Anda di halaman 1dari 139

Kata Pengantar

Pertama-tama, puji dan syukur kami haturkan kepada


Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmatnya,
kami dapat menyelesaikan buku ini. Buku ini dibuat dalam
rangka memenuhi tugas mata pelajaran Bahasa Indonesia.
Buku yang sederhana berisi tentang cerita-cerita pendek karya
siswa SMA Kanisius Jakarta.
Dalam penyusunan buku ini, banyak pihak yang telah
membantu dan mendukung kami. Oleh karena itu, kami ingin
mengucapkan terima kasih kepada Kepala SMA Kanisius dan
Bapak Widi selaku guru bidang studi Bahasa Indonesia,
karena telah memberikan kami kesempatan untuk menyusun
buku ini. Berikutnya kepada keluarga penulis yang telah
memberikan dukungan baik secara moral maupun materiil,
sehingga buku ini bisa selesai tepat waktu. Kemudian kepada
pihak-pihak lainnya yang tidak dapat kami sebutkan satu
persatu, sehingga kami dapat menyelesaikan buku ini.
Setiap manusia tidak ada yang sempurna dan pasti
sering melakukan kesalahan. Dalam penyusunan buku ini juga
masih banyak kekurangan dan mungkin membuat pembaca
tidak nyaman. Oleh karena itu, kami meminta maaf apabila
ada kata-kata yang kurang nyaman pada pembaca. Akhir kata,
semoga buku ini bisa bermanfaat bagi para pembaca

November 2019

Penulis
Daftar Isi
Kata Pengantar
Isi
1. Waktu Tetap Berjalan..........................................4
2. Sehad dari Ustad..................................................8
3. Kematian Mimpi..................................................13
4. Prestasi yang Tertunda.........................................16
5. Malam Tanpa Rehat.............................................19
6. Rahasia Gunung...................................................23
7. Motivasi Tak Biasa..............................................26
8. Kebetulan.............................................................29
9. Perkemahan.........................................................31
10. Pembunuh Maha Bakshi......................................34
11. An S.O.S..............................................................39
12. Pertandingan Menyelamatkan Manusia...............45
13. KO-BLOG...........................................................50
14. Kala Senja Kian Temaram...................................56
15. 1 Hari Lagi...........................................................60
16. CANDU...............................................................63
17. Arvin sang Pemain Basket yang Pendek..............68
18. Sepadan...............................................................73
19. Telepon Genggam di Kebun Jeruk.......................77
20. The Downfall.......................................................83
21. Telah Dipanggil...................................................86
22. PLASTIK.............................................................92
23. Lagu Terakhir......................................................95
24. Hari Kesialan Anton............................................106
25. Tak Ada yang Seperti Tampaknya.......................109
26. Si Anak Emas dari Malang..................................112
27. Khayalan Penuh Harapan.....................................118
28. Cedera yangMengubah Segalanya.......................124
29. Bangkit ...............................................................127
30. Besok Aku Mati...................................................130
31. Luangkan Waktu.................................................135
Waktu Tetap Berjalan
Oleh : Adi Priana Admaja XIA6/1

Nama saya Adam, saya hanyalah siswa SMA biasa


seperti yang lain di Jakarta. Saya belajar, pusing, bermain,
stress, bersenang-senang, bahkan depresi. Pastinya sudah
dapat dibayangkan bagaimana di masa-masa SMA ini. Akhir-
akhir ini saya juga baru saja lulus SMP di Yogyakarta, dan
jujur saya pengalaman saya di SMP lebih meyenangkan
dibandingkan sekarang. Apalagi sekolah yang saya tempati
adalah Jakarta, jauh sekali dengan Yogyakarta. Alasan saya
ingin bersekolah di Jakarta bermacam-macam, namun untuk
dipersingkat saya ingin merasakan bagaimana rasanya
berteman dengan teman yang bisa dikatakan hidup ‘elite’.
Dan tentunya, pasti terjadi konflik diantara saya dan juga
kedua teman saya.

Kedua teman saya adalah Hanna dan Ryoga, bisa


dikatakan mereka berdua adalah sahabat juga karena saya
selalu bersama mereka saat kita bertemu di sekolah. Kita
sudah berteman sejak kecil dari TK, dan bahkan masih
berteman sampai sekarang. Kita sedikit berbeda dengan yang
lain, karena gaya pembicaraan kita bisa dikatakan tidak
seperti yang lain. Kita selalu berbicara dan ngobrol dengan
gaya orang barat, jadi bisa dibayangkan kata kata yang kita
katakan tercampur dengan inggris. Memang aneh dibilang,
karena Yogyakarta merupakan tempat yang penuh dengan
orang yang berbicara dengan bahasa Jawa.
Masalah perpindahan sekolah ini dimulai saat kita
menjadi siswa kelas 7, Pada hari minggu itu kita bertiga hanya
bersantai santai dan bermain PS3 milik Ryoga. Ya,
sebenarnya hanya Ryoga dan Hanna saja sih, saya hanya
duduk di meja belajar Ryoga, menggambar.
“Udah ah, gua dah bosen” Keluh Ryoga sambil
mematikan PS3-nya.
“Eh? Cepet amat, kita kan masih blom selesai” Jawab
Hanna
“Hmmmm, im bored, Adam helppp” Ujar Ryoga ke
saya yang artinya ia bosan dan ingin minta bantuan saya
untuk membantu dia.
“Well uh.. gua juga gk tau mau ngapain, pr dah
selesai, gak ada ulangan besok.. wes ga tau lagi mau ngapain”
“..kita beda banget ya kalo dibandingkan sama anak-
anak lain” Jawab Hanna
“Kita tuh.. autis bener kayak yang dibilang sama
mereka di kelas. Apalagi gua cewe, hangout sama lu pada
cowo”
“..hah...coba kalo kita bisa sekolah di Jakarta” Keluh
saya sambil menghembuskan nafas
“Eh? Malah bagus dong disana, apalagi keluarga lu
kaya. Bahkan lu bilang kakak lu sekolah disana dulu” Jawab
Ryoga
“Ya.. tapi kan gak seru kalo gak ada lu berdua.
Keluarga kalian tuh ketat banget kalo milih sekolah itu kan?”
“I- I guess so..”
Setelah hening dan memikirkan jawaban kita.
“Y-Ya, kita kan masih kelas 7, mungkin lain kali kita
mikirin, ya?” Jawab Hanna
“Iya Hanna, bener juga..”
Beberapa bulan telah berlalu, dan kita sudah menjadi
siswa kelas 9 SMP. Pada saat itu, terjadi tragedi yang
menyedihkan bagi kita bertiga, atau bisa dikatakan hanya
untuk kedua dari kita saja. Ryoga dilaporkan oleh para warga
di sekitar bahwa Ryoga terkena kecelakaan dan meninggal
pada tanggal 27 April 2017. Saya sendiri saat itupun pastinya
sangat sedih, namun siapa yang paling sedih disini bukanlah
saya. Dibandingkan dengan kesedihan yang dimiliki oleh
Hanna , dia lah yang paling tersakiti dengan insiden ini.

Kita melayat di kuburan Ryoga pada hari itu juga, dan


melihat tangisan keluarga Ryoga saja sudah menyakitkan.
Apalagi saya sendiri adalah sahabatnya, namun apa yang lebih
mengejutkan Hanna yang paling keras tangisannya. Saat itu
pula, saya menjadi lebih ragu dengan diri saya sendiri.
Apakah benar pindah sekolah ke Jakarta merupakan pilihan
yang paling tepat? Saya tidak ingin Hanna kesepian tanpa
teman, karena kita bertiga selalu bersama dan sudah
menganggap kita sebagai saudara malahan.

Namun keesokan harinya, keadaan berubah secara


drastis bagi Hanna. Pagi hari itu, Hanna mengetuk pintu
rumah saya. Dan ketika saya buka pintnya, ia tersenyum
sambil mengatakan,
“Um.. Adam? Lu.. gak usah mikirin banget gua yah..”
“Eh? Tapi kan..”
“Gua tau, lu khawatir gua bakal kesepian disini kan?
Ya.. mending gak usah pusingin deh, gua dah tau kok”
“..tau gimana?”
“Setiap manusia mati, dan kita gak tau kapan itu
terjadi. Kalo kita sesalin aja terus.. ya, pastinya gak akan ada
gunanya kan? Yang penting itu lu harus bersyukur Ryoga dah
menjadi teman yang baik buat kita, bukan sesalin dia udah
gak ada disini. Jadi Adam.. kalo mau ke Jakarta, silahkan”
Jawab Hanna sambil tersenyum
“T-Tapi kan! Gua juga.. lu..”
“Adam, kalo Jakarta itu tempat lu ketemu teman baru,
pastinya gua juga harus ikut cari teman baru dong. Makanya,
gak usah sedih banget”
Tak terduganya, yang tadinya Hanna teriak menangis,
sekarang saya yang teriak menangis. Hanna memeluk saya
sambil mengatakan ‘it’s alright’.

Waktu tetap berjalan, hanya itu yang bisa saya


katakan. Saya memang katakan saya menyesal sedikit, namun
di sisi baiknya saya dapat bertemu dengan teman baru disini
dan lebih dapat dikatakan ‘relatable’ yang artinya cocok
sebagai teman. Sampai sekarang, saya hanya dapat berharap
Hanna baik baik saja disana dan tetap bahagia seperti
biasanya.
Sehad dari Ustad
Oleh : Albertus G. Rakayudha XIA6/2
“Yah dok, masa dikasih obat ini lagi? Udah 2 dokter
ngasih obatnya sama juga nggak sembuh-sembuh dok. Masa
sekarang dokter ngasih obat yang sama juga?” Gerutu Sinta,
ibu dari remaja 15 tahun bernama Stephano memecah
kesunyian sore itu di rumah sakit Medika.

Sudah satu bulan lamanya Stephano menderita panas


atau demam. Sudah banyak rumah sakit dan dokter yang
mencoba untuk menyembuhkannya, namun Stephano tak
kunjung sembuh juga. Stephano yang tinggal seorang diri
dengan ibunya selama menderita sakitnya itu.

“Whusssh…”

Angin sore itu berhembus kencang menyapa Sinta


yang sedang duduk di halaman teras depan rumahnya.

“Oh iya dulu Steph juga pernah kayak gini”

Angin yang lewat tadi seakan membawa kembali


memori masa lalu ibu dan anak tersebut. Memori 15 tahun
lalu yang selamanya tak akan dilupakan oleh mereka berdua.
Kelam tapi melegakan.

Rumah Sakit Jaya, sore itu dipenuhi dengan tangis


bayi berusia 9 bulan. Rasanya tak akan henti tangisnya sampai
segalanya terselesaikan. Miris.

“Anaknya kenapa bu?”


Tanya lugu seorang dokter yang baru saja
menyelesaikan studi terakhirnya di Amerika.

“Ini dok, udah 1 minggu panas tapi nggak


sembuh-sembuh, kemaren udah ke dokter lain, tukang urut,
orang pintar, tapi kata mereka nggak ada yang salah dok.
Dokter yang terakhir juga bilang kalau si Steph cuma demam
biasa. Tapi biasa apanya coba dok, ini udah 5 hari abis periksa
masih aja panas.” Amarah Sinta mencoba mendesak dokter itu
untuk mengecek kesehatan anaknya yang malang itu.

Lima menit dokter lulusan Amerika itu memeriksa


kondisi bayi itu. Namun hasilnya hanyalah kebingungan. Ilmu
tinggi yang telah dipelajarinya di amerika selama belasan
tahun tak berbuah apa-apa. Dokter tersebut juga mengatakan
bahwa sakit yang diderita Stephano ini sangatlah aneh, karena
satu-satunya bagian tubuh yang panas ialah dahinya, tidak
disertai dengan yang lainnya.

“Bu, mohon maaf sekali, namun saya tidak dapat


menyatakan penyakit anak ibu.”

Tanpa berbasa-basi Sinta keluar ruangan.

Satu minggu lamanya. Sinta tak menyerah untuk terus


menyarikan solusi terbaik bagi anaknya itu. Beberapa dokter
telah didatanginya. Namun jawaban para dokter konsisten.

“Maaf Bu”

Bahkan tes darah juga telah dilakukan. Negatif. Itulah


hasilnya. Di sisi lain bayi 9 bulan itu selalu menangis pagi
siang malam. Namun apalah arti tangisan itu jika tak dapat
menolong situasi saat itu.
Sampai pada suatu pagi…

“Loh bu, kok anaknya nangis terus?

Tanya Pak Ustad yang tinggal disebelah rumah Sinta,


tetangga barunya.

“Iya pak, ini Steph demam udah satu bulan nggak


sembuh-sembuh.” Jawab Sinta.

“Boleh saya masuk ngeliat nggak bu?

Satu kalimat tanya itu langsung membuat detak


jantung Sinta seakan berhenti untuk sesaat. Bagaimana tidak?
Tetangganya itu terkenal sangat penyendiri, jarang keluar
rumah, apa lagi bergaul. Bahkan beberapa minggu lalu polisi
sempat mendatangi rumahnya. Bahkan gosipnya, saat
membawakan ceramah di tempat ibadah, Ustad yang satu ini
agak ngawur dengan isi ceramahnya. Beberapa hal itu
ditambah perbedaan agama membuat Sinta menjadi sedikit
ragu untuk menyuruhnya masuk. Namun dengan penuh
pertimbangan mulut Sinta berkata.

“Mari pak, silakan.”

Dua puluh detik setelah membuka gerbang, tangan


Pak ustad langsung meraih dahi Stephano, yang tentu
membuat Sinta sedikit tersentak. Lima menit berikutnya
tangan Pak Ustad dilepaskan dari kepala Stephano, setelah
mulutnya komat-kamit mengucapkan bahasa yang tidak
dimengerti oleh Sinta. Sepuluh detik setelahnya Stephano
berhenti menangis.

“Kok bisa pak?” Tanya Santi


“Iya bu, banyakin doa aja ya menurut pandangan ibu,
biar sekarang sehat terus Steph nya.”

“Terima kas...”

Belum selesai Santi menyelesaikan kalimatnya,


seorang polisi masuk ke halaman teras Santi tanpa mengetuk
pintu. Shock. Satu kata yang menggambarkan suasana hati
Santi kala itu.

“Misi bu saya boleh ngajak Pak Ustad ke kantor ga?”

“Emang kenapa pak? Pak ustad ini baik banget loh


pak, mau nyembuhin anak saya. Tolong jangan diapa-apain
pak.” Bujuk Santi

“Iya buk, saya tahu kok Pak ustad baik, ini mau saya
ajak ke kantor karena satu bulan yang lalu Pak Ustad nemuin
dompet, terus sekarang pemiliknya pingin ngasih imbalan ke
Pak Ustad.”

