, bahwa orang tua itulah yang memisahkan perkelahian tadi. Midun berk ata pula katanya, "Na ma saya
Midun, negeri saya di Bukittinggi. Sebabnya saya kemari, sekalikali tidaklah kesalahan saya, Bapak."
Maka Midun menceritakan hal ihwalnya kepada Turigi sejak
bermula sampai ia dimasukkan ke dal am penjara itu. Setelah
tamat M idun bercer ita, T urigi mengangguk-anggukkan kepala.
Ia san gat belas k asihan kepada Midu n, karena masih mu da
sudah menderita siksa dan mal apetaka yang demikian. T ibatiba Midun b erkata pula, katanya, "Saya a mat he ran, Ba pak!
Ada pulakah hukuman sel ama hidup? Apakah kesalahan Bapak,
maka dapat hukuman yang amat berat itu?"
"Bapak dihukum selama h idup, ialah karena terdakwa membunuh Kepala Negeri, ketika terjadi perusuhan di negeri bapak
dua belas t ahun yang sudah!" uj ar Turigi. "Sebelum bapak

dihukum, pe kerjaan b apak jadi duk un dan men jadi ketua


kampung. Apa boleh buat Midun, karena sudah n
asib bapak
demikian. Ha nya sekian la ma ce rita bapak kepada Midun. Tak
ada gun anya bapak ceritakan panj ang-panjang hal bapak,
karena menyedihkan hati saja, padahal nasib bapak akan tetap
begini juga. Di sini bapak sudah sepuluh tahun lebih. Selama di
dalam penjara ini tel
ah banyak bapak melih
at kejadiankejadian y ang menyedihkan. Siksaan dan ancaman pegawaipegawai pen jara di sini sungguh terlalu. Merek a berbuat
sekehendak hatinya saja kepada orang hukuman. Tidak ubah
sebagai bin atang orang hukuman itu dibuatnya. Dirotan,
ditendang, ditinju, disegalamacamkannya saja. Orang hukuman
yang keluar dari sini agaknya jarang yang selamat hidupnya.
Sebab itu bapak har ap kepada Midun, ingat-ingat menjaga diri.
Jangan Anak lengah semenit jua. Bapak bersenang hati sungguh
melihat Midun. Bapak pe rcaya, takk an dapat or ang berbuat
semau-maunya saja kepadamu. Ganj il, yang berkelahi dengan
Midun kem arin, ad alah seorang hukuman yang sangat berani.
Semua orang hukuman di sini
takut kepada Ganj il. Kepada
bapak seorang ia agak segan se dikit. Tetapi Midun gamp ang
saja menjatuhkan Ganjil . Lebih-lebih ketika bapak melih at
perkelahian Midun tadi, sungguh heran benar hati bapak. Bapak
rasa tid ak akan beran i lagi orang mengganggu Midun, karena
sudah dilihat mereka sendiri dengan mata kepalanya bagaimana
ketangkasan Midun. Hanya yang bapak takutkan, Midun ditikam
orang dari belakang dengan tiba-t iba. Karena itu, hati-hatilah
menjaga diri yang akan datang."
"Nasihat Bapak itu saya j unjung tinggi," ujar Midun. "Tentu
saya akan lebih ingat, karena mu suh saya satu dua orang lagi d i
penjara ini. Dan saya mengucapkan terima kasih banyak-banyak
atas pertolongan Bapak tadi. Jika Bapak tidak datang memisahkan perkelah ian itu, boleh jadi saya t ewas k arena tidak satudua or ang y ang menyer ang saya. Apalagi dar i p agi sampai
petang saya selalu bekerja paksa."
Sejak terjadi perkelahian itu, Midun sudah agak
senan g
bekerja sedikit. Sekalipun bera t, tetapi tidak mengerjakan
pekerjaan yang hina lagi. Sebab sudah biasa dari sehari kemari,
tidak lagi terasa berat ole h Midun. Orang hukuman seorang pun
tak ada pula yang berani meng ganggunya. Bia r bag aimana ju a
pegawai pen jara men gasut akan berkelahi deng an Midun,
mereka tid ak mau. Ap alagi M idun deng an Tur igi su dah se perti

anak dengan bapak, ma kin mena mbah takut or ang kepad a


Midun. Setiap petang Midun data ng kepada Turigi belajar ilmu
obat-obatan dan lain-lain yang
berguna kepadanya kelak.
Demikianlah pekerjaan Midun tiap-tiap hari.
Pada suatu hari, kira-kira pukul sebelas lewat, Midun dudukduduk dengan Turigi, kar ena sudah hampir waktu makan. Tibatiba kelihatan oleh Midun seseorang dibelenggu masuk penjara.
Darah Midun tersiap pula, karena orang itu ialah Lenggang yang
akan dik irim ke negeri tempatnya menjalank
an hukuman.
Menanti kapal mest i Len ggang bermalam di penjara. Ia terus
dimasukkan tukang kunci ke da lam sebuah kamar. Midun tidak
kelihatan olehnya waktu masuk ke dalam. Ketik
a Lenggan g
dibawa tukang kunci, Midun berkata kepada Tur
igi, "Bapak!
Itulah oran g yang hend ak me mbinasakan s aya di p acuan kuda
Bukittinggi dahulu. Rupan ya baru sekarang ia dikirim ke negeri
tempatnya dibuang."
Ketika Turigi melihat
Lenggang itu, timbul pik irannya
hendak bert anya, ba gaimana pik iran Midun terh adap ke pada
musuh yang hampir menewaskan ny awanya itu. Tur igi berkata,
katanya, "Midun, orang itu bara ngkali ada se minggu di sin i
menanti kapal. Jika engk au hendak membalaskan sakit hatimu,
sekaranglah waktunya. Maukah engkau, boleh bapak katak an
kepada tukang kunci?"
"Kasihan, Bapak, jika begitu tentu dia jatuh ditimpa tangga,
dalam basah kehujanan pula," ujar Midun. "Sungguhpun ia
seorang j ahat, tetapi sekarang tentu ia menyesal atas perbuatannya itu. Ia bukan musuh say a, melainkan karena makan
upah. Sebab tamak
akan uang, mau ia membu nuh oran g.
Sekarang ia t entu menyesal amat sang at, dibuang s ekian lama
ke negeri l ain, menin ggalkan negeri tumpah darahnya. Jik a
saya hendak membalas tentu boleh, tetapi tak ada angan-angan
saya macam itu. Cukuplah suda h ia menerima hukuman atas
kesalahannya karena loba akan uang, tidak usah ditambah lagi."
Turigi ter diam d iri m endengar perk ataan Midun . Dalam
hatinya ia a mat me muji pikira n Midun yang mulia itu. Sudah
hampir sebulan Turigi bergaul dengan dia nyat a kepadanya ,
bahwa Midun, biarpun masih anak muda, amat baik dan lanjut
pikirannya. Sedang Tur igi ber pikir-pikir itu, dat ang tukang
kunci kepad a Midun, m engatakan a da op as da ri Bukitt inggi
hendak bert emu sebent ar dengan dia. Midun maklum, tak
dapat ti ada Gempa Al am yang he ndak bertemu it u. Ia segera

keluar mendapatkan Gempa Alam.


"Saya kira en gkau telah mati, M idun, kiranya t idak kurang
suatu apa," u jar Gempa Alam. "Adakah selamat saja engkau di
sini?"
"Berkat doa Mamak, insy a Allah adal ah baik saj a, " ujar
Midun. Karen a Midun hany a diiz inkan sebentar saja boleh bertemu, dengan ringk as saj a ia menceritakan pen anggungannya
selama di dal am penjara Padang itu. G empa Alam memuji dan
bersenang h ati melihat Midun se lamat. Kemudian diceritak an
Gempa Alam sesalan Lenggang telah menganiaya Midun.
Setelah itu Gempa Alam bersalam memberi selamat tinggal.
Keesokan ha rinya pag i-pagi, sedang Midun menyapu di
dalam penjara, dilihatny a Lenggang sudah berkel ahi dengan
Ganjil. Midun berhenti menyapu, karen a ingin hendak mel ihat
Lenggang berkelahi, seorang ya ng su dah masyhur jahat itu .
Dalam perk elahian itu Lenggang amat pay
ah. Tiap-tiap
Lenggang mendatangi Ganjil, sel alu ia jatuh.
Sungguhpun
demikian, Lenggang tak u bah seperti orang kebal. Setelah ia
jatuh, bangun dan menyerang pula. Demikianlah berturut-turut
beberapa k ali. Ketik a itu nyat a kepada Midun, bahwa Ganjil
seorang yan g tangka s, da n patu t terb ilang ber ani di penjar a
itu. Melihat Lenggang jat uh dan tidak berger ak lagi kena k aki
Ganjil, Midu n amat kasihan. Biarpu n Lenggang musuhnya,
tetapi dapat ia menah in hati. Midun segera melompat, lalu
berkata, "Ini dia yang lawanmu, Ganjil! Mari kit a ulang sekali
lagi, sebab tempo hari belum sam-sama puas hati kita!"
Ganjil menganjur langkah surut, sa mbil memandang kepada
tukang kunci yang melihat perkelahian itu dari jauh. Setelah itu
dengan tid ak berkata sep atah jua, Ganjil berjala n. Ia tidak
berani lagi bertentangan dengan Midun, sebab sudah dirasainya
bekas k aki orang muda itu bulan y ang lalu. Midun dengan
segera mengambil tan gan Leng gang, lalu dibimbingnya ke
kamar. Lenggang amat malu me lihat muka Midun. Dengan
memberanikan diri, m aka iapun me minta m aaf a kan seg ala
kesalahannya kepada Midun. Sete lah ia me minta t erima kas ih
atas pert olongan Midun kepadanya, maka diceritakannyalah
sejak ber mula sa mpai k esudahan ak an halnya d iupah oleh
Kacak hendak membunu h Midun dahulu itu. Bahkan Midun
diberinya pu la nasih at, supaya jan gan pulang k e kampung,
karena Kacak sangat benci kepadanya.
Mendengar cerita Lenggang itu, Midu n baru in saf benar-

benar, bahwa Kacak itu sudah menjadi musuh besar kepadanya,


hingga hendak menewaskan jiwa orang.
Setelah dua bulan lebih Midun menjalankan hukuman, ia
disuruh bekerja di lu ar. Dalam pekerjaan itu d imandori oleh
Saman yang bengis itu juga. Teta pi mandor Saman tidak berani
memukuli Midun, sebab ia sudah melihat keberanian anak muda
itu berkelahi. Lagi ia takut kepada Turigi, yang sangat
mengasihi Midun itu. Sungguhp un demikian, Midun selalu dapat
ancaman jua . I a di suruh man dor Sa man bekerja paks a. Bila
Midun lalai sedikit saj a atau berhenti sebentar, ia sudah
menghardik dan men gatakan, "Midun lalai, nant i aku adukan
kepada sipir, supaya bertambah hukumanmu." Dengan hal yang
demikian Midun tiap-tiap hari bekerja keras, berhujan berpanas
dengan t idak berhenti-he ntinya. Kadang-kadang timbul pikiran
Midun hendak melawan, tetapi ia t akut hukumannya akan
bertambah. Sedang hari yang te lah dua bulan lebih itu, seraso
dua abad kepada Midun. Rasakan ditariknya hari supaya sampai
4 bulan, supaya lekas ia bertemu dengan ibu bapak, adik, dan
kawan-kawannya.
Tidak sanggu p Midun melihat beberapa hal yang san gat
menyedihkan dalam penjara jahanam itu. Ngeri dan tegak bulu
romanya mel ihat penganiayaan yang dilakukan ol eh pegawai
penjaga kepada orang-orang hukuman.
Sebulan Midun bekerja menyapu jalan di kota Padang. Mulamula ia menyapu di Kampung Jawa. Kemudian dipindahkan pula
ke Muara, pada jalan di t epi la ut. Di sana Midun agak senan g
sedikit, sebab jalan-jalan di si tu tidak kotor ben ar, karena
sunyi dan jarang orang lal u lint as. Tetapi meskipun senang ia
bekerja, hat inya bertambah sedih. Memang lau
t lepas it u
jauhlah pik iran Midun
daii ti mbullah beberapa kenangkenangan dalam hatinya. Apalagi pagi-pagi matahari yang baru
terbit, terse mbul dar i m uka air, menyinari segala alam j agat
ini, amat memilukan hat inya. Perahu pengail yan g dil amunlamun ombak di tengah lautan dan gelombang turu n naik beralun dan sabung-menyabung, se akan-akan meman ggil Midun
akan membawanya ke seberang lautan.
Sekali perist iwa hari amat ce rah, l angit pun hij au laksana
tabir w ilis ta mpaknya. Panas ter ik amat s angat, h ingga orang
tidak ada yang tahan tin ggal di dalam rumah. Baik laki-l aki,
baik pun perempuan banyak keluar dari rumah akan mendinginkan badan. Orang yang t inggal dekat-dekat Muara itu banyak

datang ke t epi laut, berlind ung sambil bermain di bawah


pohon-pohon. Sungguh senang da n sej uk berlindung di bawah
pohon kayu waktu hari panas. Apalagi jika diembus angin timur
yang dat ang dari laut dengan lunak lembut. Segala
orang
hukuman sudah berhenti menyapu, karena waktu makan sudah
datang. Sete lah matah ari tur un dan panas kuran g teriknya,
mereka yang berlindung itu ke mbali ke ru mahnya m asingmasing. Midun dan orang hukum
an yang lain mulai pul
a
menyapu. K etika Midun menyap u di baw ah sebatang poh on
kenari, kelihatan olehnya sebuah kalung berlian terletak di atas
urat kayu yang tersembul ke at as. Barang itu segera diambilnya, lalu dimasuk kannya ke dalam saku bajunya. Ia berniat
hendak men gembalikan barang itu kepada y ang pu nya. Tetapi
timbul pula pikiran lain dalam h ati Midun. Melihat berlian itu,
bolak-balik pikirannya akan me ngembalikannya. Sedang Midun
termenung mengenangkan barang itu, lalu ia berkata dalam
hatinya, "Kal au say a tidak salah, yan g duduk di sini tadi, ada
seorang perempuan cantik . Melihat kepada tampan perempuan
itu, rupanya ia anak gadis. Benarlah dia dan saya kenal tempat
tinggalnya k etika saya menyapu j alan di muka gedung itu.
Rumah gadis itu gedung yang amat indah. Orang Belandakah
gadis itu? Te tapi jik a saya jual baran g ini, tentu banyak juga
saya beroleh uang dan berapak ah gerangan h arganya? Seratus
rupiah tentu dapat. Boleh aku pa kai j adi pokok be rniaga, bila
hukumanku habis. Tetapi, ah, ru panya pikiran saya sesat. Ap a
gunanya saya beragama, jika
takkan pandai menahan hat i
kepada peke rjaan yang salah. Hak milik orang harus say a
kembalikan. Lagi pula oran g hukuman mempunyai baran g
macam ini, tentu mu dah o rang mempeduli s aya men curi.
Mudah-mudahan karena dia oran g kaya, kalau saya menanam
budi ada juga baiknya kelak."
Midun melih at kian kemari, se bagai ada yang d icarinya.
Setelah diket ahuinya man dor Saman pergi ke Kampung Jaw a,
Midun se gera berj alan k e ged ung tempat gadis itu tinggal.
Sampai di p intu gapura, Midun disal ak anj ing. Tidak l ama
keluar seorang perempu an, amat pu cat dan kurus rupanya.
Payah benar perempuan itu berjalan, agaknya dalam sakit atau
baru se mbuh dari s akit. P erempuan it n dipi mpin o leh seoran g
gadis yang amat cantik, yaitu gadis yang dilihat Midun di bawah
pohon ken ari tadi. Ket ika kedu a perempuan itu melihat orang
hukuman, mereka itu terkejut ketakutan. Dengan gagap,

perempuan pucat itu berkata, "Masuklah, apa kabar?"


"Bukan orang Belanda kiranya orang ini!" pikir Midun dalam
hatinya. Ia maklum bah wa perempu an itu dalam ketakutan
melihat dia seorang hukuman. Midun berkat a sambil m asuk
pekarangan rumah, katanya, "Kabar baik, orang kaya. Meskipun
saya o rang hukuman, ta k usah oran g kaya khaw atir, karen a
saya membawa kabar baik. Kalau saya tidak salah, Unikah yang
datang ke Muara tadi dan berlindung di bawah pohon kenari?"
"Benar," ujar gadis itu
dengan heran bercampur takut,
karena ia tidak menge rti apa mak sud pertanyaan oran g
hukuman itu kepadanya.
"Adakah Uni ketinggalan apa-apa di bawah poh on itu ketika
hendak kembali?" ujar Midun sambil memandan
g gadis itu
dengan sopan.
Gadis itu meraba lehernya, la lu lari k e dalam seolah-olah
ada yang dicarinya. Tidak lama ia kembali, mukanya pucat, lalu
berkata, "Ibu, kalung berlian
hamba tidak ada lagi. Sudah
hamba cari di lemari dan di bawah ban tal tidak bert emu. Tadi
rasanya hamba pakai bermain-main ke Muara. Waktu balik ke
rumah, entah masih hamba paka i e ntah tidak, hamba tidak
ingat. Adakah Ibu melihatnya?"
"Tidak," ujar perempuan itu dengan cemas, ibu dari gadis
itu agaknya. "Ketika kau pula ng tadi, tidak memakai k alung
saya l ihat. Aduhai, cuk uplah rasany a say a mak an hati dan
menahan sedih selama bercerai
de ngan b apakmu, te tapi
sekarang ad a-ada pula yang terjadi . Tak dapat tiada, jik a
bapak tirimu tahu hal ini, alamat tidak baik jadinya. Sedangkan
perkara kecil saja boleh menjad ikan sengketa d i rumah in i,
apalagi kehilangan kalung berlian yang semahal itu harganya."
Ketika Midun melihat ibu dan anak itu dalam kecemasan, ia
pun berkata sambil mengeluarkan kalung itu dari saku bajunya,
katanya, "Janganlah Orang kaya dan Uni cemas, sebab saya ada
mendapat kalung itu. Inikah kalung itu, Uni?"
Midun lalu memberikan k alung itu kepada gadis it u. Serta
gadis lalu melihat, diambilnya ka lung itu dan segera dikenal inya; lalu ia pun berteriak,
melompat-lompat karena ri ang
seraya berk ata, "Betul, in ilah kalung saya. Terima kasih, Udo.
Terima kasih banyak-bany ak. Untung Udo yang mendapatkannya, jika orang lain barangkali tidak akan dikembalikannya."
Gadis itu memandang kepada ibuny a, se bagai ada yan g
hendak dik atakannya. Ibu itu rupanya mengerti apa maksud

anaknya. Maka ia pun berkata kepada Midun, "Masuklah dulu,


orang muda!"
"Tak usah l agi, Orang kaya," ujar Midun. "Saya or ang
hukuman, tidak boleh lama-lama di sin i. Saya mohon permisi
hendak balik ke tempat saya bekerja."
Sambil mengeluarkan uang kertas li ma rupiah, ibu gadis itu
berkata, " Jika or ang muda tid ak mau masuk, ba iklah. Sebag ai
tanda ka mi bergirang ha ti mend apat barang itu kembal i da n
tanda terima kasih saya, saya harap uang yang sedik it ini orang
muda terimalah dengan suka hati."
Perempuan itu memberik an uang kepada Midun. Tetapi
Midun tidak mau menerimanya, lalu berkata, "T erima ka sih
banyak! Saya harap Orang kaya jangan gusar, karena say a
belum pern ah menerima uang ha diah ma cam ini. Saya wajib
mengembalikan barang ini kepada yan g punya, karena bukan
hak saya. Dan saya tidak mengha rapkan sesuatu dari perbuatan
saya itu. Yang say a laku kan ini adalah menurut agama dan
kemauan Tu han, karena itu say a harap janganlah oran g kaya
memberi saya hadiah."
Biar bagaimana jua mereka itu keduanya menyuruh mengambi u ang itu, Midun selalu men olak. Setelah itu ia pun
kembali ke tempatnya bekerja, lalu menyapu pula. Sedang
menyapu jal an, Midun terkenang aka n perkataan perempuan
itu kepada anaknya. Mak a ia berkata dalam hat inya, "Sungguh
ajaib duni a ini. Ap akah s ebabnya perempuan itu makan hat i?
Apakah yang disedihk annya? Ia tinggal dalam sebuah gedung
yang in dah di tepi jal an besar. Kehen daknya boleh , pintanya
berlaku, seb ab uang ban yak di pet i. Berj ongos d an berk oki,
beranak seorang per mainan mata. Keinginan apakah lagi yan g
dikehendakinya dengan hidup cara demik ian? Sungguh heran,
siapa y ang akan menyangka orang yang sesenang itu
ada
menanggung kesedihan? Ben arlah ada ju ga seperti k ata
pepatah: ay am be rtelur dalam pad i mati kelaparan, it
ik
berenang dalam air mad kehausan."
Dalam berpik ir-pikir hari sudah petang, lalu Midun kembal i
ke perkara. Malam itu ia amat bersenang hati, karena meskipun
dia or ang h ukuman, dapat juga berbuat pahal
a. Tamp aktampak dal am pikiran Midun wa jah gadis itu bergiran g hati
setelah barangnya dikembalikan.
"Orang manakah gadis itu? Siapakah b apak tirinya? Sungguh
cantik dan elok rupanya, sukar didapat, mahal dicari."

Pertanyaan itu timbul sekonyong-k onyong dalam pikiran


Midun. Kemudian ia tertidur dengan nyenyaknya sampai pagi.
Hukuman Midun sudah h ampir habis. Menurut hematny a
tingga115 hari lagi. Rasakan dibe lanya hari yan g 15 hari itu,
karena ingin hendak pulang menemui keluarganya. Makin dekat
hari ia akan dilepaskan, mak in rajin Midun bekerja. Kemauan
mandor Saman diturutnya belaka , biar apa saja y ang disuruhkannya. Midun amat sabar, dan harapan jangan hendaknya terjadi apa-apa sampai ia bebas. Tengah hari ketika Midun hendak
pergi mengambil r ansum, tibatiba dat ang se orang perempu an
tua kepadan ya, lalu berkata, "Ibu Halimah
menyuruh mengantarkan nasi untuk orang muda."
"Halimah?" ujar Midun dengan heran , "Siapa Hal imah itu,
Nek? Saya b elum ad a b erkenalan di sin i. Baran gkali nenek
salah, bukan saya yang dimaksud ibu Halimah itu agaknya."
Orang tua itu bingung, karena tidak tentu akan jawabnya. Ia
hanya disuruh orang mengantarkan nasi kepada Midun, diantarkannya. Bagaimana seluk-beluk ibu Halimah den gan Midun,
sedikit pun ia tid ak tahu. Sebab itu ia melihat ke s ana kemari,
seakan-akan Ada yang dicari orang tua itu.
"Ibu saya menyuruh men gantarkan nasi untuk Udo," ujar
Halimah, sambil kelu ar dari bal ik pohon ke nari, sebab
dilihatnya n enek itu dalam keragu- raguan akan menjawab
pertanyaan Midun.
"O, Uni gerangan yan g bern ama Halimah!" ujar Midun
dengan hormat. "Maaf, Uni, karena saya belum tahu nama Uni,
saya k atakan tadi kep ada nenek ini, bahwa saya belum berkenalan seorang jua di sini. Mengapakah ibu Uni menyuruh
mengantarkan nasi benar untuk saya, orang hukuman ini? Saya
harap jan gan Uni berke cil hati , karena say a tidak sanggup
menerima p embawaan ini. Teri ma kasih banyak, sudilah
kiranya Uni membawa nasi ini pulang kembali!"
"Benar,h say alah yang bernam a Hal imah," ujar gadis y ang
kehilangan k alung kemarin itu. "Ibu
meminta benar dengan
sangat, supa ya Udo suk a me makan nasi in i. Saya hara p
janganlah Udo bertangguh seperti, kemarin pula!"
"Tidak, Uni, sekali-kali tidak," ujar Midun pula. "Say a mengucapkan terima kasih ban yak saja at as kemurahan Uni dan ibu
itu. Takut saya ak an te rbiasa, sebab or ang huk uman h anya
makan nasi dengan garam. Bawalah balik pulang!"
"Saya sudah payah memasak, tetapi Udo tidak mau pula me-

makan," ujar Halimah sebagai or ang berib a hati dan merayu.


"Perkataan U do meng enai hati saya. Tidak b aik b egitu, Udo!
Jika Udo tak hendak memakan na si i ni, buangk an saj alah ke
laut itu! Ikan di laut barangkali ada yang suka memakannya."
"Marilah k ita pulang, Nenek! " ujar Halimah pula kepada
orang tua itu. "Sebentar lagi kita ambil rantang ini kemari."
Halimah dan nenek itu pulang. Midun tinggal seorang diri
dengan rantang terletak di hadapannya. Ia duduk sebagai orang
teringa-inga. Perkataan Halimah sebagai bunyi buluh perindu
masuk ke tel inganya. Merdu sungguh, entah di mana perasaan
Midun ketika itu. Akan menolak permintaan Halimah sekali lagi,
ia rasa tak sanggup. Lagi p ula Hal imah sudah bergulut saj a
pulang, sesudah habis berkata tadi.
"Ah, kalau saya .... Tidak bo
leh jadi, tak dapat tiada
sebagai si pu ngguk merindukah bulan. Dan mustahil makan an
enggang akan tertelan oleh pipit," d emikianlah p ikir Midun
dalam hatinya.
Ketika Midun hendak membuka rantang, tiba-tiba bahunya ''
ditarik orang dar i bel akang dengan k uat. Sambil menghardik,
orang itu berkata, "Eh,
binatang, engkau tidak t ahu, orang
hukuman sekalikali tidak boleh bercakap dengan orang preman?
Berani sungguh, itu siapa? Ingat! Hukumanmu boleh bertambah
lagi!"
Mendengar perkataan itu, Midun rasa disambar petir, sebab
terkejut. Kerongkongannya tersumbat, napasnya turun naik menahan hati, ketika di lihatnya mandor Saman yang menarik dia.
Hampir tid ak dapat Midun
menahan marahny a mendengar
cerita yang amat keji it u. Lama baru Midun dapat menjaw ab
perkataan mandor S aman itu. Ma ka ia pun berkata, "Jangan
terlampau penaik darah, Mamak! Marah gampang, semua orang
dapat berbu at demik ian. Tanyakan dulu sebab-sebabny a,
kemudian kalau nyata saya bers alah, biar sepuluh tahun lagi
hukuman say a bertambah , apa boleh buat. Bukan saya yang
membawa orang itu be rcakap, melainkan di a yang dat ang
kepada saya."
Mandor Saman undur ke belakang
mendengar perkataan
Midun yang l unak, tetapi pedas itu. Biasanya bil a ia melihat
orang hukuman berbuat salah tidak ditanyainya lagi, melainkan
pukulan saja yang tiba
di p unggung. Tetapi kepada Midun,
mandor Saman agak gentar, kare na sudah dilihatnya ketangkasan anak muda itu. M aka katanya, "Ya, siapa, ini apa? Dan jalan

apa kepadamu oran g itu?" Midun menerangkan den gan pendek,


apa yang telah terjadi m aka ia meng enali anak g adis itu, lalu
berkata sambil m embuka rantan g, kat anya, "Maa fkanlah s aya,
Mamak! Bukankah selera Mamak juga yang akan puas. Bagi saya
lebih-lebihnya saja jadilah. Kita tidak usah berje rih payah lagi
mengambil ransum ke penjara."
Melihat goreng ayam, semur, sambal petai, dan lain-lain
itu, mandor Saman lekas-lekas menelan air liurnya yang hendak
berleleran. Sudah 10 tahun dia menjalani hukuman, dan karena
dipercayai s ipir sampai diangkat menjad i ma ndor, lamun
makanannya sama juga dengan
orang hukuman yang lain.
Tetapi melihat nasi dengan la uk-pauknya itu, lekum mandor
Saman turun -naik, ha mpir m akanan it u dir ampasnya. M aka ia
berkata den gan pen dek, "Ba iklah, asal setiap h ari beg ini.
Tetapi s aya menyesal kal ung itu en gkau kem balikan. Bodo h
benar, jika dijual betapa baiknya...."
Bukan m ain mandor Sa man menc aruk nasi den gan lauknya.
Hampir tidak dikunyah, terus masuk perutnya. Setelah kenyan g
ia pergi. M idun mengan gguk-anggukkan kepal a saja melihat
mandor Saman yang t amak itu. Bagiannya tinggal sedikit lagi,
tetapi tidak pula dimak annya. Midu n merasa malu jika isi
rantang itu habis sama sekali. Mengetahui nama an ak gadis itu
saja lebih mengenyangkan daripa da makan nasi pada perasaan
Midun. Maka rantang itu disu sunnya baik-baik. K etika orang
hukuman akan pergi mengambil ransum, ia meminta tolong saja
kepada temannya meny uruh bungkus ran sum bagiannya.
Tengah h ari Halimah k embali pula dengan n
enek akan
mengambil rantang. Masa itu Mi dun masih duduk-duduk, karena
waktu kerja belum t iba. Baru saja Halimah dekat, Midun
berkata, "Terima kasih, Uni! Bersusah payah benar rupanya Uni
memasak, tidak ubah sebagai makanan engku-engku. Segala isi
rantang ini sudah hampir habis oleh saya. Maklumlah, Uni, tiaptiap o rang suka kepad a yang enak , apalag i yang belum
dirasainya. Tolongl ah sampaikan salam s aya ke pada i bu Uni ,
dan terima kasih saya atas kemurah an beliau k epada an ak
dagang yang daif ini."
"Terima k asih kembali, " uj ar H alimah. "Janganlah membalikkan huj an ke langit itu, Udo!
Sementara saya orang
dagang, jangan ter lampau benar menyindir. Udo nyata kepada
saya orang sini, tetapi saya orang jauh-jauh di seberang laut."
"Sebenarnya, Uni, sekali-kali saya ti dak menyindi r!" ujar

Midun dengan heran. "Negeri saya di Bukittinggi, saya dihukum


kemari. Uni siapa dan orang mana?"
"Bukittinggi itu bukankah suda h Padang juga namanya," ujar
Halimah. "Tetapi k ami orang da ri tan ah Jawa, dagang l arat
yang sudah 10 tahun dibawa unt ungnya kemari. Jika tidak
beralangan kepada
Udo, sudilah Udo menerangkan
apa
sebabnya Udo dihuku m ini? Ibu pun heran, karena Udo
berlainan dengan orang hukuman yang biasa beliau lihat."
"Benar, sungguhpun Bukit tinggi Padang juga, tetapi bukankah saya sudah meninggalkan kaum keluarga."
Midun menerangkan dengan pendek halnya sampai dihuku m
ke Padang itu. Ketika Midun hendak bertanyakan asal dan siapa
bapak tiri Halimah, mandor Sa man berkata pula, "Midun, ayoh
kerja, waktu sudah habis."
Hingga itu percakapan mereka terhenti. Halimah dan nenek
itu pulang ke rumahnya. Halima h tahu sudah nama anak muda
itu, ketika mand or Sa man me manggil namanya. Demikianlah
hal Midun, setiap hari diantari
nasi oleh Halimah ke Muara.
Halimah han ya tiga kali datang, sebab sak it ibun ya se makin
keras. Ia perlu menjaga ibunya, sebab itu nenek it u saja yan g
pergi ke Muara meng antarkan na si. Tetapi yang memakan nasi
itu boleh dik atakan mandor Sa man saj a. Yang dimakan Midun
hanya sisa-sisa mandor S aman. Kadan g-kadang t imbul pikir an
Midun hendak melawan, karena tingk ah laku man dor Saman
yang tidak senonoh itu. Tetapi mengingat hukumannya yang
hanya tinggal beberapa hari
lagi, terpaksa i a sab ar da n
menurut kemauan mandor itu saja.
Setelah sepekan lamanya, Midun tidak diantari Halimah nasi
lagi. Nenek itu pun tidak pula datang-datang ke Muara. Hal itu
pada pikiran Midun tid ak menjad ikan apa- apa, k arena tentu
tidak boleh jadi ia akan terus-menerus saja diantari orang nasi.
Sungguhpun demik ian h atinya tidak senang karen a kabar t idak
beripa pun t idak. Berdebar hat inya k etika terk enang olehnya
bahwa ibu Halimah dal am sakit- sakit. Oleh seb ab itu pada
suatu pagi Midun lalu pada jala n di muka ru mah Hali mah. l a
ingin hen dak menget ahui keadaan me reka itu. Setelah sampai
di muka ru mah, dilihatny a pi ntu tertutup, seoran g pun tidak
ada kelihatan. Ketika seorang babu keluar dari gedung sebelah
rumah itu, Midun bertanya, "Uni,
bolehkah saya bertanya
sedikit? Gedung ini men gapa bertutup saja? Ke man akah orang
di gedung ini? Pindah rumahkah dan atau tidak di sini lagi?"

