www.fotoselebriti.net
pula padany a su atu sifat yang baik, yakni b arang si apa yang
berdekatan atau bercampur dengan dia, tak dapat tiada senang
hatinya, hilang sedih hati olehny a. Karena itu, tua muda, kecil
besar di k ampung itu kasih dan sayang kepada M idun. Hampir
semua orang di kampungnya kenal akan dia. Sebab itu namanya
tergantung di bibir or ang banyak, dan budi pekertinya diambil
orang jadi teladan.
Orang sudah banyak di pasar, di san a-sini kelih atan orang
duduk berkelompok-kelompok. Orang yang akan menonton permainan se pak raga pun sudah ba nyak pula datang. Anak-anak
sudah berl arian ke san a kemar i, me ncari temp at yang baik
untuk menonton. Ada pul a di an tara mereka itu yang be rmainmain, mi salnya berkucing -kucing, berk uda-kuda dan lain-lain,
menanti permainan dimu lai. Sega la or ang di pasar itu rupanya
gelisah, tidak senang diam. Sebe ntarsebentar melihat ke j alan
besar, sebagai ada yang dinantikannya.
Tidak ber apa lama ant aranya, k elihatan seorang muda
datang menuju ke pasar itu. Ia bercelana batik, b erbaju Cin a
yang ber kerawang pad a saku dan punggungnya. Kopiahnya
sutera selalu, berterompah dan bersarung kain Bugis. Sungguh,
tampan dan alap benar kelihata nnya dari jauh. la berjalan
dengan ga gah dan kocak nya, apalag i diir ingkan oleh beberap a
orang pengiringnya.
"Itu dia Engku Muda Kacak sudah datang," kata Maun kepada
kawan-kawannya.
Mendengar perkataan Maun, oran g yang duduk berkelompok-kelompok itu berdiri. Setelah Kacak sampai ke pasar,
semuanya d atang be rsalam kep adanya. Sungguh pun Kac ak
masih berumur 21 tahun lebih, tetapi segala orang di pasar itu,
baik tua ataupun muda, sangat hor mat kepadanya dan dengan
sopan bersalam dengan dia. Tetap i mereka ber-salam tidak sebagai kepad a Midun, melainka n kebalikannya. Mereka itu
semuanya seolah-olah terpaksa, sebab ada yang ditakutkannya.
Sudah padan benar nama itu di lekatkan kepadanya, karena
bersesuaian dengan tingk ah lakuny a. la tinggi hati, sombong,
dan congk ak. Matanya j uling, kemerah-merahan warnanya.
Alisnya terjorok ke muk a, hidungnya panjang dan bu ngkuk. Hal
itu sudah menyatakan, bahwa ia seorang yang bu suk hati. Di
kampung itu ia sangat dibenci orang, karena sangat angkuhnya.
Perkataannya kasar, selalu menyakit
kan hati. Adat sopan
santun sedikit pun tak ada pada Kacak. Ke mana-mana berjalan
rumahnya.
Permainan sepak raga dihentik an, karena hari sudah jauh
petang. Mak a or ang di p asar itu pun pulanglah k e rumahnya
masing-masing. Midun pulang p ula ke surau. Sepan jang jalan
tampaktampak olehnya p emandangan Kacak yang a mat dalam
pengertiannya itu. Hat inya berdeb ar-debar, khaw atir k alaukalau hal itu menjadik
an tida k baik kepadan ya. Tetapi
kemudian timbul pula pikirannya, dan berkata dal am hati, "Ah,
tidak berutang tak membayar, tidak berpiutang tak menerima,
masakan saya akan dimusuhinya. Karena perangai Kadirun say a
akan dimusuhinya, tidak boleh jadi. Lagi pula masakan perkara
yang sekecil itu akan menjadikan dendam kepada Kacak."
2. Senjata Hidup
Maka terj adilah pada k etika itu... ya, perkel ahian bapak
dengan anak. Tangkap- menangkap, empas-menge mpaskan, tak
ubahnya sebagai orang yang berkelahi benar-benar.
Setelah beberapa lamany a dengan hal yang demik ian itu,
sekonyong-konyong M idun terempas ag ak jauh. Jika or ang l ain
yang tak pandai bersilat terempas demikian itu, tak dapat tiada
pecah kepal anya. Tetapi karena Midu n pandai silat pula, tak
ada ubahnya sebagai kucing diempaskan saja. Ketika Haji Abbas
bersiap akan menanti serangan, tampak olehnya Midun. Haji
Abbas meng gosok mat anya, seolah-olah ia t idak percaya
kepada matanya. Ia sebagai or ang be rmimpi, dan am at heran
karena kej adian itu. Setelah beberapa l amanya, nyatalah
kepadanya bahwa sebenarnyalah Midun yang menyerang dia.
"Sudah bertukarkah pikiranmu, Midun?" ujar Haji Abbas tibatiba dengan marah. "Hendak membunuh bapakmukah engkau?"
"Tidak, Bapak!" jatvab Midun dengan
ketakutan. "Pikiran
saya masih sehat; ayah dan Bap ak Pendekar ada d i surau kec il
di sebelah."
"O, jadi mereka itukah y ang menyuru h engkau melakukan
pekerjaan ini?" kata Haji Abbas pula dengan sangat marah. "Apa
maksudnya b erbuat de mikian in i? B osankah i a kep adamu atau
bencikah kepadaku, supay a kita salah seorang binasa? Pan ggil
dia, suruh datang keduanya kemari! Terlalu, sungguh terlalu!"
Tidak lama antaranya
Pak Midun dan Pendek ar Sutan
naiklah ke surau. Baru saja
ia sa mpai, Haji Abb as berkata
dengan marahnya, "Perbuatan ap a ini yang Pak Mid un suruhkan
kepada anak saya? Apakah denda m kamu kedu a yang tid ak
lepas, maka menyuruh l akukan perbuatan in i kepada M idun?
Sungguh terlalu!"
"Janganlah t erburu nafsu saj a Haji marah," ujar P ak Midun
dengan agak ketakutan. "Kejadian ini ialah karen a kesal ahan
Haji sendiri."
"Kesalahan saya?" jawab Haji Abbas dengan heran. "Apa pula
sebabnya say a yang Pak Midun salahkan? Buk ankah perbuat an
Pak Midun ini sia-sia benar?"
Ketika itu tampaklah kepada Pak Midu n, marah Haj i Abbas
sudah ag ak s urut. Pak Midun berkata sambil ber senda-gurau,
"Selalu saya diusik anak Haji, supay a ia d apat menambah
kepandaiannya dengan Haji. Be berapa kal i saya disuruhnya
mengatakan kepada Haj i, karena ia in gin benar hendak mendapat sesuatu tentang ilmu silat d aripada Haji. Tetapi tiap-tiap
3. Dimusuhi
4. Membalas Dendam
PADA su atu hari, pasar di kamp ung itu sangat ramai. Dari
segala tempat banyak o rang datang. Ada yang berbelanja, ada
pula yang menjual hasil tanamannya. Saudagar- saudagar kecil
banyak pula datang dari Bukittin ggi ke pasar itu. Mereka per gi
menjual k ain-kain dan ada pula yan g membel i hasil tanah.
Tidak heran pekan seramai itu, ka rena tak lama lagi hari akan
puasa. Peka n sedang ra mai, or ang wdang sibuk berjual-beli,
sekonyong-konyong kede ngaran te riak or ang mengatakan,
"Awas, Pak Inuh lepas! Pak Inuh lepas! Dia membawa pisau!"
Orang di pasar be rlarian ke san a ke mari. Mereka l ari menyembunyikan diri, karena ta
kut k epada Pak Inuh. Yang
berkedai meninggalk an kedainya, yan g berbelanj a meninggalkan baran g yang telah dibelinya. Sangat sibuk di pasar ketika
itu. Berkacau-balau tidak berketentuan lagi.
Adapun Pak Inuh itu, i alah seorang kampung di san
a,
keluarga Tu anku Laras. Ia sudah beru mur lebih dari 45 tahun.
Semasa mu da, Pak Inuh seoran g yang gagah berani. Lain
daripada Haj i Abbas, se orang pun tak ada yang dise ganinya
masa itu. Orang k ampung seg an dan t akut kepadanya. Ketika
Tuanku Laras menjadi Pen ghulu Kepala di kampung itu, timbul
perusuhan. Waktu itu boleh
dikatakan Pak In uhlah yang
mengamankan negeri. Dengan t idak meminta ban tuan kepada
pemerintah, diamankan Pak Inuh kampung itu kembali.
Apakah sebabnya orang takut Pak Inuh datang ke pasar itu?
Pak Inuh sek arang sudah bertukar pikiran. Ia sudah menjadi
gila. Sudah empat tahun sampai kepada masa itu pikirannya tak
sempurna lagi. Dalam empat ta hun itu Pak Inuh tidak dibiark an
keluar lagi oleh Tuanku Laras.
Jika dilepaskan selalu mengganggu orang. Maka oleh Tuanku Laras dibuatkan sebuah rumah
untuk tempat Pak Inuh tinggal. Entah apa sebabny a hari itu ia
dapat melepaskan diri. Hal itu te rjadi sudah y ang kedu a
kalinya. jika datang ke pasar ia merajalela saja. Barang-barang
orang dipe rserak-serakkannya. Disepa kkannya ke s ana ke mari,
orang d i p asar d iburunya sa mbil be rteriak-teriak. J ika dapat
orang olehnya, dipukul dan diterjangkannya.
Sekarang Pak Inuh datang ke pasar membawa pisau. Hal itu
lebih men akutkan lagi. Seorang pun tak ada y ang berani
mendekati, apalagi akan menangkap, karena Pak Inuh berpisau,
lagi seorang yang berani. Meskipun ada yang akan menangk ap,
takut kepada Tuanku Laras. Ma
ka dibiarkan orang saj a ia
mengacau di tengah pasar itu. Ji ka tidak Tuanku Laras sendiri,
sukarlah ak an menangkapnya. Tetapi Tuanku Laras tak ada
beliau pergi ke Bukittinggi. Pa k Inuh makin ganas lakunya di
tengah pasar. Sungguh amat sedi h hati melih at kejadian itu.
Laki-laki perempuan tunggang-langgan g mel arikan diri. An akanak banyak yang terinjak, ka rena terjatuh. Di sana sini
kedengaran jerit or ang, mengaduh karena sakit sebab terantuk
atau jatuh. Lebih- lebih lagi melihat perempu an-perempuan
yang sedang mendukung anak. Anak dipangku, beban dijunjung
sambil melarikan diri jua.
Midun ketika itu ada pul a di pasar. Dia sed ang duduk di
dalam sebuah lepau nasi. Kejadian itu nyata kelihatan olehnya.
Midun hampir-hampir tak dapat menahan hatinya. Amat sedih
hatinya melihat perempuan-perempuan berlarian ke sanakemari. Pik irnya, "Aka n diberitahukan kepada Tu anku Laras,
beliau pergi ke Bukittin ggi. Tentu saj a Pak Inuh merusakkan
orang di pasar in i. Pada tangannya ada sebuah p isau. T akkan
satu bangkai terhantar karena dia. Hal ini tidak boleh dibiarkan
saja."
Ketika Midun melihat seorang perempuan diinjak-injak oleh
Pak Inuh, ia pun melompat ke tengah pasar mengejar Pak Inuh.
Baru saja Pak Inuh melihat Midun, ia berkata, "Heh, anak kecil,
ini dia makanan pisauku!"
Sambil melompat lalu diamukny a Midun. Midun sedikit pu n
tidak berubah warna mukanya. Kedatangan Pak Inuh dinantinya
dengan sabar. Segala orang yang mel ihat keadaan itu sangat
ngeri. Lebih- lebih perempuan- perempuan, berteriak menyuruh
Midun lari, karena cemas dan takut. Dengan tangkas Midun
menyambut pisau itu. D alam sesaat saja pisau Pak Inuh dapat
diambilnya. Pisau itu segera di lemparkan Midun jauh-jauh, dan
disuruhnya pungut kepada orang. Pak Inuh sangat marah, l alu
menyerang Midun seku at-kuatnya. Dengan mudah dapat ia
menjatuhkan Pak Inuh, lalu dita ngkapnya. Bagaimana pun Pak
Inuh hendak melepaskan diri, tidak dapat. Midun berkata,
"Sabarlah, M amak, takkan terlepask an tangkapan ku ini oleh
Mamak."
Maka Midun menyuruh mengambi l tal i untuk pengikat Pak
berhenti-henti.
Setelah puas Tuanku Lara s berkata, m aka Midun m enjawab
pula dengan sabar, katan ya, "L uka Pak Inuh itu karena beliau
jatuh sendiri. Sekali-kali tida k hamba yang melukai beliau,
Tuanku. J ika tidak ad a h amba ke marin, entah be rapa bangk ai
bergulingan, karena beliau meme gang senjata. Jika Tuanku
kurang per caya ata s kete rangan h amba itu, c obalah Tuanku
tanyakan ke pada orang l ain. Tetap i jika ha mba b ersalah berbuat demikian, ampunilah kiranya hamba, Tuanku."
Mendengar perkataan itu, adalah agak kurang marah Tuanku
Laras sedik it. Tetapi kare na pengaduan Kacak termasuk benar
ke dalam hatinya, lalu ia be
rkata, " Sebetulnya awak mesti
diproses perbal dan dibawa ke Bukittinggi* (ke kant or Tuan Assist ent
Resident Fort de Kock). Tetapi sekali in i say a maafkan. Sebagai
ajaran supaya jangan te rbiasa, aw ak dapat hukuman ena m
hari. Awak mesti mengadakan rumput kuda empat rajut sehari.
Sudah meny abit ru mput, awak beke rja di kant or ini dan jag a
malam."
Midun berdiam diri saja mend engar putusan itu . Ia tak
berani menjawab l agi, sebab d ilihatnya Tuanku Laras marah.
Waktu ia akan ke luar kantor, lalu ia berkata, "Bolehkah hari ini
hamba jalani hukuman itu, Tuanku?"
"Ya, boleh, hari ini mul ai, " uj ar Tuanku Laras dengan
sungutnya.
Midun segera ke luar, lalu dice ritakannya kepada ay ahnya,
apa sebab ia dipanggil, dan hukuman yan
g diterimany a.
Mendengar putusan itu, l apang ju ga dada P ak Midun, karena
anaknya tid ak masuk prose s perb al dan tidak dibawa ke
Bukittinggi. Maka Pak Midun herkata, "Teri malah dengan sabar,
Midun! Asal di kampung ini, ap a pun juga m acam hukuman
tidak mengapa. Besar h ati saya en gkau tidak dibawa ke
Bukittinggi. Tetapi t idak patu t engk au menerima hukuman,
karena engkau tidak bersalah. Engkau berbuat pekerjaan baik,
tetapi hukuman yang diterima ; apa boleh buat. Bukankah
Tuanku Laras raja kita dapat menghitamputihkan negeri ini."