Kalimat yang dikatakan polisi itu langsung membuat


Santi merasa bersalah, karena beranggapan buruk terhadap
tetangganya itu tanpa mengetahui hal yang sebenarnya.

“Ma, aku pingin minum”

Teriak Stepahano membangunkan Santi dari tempat


duduknya di teras rumahnya itu. Pagi hari setelahnya menjadi
yang menggembirakan bagi keluarga kecil itu. Kesehatan
Steph berangsur pulih setelah ibunya mendoakan Rosario
sepanjang malam di samping anak kesayangannya itu.
Sekarang, keluarga itu disadarkan dari cerita lama yang
dibawakan oleh angin yang berhembus waktu itu. Keluarga
kecil itu berubah menjadi keluarga rohanis, yang sering
menghabiskan sore harinya untuk berdoa di gereja kecil tak
jauh dari rumah mereka. Jika ditanya orang mengapa mereka
berubah jawabannya hanya singkat: “sekarang kami tahu
kemana kami akan kembali dan membalaskan budi.”
Kematian Mimpi
Oleh : Alexander Collin XIA6/3
Aku terbangun di sebuah keramaian. Dalam sebuah
gedung putih, tidak terlalu besar, dan belum pernah
kukunjungi sebelumnya, tapi nampak sangat akrab denganku.
Aneh, ditengah keramaian itu, aku merasa sepi. Aku
menyusuri gedung itu, dan bertanya sana-sini. Tapi, seolah
diriku tak nampak, aku tak bisa berkomunikasi dengan
siapapun.

Aku terdiam di sebuah ruangan. Janggal rasanya


merasakan dingin di Jakarta, apakah ini hanya sebuah mimpi?
Jika iya, apa tujuannya dan bagaimana caraku untuk keluar?

Aku memutuskan untuk menyusuri gedung itu sekali


lagi, kali ini aku mengunjungi setiap lantai gedung aneh itu.
Kutemukan diriku di lantai empat. Dalam benakku, ini pasti
sebuah pesta kejutan yang diselenggarakan untukku.

Tak jauh dari situ, aku melihat seorang yang sangat


akrab mukanya. Ternyata orang itu adalah Rini, sepupu
jauhku. Kami memang tidak begitu dekat, Aku melewati dia
tanpa menyapanya.

Sampai sini, aku yakin ini bukan sebuah kejutan


untuk diriku. Buat apa si Rini datang jauh-jauh dari Medan?
Kami saja tidak sedekat itu.

Aku menemui sebuah ruangan, banyak kelompok


orang yang aku kenal, tetapi banyak juga yang tidak.
Sepertinya mereka teman-teman ibu dan bapakku. Aku
melewati teman dan saudaraku berharap tidak dilihat.
Rencanaku berhasil.

Di kejauhan, aku melihat kakak dan ibuku. Tak


pernah sebelumnya kulihat kakakku semurung itu. Aku
melihat kakakku yang sedang murung dan ibuku yang tak
kunjung henti menangis.

Aku duduk di samping mereka, “Ada apa kak?”


Tanyaku kebingungan. Mereka nampak sangat pucat dan
sedih, sampai-sampai aku tak dibalas. Aku duduk disebelah
ibuku, masih terbingung-bingung.

Banyak teman dan saudaraku disitu, ada yang


menggunakan baju ALASKA dan ada juga yang rapih
berkemeja hitam. Mereka sama sekali tidak menganggap
diriku dan suasananya sangat sepi.

Aku positif acara tersebut adalah untuk diriku, tetapi


acara apa? Karena tak dianggap ibuku, aku meneruskan
perjalananku melalui sebuah kerai putih. Aku lihat ayahku
berbincang dengan seorang asing bagiku.

Orang itu satu-satunya wajah yang sama sekali tak


kukenali. Ekspresi ayahku tak beda jauh dengan kakakku.
Aku berdiri didekat mereka. Orang itu seolah melihatku, tapi
tidak yakin. Ia orang pertama di acara ini yang tidak
mengabaikanku.

“Tempatmu bukan disini”, gumamnya. Aku


kebingungan. Tanyaku, “kenapa? Bukankah acara ini
untukku?” Ketika aku membalik badan, barulah aku sadar
acara ini untuk siapa.
Aku melihat diriku sendiri, berbaju rapih, terbaring
dengan muka yang dingin diatas sekotak mayat yang indah.

Ayahku keheranan melihat orang itu berbicara


denganku. “Anda berbicara dengan siapa?”, tanyanya.
“Anakmu disini”, jawabnya.

Seketika ruangan yang sedikit ramai menjadi sangat


sepi. Semua orang menghadap ke arahku. Ibu dan kakakku
menghampiriku dan kami berbincang melalui orang itu.

Saat itu, mereka menjelaskan apa yang sebenarnya


terjadi padaku. Aku melihat kakakku yang mulai menitikkan
air matanya. Ia menyalahkan dirinya atas kepergianku.

Aku menenangkan kakakku, dan seolah duniaku


menerang. Kulihat seorang berjubah putih terang datang
menjemputku. Aku langsung berpamitan dengan keluarga dan
teman-temanku dan ikut dirinya pergi.
Prestasi yang Tertunda
Oleh : Alfonsus Arvin XIA6/4
Cius diundang untuk naik ke panggung atas prestasi
yang telah ia capai. Cius adalah anak yang sangat berprestasi
di sekolahnya. Hasil yang dia dapat saat ini adalah hasil dari
perjuangan keras yang ia lakukan, dimana sebelumnya ia
pernah mengalami pengalaman buruk yang membuat hatinya
sangat kacau di saat itu. Pada saat mengalami pengalaman
yang buruk itu, Cius bersekolah di SMAN 8 Jakarta, dimana
dia adalah seorang anak yang sangat pemalas, nakal, serta
suka membantah guru saat di kelas. Pada saat itu Cius duduk
dikelas 1 SMA atau sederajat dengan kelas 10.

Cius memiliki geng yang dia ketuai. Geng tersebut


beranggotakan siswa-siswa yang paling terkenal di sekolah
itu. Karena popularitasnya yang sangat tinggi itu, Cius sering
kali gonta-ganti pacar dan memiliki pergaulan yang cukup
bebas. Suatu ketika Cius meninggalkan pelajaran selama 2
jam pelajaran. Akibat hal tersebut guru yang bersangkutanpun
mulai mencurigainya. Akhirnya guru tersebut memerintahkan
karyawan untuk mengecek keberadaan Cius lewat CCTV
sekolah. Setelah melihat CCTV sekolah keberadaan Cius
akhirnya diketahui. Ternyata Cius masuk kedalam toilet saat
dia keluar dari kelas itu pada jam istirahat.

Sesampainya di toilet, Cius ditangkap sedang


merokok di toilet tersebut. Setelah ia ketahuan merokok, ia
pun dibawa ke ruangan BK untuk berbicara dengan guru BK.
Saat di ruang BK, sikap Cius tetap seperti biasa tanpa rasa
ketakutan akan dimarahi. Sikap Cius sangat tidak kooperatif
saat diajak berbicara dan tetap membantah untuk tidak mau
mengakui bahwa ia telah melakukan kesalahan yang cukup
berat. Akibat sikapnya yang sangat tidak kooperatif tersebut
akhirnya guru BK mengirimkan Cius ke ruang kepala sekolah.
Saat bertemu dengan kepala sekolah Cius malah asik
memainkan ponselnya sendiri tanpa memperdulikan kepala
sekolah yang sedang menasehatnya. Kepala sekolah pun
mulai kesal dengan Cius dan akhirnya memberikan hukuman
kepada Cius untuk diskors selama 1 minggu serta memanggil
orang tua Cius untuk bertemu dengan kepala sekolah. Orang
tua Cius pun diminta untuk mengawasi Cius selama menjalani
hukumannya dirumah.

Selama menjalankan hukuman yang diberikan Cius


hanya bermalas-malasan, seperti seharian bermain ponsel,
tidur-tiduran dikamar, serta bermain game PC bersama teman-
teman di kompleknya. Satu minggu telah ia jalani tanpa rasa
yang berarti. Setelah itu Cius kembali bersekolah seperti
biasa. Tetapi, sikap Cius yang dulu masih tetap ia lakukan di
sekolah mulai dari suka tidur di kelas, mengobrol dengan
teman sebangku, meminta makanan teman dengan paksa,
hingga melawan guru saat dikelas. Sampai saatnya ujian akhir
semester yang sebentar lagi akan datang. Cius tetap tidak
peduli dengan ujian akhir semester yang sebentar lagi akan
berjalan.

Selama ujian akhir semester Cius tidak pernah belajar


dan hanya bermain game PC dengan teman-teman
kompleknya. Akhirnya waktu pembagian raport datang,
betapa kagetnya Cius yang dinyatakan akibat tidak naik kelas
akibat sikapnya yang buruk serta nilanya yang buruk juga.
Akhirnya Cius dijauhi oleh teman-temannya dan gengnya pun
hilang. Selama liburan akhir semester Cius pun mulai stres
akibat teman-temannya telah meninggalkannya dan juga tidak
naik kelas. Orang tua Cius pun memutuskan untuk
memindahkan Cius ke sekolah baru yang dekat dengan
rumahnya.

Saat pertama hari ia masuk sekolah, ia pun merasa


sangat diasingkan oleh teman-teman barunya di sekolah itu.
Cius akhirnya memutuskan untuk berubah, dimana yang
awalnya dia adalah anak yang sangat buruk, dia akan berusaha
untuk merubahnya dan menghilangkan sikap-sikap buruknya.
Di sekolah barunya Cius memiliki seorang teman baik yang
bernama Hifa, Hifa adalah anak yang sangat rajin dan juga
cukup terkenal cantik disekolah itu. Hifa mengenal Cius saat
hari pertama sekolah tak sengaja untuk Ibu guru menyuruh
Cius untuk duduk disebelah Hifa. Hifa pun bertanya-tanya
awalnya “mengapa engkau pindah ke sekolah ini?”, dengan
malu Cius memberi tahu bahwa ia tidak naik kelas disekolah
lamanya. Selama di sekolah baru itu Hifa selalu membantu
Cius untuk belajar lebih giat lagi. Cius pun berjanji kepada
Hifa, bahwa ia akan mendapatkan penghargaan juara kelas.
Selama kurang lebih satu tahun telah Cius jalani dengan
serius, akhirnya pada saat pengumuman juara umum
diangkatan tersebut, betapa kagetnya nama Cius dipanggil
kedepan untuk menerima penghargaan tersebut. Selisih nilai
Cius dan nilai Hifa sangat beda tipis, tetapi Hifa sebagai
sahabat Cius ia mengakui bahwa kerja keras yang Cius
lakukan pantas untuk mendapatkan sebuah penghargaan.
Malam Tanpa Rehat
Oleh : Alvin Tanujaya XIA6/5
Libur sekolah tiba, semua siswa senang termasuk
empat sekawan yang bersiap diri untuk pergi berlibur. Empat
sekawan itu adalah Andi, Tono, William dan Erwin. Mereka
semua sudah merencanakan rencana kepergian mereka
semenjak satu tahun sebelumnya, sehingga rencana yang
mereka buat sudah dipikirkan secara matang-matang mulai
dari tempat tinggal hingga destinasi wisata yang akan
dikunjungi.

Mereka baru saja lulus kelas 9 dan akan masuk SMA


pada tahun ajaran berikutnya. Keakraban mereka sudah tidak
diragukan karena jalinan persahabatan mereka sudah mereka
jalin selama 3 tahun. Dari antara mereka, yang memiliki sikap
paling ceroboh adalah Erwin sedangkan Andi memiliki sikap
yang terbalik dari Erwin dimana dirinya sangat perfeksionis
dan memiliki jiwa kepemimpinan.

Hari yang dinanti-nantikan tiba, mereka berkumpul di


terminal Bandara Soekarno Hatta sejak dini hari. Anehnya,
mereka semua dapat berkumpul tepat dengan waktu yang
telah mereka sepakati sebelumnya, padahal biasanya jam
mereka ibarat jam karet yang penuh dengan ketidakpastian.
Mereka semua berpamitan dengan orang tua yang mengantar
mereka kemudian berangkat menuju Singapura bersama
dengan penumpang lainnya.

Sesampainya disana, mereka dijemput menuju tempat


tinggal yang telah mereka sewa ketika berada di Jakarta.
Ketika mereka sampai pada tujuan, mereka semua senang
sekaligus terkejut karena tempat tersebut dapat dikatakan jauh
diluar ekspetasi mereka, dimana tempat yang telah mereka
sewa lebih bagus dari yang mereka bayangkan sebelumnya
selama perjalanan.

Pintu kamar dibuka dan tanpa buang waktu mereka


segera menaruh tas bawaan mereka kemudian beristirahat
sejenak. Mereka semua terlelap dengan sangat nikmat
sehingga waktu tak terasa berlalu dengan cepat. Malam hari
pun tiba dan mereka terbangun karena perut mereka yang
meronta-ronta kelaparan. Oleh karena itu, mereka
memutuskan untuk mencari restoran cepat saji karena
lokasinya yang dekat dengan penginapan mereka.

Mereka semua lekas menggunakan alas kaki dan


beranjak keluar, hingga Erwin menjadi orang yang keluar
paling akhir. Mereka semua berjalan sambil menikmati ujara
sejuk yang menyelimuti mereka. Perasaan mereka terbawa
suasana dengan keindahan lampu yang menambah keindahan
kota Singapura. Tak lama perasaan tenang mereka bertahan,
perasaan mereka berubah menjadi penyesalan karena Erwin
lupa untuk mencabut kunci kamar penginapan mereka.

Karena rasa lapar mereka yang lebih dominan, maka


mereka berusaha untuk bersikap tidak peduli. Sembari makan,
mereka bercerita satu sama lain sembari meluapkan rasa
emosi mereka pada Erwin yang begitu dengan cerobohnya
meninggalkan kunci kamar mereka dalam keadaan pintu
tertutup. Makanan mereka santap dengan cepat dan mereka
memutuskan untuk segera kembali ke penginapan dan
mencari cara untuk masuk ke dalam penginapan mereka yang
terkunci dari dalam.
Kesialan mereka bertambah ketika mereka berjalan
pulang, dimana mereka diberhentikan oleh polisi karena
dirasa tidak wajar jika anak sepantaran mereka berkeliaran di
jalanan karena waktu sudah menunjukkan dini hari. Mereka
dimintai identitas diri, namun mereka tidak bisa memenuhi
hal tersebut karena mereka melupakan pelancong yang sedang
menikmati liburan mereka. Mereka pun dimintai untuk
menunjukkan passport sebagai identitas diri, namun tidak ada
satu pun dari antara mereka yang membawanya, karena
passport mereka masih berada di dalam tas bawaan mereka.
Beruntungnya, karena kejujuran mereka dengan berkata apa
adanya, maka polisi memutuskan untuk melepaskan mereka.