"Yang tinggal di gedung ini Nyai Asmanah, baru tiga hari ini
meninggal dunia," ujar babu itu. "Anaknya Halimah kemarin ada
juga saya lihat, tetapi pagi ini, ketika saya hendak menumpang
mandi, tidak ada lagi."
Babu itu masuk, sebab dipanggil induk semangnya ke dalam.
Midun sebagai terpaku di muka jalan itu. Ia amat k asihan mengenangkan gadis itu dit inggalkan ibunya di negeri orang pula.
Ketika babu menyebutkan Nyai Asmanah, Midun maklum bahwa
bapak tiri Halimah itu orang putih, tidak sebangsa dengan dia.
"Ah, ap akah jadiny a g adis itu? Kemanakah dia? K asihan!"
Demikianlah timbul pertanyaan dalam pik iran Midun. Dengan
tidak disangka-sangka ia telah s ampai ke te mpatnya bekerj a
setiap hari. Dalam pekerjaan, pi kiran Midun kepada anak gadis
yang baru k ematian ibu saja. Biar
bagaimana j ua pun ia
menghilangkan, tetapi seakan-akan tampak-tampak oleh M idun
penanggungan Halimah.
Tengah har i ia duduk di ba wah poh on kayu yang rindang
sambil merenung ke laut lepas. Sekonyong-konyong bahunya
diraba orang dari bel akang. Mi dun melihat kiranya nenek itu
suruh-suruhan Halimah. K etika ia hen dak bertanya, nenek itu
meletakkan jari telunjuk ke bibirnya, lalu memberik an sepucuk
surat. Kemu dian i a berj alan dengan tergop oh-gopoh seb agai
ketakutan.
Melihat tingk ah nenek yang ga njil itu , Midun amat heran
dan bingung. Ia tidak mengerti s edikit jua akan perbuatan
nenek yang demik ian itu . Surat itu segera dibukanya, tetapi
Midun tidak pandai membaca, karena bertulis dengan huru f
Belanda. Hatinya ingin benar meng etahui isi su rat itu, tetapi
apa day a b adan tid ak bersekolah. Am at s akit hati Midun,
karena ia terpaksa menyimpan surat itu, menanti orang yang
akan menolong me mbacakannya. Ke tika pulang ke penjara, ia
berjalan memencil d i b elakang. Tiba-tiba kelihatan olehny a
seorang an ak sedang membaca buku sepanjan g jalan. Midun
lalu menghampirinya, serta ditegu rnya, "Buyung, bolehkah saya
meminta tolong sedikit? Tadi saya ada menerima sepucuk surat.
Sukakah Buy ung men olong membacak annya seben tar, supay a
kuketahui is inya? Sa ya tida k pa ndai membaca tuli san ma cam
ini."
Midun mengunjukkan surat, lalu diambil anak itu. Demikianlah bunyinya:

Udo Midun!
Tolong, Udo, saya di dal am bahaya. Saya harap dengan
sungguh, Udo datang mengambil saya ke rumah No. 12 di
Pondok. Jika Udo datang ke sana, hendaklah antara pukul 11
dan 12 malam. Nenek akan menantikan Udo di rumah itu.
Kasihanilah saya; kalau Udo tidak datang saya binasa.
Wassalam saya,
H.

10. Lepas dari Hukuman

SETELAH dib acanya, sura t itu dikem balikan anak itu. Maka
Midun me minta teri ma k asih kepa da anak itu, lal u berjalan
pula. Ia mak lum, bahwa surat itu dari Halimah. H ati Midu n
bertambah kabut, pikiran nya makin k usut menden gar bunyi
surat itu. Amat kasihan ia men genangkan Hali mah. Sampai d i
penjara, pik irannya sudah teta p akan menol ong gadis itu
sedapat-dapatnya. Tetapi bagaimana akan menolong, karena ia
masih dalam hukuman? Sampai
di kamarnya, Midun menghitung-hitung hari, bil a ia ak an di lepaskan. Da lam p ada i tu
datang seorang tukang k unci memanggil, lalu ia dibawany a
kepada sipir. Hati Midun mulai tidak senang pula, karena sudah
4 bulan ia dihukum, belu m pernah dipanggil sipir. Sampai d i
kantor, sipir berkata, "Midun, ta di saya dapat perint ah, bahwa
engkau s udah b ebas da ri hukum an. Be sok pa gi e ngkau d apat
surat dari saya, supaya perai ongkos kereta api untuk pulang ke
kampungmu."
Mendengar perkataan itu hamp ir tidak dapat Mid un menjawab, karen a sangat girang ha tinya mendengar k abar itu. Ia
bergirang h ati bukannya karena hendak pulang k e kampun g,
melainkan berhubung den gan surat Halimah. Tetapi kegirangan
hatinya itu t idak lama, k arena sipir menyuruh dia pulang ke
kampung. Cemas hatinya memikirkan hal itu, takut kalau-kalau
dipaksa sipir mesti pulang juga. Hati Midun memang agak malas
pulang, mengingat permusuhannya dengan Kacak.
Tentu saja k alau ia pulan g Kacak tidak bersenang hati, dan
mencari ikhtiar supaya ia binasa ju ga. Midun berk ata den gan
lemah lembut sambil memohon permintaan, katanya, "Jika ada
kemurahan Engku kepada saya, harap Engku mengizinkan saya
tinggal di sin i. Saya tidak hendak pulang, biarlah saya mencari
penghidupan di k ota in i saj a. Dan kalau tak ada keberatan
kepada Engku, saya bermaksud hendak keluar sekarang."
"Tidak boleh, karena orang hukuman yang sudah bebas
mesti pulang kembali ke kampungnya."
"Atas rah im dan belas k asihan Eng ku ke pada sa ya, s udi
apalah k iranya Engku me ngabulkan pe rmintaan s aya itu. Saya
takut pulang, karena saya dimusuhi orang berpangkat di negeri
saya. Yan g menghukum saya kema ri pun, sebab orang itulah .

Oleh sebab itu, saya bern iat hendak tinggal di P adang ini saja
mencari pekerjaan."
Karena Midun meminta dengan sungguh-sungguh dan dengan
suara lemah lembut, maka timbul juga kasihan sipir kepadanya.
Ia pun berkata, katanya, "Sebetulnya hal ini tidak boleh. Tetapi
sebab en gkau sang at me minta, biarlah say a kabulkan. Jik a
engkau bebas sekarang, di mana engkau akan tinggal? Bukankah
engkau tid ak berkenalan di s ini dan hari pun sudah petan g
pula."
"Di rumah P ak Kart o, tempat Engku menyuruh men gantarkan cucian kepada saya t iap pekan. Orang itu suka menerima
saya tinggal di rumahnya. Dan ia pun mau pula menerima saya
bekerja dengan dia."
"Baiklah, tunggu sebent ar, saya buat sebuah surat kepada
Penghulu Kampung Ganting. Besok pagi-pagi hen daklah engkau
berikan surat saya kep adanya, sup aya engkau j angan be ralangan tinggal di sini."
Midun bebas, lalu ia pergi me nukar pakaian. Uan gnya yang
f15,- dahulu diberikan tuk ang kunci kembali kepadanya. Sudah
itu ia pergi kepa da sipir mengambil surat yang dijanj ikan
kepadanya itu. Kemudian ia pergi kepada Tur igi akan meminta
maaf dan memberi sela mat tin ggal. Setelah Midun dinasihat i
Turigi, me reka kedua be rtangis-tangisan, tak ubah nya seba gai
seorang bapak dengan anaknya yang b ercerai t akkan bertemu
lagi. Setelah itu Midun bersalam dengan kawannya sama orang
hukuman, lalu terus berjalan ke luar penjara.
Midun terlepas dari neraka d unia. Ia berjalan ke Ganting
akan menemui tukang menatu Pak Karto. Memang Midun sudah
berjanji dengan Pak K arto, manakala lepas dari hukuman akan
bekerja menjadi tukang cucinya.
Sepanjang jalan pikiran Midun kepada Halimah saja, mak a
ia pun berk ata dala m hat inya, "Bah aya apak ah ya ng meni mpa
Halimah? Jika saya ti dak tolong, kasihan gadis itu. Akan tetapi
bila saya tolong, boleh jadi hidup saya celaka pula. Saya belum
tahu seluk beluk perkaranya dan
dalam bahaya apa dia
sekarang. Lagi pul a d ia seoran g gadis, say a bujan g, bukankah
ini pekerj aan sia- sia saj a. Ya, serba salah. Tetap i lebih baik
saya bertanya kepada Pak Karto, bagaimana pikirannya tentang
Halimah itu. Perlukah ditolong atau tidak?"
Pikiran Midu n bolak-bal ik saja , hingga sampai ke muka
rumah P ak K arto. Didapatinya Pak K arto sedang makan, l alu

Midun diper silakan or ang tua itu mak an bersa ma-sama. Sudah
makan hari baru pukul 8 malam. Mereka itu berc akap-cakap
menceritakan ini dan itu. Setelah beberapa l amanya, Midun
lalu menceritakan hal Halimah da n surat yang diterimanya itu.
Mendengar cerita Midun, apalag i gadis itu berasal dari t anah
Jawa, se bangsa dengan dia, P ak K arto sangat belas k asihan.
Pak Karto sepakat menyu ruh Midun membela Hal imah, sebab
gadis itu sebatang ka ra saja di kot a Padan g. la tidak lupa
menasihati Midun, supaya pekerjaan itu dil
akukan dengan
diam-diam, j angan hendaknya or ang t ahu. Bahaya yang boleh
menimpa Midun diingatkannya pula oleh Pak Karto. Midun
disuruhnya hati-hati mel akukan pekerj aan itu, sebab Halimah
seorang gadis. Kira-kira pukul 10 malam, Midun berangkat dari
rumah P ak Karto akan menepati apa yang dikat akan dal am
surat itu.
Karena har i baru pukul 10, per gilah ia berjalan- jalan ke
kampung Jawa akan melihat keadaan kota itu pada malam hari.
Setelah lewat pukul 11, Midun berjalan menuj
u arah ke
Pondok. Hari gelap amat sangat, jal an sunyi pula. Karena
pakaian Midu n disuruh ganti ol eh Pak Karto dengan pakaian
yang segala hitam, mak a ia tiada lek as bertemu oleh nenek
suruhan H alimah yan g t elah men antikannya. Midun sangat
berhati-hati dan selalu ingat mel alui jalan it u. Tiba- tiba
kedengaran olehnya oran g memanggil namanya. Maka ia pun
berhenti, lalu berjalan ke arah suara itu.
"Engkau ini Midun?" ujar orang itu dengan su ara gemetar,
sebagai orang ketakutan. "Saya ini nenek, turutkanlah saya dari
belakang."
Midun s ebagai ja wi di tarik talinya menurutkan nenek itu
dari belak ang. Entah ke mana ia dibawa nenek itu, tidaklah
diketahuinya, karena hari amat gel ap. Hanya yang diketahuinya, ia dua kali menyuruki pagar dan menempuh jalan yang
bersemak-semak. Sekony ong-konyong tertumbuk pada sebuah
dinding rumah.
"Neeeek?" bunyi suara pe rlahan-lahan dari jendela rumah.
"Ada Udo Midun? Sambutlah barang-barang ini!"
"Ada, in i dia bersama nenek," ujar nenek itu perlahanlahan. "Midun, tolonglah sambut Halimah dari jendela."
Midun lalu mengambil pinggang Hal imah, dipangkunya ke
bawah. Samp ai di b awah, Halimah berkata, "Ingat-ingat, Udo!
Boleh jadi Udo dipukul orang. Bawalah saya ke mana Udo sukai,

tapi jangan dapat hendaknya kita dicari orang."


Midun yang dalam kebin gung-bingungan dan t idak mengerti
suatu apa perkara itu, lalu menjawab, "Ke mana U ni akan s aya
bawa, kar ena say a belum berkenal an di sini. Lain darip ada ke
Ganting, tak ada lagi rumah lain. Maukah Uni ke sana?"
"Baiklah, asal saya terhind ar dari rumah ini, " ujar Halimah
dengan berbisik.
Mereka itu b erjalan perl ahan-lahan, takut akan d iketahui
orang. Tangan Halimah dipegang oleh Midun, lalu d ipimpinnya
ke jalan besar. Ketika h ampir sampai di jal an b esar, Midun
menyuruh Halimah dan nenek berundu ng-rundung dengan kain,
supaya mukanya jangan diliha t orang. Dan Midun membenamkan kopiahn ya dalam-dalam me nutupi telingany a, supaya
jangan nyata mukanya kelihatan. Sampai di jalan, kebetulan
lalu sebuah bendi. Bendi itu ditahan oleh Midun, mereka ketiga
lalu naik ke atas bendi itu.
"Ke Alanglawas," ujar Midun kepada kusir bendi itu.
Di ata s bend i seo rang pun tak ad a yan g beran i ber kata s epatah kata jua pun. Mereka itu di dal am ketakutan, takut akan
dilihat orang lalu lintas di jalan. Ketika bendi itu sampai di
Alanglawas, Midun berkata, katanya, "Berhenti di sini, Mamak!"
Mereka itu pun turun dari atas bendi. Belum jauh berjalan,
Halimah berkata, "Mengapa kit
a di sini turun?
Tadi Udo
mengatakan ke Ganting."
"Ya, dari sini kita berjalan kaki saja. Bukankah tidak berapa
jauh dari sini ke Ganting? Maka kita turun di sini, supaya jangan
diketahui kusir bendi tadi ke mana tujuan kita."
Setelah sampai di muk a rumah Pak Karto, Midun berseru
perlahan-lahan menyuruh membuk akan pintu. Baru sekali saja
ia berseru, pintu sudah terbuka. Meman g Pak Karto tidak tidur,
karena men anti-nanti kedatangan Midun. Setelah naik ke
rumah, barulah nyata kepada Midun wajah Halimah yang sangat
pucat dan k urus itu. Midun tida k ber ani bertany a, karena ia
tahu bahwa Halimah masih di dalam ketakutan.
"Udo Midun!" ujar Hal imah, setelah ku rang t akutnya. "Saya
mengucapkan terim a ka sih atas pertolongan Udo ke pada saya,
anak dagang yang telah dirundung malang in i. Saya berharap,
jika Udo ada belas kasihan ke
pada saya, tolonglah saya
antarkan ke Betawi, kepada bap ak saya di Bogor. Jika di sini
juga, tak dapat tiada hidup saya celaka."
"Janganlah Uni khawatir, saya siap akan menolong Uni bila-

mana perlu," ujar Midun. "Permintaan Uni itu in sya Allah ak an


saya kabulkan. Sungguhpun demik ian, cobalah ceritakan hal
Uni, supay a dapat k ami k etahui. Lagi pula jika Un i cerit akan,
dapat kami memikirkan jalan mana yang harus kami turut untuk
menjaga keselamatan diri Uni. Sebabnya mak a saya ingin tahu,
pekerjaan saya ini s angat sia- sia, ka rena Uni se orang ana k
gadis."
"Sebab hati saya masih di dalam gusar, tak dapat saya menceritakan h al saya ini dengan panjang lebar," uj ar Hal imah.
"Oleh sebab itu Udo dan Bapak ta nyakan sajalah kepada nenek
ini. Nenek dapat menerangkan hal saya, sejak dari bermula
sampai kepada kesudahannya."
Pak Kart o pun bertanyal ah kepada n enek itu tentang hal
gadis itu. Maka nenek itu menerangkan dengan pendek sekadar
yang perlu saja, yaitu h al Hali mah ak an dipe rkosa oleh bap ak
tiri dan orang Tion ghoa yang mula- mula pura-pura hendak
menolong gadis itu.
Setelah sudah nenek itu bercerit
a, Pak Karto berkata,
"Midun, hal itu memang sulit. Jika kurang ingat, kita boleh pula
terbawa-bawa dala m per kara in i. Bah kan boleh ja di dir i kita
celaka k arenanya. Oleh sebab itu
hendaklah k ita bekerja
dengan diam-diam benar, seorang pun jangan orang tahu.
Biarlah sekarang juga nenek ini saya antarkan ke rumahnya."
"Jangan, Bapak," ujar Midun, "kalau nenek bertemu di jalan
dengan orang yang dikenal inya, tentu kurang baik jadinya. Tak
dapat tiada orang akan heran melihat Bapak berjalan bersamasama deng an nenek. Apalagi ru mah B apak diket ahui oran g di
Padang in i. Biarl ah saya saja
mengantarkan nenek ke
rumahnya."
"Benar juga kata Midun it u!" ujar Pak Karto pula. " Pergilah
engkau antarkan nenek sekarang juga. Lekas balik!"
Sesudah H alimah bermaaf-maafan den gan nenek it u, mak a
Midun pergilah mengantarkan nenek itu ke rumahnya. Di tengah
jalan, Midun berkat a kepada nenek it u, bahwa h al itu jan gan
sekali-kali dibukakan kepada seorang juga. Setelah sampai di
muka rumah nenek itu, Midun
memberikan uang f5,kepadanya. Nenek itu pun berjanji , biar ny awanya ak an
melayang, tidaklah ia akan membukakan hal itu.
Tidak lama antarany a, Midun sudah kembali dari men gantarkan nen ek itu. Halimah disuruh mereka itu bersembuny i
dalam bilik Pak Karto. B aik si ang atau pun malam, Halimah

mesti tinggal di dalam bilik saja untuk sementara.


Semalam-malaman Midun dan Pak Karto mufakat
tentang
diri H alimah. Sudah padat ha
tinya hendak mengantark an
Halimah ke Bogor. Karena hari sudah jauh larut malam, mereka
pergi tidur.
Halimah tidur dengan istri Pak Karto. Midun tak dapat tidur,
sebab pik irannya berkacau saja. Ke mudian Mid un berkat a
dalam hat inya, "Jik a saya p ulang, t entu hidup saya makin
berbahaya l agi. Seka rang telah ad a jalan ba gi saya akan
menghindarkan kampung. Bahkan saya pergi ini, akan menolong
seorang anak gad is. Apa boleh buat, biarlah, bes ok saya tulis
surat kepada ayah di kampung."
Pagi-pagi benar Midun sudah
bangun, lalu pergi mandi.
Sudah mandi ia menulis surat ke kampung, ditulisnya dengan
huruf Arab, demikian bunyinya,
Padang, 12 Januari 19..
Ayah bundak u yang mulia, ampunil ah kirany a anakanda!
Sekarang anakanda sudah bebas dari hukuman dengan selamat.
Menurut hemat anak anda, jika an akanda pulang, tak d apat
tiada ak an binasa ju ga oleh mu suh anakanda ya ng bekerj a
dengan d iam-diam itu. Sebab itu agar terh indar d aripada
malapetaka i tu, Ayah bunda izinkan a pakah kir anya anakand a
membawa u ntung nasib anakanda barang ke mana.
Nanti
manakala hati musuh anakanda itu sudah lega dan dendamnya
sudah agak dingin, tentu dengan segera jua anakan da pulang.
Bukankah setinggi-tinggi terbang bangau, surutnya ke kubangan
juga, Ayah!
Ayah bunda yang tercint a! Ny awa di dalam tangan Allah,
tidak tentu besok atau lusa diambil oleh yang punya. Karena itu
anakanda berharap dengan sepen
uh-penuh pengharapan,
sudilah k iranya Ayah bun da me relakan jerih lelah Ayah bunda
kepada an akanda sej ak anakand a dil ahirkan. Baikpun segala
kesalahan anakanda, yang bakal memberati anakanda di akhirat
nanti, Ayah bunda maafkan pula hendaknya.
Sekianlah isi surat in i, dan dengan surat ini pula anakanda
mengucapkan selamat tinggal kepada Ay ah bun da, karen a
anakanda ak an berlaya r ke tanah J awa. Kepad a Bapak Haj i
Abbas dan Bapak Pendek ar Suta n tolong Ayahan da sampaikan
sembah sujud anakanda. Dan wassalam anakanda kepada Maun,
sahabat anak anda yang t ercinta itu. Jangan hendaknya Ayah

bunda perubahkan Maun dengan anakanda, karena dialah y ang


akan menggantikan anakanda selama anakanda jauh dari negeri
tumpah darah anakanda.
Peluk cium anakanda kepada adik-adik!
Sembah sujud anakanda,
MIDUN
Setelah sudah surat itu dibuatnya, l alu ia minta tolon g
kepada H alimah membuatkan ala matnya. Sudah mem asukkan
surat, pergil ah Midun mengantarkan surat yang diberikan sipir
itu untuk
Penghulu Kampung Gant ing. Setelah Penghulu
Kampung itu memb aca s urat si pir, d iceritakannyalah M idun
sebagai anak buahnya di kampung itu. Midun bekerjalah
sebagai tukang cuci Pak Karto.
Pada malam hari, Midu n berkata, katanya, "Pak Karto,
bagaimana akal saya akan mengantarkan Halimah ke negerinya?
Jika ditahan lama-lama di sini, tentu diketahui orang juga."
"Benar k atamu itu, sehari in i su dah saya pikirkan benarbenar hal ini;" ujar Pak K arto. "Midun dan Halimah mesti ada
surat pas. Kalau tidak, tentu ia tidak dapat berlayar ke Jawa."
Mendengar p erkataan Pak Kart o de mikian itu, M idun terperanjat a mat san gat. Dalam p ikirannya tak ada terbayangbayang perkara s urat pas itu. Ma ka ia pun berkata, " Jika tidak
memakai surat pas, tidakkah boleh berlayar, Bapak?"
"Tidak b oleh! Jika be rlayar juga, d itangkap pol isi." Midun
termenung, pikirannya berkacau memikirkan hal itu. Tentu saja
tidak dapat meminta surat pas unt uk Halimah, jika dimintakan
surat pasnya, tak dapat tiada ha lnya diketahui orang. Padahal
ia sengaja menyembunyikan ga dis itu. Darah Midun tidak
senang, takut dan khawatir silih berganti dalam hatinya. Dalam
pada ia termenung-menung itu, Pak Karto berkata pula,
katanya, "Jangan engkau susahkan hal itu, Midun. Sayalah yang
akan ber ikhtiar mencarikan sur at p as untuk e ngkau dan
Halimah. Engkau tidak sebang sa den gannya, mau menentang
bahaya untuk menolong Halimah. Apalagi saya sebangsa dengan
gadis itu. Tentu saja sedapat-da patnya akan saya tolong pula
mengusahakan surat pas itu. Sabarlah engkau dalam tiga empat
hari ini. Barangkali saya dapat mengusahakannya. Banyak orang
yang akan menolong saya di sin i, sebab saya banyak berkenalan. Penghulu Kampung di sini pun berkenalan baik dengan

saya. Sebab itu biarlah saya pi kirkan dahulu, bagaimana j alan


yang baik mencari surat pas. Seboleh-bolehnya nama Hal imah
jangan tersebut-sebut."
"Terima kasih, Bapak!" jawab Midun. "Bagi saya, gelap perkara surat p as itu. Sebab itu saya h arap Bapaklah yang ak an
menolong perkara itu."
Sepekan kemudian daripada itu, pada malam hari Pak Karto
pulang dari berjalan. Sampai di ru mah, ia pun berkata kepad a
Midun, katanya, "Ini surat pa s dua buah sudah dapat saya
ikhtiarkan. Besok pergilah Midun tanyakan ke kantor K.P.M.,
bila kapal berangkat ke Betawi."
Midun dan Halimah sangat berbesar hati mendapat surat pas
itu. Mereka kedua minta terima kasih akan pert
olongan Pak
Karto. Midun lalu bertanya, kata nya, "Bag aimana Bapak dap at
memperoleh surat pas ini?"
"Hal itu tak usah Midun tanyakan, karena kedua surat pas ini
dengan j alan rahasia makanya sa ya peroleh. Asal kamu kedua
terlepas, sudahlah."
Midun tidak berani bertanya lagi. Dalam hatinya ia memint a
syukur kepada Tuhan, karena kedua surat pas
itu dengan
mudah dapat diikhtiarkan oleh Pak Karto.
Keesokan ha rinya Midun pergi men anyakan bil a kapal
berangkat ke Betawi. K etika ia ak an pergi, Halim ah me mberikan sehelai uang kert as f 50,-, lalu berkata, "Bawalah uang
ini, Udo! Siapa tahu barangkali ada kapal yang ak an berangkat
ke Betawi. Jika ada, belilah tiket kapal sekali."
Sambil menerima uang itu, Midun berkata, "Maklumlah Uni,
saya baru lepas dari hukuman. Se bab itu uang ini saya terima
saja." H alimah ter senyum sambil memalingkan mukany a.
Midunpun pergi menanyakan kapal. Setelah ditanyakannya,
kebetulan besoknya ada kapal yang akan berangkat ke Betaw i.
Dengan segera Midun membeIi dua buah tiket kapal, lalu pulang
ke Ganting.
Pada keesokan harinya Midun dan Halimah bermaaf-maafan
dengan Pak Karto lak i ist ri. Setelah it u mereka berangkat ke
Teluk Bayur.
Dengan tiada kurang suatu apa, mereka itu selamat naik
kapal. Tidak lama men anti, kapal pun bertolak meninggalk an
pelabuhan Teluk Bayur. Penumpan g di kapal itu menyangka
Midun dan Halimah dua laki istri. Sebab itu seorang pun tak ada
yang menghiraukannya.