Midun berdiam diri saja mendengar kata ayahnya. Tetapi
orang yang mengiringkannya be rsungut-sungut semuanya mendengar putusan itu. Midun teru s pulang mengambil sabit dan
rajut rumput. Sampai di pasar, banyak orang mengerumuninya,
akan bert anyakan perk aranya dipanggil itu. Midun menerangkan, bahwa ia dihukum enam
hari karena menangkap dan
melukai Pak Inuh. Dan hal itu menurut pikiran Midun sudah
patut, sebab ia meluk ai orang. Tet api s egala orang yang
mendengar menggigit bibi r, ka rena pada pik iran mereka itu,
tak patut Midun dihuku m. Mereka itu berkata
dalam hati,
"Tidak adil! Untung luka sedikit,
sebetulnya harus dibunuh
serigala itu. Kalau t ak ada Mid un, barangkali banj ir darah di
pasar ke marin. Kurang t imbangan, t entu beliau mendengar
asutan orang."
Banyak orang kampung itu
yang suka
menggantikan
hukuman Midun. Ada pula yang mau menyabit ru mput sepuluh
rajut seh ari dan menjaga kant or siang-malam, asal Midun
dilepaskan. Tetapi permintaan me reka itu sama s ekali d itolak
oleh Midun. Katanya, "Siapa ya ng beru tang dial ah yang membayar, dan s iapa yang ber salah di a me nerima hukuman. Saya
yang bersal ah, saudara-saudara yang akan dihukum, itu
mustahil. Biarlah saya dihukum,
tak usah dit olong. Atas
keikhlasan hati sanak-sau dara itu, say a ucapk an terima kasih
banyak-banyak."
Sesudah M idun menyabit rumput, lal u bekerja lain pula.
Membersihkan kandang k uda, mencabut rumput di halaman
kantor. Hab is sebu ah, sebuah lagi dengan tid
ak berhentihentinya. Segala pekerj aan itu di mandori oleh Kac ak. Ada-a da
saja yang disuruhkan Kacak. Se hari-harian itu Midun tak menghentikan tan gan. Untuk membuat rokok saja, h ampir t ak
sempat. J ika M idun berh enti se bentar karena lelah, Kacak
sudah menghardik, ditambah p ula dengan pe rkataan y ang
sangat kasar. Mengambil air ma ndi dan mencuci kakus, Midun
juga disuruhnya. Pada malam hari Midun tak dapat sedikit juga
menutup mata sampai-sampai pagi. Tiap-tiap jam Kacak datang
memeriksa Midun berjaga atau tidaknya.
Demikianlah penanggun gan Mid un dari sehari k e sehari.
Dengan sabar dan tulus, hal itu
dideritanya. Apa saja yan g
disuruhkan Kacak, ditu rut Midun dengan ikhlas. Berbagai-bagai
siksaan Kacak kepada Midun, hingga pekerjaan yang berat, yang
tak patut dikerjakan Midun disuruhnya kerjakan. S iang bekerja
keras, malam tak dapat tidur. Hampir Midun tidak kuat lagi
bekerja. Dal am t iga har i saja, M idun tak tegap d an subur itu
sudah agak kurus dan pucat.
Orang di kampung itu sangat kasihan melihat Midun telah
jauh kurusnya. Apalagi ibu Midun, selalu menangis bila melihat
rupa Midun y ang sudah berubah itu. Tetapi pada Midun hal itu
kuat lagi me nyabit rump ut. Pa gi-pagi benar Pak Midun telah
pergi menggantikan an aknya menyabit rumput. Belum lagi
matahari terbit, rumput empat rajut itu telah diantarkannya ke
kandang ku da. Kemudian ia pergi kepada Tu
anku Lar as
menerangkan, bahwa an aknya sak it keras. Ia m emohonkan
hukuman yang tinggal sehari itu, dia saja menjalankannya. Baru
saja Tuanku Lar as akan m enjawab, Haji Abbas data ng pula ke
kantor itu. Atas nama guru dan bapak Midun, ia memintakan
ampun muridnya. Apalagi Midun ketika itu di dalam sakit.
Maka Tuanku Lar as berk ata, katanya, "Karena per mintaan
Haji, saya ampuni Midun . Tetapi say a harap an ak itu diajar
sedikit, jangan sampai begitu kurang ajar. Terlalu, ya, sungguh
terlalu, mel ukai orang g ila. O rang yang tak sempurna ak al,
tentu tidak mengert i apa-apa. Kalau dilawan, ten tu kita j adi
gila juga."
Haji Abbas dan P ak Mi dun d iam saj a mendengar perkataan
itu. Kemudian mereka bermohon diri dan meminta terima kasih
atas ampunan yang dilimpahkan kepada Mi dun i tu. Di j alan
sampai pula ng, keduany a tid ak ber cakap-cakap sepatah jua
pun. Mereka tahu ba
hwa perkat aan Tuanku Lar as itu
kepadanyalah tujuannya. Karena itu amat pedih hati mereka,
padahal anaknya tidak bersalah. Tetapi apa hendak dikatakan,
mereka bert entangan dengan raj a di kampung itu. Setelah
sampai di
rumah, lama mer eka itu duduk berpandan
gpandangan. Haji Abbas amat sedih hatinya melihat Midun yang
telah kurus dan pucat itu. Dengan tak diketahui, air mata H aji
Abbas telah berleleran di pipiny a. T idak lam a anta ranya, Haji
Abbas berkat a, "Apamukah yang sakit, Nak? Apak ah sebabnya
maka engkau sakit ini?"
Dengan perl ahan-lahan Midun menj awab,"... Bapak...!
Karena bekerja terlalu berat. Ka lau saya tahu akan begini, mau
saya dibawa ke B ukittinggi da ripada d ihukum di s ini. K acak
rupanya musuh dalam sel imut bagiku. Entah apa dibencikannya, tiadalah saya t ahu. Malah sepe rti orang melepaskan sakit
hati ia ru panya. Tetapi saya belum merasa ber salah kep ada
Kacak. Tak boleh jadi k arena saya melukai P ak Inuh, Kacak
menyiksa say a. Seakan-ak an sudah l ama ia menaruh dendam
kepada say a. Biarlah, Bapak, karena ti ap-tiap sesuatu itu
dengan kehendak Tuhan. Siksaan kepada saya itu saya serahkan
kepada Y ang Mahaku asa. Peny akit say a ini tidakl
ah
membahayakan. Selama sakit akan sembuh, selama susah akan
senang."
Lama Haj i Abbas termen ung memikirkan perkataan Midun
itu. Kemud ian ia berkat a kepa da Pak Midun, kat anya, "Anak
kita dikasihi orang di kampung ini; tetapi Kacak dibenci orang,
karena tin gkah lakunya tidak
senonoh. Tidak ada ubahny a
sebagai anak yang tidak bertunjuk berajari. Karena angkaranya,
orang la in in i binat ang saja pa da pemandangannya. Boleh j adi
ia sakit h ati, karena Midu n ba nyak sa habat k enalannya. S iapa
tahu Midun dihukum ini, barangkali karena perbu atan Kacak.
Tetapi itu menurut persangk aan saya saj a. Tentu dengan
gampang saja ia melepaskan dendam, sebab ada Tuanku Laras
yang akan dipanggakkannya* (Dimegahkannya) ."
"Benar pe rkataan Bapak itu," ujar Midun pula. "Saya ras a
begitulah. W aktu berdua belas di masjid dahulu, sudah sal ah
juga pengl ihatannya kepada saya. Ketika ia melihat hidangan
bertimbun-timbun d i hadapan saya, tampak kebenciannya
kepada saya. Be gitu pula ketika ia salah meny abut raga y ang
saya berikan kepadanya, say a hendak ditinjunya. Dan dalam
mengirik baru-baru ini, makin nyata juga i ri hatinya itu. Sejak
itu saya tegur dia tidak menyahut lagi. Bila melihat saya ia
meludah-ludah dan muram saja mukanya."
"Boleh j adi," kata P ak Mi dun, "dubalang
Lingkik ada
mengatakan, bahwa Kacak benci benar melihat orang banyak di
sawah Midun. Lebih-lebih meliha t orang di sawah itu bergurau
senda, marah ia rupanya."
"Nah, s ebab itu ingatlah e ngkau yang akan datan g, Midun!"
ujar Haji Abbas. "Dia itu keme nakan raja kit a. Tiba di pe rut
dikempiskannya, tiba di mata dipej amkannya. Insafl ah engkau
akan perbuat anmu yang sudah it u. Sama sek ali or ang me muji
perbuatanmu, tetapi hasilnya engkau dapat hukuman."
Ada kira-kira sebulan, baru Midun sembuh daripada sakit.
Badannya se gar, kemb ali bagai s emula. Sejak itu Midun tidak
kerap kali lagi ke pasar. Jika tidak perlu benar, tidaklah ia
pergi. Sedan gkan rokok, ibunya saja yang m embelikan d ia d i
pasar. Malam mengaji, siang ke huma, demikianlah kerja Midun
setiap hari. Pulang dari hum a, ia menge rjakan pekerjaan
tangan. Sekali-sek ali ia menolon g adiknya m enggembalakan
ternak.
5. Berkelahi
Tuanku."
Tiga hari kemudian daripada itu, Midun dipanggil Penghulu
hepala. Kacak dan saksi-saksi p un dipanggil semua. Pak Midun,
Haji Abbas, dan Pendekar Sutan pergi pula akan men dengarkan
putusan itu. Orang bany ak pula dat ang ak an mendengarkan.
Perkara Midu n itu diperik sa oleh kerapatan di kampung itu,
yang dikepal ai oleh P enghulu Ke pala sebagai ketu anya. Mulamula Midun ditanya, setelah itu Kacak. Kemudian segala saksisaksi y ang h adir dalam perkelahian it u. Setelah diperbin cangkan panjang lebar, maka perkara itu diputuskan oleh Penghulu
Kepala. Midu n harus ronda kamp ung setiap malam, lamanya
enam h ari. Midun diper salahkan membalas den dam kep ada
Kacak, karena kedua orang itu telah lama bercedera.
Setelah perk ara itu d iputuskan, Haj i Abbas pun b erdatang
kata, katany a, "Penghulu Kepala dan kerapat an yang hadir!
Karena pe rkara ini su dah diputuskan , saya sebagai guru d an
bapak Midun, mohon bicara sepatah kata. Saya amat bersenang
hati at as pu tusan itu, k arena Midun membela jiwa seoran g
perempuan, sekarang ia dihukum
harus ronda malam enam
hari. Hukuman yang diput uskan itu memang seadil-adilnya dan
telah pada t empatnya pula. Sa ya mengucapkan banyak-banyak
terima kasih kepada Kerapatan dan kepada Penghulu Kepala."
Kerapatan it u diam, seorang pun t ak ada yang menjawab
perkataan Haji Abb as ya ng amat d alam art inya i tu. Mereka
berpandang-pandangan s eorang akan seor ang, te tapi tak ada
yang berani menjawab. Demik ianlah h alnya sampai kerapat an
itu disudahi dan orang pulang semua. Sampai di ru mah Midun,
Haji Abbas berkata, " Pak Midun, oran g rup anya henda k
mencelakakan anak kita. Kita yang tua harus ingat-ingat dalam
hal ini. H al ini ti dak b oleh ki ta permudah- mudah saja l agi.
Orang lain sudah campur dalam perkara Midun den gan Ka cak.
Asal kita ikh tiarkan, k alau akan b inasa juga apa boleh buat.
Maklumlah Pak Midun?" '
"Saya kurang mengerti akan ujud perkataan Haj i itu," jawab
Pak Midun dengan heran.
"Sudah setua ini P ak Midun, belum t ahu juga akan ujud
putusan itu," ujar Haji Abbas. "Kilat beliung sudah ke kaki, kilat
cermin sudah ke muka. A nak kita m asa ini d alam bahaya. Kit a
harus beringat-ingat benar."
"Bahaya apa pula yang ak an datang ke pada Midun," jawab
Pak Midun. "Bukankah perkaranya sudah diputuskan?"
Yang lazim, jika kebak aran teru s-menerus saja buny i tongt ong
itu. Kalau kemalin gan, lain la gi macam bunyinya. Pada mala m
kemalingan di ru mah Kacak itu, amat sibuk buny i tongt ong.
Bersahut-sahutan kampun g yang sebu ah dengan kampung lain,
akan me mberitahukan b ahwa ada b ahaya. Mendengar bunyi
tongtong itu, oran g maklum suda h, bahaya apa y ang terjadi.
Masa itu mana yang berani,
berlompatan turun ke halaman
dengan senj atanya. Mereka itu terus lari ke rumah jaga
menanyakan di mana k emalingan. Tetapi s i pe nakut me mperbaiki s elimutnya, a da pula yang bangun memeriksa pintu,
dan ada pula yang duduk saja ketakutan di dalam rumahnya.
Demikian pul a halnya Tu anku Laras. Ketika ia mendengar
bunyi tongtong itu, ia t erkejut lalu bangun. Tuanku Laras amat
heran mendengar bunyi tongtong, karena sudah hampir 5 tahun
sampai wakt u itu, belum pernah ada bahaya yan g terjadi di
kampung itu , pada pikir annya, "Tak dapat tiad a ada oran g
maling menj arah dari negeri lain ke kampung in i. Atau boleh
jadi... Tetapi mengapa Penghulu
Kepala pul ang ke ru mah
istrinya di kampung lain?"
Maka i a pu n seger a memakai b aju mala m, d iambilnya
terkul. Ia terjun ke halaman, diiringkan oleh
dua orang
dubalang. Tiada jauh Tu anku La ras berjalan, sudah kelihatan
olehnya suluh berpuluh-puluh buah. Di muka tampak dua orang
yang sudah terikat, dan di belakang amat banyak oran
g
mengiringkannya. Mereka itu semu a menuju ke ru mah Tuanku
Laras. Den gan sege ra seorang du balang di suruh Tuanku L aras
membawa maling itu ke kantornya.
Kedua mal ing itu tidak dapat ditany ai malam itu, karena
berlumur darah dan letih. Baru saja sampai di be randa kantor
mereka pingsan t idak sadark an d iri lag i. Ti ap-tiap orang
sepanjang jalan mengirimkan sepak terjang kepada mal ing itu.
Orang bany ak itu disuru h pulang ole h Tuanku L aras semua.
Pendekar Su tan, Maun, dan Mi dun dipanggil ke dalam oleh
Tuanku Laras.
"Di mana kamu tangkap maling ini?" ujar Tuanku Laras.
Midun lalu menerangkan bahwa kemalingan itu di ru mah
Engku Muda Kacak. Segala tanda bukti diperlihatkannya semua.
Kemudian d iceritakannya, ba gaimana c aranya menangkap
maling itu sejak dari bermula
sampai tertangk ap. Pendekar
Sutan luka t idak dikatakan Mid un. M endengar cerita M idun,
Tuanku Laras mengan gguk-anggukkan kepala saja. T etapi pada
itu?"
Sedang Pak Midun mengangguk-an ggukkan kepala, menyatakan kebenaran perkataan Haji Abbas, Pendekar Sutan dan
Maun naik pula ke ru mah. Baru saja Pendekar S utan duduk,
Haji A bbas b erkata sambil tersenyum dan menyin dir, "M idun,
saya dengar kabar bap akmu kena tika m semalam. Hampir saja
kita berkabung hari ini. Waktu saya mendengar kabar itu, saya
menyangka t entu Midun terburai perut nya kena pisau. Sedang
bapaknya yang sudah termasyhur p endekar la gi ke na, b ahkan
pula anaknya. Kiranya terbalik , anak selamat tet api bapak...