Sesampainya di tempat penginapan, mereka semua


kebingungan karena tidak ada petugas/penjaga penginapan
yang masih bangun. Nampaknya pikiran mereka berjalan dua
kali lebih cepat ketika terjadi kepanikan yang menimpa
mereka, dimana mereka teringat bahwa ada jendela kamar
mandi yang terbuka. Mereka pun segera mengitari penginapan
menuju jendela terbuka yang dimaksudkan.

Keberuntungan juga berpihak pada mereka karena


mereka menemukan sebuah tangga untuk memanjat jendela
tersebut. Namun, tangga tersebut terletak di pojok tembok
yang tertutupi oleh jemuran. Ketika Tono mencoba untuk
mengambil tangga tersebut, dirinya tidak sengaja
menjatuhkan jemuran yang terpasang rapi. Mereka semua
panik, karena takut dikira maling namun Andi mencoba untuk
menenangkan mereka dan mengarahkan mereka untuk segera
merapikan jemuran tersebut.
Masalah jemuran baru saja diatasi, namun masalah
baru kembali menimpa mereka ketika mereka berusaha untuk
masuk melalui jendela kamar mandi. Ketika mereka mencoba
satu per satu untuk merangkak masuk, tidak ada dari antara
mereka yang memiliki ukuran tubuh yang ideal untuk masuk
melalui jendela tersebut. Pada akhirnya, William yang
berbadan lebih kurus dari antara mereka, berinisiatif untuk
masuk dan dirinya dapat masuk dengan mudah.

Pada akhirnya, mereka semua berhasil masuk kamar


penginapan mereka setelah pintu dibukakan oleh William dari
dalam. Mereka semua segera berbesih diri karena badan
mereka dipenuhi debu ketika mencoba masuk melalui jendela
kamar mandi. Malam telah berubah menjadi pagi dan mereka
semua kelelahan. Pada akhirnya mereka beristirahat dengan
tenang dan melakukan aktivitas sesuai rencana mereka
sebelumnya.
Rahasia Gunung
Oleh : Anthony Kenneth Sistan XIA6/6

Ketika orang bertanya apakah sebenarnya keuntungan


yang didapat dari mendaki gunung, paling yang bisa di bilang
hanya membuang-buang waktu dan tenaga karena kaki terus
melangkah maju, punggung menahan beban tas carrier, leher
yang harus selalu mendongak ke atas, dan mata yang selalu
fokus menatap jalan. Sama persis seperti jawabanku saat
diajak mendaki gunung untuk yang pertama kalinya. Hal ini
dikarenakan oleh pengalaman buruk saya selama jambore
berlawanan dengan hujan, tanah basah, lumpur, bahkan
berada di bawah terik matahari pun cukup menggangu bagi
saya. Apalagi ditambah, aku adalah orang yang males ribet,
kotor-kotoran, dan yang penting nyaman. Namun karena
banyak teman-temanku yang ikut, akupun mengiyakan ajakan
tersebut. Dan juga sesekali belajar menantang diri untuk
keluar dari zona nyaman.

Setelah berunding panjang, ditentukanlah kami akan


mendaki Gunung Sindoro saat liburan akhir semester. Gunung
ini bisa dibilang jauh dari Jakarta karena terletak di
Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Perjalanan kami tempuh
selama hampir 16 jam dengan bis antarkota “Sinar jaya” yang
membuat saya kapok naik bis antarkota. Akhirnya sampailah
kami di Terminal Wonosobo, lalu kami menyewa truk pickup
untuk mengantarkan kami ber-12 ke basecamp Gunung
Sindoro via Kledung. Dan dari sanalah pendakian kami
dimulai.
Sekitar jam 8 pagi kami mulai mendaki dari pos satu
dengan target jam 1 siang bisa sampai di pos 3.5 untuk
mendirikan tenda. Namun track yang dilalui jauh dari
ekspektasi, kontur berbatuan besar menanjak membuat
langkah terasa sangat berat ditambah berat beban tas carrier di
punggung dan hujan mengguyur kami sehingga
memperlambat jalan kami. Membuat perjalanan kami selalu
diselingi istirahat tiap 5 menit. Bahkan sampai ada teman
kami Martin yang ingin turun kembali ke pos 1 untuk istirahat
dan tidak melanjutkan perjalanan. Saya pun mulai berpikiran
menyesal ikut naik gunung akibat kondisi ekstrim saat itu.

Akhirnya kami sampai juga di basecamp pada jam 7


malam. Sesampainya di pos kemah, kami pun langsung
mendirikan tenda dan memasak bersama untuk makan malam.
Setelah itu, masing-masing dari kami pun langsung tertidur
akibat kelelahan setelah aktivitas panjang hari itu, dan untuk
persiapan muncak yang akan dimulai pukul 5 dini hari besok.

Hari dimulai dengan pemandangan sunrise di depan


tenda yang indah. Membuat saya kembali mendapat semangat
menjalani aktivitas. Matahari perlahan muncul di timur, di
tengah gunung-gunung lainnya menghangatkan suasana
sedingin 3 derajat Celcius. Secangkir susu dan kopi
mengawali kegiatan hari itu dan langsung memulai perjalanan
ke puncak Gunung Sindoro. Perjalanan terasa melelahkan
bahkan tanpa tas carrier, track batuan berpasir membuat sulit
untuk menapakan kaki apalagi mendaki naik. Namun dengan
sisa tenaga dan semangat yang kami miliki, kami berhasil
menapakan kaki di puncak Gunung Sindoro setelah
melakukan 3 jam lebih pendakian. Semua perasaan lelah,
letih, senang, dan bangga semua bercampur aduk.
Aku pun terdiam sembari menikmati pemandangan
alam dari atap Jawa Tengah., sungguh pemandangan yang
luar biasa. Pengalaman ini membuat saya semakin mencintai
gunung dan selalu ingin kembali kesana. Menurut saya yang
berkesan dari gunung adalah gunung selalu tampak cantik dari
kejauhan. Ketika kita baru menjejakinya gunung akan terlihat
melelahkan dan menyusahkan. Tetapi, jika kita mau berjuang
melewati segala ringtangan, percayalah pemandangan gunung
yang kita lihat dari kejauhan tidak ada apa-apanya jika
dibandingkan dengan keindahan yang akan kita lihat dari
puncak gunung.
Motivasi Tak Biasa
Oleh : Armando Sastra R. XIA6/7
Minggu berakhir, Senin tiba. Hari Senin adalah hari
yang paling tidak disukai oleh Al. Tiap kali ia bangun pada
hari Senin, Al langsung teringat bahwa ia akan dijumpai mata
pelajaran yang berat dan lama serta adanya upacara pagi yang
tiap kali dibilang “singkat.” Al tidak pernah menyiapkan buku
mata pelajaran malam sebelumnya, namun ia tidak pernah
ketinggalan buku. Namun ada konsekuensinya. Setiap Senin
pagi, ia akan selalu melihat apa yang akan dibawa dan
dipelajari pada hari tersebut, dalam keadaan ngantuk.
Tentunya, motivasi Al untuk pergi ke sekolah pun menurun
dan pikiran untuk kembali tidur semakin kuat, namun Al
selalu tetap pergi dan datang ke sekolah dikarenakan teman
yang ia miliki dan keinginan untuk bertemu mereka.

Matahari sudah bersinar terang saat jam 7 pagi hari


senin itu. Pelaksanaan upacara membuat banyak siswa gerah,
terutama Al. Niatnya untuk belajar sudah berkurang. Al selalu
berdiri paling depan saat upacara, dan pada hari itu, matahari
paling menyinari ia dan teman teman yang sebaris dengan ia.
Saat upacara, Al juga teringat bahwa mata pelajaran pertama
yang ia akan hadapi adalah kimia. Kimia adalah pelajaran
yang paling dibenci oleh Al dikarenakan gurunya yang
dipandang Al menyebalkan dan tidak tahu diri. Setiap
pelajaran, Al bagaikan sasaran utama guru kimia tersebut
untuk maju ke depan dan mengerjakan soal yang dibuatnya,
dan jika ia tidak bisa, Al pasti dikenai hukuman. Sudah
hampir tiap kali pelajaran kimia, gurunya Al akan menyebut
nomor absennya untuk maju dan mengerjakan soal yang
ditulis di papan tulis.

Setelah selesai upacara, Al memutuskan untuk pergi


ke toilet terlebih dahulu untuk mencuci muka. Saat semua
siswa masuk kelas, Al baru tiba di toilet. Setelah selesai, ia
menemukan dirinya terheran, “Kenapa tadi teman teman saya
cepat cepat masuk ke dalam kelas ya? Biasanya tidak seperti
itu.” Ia berpikir. Saat ia menuju balik ke kelasnya, Al
mengintip ke beberapa kelas lain dan menemukan bahwa
semua siswa sudah masuk, namun gurunya tidak ada.
Kelasnya ia pun juga seperti itu. Setelah masuk kelas, tidak
lama kemudian Al langsung diajak untuk bermain games
bareng dengan teman temannya, Al melihat kepada meja
mejanya dan hanya menemukan beberapa kertas folio di atas
meja dan peralatan tulis. Tidak ada buku sama sekali.
Tentunya, Al tidak bisa menolak ajakan bermain dari teman
temannya.

Waktu yang dipakai Al sudah cukup lama, namun


tetap saja, tidak ada guru yang memasuki kelasnya. Al merasa
terheran, “Guru guru biasanya sudah masuk jam segini,
mengapa belum ya?” Temannya Haje tidak segan langsung
menjawabnya, “Ya, memang tidak ada yang masuk. Kamu
lupa mengapa?” Tidak lama kemudian Al menyadari bahwa
guru guru sedang melaksanakan acara di luar, ia baru teringat
pengumuman yang disampaikan setelah upacara. “Ohh,
karena itu toh, pelajaran kita diganti dengan tugas penganti
bukan?” Tanya Al. “Ya, namun, tidak ada yang
mengerjakannya saat ini, nanti sebelum pulang kita harus
mengumpulkannya maka itu palingan setelah beberapa game
lagi, kita baru mulai mengerjakannya.” Jawab Haje.
Al melanjutkan kegiatan bermainnya dengan teman
temannya, dan ia merasa termotivasi untuk menjalankan hari
tersebut. Saat teman temannya selesai bermain, Al ikut
mengerjakan tugas pengganti bareng dengan teman-temannya.
Al selalu selesai pertama untuk mengerjakan tugas
penggantinya, dan tidak segan untuk membantu teman
temannya yang belum selesai, namun meskipun terlihat buru
buru mengerjakannya, apa yang ditulis Al itu masuk kedalam
pikirannya. Ternyata, motivasi yang ia peroleh itu berasal dari
dalam diri dan teman teman yang baik kepada Al.
Kebetulan
Oleh : Bernardus Mario XIA6/8
Dunia adalah tempat yang aneh. Suatu saat menyesali
hidup dan satu jam kemudian hidup menjadi sebuah
kesenangan yang tak ingin kulepas. Secara kebetulan saja
hidupku berputar dan berubah lagi. Namun, ini merupakan
perubahan-perubahan yang aku suka. Walau aku tahu tidak
ada yang abadi, itu membuatku lebih menhargainya. Setiap
detik yang kulewati dengan perubahan ini akan kujadikan
abadi dalam memori. Entah mengapa, aku merasa hari-hari ke
depan akan menjadi hari-hari yang penuh perasaan. Bisa
sedih, bisa senang, bisa apa saja, anehnya hal itu tidak
membuatku takut. Awalan dari kebetulan ini penuh dengan
kebetulan lainnya yang ujungnya membawa perubahan
kepada hidupku.
“Dia gak jadi datang”
Mendengar itu aku mulai bertanya-tanya, dari alasan
hingga apa yang akan dia lakukan sekarang. Temanku yang
satu ini ingin bertemu dengan kenalannya yang dia tahu dari
media sosial. Tidak berani sendiri, dia mengajak salah satu
dari temannya. Yang pada akhirnya tidak dapat datang. Untuk
bilang diriku senang merupakan pernyataan yang
meremehkan. Tapi, tidak mungkin aku tunjukan kepada
temanku. Takutnya nanti aku tidak terlihat keren. Jadi,
berpura-pura adalah cara yang menurutku benar untuk situasi
ini.
“Terus, kamu ke sana sendiri?”
Jebakan telah diletakkan. Sesuai prediksi, dia
memintaku untuk menggantikan temannya yang berhalangan
datang. Mengapa aku senang dengan ini semua? Karena sudah
sekian lamanya aku dapat bertemu dengan orang lain di luar
lingkungan hidupku yang biasanya. Keluarga, sekolah,
tetangga, dan yang lain yang sering aku temui. Jadi ini bagiku
adalah kesempatan yang berharga untuk menambahkan
setidaknya satu orang lagi ke dalam hidupku.
Kami memilih untuk berkumpul pada sore hari di
kedai kopi dekat rumah temanku. Jumlah orang ada 4, aku
dan temanku, lalu kenalan baru yang akan membawa
temannya juga. Kedua orang yang membuat pertemuan sudah
sampai lebih dulu. Dari yang aku tahu, mereka berdua sangat
terus terang dalam chat mereka. Jadi, kagetnya aku melihat
mereka berdua bertemu empat mata namun tidak berbicara
sedikitpun. Suasananya pun sangat canggung dan aku yang
baru sampai, tidak tahan melihat seperti itu. Duduk di tempat
mereka, aku mulai bertanya-tanya, mencoba untuk memulai
percakapan. Agar suasananya tidak seperti sedang menjenguk
orang sakit atau menunggu hasil pemeriksaan dokter.
Namun, dua lawan satu bukanlah peluang yang besar.
Segala usahaku hanya dibalas dengan jawaban satu sampai
tiga kata. Aku merasa gagal membuat api, percikanku tak
berdaya.
Semua itu berubah ketika orang terakhir datang. Dia
masuk dengan penuh energi dan akhirnya peluang untuk
keluar dari suasana menyesakan ini menjadi imbang. Dua
orang yang pendiam dan dua orang yang ingin memulai
percakapan. Mungkin aku mengira dua orang yang diam itu
akan ikut. Betapa salahnya perkiraanku itu. Tidak masalah,
karena sekarang jadi terbagi dua. Temanku yang lagi diam
dengan kenalannya, dan aku dengan teman baruku yang
sedang seru bercanda denganku.
Perkemahan
Oleh : Christopher Adrian XIA6/9

Seorang anak bernama Tono memiliki salah satu


pengalaman paling berkesan di hidupnya, tepatnya pada
tahun 2015 ia menjalani camping dari sekolahnya, Tono
yang biasanya sangat malas tetapi karena paksaan dari
pihak sekolah maka akhirnya ia mengindahkannya,
walaupun ia melupakan kondisi badannya yang pada saat
itu masih kurang bugar dan segera meminta izin untuk
mengikuti camping tersebut kepada kedua orang tuanya.