11. Meninggalkan Tanah Air

DI ATAS kapal, berlainan pula keadaan Midun dengan waktu ia


berangkat dari Bukittinggi ke Padan g dahulu. Ia berdiri di
geladak kipal , meman dang air ya ng berbuih di bu ritan kapal.
Sekali-kali Midun
melayangkan pemandangann ya ke bukit
barisan Pulau Sumatra, yang mak in lama makin kecil juga
kelihatannya. Perasaannya jauh, jauh entah di mana ketika itu.
Amat sedih hati Midun meninggalkan kampung halamannya yang
sangat dicintainya itu. Ta mpak terbayang dalam pikirannya ibu
bapak, adik, dan kawan-kawannya semua di kampung. Tampaktampak oleh M idun, bagai mana kesedihan ibu dan adiknya,
setelah menerima suratnya itu. Rasa- rasa terden gar olehny a,
tangis ibuny a menerima k abar itu. Bertambah han cur lagi hati
Midun, mengenangkan n asibnya y ang celaka itu. Pada pikirannya, nasibnya sangat buruk, berlainan dengan nasib kebanyakan
manusia in i. Dengan t idak di ketahuinya air mata-nya jatuh
berderai, karena makin dipikirkannya, semakin remuk hatinya.
Dalam Midun termenung-menung itu, Halimah datang menghampiri, katanya, "Menyesalkah Udo menolong saya yang celaka
ini, Udo? Apakah y ang Udo renun gkan? Sedihkah hati Udo
meninggalkan kampung, bercerai dengan ibu bapak, adik, dan
kaum keluarga Udo? Ah, kasih an, karena Halimah, Udo jadi
bersedih hati rupanya."
"Tidak, Uni," ujar Midun sambil berpaling akan menghilangkan dukanya. "Sungguhpun tidak
karena Uni, me mang saya
tidak ak an pulang juga ke kampun g. Saya sudah berjanj i
dengan diri saya, jikalau saya lepas dari hukuman, akan tinggal
mencari penghidupan di Padang. Kalau tak dapat di Padang, di
mana pun jua, asal dapat mencari rezeki untuk sesuap pagi dan
sesuap petang.
Sekarang ada jalan
ke pada saya untuk
meninggalkan
kampung yang lebih baik lagi
. Apa pula yang akan saya
sesalkan. Jika saya akan bersedih hati ataupun menyesal, tentu
saja Un i tidak saya antarkan. Bukankah sudah saya katakan,
bahwa saya siap akan menolong Uni bilamana perlu. Jangankan
ke tanah Jawa, ke laut api sekalipun saya turut, jika menurut
rasa Uni perlu saya ke san a. Han ya say a termenung itu
memikirkan nasib saya ju a. O ya, hampir say a lupa, Uni! Uang

Uni masih ada lebihnya f 25,-. Ambill ah uang in i nanti boleh


jadi saya lupa mengembalikan."
"Saya harap Udo jangan lah me manggil uni juga kepada
saya," uj ar Halimah den gan senyumnya. "Jik a kedengaran
kepada oran g lain, tentu janggal, dan boleh menimbulkan
pikiran yang salah. Se bab itu panggilk an sa jalah 'adik'. Sudilah
Udo beradikk an say a? Ten tang uang itu, biarlah pada Udo. Ini
ada l agi, simpanlah ole h Udo
semua. Kalau
saya y ang
menyimpan, boleh jadi hilang, apalagi kita di dalam kapal."
Perkataan H alimah itu terbenar pul a dalam pik iran Midun,
karena boleh jadi jika dide ngar orang menimbulkan
salah
tampa. Demikian pul a ny ata kepada Midun, bahw a Hal imah
percaya sun gguh kepadanya. Maka ia pun berkata dengan
hormat sambil bergurau, katany a, "T idakkah hin a na ma Un i
berkakakkan saya? Per cayakah Halimah mempertaruhkan uang
kepada orang hukuman. Bagi saya t idak ada h alangan, sek ali
dikatakan, seribu kali menerima syukur."
"Sejak saya k enal kepada Udo, Udo selalu merendahkan diri
dan amat pandai menjentik ja ntung say a," ujar Halimah.
"Biarlah yang sudah itu, t etapi sekarang saya t idak suka lag i
mendengar p erkataan yan g de mikian. Jangankan senang hati
saya mendengarnya, malahan makin mengiris jantung saya. Hal
itu menunjukkan, bahw a saya masih Udo sangk a seperti orang
lain. Masakan saya t idak percay a ke pada Ud o, sedang b adan
dan nyawa saya sudah saya serahkan, konon pula uang."
Mendengar perkataan "nyawa dan badan" itu, hati anak
muda yang alim dan saleh itu berdebar jua. Kaku lidah Midun
akan berk ata, karena h arap-harap cemas. Untung ia lekas
dapat menahan hati, lalu berkata, "J ika dem ikian perm intaan
Adik, ba iklah. Sekarang s ebagai se oran kakak deng an adiknya,
si kakak itu harus mengetahui hal adiknya. Perkataan ibu Adik
dahulu yang mengatakan 'cukup
lah saya makan hati dan
menahan sedih' sel alu menjadi kenan g-kenangan k epada saya
sampai kin i. Dan perkataan Adik 'dirundung
malang' itu
menyebabkan saya amat heran dan tidak mengerti sedikit juga.
Sebabnya ial ah karena saya liha t hidu p Adik t inggal di gedung
besar dan beruang banyak. Cobalah Adik ceritakan kepada saya
sejak bermula sampai kita di kapal ini."
"Baik, dengarkanlah, Udo, " ujar Hal imah, lalu memandang
kepada Midu n dengan tajam. "Saya
bercerita ial ah menurut
keterangan ibu dan man a yang saya ketahui. Adapun negeri

saya di Bogor, jauhnya


dari Betawi hampir sebagai P adang
dengan Padang Panjang. Bapak saya orang Bogor juga, bernama
Raden Soemintadireja. Beliau bekerj a pada seb uah kantor
Gubernemen di sana. K ini ent ah masih di situ juga ayah
bekerja, entah tidak, tidaklah sa ya tahu. Sejak beliau bercerai
dengan ibu, belum pe rnah kami d apat surat dari ayah.
Meninggal dunia tidak mungkin, seb ab tentu ada kabar dar i
keluarga saya. Samp ai ki ni say a ma sih ingat ba gaimana ka sih
sayang ayah kepada saya semasa kecil. Beliau sangat memanjakan saya, tidak ubah sebagai men atang minyak penuh. Baik
pulang at au pergi ke kan tor, tid ak lu pa ay ah men cium s ambil
memangku saya. Makan selama nya berdua. Apabila
saya
menangis, ayah tiba dahulu. Permintaan saya, satu pun tak ada
yang tidak beliau kabulkan. Ji ka tidur selalu dininabobokkan;
nyamuk seekor beliau
buru. Kerap kali ka mi bermain di
pekarangan, bergurau d an berkejar-kej aran ak an m enyukakan
hati. Pada petang ha ri kam i berja lan-jalan di kota Bogor.
Pulangnya saya sudah mendukung makanan. Permainan, missalnya popi-popi, tidak lupa beliau bel ikan untuk saya. Karena
masa itu ana k beliau b aru saya seorang, adalah k eadaan s aya
jerat s emata, obat jerih pelera i de mam kep ada ayah. H ari
Minggu ayah libur bekerja. Maka kami pergikadang-kadang ibu
serta pulaberjalan- jalan ke Kebun Raya, akan
menyenangnyenangkan hati.
Adapun Kebun Raja itu, ialah kepu
nyaan T.B. Gubernur
Jenderal yang memerint ah negeri ini. Sungguh amat bagus
taman itu. S egala poh on-pohonan ada di sana. Bu nga-bungaan
tidak pula k urang amat cant ik d an harum b aunya. Segala
macam warn a bunga ad a belaka di taman itu. Jal annya turun
naik bersimpang siu r amat bers ih. Pada tepi jalan itu ditaruh
beberapa bangku tempat untuk oran g berhenti melepaskan
lelah. Dekat istana ada pula sebuah telaga yang dihiasi dengan
berbagai-bagai bunga ai r. Amat in dah-indah r upanya. Di
tengah-tengah taman itu ada air mancur, memancar tinggi ke
atas dengan perm ainya. Pada keliling air man cur itu diperbuat
jalan dan ditaruh bebe rapa bangku tempat dudu k. Ah, tak
ubahnya seperti di surga dunia kita rasanya dud uk di sana,.
Udo! Mudah-mudah an sel amat saj a pelayaran k ita, tentu Udo
dapat juga melihat taman yang indah itu."
Halimah berhenti bercak ap, karena pikirannya melayan g
kepada penghidupannya semasa anak-anak.

Ia terkenang akan tempat kelahirannya yang sudah sepuluh


tahun ditinggalkannya itu. Midun sebagai orang bermimpi mendengar berit a Halimah. Matanya tidak berasak dari bibir yang
merah jambu itu. Apalagi melihat pipi Halimah yang sebentarsebentar memperl ihatkan lesung pipit karen
a senyumnya,
jantung Midun bunyi orang memuku
l di dadany a. Imannya
berkocak, karena pemandangan Halimah yang lunak lembut itu.
Melihat kulit yang kuning langsat itu, Midun hampir didaya iblis.
Ia terkenang akan sebuah pantun:
Kayu rukam j angan diket am,
kemuning t ua dikerat -kerat .
Jika hit am, banyak yang hit am,
yang kuning j ua membawa larat .

"Sungguh saya jadi larat," Midun berkata dalam hatinya "Jika


tidak karen a anak gadi s i ni, tidaklah s aya menyebe rang laut."
"Aduhai"
Untung lekas ia menah an hati, ketika h endak mengeluarkan
perkataan, "Ah, alangkah senangnya jika kita berdua saja duduk
pada bangku di dalam taman itu, Adikku!"
Midun seger a insaf akan d iri dan mengetahui s iapa dia dan
siapa pula Halimah. Api asmara yang sedang
berkobar di
hatinya itu seperti disiram deng an air layaknya. Hati Midun
kembali bagai semula.
"Lain d aripada itu, kami pergi pula
ke museu m* (Museum
Zool ogi di Bogor) , yaitu sebu ah gedung tempat menyimpan segala
macam bin atang dan burung," ujar Halimah
meneruskan
ceritanya. "Burung apa saja da n macam-macam binatang, baik
pun yang melata ada di sana. Se galanya itu sudah mati, tetapi
kalau dilibat selintas lalu, seba gai hidup jua. Amat indah-indah
dan bagus n ian rupanya, Udo! O, sudah jauh kita t erpisah dari
ujud yang akan adinda ceritak an. Maaf, Udo, saya bermimpi
gila mabuk kenang-kenangan."
"Kenang-kenangan yang akan sa mpai, mi mpi yan g boleh
terjadi," ujar Midun tiba-tiba.
"Susahnya yang sebagai
si
pungguk merindukan bulan. Badan loyang disangka emas."
Midun menyesal, karena perkataan i tu tidak sen gaja terhambur saja dari mulutnya.
Rasakan hen dak dij ahitnya bibirnya, k arena terdorong itu.
"Di manakah Midun yang saleh itu? Apakah arti perk ataan yang
demikian? S enonoh dan layakka h itu? Tidakkah melanggar

kesopanan hidup per gaulan? Pa ntaskah seoran g yang telah


mengaku kak ak kepa danya mendengar perkat aan macam itu?"
Berbagai-bagai perta nyaan ti mbul dal am pikiran Midun. Malu
benar ia akan dirinya, apalagi jika Halimah salah tampa dan ...
pula.
"Apa b oleh buat," kata Mid un sendirinya. "Kata telanjur
emas padahannya!"
Muka Halimah merah padam mendengar perkat aan Midun
yang amat dalam pengertianny a itu. Ia memalin gkan muk a
kemalu-maluan. Dalam h ati Hali mah, "Rupanya bertepuk tidak
mau sebelah tangan."
Maka ia pun berkata, "Ah, terlampau tinggi ben ar pikiran
Udo itu. Tiap-tiap sesuatu dengan p adannya. Bia r bag aimana
pipit it il akan tinggal pip it ju a. Mudah-mudahan y ang dicita
datang, yang dimaksud sampai."
Siiir, j antung M idun bek erja lebih keras l agi m emompa
darah ke seluruh batang tubuhnya mendengar j awab Halimah
itu. Hatinya mundur maju ti
dak ten tu lagi. Muka Halimah
ditatapnya, tetapi ini tidak da pat be rkata-kata. P ikiran Midun
berkacau, suka dan girang silih berganti.
Dalam pada itu Halimah berk
ata pula, katanya,
"Demikianlah kasih sayang ayah ke pada saya. Hal itu tidak pula
dapat disesalkan, karena anak
beliau baru saja seoran
g.
Rupanya say a bagi ay ah, buah hati pengaran
g jantung,
timbangan n yawa, semangat badan. Sangat benar beliau
memanjakan saya. M anakala say a dema m sed ikit saja sud ah
cemas, tidak tentu lagi y ang akan beliau kerjakan. Saya selalu
dalam pangk uan beliau, dinyan yikan hilir mu dik sepanjang
rumah. Kepada ibu, ay ah sangat pula sayang dan cinta. Tidak
pernah s aya mendengar b eliau berten gkar, ap alagi berkelahi.
Mereka itu k eduanya selalu hidup d amai. Tidak pernah be rselisih, melainkan sepakat dala m segal a hal. Karena itu kami
selalu hidup dalam suka dan rian g. Satu pun tak ada yang
mengganggu, senang sungguh masa itu.
Hidup ini sebagai roda, Udo! Sekali n aik, sekali turun, tiaptiap ke senangan m esti ad a kesu sahan. Ayah saya itu di Bog or
masuk orang bangsawan, sebab it u bergelar Raden. Oran g yang
dipanggilkan Raden di tan ah Ja wa, biasanya orang bangsawan.
Ayah terpak sa kawin se orang lagi. Beliau terpak sa meneri ma,
karena perempuan itu anak bapa k k ecil ayah se ndiri. Ti dak
dapat ayah mengat akan ' tidak mau', karena yang mem belanjai

beliau sejak kecil dan yang me nyerahkan sek olah bapak kecil
ayah itulah. Beliau dibesarkan di rumah istri bapak kecil beliau,
karena sejak kecil ayah sudah y atim pi atu. Seba b itu ayah
terpaksa me sti mener ima. Ibu ada mengat akan, bahwa ada
ayah mem inta pertimbangan ibu saya , bagaimana yang akan
baiknya. Ibu pun tid ak d apat b erkata apa- apa, te rpaksa pul a
mengizinkan ayah beristri seorang lagi. Kepada ibu hal itu tidak
menjadi alan gan, a sal ke senangan bel iau tidak te rganggu, dan
keadaan rumah tangga tetap sebagaimana biasa.
Maka ayah pun beristri su dah. Sungguhpun ayah sudah beristri, tetapi keadaan kami ti dak berubah. Hanya waktu siang
ayah hilang sebentar-sebentar, tetapi malam beliau tetap juga
di rumah ibu. Kupanya ayah tidak sanggup bercerai dengan saya
malam hari, karena say a acap kali sedan g tidur meman ggil
'papa'. Dengan tidak d isangka-sangka, tiga bul an sesudah itu,
keadaan di r umah be rubah. Masa itu saya sudah b ersekolah.
Pada suatu h ari, ket ika saya pula ng dari sek olah, saya dapati
ibu sedang menangis. Menurut keterangan ibu, sebabnya karena
ayah marah- marah dengan tidak keruan. Ayah pulang sudah
mulai berganti har i. Tiap- tiap be liau pulang, selalu bermuram
durja. Saya sudah kurang beliau pedulikan. Sebab sedikit saja,
beliau sudah marah- marah. Hi dup kami tid ak be rketentuan
lagi, ibu tak pernah be rmata ker ing. K esudahannya ayah t idak
pulangpulang lagi, dan belanja sudah berkuran g-kurang. Jika
beliau pul ang sek ali-sekali, jangankan menegur saya, malahan
muka masam yang s aya t erima. Ka rena takut, say a tidak pula
berani mendekati beliau. Ibu terpaksa mencari untuk mencukupkan bel anja hari-h ari. Saya pun berhenti sek olah, pergi
menurutkan ibu bek al in i dan itu unt uk dimakan. Jik a t idak
begitu tentu kami mati kelaparan, sebab kami orang miskin.
Belanja dari ayah tidak d apat di harap lagi. Sekali sebulan pun
beliau ja rang mene mui kami. Entah apa sebabnya ayah ja di
demikian, ibu sendiri sangat heran, karena tidak
ada sebab
karenanya. Keadaan kami suda h k ocar-kacir, dan terp aksa
pindah ke pondok-pondok, menyewa rumah yang berharga f
1,50,-. Ak an lari ke rumah fa mili, t idak ada y ang kandung.
Meskipun ad a fa mili j auh, mereka itu pun misk in pula. Tida k
lama kemudian, ibu dice raikan ayah. Ibu dan saya hidup jatuh
melarat. Ibu hampir tidak dapa t menanggungkan kesengsaraan
itu. Beruan g sesen pun tidak, mak an pagi, tidak petang. Malu
sangat pula, tidak terlih at lagi muka orang d i B ogor. Kar ena

tidak tertahan, ibu memb ulatkan pikiran, lalu menjual baran gbarang yang ada. Maka kami pun melarik.m diri ke Betawi.
Umur saya masa itu sudah 8 tahun. Bagaimana penghidupan
kami mula datang di Betawi, Allah yang akan tahu. Maklumlah,
Udo, walaupun dekat, kami belu m pernah s ekali ju a k e n egeri
itu."
Halimah terhenti berkata,
karena air matan ya jatuh
berlinang ke pipiny a. Pikir annya melayang kep ada pen ghidupannya masa dahulu. Ia terkenangkan ibunya yang san gat
dikasihinya, t inggal seoran g diri di negeri orang, jauh terpisah
dari t anah air, kau m f amili se mua. Tampak terb ayang oleh
Halimah, ketika ibunya akin me ninggal dunia memberi nasihat
dengan suara putus-putus. Maka ia pun menangis tersedu-sedu,
karena amat sedih mengenangkan nasibnya yang malang itu.
Melihat hal itu, Midun amat bela s kasihan. Ia bersedih hati
pula menden gar cerita itu. Sambil membujuk Halimah, Midun
berkata, "T idak ada gunanya dise dihkan lagi, H alimah! Hal itu
sudah terjadi dan sudah lalu, tidak usah dipikirkan jua. Memang
demikianlah kehendak Tuhan da n kemauan alam. Tidak boleh
kita menye sali, karena sudah nasib sejak di rahim bunda
kandung. Kata Adik tadi, 'hid
up in i sebagai roda'. Mudahmudahan hingga ini ke atas, senang sentosalah hidup Adik."
Halimah menghapus air mata
nya dengan
saputangan.
Kemudian ia pun berkata pula meneru skan cer itanya, "Sampa i
di Betaw i, uang ibu tinggal f1 ,- lagi. Tiga ha ri ibu mencari
pekerjaan ke sana ke mari, tidak juga dapat. Hanya uang yan g
serupiah itul ah yang kami sed ang-sedangkan. Supaya jangan
lekas habis, kami tidak makan nasi, melainkan ubi, singk ong,
kata orang Betawi. Dalam tiga hari itu kami menumpang di
pondok-pondok orang. K ami t idur di t anah, di at as tikar yang
sudah buruk. Karena pagi-pagi ibu mencuci baju anak orang
pondok itu, ada juga saya dibe rinya nasi dengan garam. Pada
hari yang keempat ibu pergi pula mencari pekerjaan.
Saya selalu beliau ba wa, setapak pun tidak beliau ceraikan.
Hari itu ka mi tidak beruan g sesen jua. Sampai tengah hari, ibu
tidak juga dapat peker jaan. Hamp ir semu a rumah or ang
Belanda kami jalani, tetapi tidak ada yang mencari babu, koki,
dan lain-lain . Panas amat teri k, hau s dan l apar tak dap at
ditahankan. Ibu membaw a saya kepada sebuah sumur bor
,
diambilnya air dengan t angan, lalu diminumkannya kepada
saya. Kemu dian kami be rhenti di tepi jalan, berlindung di

bawah sepohon kayu yang rind ang akan m elepaskan lelah.


Sambil m emandang s aya, ibu menangis a mat se dih. M uka ibu
saya l ihat s angat pu cat, agak nya menahan lapar. Saya pun
begitu pula, sebab pagi itu satu pun t ak ada yang masuk perut.
Karena lelah dan letih, saya p un tertidur di baw ah pohon kay u
itu. Entah berapa l amanya say a tertidur, tidaklah saya t ahu.
Ketika saya terbangun, saya lihat ibu sedan g menangis. Ibu
mengajak be rjalan pula a kan men cari pekerjaan. Tetapi s aya
hampir tak dapat berjal an, karena sangat l apar. Sungguhpun
demikian kami berjalan jua dengan perlahan-lahan.
Tiba-tiba saya melihat sebuah ua ng tali di tepi jalan, ibu
rupanya mel ihat uang itu pula. Dengan segera ibu mengambil
uang itu. Girang benar
hati ka mi mendapat uan g tali yang
sebuah itu. Lima sen dibe likan kepada ubi. Untuk saya beliau
beli nasi den gan sayur lima sen pula. Lebihnya disimpari untuk
malam.. Sudah makan badan kami agak segar, lalu meneruskan
perjalanan mencari kerja. Tidak jauh kami berjala n, bertemu
dengan seorang babu sedang mendu kung anak. Ibu bertanya
kalau-kalau ada tuan-tuan yang mencari babu, k oki, dan lainlain. Untung benar jawa b babu itu mengatakan ada seorang
tuan mencar i babu k amar. Maka k ami d ibawanya kepad a
sebuah gedung, yang tidak bera pa jauhnya dari situ, ibu pun
bekerjalah di sana, di rumah orang Belanda.
Adapun tuan tempat ibu bekerja it
u, beranak seorang
perempuan yang telah berumur 4 tahun. Ibu menjadi babu
kamar, s aya menjadi b abu noni anakn ya. Gaj i i bu f 1 5,- d an
saya f 5,-. Kami bekerja dapat makan dan tinggal dt sana. Tiaptiap bulan ibu selalu men yimpan separuh dari gaji kami, takut
kalau-kalau ditimpa kesu sahan p ula sekali lagi. Setelah enam
bulan kami bekerja, maka tuan itu pun pindah kerja ke Padang.
Di Padang ia menjadi ke pala pad a sebuah kantor Maskap ai.
Tuan dan
nyonya mengajak kami ikut bersama-sama.
Dijanjikannya, jika ibu m au perg i, ak an dita mbah gaji, begitu
pula say a. Kendatipun gaji t idak bertambah, ibu meman g
hendak ikut juga. Maka demik ian, karena ibu tidak suka lagi
tinggal di tanah Jawa. Waktu akan berangk at, ibu berkiri m
surat ke Bogor, memberitahukan bahwa kami akan berlayar ke
Padang. Alamat kalau hendak berkirim surat pun kami sebutkan
di dalam surat itu. Maka kami pun berlayarlah.
Di Pad ang, kam i beke rja se bagaimana bi asa. Dengan
permintaan ibu kepad a t uan, seb ab saya masih berumur 8

tahun lebih, maka saya diizinkan meneruskan sek olah. Lima


tahun kemudian saya tamat seko lah. Selama itu penghidupan
kami senang saja, tidak kurang suatu apa. Uang simpanan kami
sudah ada f 500,-. Uan
g itu ka mi simpan di Padangsche
Spaarbank. Setelah setah un saya berhenti sekolah, tuan dapat
perlop. Ia dengan anak-anaknya akan pulang ke negeri Belanda.
Karena mereka itu akan singga h ke Betawi dulu, maka ibu
diajaknya pu lang. Kat a t uan, di m ana ka mu saya a mbil, saya
antarkan pula pulang kembal i ke situ . Tetapi ibu tidak mau ke
Betawi lagi, beliau hendak ti nggal di Padang saja menunggu
tuan balik. Maka kami dua be ranak t inggallah di Padang. Ibu
pindah kerja ke gedung lain, te tapi tidak tingga l di sana. Kami
pun menyewa sebuah rumah yang berharga f 5,- sebulan.
Waktu itu saya sudah gadis ta nggung. Ibu berniat hendak
membeli rumah yang kami sewa itu. Pada suatu hari, ibu pergi
kepada y ang punya rumah, akan menanyakan kal au-kalau ia
mau menjual rumahnya. Kebetulan orang yang pu nya rumah
hendak men jual rumahn ya karena ia hendak bermenantu.
Besok pa gi i a pun datan g dengan su aminya akan memutuskan
penjualan rumah itu. Selesai
surat-menyurat ibu berjanji
bahwa uan g beli rumah itu beso knya akan dib erikan di muka
saksi. Setelah itu kami pergi ke k antor bank men gambil uan g
sebanyak beli rumah, yaitu f 300,-.
Malam itu terjadi su atu hal yang ngeri, Udo! Sungguh ngeri,
sehingga hampir jiwa saya melayang karenanya. Tengah malam
sedang kami tidur nyenyak, saya terk ejut karena bunyi derak
pintu yang ditolakkan orang. Se konyong-konyong saya, melihat
seorang besar tinggi berbaju hi tam. Saya diancamnya kalau
memekik ak an dibunuhn ya. Oran g it u melompat ke jendela
melarikan diri. Ibu terban gun pula, lalu meraba uang di baw ah
bantal. Apa yang akan di cari, ua ng sudah hilang dicuri maling.
Ketika itu ibu dan saya memekik meminta tolong. Tetapi sudah
terlambat, karena maling sudah jauh melenyapkan diri.
Rumah itu tidak
jadi dibeli, ke adaan kami t idak berketentuan lagi. Roda penghidupan kami sudah mulai turun pula.
Tiga har i sesudah ke malingan, ibu j atuh sa kit. Makin sehari
penyakit beli au makin heba t. Bermac am-macam obat ya ng
dimakannya, jangankan sembuh melainkan makin jadi. Uang
yang masih tinggal di bank, sudah berangsur habis pembeli obat
dan untuk belanja. Ak an bekerja saja tidak dapat, karena t ak
ada y ang akan membel a ibu di ru mah. Tiga bulan ibu tidak

turun tanah, baru mulai sembuh. Tet api badan beliau lemah
saja. Uang h ampir habis, hanya tinggal beberap a rupiah saja
lagi.
Di sebel ah rumah kami ada t inggal seorang Belanda peranakan. Ia hidup membujang dan bek erja pad a se buah kantor
di Padang. K etika ibu sakit, ke rap kal i dia d atang ke rumah.
Amat baik dan penyantun benar ia k epada kami. Banyak kal i
ibu diberinya uang, dibelikanny a ob at dan kadan g-kadang d isuruhnya ant arkan makanan oleh babunya. Adak alanya ibuku
ditanyanya, apa yan g e nak di makan ibu. Ti ap-tiap pul ang
bekerja, acap kali ibu
dibawakannya makanan dari t oko.
Bahkan ia serta pula menyelen ggarakan ibu dalam sak it itu.
Sungguh amat baik benar budi bahasa orang Belanda itu. Tak
dapat dik atakan bagaimana besarn ya terima kasih kepadanya,
karena uan g kami telah habis dan pertolon gannya datang.
Setelah ibu segar dan seh at benar, din yatakannya maksudnya,
bahwa ia hendak memelihara ibu. B ermacam-macam bujuka nnya agar ibu suka meluluskan permintaannya yang sungguhsungguh itu. Pandai benar ia berkata-kata manis bagai tengguli.
Barang siapa yang mendengar perkataannya, tak dapat tiada
akan lembut hatinya. Bu kankah perkataan yang lemah lembut
itu anak kunci hati segala manusia. Apalagi ibu terk enang pula
akan pantun yang demikian bunyinya.
Pisang emas bawa berlayar
masak sebiji di atas peti.
Utang emas boleh dibayar
Utang budi dibawa mati.
Pulau Pandan jauh di tengah,
di balik Pulau Angsa Dua.
Hancur badan dikandung tanah
budi baik terkenang jua."
Midun kena sindir, tepat benar kenanya. Perjalanan darahnya, sekonyong-konyon g beruba h. Hatinya kemb ang kemp is,
darah Midun berdebar, tetapi ia tidak dapat berkata-kata.
"Mengingat k eadaan ka mi ma sa itu dan mengin gat budinya
selama ibu sakit, terp aksa ibu mengabulkan permintaannya
itu," ujar H alimah s ambil tersenyu m, karena ia m elihat pe rubahan muk a Midun tiba-tiba itu.
"Maka orang Belanda

peranakan it upun menjadi bapak


tiri sayal ah. Kami hidup
senang, tak ada yang akan disusahkan lagi. Bahkan pula tempat
tinggal k ami seba gai su dah Ud o l ihat gedung besar. Kepada
ibu san gat s ayang bap ak tiri s aya it u, kepada s aya apal agi,
lebih dari patut. Kira-kira seta hun sesudah itu datang pula perubahan. Say a dengar ibu sudah acap kali berkelahi dengan
bapak tiri saya itu. Ia sela
lu marah -marah saj a di rumah.
Aduhai, gan as ben ar k iranya dia, main sepak te rjang saja.
Beberapa k ali saya tanyak an kepad a ib u, apa sebab bapak t iri
marah-marah itu, ibu t idak mengatakan. Hanya beliau berkat a,
'Jagalah dirimu, Halimah!' Tetapi saya amat heran, sungguhpun
kepada ibu ia selalu marah, kepada saya makin sayang dia. Apa
saja yang saya minta, selalu di kabulkannya. Dengan hal yang
demikian, kesudahannya ibu jatuh sakit.
Tak ubahnya seba gai or ang mer ana, makin seh ari mak in
sengsara hadan beliau. Udo pun
bukankah su dah mempersaksikan hal itu len gan mat a sendiri? Obat apa yang t idak
beliau m akan, tetapi se muanya s ia-sia s aja. Ajal ibu hampi r
datang, sakit beliau sudah ayah benar.
Ketika ibu akan meninggal, bapak tiri saya sedang di kantor.
Beliau melarang keras, jangan ada orang pergi memberitahukan
hal itu. Saya selalu duduk dekat ibu. Beliau pun berkata dengan
suara putus- putus, kata nya, 'Anakku, Halimah! Ketahuilah
olehmu, b ahwa penyak it say a ini ta kkan dap at diobati lag i.
Penyakit saya ini bukanlah sakit badan, melainkan penyakit hati
yang sudah 10 tahun saya tangg ungkan. Hancur lulu h hati saya
mengenangkan perceraianku dengan ayahmu. Dengan jalan meninggalkan negeri itu, saya sangka kesedihan h ati saya itu akan
berobat dan dapat dihil ang-kan. Kir anya tidaklah demikian,
bahkan bert ambah pula dengan makan hati berulam jantung.
Bermacam-macam pena nggungan yang telah kita rasai, disebabkan untuk nasib k ita yang celak a jua. Tidak di dalam h al
penghidupan saja, godaan pun tidak sedik it pula. Tetapi
sekaliannya itu saya terima den gan sabar dan t ulus ikhlas.
Sekarang tak dapat lagi saya menanggungkan, dan boleh jadi
saya tewas olehnya.
Baru sekian ibu berkat a, napa s be liau turun n aik a mat
cepatnya. Sakit ibu bert ambah p ayah. Matanya terkatup, kaki
beliau a mat dingin. Saya amat cemas melihat waj ahnya yang
sangat pu cat itu. Tidak lama beliau membukakan mat a pul a.
Sambil mena rik nap as p anjang, ibu m eneruskan pe rkataannya,