Ah, sungguh tak ada pendekar yang tidak bulus."
"Benar," ujar Pak Midun pula sambil tersenyum menyela perkataan Haji Abbas akan mengganggu Pendekar Sutan. "Agakny a
langkah Pen dekar Sutan sumbang malam t adi. Yang patut
langkah maj u, mundur ke belakang. Dan boleh jadi juga
terlampau tinggi membuang tangan, ketika itu pisau bersarang
ke rusuk Pendekar Sutan."
Seisi rumah riuh tertaw a, tetapi Pen dekar Sutan merah
mukanya me ndengar s indiran me reka berdua. Ia pun berkata,
"Mengatakan saja me mang gampan g. Jika Haji at au Pak Midun
sebagai saya semalam, baran gkali berbunyi cacing gelanggelang di
perut ketakutan,
setidak-tidaknya putih tapak
melarikan diri. Sebabnya, pertama orang y ang b ertentangan
dengan saya itu tidak s embarang orang, saya kenal benar akan
dia. Kedua, kaki saya terperosok masuk lubang, dalam pada itu
tikaman bert ubi-tubi pula datang nya. Ketiga, hari gelap amat
sangat, sedikit saja salah menangkis, celaka diri.
Keempat, pikiran tak pula se nang, memikirkan anak sedang
berkelahi. Biarpun Midun pendekar, begitu pula Maun, keduanya masih muda-muda, belum tahu tipu muslih at perkelahian.
Lagi pula maling itu siap dengan alat senjatanya, t etapi kita
tidak demikian benar."
Mendengar perkataan Pendekar Sutan, mereka k
eduanya
berdiam diri, lalu Haji Abbas be rkata, "Berbahay a juga kalau
begitu? Cobalah ceritak an, su paya kam i dengar. Siapa dan
bagaimana orang yang berkelahi dengan Pendekar itu."
"Untung dia dengan say a bertentan gan," ujar Pendekar
Sutan memul ai ceritanya. "Orang itu ialah Ma Atang, seorang
perampok, p enyamun, pe maling, ya, seorang p embatak yan g
amat jahat. Nama Ma Atang telah dikenali orang di mana-mana
sebab kejahatannya. Keberaniannya dan ketangkasan Ma Atang
Sutan malam itu. Sebab it u Haji Abbas dan Pak Midun tidak lagi
memperolok-olokkan adiknya. Kemud ian Haji Abbas be rtanya
pula, "Engkau bagaimana pula lagi dengan musuhmu, Midun?"
"Bagi saya mudah saj a, Bapak, " ujar Midun. "Ketika Bapak
Pendekar dan Maun datang, kami mu fakat lalu b erbagi-bagi.
Yang di jalan bagian Maun , yang di p intu gapura bagian Bapak
Pendekar Su tan, dan yang ma suk ru mah b agian saya. M aun
kami larang menyeran g, supaya dapat men olong kami, kalau
ada yang kena. Sungguhpu n demikian ia selalu siap. Saya t ahu,
bahwa jarak maling itu dengan temannya berjauhan. Saya pun
merangkak k e tangga, di pintu tempat ia masuk. K arena anak
tangga itu betung, dengan mudah saya buka anaknya sebuah.
Saya pun berdiam d iri de kat tang ga it u men antikan dia turun.
Tidak lama, maling itu turun sambil memikul barang curiannya.
Waktu ia turun semata anak tang ga, kakinya tergelincir, jatuh
ke bawah. Ketika itulah saya gada kepalanya
sekuat-kuat
tenaga saya. Saya sangk a tentu ia terus pingsan. Tetapi tidak,
ia bergerak lagi hendak menyeran g saya. Saya pukul lagi
mukanya, ia pun pingsan tak sadarkan dirinya."
Setelah tamat pula cerita Midun, Haji Abbas bertanya pula,
"Engkau bagaimana pula dengan musuhmu, Maun?"
"Saya tid ak menyerang, melainkan b erdiam dir i saja dek at
jalan," ujar Maun. "Waktu sa ya mendenga r M amak Pendeka r
Sutan berkel ahi, tiba-tib a saya bertumbuk den gan se seorang
yang rupanya hendak melarikan diri. D engan segera saya pukul
akan d ia. En tah kepala, entah punggungnya yang kena, saya
tidak tahu.
Tetapi dia t erus juga lar i. Kalau saya kejar tentu dapat,
tetapi saya tidak menepati janji. Lagi pula saya takut akan
digada teman-teman yang sudah berkeliling mengepung rumah
itu. Saya segera
mendapatkan Midu n, dan dia
saya suruh
menolong Mamak Pendek ar. Maling yang dipukul Midun itu lalu
saya ikat."
Haji Abbas
mengangguk-anggukkan kepala, t erkenang
kepada Kacak yang
mengaduh kena kakinya se malam itu.
Menurut pikiran Haji Abbas, ta k d apat tiada orang yang lar i
dipukul Maun dan yang kena sepa knya itu, ialah Kacak. Setelah
adik-adik Midun disuruh pergi bermain, lalu Haji Abbas berkata,
"Midun dan Maun, cerit a bapak mu t adi banyak yang patut
engkau ambil jadi teladan. Demikianl ah hendakny a mu slihat
jika berkelahi dengan orang yang memegang pisau. Dal am
6. Pasar Malam
Tetapi sekali ini pacuan kuda itu akan diramaikan dengan pasar
malam lebih dahulu. Kabar pasar malam di Bukittinggi itu sudah
tersiar ke mana-mana d i tana h Min angkabau. H al itu sudah
menjadi buah tutur orang . Di mana-m ana orang mempercakapkannya, kare na pas ar mal am baru sekali itu akan diadakan di
Bukittinggi. Demikian pula Midun, yang pada masa itu sedang
duduk-duduk di surau menanti waktu asar bersama Maun, pasar
malam itulah yang selalu diperbincangkan.
"Ah, alangkah ramainya keramaian di kota sekali in i, Maun,"
kata Midun memulai percakapan itu. "Kabarnya 'alat'* ( Maksudnya
pacuan kuda) sekali in i ak an sang at ra mai s ekali, sebab di sertai
dengan p asar mal am. Di dalam pa sar malam itu, o rang mempertunjukkan berbagai-bagai kera jinan, ternak, h asil tan ah,
dan lain-lain sebagainya. Segala pert unjukan itu, mana yan g
bagus diberi hadiah. Per mainan-permainan tentu tidak pul a
kurang. Tak inginkah Mau n pergi ke Bukittinggi? Saya berhaj at
benar hendak melih at keramaian se kali ini. K epada ayah saya
sudah minta izin. Tetapi hati be liau a gak berat melepas saya,
berhubung dengan Kacak yang selalu mengin
tai hendak
menerkam mangsanya. Sungguhpun demik ian, beliau izink an
juga, asal saya ingat-ingat menjaga diri."
"Memang saya ingin pergi ke Bukittinggi," ujar Maun, "Sejak
kecil belum pernah say a meliha t p asar mala m. B agi say a tak
ada alangan apa-apa. Per kara K acak yang engk au k atakan itu,
saya jug a m erasa khawa tir. I a selalu mengint ai-intai, M idun!
Kepada saya sendiri, kal au bertemu agak lain
pandangnya,
tetapi t idak saya pedu likan. Kemarin, waktu
kita pergi
sembahyang Jumat, ad a kita be rjumpa deng an seorang yang
belum pernah bertemu, apalagi dikenal. Oran g it u saya lih at
memandang kepada kita dengan tajam. Sudah kenalkah engKau
kepada orang itu? Bukankah engkau ada ditegurnya?"
"Tidak, sekali-kali tidak, saya heran karena saya dit egurnya
dengan sopan benar, padahal ia belum saya kenal i. Saya rasa
tentu ia tidak orang j ahat, sebab ada juga sembahyang. Tetapi
waktu kita bertemu dengan dia kemarin, darah saya berdebar.
Entah apa sebabnya tidaklah saya tahu. Malam tadi tak senang
sedikit juga hati
saya. Ada say a tanyakan ke pada Bapak
Pendekar akan orang itu. Bapak Pendekar menerangkan, bahwa
orang itu bu kanlah orang kampung sini. Tetapi beliau kenal
namanya dipanggilkan orang Lenggang. Dahulu memang dia
seorang jah at, pemaling dan pe ncuri. Kedatangannya kemari
uang?"
"Ada, saya r asa h anya sebanyak uan g si mpananmu pula
agaknya."
"Mari kit a pe rniagakan u ang it u! Saya dengar k abar, lada
dan telur amat mahal sekarang di Bukittinggi. Untungnya itulah
untuk belanja. Lain daripada itu kita tolong pul a menjualkan
lada ibu."
Pada tepi jal an di pasar k ampung itu kelihatan lada, ayam,
dan lain-la in seba gainya. Dua oran g muda memuat bar angbarang itu k e dalam ped ati. Se telah selesai, Midu n dan Mau n
pun bersal am dengan ay ah-bunda masing- masing, yang ketika
itu ada pula di sana menolong memuat barang itu ke dalam
pedati. Mereka kedua minta izin, lalu bersiap ak an berangkat.
Ketika Midun bersalam minta ma af kepada ibunya, lama benar
tangannya maka dilepask an ibuny a. Amat ber at hati ibu itu
melepas anaknya ke Bukittinggi . Sungguhpun Buk ittinggi tidak
berapa jauh dari kampun gnya, te tapi tak ubah h al ibu Midun
sebagai seorang yang he ndak melep as anaknya be rjalan jauh.
Amat lain perasaannya, takut kal au-kalau an aknya dapat
bahaya. R asa-rasa tampak kepada ibu itu bah aya yang ak an
menimpa an aknya, karen a Midun dimusuhi orang. Tetapi ia
terpaksa harus melepas Midun, anak yang sangat dikasihiny a
itu.
Maka berangkatlah Midun dan Maun menumpang pedati yang
membawa barang-barangnya itu. Dari ka
mpungnya ke
Bukittinggi adalah semalam perj alanan dengan pedati. Ia
berangkat p ada pet ang hari Jumat. Pagi-pagi hari Sabtu,
sebelum matahari terbit, sudah sa mpai di Bukittinggi. Di dalam
perjalanan keduanya adalah selamat saja.
`
Belum tinggi matahari terbit , baran g-barang yang dibaw anya diborong oleh orang Cina dengan harga Rp 160,-. Setelah
itu keduanya pergi makan ke sebuah lepau nasi dan menghitung
laba masing- masing. Barang yang ber pokok Rp 50,- dijual Rp
100,- dan beruntung Rp 50,-. Pe njualan lain kepun yaan ibunya
Rp 60,- ' di simpan mer eka uang nya. S etelah dipotong biaya,
lalu dibaginy a dua keunt ungan itu, y aitu Rp 20,-, seorang.
Sesudah makan, Midun berkata, "Sungguh bukan sedikit untung
kita, Maun! Patutlah Datuk Palindih lekas benar kayanya. Belum
lama ia j adi saudagar, su dah ba nyak i a memb eli s awah. Uang
yang diperniagak annya pun tida k sedikit, k arena berpuluh
pedati ia membawa b arang-barang yang tel ah dibel inya.
yang dic arinya di antara orang bany ak itu. Entah siap a yang
dicarinya dengan matanya itu tidaklah saya ketahui. Saya am at
heran karena ketika saya menampaknya tad i, dar ah saya berdebar. Yan g biasa t idaklah demi kian benar hal saya bil amana
melihat Kacak. Boleh jadi kita di sini diintip orang, Maun! Siapa
tahu dengan tidak disan gka-sangka k ita dapat bahaya kelak.
Sebab itu haruslah kita ingat-ingat selama di sini."
"Tidak kelihatankah engkau kepadany a tadi? Tetapi say a
rasa takkan berani Kacak berbuat apa-apa kepada kita di dalam
peralatan besar in i. Nyata kepada saya ketakutannya bertentangan dengan engkau, waktu pe rkelahian di tepi sungai
dahulu. Sedangkan di kampung demikian keadaan nya, apal agi
di sin i. Siap a yang akan dipang gakkannya di sin i? Karena it u
tidak boleh jadi ia akan menyerang kita. Sungguhpun demikian,
kita harus berhati-hati juga."
"Saya tid ak k elihatan olehnya. Tetap i j ika tak ad a y ang d icarinya, masakan seliar it u benar mat anya. Saya pun maklu m,
bahwa di a ti da k akan berani menyerang kita d i sini. Tet api
karena dia orang kaya, t entu bermacam-macam jalan dap at
dilakukannya akan me mbinasa. k an kita. Biarlah, as al kit a
ingat-ingat saja."
Sesudah m akan mereka pun berjalan-jalan ke pasa
r,
melihat perarakan anak-anak sekolah dan lain-lain: Malam h ari
Midun tidak keluar, mel ainkan ting gal di lepau n asi saja. Lain
benar perasaannya sej ak melihat K acak h ari itu. Besokny a
ketika p acuan kuda d imulai, mereka i tu tidak pergi melihat,
melainkan t inggal di lepau saj a. Hany a pada h ari yang kedu a
saja mereka hendak pergi
sebentar. Sudah itu mak sudnya
hendak terus pulang ke kampung.
7. Di Pacuan Kuda.
menyembunyikan badan.
Midun dan Maun dibaw a oleh se orang opa s. Ketika mereka
itu sampai p ada perhent ian bend i di gelanggang pacuan kuda,
bertemu dengan Pendek ar Suta n. Melihat Midun dan Maun
diiringkan op as, Pendek ar Sutan s angat terkejut. M aka ia pu n
bertanyakan hal itu kepada Midun. Midun men ceritakan perkelahiannya dengan Len ggang. Setelah sudah, Midun berkata,
katanya, "Hal ini janganlah Ba pak beri tahukan dah ulu kepada
orang di k ampung. Manakala di dal am sepuluh hari ini tak ada
seorang jua di antara kami yang pulang, barulah Bapak
ceritakan hal kami ini."
"Baiklah!" jawab Pendekar Sutan dengan cemasny a, karena
ia maklum d ari mana a salnya m aka terjadi p erkelahian itu.
"Syukurlah, engkau kedu a tidak b inasa. Say a b elum akan
pulang, karena saya hendak me nantikan kabarnya. Jika dalam
sepekan ini perkara ini belum juga diperiksa, baru saya pulang
ke kampung. Engkau kedua jangan kh awatir, k arena sipir dan
beberapa tukang kunci* ( Opas Penj ara) penjara berkenalan
dengan saya. Bi arlah, be sok s aya te mui di a ke pe njara akan
mempertaruhkan engkau, supaya j angan di ganggu orang d i
dalam penjara."