Keesokan harinya, berangkatlah rombongan


perkemahan Tono. Mereka menuju ke salah satu bumi
perkemahan di daerah Bandung dengan menggunakan
truk tronton yang memakan waktu kurang lebih 6 jam
dari siang hari hingga sore hari, perjalanan yang
memakan waktu sangat lama ini membuat Tono menjadi
memikirkan pilihan yang telah dibuatnya itu, selain itu
perjalanan yang panjang ini membuat kondisi badan
Tono yang sebenarnya sedang kurang bugar menjadi
semakin parah, sesampainya di lokasi tersebut Tono
terlihat pucat, walaupun pucat dan mulai merasakan
demam yang semakin tinggi, Tono memilih untuk tidak
memikirkannya dan terus menjalani aktivitas
perkemahan yang dimulai dengan tracking menuju ke
tempat akhir dari perkemahan selama kurang lebih 6
jam.
Seiring berjalannya waktu selama tracking dan
sudah menempuh perjalanan selama kurang lebih 3 jam
tanpa ada istirahat, Tono mulai kehilangan fokusnya,
sering kali Ia salah berbelok pada saat ada tikungan di
rute pendakian sehingga membuat teman-temannya
cukup kerepotan karena harus selalu memperhatikan
dimana posisi Tono karena tanpa mereka Tono sudah
pasti hilang, Ditambah di situasi yang sudah memburuk
ini datanglah masalah kedua yang cukup serius bagi
Tono yaitu demam dan flu yang diidapnya semakin
parah yang menyebabkan sakit kepalanya Tono semakin
parah dan berujung pada ia banyak melamun.

Banyak melamun yang disebabkan oleh sakit


kepala yang semakin menjadi di Tono mulai
menunjukkan dampak yang semakin parah pada Tono,
disamping perjalanan yang masih setengah jalan lagi dan
situasi cuaca yang juga mulai memburuk juga
menambah keruh situasi, medan perjalanan yang
semakin berat dikarenakan licin terkena hujan juga
menambah masalah yang sudah cukup banyak. Disini
Tono dan teman-temannya mulai menghadapi masalah-
masalah, Tono yang sudah semakin tidak fokus menjadi
banyak melamun yang berujung pada suatu saat ia tidak
memperhatikan jalan yang berujung pada terpelesetnya
Tono dari tebing hingga membuatnya hampir jatuh ke
jurang, beruntung salah seorang temannya dengan sigap
langsung menolong Tono dan menariknya dari tebing,
nama temannya itu adalah Liam, setelah itu Liam
memastikan Tono tidak apa apa dan bertanya apakah
Tono membawa obat, sesegera mungkin Tono mencoba
merogoh kantong di tasnya yang Ia yakini sudah diisi
dengan perlengkapan medisnya, tetapi kesialan
nampaknya semakin menghantui Tono, ternyata disaat ia
terjatuh ke di tebing tersebut kantong yang ia sematkan
di salah satu sisi di tasnya terjatuh ke dalam jurang
sehingga membuat segala obat-obatan yang dibawa Tono
ikut jatuh Bersama kantong tersebut, ditambah Liam
yang juga ternyata tidak membawa obat-obatan jenis
apapun, membuat mereka kehabisan cara lagi selain
berusaha secepatnya untuk mencapai kemah dan
berharap para guru membawa obat-obatan yang sesuai
dengan penyakit Tono.

Setelah kurang lebih 3 jam berjalan akhirnya


mereka sampai di bumi perkemahan, Tono langsung
dibawa ke tenda medis untuk mendapatkan obat dan
Tono menghabiskan hari pertamanya tidur di dalam
tenda medis, beruntung obat-obatan tersebut cukup
manjur untuk Tono sehingga pada keesokan harinya
Tono sudah merasa lebih baik dan bisa menjalankan sisa
harinya dengan baik, dari perjalanannya yang tak
terlupakan ini Tono merasa sengat berterima kasih
kepada semua teman-temannya terutama Liam karena
tanpa mereka belum tentu Tono dapat mengatasi semua
rintangan di dalam perjalanan yang sangat berat tersebut.

Pembunuh Maha Bakshi


Oleh : Danin H.J. XIA6/10
Di seberang timur sana terdengar teriakan jawara
dan hantaman besi-besi pedang. Jawara-jawara tersebut
mengasingkan akal sehatnya untuk menjadi tangan
kanan Ken Bhina. Teriakan para penonton bergema,
mengirim pesan ke seluruh nusantara bahwa Ken Bhina
sedang mencari tangan kanan. Tawaran itu membawa
seluruh jawara di timur untuk berkumpul di lapangan
Kerajaan Maha Bakshi, mengadu ahli dan ilmu. Setelah
beberapa malam dan ratusan yang tumbang, tersisa Ki
Angrok dengan keris saktinya melawan Ki Badhok
dengan ilmu titisan baratnya. Perkelahiannya sangat
sengit, bagaikan naga barat dan naga timur yang
amarahnya tak pernah surut selama ratusan abad.
Sorakan penonton semakin lantang, bergemuruh senada
dengan Ki Angrok dan Ki Badhok. Ken Bhina pun
terkesima dengan pementasan dua naga ini, dia sadar
bahwa hal ini bukan pemandangan yang mudah
dijumpai. Pada akhirnya, Ki Badhok memiliki kerik Ki
Angrok di lehernya, di genggam dengan kuat. Ki Angrok
menawarkan nyawa Ki Badhok, tetapi ia pantang
menyerah, hal itu diluar prinsipnya dan Ki Angrok
terpaksa melakukannya. Ki Angrok menandakan
kemenangannya dengan kepala Ki Badhok yang sudah
terpisah dari tubuhnya.
Kemenangannya dirayakan dengan meriah
sebagai akhir dari sayembara untuk mencari tangan
kanan Ken Bhina. Dengan Ki Angrok yang menjadi
juara, dia mendapatkan 1500 keping emas dan
kehormatan untuk berada di samping Ken Bhina jikalau
sedang dalam peperangan. Raja ketiga Maha Bakshi itu
mengundang seluruh rakyatnya untuk merayakan akhir
dari sayembara. Pesta rakyat seakan sudah tahun baru,
ramuan arak dari negeri barat, babi guling yang menjadi
santapan utama. Diantara keramaian dan hiruk pikuk
pesta rakyat, terdengar hentakan tapal kuda. Sam
Saimunar, komandan pos pertahanan Maha Bakshi tiba.
Mukanya tampak kelelahan tapi khawatir. Tergesa-gesa
ia menuju Ken Bhina “Ken Bhina, para kompeni akan
menyerang Maha Bakshi.” Kata Sam Saimunar dengan
ngos-ngosan. Dalam satu sisi Ken Bhina merasa lega
karena sayembaranya sudah selesai tetapi dia juga cemas
karena beberapa kerajaan hindu yang dia dengar jatuh di
tangan Belanda, katanya mereka memiliki senjata asing
yang melontarkan bola besi dengan ledakan. “Jika
kompeni menyerang kita, mungkin kita tidak bisa
menanganinya, Sam sebaiknya kau kembali ke pos
pertahanan, kirim pesan ke kerajaan apabila kompeni
menyerang, dan lihat apakah mereka bawa senjata asing
itu atau tidak.” Ken Bhina berkata dengan tegas. Siap
siaga menerima perintah raja Maha Bakshi, Sam
Saimunar dan anak buahnya bergegas kembali ke pos
pertahanan.
Pos pertahanan kerajaan Maha Bakshi terletak
tidak terlalu jauh dari pusat Kerajaan Maha Bakshi.
Memperlukan sekiranya dua malam dengan berkuda,
sebetulnya satu malam pun cukup tetapi para rombongan
harus melewati hutan yang dipenuhi oleh binatang buas
dan manusia liar, resikonya tidak sepadan. Maka dari itu
mereka harus memutari pinggiran hutan yang merupakan
jalanan umum orang-orang disana. Sam Saimunar dan
para anak buahnya datang tepat waktu di pos pertahanan.
Perintah pertama setibanya disana pada anak buahnya
adalah untuk melipat gandakan penjaga dan untuk lebih
waspada apabila kompeni sudah berada di pintu depan
Maha Bakshi. Malam ketiga setelah kedatangan mereka,
aroma-aroma kompeni sudah mulai tercium di pos
pertahanan. Pasukan Belanda datang tanpa malu, ratusan
pasukan berkuda dan puluhan Meriam siap menyapa pos
pertahanan. Sam Saimunar pun sadar bahwa ia tidak
punya banyak waktu, ia mengirim pesan ke Ken Bhina di
Kerajaan Maha Bakshi untuk melarikan diri dan
memindahkan kerajaan Maha Bakshi jika ingin bertahan
karena kompeni membawa pasukan diluar pengertian
mereka dengan senjata-senjata asing yang dapat
menghancurkan apapun yang menghalanginya. Sam
Saimunar mengirim pesannya dengan burung kerajaan
yaitu burung merpati putih, mengirim pesan dengan kuda
bukanlah pilihan karena membutuhkan waktu yang lebih
lama memutari pinggiran hutan. Dalam kegentingan ini
pos pertahanan sudah menjadi lapangan demonstrasi
kapabilitas meriam Belanda. Dengan mudah Belanda
mengubrak-abrik pasukan pos pertahanan dan mereka
terpaksa mempertahankan pos mereka. Tidak sampai
satu malam pos pertahanan dibobol oleh pasukan
Belanda, yang tersisa hanyalah puing-puing, mayat, dan
burung merpati putih yang sudah terbang tinggi.
Burung merpati putih terbang hanya dengan satu
tujuan, matanya tidak sekali melihat ke bawah, hanya ke
depan dimana tujuannya berada, Maha Bakshi. Di dalam
hutan itu terdapat pemburu yang hari-harinya di hutan
tidak pernah sama satu dengan yang lain, karena di
dalam hutan itu selalu saja terjadi hal-hal yang tidak
diduga. Hari ini dia belum menemukan makanan, bukan
hari ini saja, sudah 5 hari pemburu itu hanya makan
dedaunan. Senapan di tangannya ia genggam dcngan
erat, namun sudah lam tidak ditembakkan. Ketika fajar
menyerang burung putih itu tampak berkilau dari atas
sana dan karenanya tatapan pemburu itu terpaku pada
putihnya. Segera ia mengeker burung itu dengan
senapannya. Ia baru sadar bahwa burung itu adalah
burung merpati, burung kerajaan. Tetapi ia tidak ingin
memercayainya, tidak ingin tahu. Pemburu itu
membohongi dirinya sendiri “Ah, itu hanya cahaya
matahari saja yang membuatnya tampak putih.” Ia
mencari pembenaran atas sesuatu yang akan
dilakukannya meskipun ia tahu membunuh burung
kerajaan dapat membahayakan nyawanya sendiri. Ia
membiarkan emosinya mengelabui akalnya dan menarik
pelatuk senapannya.
Ken Bhina belum mengatehui apa yang akan
dihadapinya. Burung merpati putih itu tak kunjung
datang dan Ken Bhina pun tidak mengetahui akan
kedatangannya pula. Beberapa hari tanpa kabar membuat
ia berpikir bahwa berita ini hanya angin lalu. Pikirannya
itu cepat dipatahkan, ketika malam tiba tidak lama bagi
Belanda untuk datang, bukan untuk berunding karena
sapaan pertamanya adalah ledakan Meriam. Bagi Maha
Bakshi bunyi itu adalah terompet perang. Ken Bhina
segera mengumpulkan seluruh pasukannya, termasuk
tangan kanannya, Ki Angrok. Pasukan Maha Bakshi
tidak sebanyak pasukan kompeni. DIbanding kompeni,
persenjataan pasukan Maha Bakshi juga jauh tertinggal.
Tapia pa yang kiranya mereka dapat perbuat, melarikan
diri sudah tidak mungkin karena kompeni sudah terlalu
dekat. Tampak semuanya sudah siap mati, apalagi Ken
Bhina, ia tidak mau melepas kerajaan yang dibangun
oleh kakeknya itu. Di malam itu, Kerajaan Maha Bakshi
runtuh. Di dalam hutan, pemburu itu tidak henti
menyantap burung hasil tembakannya itu, belum pernah
ia makan burung yang lebih enak dari ini. Enggan
memercayai apa yang telah diperbuatnya, membunuh
Maha Bakshi.
An S.O.S.
Oleh : Jeremia Parningotan XIA6 /11
Ia duduk termenung sendiri di kamarnya yang
temaram sambil memeluk gulingnya. Perlahan-lahan air
menyusuri pipinya.  Tanpa sadar, guling yang ia peluk
semakin dingin, sedingin hatinya yang kosong. Sendirian
sudah biasa baginya. Ia hanya mempunyai satu sahabat.
Sahabatnya ini sangat setia dan selalu ada di dekatnya. Nama
sahabatnya adalah kesepian. Budi namanya, ia sangat
beruntung memiliki ayah dan ibu yang sangat perhatian. Ayah
dan ibunya selalu memperhatikan pekerjaan dan urusannya
masing-masing. Setiap kali di rumah, Budi tak diperhatikan
dan bahkan sering dimarahi. Rutinitasnya sebelum berangkat
ke sekolah adalah memasang topeng wajah yang
melengkungkan senyuman dan mengeringkan air mata.

Di sekolah, Budi seringkali terkucilkan. Pernah sekali


ia mencoba untuk duduk disamping Farel, salah satu anak
yang populer di SMA nya. Budi merasa diterima oleh Farel
dan ia merasa sangat senang. Ia merasa akhirnya ada orang
yang mau menjadi teman nya. Akan tetapi, kegembiraannya
segera berakhir karena Farel hanya menjadikan Budi sebagai
bahan ejekan karena fisiknya yang jelek dan kemampuannya
yang kurang. Satu-satunya alasan Farel mau duduk
bersebelahan dengan Budi adalah ia ingin mencari hal-hal
yang bisa diejek dari Budi. Selama 1 hari penuh, Budi diejek
dan dihina oleh siswa dan siswi lain. Akibat hal tersebut, Budi
ingin sekali pergi dari sekolah. Akan tetapi, ia tak tahu akan
pergi ke mana. Ia merasa tak ada satu orangpun yang
menginginkan kehadirannya. Alhasil, ia menangis di toilet
sekolah. Karena tangisannya cukup terdengar, Nathan yang
merupakan jagoan sekolah langsung merekam tangisan Budi
lalu dikirim ke media sosial. Disana tertulis "Tadinya gw kira
hantu, ternyata ANSOS wkwkwk." Melihat hal tersebut, Budi
semakin terpukul.