'Jika tid ak mengingat b udi or ang d an me mikirkan engkau,


tidaklah sa ya ma u sebagai pe rempuan dukana ini. Bukank ah
saya sudah melakukan perbuatan yang di luar agama. Apa boleh
buat, Halimah! Sesal dahu lu pendapatan, sesal kemudian t idak
berguna. Tetapi yang lebih menyakitkan hati saya, kita tertipu.
Mulut bapak tirimu yang manis dan perbuatannya yang baik itu,
rupanya beru dang d i bal ik batu. Dia b ukanlah men cintai saya,
melainkan H alimahlah y ang dima ksudnya. Hatin ya tertar ik
kepadamu, k arena itu dicarinya jalan dengan mengambil saya
jadi ny ainya. Dengan j alan itu, pada pikirannya, bu rung sudah
di tangan, tidakkan ke
mana te rbang lagi. Say a disiksanya
setiap hari, tetapi engkau selalu disayanginya.
Aduhai, cuku plah saya seorang yang telah mencemark an
diri, tetapi kamu saya harap ja ngan pula begitu hendaknya.
Ambillah keadaan saya ini akan jad i cermin perbandingan, dan
sekaii-kali ja ngan da pat engkau d iperbuatnya se suka-sukanya.
Halimah telah remaja, sudah dapat menimbang buruk dan baik.
Engkau suda h besar, seb ab itu jagalah dirimu, jangan sampai
seperti s aya yang kep arat ini. Biarpun di nege ri oran g, s aya
tidaklah kha watir men inggalkan eng kau. Bukank ah engkau
sudah banyak berkenalan di si ni, poh onkanlah pertolongannya
dan per gilah kepada ay ahmu. Midu n, orang hu kuman itu,
menurut hemat saya ia amat ba ik. Lagi pula men urut katanya
kepadamu tempo hari, tidak lama lagi hukumannya akan habis.
Ia bebas.
Mintalah pe rtolongannya. Tentu ia akan suka
menolongmu setiap wakt u. Sa mpaikanlah salam saya kepada
ayahmu, kat akan bahw a saya meminta maaf l ahir dan batin,
demikian pul a kalau ada kesalahannya saya maafkan. Selamat
tinggal, Halimah, jaga diri baik-baik...!'
Ibu meninggal dunia, saya menangis amat sangat, tidak tahu
lagi akan diri. Entah ber apa l amanya saya pin gsan, tidaklah
saya tahu. Setelah saya sadarkan dir i, orang sudah banyak.
Bapak tir i saya itu sudah datang dari kantor. Melihat kepada
roman muk anya tidak se dikit juga ia berdukac ita. Amat sakit
hati saya, ketika ia mendekati saya akan membujuk saya. Hari
itu juga ib u dikuburkan deng an s elamat. Say a perg i ke
pekuburan mengantarkan beliau. P etang hari pulang dari
pekuburan, saya teru s ke kama r, l alu say a kunci pintu dari
dalam. Maka saya pun menangis men genangkan b adan. Saya
tinggal seorang diri, jauh dari kaum keluarga saya dan tanah air
saya. Dengan tidak makan dan minum saya pun tertidur sampai

pada k eesokan har inya. Or ang pun tak a da y ang be rani


mengusik saya, tahu ia agaknya bahwa say a dal am be rsedih
hati amat sangat."
Halimah berhenti berkata karena menahan air matanya yang
hendak jatu h, mengenan gkan waktu ibunya meninggal dun ia
itu.
Setelah itu ia pun berkat a pula, katanya, "Pada keesok an
harinya, bapak tiri saya tidak be kerja. Sehari itu ia membujuk
saya, supaya jangan memikirkan ibuku yang telah meninggal.
'Ibu sudah te rseberang,' k atanya. 'Dirimulah lagi y ang akan
dipikirkan, Sayang! Apa gunanya dikenangkan juga, akan hidup
dia ke mbali tidak boleh jadi. Senangkanlah hatimu, mudahmudahan kita hidup berd ua dalam bahagia. Mari kita berjalanjalan merintang-rintang hari rusuh.'
Mendengar perkataan itu, jangankan hati senang, melainkan
sebagai terc ocok dur i j antung s aya. Hamp ir saja keluar
perkataan, 'Kalau tidak karena engkau, ibuku tidak akan mati.'
Untung lekas saya menahan hati. Saya berdiam diri saja seperti
patung, men dengar kat a-katanya itu. Sebab ibu baru saj a
meninggal, maka say a tu rut saja kemauan bapak t iri saya itu.
Hari itu saya dibawanya pesiar di seluruh kota Padang. Sesudah
pesiar, per gi berbiduk-b iduk ke Muar a. Penat pul a berb iduk,
pergi ke Gun ung Padang berjalan-jalan. Sehari-harian itu kami
tidak pulan g. Bapak ti ri saya itu amat suka dan riang benar
kelihatannya. Ia biasa saja, jangank an berdukacita, melaink an
makin banyak gurau sendanya. Saya sudah maklum apa
maksudnya maka i a ber buat de mikian itu. Tetapi karena ibu
saya baru meninggal, t entu belum berani
ia menyatakan
niatnya itu. Setelah hari malam, kami pulang
kembali ke
rumah. Heran, jongos dan koki yang biasa a da di rumah, kam i
dapati ti dak ada. Hanya yang ada n enek se orang di ru mah.
Waktu saya masuk kamar, bapak tiri saya masuk pula, katanya
ada barang y ang hendak diambilny a di kamar saya itu. Dengan
cepat ia mengunci pintu, lalu berkat a, 'Halimah! Sudah 4 t ahun
saya men ahan hati, sek aranglah baru dapat saya lepaskan.
Sesungguhnya saya tidak mencint ai ibumu, melainkan engkau
sendirilah, Adikku! M aka ibu mu saya pelihara, h anya karen a
saya t akut Halimah ak an diam bil orang lain. Sejak engkau
bersekolah, sudah timbul keinginan saya hendak hidup berdua
dengan engk au. Sekarang ibumu sudah meninggal, saya harap
engkau kabulkan permintaan saya. Sukakah Halimah bersuami-

kan say a? B aik secara I slam at au cara K risten saya turut.


Bahkan jika Halimah keh endaki saya masuk or ang I slam, pun
saya suka.'
Baru sehari ibu saya meninggal, belum kering air mata saya,
sudah demikian katanya. Amat sakit hati saya mendengar perkataannya it u. Dengan marah a mat s angat, saya memaki-maki
dia den gan perkataan ya ng keji-keji. Segala perk ataan yan g
tidak senonoh, saya kelu arkan. Ma cam-macam pe rkataan s aya
mengata-ngatai di a. Mukanya merah, urat kenin gnya membengkak mendengar perkataan saya yang pedas itu. Dengan
marah ia be rkata, 'Saya sudah bany ak rugi. M alam ini jug a
mesti engka u kabulkan perm intaan saya. J ika e ngkau tidak
mau, saya tembak.'
Saya tidak sedikit juga gentar menden gar gert ak it u. Pada
pikiran saya, daripada hidup ma cam i ni, lebih bai k mati bersama ibu. Maka s aya pun berkata den gan lantan g, 'Jik a Tua n
tidak keluar dari kamar ini,
saya mem ekik memi nta to long.
Kalau Tuan mau menembak saya, tembak sajalah!' .
Dengan perk ataan itu rupanya ia undu r, lalu keluar sambil
merengut. S aya segera mengunci pintu dari dalam. Semalammalaman itu saya tidak t idur. Tidak satu-dua yang mengacau
pikiran saya. Takut saya pun
ada pula, kalau-k alau pintu
didupaknya. Setelah hari sian g, keden garan nenek memanggil.
Ketika dinyatakannya bahwa tuan sudah pergi, baru saya berani
membuka pin tu. Dengan ringkas saya ceritak an kepada nenek,
hal saya semalam itu. Rupanya nen ek ada pula mendengar
perkelahian kamiyang sa ya c eritakan ini, sud ah dice ritakan
nenek di rumah P ak K arto temp o hari. T etapi sup aya lebih
terang, biarl ah saya ulan g sekal i lagi.-Saya mengajak nenek
segera lari dari ru mah itu. Maka saya pun berkemas mana yang
perlu dibawa saj a. Sudah itu saya tulis surat kepada bapak tiri
saya. Saya katakan dal am surat itu, bahwa dengan kereta pagi
saya berangk at ke Sawah lunto. Dan keperluan saya ke san a
ialah ak an menemu i famili say a yang sudah 6 tahu
n
meninggalkan kampung. Setelah sebulan di Sawah lunto, saya
kembali ke Padang. I si surat itu sebenarnya b ohong bel aka.
Kemudian kunci ru mah saya ting galkan kepada j ongos, lalu
kami naik bendi. Di tengah ja lan saya bertemu dengan seorang
Tionghoa. Menurut keterangan n
enek, orang itu induk
semangnya dahulu. Ia adalah seor ang yang amat baik hati dan
kaya raya.

Nenek ditegurnya, dan ditanyak annya hendak k e mana


kami. Dengan beriba- iba nene k menerangkan h al saya. Belas
kasihan ia rupanya mendengar cerita nenek, lalu saya diajaknya
pergi dengan dia. Ia menan ggung, bahwa di rumahnya tidak
akan terjadi apa-apa. Nenek menanggung pula, bahasa d i sana
ada a man se mentara men anti ka pal ke Betawi. Say a menurut
saja, asal ne nek tidak bercerai dengan saya. Maka kami pun
berbendilah ke Pondok, rumah No. 12.
Aduhai, Udo! Pada pikiran sa ya sebenarnya akan senang
tinggal di sit u. Kiranya saya pe rgi ke r umahnya itu masuk jerat
semata-mata; dan tidakl ah sal ah rasanya bila dikatakan, hal
saya waktu itu adalah seperti lepas dari mulut harimau jatuh ke
dalam mulut buaya. Semalam- malaman itu saya dirayu dan
dibujuknya; agar suka mengikut dia. Dijanjikannya, bahwa saya
akan di peliharanya b aik-baik. Dan dikatakannya pula, sejak
saya datang dengan b apak tir i saya ke tokonya, ia telah
menaruh cin ta kepad a saya. Supaya jangan terj adi apa-apa,
pura-pura saya mau menerima pe rmintaan itu. S aya katak an,
'Burung dalam sangkar tidak akan ke mana. Sebab itu sabarlah
Baba dulu sampai duk a nestapa saya agak h ilang, karen a
sekarang saya sedan g berkabung kematian ibu.' Senang benar
hati or ang T ionghoa itu mendeng ar j awab s aya. Setelah ia
pergi, dengan segera saya tulis surat kepada Udo memohonkan
pertolongan. Itulah surat yang diantarkan nenek kepada Ud o
itu.
Demikianlah penanggungan kami sej ak ibu bercerai dengan
ayah sa mpai pada wakt u ini. Sekarang tentu Udo sudah
maklum, apa arti perkataan ibu y ang mengatakan: 'men ahan
sedih dan makan hati it u'. Begi tu p ula arti perk ataan s aya,
'dirundung malang', Udo!"
Midun mengangguk-anggukkan kepala saja mendengar cerita
Halimah yan g menyedihk an hati itu. Setelah habis H alimah
bercerita sepatah pun ia t idak berkata-kata. Midun bermenung
saja, s ebagai ada yang d ipikirkannya. Am at kas ihan ia kepad a
gadis yan g malu itu. Dalam pada itu , Halimah berkata, "Hari
sudah malam kiranya Udo! Kare na asy ik bercerita, tahu-tahu
sudah gelap saja. Malam tadi, say a rasa Udo tidak tidur. Saya
pun demikian pula. Tidak mengantukkah Udo?"
"Tidak, Halimah!" ujar Midun. "Saya sudah biasa bertanggang* (Tidak t idur semal am-mal aman) . Adik nyata kurang tidur,
sebab muk a adik amat pucat saya lihat. Sebab itu tidurl ah

sesenang-senangnya."
"Benar, Udo!" ujar Hal imah. "M emang sejak ibu sakit payah
sampai kini saya tidak t idur amat . Tetapi jik a say a tidur, Udo
jangan tidur pula, sebab di kapa l banyak juga pencuri. Biarl ah
kita berganti-ganti tidur, ya, Udo?"
"Siapa pula pencuri di kapal ini?" ujar Midun dengan heran.
"Tidak saja sa ma-sama penum pang, kelasi pun ada juga, "
ujar Halimah . "Dahulu w aktu kami berlayar ke Padang, ada
seorang saudagar keh ilangan ua ng lebih f 200,-. Lain daripada
itu, waktu kami sampai
di Bangkahul u, seorang perempuan
beranak kehilangan gelang emas seharga f 150,- lebih. Waktu
akan tidur gelang it u ditaruhnya di bawah bantal. Kasihan kami
melihiat perempuan itu menangis. Bi ar b agaimana pun k ami
menolong, mencarikan, tidak bertemu."
"Baiklah," ujar Midun, " insya Allah t idak akan apa-apa,
tidurlah Adik!"
Belum lama Halimah mel etakkan kepala ke bantal, ia pu n
tertidur amat nyenyak nya. Midun duduk
seorang d iri
memikirkan cerita g adis itu. Kemu dian ia m emandang muka
Halimah, lalu berkata dalam hatinya. "S ungguh cantik gadis ini,
tidak a da cacat c elanya. Hati s iapa takkan g ila, iman s iapa
takkan bergoyang memandang yang
seelok in i. Kalau alang
kepalang iman mun gkin sesat olehny a. Tin gkah l akunya pun
bersamaan pula dengan rupanya. K ulitnya kuning langsat,
perawakannya sederhana besarnya, kecil tidak besar pun tidak,
gemuk bukan kurus pun bukan, sedang manis dipandang mata.
Rambutnya ikal sebagai awan berarak. Mukanya bulat bulan
penuh. Matanya laksana bintang timu r bersanding dua, dan
hidungnya bagai dasun tu nggal. Pipinya sepert i pau h dilayang,
bibirnya limau seulas, mul utnya delima merekah, yang tersedia
untuk memperlihatkan senyum -senyum simpul, sehingga
kelihatan lesung-les ung pipit, yang seolah- olah menambah
kemolekannya jua."
Midun mengambil kain, lalu menyelimuti betis Halimah yang
terbuka itu perlahan-la han. Pikiran Midun berubah-ubah,
sebentar begini, sebentar begi tu. Kadang-kadang melihat muka
gadis itu terkenang ia akan adiknya Juriah. Halimah dipandangnya sebagai adik kandungnya sendir i. Sebentar lagi sesat, dan
berharap kalau Halimah jadi istr inya, amat beruntung hidupnya
di dunia in i. Perkataan Halimah "pipit sama pipit" d an "maksud
sampai" itu t ak hendak hil ang dalam pikiran Midun. Tidak lama

timbul pula pikiran lain, lalu ia berk ata pula dalam hatinya,
"Penanggungan saya belum lagi sepersepuluh penanggungan ibu
Halimah. Sedangkan pe rempuan demikian berani dan sabarnya
merasai cobaan Tuhan, apalagi saya seorang laki-laki."
Pada keesok an harinya, setelah jauh lewat Bangkahulu,
Midun bertanya pula kepada Ha limah, katanya, "Sungguh sedih
ceritanya Adik kemarin. Tetapi ada pula yang menimbulkan
pertanyaan dalam hati saya. Setelah ibu bercer ai dengan ayah
Halimah, apakah sebabnya beli au tidak ber suami lagi? Jika
sesudah ber cerai segera bersu ami, saya ra sa ti daklah akan
demikian benar penanggungan ibu dan Adik."
"Saya pun amat heran," ujar Halimah . "Sejak saya berakal,
berulang-ulang say a menyuruh beliau bersu ami, tetapi ibu
selalu menggelengkan kepalanya. Ibu menerangkan, bahwa
cukuplah beliau men anggung kesedihan yang hampir tidak terperikan itu. Jika beliau bersuami pula, dan timbul lagi sesuatu
hal yang menyedihkan, ia tak dapat tiada nyawa tentangannya.
Kiranya perk ataan beliau itu ben ar j ua. Sekaran g tentu Udo
sudah maklum, apa sebabnya yang menyebabkan ibu meninggal
dunia. Lagi pula ibu sangat ci nta kepada ayah, sebab itu t idak
sampai hati beliau akan mengganti ayah dengan orang lain. Jika
tidak karena budi dan
keadaan kami yan g sangat su sah,
istimewa di negeri o rang, tidaklah ib u akan mau dipelihar a
orang Belanda peranakan itu."
"Sungguh pandai ibu Adinda men ahan hati," ujar Midun.
"Jika or ang lain be rhal d emikian itu, boleh jad i menimbulkan
pikiran yang kurang baik di da lam hat inya. Hati siapa takkan
sakit, awak di dalam berkasih-kasihan diganggu orang. Rupanya
ibu Adik maklum apa yang menyebabk an perceraian itu. Bagi
saya sendiri pun sudah terbayang hal itu."
"Dapatkah Udo menerangkannya?" ujar Halimah. "Saya kerap
kali menanyakan kepada ibu, te tapi selalu beliau sembunyikan
dan tidak mau menerangkan sebab perceraian itu."
"Percayalah Halimah," uj ar Midun, " sekalipun waktu ayah
akan ber istri diiz inkan oleh ibu Adik, tetapi di h ati bel iau
sendiri tidaklah menerima dan tid ak izin ayah Ad ik beristri itu.
Benar perempuan amat pandai men ahan hati. Apakah Adik
mendengar cerita anak Nabi Muhammad saw?"
"Tidak, Udo, bagaimanakah ceritanya?" ujar Halimah.
"Pada suatu hari suami Fatimah itu memanggil istrinya," ujar
Midun. "Setelah istr inya datang, maka Saidina 'Ali, demikianlah

nama sua minya itu, me minta iz in ak an berist ri. D engan rela


hati dan tersenyum m anis di izinkan Fati mah su aminya itu
beristri seorang lag i. Te tapi telur mentah yan g ketika itu
dipegang Fatimah di tanganny a, sekonyong-kony ong telah
masak. Demik ianlah pandainy a Fatimah
menahan hati.
Sungguhpun di luar manis, tetapi di dalam sudah remuk dan
badannya panas sebagai api, hingga telur masak di tangannya.
Lebih bertambah sedih l agi, karena ibu Adik mengetahui,
bahwa perceraian ibu dan ayah tidak kasih sayang lagi kep ada
Adik, ialah disebabkan perbuatan orang. Saya ber ani bertaruh,
tak dapat ti ada ayah Adik sudah ke na guna-gun a. Tidak d i
negeri Adik saja h al itu terjadi, tet api d i neger i say a pun
banyak pula yang demikian.
Tidak sedikit korban yang
disebabkan guna-guna j ahanam itu. Oran g yan g berkasihkasihan laki istri putus cerai-berai. Dan adakalanya menjadikan
maut kepada kami. Inilah bahaya yang terutama bagi orang
yang suka b eristri dua, tiga, s ampai empat orang. M asingmasing si istri itu berlomba-lomba, agar dia sendiri hendaknya
dikasihi suaminya. Kar ena itu timb ul dalam h ati mer eka
bermacammacam piki ran jahat. Si A misalnya, pe rgi kep ada
dukun B memint akan guna-guna
untuk suaminya. Si
B
mengetahui bahwa si A perlu memin ta obat itu kepadanya.
Nah, di san a lalulah jarum B akan membujuk uang A untuk
pengisi k antungnya. Dengan bebe rapa tipu muslihat B, u ang A
tercurah ke padanya. A ya ng san gat pe rcaya k epada dukun B,
tidak kayu j anjang dikeping, ti dak e mas bungk al diasah, t idak
air t alang dipancung. Belanja ya ng diberikan suami, dij adikan
untuk keperluan itu. Bahk an kain di badan dijual at au digadaikan untuk itu, supaya suami kasih
dan sayan g kepadanya
seorang. Ke sudahannya arang h abis besi binasa, uang habis
badan celak a. Maksud t ak samp ai, badan d iceraikan su ami.
Sebabnya: karena urusan ruma h tan gga, mak anan dan pakaian
suami dan lain-lain, tentu tidak berketentuan lagi. Jika syaratsyarat ber suami t idak di pakaikan, tak dapat t iada l aki-laki itu
memisahkan dirinya.
Menurut pendengaran saya, guna-guna itu terjadi dari
benda yan g k otor-kotor. Misalny a tah i orang dan kotoran kuku
dan lain lain sebagainya. Hal itu makin celaka lagi, kalau
makanan itu tidak bersetuju dengan perut su ami. K arena
kotornya, boleh jadi mendatangkan penyakit. Akhirnya si suami
itu seperti sirih kerkap tu mbuh di batu , mati enggan hidup tak

mau, merana. Lebih berbahay a lagi kal au du kun B itu


bermusuhan dengan su aminya. Dengan gampang saja ia dapat
memberikan racun at au l ain-lain. Man akala dendamnya lepas
karena mu suhnya lenyap dari dunia ini, tentu si B ak
an
bersenang ha ti. P adahal s i A sekali-kali tidak mengetahui,
sebab kepercayaannya penuh kepada dukun B itu. Hal ini sudah
terjadi pa da s alah seorang is tri mam ak saya. Ti dak putusputusnya ia menyesali hidupnya karena perbuatannya itu.
Orang pun takut me mperistri d ia l agi. M aka ti nggallah ia
menjadi perempuan balu, hidup terpencil dengan tiga oran
g
anak yang masilI kecil-kecil pula.
Jika maksud A itu sampai, tentu ia bersenan g hati. Tetapi
istri su ami y ang la in tera niaya pula k arena perbuatannya itu.
Istri yang d iceraikan sua mi itu tentu menanggung sedih. Tidak
saja bersedih hati, hidu pnya pun ko car-kacir, ap alagi kalau
sudah beranak-anak. Lihatlah sebagai ibu Adik, sedangkan baru
beranak seorang demik ian jadinya. M alu tumbuh, sedih pun
datang, hin gga berla rat-larat ke neg eri or ang membawakan
untung nasib diri."
Midun berhenti berkata, karena waktu makan sudah datang.
Maka ia pun pergi men gambil nasi, lalu mak an bersama- sama
dengan Hal imah. Di dalam maka n itu , Halimah baru maklum
akan mengenangkan se gala per buatan perempuan y ang sekalikali tidak bersetuju dengan pi kirannya. Setelah sudah mak an,
Midun meny ambung perkataannya,
katanya, "Sungguhpun
demikian, perbuatan perempuan kepada su aminya tidak pula
dapat disalahkan. Jika ia mela kukan perbuatan it u tiada pula
disesalkan. Hanya iman yang kurang pada perempuan itu. Tidak
seperti Fat imah yang saya cerita kan tadi. Tetapi sukar dicar i,
mahal didapat perempu an yang berhati begitu.
Apa yan g
takkan terke rjakan, jik a ia di permadukan. Ap alagi yang leb ih
sakit dar ipada itu. Coba kala u h al i tu t erjadi s ebaliknya,
artinya si lak ilaki dipermadukan perempuan. Baran gkali ... ya,
entah apa y ang ak an te rjadi. Sed angkan dil ihat oran g s aja
istrinya, rasanya hendak diulur nya hidup-hidup orang itu,
apalagi dipermadukan."
Di sini M idun berhenti berkata-kata sebent ar, k arena ia
teringat ak an nasibnya sendiri. Bukankah terj adinya per kelahiannya dengan K acak di te pi s ungai, k arena cemburuan,
dan... sehin gga Kacak lupa ak an pertolongannya at as Katijah?
Kemudian ia berkat a pul a, ujarnya, "Hal ini me mang tid ak

bersesuaian sedik it jua dengan pikiran say a. Benar agama


mengizinkan beristri dari satu sampai empat, tetapi jika ditilik
dalam-dalam, tidak gampang sa ja mengerjakanny a. Menurut
pikiran say a, banyak syar at-syaratnya yang amat sulit. Dalam
seribu sukar seorang yang akan dapat melakukannya. Saya ras a
tidak s eorang jua yang ak an dap at ber laku adil, se adil-adilnya
kepada kee mpat istrinya itu; karen a demikianl ah kehendak
agama. Bahkan yang b anyak saya lihat, perempuan
itu
dipandangnya sebagai suatu barang untuk pemu askan h awa
nafsunya saja. Sungguh sedih hati memikirkan nasib perempuan
yang diperbuat suami
semau-maunya itu. Tidak berhati
berjantung, tidak men aruh be las kasihan k epada teman
sehidup. Tak ada ubahnya dengan lak i-laki gan gsang, beranak
satu dibuang, kawin lagi.
Demikianlah t erus-menerus. En tah b agaimana n asib
perempuan itu ditinggalkannya, tidak dipedulikan nya. Jangankan me mikirkan nas ib pe rempuan itu setelah dit alakkan, sedangkan masih dalam tangannya belanja berkurang-kurang.
Sekianlah cerita say a; bagi Adik jan ganlah terjadi demik ian
dan jangan pula mendapat suami seperti saya katakan itu
kelak. Saya berhar ap, m oga-moga Adik bersua mikan seor ang
laki-laki yang sebenarnya laki-laki. Dapat hendaknya Adik suami
istri hidu p sandar- menyandar sebagai aur den gan tebing. D i
dalam segal a hal sepak at dan sesu ai, percaya- mempercayai
seorang den gan yang l ain. Sakit susah sama dit
angguhkan,
senang suka sama dirasai. Dan dalam pergaulan selalu berkasihkasihan dan beramah-ramahan hendak nya. Dengan hal itu tak
dapat t iada kekallah suami istri.
Tidaklah ber cerai hidup,
melainkan bercerai tembilang."
Midun men atap muk a Halimah, seakan-akan mengajuk
bagaimana pikiran gad is itu tentang perkataa
nnya yang
penghabisan itu. Nyata kepa
danya pada muk a Halimah,
terbayang hati suka dan riang, seolah-olah seseorang mendapat
suatu bar ang yang tid ak ternilai h arganya. Hal imah tidak
berkata sep atah jua pun. Kemud ian sebagai te rpaksa, ia pun
berkata ju ga dengan
kemalu-maluan, katanya, "Mudahmudahan dapatlah sebagai yan g Udo cit a-citakan itu. Jika
untung, ikan di l aut asam di gunung, lamun akan bertemu
takkan dapat disan
gkal. S ungguhpun demikian, hanya
bergantung kepada nasib jua, Udo!"
Setelah habis perkataan Hali mah, maka ia m emandang

kepada Midun dengan manis, te tapi mengandung pengharapan.


Kemudian dengan senyum yang amat dalam pen gertiannya,
Halimah pura-pura melayangkan pemandangann ya ke lau t
lepas, melih at ombak Tanjung Cin a yang segun ung-gunung
tingginya it u. Midun maklum
akan arti perkataan dan
pemandangan Halimah. Rasa di a wing-awang perasaannya
ketika itu. Napasnya surut lalu semak in cepat, sebentar pula
lambat. Kemudian Midun menar ik napas, se bagai orang y ang
hendak memutuskan kenang-kenangannya.
Dengan tidak kurang su atu apa, kedua mereka pun sampailah ke Tanjung Priok, di pela buhan kota Bet awi. Midun dan
Halimali turu n dari kapal , lalu terus ke stasiun. Karena hari
masih pagi dan kebetul an ada kereta api ke Bogor, maka
Halimah pun membeli karcis, terus ke negerinya.

12. Tertipu

HARI a mat p anas, angin berembus lu nak lembut. Ketika itu


tengah hari tepat,
sedang buntar bayang-bayang. Burun gburung beterbangan dari pohon ke pohon sambil bersiul-siul
dan berbuny i dengan suka dan rian gnya. Ada pula yang
melompat-lompat di at as rum put mencar i tempat yang
kelindungan, akan melepask an lelah pulang dan mencari
mangsanya. Pada sebu ah bangku dek at se buah te laga Kebun
Raya di Bogor, duduk seor ang muda. Itulah Midun yang sedan g
melihat an gsa dua sekaw an hilir mudik di telaga. Amat berlainan keadaannya dengan bur ung-burung di kebun itu. Ia
duduk tidak bergerak, memandang air yang amat jernih dengan
tenangnya. Sungguhpun matanya te rbuka, tetapi pikiran Midun
melayang entah ke mana. Entah apa yang t
erjadi pada
sekelilingnya, tiadalah diketahui Midun. Ia bermenu ng, seakanakan a da suatu ma salah yang sulit dipikirkannya. Lebih sejam
Midun dengan hal demikian itu, ia pu n menarik napas panj ang,
sebagai memutuskan piki rannya. Kemu dian i a berk ata dala m
hatinya, "Sudah hampir sebulan saya di si ni, ma kan ti dur sa ja
sepanjang hari. Akan tinggal menetap saja di sini, apakah yang
akan dapat saya kerjakan, karena di negeri orang. Akan pergi,
berat hatiku meninggalk an Halimah, dan ia sendiri besert a
ayahnya men ahani saya pula. Menurut hemat say a, mengin gat
pergaulan kami yang sudah-sudah, jika saya katakan apa yang
tercantum di hati saya kepada Halimah, tak dapat tiada enggan
ia menolak, dan tentu diterimanya. Hal itu nyata benar kepada
saya, ketika kami berjalan-jalan berdua saja di kebun ini. Tidak
saya saja yang sangat bercinta kan dia, tetapi Halimah kalau
tidakkan lebih, samalah agaknya dengan say a pula. Bukankah
ketika kami duduk di sini, Halimah ada berkata, 'Udo, alangkah
bagusnya angsa dua sekawan itu beren ang kian ke mari dengan
senangnya, t idak ada y ang disusahkan nya?' Ketika kami duduk
di bangku dekat sungai sebelah sana, ia berkata pu la, 'Aduhai,
Udo! Tampak-tampak oleh saya negeri Padang dan kuburan ibu.
Tahun mana musim pabila, dan deng an jalan apakah lagi maka
tercapai oleh saya negeri yang sangat saya cintai itu?'
Nah, apa lagi, sungguhpun kawa t yang dibentuk, ikan di
tebat yang dituju. Bukank ah hanya tinggal pada saya saja l agi.