Midun dan Maun terus dibawa ke penjara. Mereka k edua ditahan di sana, sementara perkaranya belum diputuskan. Empat
hari sesudah peralat an, Midun dan M aun mulai diperiksa oleh
jaksa. Dalam pemeriksaan yang pertama itu, nyata bahwa Maun
tidak campur apa-apa. Oleh jaksa Maun diizinkan pulang, tetapi
manakala dipanggil haru s dat ang sebagai saksi. Maka Maun
pulanglah bersama P endekar Sutan yang sengaja menanti
kabarnya.
8. Menjalani Hukuman
SETELAH dua bulan lebih kemudi an daripada itu, Maun terpanggil dat ang ke Bukittinggi. Maka iapun datan glah bersamasama dengan Pak Midun, Haji Abbas, dan Pendekar Sutan yan g
hendak mendengar keputusan perkara itu.
Tiga hari berturut-turut La ndraad memeriksa pe rkara itu
dengan hemat. Pada hari yang
kee mpat, baru dijatuhkan
hukuman masing-masing. Midun dihukum enam bu lan. Sebab
menjalankan hukuman. Hukuman itu dijalankann ya tidak di
Bukittinggi, melainkan di Pada ng. Lenggang dihuk um set ahun
penjara dan dibuang ke Bangka hulu. Ia disalahk an mengamuk,
karena pisaunya berlumur darah.
Setelah Midun keluar dari kantor Lan draad, diceritakannyalah kepada ketiga bapak nya, bahwa ia dihukum ke Padang
lamanya empat bulan. Dan dikatakannya pula besoknya ia mesti
berangkat menjalankan h ukuman itu. Midun meminta dengan
sangat kepada ketiga bapaknya itu menyuruh pulang hari itu
juga, jangan ia di antarkan ke stasiun b esoknya. Permintaan itu
dikabulkan oleh mereka itu. Pak Midun berkata dengan air mata
berlinang-linang, kat anya, "Baik- baik engkau d i n egeri or ang,
Midun! Ingat-ingat menjaga di ri! Engk au anak l aki-laki, sebab
itu beranikanlah hatimu. Mudah-mudahan janganlah hendakny a
kurang suatu apa engkau menjalan kan hukuman. Jika engk au
sudah bebas, lekas pulang. Segala nasihat kami y ang sudahsudah, pegang erat-erat, genggam teguh-teguh."
Baru sekian perkataan Pak Midun, air matanya sudah bercucuran. Ia tidak dap at lagi me neruskan perkataannya, karena
amat se dih hatinya b ercerai deng an anaknya yang sangat
dikasihinya itu. Sambil bersalam dengan Midun, lalu didekapnya
anaknya. Ia pun berjalan deng an tidak menengok-nengok lagi
ke belakang ke lepau te mpat ia menumpang. De mikian pula
Haji Abbas dan Pendekar Sutan, hanya sepat ah-dua patah saja
menasihati Midun. Setelah ber maaf-maafan, mereka itu b erjalan dengan sedih yang amat sangat.
Hancur luluh hati Midun ketika ditinggalkan ketiga bapaknya
itu. Tetapi dengan kuat ia menahan h ati, supaya air matanya
jangan kelu ar. Ketik a Maun bers alam akan meminta m aaf
kepadanya, iapun berkata, katanya, "Saudaraku Maun! Sekarang
nasibnya tak kan berubah, tetap begit u juga. Maka Midun pun
membulatkan pikirannya, lalu berkata di dal am h atinya, "Ah,
sudahlah, memang adat laki-l aki su dah demikian. Tiap-tiap
celaka ada gunanya. Tidak guna saya sesalkan, karena hal ini
kemauan Tuhan dan kehendak Allah jua."
Pagi-pagi waktu Midun akan berangkat, ia memohonkan perlindungan Tuhan, hubaya-hubaya sel amat dalam hidup yan g
akan dij alaninya itu. Ketika it u hari masih gelap, kabut amat
tebal. Angin tak ada,
burung-burung seekor pun tidak
kedengaran berbunyi, seolah-ola h bersedih hat i pula ak an
bercerai den gan Midun. Faja r mulai menying sing di sebelah
timur, tetapi amat suram, cahaya. Maka turunlah h ujan rintikrintik, angin berembus sepoi-sepoi basa. Segalanya itu seakanakan berdukacita melepas orang muda yang amat baik hati itu,
yang barangkali entah lama l agi ak an dap at menjejak tana h
airnya kemb ali. T idak l ama datanglah seo rang o pas, Gempa
Alam namanya, yang akan mengantarkan Midun ke Padang hari
itu. Baru saj a opas itu d atang, Midun berkata, "Apa kabar,
Mamak? Sekarang saya berangkat ke Padang?"
"Ya, kita sek arang berangkat, s udah si apkah Mi dun?" u jar
Gempa Ala m, sebagai o rang yang t elah kenal kepadanya,
"kereta api berangkat pukul tujuh, sekarang sudah setengah
tujuh lewat."
"Sudah, Mamak," jawab Midun dengan pendek.
"Kalau beg itu, mar ilah kita berangkat sekaran g juga.
Sebetulnya Midun haru s saya belenggu, karena begit u perintah
saya teri ma. Tap i sudah tig a hari M idun saya kenali, saya
jemput dan saya ant arkan waktu perkara, nyata kepada saya
bahwa Midun seorang yang baik. Saya percaya Midun tidak akan
melarikan diri. Oleh sebab itu tadi sudah saya pohonkan kepada
sipir, supaya engkau jangan dibe lenggu ke Padang. Karena say a
berani menjamin atau menangg ung bahasa Midun tidak akan
lari, permintaan saya itu dikabulkan oleh sipir."
"Mamak bukankah su dah tahu b
agaimana duduknya
perkaranya. Tentang akan melarikan diri itu, jangan lah Mamak
khawatirkan. Sedikit pu n tidak ada kenang-ken angan saya
dalam hal itu. Apa yang seolah di gerakkan Tuhan atas diri saya,
harus d an wajib saya teri ma de ngan se gala suka h ati.
Kemurahan M amak itu, asal tid ak a kan merus akkan kepada
pekerjaan Mamak, saya ucapkan terima kasih banyak-banyak."
"Midun, jika saya
menaruh khawatir kepadamu, dengan
tetapkan iman, insya Allah sela mat. Apalagi Midun saya l ihat
seorang an ak muda yan g tangkas, takkan mudah diperbuat
orang semau- maunya saja. Sekali lagi saya katakan, beranikan
hatimu, jangan takut menentang bahaya apa pun jua. Tunjukkan tanda engkau laki-laki, bila perlu."
Gempa Ala m terkenang waktu ia di penjara dahu lu. Amat
sedih hatinya melihat Midun, anak muda yang remaja itu akan
menanggung sengsara sebagai dia dahulu pula. Gempa
Alam
mengetahui, bahwa sampai masa it u di dalam penjara di
Padang masih dijalankan orang keganasan yang demikian lebihlebih lagi kepada orang
hukuman yang datang dari sebelah
Darat. Hanya ia mengatakan "bar angkali s ekarang tidak la gi"
kepada Midu n, untuk menyenangk an hati Midun saja. Dengan
tidak d iketahui, ai r m ata Ge mpa Al am berl inang memikirkan
Midun, seorang anak yan g baik hati dan berbudi pekerti itu.
Hampir-hampir keluar dari
mulut Gempa Al am perkataan,
"Lebih ba ik l ari s aja, M idun!" Sedang Gempa Alam berp ikirpikir, M idun berkat a, k atanya, " Atas nasih at M amak, saya
ucapkan ban yak-banyak t erima k asih. Jangan Ma mak khawat ir
melihat saya. Saya maklum bahw a Mamak bersedih hati, lain
tidak karen a kasihan kepada sa ya ak an ma suk penjara, dan
akan merasai seperti y ang telah Mamak tanggun gkan dahulu.
Tentang diri saya tidak usah Mamak cemaskan, barangkali saya
tidak akan demikian benar diperbuat orang. Tuhan ada bersama
kita, tentu saja ia akan melindungi yang tidak bersalah. Jika
telah tumbuh baru kita siangi, sebab itu tidak ada gunanya hal
itu kita pikirkan sekarang."
Baru habis Midun berkata, kedengaran condecteur berseru,
"Padang; karcis!"
Mereka kedua sudah hampir di st asiun Padang. Tid ak lama
kereta berhenti.
"Di sini kita turun, Mamak?-" ujar Midun.
"Tidak," jawab Gempa Alam, "kita turu n di Pul au Air. Kalau
di sin i kita turun, jauh lagi ke penj ara. Tetapi dari stasiun
Pulau Air hanya kira-kira 10 menit perjalanan."
Setelah sampai di st asiun Pulau Air, mereka k
eduapun
turunlah. Sebelum pergi ke penjara, Gempa Al am mengajak
Midun pergi makan ke lepau nasi. Su dah mak an, Gempa Alam
berkata, "Se karang engk au terpak sa dibeleng gu. Jik a tid ak,
boleh jadi saya celaka. Tentu sa ja saya dipand ang sipir lalai,
atau mengabaikan pekerjaan."
Midun berkat a dalam hatinya, "A duhai, tak ubah saya sebagai
perampok b aru ditan gkap. Bag aimanakah akan t idur di d alam
kamar sebe sar ini? Akan duduk sajak ah saya siang malam di
sini? Ak an dipengapakan nyakah saya, maka disu ruhnya hatihati?"
Berkacau-balau pikir an Midun waktu itu. Tidak tentu apa
yang akan di buatnya, kar ena ia belu m menge rti apa m aksud
orang atas dirinya. Dengan hal begitu, tiba-tiba terdengar pula
suara orang, "Keluar!"
Biarpun tidak disuruh, k etika pintu t erbuka Midu n hendak
keluar juga, karena sangat panas dan pelak di dalam kamar itu.
Tidak saja p anas, tet api napa snya berasa ses ak sebab bau
busuk. Sampai di luar dili
hatnya berpuluh orang hukuman
bertinggung berjajar. De ngan tolak an yang am at keras, Midun
disuruh pula bertinggung bers ama orang-orang hu kuman itu.
Setelah disebutkan sipir nama masing-masing, lalu semuany a
disuruh berdiri mengambil perk akas. Ketika Midun hendak
berdiri pula, datang seoran
g hukuman mel andanya dari
belakang, hampir saja ia tersungkur. Karena Midun tahu bahwa
ia dil anda it u dengan sen gaja, i a pun berkatalah, " Lihat orang
sedikit, Mam ak, kita s ama-sama orang hukuman, tidak ba ik
begitu!"
Midun tidak tahu bahwa or ang te mpat i a ber kata itu,
seorang yang telah masy hur ka rena keberaniannya. Sebelum
kamar itu t erbuka, o rang itu sudah disuruh oleh sip ir akan
mencobanya. Maka ia pun berkata dengan geramnya, "Hai, anak
kecil, berani engkau berkata begitu kepadaku?"
Belum h abis ia be rkata, orang itu melo mpat sa mbil
menerjang lalu menan gkap Midun h endak dihempaskannya.
Midun menyambut dan mengelak badan, sambil merendahkan
diri ia melompat ke tem pat ya ng lapang. Orang h ukuman yang
banyak lalu menepi akan melihat perkelahian itu. Orang itu
menyerang pula sekali l agi, menumbuk dan menyepak dengan
sekaligus. M idun merendah, meny ebelah diri men angkis, lalu
membuang langkah arah ke ki ri. Or ang i tu tertumbuk ke
tonggak lampu, karena deras da tangnya. Sudah dua kal i ia
hendak mengenai Midun, t etapi sia-sia. Mukanya me rah karena
marah, seb ab Midun masih anak
muda dan
dia sudah
termasyhur berani. Sa mbil tertawa, sipir be rkata, "Cobal ah,
Ganjil, sekarang en gkau sudah bert emu den gan lawan mu.
Sungguhpun anak muda, tetapi la da padi, cabe rawit, kata
orang Betawi."
Midun maklu m, bahwa ia diadu orang. Nyata kep adanya s i
Ganjil itu disuruh sipir. Ia ragu -ragu, karena terpikir olehnya
orang itu su dah agak tua, dan karena tersuruh
oleh kepal a
penjara. Tet api melihat si Ganj il itu sungguh-sungguh hendak
membinasakan dia, ter
paksa ia
mesti mel awan untuk
memelihara akan diri. Timbul p ula pikiran Midun, bahwa ia
sama-sama orang hukuman, dan perlu pula memperlihatkan
lelaki-lakiannya sedikit. Sebab itu Midun bersiap menant
i
serangan, seraya b erkata, "Rupanya k ita d iadu se bagai ayam,
apa boleh buat, datangilah!"
Si Ganjil mengendangkan tangan ke muka dan dengan lekas
ia menyerang, sebab marahnya amat sangat. Dengan membabi
buta ia mendesak Midun. Midun selal u menyalahk an seran gan
Ganjil, satu pun tidak ada ya
ng mengena. Kemu dian Midun
berkata, "Tahan pula balasan dari saya, Mamak."
Dengan tangkas Midun menangk is serangan Gan jil, lalu
mengelik seakan-akan merebahkan diri. Kemudian sebagai kilat
kaki Midun... pap, Ganjil tertel entang tidak, bergerak lagi,
karena tepat benar kenanya.
Sega la or ang h ukuman itu
tercengang dan
amat heran
melihat ketangk asan Midun
berkelahi. S ipir dan segala tukang kunci t akjub, karena belu m
pernah mer eka melih at a nak muda ya ng setangk as itu. Sambil
berjalan, sipir berkata, "Tunggu sampai besok, boleh ia rasai."
Ganjil dipapah or ang ke ka marnya, dan M idun disuruh
masuk ke dalam sebuah kamar la in, tetapi tidak kamar yang
mula-mula t adi. Kamar itu agak lapang, di dalamnya ada
sebuah pangkin, yang luas dengan tikar. Sampai di kamar itu,
Midun menarik napas l
alu berkata sendirinya, "Ya Allah,
peliharakan apal ah ki ranya hambaMu ini. Telah engk
au
lepaskan say a dari bah aya ya ng pertama, begit ulah pula
seterusnya h endaknya. Sedih hat iku melihat si Ganjil saya
kenai, tetapi apa boleh buat karen a terpak sa. K alau begini,
tentu bermacam-macam siksaan yang akan saya terima..."
Petang hari itu Midun tidak diganggu-ganggu orang. Kira-kira
pukul lima, diantark an orang nasi . Melihat nasi den gan lauknya
itu, hampir Midun muntah. Na sinya kotor dan merah kehitamhitaman. Di atas nasi itu ada sepotong daging setengah masak
dan garam sedikit. Baru saja Midun menggigit daging itu, ia
telah muntah. Daging itu tidak masak dan masih berbau. Tetapi
karena perut Midun sudah meminta hendak makan, dimakannya
"Yang tinggal di gedung ini Nyai Asmanah, baru tiga hari ini
meninggal dunia," ujar babu itu. "Anaknya Halimah kemarin ada
juga saya lihat, tetapi pagi ini, ketika saya hendak menumpang
mandi, tidak ada lagi."
Babu itu masuk, sebab dipanggil induk semangnya ke dalam.
Midun sebagai terpaku di muka jalan itu. Ia amat k asihan mengenangkan gadis itu dit inggalkan ibunya di negeri orang pula.