Akhirnya tibalah jam pulang sekolah. Ia


menggunakan ojek untuk pulang. Sesampainya di rumah, ia
tak mempunyai teman ataupun keluarga yang dapat dijadikan
tempat untuk mencurahkan isi hatinya. Ia hanya bisa diam dan
menangis meratapi nasibnya. Dari sore sampai malam, ia
sibuk dengan HP-nya karena itulah satu-satunya temannya.
Setiap kali yang membuka Instagram, ia melihat ke depan
orang lain yang sangat bahagia. Ia melihat Rendi yang
memiliki nilai yang bagus, teman yang banyak, dan pacar
yang cantik. Saat ia sedang berkhayal untuk bisa seperti
Rendi, tiba-tiba ayahnya yang sedang mabuk masuk ke
kamarnya lalu memaki-maki Budi. Setelah memaki-maki
Budi, ayahnya keluar meninggalkan Budi yang syok, stres,
dan tertekan.

Setelah hal tersebut, Budi tidur dalam tangisan.


Keesokan paginya ia terbangun lalu bersiap untuk ke sekolah.
Sesampainya disekolah, ia hanya bisa tertunduk dan langsung
mengambil kursi di belakang kelas. Tak ada satu pun orang
yang mau berada di dekat Budi. Sebenarnya Budi adalah
orang yang sangat baik. Akan tetapi, siswa populer
menjadikannya sebagai bahan lelucon yang membuat Budi
dijadikan lelucon oleh satu sekolah. Pada suatu ketika, Budi
melihat ada siswa yang cantik. Awalnya ia tak percaya diri,
akan tetapi ia memberanikan diri untuk berkenalan. Namanya
adalah Angel.  usut punya usut, Ia adalah orang yang sangat
populer di sekolahnya. Budi pun langsung sadar diri untuk
tidak melanjutkan hubungannya dengan Angel.

Angel yang merupakan siswi dari SMA lain rupanya


disukai oleh Farel. Farel yang mengetahui bahwa Budi
berkenalan dengan Angel langsung berang. Farel langsung
merencanakan cara untuk memberi pelajaran kepada Budi.
Farel dan kelompoknya akan menghasut seluruh sekolah
untuk mengejek Budi. Farel bahkan menghilangkan tas Budi
yang berisi buku dan kunci rumah milik Budi. Farel juga
mengkoordinir anggota kelompoknya untuk memesan setiap
ojek pangkalan yang ada agar Budi sulit untuk pulang. Farel
memerintahkan Nathan untuk mengambil HP Budi yang
sedang diisi baterainya. Budi pun tak tahu caranya pulang dan
harus mencari kunci rumahnya. Ia melapor pada guru akan
tetapi guru yang ada tak peduli dengannya. Walaupun begitu,
ia memutuskan untuk berjalan kaki ke rumahnya dan untung
saja ada pembantunya untuk membukakan pintu. Ia langsung
masuk kamar lalu menangis. Ia bahkan berpikir untuk bunuh
diri. Hatinya sudah kosong dan sekarang psikologi nya cukup
terganggu.

Keesokan harinya, Budi tak masuk sekolah. Ia duduk


di warung yang ada di belakang sekolah sambil memakai
masker dan sarung tangan. Ia menunggu sampai bel pulang
sekolah. Setelah ia melihat Farel, ia mengikuti dan mengamati
tindakannya. Sudah seminggu ia mengamati Farel. Suatu hari,
Budi menyusup ke rumah Farel mengambil HP Farel, HP-nya
disembunyikan, dan meracuni anjing kesayangan Farel.
Semua pakaian Farel bahkan diambil oleh Budi. Keesokan
paginya, Farel dan keluarga sangat terpukul dengan peristiwa
yang terjadi lalu melaporkan hal ini ke polisi. Polisi
menyelidiki CCTV rumah namun tak menemukan petunjuk.
Anehnya lagi, seluruh kabel telepon dan alat komunikasi yang
ada di rumah Farel tak bisa berfungsi. Telepon genggam
orang tua Farel pun hilang tanpa jejak.

Pada Sore harinya Farel meninggal karena sudah


muntah-muntah darah selama setengah jam. Itulah yang
diketahui sekolah dari orang yang menelepon tata usaha
sekolah dengan nomor telepon orang tua Farel. Orang tersebut
juga meminta agar pihak sekolah dan teman yang ingin
melayat boleh langsung ke Rumah Duka Alam yang berada di
dekat rumah Farel. Akan tetapi, karena sekolah baru
menerima berita tersebut pada sore hari, maka pihak sekolah
menyampaikan bahwa kemungkinan besar tak akan ada yang
hadir ke rumah duka karena pada sore tersebut seluruh guru
dan siswa dari setiap jenjang kelas akan melakukan kegiatan
di luar sekolah. Akhirnya sang penelepon pun berkata bahwa
tidak apa-apa dan ia hanya meminta doa. Pihak sekolah juga
memutuskan untuk tak mengabari siswa atas meninggalnya
Farel. Beberapa guru memang mengetahui bahwa Farel sudah
meninggal dunia, akan tetapi mereka diimbau untuk tidak
memberitahu siapa pun sampai kegiatan selesai agar tak
menghambat dinamika yang sedang berjalan.
Karena harus berurusan dengan polisi dan pihak-
pihak lainnya mengenai kejadian di rumahnya, orang tua Farel
baru bisa datang ke sekolah pukul 17.00 untuk memberitahu
keadaan Farel yang sebenarnya. Sayangnya, pada pukul 15.00
seluruh guru dan siswa sudah pergi. Penjaga keamanan
sekolah lah satu-satunya orang yang terlihat. Orang tua Farel
akhirnya menitipkan catatan pada penjaga keamanan sekolah
untuk nantinya diberikan kepada tata usaha sekolah. Betapa
terkejutnya orang tua Farel saat melihat semua ban kendaraan
mereka berada dalam kondisi yang sangat kempes. Pada saat
itu pun tak ada satu pun ojek pangkalan yang terlihat. Alhasil
orang tua Farel tak punya pilihan lain selain pulang dengan
kedua kakinya.

Sesampainya di rumah, orang tua Farel langsung


duduk di sofa. Farel langsung bertanya dengan nada tinggi di
manakah mobil mereka dan meminta dengan paksa untuk
diantar ke tempat kegiatan sekolah. Perpaduan antara stres
dan lelah atas peristiwa yang belakangan ini terjadi lalu
ditambah Farel yang bertingkah memantik amarah Ayahnya.
Ayahnya langsung membentak lalu memukul Farel. Ibunya
yang berusaha untuk melindungi Farel, tak sengaja terkena
pukulan ayahnya. Akibat hal tersebut, ayah dan ibu Farel
pergi ke kamar yang berbeda. Ayah Farel yang baru saja
menerima laporan bahwa perusahaannya sedang kacau akibat
terputusnya komunikasi dengan pimpinan langsung stres.
Begitu ia melihat Farel, Ia langsung menghajarnya habis-
habisan. Ia langsung masuk ke kamarnya lalu menangis.
Sekarang Farel merasa sangat kesepian. Ia tak memiliki siapa-
siapa untuk dijadikan teman. Tiba-tiba ia teringat atas seluruh
tindakannya pada Budi dan sekarang ia merasakan apa yang
dirasakan Budi. Ia langsung berdoa untuk diberi maaf dan
diberi petunjuk oleh Tuhan. Keesokan harinya, Farel pergi ke
tempat Budi. Farel mengetuk pintu lalu Budi membukakan.
Entah mengapa, mereka berdua langsung terikat dalam suatu
ikatan emosional. Mereka pun bercerita panjang lebar dan
Budi mengakui seluruh perbuatannya. Farel pun membawa
Budi bertemu orang tuanya untuk mengakui perbuatannya.
Mendengar penjelasan Farel dan Budi, orang tua Farel
memutuskan untuk memaafkan seluruh perbuatan Budi dan
akan meluruskan laporan kematian Farel kepada tata usaha
sekolah. Orang tua Farel bahkan mengatakan pada tata usaha
sekolah untuk tak menjatuhkan sanksi pada Budi dan menjaga
agar kasus ini tak diketahui siapapun. Pihak sekolah pun
setuju dengan hal tersebut.

Singkat cerita Budi dan Farel menjadi sahabat.


Mereka saling membantu dan mereka berdua bisa menjadi
anak teladan yang terkenal. Mereka mempunyai misi yang
sama yaitu menjaga kesehatan mental dan menghilangkan
KDRT. Setelah lulus SMA dan kuliah mereka berdua
mendirikan lembaga yang terfokus pada misi mereka. Mereka
menjadi pembicara yang terkenal. Alhasil mereka berdua bisa
hidup sejahtera dan berguna bagi sesama.
Pertandingan Menyelamatkan Manusia
Oleh : Jonathan Adrianto Saleh XIA6/12
Tahun 2020, kontak pertama manusia dengan alien
berhasil dilakukan. Sebuah ras yang menyebut mereka
dengan nama Mavericks mengirim pesan melalui satelit
NASA, “Hai Umat Bumi 64, kami menantang kalian dalam
sebuah permainan basketball. Satu pertandingan. Jika kalian
menang, kami akan meninggalkan bumi kalian. Jika kami
menang, maka semua ras kalian akan kami habisi, dan planet
ini akan menjadi milik kami. Kami akan tiba dalam 72 Jam
Bumi.”

Seluruh NASA pun terkejut dan memberikan pesan


ini segera ke presiden Amerika Serikat. Maka dalam 24 jam,
pesan ini pun tersebar ke seluruh dunia, sambil para
pemimpin dunia, NASA, dan pemain basket terbaik
membicarakan mengenai langkah selanjutnya yang harus
mereka lakukan. Apakah mereka mencoba mengontak
kembali, bersiap siap untuk perang, apakah inilah akhir dari
umat manusia?

Setelah mencoba mengkontak kembali para alien,


mereka kembali mendapatkan pesan “Ikuti perintah kami,
atau kalian semua akan mati sekejap”. Melihat kondisi ini,
dibuatlah keputusan agar dikirim tim basket terbaik di dunia
ini, memperintahkan agar semua negara bersiap-siap untuk
perang dan berdoa agar para pemain berhasil memenangkan
pertandingan. Tak disangka, keberlangsungan kehidupan di
bumi ini bergantung pada 1 pertandingan basket.
Hari kedua tiba, dan dibentuklah tim utama yang
disebut All Stars, terdiri atas pemain seperti Lebron James,
Kevin Durant, Stephen Curry, James Harden,
Antetokounmpo, Embiid, Anthony Davis, Damian Lillard,
Paul George, dan Kahwi Leonard, ditemani pemain dan
pelatih legendaris, seperti Michael Jordan, Shaquille O’Neal,
dan lain-lain. Mereka bersiap-siap untuk pertandingan
terbesar dalam hidup mereka.

Hari ketiga telah tiba, dan sebuah benda terbang


raksasa mendarat di tengah kota New York. Mellihat ukuran
dan bentuk benda tersebut, dunia pun berpikir, apakah kita
bisa melawan kekuatan seperti ini jika kita kalah? Di tengah
pesawat, terbuka sebuah lapangan basket besar, penuh dengan
penonton yang rupanya mirip dengan sosok manusia.
Lapangan ini pun dikelilingi helikopter untuk menyiari
pertandingan, dan para pemain pun mendarat di lapangan,
bersiap-siap untuk bermain. Seorang alien mempersilahkan
para pemain untuk bersiap-siap dan melakukan warming up
selama 1 jam, sebelum pertandingan dimulai dengan
peraturan sama.

Gregg Popovich, pelatih yang ditunjuk untuk


melatih para All Stars menjelaskan kembali semua hal yang
mereka sudah latih bersama, dan sebelum pertandingan
dimulai memberikan pesan sekali lagi “Nasib Umat Manusia
berada di tangan kalian, jika kalian kalah, maka tidak akan
lagi basket dan tidak akan ada lagi kehidupan. Berikan semua
yang kalian punya, dan kalian akan menjadi pahlawan dunia.”
Lalu pemain utama maju ke lapangan, yaitu untuk PG
Stephen Curry, SG James Harden, SF Lebron James, PF
Kevin Durant, C Antetokounmpo.
“And noww the starting lineup for our Martian
Mavericks . At PG, Marco ivanos, At SG, James Owen, At
SF, Patrick Star, At PF, Alberto Carlos, And at Center, the
one and only, Christopher Adrian.” Pemain Mavericks pun
keluar seketika disambut teriakan meriah dari penonton Alien.
Namun tak disangka, tubuh mereka yang cukup mirip dengan
manusia, membuat para All Stars kembali percaya bahwa
mereka bisa memenangkan pertandingan ini.

“Prittttt” , pertandingan pun langsung dimulai


dengan tip off dimenangkan oleh Antetokounmpo oleh All
Stars. Beberapa detik kemudian, Lebron James memberikan
bola kepada Kevin Durant, yang menembak tembakan 3 poin,
dan masuk. Namun para Maverick langsung membalas
dengan mencetak 4 poin berturut turut dari center mereka
Adrian. Harden mencoba melakukan drive ke tengah, namun
usahanya pun diblok dengan keras oleh Carlos. Para Maverick
pun menggunakan kesempatan ini untuk melakukan serangan
kembali dengan Patrick yang memasukan 3 poin. Sekarang
sudah terlihat jelas bahwa meskipun para Maverick memiliki
ukuran dan tampak badan yang sama, mereka memiliki
kecepatan dan lompat yang jauh lebih tinggi daripada
Manusia biasa, dan inilah mengapa mereka hanya memilki 5
pemain saja, tanpa ada cadangan.

Quarter pertama diikuti dengan pembantaian keras


oleh para Maverick yang mencetak 25 poin total,
dibandingkan All Star yang hanya mencetak 15 dari jump
shot, karena serangan ke ring selalu berakhir dengan blok atau
miss. “ Kalian masih terbiasa lengah di quarter pertama, dan
ini harus berubah. Ini bisa jadi pertandingan terakhir kalian,
atau bahkan hal terakhir yang kalian lakukan di hidup ini.
Lakukan 100 persen, berlarilah, dan fokus kerja sama. Hari ini
kita harus menang.” Ujar coach Gregg menyemangati timnya.

Quarter kedua pun dimulai, dan Harden pun ditukar


dengan Kahwi Leonard. Langsung setelah istirahat, Leonard
melakukan serangan ke tengah dan memberikan passing ke
Curry yang mencetak 3 poin. Para All Star lalu mendapatkan
bola lagi, dan Curry kembali menembak 3 poin, diikuti and-
one dari James. Para Maverick pun terkejut dan melakukan
alley oop ke Adrian dan melakukan tembakan 3 poin dari
Owen. Pada akhir quarter kedua, Maverick hanya unggul 49 –
46 ke All Stars.