Tetapi, tetapi, kalau saya nyat akan pula pe rasaan s aya dan
diterimanya, apakah yang akan kami makan kelak, karena s aya
tidak ada b erpencarian. Ah, sud ahlah, rezeki elan g tak d apat
oleh musang. Jika jodohku tiadakan k e mana, saya perlu mencari penghidupan dulu. Bukankah pangkal kesenangan itu uang?
Jika ada uan g, yang dimaksud sa mpai dan yang dicita dat ang.
Tetapi kalau tidak ada uang ... celakalah hidup."
Midun berdiri lalu berjalan menuju Kampun
g Empan g
tempat ayah Halimah tin ggal. Pikiran nya sudah putus hendak
meninggalkan negeri itu. Segala perasaannya kepada Halimah,
disimpannya dalam peti wasiat di sanubarinya. Nanti jika sudah
datang wakt unya, baru ia be rani m embukakannya. Hamp ir
sampai ke rumah, dari jauh sudah kelihatan olehnya Halimah
berdiri di tepi jalan di muka rumahnya. Setelah dekat, Halimah
berkata, "Ke mana, Udo? Sudah lama saya menanti belum juga
pulang? Saya sangk a Udo sudah
sesat, a tau di tipu Wera k*
(Werner, orang yang mencari-cari kuli kont rak unt uk onderneming dan
t ambang) supaya Udo suk a jadi kontrak." Halimah
berkata itu

dengan senyum dan bersenda gurau. Maka Midun berkata pula,


katanya, " Asal orang di sini menipu saya, apa boleh buat.
Sengaja menyeberang k emari, m emang ak an di tipu or ang,
tetapi sampai kini belum juga ada orang yang hendak menipu."
Kedua mereka naik ke rumah. Hidangan sudah tersedia, lalu
mereka itu makan bersama-sama. Setelah sudah makan, ibu tiri
dan ayah Halimah, Midun dan Ha limah duduk ke beranda muka.
Tidak lama antaranya, Midunpun berkatalah, "Bapak! Yang saya
maksud dari Padang akan mengantarkan Halimah kemari, sudah
sampai dan selamat tid ak kura ng su atu apa. Sudah hampir
sebulan saya di sini, hil ir mudi k t idak keruan saja. Sekarang
biarlah saya mencarikan untung nasib saya baran g ke mana.
Akan be gini saja se panjang hari , tentu tidak bo leh jadi. Tidak
saja janggal pada pemandangan orang keadaan saya ini, tetap i
bersalahan pula. Saya ber jalan tidak j auh, mela inkan di tan ah
Jawa ini juga.
Akan pulan g sekali-k ali t idak, karen a alangan y ang sudah
saya cer itakan kepad a Bapak. Sebab itu saya harap Bapak
izinkanlah saya pergi dari sini. Mudah-mudahan kelak, jika ada
hayat dikandung badan, kita bertemu pula."
Muka Ha limah puca t mendengar pe rkataan Mid un yang
sekonyong-konyong itu datangnya. Sudah sebulan di Bogor tak
ada disebut-sebut Midun kepadanya tentang hal itu. Setiba-tiba

ia hendak pergi saja.


Halimah berpikir kalau-kalau ada
perkataannya yang salah, atau ada yang tidak menyenangkan
hati Midun di rumah itu. Biar bagaimanapun jua ia berpik ir,
satu pun tak ada teringat kepadanya. Dalam pada itu, bapak
Halimah ber kata, katany a, "Bag i bapak, kalau boleh, Anak
tinggal d i sin i saja. Anak, bapak pand ang tidak sebagai or ang
lain lagi, melainkan sudah sama dengan Halimah. Ada sama kita
makan, tidak sama dit ahan. La gi pula Halimah tentu akan
canggung An ak tinggalkan, seba b An ak sudah disangkanya ...
tidak sebagai orang lain lagi."
"Benar kat a Bapak itu," ujar Midun, "tetapi akan
begin i
sajakah selamanya? Syuk ur kala u Bapak masih mencari, tetapi
jika Bapak tidak kuat lagi, baga imana? Sebab itu sa ya berharap
benar-benar, Bapak izinkan juga saya pergi hendaknya. Tentang
Halimah, saya rasa tentu dia akan mengizinkan, sebab saya berjalan ini den gan maksud baik, lagi tidak jauh. Besok sebolehbolehnya dengan kereta api pagi saya berangkat ke Betawi."
Walau bagaimana juga ketiga b eranak i tu m enahaninya,
tetapi Midun keras ju a hendak pergi. Oleh seb ab itu maka
diizinkanlah oleh merek a, tetapi jangan jauh dari Bogor, dan
berharap ber temu jua ke lak. Midun b erjanji pul a, bahwa ia
tidak akan j auh, dan bila akan kembali ke P adang, tentu ia
menemui mereka itu lebih dahulu.
Pada malam itu Midun membuat
sepucuk surat untuk
Halimah, yang akan diberikannya. Jika dikatakan dengan mulut
tidak akan terkeluarkan, apalagi di muka bapak Hali mah. Surat
itu ditulisnya dengan t
ulisan cara surau
saja. Demikian
bunyinya:
Bogor, 20 Februari 19..
Adikku Halimah!
Sungguhpun Adinda su dah mengaku kakak kepada k akanda,
tetapi per asaan sud ah s ama-sama d imaklumi. Pa da ruang an
mata Adinda, nyata kepada kakanda apa yang tersimpan dalam
dada Adinda. Tetapi kakanda be rlipat gand a d aripada itu.
Harapan kak anda be sar, cita-c ita k akanda tin ggi terhad ap
kepadamu, Adikku! Kak anda mi nta dengan sangat, harapan
kakanda y ang mulia dan suci bersih itu, jangan lah kirany a
Adinda putuskan. Jik a Adind a a baikan, nya wa kakanda

tentangannya. Sebab itu sudilah kiranya Adinda mengikat erat,


menyimpai t eguh untuk sementara waktu. Kepergian kakanda
ini tersebab Adinda dan keperluan kita berdua.
Peluk cium kakanda,
MIDUN
Setelah sudah surat itu dilipatnya, lal u dimasukkannya ke
saku bajunya. Maka Midu n pun tidurlah dengan n yenyaknya,
sebab pikirannya sudah tetap. Pagi-pagi benar ia sudah bangun.
Sudah minu m pagi me reka pun pergil ah bersama- sama
mengantarkan Midun. Baru saj a sampai di st asiun, Halimah
pergi membeli karcis ke Betawi. Kemudian karcis itu diberikannya kepada Midun. Karena Midun merasai selain daripada karcis
ada pula sebuah su rat, maka waktu itu Midun segera pul a
mengambil surat yang dibuatnya semalam, l alu diberik annya
kepada H alimah. Hal itu seorang pu n tak ada y ang mel ihat,
karena bapak ibu dan famili yang lain s udah ma suk ke da lam
stasiun.
Kereta sudah datang, maka
mereka itu pun bersal amsalaman. Ya ng pergi m eminta maaf dan memb eri sela mat
tinggal, y ang tinggal begitu p ula, lalu memberi selamat jalan.
Ketika Midu n bersal am dengan H alimah, tan gan mereka
gemetar, s.ama-sama tak hendak melepaskan. Sesaat kemudian
Midun berkata, "Halimah, jangan saya dilupakan!"
Midun melepaskan t angan Halimah, lalu melompat naik
kereta. Sampai kereta ap i berang kat, ia tidak me mperlihatkan
mukanya ke jendela kereta. Am at sedih hat inya bercerai
dengan kekasihnya itu. Tetapi ap a hendak dikatakan, karena ia
terpaksa meninggalkan gadis yang dicintainya itu. Halimah pun
lebih-lebih lagi, sekuat-ku atnya ditah annya kesedih an hatinya,
karena takut akan diket ahui ay ahnya, ibu tir i, d an fa milinya.
Sungguhpun demikian mukanya sangat pucat, air
matanya
berlinang-linang dan ia s ebagai terpa ku di muka stas iun itu.
Sampai kereta api hil ang dari matanya, baru ia pul ang. Itu pu n
kalau tidak ditarik adiknya, tidaklah ia sadarkan dirinya.
Setelah kereta api berangkat, Midun segera mengambil
surat Hal imah dari sakunya. Untung surat itu bert ulis dengan
tulisan Arab. Dalam su rat itu dilampirkannya seh elai uang
kertas f 50,-. Surat itu demikian bunyinya:

Bogor, 20 Februari 19 ....


Paduka Kakanda yang tercinta! Dengan hormat!
Setelah jauh tengah malam, baru adinda
maklum apa
maksud K akanda meninggalkan ad inda. Sekar ang in saflah
adinda ak an ujud perk ataan K akanda kepa da ayah yang
mengatakan "maksud baik" kemarin. Dan adinda mengerti pula,
apa sebabnya Kakanda menyimpan rahasia hati Kakanda selama
ini terhadap kepada adinda. Pergilah Kakanda, pergilah! Lamun
Halimah tidakkan ke mana. Adinda akan setia dari dunia lalu ke
akhirat kepada Kakanda. Seba b itu janganlah K akanda siasiakan pengh arapan adind a, anak piat u ini. Adind a siap ak an
menyerahkan nyawa dan badan adinda, bilamana saja Kakanda
kehendaki.
Bersama in i adinda sert akan uang sedikit untuk belanja di
jalan. Harap Kakanda terima deng an segala suci h ati. Selamat
jalan!
Peluk cium adinda,
HALIMAH
Surat ini dimasukkan M idun kembal i k e sakunya perlahanlahan. Pik irannya melayang ke pada pergaulan nya kelak,
manakala ia sudah menjadi suami istr i den gan Hali mah.
Kemudian teringat pula oleh Mi dun ak an perjalan annya itu. la
belum pernah ke Betawi, hanya melihat kota
itu dari ata s
kereta api saja. Ke manakah ia akan pergi, karena seorang pun
belum ada yang kenal kepadanya di Betawi?
Dalam M idun berpiki r-pikir demikian itu, sambil melihat ke
luar dari jen dela kereta api, kedenga ran olehnya suar a oran g,
katanya, "Assalamu'alaikum!"
Midun melihat lalu menyahut, "Wa'alaikumussalam!" Seorang
Arab ber salam den gan Midun, lalu du duk dekatny a, karen a d i
situ ad a te mpat terlu ang. Setelah o rang Arab itu duduk, ia
berkata pula, "Bang hendak ke mana?"
"Hendak ke Betawi!" jawab Midun dengan hormatnya. "Kalau
saya tidak salah, Bang tinggal di Empang, betul?"
"Betul, Tuan juga acap kali saya lihat lalu lintas pada jal an
di muka ru mah tempat s aya ting gal. Tuan tinggal di Empang
jugakah?"
"Tidak. Say a cum a men umpang s aja di s itu, di rumah
saudara saya. Sudah du a bulan lamanya sampai sekarang.

Rumah tempat tinggal saya di Betawi. Saya di Bogor, sebab ada


urusan perniagaan."
"Kalau begitu, berniagakah Tuan di Betawi?"
"Ya, betul. Maksud Bang k e Betawi apa pula? Abang orang
berniaga seperti saya juga?"
Mendengar pertanyaan itu, Midun berbesar hati. Dari tadi ia
memikirkan, ke ma na ia aka n pergi s etelah sa mpai di Betawi.
Sekarang ia sudah berken alan de ngan seorang y ang tinggal di
Betawi. Kata Midun dalam hatinya.
"Sekaranglah yang s ebaik-baiknya akan men ceritakan hal
saya teru s terang kepad a oran g Arab ini. Biarlah saya katakan
saja apa maksud saya ke Bet awi. Mu dah-mudahan karena ia
seorang Arab, beras al d ari Tan ah Suci, sudi ia men olong say a.
Ah, kal au i a suka m engajar saya ber niaga, al angkah ba iknya.
Maka Midun berkata, kat anya, "Saya ini bukan sau dagar, Tuan!
Saya baru datang ke tanah Jaw a in i. Samp ai s ekarang b aru
sebulan saya di sini. Maksud saya ke Betawi ini, hendak mencari
penghidupan. Saya amat ingin hendak menjadi orang berniaga.
Sudikah Tuan mengajar saya berniaga?"
"Jadi Abang orang mana?"
"Saya orang Padang."
"Belum pernahkah Abang ke Betawi?"
"Tidak pernah sekal i juga. Dari P adang saya teru s saj a ke
Bogor."
"Baiklah. Kalau Bang suka, deng an karena Allah saya suk a
menolong dan mengajar Abang berniaga."
"Terima kasih banyak, Tuan! Asal Tu an suka meng ajar saya
berniaga, sekalipun akan Tuan jadik an oran g su ruh-suruhan
dulu, saya terima dengan segala suka hati."
"Baiklah. Nanti kalau kereta sudah sampai di Betawi, ikutlah
ke rumah saya! Nama Bang siapa?"
"Nama saya Midun. Saya harap karena Tuan sekarang sudah
saya pan dang seba gai induk seman g saya, janga n lagi Tuan
memanggil 'abang' kepada saya. Sebut sajalah nama saja!"
"Baiklah. Begitu pul a sebaliknya, sebab M idun sud ah
mengaku induk semang kepada saya, tentu Midun harus pula
mengetahui nama saya.
Saya bernama Syekh Abdullah alHadramut. Sekarang saya mau bertanya sedikit, tapi saya harap
jangan gusar. Waktu Midun data ng ke B ogor te mpo ha ri, saya
lihat bersama istri. Tentu saja istri Midun itu orang Padang
pula, sebab Midun belum pernah k emari. Ap akah sebabnya

ditinggalkan di rumah orang Sunda di Bogor? Di manakah Midun


berkenalan dengan dia?"
Lama Midun berpikir akan menjawab pertanyaan orang Arab
itu. Akan dik atakannya bukan istrinya, memang gadis itu bakal
istrinya juga.
"Ah, lebih baik dik atakan istri saya saja," kata M idun dalam
hatinya. Mak a katanya, " Istri saya itu orang sini, dan kawin
dengan say a waktu di Padang dahulu. Tempatnya menumpang
di Empang itu, rumah orang tuanya
sendiri. Jadi sement ara
saya menc ari pekerjaan, saya su ruh ia tinggal bersama orang
tuanya dahulu."
"Oooo, begitu!"
Setelah sa mpai di stasiun Betawi, Mid un pergilah bersama
Syekli Abdul lah al-Hadr amut, ke
rumahnya di Kam pung
Pekojan. Maka tinggall ah Mid un bersama-sama, de ngan dia d i
rumahnya. Ada sebulan lamanya Midun berjalan hilir mudik saja
menurutkan Arab itu berniaga. Dengan hal demik ian, ia telah
mengetahui j alan-jalan di kota Betawi. Bah asa negeri itu pun
sudah mahir pula kepadanya. Begitu pula tentang hal berniaga,
ia sudah agak paham. Maka Midu n pun mulailah berniaga. Uang
yang f 50,- yang diberikan Halimah diambilnya akan jadi pokok.
Syekh Abdull ah al-Had ramut memberikan k ain seh arga f 1 00,kepadanya. Maka ia pun berkata kepada Midun, katanya, "Harga
kain in i f 100,-. Jadi k ita be rpokok f 50,- se orang. Kalau
beruntung, kita bagi tiga. Sepertiga untuk saya dan dua per tiga
keuntungan bagimu. Sukakah engkau dengan aturan begitu?"
Karena M idun sang at per caya ke pada oran g Arab, ia pun
menganggukkan kepal a saja. Dan menurut aturan berniaga,
memang sudah sepatutn ya. Tetapi dalam pad a itu Syekh
Abdullah sudah mengambil keunt ungan lebih dulu daripada
harga kain itu. Penipuan itu sekali-kali Midun tidak mengetahui.
Bahkan akan menyelidiki benar tidaknya harga kain sekian tidak
pula terpikir di hatinya, k arena kepercayaannya penuh kepada
orang Arab itu.
Enam bul an Midun berj aja, pad a suatu m alam i a berkata
kepada Syek h Abdullah, katanya, "Tu an, rupanya agak kurang
cepat menjual kain di kota in i. Dalam sehari h anya laku l imaenam helai saja. Tidak baikkah kalau saya pergi ke negeri yang
dekat-dekat di sini, misalnya ke T angerang, Keb ayoran, dan
lain-lain?"
"Kalau begit u Midun bel um pand ai b erniaga," ujar Syekh

Abdullah. "M ari saya tun juki jalanny a, supaya l ekas tebal.
Memang jika dijual tunai, susah melakukannya di sini. Sebab itu
lebih baik Midun perutangkan di kampung-kampun g. Bayarannya pungut tiap-tiap hari Sabtu, sebab kebanyakan oran g sin i
gajian satu kali seminggu. Jika diutangkan, taruh harga kain itu
lebih mahal, menurut beberapa ia berani mengan gsur tiap-tiap
minggu, Misalnya kalau harga 13,2 0,-. Jadi tiap-t iap minggu ia
harus me mbayar f 0,40,-. Bukankah dengan jal an itu kita
beruntung besar? Kesusahannya tidak ada, sebab Midun berjalan juga tiap-tiap hari."
Perkataan itu tidak sesuai sedikit jua dengan pikiran Midun.
Pada p ikirannya perbuat an itu jah at, sebab te rlampau memakan ben ak orang. Mesk ipun dia yan g sudah-sudah menurut
saja ap a y ang dik atakan induk semangnya, tetapi sekali in i
pengajaran itu tidak sedikit jua sesuai dengan kemauannya.
Midun termenung saja mendengar perkataan Syekh Abdullah
yang demikian itu. Akan diterusk annya jua menjajak an kain ke
kampung, pasti tidak ak an laku. Tiba-tiba timbul pikiran lain
dalam hati Midun, lalu ia berkata katanya, "Sekarang lebih baik
saya j angan menjaj akan kain l agi, Tuan! Saya ingin hend ak
berkedai di pasar, di tep i-tepi ja lan. Biarlah saya beli saj a di
toko. Tetapi pokok saya seka rang, t entu tidak mencukupi.
Sudikah Tuan meminjami saya uan g barang f 100,-? Jika Tuan
pinjami l agi saya u ang f 100,- jumlah uang Tu an pada saya
dengan y ang dahulu f 150,-. Sekara ng baiklah kita hitung laba
rugi selama saya menjajakan kain."
"Itu lebih baik lagi," ujar
Syekh Abdu llah, "supaya Midun
dapat belajar sendiri
mengemudikan perni agaan. Saya pun
lebih suk a, k alau saya tidak ca mpur. Dan saya suka memberi
uang pinjaman, tetapi Midun
tahu sendiri,
tentu saya
mengambil untung sedikit."
"Tentu saj a, Tuan!" ujar Midun. "Dal am h al itu saya ada
timbangan b agaimana ya ng patu t, k arena uang Tuan saya
pakai."
Setelah selesai mereka itu membagi keuntungan penjualan
kain yang sudah, mak a S yekh Abdullah al-Hadramut menulis
sepucuk surat utang. Surat utan g itu disuruhnya tanda tangani
oleh Midun. Dengan tidak berpikir
lagi, ia menandatangani
surat itu dengan tulisan Arab,
lalu uang itu diambilnya. I a
berjanji, bahwa uang itu dalam 8 bulan akan dikembalikannya.
Dengan sen ang hati M idun pergi, k arena ia tidak lagi berjalan

kian kemari di seluruh kota Betaw i. Ia memuji- muji kebaik an


Syekh Abdullah al-Hadramut, karen a mempercay ai dia meminjamkan uang f 150,- itu. Dalam hatiny
a ia berjanji,
manakala beruntung, akan dibeli kannya barang sesuatu untuk
istri Syekh Abdullah. M aka Mi dun berjalan mencari
rumah
tempat membayar makan. Ia menc ari rumah y ang agak d ekat
Pasar Senen, sebab ia bermaksud di sana akan me mbuka kedai.
Setelah didapatnya rumnh tempat tinggal di Kampung Kwitang,
lalu Midun pergi membel i barang. Pada keesok an harinya, ia
pun mulai berkedai di P asar Senen. Setelah sudah berkedai
segala kain itu dibaw a oleh se orang k uli pulang ke rumahnya.
Demikianlah pekerjaan Midun tiap-tiap hari.
Adapun akan Syekh Abdullah al-Hadramut, sekal i semin ggu
datang juga ke kedai Midun. Belum cukup sebulan Midun berkedai. pada suatu hari ia disuruh datang oleh induk seman gnya
ke Pekojan. Pada mal am yang dijanjikan itu, Midu n datangl ah
ke rumah induk semangnya. Setelah sudah makan minum, maka
Syekh Abdullah berkat a, "Adak ah baik jalannya sel ama engk au
berkedai, Midun?"
"Baik ju ga, Tuan!" ujar Mid un. "Sekurang-kurangnya dalam
sehari terjual seharga f 50,-. Kadang-kadang dicapainya sampai
f 75,-."
"Baik benar k alau begitu. Tidak lama l agi har i akan puas a.
Tidak perlukah Midun menambah pokok lagi?"
"Jika Tu an percaya d an s udi me minjami s aya, teri ma ka sih
banyak, Tuan! Memang dengan pokok sebanyak sekarang tak
dapat saya mencukupi kehendak orang. Ada yang meminta kain
ini, ka in itu, tetapi t idak ada saya taruh. Sedangk an sek arang
demikian keadaannya, apalagi kalau sedikit hari lagi."
"Baiklah, in i saya ta mbah f 100,- la gi untuk pokok. Tetap i
supaya ter ang berap a uang saya kepada Midun, tentu engkau
harus menekan surat utang pula."
"Tentu saja, Tuan! Jika ti dak de mikian, tidak terang,
berapa uang Tuan pada saya."
Midun menekan surat
utang pula sehelai lagi. Uang
diterimanya f 100,-. Jadi jumlah ut ang Midun sudah f 250,dengan yang f 150,dahulu itu.
Maka bern iagalah M idun dengan su ngguh-sungguh hati.
Karena ia tidak banyak mengam bil untung tiap-tiap helai kain,
amat banyak orang membeli kain ke padanya. Pa da piki ran
Midun, biar sedikit untung, teta pi banyak laku. Dengan hal

demikian, ada kira-kira empat bulan Midun berniaga.


Pada suatu malam, M idun mengh itung berapa keu ntungannya sela ma berkedai ka in. Dengan ti dak di sangka-sangkanya,
dengan pok ok lebih kurang f 300,-, ia mendapat keuntungan
bersih hampir f 200,-. Midun la lu berkata dalam h atinya, "Lain
daripada barang, uang kontan se karang ada pada saya f 350,-.
Supaya saya jangan bersangkut paut j uga p ada ind uk se mang
saya, lebih baik besok saya bayar uangnya sama sekali. Setelah
itu saya berikan uang unt uk istr inya f 50,-, atau saya belikan
barang yan g harga sek ian itu. Sudah itu say a be rniaga dengan
pokok saya sendiri. Insya Allah, j
ika Tuhan menurunkan
rahmatnya sebagai yang sudah-sudah jua, barangk ali dal am 2
atau 3 bula n lagi s ampai ap a yang saya citacit akan dengan
Halimah. Ah , alangkah senangnya k ami berniaga berdua!
Aduhai"
Pada kee sokan harinya Midun tidak berkedai. Ia pergi ke
rumah induk seman gnya ke Pekojan. Dari jauh Midun sudah
tersenyum, ketika Syekh Abd ullah melihatnya dari beranda
muka rumah nya. Setelah sampai , Midun dan induk seman gnya
bercakap-cakaplah tentang perkara perniagaan. Sesudah minum
kopi, Midun berkata, "J ika tidak ada Tuan, tidakla h saya jad i
begini. Tuanlah yang mengajar saya berniaga. Meskipun say a
belum pan dai benar bern iaga, tet api memadailah ajaran Tuan
selama in i untuk berniag a-niaga kec il. Buktinya, dalam e mpat
bulan saja saya jalankan, sudah beruntung lebih kurang f,200,-.
Oleh seb ab itu, saya u capkan banyak-banyak terima kasih
kepada Tuan , karena Tuan telah membukakan mata saya dar i
pada yang gelap kepada yang terang.
Jika ada izin Tuan, saya bermaksud_ hendak tegak sendiri.
Artinya, izta ng say a yang f 2 50,- kep ada Tu an itu akan saya
bayar sekarang. Dan saya mulai berniaga pul a de ngan pok ok
saya sen diri. Menurut at uran, sebab uang Tuan sudah sekian
lama s aya pakai, tentu tidak akan saya lupak an. Maka
demikian, akan selaman ya say a Tu an tol ong, tentu tidak
mungkin. Bila masanya lagi saya akan berdiri sendiri. Sebab itu
Tuan izink anlah kiranya saya, biarlah saya cobacob a pul a
berniaga sen diri. Sungguh pun begitu, saya harap Tuan ulangulangi juga saya ke kedai saya. Siapa tahu, jika ada hal apaapa
yang men impa dir i saya, sebab
malang dan mujur tidak
bercerai, hanya Tuanlah yang sa ya harap ak an menolong saya
di Betawi ini. Tak ada yang lain harapan saya, melainkan Tuan."

"Jika M idun mau be rniaga deng an po kok send iri, bagi s aya
tidak ada alangan," ujar Syekh A bdullah. "Itu lebih bagus lagi,
dan saya pu n mau menolong Mid un bilamana perlu. Sekarang
kalau Midun hendak membayar utan g Midun ke pada saya,
bayarlah!"
Dengan segera Midun mengeluark an uang dari saku bajunya
sebelah dal am, lalu dihitung nya f 250,-, sebanyak yang
diberikan Syekh Abdullah kepadany a. P ada pik irannya, setelah
uang itu diterima induk semangny a, ia akan perg i ke belakang ,
kepada istri Syekh Abdullah memberik an uang f 50,- lagi atau
dibelikannya barang men urut kehendak istri induk seman gnya
itu.
Setelah uang itu dihitung Sy ekh Abdullah al-Hadramut, ia
pun berkata, "Mana lagi, Midun? Ini belum cukup."
"Yang lain maksud saya akan sa ya belikan barang untuk istri
Tuan!" ujar Midun.
"Ah, itu t idak perlu. Biarlah saya sen diri membelikan dia.
Kemarikanlah uang itu! Berapa?"
"Kalau begit u, baiklah!" ujar Midun dengan heran, sebab
pada pikirannya, kalau u ang di berikan, samalah h alnya dengan
bunga uan g. Hal itu terlarang menu rut agama. Maka Midun
mengeluarkan uang pula f 50,- l alu berkat a pu la, "Hanya
sebeginilah maksud saya hendak memberikan kepada istri Tuan,
sebab u ang Tuan telah sekian lama saya pak ai. U ang in i akan
saya be rikan kepada bel iau, me lainkan sebagai h adiah saya,
karena saya sudah berunt ung be rniaga. Tetapi Tuan meminta
uang ini. Jika Tuan ter ima uan g ini, tidaklah sebagai bung a
uang namanya? Buk ankah hal it u te rlarang d alam agama k ita?
Lupakah Tuan akan itu?"
"Apa? Bunga uang?" ujar Syek h Abdullah al-Hadramut. "Ini
bukan perkara bunga. Uang yang f 250,- ini belum cukup. Midun
mesti bayar sebanyak yang ditulis dalam kedua surat utang
Midun; jumlahnya semua f 500,-."
Terperanjat sungguh Midun mendengar perk ataan Syekh
Abdullah itu. la tahu uang yang dipinjamnya, cuma f 250,- tibatiba sekarang jadi f 500,-. Maka ia pun berkata dengan cemasnya, katanya, "Berapa, Tuan? f 500,-? Mengapa jadi f 500,-,
padahal saya terima uang dari Tuan cuma f 250,-?"
"Ya, f 500,-!" ujar Syekh Abdullah pul a. "Midun mesti bayar
f 500,- sekarang, sebab sekian ditulis dalam surat utang."
Muka Midun jadi merah menahan marah, karena ia maklum,

bahwa ia sudah tertipu. Amat sakit hat inya kepada orang Arab
itu. Ia tid ak dapat l agi menahan hat i, karen a sangat pan as
hatinya. Ket akutannya hilang, kehormatannya ke pada orang
Arab lenyap sama
sekali. Maka ia
pun berkata, katanya,
"Selama ini saya takut dan hormat be tul kepada T uan. Pada
pikiran sa ya Tuan seo rang ya ng suci, sebab be rasal dar i tan ah
Arab. Apal agi Tuan sudah syekh, saya percaya sungguh.
Rupanya per sangkaan saya itu salah. Kalau begitu, Tuan
seorang pen ipu besar, sama h alnya dengan lintah darat y ang
dikutuki Tuh an. Rupanya saya sudah Tuan jerat. Apak
ah
maksud Tu an dengan u ang yang f 250,- lagi itu? Akan j adi
bunganyakah?
Tidakkah Tuan tahu, bahwa menurut ag ama Islam te rlarang
memperbungakan uang? Bukankah memakan rib a dengan cara
demikian itu ? Sungguh ti dak s aya sangka hal in i t erjadi pad a
orang Arab."
"Diam, engkau jangan berkata begitu sekali lagi," kata Syekh
Abdullah den gan marah. "Jangan terlalu kurang ajar kepada
saya.
Saya amat b aik kepadamu, tetapi den gan ini engkau balas.
Jika en gkau berani berkata sek ali l agi, nant i saya adukan.
Engkau boleh say a baw a perkara, sup aya engk au t ahu bahw a
saya seorang baik."
"Macam Tuan ini, or ang p emakan rib a, seor ang b aik?" ujar
Midun dengan sen git. "Orang gil a agaknya oran g yan g
menyangka demikian itu. Tuan hendak membawa saya perkara?
Ke langit Tuan adukan, s aya tidak t akut perkara dengan orang
macam ini. Saya berd iri atas kebenaran, ke mana p un jua say a
mau perkara."
Midun segera mengambil uangnya yang f 300,- itu kembal i,
lalu dimasuk kannya ke dalam saku bajunya. Sambil berj alan
keluar rumah itu, ia pu n berkata pula, katanya, "Tak ada
gunanya kita berbalah jua, adukanlah ke mana Tuan suka! Saya
tidak hendak membayar utang saya, sebelum perkara."
Sepanjang jalan pik iran Midun berkacau saja. Hatinya amat
panas, karena tertipu pula. Midun tidak mengerti apa sebabnya
Arab itu berbuat demikian kepadanya. Lagi pula ia amat heran,
sebab seorang Ar ab se berani itu m enipu or ang. M aka kata
Midun dalam hatinya,
"Sungguh ajaib, sepuluh kali ajaib,
karena hal ini terjadi pada seor ang Arab dan syekh pula. Siapa
yang akan m enyangka, orang yang de mikian itu su ka memakan

riba. Benar ajaib dunia ini, jika kurang awas, bina sa diri. Pad a
pikiran say a, orang Arab ini ba ik bela ka, apala gi y ang sudah
syekh. Kirany a ada pul a yang lebih jah at dan lebih busuk lagi
tabiatnya. Bahkan t idak bermalu pula; sen ang saja ia
mengatakan uang f 250,- jadi f 5 00,- bermuka-muka. (Ia tidak
tahu bahwa dalam su
rat yang kedua f 300,-. Itulah
kemalangannya t idak t ahu d i mata surat.) La in daripada saya,
tentu banyak lagi agakny a orang yang sudah terjerat macam
saya ini. A mat panas hatiku mengenangkan p enipuan yan g
sangat halus dan menyakitkan hati itu. Biarlah, saya tidak akan
membayar u tang itu. Hendak diap akannya saya. Meskipun ia
mengadu, saya tidakkan takut."
Demikianlah pik iran Midun, sebent ar begin i, sebentar
begitu. Dengan tidak disangka-sangkanya, ia telah sampai di
rumah tem patnya mem bayar m akan. Sampa i di rumahnya,
segala b arang-barangnya y ang masih tinggal dibawanya ke
Pasar Senen, lalu diju alnya semua k epada kawan-kawannya
yang sama berniaga de ngan di a. U ang itu, yang jumlahnya
semua lebih f 500,- disimpannya dalam saku baju nya, sedikit
pun tak bercerai dengan dia. Ia tidak berkedai lagi, melainkan
bersenang-senangkan d iri saj a. J ika ditanyak an oran g, ap a
sebab Midun tidak berked ai lagi, jawabnya, hendak bersenangsenangkan diri dulu barang satu atau dua bulan.