Ketika babu menyebutkan Nyai Asmanah, Midun maklum bahwa
bapak tiri Halimah itu orang putih, tidak sebangsa dengan dia.
"Ah, ap akah jadiny a g adis itu? Kemanakah dia? K asihan!"
Demikianlah timbul pertanyaan dalam pik iran Midun. Dengan
tidak disangka-sangka ia telah s ampai ke te mpatnya bekerj a
setiap hari. Dalam pekerjaan, pi kiran Midun kepada anak gadis
yang baru k ematian ibu saja. Biar
bagaimana j ua pun ia
menghilangkan, tetapi seakan-akan tampak-tampak oleh M idun
penanggungan Halimah.
Tengah har i ia duduk di ba wah poh on kayu yang rindang
sambil merenung ke laut lepas. Sekonyong-konyong bahunya
diraba orang dari bel akang. Mi dun melihat kiranya nenek itu
suruh-suruhan Halimah. K etika ia hen dak bertanya, nenek itu
meletakkan jari telunjuk ke bibirnya, lalu memberik an sepucuk
surat. Kemu dian i a berj alan dengan tergop oh-gopoh seb agai
ketakutan.
Melihat tingk ah nenek yang ga njil itu , Midun amat heran
dan bingung. Ia tidak mengerti s edikit jua akan perbuatan
nenek yang demik ian itu . Surat itu segera dibukanya, tetapi
Midun tidak pandai membaca, karena bertulis dengan huru f
Belanda. Hatinya ingin benar meng etahui isi su rat itu, tetapi
apa day a b adan tid ak bersekolah. Am at s akit hati Midun,
karena ia terpaksa menyimpan surat itu, menanti orang yang
akan menolong me mbacakannya. Ke tika pulang ke penjara, ia
berjalan memencil d i b elakang. Tiba-tiba kelihatan olehny a
seorang an ak sedang membaca buku sepanjan g jalan. Midun
lalu menghampirinya, serta ditegu rnya, "Buyung, bolehkah saya
meminta tolong sedikit? Tadi saya ada menerima sepucuk surat.
Sukakah Buy ung men olong membacak annya seben tar, supay a
kuketahui is inya? Sa ya tida k pa ndai membaca tuli san ma cam
ini."
Midun mengunjukkan surat, lalu diambil anak itu. Demikianlah bunyinya:
Udo Midun!
Tolong, Udo, saya di dal am bahaya. Saya harap dengan
sungguh, Udo datang mengambil saya ke rumah No. 12 di
Pondok. Jika Udo datang ke sana, hendaklah antara pukul 11
dan 12 malam. Nenek akan menantikan Udo di rumah itu.
Kasihanilah saya; kalau Udo tidak datang saya binasa.
Wassalam saya,
H.
SETELAH dib acanya, sura t itu dikem balikan anak itu. Maka
Midun me minta teri ma k asih kepa da anak itu, lal u berjalan
pula. Ia mak lum, bahwa surat itu dari Halimah. H ati Midu n
bertambah kabut, pikiran nya makin k usut menden gar bunyi
surat itu. Amat kasihan ia men genangkan Hali mah. Sampai d i
penjara, pik irannya sudah teta p akan menol ong gadis itu
sedapat-dapatnya. Tetapi bagaimana akan menolong, karena ia
masih dalam hukuman? Sampai
di kamarnya, Midun menghitung-hitung hari, bil a ia ak an di lepaskan. Da lam p ada i tu
datang seorang tukang k unci memanggil, lalu ia dibawany a
kepada sipir. Hati Midun mulai tidak senang pula, karena sudah
4 bulan ia dihukum, belu m pernah dipanggil sipir. Sampai d i
kantor, sipir berkata, "Midun, ta di saya dapat perint ah, bahwa
engkau s udah b ebas da ri hukum an. Be sok pa gi e ngkau d apat
surat dari saya, supaya perai ongkos kereta api untuk pulang ke
kampungmu."
Mendengar perkataan itu hamp ir tidak dapat Mid un menjawab, karen a sangat girang ha tinya mendengar k abar itu. Ia
bergirang h ati bukannya karena hendak pulang k e kampun g,
melainkan berhubung den gan surat Halimah. Tetapi kegirangan
hatinya itu t idak lama, k arena sipir menyuruh dia pulang ke
kampung. Cemas hatinya memikirkan hal itu, takut kalau-kalau
dipaksa sipir mesti pulang juga. Hati Midun memang agak malas
pulang, mengingat permusuhannya dengan Kacak.
Tentu saja k alau ia pulan g Kacak tidak bersenang hati, dan
mencari ikhtiar supaya ia binasa ju ga. Midun berk ata den gan
lemah lembut sambil memohon permintaan, katanya, "Jika ada
kemurahan Engku kepada saya, harap Engku mengizinkan saya
tinggal di sin i. Saya tidak hendak pulang, biarlah saya mencari
penghidupan di k ota in i saj a. Dan kalau tak ada keberatan
kepada Engku, saya bermaksud hendak keluar sekarang."
"Tidak boleh, karena orang hukuman yang sudah bebas
mesti pulang kembali ke kampungnya."
"Atas rah im dan belas k asihan Eng ku ke pada sa ya, s udi
apalah k iranya Engku me ngabulkan pe rmintaan s aya itu. Saya
takut pulang, karena saya dimusuhi orang berpangkat di negeri
saya. Yan g menghukum saya kema ri pun, sebab orang itulah .
Oleh sebab itu, saya bern iat hendak tinggal di P adang ini saja
mencari pekerjaan."
Karena Midun meminta dengan sungguh-sungguh dan dengan
suara lemah lembut, maka timbul juga kasihan sipir kepadanya.
Ia pun berkata, katanya, "Sebetulnya hal ini tidak boleh. Tetapi
sebab en gkau sang at me minta, biarlah say a kabulkan. Jik a
engkau bebas sekarang, di mana engkau akan tinggal? Bukankah
engkau tid ak berkenalan di s ini dan hari pun sudah petan g
pula."
"Di rumah P ak Kart o, tempat Engku menyuruh men gantarkan cucian kepada saya t iap pekan. Orang itu suka menerima
saya tinggal di rumahnya. Dan ia pun mau pula menerima saya
bekerja dengan dia."
"Baiklah, tunggu sebent ar, saya buat sebuah surat kepada
Penghulu Kampung Ganting. Besok pagi-pagi hen daklah engkau
berikan surat saya kep adanya, sup aya engkau j angan be ralangan tinggal di sini."
Midun bebas, lalu ia pergi me nukar pakaian. Uan gnya yang
f15,- dahulu diberikan tuk ang kunci kembali kepadanya. Sudah
itu ia pergi kepa da sipir mengambil surat yang dijanj ikan
kepadanya itu. Kemudian ia pergi kepada Tur igi akan meminta
maaf dan memberi sela mat tin ggal. Setelah Midun dinasihat i
Turigi, me reka kedua be rtangis-tangisan, tak ubah nya seba gai
seorang bapak dengan anaknya yang b ercerai t akkan bertemu
lagi. Setelah itu Midun bersalam dengan kawannya sama orang
hukuman, lalu terus berjalan ke luar penjara.
Midun terlepas dari neraka d unia. Ia berjalan ke Ganting
akan menemui tukang menatu Pak Karto. Memang Midun sudah
berjanji dengan Pak K arto, manakala lepas dari hukuman akan
bekerja menjadi tukang cucinya.
Sepanjang jalan pikiran Midun kepada Halimah saja, mak a
ia pun berk ata dala m hat inya, "Bah aya apak ah ya ng meni mpa
Halimah? Jika saya ti dak tolong, kasihan gadis itu. Akan tetapi
bila saya tolong, boleh jadi hidup saya celaka pula. Saya belum
tahu seluk beluk perkaranya dan
dalam bahaya apa dia
sekarang. Lagi pul a d ia seoran g gadis, say a bujan g, bukankah
ini pekerj aan sia- sia saj a. Ya, serba salah. Tetap i lebih baik
saya bertanya kepada Pak Karto, bagaimana pikirannya tentang
Halimah itu. Perlukah ditolong atau tidak?"
Pikiran Midu n bolak-bal ik saja , hingga sampai ke muka
rumah P ak K arto. Didapatinya Pak K arto sedang makan, l alu
Midun diper silakan or ang tua itu mak an bersa ma-sama. Sudah
makan hari baru pukul 8 malam. Mereka itu berc akap-cakap
menceritakan ini dan itu. Setelah beberapa l amanya, Midun
lalu menceritakan hal Halimah da n surat yang diterimanya itu.
Mendengar cerita Midun, apalag i gadis itu berasal dari t anah
Jawa, se bangsa dengan dia, P ak K arto sangat belas k asihan.
Pak Karto sepakat menyu ruh Midun membela Hal imah, sebab
gadis itu sebatang ka ra saja di kot a Padan g. la tidak lupa
menasihati Midun, supaya pekerjaan itu dil
akukan dengan
diam-diam, j angan hendaknya or ang t ahu. Bahaya yang boleh
menimpa Midun diingatkannya pula oleh Pak Karto. Midun
disuruhnya hati-hati mel akukan pekerj aan itu, sebab Halimah
seorang gadis. Kira-kira pukul 10 malam, Midun berangkat dari
rumah P ak Karto akan menepati apa yang dikat akan dal am
surat itu.
Karena har i baru pukul 10, per gilah ia berjalan- jalan ke
kampung Jawa akan melihat keadaan kota itu pada malam hari.
Setelah lewat pukul 11, Midun berjalan menuj
u arah ke
Pondok. Hari gelap amat sangat, jal an sunyi pula. Karena
pakaian Midu n disuruh ganti ol eh Pak Karto dengan pakaian
yang segala hitam, mak a ia tiada lek as bertemu oleh nenek
suruhan H alimah yan g t elah men antikannya. Midun sangat
berhati-hati dan selalu ingat mel alui jalan it u. Tiba- tiba
kedengaran olehnya oran g memanggil namanya. Maka ia pun
berhenti, lalu berjalan ke arah suara itu.
"Engkau ini Midun?" ujar orang itu dengan su ara gemetar,
sebagai orang ketakutan. "Saya ini nenek, turutkanlah saya dari
belakang."
Midun s ebagai ja wi di tarik talinya menurutkan nenek itu
dari belak ang. Entah ke mana ia dibawa nenek itu, tidaklah
diketahuinya, karena hari amat gel ap. Hanya yang diketahuinya, ia dua kali menyuruki pagar dan menempuh jalan yang
bersemak-semak. Sekony ong-konyong tertumbuk pada sebuah
dinding rumah.
"Neeeek?" bunyi suara pe rlahan-lahan dari jendela rumah.
"Ada Udo Midun? Sambutlah barang-barang ini!"
"Ada, in i dia bersama nenek," ujar nenek itu perlahanlahan. "Midun, tolonglah sambut Halimah dari jendela."
Midun lalu mengambil pinggang Hal imah, dipangkunya ke
bawah. Samp ai di b awah, Halimah berkata, "Ingat-ingat, Udo!
Boleh jadi Udo dipukul orang. Bawalah saya ke mana Udo sukai,
beliau sejak kecil dan yang me nyerahkan sek olah bapak kecil
ayah itulah. Beliau dibesarkan di rumah istri bapak kecil beliau,
karena sejak kecil ayah sudah y atim pi atu. Seba b itu ayah
terpaksa me sti mener ima. Ibu ada mengat akan, bahwa ada
ayah mem inta pertimbangan ibu saya , bagaimana yang akan
baiknya. Ibu pun tid ak d apat b erkata apa- apa, te rpaksa pul a
mengizinkan ayah beristri seorang lagi. Kepada ibu hal itu tidak
menjadi alan gan, a sal ke senangan bel iau tidak te rganggu, dan
keadaan rumah tangga tetap sebagaimana biasa.
Maka ayah pun beristri su dah. Sungguhpun ayah sudah beristri, tetapi keadaan kami ti dak berubah. Hanya waktu siang
ayah hilang sebentar-sebentar, tetapi malam beliau tetap juga
di rumah ibu. Kupanya ayah tidak sanggup bercerai dengan saya
malam hari, karena say a acap kali sedan g tidur meman ggil
'papa'. Dengan tidak d isangka-sangka, tiga bul an sesudah itu,
keadaan di r umah be rubah. Masa itu saya sudah b ersekolah.
Pada suatu h ari, ket ika saya pula ng dari sek olah, saya dapati
ibu sedang menangis. Menurut keterangan ibu, sebabnya karena
ayah marah- marah dengan tidak keruan. Ayah pulang sudah
mulai berganti har i. Tiap- tiap be liau pulang, selalu bermuram
durja. Saya sudah kurang beliau pedulikan. Sebab sedikit saja,
beliau sudah marah- marah. Hi dup kami tid ak be rketentuan
lagi, ibu tak pernah be rmata ker ing. K esudahannya ayah t idak
pulangpulang lagi, dan belanja sudah berkuran g-kurang. Jika
beliau pul ang sek ali-sekali, jangankan menegur saya, malahan
muka masam yang s aya t erima. Ka rena takut, say a tidak pula
berani mendekati beliau. Ibu terpaksa mencari untuk mencukupkan bel anja hari-h ari. Saya pun berhenti sek olah, pergi
menurutkan ibu bek al in i dan itu unt uk dimakan. Jik a t idak
begitu tentu kami mati kelaparan, sebab kami orang miskin.
Belanja dari ayah tidak d apat di harap lagi. Sekali sebulan pun
beliau ja rang mene mui kami. Entah apa sebabnya ayah ja di
demikian, ibu sendiri sangat heran, karena tidak
ada sebab
karenanya. Keadaan kami suda h k ocar-kacir, dan terp aksa
pindah ke pondok-pondok, menyewa rumah yang berharga f
1,50,-. Ak an lari ke rumah fa mili, t idak ada y ang kandung.
Meskipun ad a fa mili j auh, mereka itu pun misk in pula. Tida k
lama kemudian, ibu dice raikan ayah. Ibu dan saya hidup jatuh
melarat. Ibu hampir tidak dapa t menanggungkan kesengsaraan
itu. Beruan g sesen pun tidak, mak an pagi, tidak petang. Malu
sangat pula, tidak terlih at lagi muka orang d i B ogor. Kar ena
tidak tertahan, ibu memb ulatkan pikiran, lalu menjual baran gbarang yang ada. Maka kami pun melarik.m diri ke Betawi.
Umur saya masa itu sudah 8 tahun. Bagaimana penghidupan
kami mula datang di Betawi, Allah yang akan tahu. Maklumlah,
Udo, walaupun dekat, kami belu m pernah s ekali ju a k e n egeri
itu."
Halimah terhenti berkata,
karena air matan ya jatuh
berlinang ke pipiny a. Pikir annya melayang kep ada pen ghidupannya masa dahulu. Ia terkenangkan ibunya yang san gat
dikasihinya, t inggal seoran g diri di negeri orang, jauh terpisah
dari t anah air, kau m f amili se mua. Tampak terb ayang oleh
Halimah, ketika ibunya akin me ninggal dunia memberi nasihat
dengan suara putus-putus. Maka ia pun menangis tersedu-sedu,
karena amat sedih mengenangkan nasibnya yang malang itu.