Pertandingan selanjutnya itu berlangsung sangat


sengit dengan para pemain All Stars menghabiskan semua
tenaga mereka untuk terus mencetak poin dan melakukan
pertahanan yang baik. Tibalah quarter ke 4 dengan skor
Maverick 80 – 75 ke All stars. “Ini adalah 10 menit terakhir
yang paling berarti dalam hidup kalian. Pastikan kalian
memberikan segalanya. Saya yakin kalian pasti bisa menang,
jadi mari kita selamatkan bumi.”

Quarter ke 4 dimulai dengan Antetokounmpo


melakukan serangan dan dunk ke Alberto, yang meningkatkan
semangat All stars. Namun Para Maverick tidak mau kalah,
dan kembali mencetak 5 poin berturut turut dari Ivanos
sehingga perbedaan menjadi 8 poin. Mereka lalu saling
bertukar poin sampai sisa 2 menit waktu. James memberikan
passing ke Curry yang menembak 3 poin dengan dijaga ketat
oleh Owen. Terdengar suara peluit, dan bola masuk “And
oneeee”, Curry berhasil melakukan 4 point play yang
menutupi perbedaan hanya ke 4 poin.
Kemudian, Patrick melakukan serangan ke ring
ingin melakukan dunk, namun dari samping, James berhasil
menahan bola, dan didapatkan oleh Durant, yang melakukan
serangan cepat dan mencetak 2 poin sehingga perbedaan
menjadi 2 dengan waktu 1 menit lagi. Para Maverick kembali
memberikan bola ke pemain terbaik mereka, Adrian yang
mencetak 2 poin dari 35 terakhirnya. Namun All star tidak
mau menyerah, dan James memberikan bola ke Durant yang
berhasil mencetak 3 poin. Kemudian Adrian melakukan
serangan cepat ke ring dengan kecepatan tak manusiawi.
Akhirnya ia pun di foul dan melakuakan free throw 2 kali
dengan sisa waktu 3 detik. Namun pada free thow ke dua, ia
tidak berhasil membuka kesempatan ke All Stars.

Dari timeout, Gregg menggambar strategy serangan


terakhir untuk memberikan kesempatan Curry menembak 3
poin. Masih ada 1 kesempatan untuk menyelamatkan
manusia. Seluruh dunia menonton dan berdoa agar mereka
bisa memenangkan pertandingan. Lalu saat dimulai James
memberikan bola ke curry yang terbuka .......” BANGGGGG”
Sambil alarm waktu habis berbunyi, Curry berhasil menebak
3 poin terakhirnya, memenangkan pertandingan untuk
menyelamatkan bumi. Seluruh dunia bersorak sorai gembira,
dan All Star pun berlari memeluk Curry sambil menangis bisa
menyelamatkan bumi. Akhirnya para Mavericks pun menepati
janji mereka dan meninggalkan bumi, dan manusia pun
selamat. Sehari setelah pertandingan, para Mavericks
mengirim pesan lagi “Kami akan kembali lagi suatu saat,
kalian belum tentu akan beruntung lagi.”
KO-BLOG
Oleh : Kaloosh Falito Verrell XIA6/13

Lonceng pintu kafe berdering. Seorang pemuda


dengan rambut pirang dicat masuk pintu tersebut.
Aliyah memperhatikan langkah-langkah pemuda
tersebut dengan wajah menggerutu. Dengan kesal, ia pun
setengah berteriak, “Alasan lu telat lagi apa?”
Amarah Aliyah mengesankan bagi para pendatang
kafe, namun tidak satu pun yang menanggapi-nya.
Pemuda tersebut menjawab, “Gua sesat. Karena
hilang di mata lo.” Walaupun wajahnya memerah, dengan
ekspresi netral, Aliyah pun menjawab, “Lucu, Dex.”
Dex, atau juga dipanggil Dexter, adalah seorang
pemalas yang hanya berada di sekolah karena terpaksa. Pada
sisi lain, Aliyah adalah seorang murid teladan, ketua klub
drama dan siswi berprestasi dengan wajah yang diirikan
keseluruhan sekolahnya. Beberapa bulan yang lalu, mereka
tidak saling mengenal, bahkan mereka tidak pernah bertemu.
Tetapi, pada suatu hari, kepala sekolah memanggil
mereka. Dexter, yang sudah memegang 2 surat peringatan,
tidak terlalu terkejut sedangkan wajah Aliyah memucat
dengan syok. Ternyata, mereka berdua ditunjuk menjadi
pengurus blog Seragam Beragam, yaitu suatu blog curahan
hati bagi banyak siswa-siswi SMA di DKI Jakarta. Tokoh
moderator blog tersebut, dengan nama samaran “Putri Malu”
adalah semacam selebritas antara kalangan remaja.
Tentunya, pada mulanya, gagasan tersebut sulit
diterima oleh kedua pihak.
Dexter berkata, “Lagian, ngapain manggil-manggil
gue tengah malem? Bahkan maksa!” Jam kafe menunjuk
waktu 11:00, dan langit diluar tentunya tidak cerah.
Dengan serius, Aliyah menjawab sambil memutarkan
layar laptopnya, “Karena Putri Malu baru menerima surel
penting.” Layar laptop Aliyah menunjukkan suatu surel dari
“H04X”.
Ekspresi Dexter memberat. “H04X” adalah nama
samaran klub TIK di sekolah yang memiliki reputasi sebagai
kumpulan sangat kompetitif. Setiap tahun, mereka berusaha
meraih juara pada lomba penciptaan blog nasional. Tetapi,
blog Seragam Beragam selalu menang juara pertama.
Ternyata, mereka rela menyembunyikan tangan dan
berat sebelah supaya menang.
Pada surel tersebut, tertulis, “Tutuplah blog Seragam
Beragam. Jika blog tidak ditutup pada pukul 24:00 besok,
identitas Putri Malu akan disebarkan dan diberitakan.” Mata
Dexter melebar. Ini adalah karena H04X memang mampu
melakukan hal ini. Mereka memiliki basis data dan identitas
keseluruhan SMA, termasuk guru dan karyawan. Kasus
identitas berbagai siswa-siswi disebarkan oleh H04X
berlimpah sepanjang sejarah sekolah. Bahkan, Dexter heran
mengapa hal ini tak terjadi sejak dahulu.
“Bahaya, Dex. Makanya, gue panggil. Gue akan lapor
ke kepsek, besok-besok klub TIK paling dipanggil dan..” ujar
Aliyah, namun dipotong oleh Dexter.
“Kita tutup saja.”
Ekspresi Aliyah berganti-ganti, dari kesal, marah, dan
bingung. “HAH?? Dex, lo gak serius kan? Ini tugas dari
kepsek sendiri, gak mungkin lo bisa lepas kayak gitu saja!”
“Bisa kok.”, ujar Dexter. Pada awalnya, Aliyah tidak
mementingkan kerjasama dengan Dexter, namun jika
menghadapi kemampuan kumpulan orang seperti ini, ia tidak
mampu berjuang sendiri. Aliyah berkata, “Dex. Ini bukan
sepele-pele. Bisa saja lo dikeluarkan sekolah karena ini.”
Tetapi, Dexter sudah memutuskan pilihannya. Menurut dia
sendiri, Dexter tidaklah seorang pengecut. Namun ia tahu jika
ada perjuangan yang tidak dapat dimenangkan.
Beberapa detik kemudian, Dexter keluar dari kafe dan
Aliyah tertinggal sendiri.
Esok harinya, Dexter pulang dari sekolah dengan
firasat buruk. Pada awalnya, ia mengabaikannya tetapi ketika
perasaan tersebut memburuk, ia terpaksa menanggapinya.
Satu-satunya cara ialah untuk bertemu dengan Aliyah. Malam
kemarin berada di benak Dexter sejak ia meninggalkan Aliyah
di kafe tersebut. Sekarang, ia berpikir ulang untuk
membantunya menghadapi kepala sekolah. Tetapi, ketika
Dexter tiba didepan kelas Aliyah, ia tak menemukannya.
“Bro. Lo dateng gak?”
Suara tersebut dimilikki teman dekat Dexter, Udin.
Dexter pun bingung.
“Ngapain?” tanya Dexter. Udin tertawa, lalu
menjawab, “Dex, lo belum tahu? Putri Malu, tahu kan? Kabar
angin, dia mau pergi ke klub drama abis pulang sekolah.
Makanya, banyak orang pikir dia anggota klub drama, karena
besok latihan terakhir sebelum pekan seni. Jadinya dateng
gak?”
Dexter tak bergerak selama beberapa detik. Ia
mengingat ancaman surel kemarin dan jantungnya berdetak
kencang. Ia pun lari dengan secepat-cepatnya ke ruangan
Audio-Visual, tempat latihan klub drama. Ketika ia tiba,
dugaan dia menjadi kenyataan. Ruangan Audio-Visual
terpenuhi dan sesak padat, dipenuhi berbagai siswa-siswi dari
sekolah lain dan wartawan serta jurnalis dari berbagai
perusahaan berita.
Pada saat itu, Dexter pun memikir dan merefleksikan
pada tindakannya kemarin. Jika ia tidak meninggalkan Aliyah
di kafe sendirian, mungkin saja segala ini dapat dicegah.
“Saya harus memperbaiki ini,” pikir Dexter. Setelah berpikir-
pikir, ia memutuskan untuk melakukan sesuatu yang sangat
bodoh, irasional dan ceroboh.
Ia pun menanjak ke panggung utama, dan teriak
dengan sekeras-kerasnya, “Wawancara terbuka! Saya akan
menunggu di samping ruangan Audio-Visual, dan akan
mencoba menjawab pertanyaan sebanyak-banyaknya.”
Semua orang langsung diam. Selama beberapa detik,
suasana ruangan mencekik dan tegang. Seorang siswa pun
berseru, “Lo Putri Malu? Lo memang salah kelamin, atau..”
Dexter memotongnya dan berteriak balik, “Saya
melihat semua postingan dan pesan pribadi kalian. Saya bisa
membuktikannya.”
Ruangan sunyi. Dexter mengeluarkan handphone-nya,
dan membaca berbagai nama pengguna serta isi pesan
pribadi-nya yang ditujukan kepada Putri Malu. Muka dari
banyak siswa-siswi memerah dan bahkan beberapa segera
keluar dari ruangan itu. Tampaknya wartawan dan jurnalis
memperhatikan keadaan ruangan karena beberapa detik
kemudian, Dexter diserbu. Mikrofon dipaksakan didepan
wajahnya, dan ia rasa sesak dikelilingi banyak orang. Namun,
ia tetap berusaha jalan menjauhi ruangan Audio-Visual.
Selama berjam-jam, ia menjawab pertanyaan dari berbagai
wartawan dan siswa-siswi. Ia pun tidak pulang pada hari itu.
Maju beberapa tahun, Dexter lulus dari SMA. Selama
tahun-tahun terakhir di SMA tersebut, ia diejek dan dimaki-
maki secara berat-berat oleh banyak siswa lelaki. Ia diberi
berbagai nama sindiran, seperti “homo”, “gay’ dan lain-lain,
namun tidak sekali pun ia memperhatikannya. Ujung-
ujungnya, Dexter hanya memiliki Udin sebagai teman karena
peristiwa pada sore hari itu.
Pada suatu hari, ia sedang jalan ke kafe untuk minum
kopi sesuai rutinitas pagi. Namun, tiba-tiba, ia melihatnya.
Aliyah duduk di meja yang sama, dengan minuman
yang sama ketika Dexter meninggalkannya pada malam hari
itu. Seharusnya ia merasa marah dan kesal, tapi ia tidak
merasa emosi seperti itu.
Dexter mendekatinya. Aliyah sedang membaca koran,
namun belum menyadari Dexter.
“Lo ngapain disini?” kata Dexter. Aliyah berpaling
kepada Dexter dan tampak terguncang. Air mata menetes dari
mata Aliyah. Dengan suara kecil, ia berkata, “Dexter?”
“Iya. Gue Dexter. Gue nanya lagi, nih. Lo ngapain
disini?”
Aliyah mulai menangis. Bingung, Dexter mencoba
melipurnya. ‘Weh, weh. Sudah, sudah, tak usah nangis.” Ini
tak berhasil karena tangisan Aliyah semakin keras.
Dexter tetap linglung, tetapi tiba-tiba Aliyah mulai
tertawa. Sedemikian, Dexter mulai ikut tertawa bersamanya.
Mereka berhenti dan menetap satu sama lain.
“Lu goblok banget Dex.” Pada saat itu juga, Dexter
sadar situasi mereka. Ia pun bersenyum, “Sama-sama,
Aliyah.”
Beberapa jam kemudian, mereka ngobrol. Berbicang
tentang sekolah dan kehidupan tampak nyaman untuk
keduanya. Ternyata, mereka berdua masuk ke perguruan
tinggi yang sama, di kota yang sama. Tahun-tahun berikutnya,
mereka pun bertemanan dekat dan tak pernah pisah dari satu
sama lain.
Dan itu, nak, cerita bagaimana saya bertemu dengan
ibumu.
Kala Senja Kian Temaram
Oleh : Leonardo Bambang H. XIA6/14
Pagi itu aku terbangun dengan setengah sadar. Secara
reflek aku melakukan rutinitas seperti pagi biasanya. Langit
kala itu begitu cerah, bahkan begitu cerahnya hingga aku tak
mengenali langit Jakarta yang biasanya kelam. Seperti biasa,
pagi selalu kuawali dengan doa, bilas muka, gosok gigi, lalu
bergegas bersiap menghadapi realita kehidupan remaja pada
umumnya. Entah mengapa, rumahku tak biasanya sesunyi ini.
Mungkin orangtuaku memang belum bangun, atau aku
bangun lebih pagi dari biasanya. Tanpa pikir panjang, aku
melangkah kaki untuk berangkat ke sekolah. Terasa seperti
ada yang janggal, tapi rasanya lebih baik aku abaikan firasat
yang mengganggu benakku ini.

Selang beberapa langkah keluar rumah, aku baru


menyadari semuanya. Sunyi yang tak biasa tersebut bukan
hanya firasat semata. Kebisingan lalu lalang lalu lintas lenyap
begitu saja. Bahkan tak ada satupun manusia yang kutemui
pagi ini. Mendadak aku merasakan ketakutan mendalam.
Sesegera mungkin aku berlari tanpa arah seolah dikendarai
oleh perasaan mencekam yang tak terbayangkan. Peradaban
manusia, lenyap dalam semalam.