13. Memperebutkan Pusaka.


"CING, pi cing, pii iicing," b unyi mur ai, waktu senjak ala d i ata s
sepohon kay u di belakan g rumah or ang tua Midu n. Kemudian
kedengaran pula bunyi burung serak
di dalam parak dekat
rumah. Menurut kepercayaan, man akala ada oran g sakit
kedengaran bunyi de mikian, ala mat a da yan g tid ak baik ak an
datang. Karena Pak Midu n masa itu dalam sakit payah, darah
anak istrinya tersirap mendengar bunyi itu. Jur iah memandang
kepada ibunya dengan sayu, lalu menyelimuti bapaknya. Ibunya
segera meminumkan obat sa mbil m engusap dah i sua minya.
Manjau yan g baru
saja menutup pintu kan
dang ay am,
melompat ke rumah mendekati ay ahnya. Ibu dan kedua anak
itu dalam kecemasan amat sangat. Tegak resah, du duk gelisah,
sedikit pun tidak senang diam
. Sebentar-sebentar si
istri
memandang kepada suaminya, si an ak melih at kep ada b apaknya. Mereka itu percaya sungguh kepada tahayul, hanya Manjau
yang agak kurang, sebab sudah hersekolah.
Adapun P ak Midun, sejak menerima surat anaknya dari
Padang, selal u dalam bersusah h ati. Su ngguhpun Maun datan g
juga kepadanya tiap-tiap hari , tetapi lamun an aknya yang
sulung itu tidaklah dapat dilupak an orang tu a itu . Berbagai
ikhtiar Maun, agar kenan gkenangan Pak Midun leny ap kepada
Midun, tetapi sia-sia belaka . Kedatangan Mau n jangankan
menyenangkan hatinya, bahkan m akin mena mbah dalam sus ah
hatinya. Asal ia menampak Ma un, Midun sudah terbayang di
matanya. Ia sendiri ada juga
berusaha supaya M idun dapat
dilupakannya, tetapi sia-sia sa ja. Han cur luluh hati Pak Midun
bilamana melihat teman Midun di kampung itu. Keadaannya
tak ubahnya sebagai orang yang kuran g sempurna akal, sejak
ditinggalkan anaknya yan g san gat d ikasihinya itu. Pekerjaan
Pak Midun
pun tidak
berketentuan lagi.
Kerap kali
ia
bermenung kemudian menengadah, seakan-akan memasukk an
air mata yang hendak jat uh kembali, yang di sukainya perg i ke
tepi sungai, duduk seorang diri samb il memandangi air hilir.
Pikirannya seperti air it u pula, berhanyut-hanyut entah k e
mana. T idak seor ang-dua yang memberi nasihat, agar Midun
dilupakannya, tetapi s ia-sia s aja. Lebih-lebih Haji Abbas dan
Pendekar Su tan, acapkali da tang menasih ati Pak
Midun.
Mendengar keterangan Haji Abba s, ia berjanji tidak akan

mengenang-ngenangkan Midun lagi. Dia sendiri ada mengatakan


kepada Haji Abbas, "Memang an ak l aki-laki sudah demikian.
Anak kita hanya dari umu r 13 tahun ke bawah. Lewat daripada
itu bukan anak kita lagi. Dan lagi bukankah tidak Midun seorang
saja anak saya.
Masih ada dua oran g lagi yang
akan
menggantikannya."
Tetapi setelah Haji Abbas pe rgi, pikirannya kepada Midun
timbul pul a kembali. Rupanya Pak M idun bersedih hati buk an
karena M idun menin ggalkannya pergi merant au ke negeri
orang, melainkan hal yang menyebabkan perceraian itulah yang
sangat meluk ai hatiny a. Apalagi Kacak musuh Midu n, masa itu
sudah menjadi Pen ghulu Kepala. Maka semak in putuslah
harapannya akan bertemu dengan Midun.
Demikianlah hal Pak Midu n habis hari berganti pekan, habis
pekan berganti bulan. Ia selalu bercintakan Midun, sedikit pun
tidak hendak luput dari pikirannya. Badan Pak Midun makin
lama makin bertambah kurus. Kesudahannya ia pun j atuh sakit.
Berbagai-bagai obat
yang telah dimakannya, jangankan
menyembuhkan, mel ainkan penyak itnya bertambah dalam.
Anak istri Pa k Mi dun be rusaha s edapat-dapatnya, m udahmudahan penyakit itu sembuh, tetapi sia- sia saja. Sungguhpun
demikian, ibu dan anak itu belum pu tus harapann ya. Mereka
membela dengan sungguh-sungguh hati, karena mereka itu tahu
bahwa orang tua itulah tempatnya bergantung.
Sebulan Pak Midun sak it, datanglah famili Pak Midun menjemput si s akit akan dibawanya ke rumah saudaranya. Didapati
mereka mamak Manjau yang menjadi penghulu k aumnya ada
pula di situ. Setelah sudah makan minum, maka kemenakan Pak
Midun yang bergelar Sut an Menindih berkata kepada mamak
Manjau kata nya, "Mama k! Keda tangan saya kemari, ialah
menurut ada t kebias aan yang sudah k ita paka ikan jua. Karena
mamak saya sakit, kami bermaksud hendak membawa beliau ke
rumah k ami. Sebab itu say a harap Mamak dan Ibu sudi
mengizinkan."
"Memang kedatangan Sutan ini sudah menurut adat," ujar
Datuk Paduka Raja. "Sungguhpun demikian, kare na sakit Pak
Midun saya lihat masih berat, tidakkah dapat ditangguhkan dulu
sampai sakit beliau ringan sedikit?"
"Sudah sebul an beliau sakit di sini, rasany a sudah patut
kami jemput . Jika lebih lama l agi be liau di sin i, tentu pada
pemandangan orang, ka mi se bagai ti dak meng acuhkan ma mak

kami."
"Benar kata Sutan itu. Bagi sa ya atau pun ibu Juriah tentu
tidak ad a al angannya. K ami tidak ku asa menahannya, karena
sudah menjadi adat kebiasaan kepada kita begitu. Tetapi cobalah Sutan tanyakan dulu kepada Pak Midun, adakah kurang sakit
beliau dan sanggupkah berjalan?"
"Hal itu tidak lah akan menjadi alangan, Mamak. Jika beliau
tidak dapat berjalan, biarlah kami tandu bersama-sama dengan
kursi."
Maka Sutan Menindih masuk ke bilik tempat P ak Midun
sakit, lalu b erkata-katanya, "Saya datang kema ri akan menjemput Mamak. Dapatkah Mamak berjalan atau kami tandu bersama-sama?"
Pak Midun yang sudah kurus kering dan pucat itu membuk a
matanya pe rlahan-lahan. Ia melihat
orang y ang berkata
kepadanya, lalu berkata, "Engkau Midun, anakku?"
"Bukan Mamak, saya Sutan Meni ndih," ujar Sutan Menindih.
"Kami datang kemari akan menjemput Mamak."
"Tidak sampai hati kami melepaskan Mamak Sutan," ujar ibu
Juriah dengan sedih. "Lih atlah, badan nya sudah tinggal kulit
pembalut tulang. Rupany a pucat sebagai kain putih. Ia selalu
mengigau menyebut Midun saja. Jan gankan berjalan, menggerakkan badan ia pun tidak dapat."
"Biarlah kami papah perlahan-lahan ke tandu dan kami pikul
lambat-lambat," ujar Sutan Menindih pula.
Pak Midun melihat sek ali lagi. Setelah nyata kepadanya
bahwa kemenakannya
yang berk ata itu,
maka katany a
perlahan-lahan, "Saya tak dapat berjal an, tak d apat berger ak,
seluruh tubu h say a sakit. Sebab itu sa ya jangan di bawa, saya
tidak suka."
"Kalau begit u Mamak hendak memberi malu kami," ujar
Sutan Menindih. "Tentu kami dibo dohkan dan dihin akan orang,
sebab Mamak kami biarkan sakit di sini."
Pak Midun menutupkan matany a se bagai menahan s akit.
Napasnya turun naik amat de ras, muk anya makin bertambah
pucat. Juriah seg era me rasai kak i ayahnya. Sam bil meminumkan obat, ia pun berkata, "Ibu, ayah pingsan!"
Segala is i ru mah itu cem as menden gar perkataan Juri ah.
Lebih-lebih ibu Juriah, sangat terkej ut mendengar perkataan
anaknya. Dengan segera ia mendekati, lalu meraba-raba badan
Pak Midun. Orang tua itu tidak berdaya lagi. Jika tidak dirasai

dadanya, ta k dap at ti ada o rang menyangka ia s udah mati.


Sudah dua kali ia selap dengan it u; tetapi yang sekali ini payah
benar. Orang di ru mah itu semuanya berdiam diri, seorang pun
tak ada yang berani bergerak, apa pula berkata-kata. Setengah
jam kemudian, Pak Midun membuk akan mat a pula, lalu berkata, "Jika sekiranya akan memberi malu orang Tanjung saya di
sini, baw alah! Tetapi ibu Juri ah me sti men gikut, karena dia
perlu membela saya."
Maka dibuat oranglah sebuah tandu daripad a kursi. Setelah
selesai, P ak Midun diangk at bers ama-sama ke t andu itu. Maka
diusung oranglah ia perlahan-lahan menuju rumah familinya.
Ibu Juriah dan Manjau pergi pula mengiringkan tandu itu. Yan g
tinggal di rumah hanya Juriah dengan mamaknya. Tidak lama
orang itu pe rgi, Juriah berkata kepa da mamaknya, katany a,
"Mamak! Apakah seb abnya Sutan Men indih t adi mengatakan
'memberi malu kalau ayah sakit di sini?"
"Kau rupany a belu m mengerti," ujar Datuk Padu ka Raj a,
"dengarlah saya terangk an! Ad apun ay ahmu itu, menurut kata
adat, 'a bu di atas tunggu l' di rumah kita. Art inya, bila dit iup
angin i a ter bang. Ayah mu adalah o rang sem enda bagi k aum
kita. Jadi ia famili karena perkawinan ibu dan ayah mu. Jikalau
kita tidak suka kepadan ya at au kebalikannya, boleh pergi
sembarang waktu. Oleh seb ab itu, ayah mu ad alah sebagai
orang menumpang di rumah in i. Boleh diusir dan dia pun boleh
pergi bilamana ia suk a. Karena itu tentu Sutan Menindih
mengatakan 'me mberi malu',
mamaknya suka di ru mah
penumpangan."
"Tetapi bukankah ayah s akit di ru mah anak kandung beliau?
Kamilah yan g menyelenggarakan beliau dalam sakit. Lain
perkara kalau kami orang lain, sudah patut ia berkata begitu."
"Dalam hal ini Jur iah tidak dise but-sebut," ujar Datuk
Paduka Raja yang agak tersentak oleh pertanyaan kemenakannya. "Pertanyaanmu itu memang sulit. Menurut kata adat, 'adat
bersendi syar a', syar a' ber sendi ad at.' Artiny a, syar a' dan ad at
kita sandar menyandar atau s ejalan. Jika menu rut syar a',
anaklah yan g diuta makan, tetapi menurut adat, 'k emenakan'.
Jadi hal itu nyatalah sud ah berlawan an. Oleh seb ab itu, say a
sendiri ragu-ragu, entah mana yang benar kedua perkataan itu.
Perasaan say a itu sudah saya perbin cangkan dengan beberapa
penghulu di sini. Banyak mereka yang mengatakan, bahwa anak
dengan bap ak, menurut adat, tak a da pertal iannya. Sebab

orang se menda itu a dalah seba gai orang di selang dari suatu
kaum kepada kau m yan g lain . Sebab itu kemen akan pulan g
kepada mamaknya, tid ak kepada bapaknya. Tetapi menurut
pikiran saya tidakl ah de mikian. P ada hemat saya, anak
itu
pulang kep ada bapaknya. Arti nya bapaknyalah yang haru s
menyelenggarakan anaknya. Begitu pula si anak wajib membela
bapak bilamana pe rlu. Anak it ulah yang lebih dekat kepad a
bapak daripada kemenakan.
Manakala sudah demik ian, suda h se suai deng an kat a ad at:
adat ber sendi syar a' d an syara ' ber sendi adat. Banyak lagi hal
lain yang ber salah-salahan orang me makainya. Mereka melakukan adat itu banyak sesat, agaknya k arena salah pengertian
jua. Bahkan saya sendiri pun ba nyak yang kurang paham, sebab
kurang selidik."
Ketika Datuk Paduka Raja akan mene ruskan perkataanny a
pula, tiba-tiba Manjau berseru di halaman sambil menan gis,
katanya, "Juriah, ayah sudah meninggal!"
Juriah terkejut, lalu menangis amat sedihnya. Ia melompat
hendak pergi melih at ay ahnya, tetapi lekas dipegang mamaknya. Datuk P aduka R aja mengucap, k atanya, "Inna lillahi wa
inna ilaihi raji'un. Tidakk ah sa mpai ay ahmu ke rum ah? Juriah,
jangan menangis juga! Nanti kita sama-sama pergi."
"Tidak," ujar Manjau, "Ke tika orang memikul tandu naik ke
rumah, anak tangga patah. Orang itu terjatuh, ayah pun jatuh
pula. Untung lekas saya sambut. Sungguhpun demikian, sampai
di ru mah ayah pingsan pula. Ti dak la ma bel iau membukakan
mata, lalu memanggil ibu dekat kepada beliau. Entah apa yang
beliau katakan tidaklah saya tahu, sebab ayah berkata berbisik.
Sudah itu ayah menarik napas ... lalu meninggal."
"Jika sekiranya Pak Midun ti dak dibawa, boleh jadi ia
sembuh ke mbali," kat a Datuk P
aduka R aja sendirinya.
"Sekarang apa jadinya, karena takut malu jadi lebih malu l agi.
Tentu pada persangkaan orang Pak Midun tidak mati seajalnya,
melainkan mati jatuh. Jangan-j angan disangka orang sengaj a
dijatuhkan. Sungguh kasihan Pak Midun, boleh jadi juga ia mati
beragan, karena ditinggalkan anaknya Midun. Tentu mereka itu
semua meny esali perbuatannya. Tetapi apa hendak dikatakan:
sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tidak berguna."
Pada har i itu juga Pak Midun dikuburkan dengan selamatnya. Tujuh hari l amanya orang men gaji dan makan minu m di
rumah famili Pak Midun. Waktu meniga hari dan menujuh hari

diadakan ken duri be sar, mendoakan supaya arwah Pak Midun


dilapangkan Allah di dal am kubu r. Tidak sedikit uang habis
untuk penyelamatkan si mati itu. Oleh famili P ak Midun, tak
kayu jenjang dikep ing, y ang tid ak ada, dia dakan. Dua tump ak
sawah tergadai untuk memenuhi k eperluan itu . Ibu Juriah
dalam tujuh hari itu bekerja ke ras di rumah ip arnya. Tidak
sedikit jua ia men ghentikan tangan, karena jamu tidak berkeputusan dan sel alu makan minum. Setelah sudah menujuh
hari, barulah ibu Juriah dan anaknya pulang.
Sehari sesudah menujuh h ari, Sutan Menindih dan beberapa
orang sau daranya dat ang ke ru mah Ibu Juriah. Setelah sudah
makan minu m, dan setelah dianjurk annya dengan perkataan
yang panj ang lebar, Sutan Menind ih be rkata, "Ibu, s aya har ap
Ibu j angan gu sar d an j angan p ula b erkecil ha ti. Ke datangan
kami ke mari ini, ial ah menurut sepanjang adat, yaitu akan
mengambil harta peninggalan mamak kami."
"Benar, Suta n," ujar ibu Juriah, "teta pi ap alah peninggalan
mamak Sutan. Uang tak ada, hanya pakaiannyalah yang ada."
"Ah, rupany a Ibu bersembunyi di balik lalang sehel ai. Yan g
terang saj a hak kami, sawah dan huma. Bukank ah itu mamak
saya yang membeli dan peninggalan beliau?"
Mendengar perkataan itu ibu Juriah sangat terkejut. Lebihlebih Manjau , merah muk anya karena menahan marah. Maka
ibu Juriah berkata pula, katanya, "Itu jangan Sutan sebutsebut, seb ab pencah arian kam i ber dua. Be rdikit-dikit ka mi
menyimpan uang; setel ah agak bany ak kami bel ikan tan ah
untuk kami usahakan. P endeknya, yang Sutan sebutkan itu
usaha kami berdua, yang sudah kami untukkan bagi anak kami.
Pak Midun sendiri sudah mengatak an waktu ia hidup, bahwa
segala pencahariannya diuntukkannya kepada anak-anaknya."
"Biar ba gaimana juapun kete rangan Ibu, kami maklu m
bahwa tanah itu pusaka ma mak kami. Kami berh ak mengambil
bilamana ka mi sukai. Jadilah, jik a benar su dah diuntukkan
mamak kami bagi anaknya, mana keterangannya?"
"Keterangan tentu tidak ada," uj
ar ibu Juriah sebagai
kehilangan akal.
"Sekarang begini saja, Ibu ! Kalau k ita bertengkar j uga, kesudahannya menjadikan perselisihan. Fae dahnya tidak ad a,
melainkan kita beran ak b apak putu s-putus. Sebab itu Ibu bertanyalah kepada Mamak Datuk Pa duka Raja. Ibu terangkanl ah
kepada bel iau kedatangan kami ke mari. Kami be rhak men g-

ambil harta pusaka mamak kami bilamana saja. Kalau Ibu berkeras juga, tentu kami terpaksa minta tolong kepada Penghulu
Kepala yang memerintah kampung ini. Sekianlah, kami hendak
pulang dulu."
Baru saja habis Sutan Menindih berkat a, kedengaran oran g
batuk di h alaman. Orang itu ia lah Datu k Paduka R aja. Setelah
naik ke rumah, ia pun berkata, katanya, "Sudah lama Sutan
datang?"
"Lama juga, Mamak," u jar Su tan M enindih. "Dari mana
Mamak tadi?"
"Dari pasar, sudah rapat dengan Tuan Kemendur."
"O, ya, saya lihat tadi pagi banyak benar penghulu-penghulu
ke pasar."
Demikianlah percakapan mereka itu , hingga habis rokok
sebatang seorang. Juriah meletakkan kopi dan penganan untuk
mamaknya dan jamu itu. Sesudah minum kopi, Sutan Menindih
pun berkata, katanya, "M amak! Seben arnya ked atangan ka mi
ini, ada sesuatu hajat y ang besa r jua . T adi s udah saya b icarakan juga dengan ibu, tetapi be lum lagi putus percakapan kami.
Sekarang kebetulan Mamak datan g, jadi lebih baik lagi. Biarlah
saya ulang sekali lagi, apa maksud saya datang kemari ini."
"Baik, Sutan, katakanlah apa yang ter asa di h ati, terkalang
di mata, supaya sama kita dengar!"
"Kedatangan saya kemari, ialah menurut adat yan g sudah
dilazimkan jua. Karena mamak saya Pak Midun sudah meninggal
dunia, say a sebagai seoran g kemenakan dari beliau, tentu
menuntut hak kami. Sebab itu ha raplah saya, Mamak izinkan
dan tunjukkan mana- mana yang har us sa ya ambil ha rta
peninggalan mamak saya."
"Benar kata Sutan itu. M emang kedatangan Sutan sudah
menurut adat sebab pusaka tu run kepada kemenak an. Tentu
saja Sut an kemari in i s udah se izin Datuk Raja Bendah ara
mamak Sutan, akan
menuntut hak Sutan itu.
Ben arkah
demikian?"
"Betul, Mamak! Memang sudah sepakat dengan beliau. Jik a
tidak seiz in beliau, tentu saya ti dak bera ni kema ri. M amak
Datuk Raja Bendahar a sudah menerangkan kepada saya, man amana pu saka peninggal an mam ak say a. Oleh sebab itu M amak
izinkanlah saya mengambil harta pusaka saya itu."
"Baiklah, Sutan! Hak milik Su tan itu tidak akan k e mana.
Tapi saya harap Sutan j angan te rburu nafsu benar. Saya minta

kepada Sutan, hal in i jangan mendatangkan y ang kurang ba ik


antara kedua pihak. Sebab itu baiklah kita bicarak an dengan
tenang, supaya selamat kesudahannya."
"Baik Mamak ! Tapi saya rasa tentu tidak ak an demik ian
jadinya, sebab yang say a ketengahk an ini, menurut adat di
Minangkabau ini."
"Benar, benar, Sutan! Jadila h, menurut pemandangan Sutan
apaapakah peninggalan Mamak Sutan itu?"
"Hal ini tent u M amak sudah m aklum, yaitu tanah, misalnya
huma dan tanah peruntahan ini serta sawah."
"Ini betul, tapi Sutan jangan pula lupa, bahwa menurut yang
saya ket ahui, segal a tanah ya ng dibeli Pak Midun, ialah
pencahariannya dua laki istri. Lagi pula tadi Sutan mengatakan,
hendak mengambil rumah ini. Ja di rumahnya bagaimana? Akan
Sutan suruh angkatkah ke pada kami?" ujar Datuk Paduka Raja
agak gusar, sebab mendengar perkataan Sutan Menindih itu.
"Itu pulang maklum kepada M amak. B agi s aya, mana yang
hak saya tentu saya ambil.
Mamak mengat akan pencaha rian
berdua. Itu kata Mamak, kata saya t entu tidak begitu. Bagi
kami ada alasan, bahwa segala tanah itu kami yang punya."
"Kalau begitu tentu mendatangkan yang kurang baik, Sutan!"
kata Datuk P aduka Raja dengan sabar pula. "Saya h arap dalam
hal ini hendaklah sebagai menghela
rambut dal am tepung.
Rambut j angan putus, tepung jangan terser ak. Artinya Sutan
beranak bapak jangan berputus-p utus karena itu. Jik a Sutan
sekeras itu benar hendak mengambil hak milik Sutan, bersalahsalahan den gan be berapa per ibahasa orang k ita, yan g
menunjukkan kasih sayang kaum
Sutan kepada anaknya.
Bukankah ada menurut k ata peri bahasa, misalnya: Ba' l alo' di
rumah bak i* (Sebagai t idur di rumah saudara ayah yang perempuan,
maksudnya enak dan bebas, sehingga t idak sadar hari t elah t inggi, karena
senangnya t idur. Jadi t ak dapat t iada anak di rumah bako it u amat dimanj akan
dan disenangkan ol eh saudara-saudara ayahnya yang perempuan) dan anak
berpisau tajam, bako b adagieng taba* (Anak berpisau t aj am, saudara
ayah yang perempuan berdaging t ebal. Art inya: anak bebas mengambil apa
yang dikehendakinya at as hart a benda bakonya. Jadi anak it u sebebasbebasnya: boleh berbuat semau-maunya asal t idak melanggar t ert ib sopan
sant un di dalam pergaulan umum)

Nah, menilik art i kedu a peri bahasa itu, sampai hatik ah


Sutan meny uruh mengangkat rumah ini kepada Juriah dan
Maninjau? Ak an Sutan usirkah me reka itu beru mah tangga di
tanah ini? Di manak ah lagi tin ggalnya sifat'bako' yang pemurah

kepada anak, seperti yang


' dinyat akan oleh kedua peribahasa itu? Cobalah Sutan
renungkan dan pik irkan dalam-dalam hal
ini.-Sepatutnya,
setelah Pak Midun meninggal, Sutan dengan
famili Sutan
menaruh belas kasihan sedikit kepada anaknya. Tetapi sekarang
demikian, tentu mereka itu: sudah jatuh ditimpa tangga pula."
Mendengar k eterangan Datuk Paduka Raja, terbenar pula
pada hat i S utan Menindih. La ma ia termenung memikirk an
perkataan mamak Juriah itu. Tetapi k arena ia diasut orang, ia
pun berkata, "Sungguhpun demik ian, saya terpak sa meminta
hak saya juga, Mamak!"
"Sekarang beginil ah, Sutan! Bi arlah hal ini saya bicarakan
dengan mamak Sutan, Datuk Raja Bendahara. Sebab itu
pulanglah Sutan dahulu! Dalam sepekan ini,
tentu akan
mendengar bagaimana putusannya."
.
"Jika demikian baiklah, Mamak bicarakanlah dengan mamak
saya. Saya mohon pulang dulu, Mamak!"
"Baiklah! Lebih baik
kami sama-s ama penghulu
menyelesaikan perkara ini."
Sepeninggal Sutan Menindih, Da tuk Paduka Raj a tidak bersenang h ati atas kedat angan kemenakan Pak
Midun itu.
Menurut piki rannya, ibu Juri ah dengan anak- anaknya ada
berhak jug a mener ima pusaka itu. Karena pus aka itu tid ak
sedikit har ganya, i a berjanji dengan
dirinya aka n
menyelesaikan perkara itu selekaslekasnya. Maka Datuk Paduka
Raja be rkata dal am ha tinya, "K alau dilalai-lal aikan boleh
mendatangkan bahaya. Se kalipun rug i mengadakan rapat adat
untuk menimban g hal ini, apa boleh buat. Jika say a t idak
bersenang h ati mendengar putusan rapat
adat, biar saya
jadikan perk ara. Bilaman a su dah put usan peme rintah saya
kalah, sudah puas hati saya . Di sana nanti t
entu hitam
putihnya."
Maka ia pun pergi mendapatkan Dat uk Raja Ben dahara,
penghulu; kaum Sutan Menindih, akan memperbin cangkan hal
itu. Setelah putus mufakat kedua penghulu itu , seminggu
kemudian d iadakanlah ra pat ad at. R apat itu dik epalai oleh
Datuk Seri Maharaja, karena dalam hal adat dialah pucuk bulat,
urat tunggang di negeri itu. Di antara segala penghulu, bangsa
kaum Datuk Seri Maharaja itu sama tinggi dengan bangsa kaum
Tuanku Laras, di b awahnya ba ru Dat uk Paduka R aja. Ada 30
orang pengh ulu yang ternama ra pat hari itu. Sesudah minu m

makan, rapat adat pun dimulai. Maka Datuk Maharaja berkat a,


katanya, "Datuk Paduka Raja! Kami sudah hadir se
mua,
ketengahkanlah ap a yan g tera sa di h ati, terk alang di m ata
maka D atuk mengad akan rapat in i, supaya b oleh kami pe rtimbangkan!"
Datuk Paduka Raja lalu menera ngkan duduknya pusaka yang
ditinggalkan Pak Midun. Bagaimana penghidupan Pak Midun laki
istri sejak mulai kaw in dicerit akannya dengan pan jang lebar.
Kemudian diterangkannya pula pendakwaan orang Tanjung
hendak merebut pusaka itu.
Setelah berk ata pula, k atanya, "Penghulu seadat, Tuanku
('alim) sekit ab. Datuk sendiri sudah maklum, bahw a di Alam
Minangkabau ini pusaka turun kepada ke menakan. Bukannya
dia, melainkan Datuk sendiri rupanya yang mendak wa, padahal
Datuk sudah mengetahui. Sungguh heran, saya kuran g mengerti
dalam hal in i. Orang Tan jung it u sek ali-kali t idak merebut,
melainkan mereka berhak mengambil pusak a kau mnya yan g
telah meninggal."
"Benar kat a Datuk itu," ujar Datuk Paduka Raja. "Tetapi
lupakah Datuk akan kata adat: Harta pembawaan pulang, harta
tepatan tinggal, harta
suarang (pencaharian) dibagi? Dan
sebuah lagi menurut kata adat: adat bersendi syara' dan syara'
bersendi adat?
Menilik kedua kata adat itu, nyatalah bahwa anak Pak Midun
berhak pula menerima pusaka bapaknya itu. Harta itu ialah
harta pen cahariannya du a laki istri, sebab itu h arus dibagi.
Saya tahu benar bagaimana pengh idupan mereka itu sej ak
mulai kawin. Menurut pengetahuan saya, sesen pun tak ada Pak
Midun membawa h arta orang Tanjung. Dan menurut kata adat
yang saya sebutkan, kemudian tadi, mesti pusaka itu dibe rikan
kepada anak nya. Jik a t idak, tentu tidak sendi- menyendi lagi
adat dengan syara'. Sekianlah permohonan saya. Saya berharap
segala perka taan say a it u, moga- moga menjad i p ertimbangan
hendaknya kepada kerapatan yang hadir."
Kerapatan it u tenang, m asing-masing me mikirkan ma salah
itu. Termasu k pada p ikiran me reka akan kebenar an perkata an
Datuk Paduka Raja. Dalam pada itu berkatalah D
atuk Raja
Bendahara, k atanya, "Kat a adat menurut yang Dat uk katakan
itu, memang sebenarnya. Penghulu tidaklah akan lu pa sekalian
itu, sebab sudah pakaiannya. Seseorang penghulu jika lupa atau
tidak tahu selukbeluk adat, tentu sia-sia ia dijadikan penghulu.