Melihat hal itu, Midun amat bela s kasihan. Ia bersedih hati
pula menden gar cerita itu. Sambil membujuk Halimah, Midun
berkata, "T idak ada gunanya dise dihkan lagi, H alimah! Hal itu
sudah terjadi dan sudah lalu, tidak usah dipikirkan jua. Memang
demikianlah kehendak Tuhan da n kemauan alam. Tidak boleh
kita menye sali, karena sudah nasib sejak di rahim bunda
kandung. Kata Adik tadi, 'hid
up in i sebagai roda'. Mudahmudahan hingga ini ke atas, senang sentosalah hidup Adik."
Halimah menghapus air mata
nya dengan
saputangan.
Kemudian ia pun berkata pula meneru skan cer itanya, "Sampa i
di Betaw i, uang ibu tinggal f1 ,- lagi. Tiga ha ri ibu mencari
pekerjaan ke sana ke mari, tidak juga dapat. Hanya uang yan g
serupiah itul ah yang kami sed ang-sedangkan. Supaya jangan
lekas habis, kami tidak makan nasi, melainkan ubi, singk ong,
kata orang Betawi. Dalam tiga hari itu kami menumpang di
pondok-pondok orang. K ami t idur di t anah, di at as tikar yang
sudah buruk. Karena pagi-pagi ibu mencuci baju anak orang
pondok itu, ada juga saya dibe rinya nasi dengan garam. Pada
hari yang keempat ibu pergi pula mencari pekerjaan.
Saya selalu beliau ba wa, setapak pun tidak beliau ceraikan.
Hari itu ka mi tidak beruan g sesen jua. Sampai tengah hari, ibu
tidak juga dapat peker jaan. Hamp ir semu a rumah or ang
Belanda kami jalani, tetapi tidak ada yang mencari babu, koki,
dan lain-lain . Panas amat teri k, hau s dan l apar tak dap at
ditahankan. Ibu membaw a saya kepada sebuah sumur bor
,
diambilnya air dengan t angan, lalu diminumkannya kepada
saya. Kemu dian kami be rhenti di tepi jalan, berlindung di
turun tanah, baru mulai sembuh. Tet api badan beliau lemah
saja. Uang h ampir habis, hanya tinggal beberap a rupiah saja
lagi.
Di sebel ah rumah kami ada t inggal seorang Belanda peranakan. Ia hidup membujang dan bek erja pad a se buah kantor
di Padang. K etika ibu sakit, ke rap kal i dia d atang ke rumah.
Amat baik dan penyantun benar ia k epada kami. Banyak kal i
ibu diberinya uang, dibelikanny a ob at dan kadan g-kadang d isuruhnya ant arkan makanan oleh babunya. Adak alanya ibuku
ditanyanya, apa yan g e nak di makan ibu. Ti ap-tiap pul ang
bekerja, acap kali ibu
dibawakannya makanan dari t oko.
Bahkan ia serta pula menyelen ggarakan ibu dalam sak it itu.
Sungguh amat baik benar budi bahasa orang Belanda itu. Tak
dapat dik atakan bagaimana besarn ya terima kasih kepadanya,
karena uan g kami telah habis dan pertolon gannya datang.
Setelah ibu segar dan seh at benar, din yatakannya maksudnya,
bahwa ia hendak memelihara ibu. B ermacam-macam bujuka nnya agar ibu suka meluluskan permintaannya yang sungguhsungguh itu. Pandai benar ia berkata-kata manis bagai tengguli.
Barang siapa yang mendengar perkataannya, tak dapat tiada
akan lembut hatinya. Bu kankah perkataan yang lemah lembut
itu anak kunci hati segala manusia. Apalagi ibu terk enang pula
akan pantun yang demikian bunyinya.
Pisang emas bawa berlayar
masak sebiji di atas peti.
Utang emas boleh dibayar
Utang budi dibawa mati.
Pulau Pandan jauh di tengah,
di balik Pulau Angsa Dua.
Hancur badan dikandung tanah
budi baik terkenang jua."
Midun kena sindir, tepat benar kenanya. Perjalanan darahnya, sekonyong-konyon g beruba h. Hatinya kemb ang kemp is,
darah Midun berdebar, tetapi ia tidak dapat berkata-kata.
"Mengingat k eadaan ka mi ma sa itu dan mengin gat budinya
selama ibu sakit, terp aksa ibu mengabulkan permintaannya
itu," ujar H alimah s ambil tersenyu m, karena ia m elihat pe rubahan muk a Midun tiba-tiba itu.
"Maka orang Belanda
sesenang-senangnya."
"Benar, Udo!" ujar Hal imah. "M emang sejak ibu sakit payah
sampai kini saya tidak t idur amat . Tetapi jik a say a tidur, Udo
jangan tidur pula, sebab di kapa l banyak juga pencuri. Biarl ah
kita berganti-ganti tidur, ya, Udo?"
"Siapa pula pencuri di kapal ini?" ujar Midun dengan heran.
"Tidak saja sa ma-sama penum pang, kelasi pun ada juga, "
ujar Halimah . "Dahulu w aktu kami berlayar ke Padang, ada
seorang saudagar keh ilangan ua ng lebih f 200,-. Lain daripada
itu, waktu kami sampai
di Bangkahul u, seorang perempuan
beranak kehilangan gelang emas seharga f 150,- lebih. Waktu
akan tidur gelang it u ditaruhnya di bawah bantal. Kasihan kami
melihiat perempuan itu menangis. Bi ar b agaimana pun k ami
menolong, mencarikan, tidak bertemu."
"Baiklah," ujar Midun, " insya Allah t idak akan apa-apa,
tidurlah Adik!"
Belum lama Halimah mel etakkan kepala ke bantal, ia pu n
tertidur amat nyenyak nya. Midun duduk
seorang d iri
memikirkan cerita g adis itu. Kemu dian ia m emandang muka
Halimah, lalu berkata dalam hatinya. "S ungguh cantik gadis ini,
tidak a da cacat c elanya. Hati s iapa takkan g ila, iman s iapa
takkan bergoyang memandang yang
seelok in i. Kalau alang
kepalang iman mun gkin sesat olehny a. Tin gkah l akunya pun
bersamaan pula dengan rupanya. K ulitnya kuning langsat,
perawakannya sederhana besarnya, kecil tidak besar pun tidak,
gemuk bukan kurus pun bukan, sedang manis dipandang mata.
Rambutnya ikal sebagai awan berarak. Mukanya bulat bulan
penuh. Matanya laksana bintang timu r bersanding dua, dan
hidungnya bagai dasun tu nggal. Pipinya sepert i pau h dilayang,
bibirnya limau seulas, mul utnya delima merekah, yang tersedia
untuk memperlihatkan senyum -senyum simpul, sehingga
kelihatan lesung-les ung pipit, yang seolah- olah menambah
kemolekannya jua."
Midun mengambil kain, lalu menyelimuti betis Halimah yang
terbuka itu perlahan-la han. Pikiran Midun berubah-ubah,
sebentar begini, sebentar begi tu. Kadang-kadang melihat muka
gadis itu terkenang ia akan adiknya Juriah. Halimah dipandangnya sebagai adik kandungnya sendir i. Sebentar lagi sesat, dan
berharap kalau Halimah jadi istr inya, amat beruntung hidupnya
di dunia in i. Perkataan Halimah "pipit sama pipit" d an "maksud
sampai" itu t ak hendak hil ang dalam pikiran Midun. Tidak lama
timbul pula pikiran lain, lalu ia berk ata pula dalam hatinya,
"Penanggungan saya belum lagi sepersepuluh penanggungan ibu
Halimah. Sedangkan pe rempuan demikian berani dan sabarnya
merasai cobaan Tuhan, apalagi saya seorang laki-laki."
Pada keesok an harinya, setelah jauh lewat Bangkahulu,
Midun bertanya pula kepada Ha limah, katanya, "Sungguh sedih
ceritanya Adik kemarin. Tetapi ada pula yang menimbulkan
pertanyaan dalam hati saya. Setelah ibu bercer ai dengan ayah
Halimah, apakah sebabnya beli au tidak ber suami lagi? Jika
sesudah ber cerai segera bersu ami, saya ra sa ti daklah akan
demikian benar penanggungan ibu dan Adik."
"Saya pun amat heran," ujar Halimah . "Sejak saya berakal,
berulang-ulang say a menyuruh beliau bersu ami, tetapi ibu
selalu menggelengkan kepalanya. Ibu menerangkan, bahwa
cukuplah beliau men anggung kesedihan yang hampir tidak terperikan itu. Jika beliau bersuami pula, dan timbul lagi sesuatu
hal yang menyedihkan, ia tak dapat tiada nyawa tentangannya.
Kiranya perk ataan beliau itu ben ar j ua. Sekaran g tentu Udo
sudah maklum, apa sebabnya yang menyebabkan ibu meninggal
dunia. Lagi pula ibu sangat ci nta kepada ayah, sebab itu t idak
sampai hati beliau akan mengganti ayah dengan orang lain. Jika
tidak karena budi dan
keadaan kami yan g sangat su sah,
istimewa di negeri o rang, tidaklah ib u akan mau dipelihar a
orang Belanda peranakan itu."
"Sungguh pandai ibu Adinda men ahan hati," ujar Midun.
"Jika or ang lain be rhal d emikian itu, boleh jad i menimbulkan
pikiran yang kurang baik di da lam hat inya. Hati siapa takkan
sakit, awak di dalam berkasih-kasihan diganggu orang. Rupanya
ibu Adik maklum apa yang menyebabk an perceraian itu. Bagi
saya sendiri pun sudah terbayang hal itu."
"Dapatkah Udo menerangkannya?" ujar Halimah. "Saya kerap
kali menanyakan kepada ibu, te tapi selalu beliau sembunyikan
dan tidak mau menerangkan sebab perceraian itu."
"Percayalah Halimah," uj ar Midun, " sekalipun waktu ayah
akan ber istri diiz inkan oleh ibu Adik, tetapi di h ati bel iau
sendiri tidaklah menerima dan tid ak izin ayah Ad ik beristri itu.
Benar perempuan amat pandai men ahan hati. Apakah Adik
mendengar cerita anak Nabi Muhammad saw?"
"Tidak, Udo, bagaimanakah ceritanya?" ujar Halimah.
"Pada suatu hari suami Fatimah itu memanggil istrinya," ujar
Midun. "Setelah istr inya datang, maka Saidina 'Ali, demikianlah
12. Tertipu
Tetapi, tetapi, kalau saya nyat akan pula pe rasaan s aya dan
diterimanya, apakah yang akan kami makan kelak, karena s aya
tidak ada b erpencarian. Ah, sud ahlah, rezeki elan g tak d apat
oleh musang. Jika jodohku tiadakan k e mana, saya perlu mencari penghidupan dulu. Bukankah pangkal kesenangan itu uang?
Jika ada uan g, yang dimaksud sa mpai dan yang dicita dat ang.
Tetapi kalau tidak ada uang ... celakalah hidup."
Midun berdiri lalu berjalan menuju Kampun
g Empan g
tempat ayah Halimah tin ggal. Pikiran nya sudah putus hendak
meninggalkan negeri itu. Segala perasaannya kepada Halimah,
disimpannya dalam peti wasiat di sanubarinya. Nanti jika sudah
datang wakt unya, baru ia be rani m embukakannya. Hamp ir
sampai ke rumah, dari jauh sudah kelihatan olehnya Halimah
berdiri di tepi jalan di muka rumahnya. Setelah dekat, Halimah
berkata, "Ke mana, Udo? Sudah lama saya menanti belum juga
pulang? Saya sangk a Udo sudah
sesat, a tau di tipu Wera k*
(Werner, orang yang mencari-cari kuli kont rak unt uk onderneming dan
t ambang) supaya Udo suk a jadi kontrak." Halimah
berkata itu
Abdullah. "M ari saya tun juki jalanny a, supaya l ekas tebal.
Memang jika dijual tunai, susah melakukannya di sini. Sebab itu
lebih baik Midun perutangkan di kampung-kampun g. Bayarannya pungut tiap-tiap hari Sabtu, sebab kebanyakan oran g sin i
gajian satu kali seminggu. Jika diutangkan, taruh harga kain itu
lebih mahal, menurut beberapa ia berani mengan gsur tiap-tiap
minggu, Misalnya kalau harga 13,2 0,-. Jadi tiap-t iap minggu ia
harus me mbayar f 0,40,-. Bukankah dengan jal an itu kita
beruntung besar? Kesusahannya tidak ada, sebab Midun berjalan juga tiap-tiap hari."
Perkataan itu tidak sesuai sedikit jua dengan pikiran Midun.
Pada p ikirannya perbuat an itu jah at, sebab te rlampau memakan ben ak orang. Mesk ipun dia yan g sudah-sudah menurut
saja ap a y ang dik atakan induk semangnya, tetapi sekali in i
pengajaran itu tidak sedikit jua sesuai dengan kemauannya.
Midun termenung saja mendengar perkataan Syekh Abdullah
yang demikian itu. Akan diterusk annya jua menjajak an kain ke
kampung, pasti tidak ak an laku. Tiba-tiba timbul pikiran lain
dalam hati Midun, lalu ia berkata katanya, "Sekarang lebih baik
saya j angan menjaj akan kain l agi, Tuan! Saya ingin hend ak
berkedai di pasar, di tep i-tepi ja lan. Biarlah saya beli saj a di
toko. Tetapi pokok saya seka rang, t entu tidak mencukupi.
Sudikah Tuan meminjami saya uan g barang f 100,-? Jika Tuan
pinjami l agi saya u ang f 100,- jumlah uang Tu an pada saya
dengan y ang dahulu f 150,-. Sekara ng baiklah kita hitung laba
rugi selama saya menjajakan kain."
"Itu lebih baik lagi," ujar
Syekh Abdu llah, "supaya Midun
dapat belajar sendiri
mengemudikan perni agaan. Saya pun
lebih suk a, k alau saya tidak ca mpur. Dan saya suka memberi
uang pinjaman, tetapi Midun
tahu sendiri,
tentu saya
mengambil untung sedikit."
"Tentu saj a, Tuan!" ujar Midun. "Dal am h al itu saya ada
timbangan b agaimana ya ng patu t, k arena uang Tuan saya
pakai."
Setelah selesai mereka itu membagi keuntungan penjualan
kain yang sudah, mak a S yekh Abdullah al-Hadramut menulis
sepucuk surat utang. Surat utan g itu disuruhnya tanda tangani
oleh Midun. Dengan tidak berpikir
lagi, ia menandatangani
surat itu dengan tulisan Arab,
lalu uang itu diambilnya. I a
berjanji, bahwa uang itu dalam 8 bulan akan dikembalikannya.
Dengan sen ang hati M idun pergi, k arena ia tidak lagi berjalan
"Jika M idun mau be rniaga deng an po kok send iri, bagi s aya
tidak ada alangan," ujar Syekh A bdullah. "Itu lebih bagus lagi,
dan saya pu n mau menolong Mid un bilamana perlu. Sekarang
kalau Midun hendak membayar utan g Midun ke pada saya,
bayarlah!"