Setelah kupikir lagi, rasanya konyol untuk berlari


tanpa arah tanpa, bahkan aku pun baru menyadari juga "Aku
ini lari dari siapa sih? Mengapa aku lari? Memangnya apa
yang harus ditakuti?" Memang, begitu memalukan rasanya.
Tetapi buat apa pula malu? Tidak ada juga yang melihatku.
Lebih tepatnya, aku tak melihat siapapun melihatku malu.
Jadi, untuk apa malu?

Ketakutan yang mencekam berubah menjadi teriakan


gila dan tingkah-tingkah aneh yang sebelumnya kupendam
sendiri. Karena tentunya tidak ada yang ingin melihatku atau
sekedar mendengar racauan dan makian serta tarian aneh yang
tak berirama sama sekali. Tetapi rasanya puas sekali untuk
bebas melakukan apa yang ku mau." Bebas. Bebas?" Pikirku
sekali lagi. Aku pun menyadari, aku bebas melakukan apapun.
Dunia seluruhnya sekarang jadi milikku sendiri.

Siang itu berdering sunyi. Tapi kesunyian tersebut


terpecahkan oleh kebisingan yang ku buat. Semua benda yang
ada di muka bumi, adalah milikku sekarang. Siang itu aku
habiskan di pusat perbelanjaan terbesar di ibukota. Dan aku
sendirian! Aku bebas mengambil apapun yang aku mau. Baju,
sepati, tas, aksesoris, apapun benda yang yang selama ini
hanya bisa kupandang lewat kaca etalase, telah menempel
pada tubuhku ini. Semuanya bebas kuambil. Tapi sayang,
andai restoran tetap buka dan ada seseorang yang mau
memasakkan makanan enak untukku, siang itu akan terasa
sangat sempurna. Akupun menyadari sesuatu, namun aku
masih belum bisa menyimpulkannya.

Rasanya senang aku bisa memiliki apapun yang


kumau. Bahkan sepeda motor terkeren di showroom bermerk
mahal sekalipun bisa kuambil dan kupakai dengan bebas.
Rasanya aku bisa berkendara kemana saja secepat apapun
yang ku mau. Namun untuk mengakhiri hari yang indah
tersebut. Aku memutuskan untuk pergi ke tempat aku biasa
berkumpul dengan kawan-kawanku.
Setibanya di taman tempatku biasa berkumpul. Aku
mendengar dengungan kesunyian yang mengganggu benakku.
Aku duduk di sebuah bangku, sambil berharap seseorang
datang untuk sekedar bercerita dan bersenda gurau persis
seperti sore yang biasanya. Bukankah betapa asyik ketika
banyak dari kawanmu berkumpul di satu tempat dan
semuanya bersenda gurau diiringi tawa yang tak berirama
seolah bahagia itu sangatlah sederhana.

Hampir terbenam matahari kurasa, namun langit yang


tadinya lembayung perlahan sinarnya memudar dan mendung.
Tak seorangpun datang. Tak pernah aku merasakan kesunyian
semencekam ini. Tadinya kesunyian tersebut dapat ku
abaikan. Tapi lama-lama kesunyian tersebut terasa seperti
jeritan yang mengoyakkan telingaku dan meminta untuk tidak
diabaikan. Rasa takut perlahan menggerogoti akal sehatku.
Badanku menggigil tidak karuan, bahkan inderaku mulai mati
rasa. Tak pernah ku sadari, kesendirian lama-kelamaan begitu
mematikan ketika kau mengabaikannya terlalu lama. Aku
butuh seseorang.

"SADARLAH!" Seketika aku mendapati diriku


sendiri berdiri tegak dihadapanku. Siapa manusia ini? Tidak.
Apakah dia manusia? Tidak, apakah aku masih waras?
Sekiranya ribuan pertanyaan terlontar di benakku pada detik
itu juga. Melihatku yang sontak kaget, ia tak bereaksi apapun.
Ku lihat dia memang sepertiku. Persis. Apakah aku sedang
bermimpi? "BANGUN!" Itulah kata kedua dan terakhir
darinya yang kuingat. Begitu singkat aku beralih menuju
realitas yang lain. Bahkan aku tak sempat menikmati guratan
cahaya langit senja yang kala itu hendak mendung.
Kesadaranku terlempar pada raga yang terlelap pulas, dan
rasanya kesadaranku jatuh menimpa ragaku tersebut

***.

Aneh rasanya. Akupun terbangun dalam perasaan


terkejut serasa aku baru saja jatuh dari suatu tempat. Pagi itu
begitu cerah. Tak seperti langit jakarta biasanya. Mungkin aku
bangun terlalu pagi. Namun ada sesuatu yang janggal.
Entahlah, kurasa firasatku tak jauh lebih penting dari rutinitas
pagiku. Semoga hari ini menjadi hari yang lebih baik.
1 Hari Lagi
Oleh : Marco Medhavanto XIA6/15
Aku terbangun di pagi hari mendengar jam weker.
Aku menoleh ke samping untuk mengecek jam dan
memastikan bahwa masih jam 5. Perlahan-lahan aku turun
dari ranjang untuk pergi ke toilet sebelum memutuskan untuk
kembali ke ranjang dan tidur lagi 15 menit. Tadi malam aku
tidur pukul 1 pagi untuk belajar ulangan biologi.

Saat aku keluar kamar, jam di dinding sudah


menunjukan waktu 6.00. Aku bergegas memasukan buku dan
tugas ke dalam tas. Kemudian aku cepat-cepat mandi dan
memakai baju seragam. Selama melakukan hal tersebut aku
mencoba mengingat hal-hal yang aku pelajari kemarin malam
untuk ulangan biologi hari ini. Aku tidak bisa mengingat apa-
apa, 2 jam les kemarin beserta 3 jam belajar tidak
membantuku sama sekali.

Setelah aku melewati sesi ocehan orang tua tentang


mengapa aku tidak boleh tidur larut malam, aku memesan
Gojek untuk pergi ke sekolah. Sepuluh menit berlalu dan
Gojek masih belum datang, padahal jam sudah mmenunjukan
waktu 6.40. Aku mencoba membuka HP dan ada pesan baru
dari supir Gojek, ‘OTW’. Frustasi, aku memutuskan untuk
membuka rangkuman ulangan di HP. Tiba-tiba nenek nenek
meneriaki aku, “Jangan main HP di pinggir jalan!”. Aku pun
mengurungkan niatku untuk belajar. Sudah berkali-kali dia
melakukan hal ini dan tidak ada gunanya dilawan. Beberapa
minggu yang lalu dia melempar HP lamaku padahal aku
hanya sedang chatting dengan teman. Untungnya Gojek
datang tepat waktu untuk menyelamatkanku dari ceramahnya.

Aku nyaris terlambat sampai ke sekolah dan begitu


saya sampai ke kelas pelajaran langsung dimulai. Aku belum
hafal materi sama sekali sehingga aku memutuskan untuk
diam-diam belajar. Materi yang diajarkan guru pada saat itu
dapat dipelajari di lain waktu, akan tetapi ulangan kali ini
harus di atas 90 kalau aku ingin lulus.

Satu demi satu bel pelajaran berbunyi dan istirahat


tiba. Pelajaran setelah ini adalah ulangan biologi. Teman-
teman saling bertanya soal apa yang mungkin keluar di
ulangan dan prediksi nilai masing-masing. Ada banyak yang
bilang bahwa mereka yakin akan mendapat di bawah KKM
dan aku merasa lega karena mengetahui bahwa tidak hanya
aku yang tidak hafal. Walaupun begitu aku tahu bahwa
sebenarnya sebagian besar dari mereka sebenarnua hafal dan
hanya rendah hati. Pasti hanya ada 5 atau 6 orang yang di
bawah KKM.

Bel pelajaran berbunyi dan ulangan dimulai. Aku


menerima soal ulangan dan seketika itu juga aku lupa semua
materi yang aku pelajari. Soal esai yang ditulis dengan Bahasa
Indonesia terasa seperti ditulis dengan Bahasa Latin.
Beberapa soal yang awalnya aku yakin bisa kukerjakan satu
per satu aku isi dengan jawaban kosong. Setelah
menghabiskan 1 jam pelajaran berpikir tanpa hasil, aku hanya
bisa pasrah dan mengisi soal dengan jawaban asal.

Aku keluar dari ruang kelas dengan perasaan putus


asa. 7 soal aku tanyakan ke teman, 7 jawaban semuanya salah.
Hilang sudah harapanku untuk naik kelas. Kalaupun ada nilai
tulis, pasti tidak akan di atas 70. Bahkan kalau aku entah
bagaimana bisa mendapatkan 75 di ulangan ini aku masih
harus mencoba mendapatkan nilai 90 di ulangan berikutnya.

Selama pelajaran-pelajaran selanjutnya aku tidak bisa


fokus. Habis sudah tenagaku untuk belajar biologi. Di
pikiranku terbayang-bayang masa depan di mana orangtuaku
tidak dipanggil ke sekolah. Mungkin di ulangan berikutnya
aku bisa mendapatkan nilai bagus sehingga hanya ada 2 nilai
yang dibawah KKM. Mungkin ulangan ini masih bisa
mendapatkan nilai cukup bagus karena jawabanku sebenarnya
sedikit mirip dengan jawaban yang benar. Mungkin guru akan
salah membaca jawaban dan memberikan saya nilai yang
lebih tinggi. Akan tetapi aku tahu hal tersebut tidak mungkin
akan pernah terjadi.

Aku pulang sekolah dengan perasaan lega. Bagian


tersulit bulan ini sudah terlewati. Walaupun kali ini mungkin
dapat nilai buruk, ulangan selanjutnya aku akan kerjakan lebih
baik lagi. Aku akan mencoba lebih focus mendengarkan guru.

Aku membuka catatan tugas di HPku. Besok ada 2


ulangan dan 3 tugas. Aku pasti bisa, Aku pasti bisa. Aku pasti
bisa.

CANDU
Oleh : Marvel Evorius Nugroho XIA6/16

Tok ! Tok ! Tok ! Aku mendengar suara pintu depan


terketuk,
“Siapa sih yang ngetok pintu tengah malam begini ,
bodo amat lah, “ Kataku dalam hati sembari membiarkan saja
ketukan itu.
Aku mencoba untuk diam saja, aku pikir mungkin ia
salah ketuk kamar. Tetapi, ketukannya makin lama makin
keras. Tiba – tiba …….
Kringggg!!! Alarm berbunyi begitu kerasnya sampai
membuat telinga berdengung.
“ Akhhh !!! Ganggu tidur aja sih ini alarm, “ kataku
dengan nada yang kesal.
Hai ! Nama gue Ardilo Fernand. Orang – orang biasa
manggil gue Arlo, dan inilah cerita gue.
Pada saat kelas 3 SMA di Bandung banyak orang
yang nanya ke gue “ Mau kuliah dimana “. Gue pun langsung
bilang “ Jakarta “. Banyak orang yang tidak percaya kepada
gue. Banyak orang bilang “ Disini banyak juga kok
Universitas bagus ngapain jauh – jauh disana “ dan “ Bahaya
tau di Jakarta banyak hal gak jelas “ dan banyak kata – kata
menghasut gue supaya kuliah di Bandung aja. Tetapi gue
tetap berpegang teguh akan keinginan gue. Orang tua gue
akhirnya mengijinkan gue buat kuliah di Jakarta asal jangan
bertindak aneh – aneh kek narkoba, hamilin anak orang ato
pun nyolong. Yak gue bilang,
“ Ya kali, Belajar doang kok gak aneh – aneh, “ Kata
gue ke orang tua gue.
Bulan – demi bulan berlalu dan gue menjalani
kehidupan gue sebagai seorang mahasiswa. Bangun, belajar,
main, nongkrong, tidur, bangun, belajar, main, nongkrong,
tidur, begitu terus menerus ada di kehidupan gue semasa
kuliah. Dahulu yang gue termasuk anak pendiem, adem ayem,
baik mulai berubah pada saat kuliah ini. Pola hidup gue yang
dulu cuman bangun, belajar, tidur semua berubah. Gue mulai
kenal yang namanya rokok, AMER atau anggur merah, dan
mabok mabokan. Selain itu gue juga mulai berani untuk
bersosialisasi, yang dulunya gue disebut anak “ ANSOS “
sekarang tidak lagi.
Pada saat kuliah ini gue punya banyak teman, mulai
dari teman nongkrong sampai teman belajar. Walaupun gue
punya banyak temen, tapi gue punya dua teman baik yang
selalu gue percaya. Namanya Irene dan Aldo. Aldo, Laki –
laki anak basket tingginya ya sebelas duabelas sama tiang
lampu merah, Kata orang sih dia keren makanya gak heran
kalo dia disukai banyak cewe maupun om - om . Irene, cewe,
cantik, pinter,senyumnya yang manis, baik maka gak heran
kalau dia banyak yang suka. Gue sih beruntung banget punya
temen kaya mereka Aldo suka ngajak gue nongkrong dan
Irene yang selalu ngingetin gue jangan aneh – aneh dan
nemenin gue belajar.
Semua hal berjalan dengan baik sampai tiba – tiba,
saat gue nongkrong aldo ngasih gue semacam permen gue
kira itu apa kata dia,
“ Cobain aja ini, enak ,“ kata dia sambil ngasih gue
permen itu.
Gue pun yang penasaran mencobanya, saat masuk
pertama kali ke mulut rasanya enak, manis dan membuat aku
ketagihan.
“ Enak kan, nih mau lagi gak. Gue dikasih temen
basket gue. Katanya dari Afrika “ Kata Aldo sembari ngasih
gue permen lagi.
Setelah hari itu, gue tidak bisa hidup tanpa permen
tersebut. Rasanya kalo gaada permen itu gue bakal sengsara.
Dari rasa kecanduan itu merubah sikap gue, gue mulai sering
marah – marah, depresi, ngantuk dan malas kuliah. Semenjak
kenal permen itu gue mulai jarang masuk kuliah dan jika
masuk kerjaan gue ya hanya tidur kalo gak main HP. Banyak
teman yang mulai ngejauhin gue karena katanya gue aneh.
Sampai suatu minggu karena gue udah jarang masuk
semiggu Irene dateng ke kos-an gue.
“Lu kemana ? dari kemarin gue cariin, lu Sakit ? “
tanya Irene.
“ Gak, biasa aja kok gue sehat – sehat aja, “ Jawab
gue.
Irene pun gue suruh masuk ke kos-an gue dan karena
di kos-an gue gaada apa – apa gue tawarin aja permen yang
dikasih aldo ke dia.
Dia pun kaget,
“ Eh inikan permen yang dilarang polisi, karena
katanya ada narkoba di dalemnya “ kata dia
“ Apaansih ini aja permen biasa, santuy aja kali “
Kata gue.
Setelah berdebat panjang dengan Irene akhirnya dia
ngomong,
“ Gue kasih tau aja nih ya gimana perasaan emak lu,
bapak lu susah – susah cari duit ternyata anaknya narkobaan
pikir tuh, “ Kata dia “ Udah ah pulang aja gue, cape ngasih tau
yang bener ama orang yang batu kek lu “ Sambung dia sambil
pulang dan membanting pintu.
Gue sih bodo amat, namanya permen ya permen.
Begitulah pikiran gue. Mulai saat itu Irene kayak ngejauhin
gue dan setiap gue sapa dia selalu ngomong “ Urusin dulu tuh
permen “. Setiap chat di line maupun WA selalu di kacangin
ama dia. Sampai tiba – tiba gue liat di kampus banyak polisi
berdatangan menangkap Aldo dan teman basketnya karena
diduga telah menjadi bandar narkoba berbentuk permen
tersebut. Gue pun kaget dan langsung buru - buru pulang ke
kos-an gue
Sampai tiba – tiba tengah malam ketika gue sedang
ngerjain tugas kuliah ada yang mengetuk pintu gue. Gue
diemin aja abisnya gue pikir mungkin salah kamar kali dia.
Tapi makin lama ketukannya makin kencang sampai tiba –
tiba ada suara orang teriak. “ Woy buka Woy “ Gue yang
kaget dan takut langsung gue bukain pintu kamar gue dan
ternyata yang mengetuk pintu gue adalah orang yang
menangkap aldo di kampus tadi. Makin takut ampe keringet
dingin dong gue.
Sehabis itu gue disuruh dia buat ke kantor polisi buat
ditanya – tanya. Gue jawab aja yang jujur gue kira itu permen
ternyata narkoba dan dia nanya gue nyimpen permen itu atau
tidak gue bilang iya dan gue kasih polisinya. Abis itu gue
ditahan sekitar 3 hari dan gue dibebasin karena gue hanya
sebagai korban dari tindakan aldo dan gue harus mengikuti
rehabilitasi yang ditetapin oleh polisi disitu.
Setelah kejadian itu gue mulai membuang kebiasaan
buruk gue dan gue minta maaf ke Irene. Dan untungnya dia
maafin gue dan janji bakal nemenin gue selama rehabilitasi
dan selalu jagain gue selama kuliah dan mungkin sepanjang
hidup gue.
Begitulah cerita singkat hidup gue selama kuliah di
Jakarta, Daerah yang asing bagi gue saat itu dan gue selalu
inget satu hal yaitu “ CANDU narkoba bahaya bagi hidup
kecuali CANDU cinta “.
Arvin sang Pemain Basket yang Pendek
Oleh : Matthew Patrick XIA6/17
Arvin merupakan seseorang yang gigih sejak ia masih
kecil. Saat Arvin masih berumur enam tahun , Arvin sudah
diperkenalkan permainan bola basket oleh ayah Arvin. Sejak
saat itulah juga Arvin menemukan passionnya. Dari Arvin
umur enam tahun sampai ia SMP , bola basket merupakan
bagian dari kehidupannya. Arvin merasa tanpa basket ia tidak
akan bisa menjalankan hidupnya lagi , sampai seperti itulah
cinta Arvin terhadap permainan bola basket ini. Badan Arvin
tidak tinggi atau dapat dibilang pendek sehingga dapat
menjadi penghalang besar dalam karier basket Arvin.
Walaupun begitu Arvin tidak pernah menyerah dan terus
gigih berlatih untuk menutupi kekurangan yang ia miliki itu.