Bagi saya, sebagai s eorang fa mili da ri Pak M idun, mengetahui


bahwa harta Pak Midun itu masuk harta pembaw aan, sekali-kali
tidak ha rta suar ang. K eterangan s aya itu d ikuatkan oleh
beberapa or ang sak si. Bilamana perl u, boleh say a unjukkan
saksi itu, bahwa harta pusaka Pak M idun itu hak milik orang
Tanjung."
Maka kerapatan itu pun rama ilah membicarakan bagaimana
duduk pusaka itu dan ke mana jatuhnya. Ada kira- kira dua jam
kerapatan it u menimban g, dan men geluarkan buah pikiran
masingmasing. Melihat kepada keadaan rapat itu, nyata ad a
berudang di balik batu yang dat angnya dar i seseorang yan g
berkuasa di kampung itu. Begi tu pul a meng ingat penjawaban
saksi-saksi yang kurang
terang itu untuk mempertahankan
keterangan D atuk Raja Bendahara, ta mpak nyata bahwa saksisaksi itu dicari dan diup ah. Kesudah annya mak a diputuskan
bahwa pusak a itu dijatuh kan kepada kemenakan Pak Midun.
Setelah itu rapat
adat l alu ditutup, dan orang pulang ke
rumahnya masing-masing.
Sungguhpun rapat adat di ne geri itu sudah memutuskan
demikian, tetapi Datuk Paduka Raja belum lagi bersenang hat i.
Maka i a pun membawa pe rkara itu kep ada H akim P emerintah.
Dimintanya kepada Tuanku Laras, supaya perkara itu dibawa ke
Bukittinggi, baik pih ak anak, baik pu n kemenakan sama-sama
memakai pokrol.
Beberapa hari
perkara itu dit
imbang d i Landraad,
kesudahannya menan g juga di ke menakan. Tetapi kemenakan
itu hanya menerima kurang dari seperem pat pusa ka itu lagi ,
sebab sudah habis untuk pembayar ongkos pokrol.
Ibu Juriah dengan anak -anaknya ter paksa me mindahkan
rumahnya ke tanah kau mnya sendiri. Dua bulan kemudian
daripada itu, Ibu Juriah terkenang akan pesan Pak Midun waktu
akan meninggal dunia. M aka disuruhnyalah familinya ke rumah
orang tua Maun akan menanyak
an kalau-kalau Maun mau
beristri. Pesan Pak Midun yang mengatakan bahwa Juriah harus
dipersuamikan dengan Maun, dikat akannya pula. Hal itu pun
disampaikan ibu Maun kepada anaknya. Maun den gan segal a
suka h ati menerima p ermintaan ibu Jur iah. Tidak s aja
mengingat p ersahabatannya dengan Midun, tetapi ia sendiri
memang sudah lama bercintak an Juriah. Hati Maun sangat
tertarik melihat rupa dan ting kah laku Juriah yang hampir
bersamaan dengan Midun, sahabatnya yang karib itu. Seminggu

kemudian, maka perkawinan itu dilangsungkan dengan selamatnya. Maka Maun dan Juriah menjadi suami istri, hidup berkasihkasihan setiap hari.
Manjau kerjanya hilir mudik sa ja di kampung t iap-tiap hari.
Akan bek erja, tidak ada pekerjaan y ang akan dikerjakannya.
Hatinya tidak senang lagi tinggal di kampung itu. Amat sedih ia
memikirkan peninggalan bapaknya diambil or ang sama sekali.
Usikan P enghulu Kepala Kacak pun h ampir-hampir tidak tertahan lagi olehnya. Maka dipu tuskannya pik irannya, lalu ia
pergi men inggalkan k ampung, berjala n ke neger i orang membawa untung nasibnya.

14. Bahagia

SEBERMULA rupanya perkataan Syekh Abdullah al-Hadramut


"hendak mengadukan" Midun itu ti adalah gertaknya saja. Tiada
berapa lama antaranya
Midun sudah terpanggil ke muka
pengadilan. Bag aimana juga Midun menerangkan bahwa
uangnya tidak sebanyak itu yang tertulis di atas surat utang itu,
hakim tidak dapat membenarkannya, sebab tidak ada saksi atau
buktinya. Ha kim menjatuhkan hukum an, ia me sti me mbayar
utang yang f 500,- itu, ta mbah ongkos-ongkos perkara kira-kira
f 35,-.
Beberapa lamanya sesudah putusan itu, Syekh
Abdullah
datang mendapatkan Midun. Di tagihnya dengan lemah lembut.
Tetapi M idun, karena ia sudah tertipu itu sudah menetapkan
niatnya t idak akan membayar ut angnya itu. Dia tidak t ahu
betapa kekuatan acce ptatie itu. Dia belum menden gar, bahwa
orang yang berutang itu, boleh dit ahan di dalam penjara.
Dalam pada itu Syekh Abdullah ti dak putus-putusnya membujuk
Midun. Demi dilihatnya Midun tidak mau me mbayar, dan pada
sangkanya Midun tidak sanggup membayar, ketika itulah
hendak disampaikannya cit a-citanya yang
selama in i dikandungnya.
Kalau dapat Midun mengu sahakan Halimah, yang disangk akan oleh Sy ekh Abdullah istr i Midu n menjadi istri Syekh
Abdullah, maka segala uang Midun akan dilun askannya. Mendengar perk ataan Syekh Abdullah demikian itu, naiklah darah
Midun, lalu orang Arab itu diusirnya sebagai anjing. Orang Arab
itu pun pergilah dengan mengandun g niat yang jahat akan
melepaskan sakit hatinya.
Tidak berapa lamanya sesudah itu, datanglah deu rwaarder
dengan polisi mengambil Midun, meng antarkannya ke penjara.
Walaupun Midun tidak
mengerti be tul, apa se babnya ia
dipenjarakan, perintah it u terpak sa juga d iturutnya. Setelah
beberapa lamanya Midun dipenjar akan, datanglah pula or ang
Arab itu membujuknya, tetapi itu pun tidak berhasil juga.
Sudah dua-tiga kal i ia dat ang membujuk Midun ke penjara,
dengan halus budi bahasanya, tetapi dibalas Midun dengan maki
dan nista jua. Ia mau terkurung selama hidupnya, asal j angan
karena dia Halimah terserah kepada orang Arab mata keranjang

itu. Akhirnya Syekh Abdullah datan


g sendiri mendapatkan
perempuan yang sangat diharapk annya itu. Setelah dibujuknya
dengan lemah lembut, tetapi tiada berhasil
juga, mak a
akhirnya digertaknya, bahwa Midun sekarang di bawah kekuasaannya dan terpenjara di bui Glodok.
"Selama Mid un tidak s anggup membayar utangny a kepad a
saya," kat a orang Ar ab itu, "dia ak an saya t ahan juga dal am
penjara itu, dan Nen g boleh menantik an laki y ang dirin dukan
itu sampai t umbuh uban di kepal a Neng. Tetapi sebaliknya,
jikalau Neng mau mengabulkan permintaanku itu, segera ia
kukeluarkan dari bui."
Mendengar perkataan yang de mikian, Halimah pun marah,
dan Arab itu diusirnya. Tetapi sepeninggal orang Arab itu,
sangatlah susah hatinya memikirkan Midun terpenjara itu. Maka
dibuatnyalah mufakat de ngan ayahnya akan me mbayar utang
Midun itu. Segala baran g perhiasanny a dijualnya untuk melepaskan kek asihnya dar i penjara. Mak a perg ilah i a ke Betawi
dengan bapaknya, tetapi sebab Midun send iri ad a mempunyai
uang f 500,- tidak se berapa ia menambah untuk membay ar
utang itu.
Mulanya Midun tak mau sedik it juga membayar.utangnya
itu. Tetapi setelah dimufakat i dengan panjan g lebar dan
setelah men dengarkan bujukan Halimah, diturut nya jugalah
kehendak kekasihnya. Tetapi pe rmintaan Halimah dan ayahnya
supaya ia pergi bers ama-sama ke Bogor, tidak diperken ankannya. Sebabnya ialah karena dia hendak mencari penghidupan yang lebih sempurna di Betawi.
Selama Midu n dalam penjara itu, ada seorang
hukuman
bekas orang yang bersek olah juga, yang mengaj arkan menulis
dan mem baca dan
menceritakan berbaga i-bagai ilmu
pengetahuan, sehingga ba
nyaklah tokok tambahny
a
pengetahuan Midun selama dalam penjara itu. Oran g itu Mas
Sumarto nam anya. Ketika ia akan meninggalkan bui itu, maka
ditemuinyalah orang itu. Sesudah mengucapk an terima kasih
atas na sihat-nasihat dan kesudi an Mas Sumarto m engajarnya
menulis dan membaca selama dalam bui, Midun memberi
selamat tinggal kepada gurunya itu.
Ia berjalan ke luar bu i, lalu naik trem yan g hendak ke
Kramat. Sudah dua bulan ia di
dalam bui, tak ada ubahnya
sebagai burung di dal am sangk ar. Sekarang dapat pula ia
melepaskan pemand angannya kian kemari, mel ihat-lihat kota

Betawi yang indah itu. Amat lega hati Midun masa itu, dadanya
lapang, pik irannya senan g. Samp ai d i Kra mat i a pergi ke
Kwitang, ke rumah tempatnya membayar makan dahulu. Induk
semangnya h eran mel ihat kedatangan nya itu, karena dengan
tidak berkata sepatah j ua Midun p ergi, sekarang tib a-tiba
datang pula kembali. Setelah mereka itu duduk lalu diceritakan
Midun nasibn ya sel ama meninggalkan rumah itu . Mendengar
ceritanya itu , mereka be las ka sihan dan menasih ati Midun,
menyuruh in gat-ingat menjaga diri y ang akan d atang. Maka ia
pun tinggal pula di sana membayar makan.
Pada pet ang hari Midun pergi berj alan-jalan. Sampai di
Pasar Senen, ia bertemu dengan Salekan, temannya sama-sama
berkedai dahulu.
"Ke mana engkau, Midun? " ujar S alekan. "Sudah lama saya
tidak melihat engkau."
"Ah, saya pergi bertapa dua bulan ke Glodok," ujar Midun.
"Bertapa ba gaimana? C eritakanlah kepada
saya yang
sebenar-benarnya saja, Midun."
"Baik, engkau tidak berkedai hari ini?"
"Tidak, sudah dua hari dengan sekarang. Saya hendak tempo
dulu barang seminggu ini, karena ada urusan sedikit."
"Kalau begitu, marilah kita ke Pasar Baru! Saya ingin hendak
makan nasi goreng, sebab sudah du a bulan t idak men gecap
makanan itu. Nanti di jalan saya ceritakan pertapaan saya yang
dua bulan itu kepadamu."
"Baiklah."
Sepanjang j alan dicerit akanlah oleh Midun, bagaimana
halnya yang dua bulan itu. Dalam mereka asyik bercerita, tibatiba ke dengaran olehnya o rang be rseru, " Awas, se rdadu
mengamuk! Lekas lari!"
Midun terkej ut, lalu melihat ke sana kemari. Wak tu itu ia
sudah sampai dekat pint u masuk ke Pasar Baru. Temanny a,
Salekan, baru saja mendengar suara orang menyu ruh lari, ia
sudah membuat langkah seribu. Sekonyong-konyong kelihatan
oleh M idun seor ang serdadu me megang sebuah pisau y ang
datangnya dari arah Kemayoran. Mana yang dapat, apalagi
orang yang mengal angi, terus saja diamuknya. Serdadu itu
terus juga lari mengej ar seorang sinyo yang baru berumur 12
atau 13 tah un. Sinyo itu sudah payah, napasnya turun naik,
agaknya sudah lama ia dikejar serdadu itu. Ha mpir s aja ia
dapat kena tikam, karen a tida k j auh lagi ant aranya. Midu n

tidak berp ikir lagi, ser aya berkat a, "Jangan lari, Sin yo, berdiri
saja di belakang saya!"
Baru saja sinyo itu men dengar suara M idun, ia b erhenti.
Memang ia h ampir tak ku at lagi be rlari, seb ab su dah payah.
Sambil terengah-engah, s inyo itu pun berkata, "Tolong s aya,
Bang, dia hendak menikam saya."
Setelah dekat, Midun melompat men angkap pisau serdadu
itu. Maka kedua mereka itu pun berkelahi, di tengah jalan itu.
Setelah pisau serdadu it u dapat oleh Midun, lal u dilemparkannya, seraya berkata, katanya, "Ambil pisau itu, Sinyo!"
Ketika pisau itu tak ada lagi , serdadu itu pun menyerang
Midun dengan garangnya. Teta pi dengan mudah Midun dapat
menyalahkan serangannya. Midun melepask
an kekuatanny a
pula. T idak la ma a ntaranya, i a pun dapat menangkap serdadu
itu: Midun berkata pula, " Sinyo, coba ambil ikat pinggang saya
pengikatnya!"
"Ini ada ik at pinggang saya, Bang," uj ar s inyo sambil me mberikan ikat pinggangnya. Seka liannya terjadi dalam beberapa
saat saja.
Setelah serdadu itu diik at Midun, maka
opas pun berlompatan akan menangkapnya. Ketika ia akan dibawa ke kantor
Commissaris, sinyo be rkata, "Tak usa h dibawa ke sana. I kut
saya saja!"
Maka serdadu itu pun dibawa oleh sinyo itu kepada sebu ah
gedung yang tidak berapa jauhny a dari sana, diiringkan oleh
orang banyak yang berkerumun sesudah si pen
gamuk itu
tertangkap. Setelah samp ai, siny o terus saja m asuk ke dalam.
Kemudian ia ke luar bersama dengan seorang tuan.
Adapun tuan itu ialah Hoofdcom missaris, bap ak si nyo yang
ditolong Midun itu. Di muka ba pak dan ibuny a, diterangkanl ah
oleh siny o itu baga imana ha lnya dengan serdadu yang
mengamuk itu. Nyonya H oofdcommissaris menjerit menden gar
cerita anaknya yang sangat ngeri itu. Tetapi ia bergirang hati,
karena anaknya terlep as d ari bahaya. Demikian pula
Hoofdcommissaris, a mat senang hat inya kepada Midun yang
menolong an aknya itu. Hoofdc ommissaris menelpon, dan tidak
lama ant aranya datangl ah beberapa orang pol itie-opziener
akan membawa serdadu yang mengamuk itu.
"Saya ucap kan banyak -banyak ter ima kas ih karena
keberanianmu menolon g anak sa ya di dalam bahaya," ujar
Hoofdcommissaris kepada Midun.

"Terima kasih kembali, Tuan!" jawab M idun dengan hormatnya.


"Siapa namamu?"
"Nama saya Midun."
"Negerimu di mana?"
"Negeri saya di Padang."
"Apa kerjamu di sini?"
"Tidak bekerja, Tuan!" Maka Midun pun menceritakan nasibnya kepada Hoof dcommissaris, sejak mulai sampai ke Betaw i.
Mendengar cerita Midun, tuan dan
nyonya itu amat belas
kasihan. Ke mudian Ho ofdcommissaris berk ata p ula, "Kamu
pandai menulis?"
"Pandai, Tuan."
"Baiklah. Besok kamu dat ang ke k antor saya pukul 8 betul,
ya!"
"Baik, Tuan."
"Sekarang kamu boleh pulang . Jangan lupa, besok mest i
datang di kantor saya."
"Ya, Tuan."
Midun keluar dari gedun g itu. Orang banyak yan
g ber kerumun mel ihat Midun, mengirin gkannya dari bel akang. Berbagai-bagailah pertanyaan orang kepa danya. Midun am at malu
diiringkan orang banyak, lalu ia naik bendi ke Pasar Baru.
Sampai di situ terus masuk ke kedai orang menjual nasi goreng.
Di tempat itu lain tidak yang didengar Midun, percakapan orang
tentang serdadu mengamuk itu saja. Tetapi Midun berdiam diri
saja; sesudah mak an na si goreng, ia naik bendi pulang k
e
Kwitang.
Di atas bend i Midun berk ata dalam h atinya, "Apa pulakah
yang akan t erjadi atas diri saya besok pag i? Cel aka pulak ah
yang akan d atang, se bab saya menangkap s erdadu? T ak b oleh
jadi, serdadu itu tak ada yang bercela badannya oleh saya. Lagi
pula mendengar perkataan Hoofdcommissaris, tak mungkin saya
akan dihuku m karen a itu . Tak dap at tiada, sinyo anaknya itu
tidak akan membiarkan saya, karena saya menolongnya."
Sampai di Kw itang, induk semangnya bertanya pula tentang
orang meng amuk di Pas ar Baru , kalau- kalau Midun mendengar
kabar itu. T etapi M idun mene rangkan pura-pura tidak tahu
saja, karena ia ke Meester, katanya.
Pada keesok an harinya pagi-pagi Midun sudah bangun.
Sesudah sembahyang dan minum kopi, maka ia pun berpakaian.

Kira-kira pukul 7 Midun berangkat dari ru mahnya menuju ke


kantor Hoofdcommissaris. Baru saj a ia sampai, datang seorang
politieopziener mendekatinya.
"Kamu yang bernama Midun?" ka ta politie-opz iener. "Saya,
Tuan!" ujar Midun.
Midun dib awa masuk ke dalam sebuah kamar y ang terasing
letaknya di kantor itu. Tiba-t iba kel ihatan oleh Midun, tuan
yang menyuruhnya datang kemarin itu.
"Tabik, Midun, ada baik?" kata Hoofdcommissaris.
"Baik juga, Tuan," ujar.Midun dengan sopannya.
"Kemarin kamu katakan, kamu tidak bekerja. Mau kamu
bekerja di sini?"
"Kalau Tuan mau mener ima say a, dengan segala suka hati
saya terima."
"Baiklah. Sekarang boleh Midun mulai bekerja."
Setelah Ho ofdcommissaris berc akap b eberapa lam anya di
telepon, Midun dibawa k e dalam sebuah ka mar be sar. Di si tu
dilihatnya amat banyak orang bekerja. Maka Midun pun mulailah bekerja sebagai juru tulis di kantor Hoofdcommissaris.
Dengan raj in dan sun gguh Midun bek erja di k antor itu. Di
dalam dua bulan saj a, su dah kelihat an kecakapan nya bekerja.
Ia selalu hati-hati dan hemat da lam pekerjaannya. Tidak lama
Midun disuruh mengambil pekerjaan matamata. Sebabnya
ialah karena masa itu amat banyak penggelapan candu.
Di dalam pekerjaan itu
pun Midun sangat pandai. Tidak
sedikit ia dapat men angkap candu gelap. Pandai benar ia menjelmakan diri akan mengintip orang membawa candu gelap itu.
Bermacam-macam ikhtiar dijalankannya. Kadang-kadang w aktu
kapal masuk pelabuhan, ia menjadi kuli, turut mengangkat
barang da ri anggar ke stasiun. Bahkan kuli-kuli it u dapat pula
dipikatnya dengan me njanjikan persen, man akala dapat
menunjukkan orang yang membawa candu gelap. Ada yang ditangkap Midu n candu itu di perut perempuan oran g Tiongh oa
yang pura-pu ra hamil. Padahal sebenarnya candu gelap yang
dibalutnya dengan k ain di perutny a itu. Ada pula y
ang
ditangkapnya dalam perb an kaki or ang, yang pura-pura sak it
kaki. Pendeknya, di dalam hal
yang sulit-sul it, yang tak
mungkin pada perasaan orang ca ndu itu ditaruhn ya di sana,
dapat ditangkap Midun.
Enam bul an Midun bekerj a, nyatal ah kepada or ang di at as
akan kecakapannya dalam pekerjaannya. Maka ia pun diangkat

menjadi me nteri poli si di Tanjung Priok. Seir ing denga n


keangkatannya itu, ia mendapat anugerah pula dari pemerintah
beberapa rib u rupiah. Uang itu ialah persen dari candu yang
sudah ditan gkapnya. Ber linang-linang air mata M idun sebab
suka, waktu menerima uang
sekian itu. Tidak disangkasangkanya ia akan mendapat uang sebanyak itu. Segala uang itu
dimasukkannya ke bank.
Karena suka dan girang amat sangat mendapat u ang dan
menerima an gkatan itu, Midun segera menulis surat ke Bogor
kepada ayah Hali mah. Maka diny atakannya h asratnya yan g
selama in i dikandungnya. Mid un takut Halimah yang sangat
dikasihinya itu akan dapat ben
cana. Sebab
itu hendak
disegerakannya supaya ia menjadi suami istri dengan gadis itu.
Demikian bunyi surat Midun kepada Halimah:
Weltevreden, 9 Desember 19..
Kekasihku Halimah!
Berkat doa Adinda yang makbul jua, kakanda
sekarang
sudah menjadi menteri polisi di Tanju ng Priok. Ole h sebab itu,
saat in ilah y ang seb aik-baiknya untuk melangsungkan cita- cita
kita yang selama irii. Bersamaan dengan surat in i ada kakan da
kirim su rat kepada b apak, yang i sinya menyat akan has rat
kakanda itu. Di dalam surat itu kakanda sert akan pula uang
banyaknya f 400,- untuk belanja perkawinan kita.
Pada t angga115 Dese mber ini k akanda perlop, la manya 1 4
hari. W aktu itulah k akanda dati ng kemari. Unt uk keperluan
Adinda, kak anda baw a bersa ma kak anda nanti. Bag aimana
permufakatan bapak dan Halimah, kakanda menurut. Sehingga
inilah dulu, nanti seminggu lagi sambungannya.
Peluk cium kakanda,
MIDUN
Midun dapat perlop, lamanya
14 h ari. Beserta dengan
beberapa or ang kaw an dari Betawi, ia pun be rangkatlah ke
Bogor. Sampai di Bogor, didapatinya ayah Halimah sudah siap.
Di muka ru mah sudah terdiri sebuah dangau-dan gau besar,
dihiasi dengan bagu
snya. Or ang sedang sibuk bekerja,

mengerjakan ini itu mana yang perlu. Rupanya per kawinan itu
akan dilangsungkan ay ah Halimah den gan peralat an yang agak
besar, sebab hanyalah Halimah anaknya yang perempuan.
Kedatangan Midun diterima ay ah Halimah dengan segala
suka h ati. M aka Midun pun me nceritakan halnya sejak keluar
dari bui sa mpai menjad i menter i po lisi di ha dapan Halimah,
ayahnya dan beberapa orang lain famili mereka itu. Segala
yang mendengar cerita Midun itu amat bergirang h ati. Lebihlebih Halimah, karena bakal suaminy a sudah menjadi ambtenar
pula.
Tiga har i kemudian, per kawinan Midun dan Halimah dilangsungkan. Dua hari du a mal am diadakan peralatan, sangat
ramai, karen a banyak sahabat kenal an ayah Hal imah hadir
dalam peralatan itu. Begitu pula sahabat kenalan Midun banyak
datang dari Betawi.
Dengan tidak kurang su atu apa, selesailah peralat an itu.
Setelah seminggu Midun tinggal bersama mertuanya, ia pun
berangkat ke Betawi. Ayah, ibu tiri, d an beberapa orang famili
Halimah turu t ... mengan tarkannya ke Tanjung Priok: Midun
memang sud ah si ap den gan sebu ah rumah yang sederhan a,
cukup dengan perkak asnya, bak al mereka itu tinggal dua laki
istri. M aka t inggallah mereka sua mi i stri di rumah itu, hidup
selalu dalam berkasih-kasihan, se ia sekata dan turut-menurut
dalam segala hal. Demikianlah pergaulan mereka itu dari sehari
ke sehari.
Midun sudah bekerja sebagai menteri polisi. Namanya
termasyhur di Tanjung P riok. Baik ku li baik pun t idak, amat
segan dan t akut kepada menteri polisi Midun. Polisi orang
Melayu atau pun Belanda segan pula kepadanya. Sebabnya ialah
ketika terj adi per kelahian beber apa orang kel asi kapal yan g
memperebutkan perempuan durj ana. Tidak ub ah seb agai
perang kecil waktu terjadi perju angan itu. Perkel ahian yan g
asal mulany a dua orang kelas i yang berlain an-lainan ka pal
tempatnya bekerja, men jadi ra mai s ebab merek a memp ertahankan teman masing-masing. P olisi tak dapat lagi memisahkan, se bab sangat sibukn ya. Segala orang y ang mempunyai toko menutup tokonya karena ketakutan. Yang berkedai
mengemasi kedainya, l alu menc ari tempat persembunyian.
Amat banyak orang be rlarian ke sana kemari menjauhi perkelahian itu. Huru-hara, t idak berketentuan lagi. T idak sedikit
polisi baik pun kelasi yang luk a. Jika tidak ad a Midun, entah

berapa agak nya bangk ai terhantar, sebab me reka itu sudah


memakai senjata ta jam da lam perj uangan itu. Menteri polisi
Midunlah yang terutama berusaha
memadamkan perkelahian
yang hebat it u. Oleh karena itu ia sangat terpuji ol eh orang di
atas dalam pekerjaannya.
Belum cukup enam bul an Midun di Tanjung P
riok, ia
menerima surat pindah ke Weltevreden. Menerima surat pindah
itu, Midun bersukacita. Di Tanj ung Priok hampir ia tak dapat
menidurkan badan. Ada-ada saja yang mesti diuruskannya, baik
siang atau pun mal am. Kadang-kadang lewat tengah malam
orang m emanggil d ia, k arena a da sesuatu yan g t erjadi dan
perlu diselesaikan. Tiga hari kemudian dar ipada itu, Midun
suami istri berangkat ke Weltevreden. Maka ia. pu n bekerjalah
dengan rajinnya di Weltevreden.
Sekali peristiwa Midun dipang gil Ho ofdcommissaris da tang
ke kantorny a. Samp ai di kantor,
Hoofdcommissaris pun
berkata, "Midun, sekarang kamu mesti berlayar."
"Ke mana, Tuan?" ujar Midun dengan hormatnya.
"Kami dengar kabar ada penggelapan candu yan
g san gat
besar. Pusat penggelapan itu di Medan, dan ada pertaliannya di
Jawa ini. Se bab itu ka mu mesti be rangkat m inggu di muka ini
ke M edan, a kan menyeli diki ben ar ti daknya kab ar itu. Saya
harap, peke rjaanmu di sana memberi hasil yan g baik. Nah,
selesaikanlah mana y ang perlu, dan berangkatlah minggu di
muka ini!"
"Baik, Tuan!" lalu Midun pulang ke rumahnya.
Setelah perintah itu dik abarkan Mid un kepada istrinya,
maka ia pu n berkirim surat ke Bogor menyuruh datang
mentuanya k e Betaw i. Masa itu mentua Midun sudah pensiun.
Dua hari kemudian, dat anglah mentuanya laki istri. Midun
mengabarkan bahwa ia tiga hari
lagi berangkat ke Medan.
Dimintanya, selama ia di Medan, supaya mentuanya menemani
Halimah.
Setelah mustaid barang-barang yang perlu dibawa Midun, ia
pun berangk atlah ke Medan. Wa ktu i a akan be rangkat, tidak
dibiarkannya seorang jua mengantarkannya ke kapal. Midun ke
Medan menj elma seb agai seo rang s audagar. Sebab itu, ia
menumpang di atas geladak kapal saja.
Sampai d i M edan, deng an dite mani oleh se orang mat amata, M idun pun bekerj alah menyelidiki k abar penggelapan
candu yang besar itu. Ada sebu lan i a menyelid iki kaba r itu

dengan r ajinnya. Ber macam-macam ikhtiar dijalankan Midun.


Kemudian ny atalah, bahw a kabar itu bohong belak a. Menurut
pendapatnya, kabar itu hanya dibuat-buat orang saja, untuk
menjalankan maksudny a di tempat lain. Dua hari lagi akan
berangkat ke Betawi, Midun memakai seperti biasa.
la pun pe rgilah berjalan-jalan de ngan te mannya itu
melihat-lihat keindahan kota Medan. Setelah hari malam, terus
menonton ko midi ga mbar. Ketika akan pulang lalu diajak oleh
temannya minum-minum kepada sebuah hotel. Baru saja
duduk, datang seorang jongos membawa buku tulis.
"Minum apa, Engku?" ujar Ahmad, temannya itu.
"Apa saja yang Engku sukai," jawab Midun.
Ketika Ah mad menulisk an nama minu man yang akan
diminta, M idun memand ang kepad a jongos yan g berdir i di
belakang k awannya itu. Tiba-tiba ia terperanj
at, karen a
dilihatnya jongos itu serupa benar d engan ad iknya Manjau.
Hatinya tertarik, lalu diperhatika nnya tingkah laku jongos hotel
yang seorang itu. Midun amat he ran karena jongos itu sebentar
menyeringai, sebentar pul a duduk, seolah-olah men ahan sakit.
Perjalanannya pun tidak sebagai biasa, melainkan agak lambat.
Maka Midun berkata dal am h atinya, " Tidak boleh jadi M anjau
akan sampai kemari. Tentu saja ia tidak diizinkan ibu dan ayah
meninggalkan kampun g, karena saya sud ah per gi. Lagi pul a
tidak akan sampai hat inya mening galkan orang tu a, yang telah
bersedih hati kehilangan anaknya yang sulung itu. Ah, agakny a
pemandangan saya yang salah, ti dak sedikit orang yang serupa
di ata s duni a ini. Tet api ap akah se babnya d ia selalu memandang say a? Dan apak ah sebabnya jongos itu
selalu menyeringai dan sebentar-sebentar duduk? Tidak lain tentu karena
korban perempuan-perempuan dukana yang berkeliaran seluruh
kota ini agaknya.
Di dala m M idun termenu ng me mikirkan jong os h otel itu,
tiba-tiba Ah mad kaw annya itu berkat a, katanya, "Mengapak ah
Engku termenung saj a dari tadi saya lihat? Apakah yang Engk u
menungkan?"
"Tidak apa-apa," ujar Midun men ghilangkan pik irannya,
sambil memperbaiki duduknya. "Pikiran saya melayang ke tanah
Jawa."
"Di sini pun tidak kurang k epelesiran seperti di t anah Jawa,
bahkan lebih agaknya. Lihatlah ke jend ela tingkat h otel ini. Di
tanah Jawa tidakkan lebih, samalah dengan di sini agaknya."