Dengan segera Midun mengeluark an uang dari saku bajunya
sebelah dal am, lalu dihitung nya f 250,-, sebanyak yang
diberikan Syekh Abdullah kepadany a. P ada pik irannya, setelah
uang itu diterima induk semangny a, ia akan perg i ke belakang ,
kepada istri Syekh Abdullah memberik an uang f 50,- lagi atau
dibelikannya barang men urut kehendak istri induk seman gnya
itu.
Setelah uang itu dihitung Sy ekh Abdullah al-Hadramut, ia
pun berkata, "Mana lagi, Midun? Ini belum cukup."
"Yang lain maksud saya akan sa ya belikan barang untuk istri
Tuan!" ujar Midun.
"Ah, itu t idak perlu. Biarlah saya sen diri membelikan dia.
Kemarikanlah uang itu! Berapa?"
"Kalau begit u, baiklah!" ujar Midun dengan heran, sebab
pada pikirannya, kalau u ang di berikan, samalah h alnya dengan
bunga uan g. Hal itu terlarang menu rut agama. Maka Midun
mengeluarkan uang pula f 50,- l alu berkat a pu la, "Hanya
sebeginilah maksud saya hendak memberikan kepada istri Tuan,
sebab u ang Tuan telah sekian lama saya pak ai. U ang in i akan
saya be rikan kepada bel iau, me lainkan sebagai h adiah saya,
karena saya sudah berunt ung be rniaga. Tetapi Tuan meminta
uang ini. Jika Tuan ter ima uan g ini, tidaklah sebagai bung a
uang namanya? Buk ankah hal it u te rlarang d alam agama k ita?
Lupakah Tuan akan itu?"
"Apa? Bunga uang?" ujar Syek h Abdullah al-Hadramut. "Ini
bukan perkara bunga. Uang yang f 250,- ini belum cukup. Midun
mesti bayar sebanyak yang ditulis dalam kedua surat utang
Midun; jumlahnya semua f 500,-."
Terperanjat sungguh Midun mendengar perk ataan Syekh
Abdullah itu. la tahu uang yang dipinjamnya, cuma f 250,- tibatiba sekarang jadi f 500,-. Maka ia pun berkata dengan cemasnya, katanya, "Berapa, Tuan? f 500,-? Mengapa jadi f 500,-,
padahal saya terima uang dari Tuan cuma f 250,-?"
"Ya, f 500,-!" ujar Syekh Abdullah pul a. "Midun mesti bayar
f 500,- sekarang, sebab sekian ditulis dalam surat utang."
Muka Midun jadi merah menahan marah, karena ia maklum,
bahwa ia sudah tertipu. Amat sakit hat inya kepada orang Arab
itu. Ia tid ak dapat l agi menahan hat i, karen a sangat pan as
hatinya. Ket akutannya hilang, kehormatannya ke pada orang
Arab lenyap sama
sekali. Maka ia
pun berkata, katanya,
"Selama ini saya takut dan hormat be tul kepada T uan. Pada
pikiran sa ya Tuan seo rang ya ng suci, sebab be rasal dar i tan ah
Arab. Apal agi Tuan sudah syekh, saya percaya sungguh.
Rupanya per sangkaan saya itu salah. Kalau begitu, Tuan
seorang pen ipu besar, sama h alnya dengan lintah darat y ang
dikutuki Tuh an. Rupanya saya sudah Tuan jerat. Apak
ah
maksud Tu an dengan u ang yang f 250,- lagi itu? Akan j adi
bunganyakah?
Tidakkah Tuan tahu, bahwa menurut ag ama Islam te rlarang
memperbungakan uang? Bukankah memakan rib a dengan cara
demikian itu ? Sungguh ti dak s aya sangka hal in i t erjadi pad a
orang Arab."
"Diam, engkau jangan berkata begitu sekali lagi," kata Syekh
Abdullah den gan marah. "Jangan terlalu kurang ajar kepada
saya.
Saya amat b aik kepadamu, tetapi den gan ini engkau balas.
Jika en gkau berani berkata sek ali l agi, nant i saya adukan.
Engkau boleh say a baw a perkara, sup aya engk au t ahu bahw a
saya seorang baik."
"Macam Tuan ini, or ang p emakan rib a, seor ang b aik?" ujar
Midun dengan sen git. "Orang gil a agaknya oran g yan g
menyangka demikian itu. Tuan hendak membawa saya perkara?
Ke langit Tuan adukan, s aya tidak t akut perkara dengan orang
macam ini. Saya berd iri atas kebenaran, ke mana p un jua say a
mau perkara."
Midun segera mengambil uangnya yang f 300,- itu kembal i,
lalu dimasuk kannya ke dalam saku bajunya. Sambil berj alan
keluar rumah itu, ia pu n berkata pula, katanya, "Tak ada
gunanya kita berbalah jua, adukanlah ke mana Tuan suka! Saya
tidak hendak membayar utang saya, sebelum perkara."
Sepanjang jalan pik iran Midun berkacau saja. Hatinya amat
panas, karena tertipu pula. Midun tidak mengerti apa sebabnya
Arab itu berbuat demikian kepadanya. Lagi pula ia amat heran,
sebab seorang Ar ab se berani itu m enipu or ang. M aka kata
Midun dalam hatinya,
"Sungguh ajaib, sepuluh kali ajaib,
karena hal ini terjadi pada seor ang Arab dan syekh pula. Siapa
yang akan m enyangka, orang yang de mikian itu su ka memakan
riba. Benar ajaib dunia ini, jika kurang awas, bina sa diri. Pad a
pikiran say a, orang Arab ini ba ik bela ka, apala gi y ang sudah
syekh. Kirany a ada pul a yang lebih jah at dan lebih busuk lagi
tabiatnya. Bahkan t idak bermalu pula; sen ang saja ia
mengatakan uang f 250,- jadi f 5 00,- bermuka-muka. (Ia tidak
tahu bahwa dalam su
rat yang kedua f 300,-. Itulah
kemalangannya t idak t ahu d i mata surat.) La in daripada saya,
tentu banyak lagi agakny a orang yang sudah terjerat macam
saya ini. A mat panas hatiku mengenangkan p enipuan yan g
sangat halus dan menyakitkan hati itu. Biarlah, saya tidak akan
membayar u tang itu. Hendak diap akannya saya. Meskipun ia
mengadu, saya tidakkan takut."
Demikianlah pik iran Midun, sebent ar begin i, sebentar
begitu. Dengan tidak disangka-sangkanya, ia telah sampai di
rumah tem patnya mem bayar m akan. Sampa i di rumahnya,
segala b arang-barangnya y ang masih tinggal dibawanya ke
Pasar Senen, lalu diju alnya semua k epada kawan-kawannya
yang sama berniaga de ngan di a. U ang itu, yang jumlahnya
semua lebih f 500,- disimpannya dalam saku baju nya, sedikit
pun tak bercerai dengan dia. Ia tidak berkedai lagi, melainkan
bersenang-senangkan d iri saj a. J ika ditanyak an oran g, ap a
sebab Midun tidak berked ai lagi, jawabnya, hendak bersenangsenangkan diri dulu barang satu atau dua bulan.
kami."
"Benar kata Sutan itu. Bagi sa ya atau pun ibu Juriah tentu
tidak ad a al angannya. K ami tidak ku asa menahannya, karena
sudah menjadi adat kebiasaan kepada kita begitu. Tetapi cobalah Sutan tanyakan dulu kepada Pak Midun, adakah kurang sakit
beliau dan sanggupkah berjalan?"
"Hal itu tidak lah akan menjadi alangan, Mamak. Jika beliau
tidak dapat berjalan, biarlah kami tandu bersama-sama dengan
kursi."
Maka Sutan Menindih masuk ke bilik tempat P ak Midun
sakit, lalu b erkata-katanya, "Saya datang kema ri akan menjemput Mamak. Dapatkah Mamak berjalan atau kami tandu bersama-sama?"
Pak Midun yang sudah kurus kering dan pucat itu membuk a
matanya pe rlahan-lahan. Ia melihat
orang y ang berkata
kepadanya, lalu berkata, "Engkau Midun, anakku?"
"Bukan Mamak, saya Sutan Meni ndih," ujar Sutan Menindih.
"Kami datang kemari akan menjemput Mamak."
"Tidak sampai hati kami melepaskan Mamak Sutan," ujar ibu
Juriah dengan sedih. "Lih atlah, badan nya sudah tinggal kulit
pembalut tulang. Rupany a pucat sebagai kain putih. Ia selalu
mengigau menyebut Midun saja. Jan gankan berjalan, menggerakkan badan ia pun tidak dapat."
"Biarlah kami papah perlahan-lahan ke tandu dan kami pikul
lambat-lambat," ujar Sutan Menindih pula.
Pak Midun melihat sek ali lagi. Setelah nyata kepadanya
bahwa kemenakannya
yang berk ata itu,
maka katany a
perlahan-lahan, "Saya tak dapat berjal an, tak d apat berger ak,
seluruh tubu h say a sakit. Sebab itu sa ya jangan di bawa, saya
tidak suka."
"Kalau begit u Mamak hendak memberi malu kami," ujar
Sutan Menindih. "Tentu kami dibo dohkan dan dihin akan orang,
sebab Mamak kami biarkan sakit di sini."
Pak Midun menutupkan matany a se bagai menahan s akit.
Napasnya turun naik amat de ras, muk anya makin bertambah
pucat. Juriah seg era me rasai kak i ayahnya. Sam bil meminumkan obat, ia pun berkata, "Ibu, ayah pingsan!"
Segala is i ru mah itu cem as menden gar perkataan Juri ah.
Lebih-lebih ibu Juriah, sangat terkej ut mendengar perkataan
anaknya. Dengan segera ia mendekati, lalu meraba-raba badan
Pak Midun. Orang tua itu tidak berdaya lagi. Jika tidak dirasai
orang se menda itu a dalah seba gai orang di selang dari suatu
kaum kepada kau m yan g lain . Sebab itu kemen akan pulan g
kepada mamaknya, tid ak kepada bapaknya. Tetapi menurut
pikiran saya tidakl ah de mikian. P ada hemat saya, anak
itu
pulang kep ada bapaknya. Arti nya bapaknyalah yang haru s
menyelenggarakan anaknya. Begitu pula si anak wajib membela
bapak bilamana pe rlu. Anak it ulah yang lebih dekat kepad a
bapak daripada kemenakan.
Manakala sudah demik ian, suda h se suai deng an kat a ad at:
adat ber sendi syar a' d an syara ' ber sendi adat. Banyak lagi hal
lain yang ber salah-salahan orang me makainya. Mereka melakukan adat itu banyak sesat, agaknya k arena salah pengertian
jua. Bahkan saya sendiri pun ba nyak yang kurang paham, sebab
kurang selidik."
Ketika Datuk Paduka Raja akan mene ruskan perkataanny a
pula, tiba-tiba Manjau berseru di halaman sambil menan gis,
katanya, "Juriah, ayah sudah meninggal!"
Juriah terkejut, lalu menangis amat sedihnya. Ia melompat
hendak pergi melih at ay ahnya, tetapi lekas dipegang mamaknya. Datuk P aduka R aja mengucap, k atanya, "Inna lillahi wa
inna ilaihi raji'un. Tidakk ah sa mpai ay ahmu ke rum ah? Juriah,
jangan menangis juga! Nanti kita sama-sama pergi."
"Tidak," ujar Manjau, "Ke tika orang memikul tandu naik ke
rumah, anak tangga patah. Orang itu terjatuh, ayah pun jatuh
pula. Untung lekas saya sambut. Sungguhpun demikian, sampai
di ru mah ayah pingsan pula. Ti dak la ma bel iau membukakan
mata, lalu memanggil ibu dekat kepada beliau. Entah apa yang
beliau katakan tidaklah saya tahu, sebab ayah berkata berbisik.
Sudah itu ayah menarik napas ... lalu meninggal."
"Jika sekiranya Pak Midun ti dak dibawa, boleh jadi ia
sembuh ke mbali," kat a Datuk P
aduka R aja sendirinya.
"Sekarang apa jadinya, karena takut malu jadi lebih malu l agi.
Tentu pada persangkaan orang Pak Midun tidak mati seajalnya,
melainkan mati jatuh. Jangan-j angan disangka orang sengaj a
dijatuhkan. Sungguh kasihan Pak Midun, boleh jadi juga ia mati
beragan, karena ditinggalkan anaknya Midun. Tentu mereka itu
semua meny esali perbuatannya. Tetapi apa hendak dikatakan:
sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tidak berguna."
Pada har i itu juga Pak Midun dikuburkan dengan selamatnya. Tujuh hari l amanya orang men gaji dan makan minu m di
rumah famili Pak Midun. Waktu meniga hari dan menujuh hari
ambil harta pusaka mamak kami bilamana saja. Kalau Ibu berkeras juga, tentu kami terpaksa minta tolong kepada Penghulu
Kepala yang memerintah kampung ini. Sekianlah, kami hendak
pulang dulu."
Baru saja habis Sutan Menindih berkat a, kedengaran oran g
batuk di h alaman. Orang itu ia lah Datu k Paduka R aja. Setelah
naik ke rumah, ia pun berkata, katanya, "Sudah lama Sutan
datang?"
"Lama juga, Mamak," u jar Su tan M enindih. "Dari mana
Mamak tadi?"
"Dari pasar, sudah rapat dengan Tuan Kemendur."
"O, ya, saya lihat tadi pagi banyak benar penghulu-penghulu
ke pasar."
Demikianlah percakapan mereka itu , hingga habis rokok
sebatang seorang. Juriah meletakkan kopi dan penganan untuk
mamaknya dan jamu itu. Sesudah minum kopi, Sutan Menindih
pun berkata, katanya, "M amak! Seben arnya ked atangan ka mi
ini, ada sesuatu hajat y ang besa r jua . T adi s udah saya b icarakan juga dengan ibu, tetapi be lum lagi putus percakapan kami.
Sekarang kebetulan Mamak datan g, jadi lebih baik lagi. Biarlah
saya ulang sekali lagi, apa maksud saya datang kemari ini."
"Baik, Sutan, katakanlah apa yang ter asa di h ati, terkalang
di mata, supaya sama kita dengar!"
"Kedatangan saya kemari, ialah menurut adat yan g sudah
dilazimkan jua. Karena mamak saya Pak Midun sudah meninggal
dunia, say a sebagai seoran g kemenakan dari beliau, tentu
menuntut hak kami. Sebab itu ha raplah saya, Mamak izinkan
dan tunjukkan mana- mana yang har us sa ya ambil ha rta
peninggalan mamak saya."
"Benar kata Sutan itu. M emang kedatangan Sutan sudah
menurut adat sebab pusaka tu run kepada kemenak an. Tentu
saja Sut an kemari in i s udah se izin Datuk Raja Bendah ara
mamak Sutan, akan
menuntut hak Sutan itu.
Ben arkah
demikian?"
"Betul, Mamak! Memang sudah sepakat dengan beliau. Jik a
tidak seiz in beliau, tentu saya ti dak bera ni kema ri. M amak
Datuk Raja Bendahar a sudah menerangkan kepada saya, man amana pu saka peninggal an mam ak say a. Oleh sebab itu M amak
izinkanlah saya mengambil harta pusaka saya itu."
"Baiklah, Sutan! Hak milik Su tan itu tidak akan k e mana.
Tapi saya harap Sutan j angan te rburu nafsu benar. Saya minta
kemudian, maka perkawinan itu dilangsungkan dengan selamatnya. Maka Maun dan Juriah menjadi suami istri, hidup berkasihkasihan setiap hari.
Manjau kerjanya hilir mudik sa ja di kampung t iap-tiap hari.
Akan bek erja, tidak ada pekerjaan y ang akan dikerjakannya.
Hatinya tidak senang lagi tinggal di kampung itu. Amat sedih ia
memikirkan peninggalan bapaknya diambil or ang sama sekali.
Usikan P enghulu Kepala Kacak pun h ampir-hampir tidak tertahan lagi olehnya. Maka dipu tuskannya pik irannya, lalu ia
pergi men inggalkan k ampung, berjala n ke neger i orang membawa untung nasibnya.
14. Bahagia
Betawi yang indah itu. Amat lega hati Midun masa itu, dadanya
lapang, pik irannya senan g. Samp ai d i Kra mat i a pergi ke
Kwitang, ke rumah tempatnya membayar makan dahulu. Induk
semangnya h eran mel ihat kedatangan nya itu, karena dengan
tidak berkata sepatah j ua Midun p ergi, sekarang tib a-tiba
datang pula kembali. Setelah mereka itu duduk lalu diceritakan
Midun nasibn ya sel ama meninggalkan rumah itu . Mendengar
ceritanya itu , mereka be las ka sihan dan menasih ati Midun,
menyuruh in gat-ingat menjaga diri y ang akan d atang. Maka ia
pun tinggal pula di sana membayar makan.
Pada pet ang hari Midun pergi berj alan-jalan. Sampai di
Pasar Senen, ia bertemu dengan Salekan, temannya sama-sama
berkedai dahulu.
"Ke mana engkau, Midun? " ujar S alekan. "Sudah lama saya
tidak melihat engkau."
"Ah, saya pergi bertapa dua bulan ke Glodok," ujar Midun.
"Bertapa ba gaimana? C eritakanlah kepada
saya yang
sebenar-benarnya saja, Midun."
"Baik, engkau tidak berkedai hari ini?"
"Tidak, sudah dua hari dengan sekarang. Saya hendak tempo
dulu barang seminggu ini, karena ada urusan sedikit."
"Kalau begitu, marilah kita ke Pasar Baru! Saya ingin hendak
makan nasi goreng, sebab sudah du a bulan t idak men gecap
makanan itu. Nanti di jalan saya ceritakan pertapaan saya yang
dua bulan itu kepadamu."
"Baiklah."
Sepanjang j alan dicerit akanlah oleh Midun, bagaimana
halnya yang dua bulan itu. Dalam mereka asyik bercerita, tibatiba ke dengaran olehnya o rang be rseru, " Awas, se rdadu
mengamuk! Lekas lari!"
Midun terkej ut, lalu melihat ke sana kemari. Wak tu itu ia
sudah sampai dekat pint u masuk ke Pasar Baru. Temanny a,
Salekan, baru saja mendengar suara orang menyu ruh lari, ia
sudah membuat langkah seribu. Sekonyong-konyong kelihatan
oleh M idun seor ang serdadu me megang sebuah pisau y ang
datangnya dari arah Kemayoran. Mana yang dapat, apalagi
orang yang mengal angi, terus saja diamuknya. Serdadu itu
terus juga lari mengej ar seorang sinyo yang baru berumur 12
atau 13 tah un. Sinyo itu sudah payah, napasnya turun naik,
agaknya sudah lama ia dikejar serdadu itu. Ha mpir s aja ia
dapat kena tikam, karen a tida k j auh lagi ant aranya. Midu n
tidak berp ikir lagi, ser aya berkat a, "Jangan lari, Sin yo, berdiri
saja di belakang saya!"
Baru saja sinyo itu men dengar suara M idun, ia b erhenti.
Memang ia h ampir tak ku at lagi be rlari, seb ab su dah payah.
Sambil terengah-engah, s inyo itu pun berkata, "Tolong s aya,
Bang, dia hendak menikam saya."
Setelah dekat, Midun melompat men angkap pisau serdadu
itu. Maka kedua mereka itu pun berkelahi, di tengah jalan itu.
Setelah pisau serdadu it u dapat oleh Midun, lal u dilemparkannya, seraya berkata, katanya, "Ambil pisau itu, Sinyo!"
Ketika pisau itu tak ada lagi , serdadu itu pun menyerang
Midun dengan garangnya. Teta pi dengan mudah Midun dapat
menyalahkan serangannya. Midun melepask
an kekuatanny a
pula. T idak la ma a ntaranya, i a pun dapat menangkap serdadu
itu: Midun berkata pula, " Sinyo, coba ambil ikat pinggang saya
pengikatnya!"
"Ini ada ik at pinggang saya, Bang," uj ar s inyo sambil me mberikan ikat pinggangnya. Seka liannya terjadi dalam beberapa
saat saja.
Setelah serdadu itu diik at Midun, maka
opas pun berlompatan akan menangkapnya. Ketika ia akan dibawa ke kantor
Commissaris, sinyo be rkata, "Tak usa h dibawa ke sana. I kut
saya saja!"
Maka serdadu itu pun dibawa oleh sinyo itu kepada sebu ah
gedung yang tidak berapa jauhny a dari sana, diiringkan oleh
orang banyak yang berkerumun sesudah si pen
gamuk itu
tertangkap. Setelah samp ai, siny o terus saja m asuk ke dalam.
Kemudian ia ke luar bersama dengan seorang tuan.
Adapun tuan itu ialah Hoofdcom missaris, bap ak si nyo yang
ditolong Midun itu. Di muka ba pak dan ibuny a, diterangkanl ah
oleh siny o itu baga imana ha lnya dengan serdadu yang
mengamuk itu. Nyonya H oofdcommissaris menjerit menden gar
cerita anaknya yang sangat ngeri itu. Tetapi ia bergirang hati,
karena anaknya terlep as d ari bahaya. Demikian pula
Hoofdcommissaris, a mat senang hat inya kepada Midun yang
menolong an aknya itu. Hoofdc ommissaris menelpon, dan tidak
lama ant aranya datangl ah beberapa orang pol itie-opziener
akan membawa serdadu yang mengamuk itu.
"Saya ucap kan banyak -banyak ter ima kas ih karena
keberanianmu menolon g anak sa ya di dalam bahaya," ujar
Hoofdcommissaris kepada Midun.
mengerjakan ini itu mana yang perlu. Rupanya per kawinan itu
akan dilangsungkan ay ah Halimah den gan peralat an yang agak
besar, sebab hanyalah Halimah anaknya yang perempuan.
Kedatangan Midun diterima ay ah Halimah dengan segala
suka h ati. M aka Midun pun me nceritakan halnya sejak keluar
dari bui sa mpai menjad i menter i po lisi di ha dapan Halimah,
ayahnya dan beberapa orang lain famili mereka itu. Segala
yang mendengar cerita Midun itu amat bergirang h ati. Lebihlebih Halimah, karena bakal suaminy a sudah menjadi ambtenar
pula.
Tiga har i kemudian, per kawinan Midun dan Halimah dilangsungkan. Dua hari du a mal am diadakan peralatan, sangat
ramai, karen a banyak sahabat kenal an ayah Hal imah hadir
dalam peralatan itu. Begitu pula sahabat kenalan Midun banyak
datang dari Betawi.
Dengan tidak kurang su atu apa, selesailah peralat an itu.
Setelah seminggu Midun tinggal bersama mertuanya, ia pun
berangkat ke Betawi. Ayah, ibu tiri, d an beberapa orang famili
Halimah turu t ... mengan tarkannya ke Tanjung Priok: Midun
memang sud ah si ap den gan sebu ah rumah yang sederhan a,
cukup dengan perkak asnya, bak al mereka itu tinggal dua laki
istri. M aka t inggallah mereka sua mi i stri di rumah itu, hidup
selalu dalam berkasih-kasihan, se ia sekata dan turut-menurut
dalam segala hal. Demikianlah pergaulan mereka itu dari sehari
ke sehari.
Midun sudah bekerja sebagai menteri polisi. Namanya
termasyhur di Tanjung P riok. Baik ku li baik pun t idak, amat
segan dan t akut kepada menteri polisi Midun. Polisi orang
Melayu atau pun Belanda segan pula kepadanya. Sebabnya ialah
ketika terj adi per kelahian beber apa orang kel asi kapal yan g
memperebutkan perempuan durj ana. Tidak ub ah seb agai
perang kecil waktu terjadi perju angan itu. Perkel ahian yan g
asal mulany a dua orang kelas i yang berlain an-lainan ka pal
tempatnya bekerja, men jadi ra mai s ebab merek a memp ertahankan teman masing-masing. P olisi tak dapat lagi memisahkan, se bab sangat sibukn ya. Segala orang y ang mempunyai toko menutup tokonya karena ketakutan. Yang berkedai
mengemasi kedainya, l alu menc ari tempat persembunyian.
Amat banyak orang be rlarian ke sana kemari menjauhi perkelahian itu. Huru-hara, t idak berketentuan lagi. T idak sedikit
polisi baik pun kelasi yang luk a. Jika tidak ad a Midun, entah
15. Pertemuan
kamu buat, berikan kepada saya. Nanti saya s endiri mengirimkan ke Padang."
"Terima kasih banyak, Tuan," ujar Midun dengan girang.
Dengan petunjuk beberapa oran g pegawai kantor itu, maka
dibuatlah oleh Midun rekes ke pada Re siden Pa dang memohonkan suatu pekerjaan di
Sumatra Barat. Setelah sudah, lalu
diberikannya kepada Hoofd commissaris. Kemu dian ia perg i
menjalankan pekerjaannya seperti biasa.
Sepuluh hari kemudian daripada itu, pagi-pagi, ketika Midun
mengenakan pakaian di rumahnya, kedengaran olehnya di muka
orang mengatakan "Pos". Halimah segera keluar. Tidak lama ia
kembali, lalu berkata, "Telegram, Udo."
Setelah ditekan Midun surat tanda penerimaan telegram itu,
diletakkannya di at as meja. Sesudah b erpakaian, dengan darah
berdebar-debar dan har
ap-harap cemas, lalu dibukanya
telegram i tu. Ti ba-tiba i a terperanja t, ka rena di da lam
telegram itu tersebut, bahwa Mi dun diangkat jadi assisten
demang d i negerinya s endiri, dan me sti selekas-lekasnya
berangkat.
Tidak dap at dikat akan bagaimana k egirangan hati Midun
masa itu. Diciumnya an aknya beberapa kal i akan menunjukkan
sukacitanya. Halimah j angan dikatakan lagi. Amat giran g
hatinya karena suaminya menjadi assisten demang.
Dengan suka dan girang, Mi
dun be rangkat ke kantor
Hoofdcommissaris. Sa mpai di s ana, i a terus s aja masuk ke
kamar H oofdcommissaris, sa mbil memegang surat kawat di
tangannya.
Midun berkat a dengan gagap, diunjuk kannya telegram itu
katanya, "Sa ya diangk at jadi a ssisten demang d i negeri s aya,
Tuan!"
Hoofdcommissaris membaca telegr am itu. Setelah diba canya, ia pun berkata deng an g irang, "S elamat, sel amat, M idun!
Yang ka mu c ita-citakan sudah dap at. Keangkat anmu ini tentu
menyenangkan hatimu, karena ka mu dipindahkan ke negerimu
sendiri."
Hoofdcommissaris itu ber diri, lalu d itepuk-tepuknya bahu
Midun. Maka ia pun berk ata pula, katanya, "Pemandanganmu
sudah lu as, pengetahu anmu pun sudah dal am. Sebab itu
pandai-pandai me merintah dan me majukan nege rimu. Say a
harap kamu hati-hati dalam pekerjaan, jangan kami dapat malu
karena kamu . Jika k amu rajin bekerja,tidak lama t entu kamu
dan Manjau sampai di kampungny a dengan selamat . Didapatinya or ang sedang r apat di pasar di kampun gnya dan Tu an
Kemendur ada pula di sana. Maka Midun pun pergilah menemu i
Tuan Kemen dur. Setelah bebera pa lamanya Midun bercakap
dengan Tuan Kemendur, Tuan Kemendur memberitahukan pada
kerapatan, bahwa Midunlah yang akan menjadi assisten demang
di negeri itu . Sesudah itu Midun menerangkan pula dengan
pandak, atas kepindahannya dari Betawi ke negerinya sendiri.
Datuk Paduk a Raja, mamak Midun yang masa itu ada pula
hadir dalam rapat itu, melomp at k arena girang mendengar
kabar M idun menjad i a ssisten de mang. Dengan suka amat
sangat ia pu n pergi mendapatkan kemenak annya. Baru saja
Midun mel ihat mamakny a, dengan segera ia menj abat t angan
Datuk Paduka Raja. Ke
duanya berp andang-pandangan, ai r
matanya berlinang-lin ang, karena pertemuan yang san gat
menyenangkan hati itu. Segala penghulu kepala dan penghulupenghulu bersal am kepada Midun
dengan
hormatnya.
Bagaimana pulalah halny a deng an P enghulu Kepala Kacak?
Dengan malu dan takut, ia datang juga bersalam kepada Midun.
Itu pun sudah kemudian sekali, yakni setelah orang-orang habis
bersalam dengan Midun. Midun sangat hormat dan merendahkan diri kepada K acak. Dirasanya t angan Kacak gemetar bersalam dengan dia. Sedan g bersalam, Midun berkat a, "Senang
benar hati saya melihat Engku sudah menjadi penghulu kepala.
Karena Engk u sah abat saya ya ng san gat akrab masa dahulu,
tentu saja kita akan dapat bekerja bers amasama memajukan
negeri kit a. Sebab itu saya ha rap, moga- moga pergaulan kit a
sekarang mendatangkan kebaikan kepada negeri ini."
Kacak ketakutan, warna mukanya pucat seperti kain putih.
Sepatah pun ia tid ak be rani me njawab perkataan Midun itu.
Segala penghulu-penghulu dan penghul u kepala yan g lain amat
heran, karen a Midun san gat hormat dan merendahkan diri
kepada Penghulu Kepala Kacak. Apalagi mel ihat muka Kacak
yang pucat itu, semak in takjub orang memandan ginya. Tetapi
penghulupenghulu yang mengetahui hal Kacak dan Midun masa
dahulu, mengangguk- anggukkan kepala saja, karena merek a
maklum akan sindiran assisten demang yang demikian itu.
Rapat itu disudahi sebab sudah habis. Midun suami istri dan
Manjau se rta ma maknya terus ke rumah familinya. Di jal an
dikabarkan Datuk Paduka Raja, bahwa ibu Midun baru sepekan
di ru mah. I a pergi k e Bonjol menurutkan Maun bekerja.
SELESAI
www.fotoselebriti.net