"Benar, s ama dengan d i si ni. Sungguh berbahay a benar


perempuan-perempuan jahat itu. Tidak sedikit orang yang
telah menjadi korban penyakit itu. D i Bet awi lebih-lebih lagi
yang buta, buta juga, anggotan ya pun banyak yang rusak.
Sungguh berbahaya benar penyakit jahanam itu."
"Sebenarnyalah perkataan Engku itu. Di sini pun begitu pula.
Bahkan bany ak hotel di sini
dipergunakan untuk itu saja.
Dipelihara di situ perempuan- perempuan dukana itu, untuk
pemuaskan h awa nafsu orang yang baru datang atau yang ad a
di nege ri in i. Seolah- olah seng aja rupanya orang me mperkembang biak penyakit keparat itu."
"Benar, kalau begitu sa ma keadaannya dengan Beta wi. Hal
ini tid ak bol eh sekali-kal i dib iarkan. Patut benar pemerintah
berikhtiar, supaya musna kupu-kupu malam yang berkeliaran di
kota-kota di tanah Hindia ini."
Adapun jongos hotel itu terkejut pula ketika mel ihat muka
Midun. Ia amat heran
karena orang itu sel alu memandan g
kepadanya. Pada pemandangannya tidak ubah sebagai saudaranya Midun. Dengan darah berdeb ar-debar, jong os itu berkata
dalam hatinya, "Dari tadi saya diperhatikan orang itu. Rupanya
bersamaan b enar deng an saud ara s aya Midun. Nyata kep ada
saya, bahwa sebenarnyalah dia k akak saya. Tetapi t idak boleh
ia segagah in i. Temannya memanggilkan dia "Engku". Tentu ia
seorang berpangkat. Mustahil, sedang menulis pun Midun tidak
pandai dan tidak pula b ersekolah. Lagi pul a ia dihukum ke
Padang, masakan or ang hukuman m enjadi o rang berpangkat.
Agaknya orang itu serupa dengan M idun. Menurut suratnya ke
kampung dahulu, ia pergi ke ta nah Jawa. Suatu hal yang tidak
boleh jadi ia di sini."
Kira-kira pu kul sebelas malam, Midun membayar beli
minuman. M aka ia pun
pulanglah ke rumah
tempatnya
menumpang. Sampai di rumah hat i Midun tidak senang sedikit
jua. Jongos hotel itu tidak he ndak hilang dalam pikirannya.
Kemudian d iputuskannya pikirannya hendak ke mbali ke h otel
itu, akan me nanyakan s iapa dan orang mana jongos hotel itu.
Sampai di sana, lalu dipanggilnya jongos itu. M aka ia dibaw a
Midun kepad a su atu te mpat yang te rpisah. Midu n berkata,
katanya, "Saya harap kamu jangan gusar, karen a saya hendak
bertanya sedikit."
"Baiklah, Engku," ujar jongos itu dengan hormatnya.
"Kamu orang mana?"

"Saya orang Minangkabau, Engku."


"Di mana negerimu di Minangkabau?"
"Di Bukittinggi."
"Namamu siapa?"
"Nama saya Manjau."
Mendengar nama itu hat i Midun hampir tidak tert ahan lagi.
Ketika itu sudah nyata ke padanya, bahwa orang yang bercakap
dengan d ia itu, adiknyala h. Tetapi de ngan seku at-kuatnya i a
menahan hati, lalu meneruskan
p ertanyaannya, katanya,
"Adakah engkau bersaudara?"
"Ada, Engku."
"Siapa namanya?"
"Midun."
"Manjau, adikku kiranya ini," ujar M idun sa mbil melompat
memeluk Manjau.
Kedua mere ka itu bert angis-tangisan, karena pe rtemuan
yang tidak disangka-sangkanya itu. Tidak lama mereka itu insaf
akan di ri. M idun meneru skan pert anyaannya pula, katanya,
"Sudah lamakah engkau di sini? Ayah bunda dan adikku di mana?
Diizinkan me reka itukah engkau me rantau kema ri? Adak ah i a
sehat-sehat saja sampai sekarang?"
Manjau m enceritakan den gan p anjang lebar peny akit ayahnya waktu akan men inggal dunia dan perkara pu saka yan g di ambil oleh k emanakan ayahnya. Begitu pula perka winan Juriah
dengan M aun, pesan ayah nya waktu akan berpul ang. Dengan
tidak diketahuinya, air mata Mi dun berlinang-l inang, karena
amat sed ih hatinya mengenangkan k ematian ay ahnya yang
dicintainya it u. Maka ia pun be rkata, "Ayah sudah meninggal,
apa pula yang engkau turut kemari! Tentu ibu can ggung engkau
tinggalkan, suami mati, anak dua orang sudah hilang."
"Saya perg i sudah se izin beliau. Akan tingg al juga saya di
kampung tak ada pekerj aan saya, sebab harta k ita sudah habis
sama sekali. Usikan Pen ghulu Kepala Kacak tidak pula tertanggung oleh saya. Tidak ada berselang sepekan saya sudah disuruhnya pula berodi, jaga, ronda malam, dan lain-lain. Karena
itu saya mufakat den gan Maun. la sendiri men gizinkan jug a
saya pergi. Kata Maun, "Per gilah, M anjau, mudah-mudahan
engkau bert emu dengan Midun. Saya sendiri pu n akan meninggalkan kampung ini pula, sebab saya tid ak senang diam
oleh si Kacak musuh kami dahulu. Biark anlah ibu dan Juriah
tinggal. Sayalah yang akan menjaga keselamat an ibu. Ke man a

saya pergi, tentu beliau saya bawa."


Maka saya pun pergil ah ke Bukitt inggi. Mula- mula say a
bekerja menjadi j ongos k epada seorang Bel anda. Belum lama
saya bekerja, diajak oleh induk semang saya itu kemari.
Tiga bulan saya bekerja dengan dia, in duk semang saya itu
pun perlop k e negeri Belanda. Saya t inggal seoran g diri, lalu
mencari pek erjaan l ain. Dengan seorang kaw an berna ma
Sabirin, orang Minangk
abau juga, kami pergi
meminta
pekerjaan k epada sebuah onderne ming yang jau hnya lebih
kurang 30
pal dari
sini. Kami d apat pekerj aan pad a
onderneming itu. Saya jadi juru tulis kontrak dan teman saya
itu jadi man dor. Habis t ahun ka mi dapat perlop 14 h ari dan
ekstra gaji 3 bulan.
Sebab kami biasa tinggal di hutan, maka kami pergi kemari.
Di sin i pele sir menyenan g-nyenangkan hati, ak an melepaskan
lelah bekerj a terus set ahun itu. Ke pelesiran
itu rupanya
menjadi sesalan kepada saya se karang. Teman saya Sabirin itu
meninggal dunia baru sebula n. Sebabnya ialah karena
mendapat penyakit ... perempuan.
Ia mendapat penyakit yang n omor satu. Saya u ntunglah
dapat yan g enteng. Sudah dua
bulan sampai sekarang saya
menanggung penyakit itu. Akan kembali ke onderneming sudah
malu, dan rasany a saya tidak ku at lagi bekerja. Maka saya
carilah pekerjaan yang ringan
di sini, yaitu menj adi j ongos
hotel. Demikianlah hal saya selama Kakak tinggalkan."
Midun mengangguk-anggukkan kepala saja mendengar cerita
adiknya itu. Maka Manjau disuruhnya berhenti bekerja di hotel
itu. Setelah itu dibaw anyalah ke rumah tempatnya menumpang. Sampai di ru mah, sesu dah Midun berganti pakaian,
maka i a menceritakan n asibnya kep ada M anjau sejak meninggalkan kampung. Tet api ya ng dicerit akannya, hanyalah
mana yang patut didengarkan adiknya s aja. Ket ika s ampai
kepada m enceritakan ha lnya d igoda pe rempuanperempuan d i
Betawi, di situ diperpanjang oleh Midun. Ditanyakannya kepada
Manjau baga imana kei manannya dalam hal itu. Begitu pula
tentang pergaulan hidup dan cara nya berteman dengan or ang.
Mendengarkan cerita Midun yang
amat panj ang itu, Manjau
insaf benar-benar akan dirinya. la menekur dan menyesal amat
sangat perbuatannya yang suda h-sudah. Lebih-lebih ketik a
Midun men ceritakan bah aya penyakit perempuan itu, maka
Manjau pucat sebagai orang ketakutan.

Menteri polisi Midun berangka t pula kembali ke Betawi.


Manjau di bawanya ber sama-sama. Dengan selamat M idun
sampai ke Betawi. Maka Midun menceritakan hal pertemuannya
dengan adiknya itu.
Setelah men dengar k eterangan M idun, oran g di ru mah itu
pun girang hatinya.
Tiga bulan Manjau berulang ke rumah sakit, barulah sembuh
benar penyakitnya. Tetapi se telah sembuh ia harus memakai
tesmak, karena pemandan gannya sudah kurang terang. Manjau
tidak dibiarkan Midun bekerja, melainkan bersenang-senangkan
diri saja di rumah. Sekali-sekali jika Midun membawa pekerjaan
pulang, ditolongnya bek erja di rumah. Kemu
dian Manjau
dimasukkan Midun bekerja di kantor Roofdcommissaris.

15. Pertemuan

SEKALI per istiwa p ada suatu petang. Midun dengan istriny a


duduk-duduk di beranda muka rumah nya makan- makan angin.
Sedang ia minum-minu m teh, tiba-tiba berlaril ah anaknya dari
dalam. Anak itu sudah berumur tiga tahun lebih. Ia membawa
sebuah surat kabar mingguan pada t angannya. Ma ka anak itu
pun berkata, "Papa, apa ini?"
Anak itu menunjuk sebuah gambar pada surat berkala itu.
Midun melih at, lalu diperhatika nnya gam bar itu. Kemudian ia
berkata, "Ini gambar negeri bapak. Anak mau pergi ke Padang?"
"Mau," jawa b anaknya, yang barangkali kuran g mengerti
benar akan perkataan bapaknya.
"Coba lihat!" ujar Halimah meminta gambar itu. "Gambar itu
ialah g ambar ngara i atau 'Karb auwengat' di Bukittinggi ben ar.
Kalau saya tidak salah, hanya 10 menit perjalanan."
Midun terkenang akan ne gerinya. Ta mpak-tampak olehnya
jalan-jalan di kampungnya. Ia bermenung, pikirannya melayang
ke kampung. Tiba-tiba te rbayang ibu dan adiknya Juriah, yang
sangat dik asihinya itu. Setela h beberapa lamanya dengan hal
demikian itu, M idun ber kata kepa da istr inya, "H alimah! J ika
saya t idak salah, ketika kita berjalan-jalan di Kebun Raya
dahulu, kau ada berkat a, 'Tahun mana mu sim pabila dan
dengan jal an apak ah lag i, mak a dapat saya melihat negeri
Padang yang saya cintai itu'. Perkataanmu itu, sebenarnyalah
atau untuk bersenda gurau saja?"
Midun tersen yum, ia terk enang ak an halnya masa dahulu,
waktu berjal an-jalan den gan Hal imah di Kebun R aya. Hali mah
kemalu-maluan. Samb il t ersenyum, ia pun berkat a, "Apak ah
sebabnya sekarang Udo menanyakan hal itu? Belumkah tampak
oleh Udo, bahwa perkataan saya itu sebenarnya?"
"Bagaimana p ula akan ta mpak, karena kita sud ah hamp ir 6
tahun di sini saja."
"Sudah sebesar ini si Basri anak kita, belumlah tampak oleh
Udo, bahwa perkataan saya itu sungguh-sungguh?"
"O, jadi yang kau maksud 'negeri Padang' dahulu itu si Midun
kiranya." Midun terseny um pula . Ke mudian i a b erkata l agi,
katanya, "Perkataan saya ini se betul-betulnya, Halimah. Sudah
hampir 6 tahun saya di sini, ingin benar saya hendak menemui

ibu dan adik saya Juriah. Cukuplah ayah meninggal dunia


karena bercintakan saya, tetapi janganlah hendaknya terjadi
pula sekali lagi pada ibu hal yang demikian itu."
"Menurut pikiran Udo, bagaimana yang akan baiknya?"
"Pikiran saya, jika sepakat dengan Halimah, saya bermaksud
hendak memasukkan rek es meminta pindah k e n egeri saya.
Sukakah kau, jika kita kembali pula ke Padang?"
"Menurut hemat saya, hal itu ti dak perlu Udo tanyakan lagi
kepada saya. Jika saya akan dua hati juga kepada Udo, tidaklah
saya bersuamik an Udo. Jan gankan ke Padang. Ke laut api
sekalipun saya turutkan, jika Ud o m au me mbawa s aya, an ak
yatim ini. Lain tid ak ha nya Udolah bagi saya, ketika pan as
tempat berlindung, waktu hujan tempat berteduh."
"Saya sudah maklum tent ang ha timu. Bukankah b aik juga
kita mufakat apa y ang h arus k ita ke rjakan. Kalau dem ikian,
baiklah. Besok saya hendak menghadap Hoofdcommissaris, akan
memohonkan permintaan, mudah- mudahan dik abulkannya dan
dapat pertolongan pula daripadanya."
Pada kee sokan har inya p agi-pagi Midu n pergil ah k e kantor
Hoofdcommissaris. Dar i j auh Midun sudah dipanggil Hoofdcommissaris, karena wa ktu ia akan masuk kan tor, suda h
kelihatan kepadanya. Senang
benar hati tuan it u bertemu
dengan d ia, karena t idak saja M idun sudah ber tanam budi
kepadanya, dalam pekerjaan pun cakap dan terpuji pula.
"Apa k abar, Midun?" ujar Hoof dcommissaris. " Ada b aik s aja
dalam pekerjaan?"
"Baik, Tuan," ujar Midun dengan hormat, "tidak kurang suatu
apa."
"Sekarang apa maksudmu datang kemari?"
"Jika t ak a da alang an pada Tu an; saya ad a hendak
memohonkan permintaan sedikit."
"Boleh, katakanlah apa yang hendak kamu minta itu!"
"Sudah hampir enam tah un saya di sini, ingin benar say a
hendak men emui ibu dan adik-adik saya. Entah masih hidup
juga mereka itu sekarang entah tidak. Oleh sebab it u jika izin
Tuan, saya hendak memohonkan, bagaimana baiknya agar citacita saya itu sampai."
"Jadi Midun ingin bekerja di negeri sendiri?"
"Saya, Tuan. Tetapi kala u tak ada alangan pad a Tuan dan
dengan pertolongan Tuan jua."
"Baiklah. Bu atlah rekes kepada Re siden Padang. Sesudah

kamu buat, berikan kepada saya. Nanti saya s endiri mengirimkan ke Padang."
"Terima kasih banyak, Tuan," ujar Midun dengan girang.
Dengan petunjuk beberapa oran g pegawai kantor itu, maka
dibuatlah oleh Midun rekes ke pada Re siden Pa dang memohonkan suatu pekerjaan di
Sumatra Barat. Setelah sudah, lalu
diberikannya kepada Hoofd commissaris. Kemu dian ia perg i
menjalankan pekerjaannya seperti biasa.
Sepuluh hari kemudian daripada itu, pagi-pagi, ketika Midun
mengenakan pakaian di rumahnya, kedengaran olehnya di muka
orang mengatakan "Pos". Halimah segera keluar. Tidak lama ia
kembali, lalu berkata, "Telegram, Udo."
Setelah ditekan Midun surat tanda penerimaan telegram itu,
diletakkannya di at as meja. Sesudah b erpakaian, dengan darah
berdebar-debar dan har
ap-harap cemas, lalu dibukanya
telegram i tu. Ti ba-tiba i a terperanja t, ka rena di da lam
telegram itu tersebut, bahwa Mi dun diangkat jadi assisten
demang d i negerinya s endiri, dan me sti selekas-lekasnya
berangkat.
Tidak dap at dikat akan bagaimana k egirangan hati Midun
masa itu. Diciumnya an aknya beberapa kal i akan menunjukkan
sukacitanya. Halimah j angan dikatakan lagi. Amat giran g
hatinya karena suaminya menjadi assisten demang.
Dengan suka dan girang, Mi
dun be rangkat ke kantor
Hoofdcommissaris. Sa mpai di s ana, i a terus s aja masuk ke
kamar H oofdcommissaris, sa mbil memegang surat kawat di
tangannya.
Midun berkat a dengan gagap, diunjuk kannya telegram itu
katanya, "Sa ya diangk at jadi a ssisten demang d i negeri s aya,
Tuan!"
Hoofdcommissaris membaca telegr am itu. Setelah diba canya, ia pun berkata deng an g irang, "S elamat, sel amat, M idun!
Yang ka mu c ita-citakan sudah dap at. Keangkat anmu ini tentu
menyenangkan hatimu, karena ka mu dipindahkan ke negerimu
sendiri."
Hoofdcommissaris itu ber diri, lalu d itepuk-tepuknya bahu
Midun. Maka ia pun berk ata pula, katanya, "Pemandanganmu
sudah lu as, pengetahu anmu pun sudah dal am. Sebab itu
pandai-pandai me merintah dan me majukan nege rimu. Say a
harap kamu hati-hati dalam pekerjaan, jangan kami dapat malu
karena kamu . Jika k amu rajin bekerja,tidak lama t entu kamu

diangkat jadi demang. Per gilah sekarang juga menghadap Tuan


Residen, m emberitahukan keangkata nmu ini. Dial ah yang terutama mengenalkan kamu dalam hal ini. Balik dari sana kemari
lagi. Nanti saya buat sepucuk surat untuk tuan Residen Padang.
Kamu harus berangkat dengan lekas ke Padang."
Midun tid ak dapat menj awab perkataan Ho ofdcommissaris
lagi, karena disuruh pergi. Deng an menganggukkan kepala saja,
Midun terus pergi menghadap Tuan Residen, akan mengucapkan
terima kasih atas usulnya itu.
Sepekan kemudian d aripada itu, Midun dua lak i istri dan
Manjau berangkatlah ke Pada ng. Dengan selamat dan t idak
kurang suatu apa, ia pun sampailah di Pelabuhan Teluk Bayur.
Setelah diantarkannya istrinya ke rumah salah seorang kenalannya di sana, Midun terus menghadap Tuan Residen akan memberikan surat dari H oofdcommissaris Betawi. Surat itu dib aca
Tuan Residen , dan samb il member i sel amat, M idun dinas ihatinya dengan panjang lebar.
Setelah itu ia kembali pulang ke tempatnya menumpang.
Midun denga n istr inya pe rgi mengunjungi kubur ibu Halimah.
Sudah itu ia perg i mendapatkan Pak Kart o ke G anting. Amat
girang hati P ak Karto bertemu dengan Midun. Apal agi setelah
mendengar kabar,
bahwa Midun sudah menj adi assisten
demang, i a sangat ber sukacita. Ma ka ditinggalkan Midun uang
f 100,- untuk Pak K arto. Disuruhnya ganti kubur ibu Halimah
dengan batu, lebihnya untuk Pak Karto.
Pada keesok an harinya pagi-pagi, M idun berangkat ke
Bukittinggi. Maka sampailah me reka itu dengan selamat di
negeri tumpah darahnya. Midun pergi menghadap Tuan Assisten
Residen, akan memberit ahukan bahw a ia sudah datang dan
memohonkan perlop barang sebu lan, karena ia sudah 6 tahun
tidak pul ang ke negerinya. Permintaan nya itu dikabulkan oleh
Assisten Residen.
Adapun di k ampung Midun pada hari itu Tu an K emendur
mengadakan rap at be sar. Su dah 3 bulan lamany a kampung
Midun dengan daerahnya diwakili oleh demang lain memerintah
di situ, sebab belum datang gantinya. Rapat hari itu ialah rapat
besar, ak an menentukan penghulu-penghulu, mana yang harus
diberi ber surat dan mana yang t idak. Oleh sebab itu, se gala
penghulu kepala dan penghulu-pe nghulu yang ternama hadir
belaka, membicarakan bagaimana caranya pengatur hal itu.
Rapat hampir habis, yaitu kira-kira pukul 11, Midun laki istri

dan Manjau sampai di kampungny a dengan selamat . Didapatinya or ang sedang r apat di pasar di kampun gnya dan Tu an
Kemendur ada pula di sana. Maka Midun pun pergilah menemu i
Tuan Kemen dur. Setelah bebera pa lamanya Midun bercakap
dengan Tuan Kemendur, Tuan Kemendur memberitahukan pada
kerapatan, bahwa Midunlah yang akan menjadi assisten demang
di negeri itu . Sesudah itu Midun menerangkan pula dengan
pandak, atas kepindahannya dari Betawi ke negerinya sendiri.
Datuk Paduk a Raja, mamak Midun yang masa itu ada pula
hadir dalam rapat itu, melomp at k arena girang mendengar
kabar M idun menjad i a ssisten de mang. Dengan suka amat
sangat ia pu n pergi mendapatkan kemenak annya. Baru saja
Midun mel ihat mamakny a, dengan segera ia menj abat t angan
Datuk Paduka Raja. Ke
duanya berp andang-pandangan, ai r
matanya berlinang-lin ang, karena pertemuan yang san gat
menyenangkan hati itu. Segala penghulu kepala dan penghulupenghulu bersal am kepada Midun
dengan
hormatnya.
Bagaimana pulalah halny a deng an P enghulu Kepala Kacak?
Dengan malu dan takut, ia datang juga bersalam kepada Midun.
Itu pun sudah kemudian sekali, yakni setelah orang-orang habis
bersalam dengan Midun. Midun sangat hormat dan merendahkan diri kepada K acak. Dirasanya t angan Kacak gemetar bersalam dengan dia. Sedan g bersalam, Midun berkat a, "Senang
benar hati saya melihat Engku sudah menjadi penghulu kepala.
Karena Engk u sah abat saya ya ng san gat akrab masa dahulu,
tentu saja kita akan dapat bekerja bers amasama memajukan
negeri kit a. Sebab itu saya ha rap, moga- moga pergaulan kit a
sekarang mendatangkan kebaikan kepada negeri ini."
Kacak ketakutan, warna mukanya pucat seperti kain putih.
Sepatah pun ia tid ak be rani me njawab perkataan Midun itu.
Segala penghulu-penghulu dan penghul u kepala yan g lain amat
heran, karen a Midun san gat hormat dan merendahkan diri
kepada Penghulu Kepala Kacak. Apalagi mel ihat muka Kacak
yang pucat itu, semak in takjub orang memandan ginya. Tetapi
penghulupenghulu yang mengetahui hal Kacak dan Midun masa
dahulu, mengangguk- anggukkan kepala saja, karena merek a
maklum akan sindiran assisten demang yang demikian itu.
Rapat itu disudahi sebab sudah habis. Midun suami istri dan
Manjau se rta ma maknya terus ke rumah familinya. Di jal an
dikabarkan Datuk Paduka Raja, bahwa ibu Midun baru sepekan
di ru mah. I a pergi k e Bonjol menurutkan Maun bekerja.

Sebabnya Maun ke Bonjol, dite rangkan Datuk Paduka Raja,


bahwa Mau n selalu diganggu
Pen ghulu Kepal a Kacak di
kampung. Kepulangan ibu nya itu hanya karena hari akan hari
raya saja.
Baru saja Midun naik ke rumah, sudah tamp ak ke padanya
ibunya, Juriah, dan sahabatnya-sekarang telah menjadi iparnya
duduk di tengah rumah. Mereka itu berlompatan melihat Midun
dan Manjau. Tak ubahnya sebagai orang kematian di rumah itu.
Mereka itu empat be ranak berpeluk-pelukan dan bertangistangisan amat sangat. Lebih- lebih Midun dan Maun dua oran g
sahabat yan g sangat akrab dahulu. Tidak in saf, kedua mereka
itu lagi, bah asa ia sudah beri par besan. Sama-sama tidak mau
melepaskan pelukan masing-masing. Halimah sendiri turut pula
menangis melihat pertemuan sua minya itu. Ad a se tengah ja m
lamanya, barulah tenang pula di rumah itu. Tidak berapa lama
antaranya, Midun berka ta, "I nilah menantu Ibu, namanya
Halimah. Dan ini cucu Ibu, namanya Basri."
Ibu Midun baru in saf ak an di ri, bahwa beserta Midun ada
pula menantu dan cucunya. Halimah segera mendapatk an
mentuanya lalu menyembah. Ibu Midu n mendekap menantunya
itu.
Kemudian diambilnya cucunya, dipangku dan diciu mnya beberapa kal i. Maka Hal imah dipe rkenalkan Midun dengan seisi
rumah, dan diterangkannya ja lari ap a kepad anya oran g itu
masingmasing. Ratap t angis mulanya tadi, bert ukar dengan
girang dan suka. Tertawa pun tidak pula kurang. Masing-masing
menceritakan halnya sejak bercerai. Ibu Midun bercerita sambil
menangis karena sedih at as k ematian Pak Midun. Maka Midun
pun berkata, katanya, "Janganla h Ibu kenangkan juga hal yang
sudah-sudah itu. Harta dunia da pat ki ta ca ri. S ekarang ka mi
sudah pulang, senangkanlah hati Ibu."
Kabar M idun menjad i assisten demang di negerinya itu,
sebentar saja sudah tersiar ke selu ruh kampun g itu. Amat
banyak teman sejawat Midun dahulu datang mengunjunginya.
Haji Abbas dan Pendekar Sutan da tang pula ke rumah. Sehariharian itu tidak ubahnya sebagai orang beralat di rumah gedang
itu. Hanya famili ayah Midun saj a yan g tidak datang. Agaknya
mereka itu malu dan
takut me
nemui M idun, karena
perbuatannya yang sudah-sudah itu.
Pada keesok an harinya, Midun mufakat den gan Datuk
Paduka R aja dan Maun, akan membuat rumah dari batu untuk

Juriah. Be gitu pula akan me mbeli sawah untuk ibunya dua


beranak. Lain daripada itu, Midun hendak membuat gedung
pula untuk t empat tinggalnya dengan anak istrin ya. Sesudah
permufakatan itu, Datuk Paduka R aja berkata, "Su dah ha mpir
50 t ahun umur saya, t ak sanggup lagi say a memegang gelar
pusaka nenek moyan g k ita. Tida k k uat lagi rasanya saya
memegang j abatan in i, s ampai kepad a ' mati bert ongkat bud i'.
Oleh sebab itu saya hendak 'hidup berkerelaan' den gan Midun.
Midun sekarang su dah menjadi assisten de mang, jadi sudah
layaknya pu la memegan g gelar itu . Bahk an sudah pada
tempatnya benar-benar."
"Bagaimana pikiran Mamak, sa ya menurut," ujar Midun.
"Tapi mufakatlah Mamak dahulu dengan kau m kel uarga kita,
karena gelar itu pusaka kita bersama."
"Hal itu sudah mestinya. Saya rasa tentu tidak akan seorang
jua kaum kita yang akan membantahnya."
Sepekan kemudian daripada it u, Midun dijadikan penghulu,
bergelar Datuk Paduka Raja. Oleh sebab itu Midun mengadakan
peralatan yang sangat besarnya . Di sembelihnya b eberapa ekor
jawi dan kerbau untuk peralatan itu. Peralatan itu diramaikan
dengan tari, pencak, gung, telempong, dan sebagainya, segal a
permainan anak negeri ada belaka. Sungguh alamat ramai, dari
mana-mana orang datang. Dari bukit orang menurun, dari lurah
orang mendaki yang bu ta datang berbimbin g yang lumpu h
datang berdu kung, yang patah datang bertongk at. Tuan Luhak
dan Tuan Kemendur pun datang pul a mengunjungi peralatan
itu. Begitu pula assisten de mang dan demang banyak yan g
datang ke peralatan itu.
Setelah selesai peralatan itu, Datuk Paduka Raja pun memerintahlah di negerinya. Deng an su ngguh hati ia bekerja
memajukan negeri. Karena anak negeri amat suk a diper intahi
D,atuk Padu ka Raj a, m akin seh ari n egeri an ak makin maju.
Apalagi karena assisten demang itu sudah luas pemandangannya
dan banyak pengetahuannya, bermacam-macam ikhtiarnya
untuk memajukan negeri.
Demikianlah hal Midun gelar Da tuk P aduka R aja, seorang
yang amat baik budi pekertinya itu. Dengan sabar dan tulus
ikhlas diterimanya segala cobaan atau bahaya. Biarpun apa jua
yang terjadi atas dir inya. Midun tidak pernah berputus as a,
karena ia maklum, bahwa tiap-tiap celaka itu ada gunanya atau
kesengsaraan itu kerap k ali membawa nikmat. Imannya teguh

dan tidak pernah hilang akal, kendatipun silih berganti bencana


yang datang kepadanya. Kare na pengharapannya yang tidak
putus-putus itu, selalu ia mengikhtiarkan diri akan memperbaiki
nasibnya.
Adapun penghulu kepala musuh Datuk Paduka Raj a yang
sangat ben gis dahulu itu , sejak pert emuan di pasar w aktu
assisten demang baru dat ang, sudah melarikan diri entah ke
mana. Rup anya ia takut d an ma lu kepada Datuk Paduka Raja,
musuhnya dahulu. Dan bol eh jadi ju ga sebab yang lain maka ia
melenyapkan diri itu. H al itu segera diberit ahukan Datuk
Kemendur. Maka Tuan Kemendur bersama dengan juru tulisnya
datang dari Bukittinggi akan memeriksa buku-buku dan keadaan
beberapa uang kas negeri. Sete lah diperiksa, ked apatan ada
beberapa ru piah u ang b elasting yang tidak d isetornya. Kacak
dicari, didakwa menggelapkan uang belast
ing. Sebulan
kemudian da ripada itu, K acak da pat d itangkap o rang di
Lubuksikaping. Dengan ta ngan dibelenggu, ia pun dibawa polisi
ke Bukittinggi terus dimasukka
n ke penjara. Enam bulan
sesudah itu, perkar a K acak di periksa. K arena terang ia
bersalah, maka Kacak dihukum 2 tahun dan dibuang ke Padang.

SELESAI

www.fotoselebriti.net

Anda mungkin juga menyukai