Tahun berganti dan kini saatnya Arvin mulai duduk di


bangku SMP. Arvin terkejut, karena di SMP barunya ada
banyak sekali peminat basket tidak seperti saat ia SD yang
dimana Arvin hanya bermain basket sendirian. Perasaan
Arvin bercampur-campur antara senang dan khawatir. Senang,
karena banyak yang seminat dengannya dan khawatir, karena
banyak pemain basket yang lebih tinggi darinya.
Kekhawatiran Arvin ternyata berdampak pada saat pemilihan
tim-tim untuk mewakili sekolah untuk pertandingan-
pertandingan antar sekolah. Arvin yang merasa kalah dengan
pemain-pemain yang lebih tinggi darinya membuat Arvin
kalah mental dan akhirnya bermain dengan gugup sehingga
tidak dapat menunjukkan skill yang ia punya sebenarnya.
Akibatnya Arvin tidak dipilih untuk bertanding mewakili
sekolahnya, walaupun sebenarnya ada tiga tim. Arvin merasa
kecewa dengan dirinya sendiri, karena masuk ke tim C , yang
merupakan tim paling buruk diantara ketiga tim saja tidak
bisa. Arvin menanggapi kekecewaannya tersebut dengan
berlatih . Arvin berlatih dengan sangat keras yaitu latihan
shooting dengan 1000 kali percobaan dilanjuti dengan latihan
dribblingnya selama kurang lebih dua jam setiap harinya.
Namun sampai lulus SMP –pun, Arvin tidak pernah
dimasukkan tim oleh pelatihnya.

Waktu berlalu dengan sangat cepat bagi Arvin yang


setiap harinya berlatih dengan keras , tanpa ia sadari sudah
saatnya ia melanjuti pendidikannya di SMA dan saat itulah
juga Arvin berjanji kepada dirinya sendiri untuk masuk tim
basket SMAnya. Kebetulan SMP dan SMA Arvin sama yaitu
di Kolese Kanisius sehingga banyak yang tahu bahwa Arvin
rajin berlatih namun tidak pernah masuk tim basket ,tim C
sekalipun juga tidak. Arvin sering diledek di kelasnya dan
salah satunya yang memulai adalah murid yang bernama
Mamat.“ Woi Vin, tahun ini masuk tim ga kira-kira?
HAHAHAHA” ledek Mamat. Arvin menjawab dengan tegas
bahwa ia pasti dapat masuk tim basket pada tahun pertamanya
di SMA Kanisius ini. “ Mana mungkin lah lu pendek gini”
ledek Mamat lagi. Satu kelas ketawa , kecuali satu murid yang
bernama Kenneth. Kenneth merupakan murid baru dan juga
seorang penggemar permainan bola basket. Kenneth lalu
mendekati Arvin. “ Jangan didengerin fokus aja sama
permainan basket lu” ujar Kenneth kepada Arvin. Sejak saat
itu Arvin dan Kenneth mulai berteman baik. Kenneth
memiliki postur tubuh yang tinggi dan cocok untuk menjadi
pemain basket. Kenneth juga memiliki skill diatas semua
pemain basket di SMA Kanisius bahkan juga seniornya.
Arvin tidak terkejut Kenneth akan langsung dimasukkan ke
tim inti . Namun Arvin sama sekali tidak dipandang oleh
pelatihnya walaupun Arvin pandai mencetak three-point
,karena pelatihnya menganggap pemain basket yang pendek
tidak akan terlalu berguna di dalam pertandingan
sesungguhnya.

Setiap tahunnya ada yang namanya pertandingan


basket yang diperuntukkan sekolah-sekolah SMA di
Indonesia. Tentu saja Kanisius berpartisipasi dalam
pertandingan tersebut. Kenneth yang merupakan pemain
terbaik SMA Kanisius juga tentu mewakili Kanisius bersama
pemain-pemain lainnya yang ada di tim A SMA Kanisius.
Pada tahun ini juga pun Arvin tidak dimasukkan tim sama
sekali namun ia membuat sebuah perkembangan yaitu Arvin
dimasukkan ke dalam tim B. Arvin merasa senang namun
belum juga puas , karena Kenneth berkata ia akan menunggu
kedatangannya di tim A. Walaupun Arvin tidak bertanding di
DBL, ia tetap bertanding di pertandingan sekolah lain.
Performa bagus Arvin di pertandingan- pertandingan tersebut
dan tim A yang bertanding di DBL kalah di perempat final
,membuat pelatih basket SMA Kanisius menyadari bahwa
dengan kedatangan Arvin di tim A akan membuat sebuah
perbedaan. Sehingga pada saat Arvin kelas 11 ia dimasukkan
ke tim A untuk mewakili Kanisius di DBL. Arvin dan
Kenneth dengan tim A lainnya berjuang untuk membawa
Kanisius supaya juara di DBL tahun ini, namun sayangnya
mereka hanya dapat berjuang sampai perempat final lagi
seperti tahun sebelumnya. Arvin yang sudah berjuang
menangis, begitu juga Kenneth. Mereka berdua berjanji untuk
membawa pulang juara pertama balik ke Kanisius tahun
depan.

Satu tahun berlalu dan Arvin tetap berlatih dengan


keras. Setiap harinya masih berlatih menembak bola basket
1000 kali dan latihan dribble selama dua jam. Tim Kanisius
juga semakin kuat, karena kedatangan beberapa kelas 10 yang
lumayan andal dalam bermain basket. Sampai sekarang pun
Arvin masih diledeki oleh Mamat yang kebetulan pada kelas
12 ini mereka sekelas lagi. Namun Arvin sekarang berbeda
dan hanya mendiamkan apa yang dikatakan oleh Mamat.
Arvin hanya fokus dalam permainan basketnya seperti saran
yang diberi oleh Kenneth. Belajar di sekolah, latihan basket ,
tidur dan bangun seperti itulah kegiatan Arvin setiap harinya.
Arvin sangat ingin memenangkan DBL pada tahun terakhir
masa SMA-nya dan tahun terakhirnya di Kanisius. Arvin
berlatih dengan sangat keras dengan tanpa ia sadari sudah
saatnya DBL dimulai. Arvin yang berlatih dengan keras
membawakan Kanisius ke perempat final dengan mencetak
total 236 poin . Arvin gugup, karena tahun lalu ia juga kalah
di perempat final . “Jangan takut, kita udah lebih kuat dengan
adanya kelas 10 yang jago-jago” Kenneth menyemangati
Arvin. Akhirnya Kanisius lolos ke final dengan Arvin
mencetak 24 poin .

Hari yang ditunggu-tunggu oleh semua Kanisian dan


juga tim basket Kanisius akhirnya dating yaitu final DBL .
Quarter pertama sangat sengit dengan poin 11-12 Kanisius.
Alaska yang merupakan Aliansi Supporter Kanisius tetap
memberi semangat termasuk Mamat yang selama ini meledek
Arvin. Quarter kedua Kanisius dibalap skornya dengan 30-28.
Quarter ketiga juga masih sengit dengan skor 41-39 Kanisius.
Arvin tetap semangat dan tidak ingin menyerah, karena itulah
sikap yang Arvin selalu tanamkan sejak ia kecil. Pada quarter
terakhir dan tersisa 20 detik lagi dengan skor 54-52 Kenneth
selaku point guard yang mengatur penyerangan tim
memegang bola dan berharap dengan serangan terakhir ini
akan membawakan pulang juara pertama ke Kanisius . 10
detik sebelum pertandingan selesai, Kenneth masih belum
dapat menemukan ruangan kosong untuk mengoper bola.
Pada saat waktu tersisa 5 detik akhirnya Arvin muncul dan
Kenneth dengan cepat mengoper bola kepada Arvin dan Arvin
dengan percaya diri menembakkan bola ke ring basket dari
garis three point. Bola basket tersebut menyentuh ring dan
berputar mengelilingi ring tersebut dan akhirnya jatuh ke
tanah melewati net yang disambungkan dengan ring tersebut.
Arvin baru saja memenangkan Kanisius juara pertama. Para
Alaska bernyanyi kencang dengan gembira. Arvin pun
menangis, namun tidak seperti tahun lalu dimana nangisnya
disebabkan oleh kekalahan . Mamat pun menyelamatkan
Arvin dan meminta maaf. “Gausah minta maaf, dengan lu
meledek gua membuat gua menjadi lebih ingin menjadi lebih
baik. Malah seharusnya gua berterima kasih” Kata Arvin
kepada Mamat. Namun DBL ini bukan akhir dari karier Arvin
sang pemain basket pendek ini, karena Arvin ingin
melanjutkan kariernya ke liga NBA.
Sepadan
Oleh : Michael Ananta XIA6/18
Erza, anak jenius yang miskin dari desa Pandeyan
yang bersekolah di kota. Ia selalu duduk di bangku paling
depan agar bisa memperhatikan gurunya dengan baik.
Meskipun jenius, Erza diperlakukan berbeda oleh teman-
temannya, karena penampilannya yang dekil dan bau. Erza
hanya diam saja saat diejek temannya karena menurutnya ia
tidak akan bisa melawan orang kaya, menurutnya orang kaya
memiliki kuasa atas dunia.

Namun di setiap cerita pasti ada malaikat


pelindungnya. Harsa, teman sebangku sekaligus teman
seperjuangan Erza, tak tahan melihat temannya diejek terus
menerus. Harsa adalah orang yang berani, dan bertindak tanpa
pikir panjang. Ia tak peduli terhadap status orang lain yang
lebih kaya.

“Za, ora iso koyo ngene terus, masa kamu mau diejek
sama temen kamu yang banyak gaya kaya gitu.” Kata Harsa.
“Mau aku bantu abisin mereka ga?” tanya Harsa yang dengan
berani menawarkan bantuan ke Erza.

“Jangan Sa, biarin aja.” saut Erza.

Harsa selalu diam saja di kelas, karena dia tahu


posisinya yang merupakan kelompok minoritas. Tetapi
melihat temannya diejek, jiwa seorang mantan geng motor
dalam diri Harsa muncul, dahulu Harsa merupakan salah satu
anggota geng motor di Bandung, tetapi karena kelakuannya
yang buruk ia terpaksa dikeluarkan dari sekolah dan pindah ke
Jogja.

Di tahun-tahun terakhirnya sebagai pelajar SMA,


Erza kesulitan memilih universitas. Erza selalu menginginkan
untuk berkuliah di Fakultas Teknik Elektro di Universitas
terkenal di Jogja. Tetapi karena kondisi keuangannya yang
kurang, ia kebingungan.

Tiba saatnya ia menjalankan tes masuk ke Fakultas


Teknik Elektro. Sesuai eskpektasi sebagai anak jenius, ia
dapat melalui tes tersebut dengan mudah. Tetapi ia tetap tidak
akan bisa berkuliah jika tidak ada uang. Ia bingung bagaimana
caranya agar ia bisa masuk ke universitas impiannya.

Kehabisan ide, Erza pun meminta bantuan teman


seperjuangannya alias Harsa.

“Sa, gimana nih aku lolos tes masuk Fakultas Teknik


Elektro.” Ucap Erza.

“Wah, bagus dong, trus kenapa?” Balas harsa.

“Nah, gini Sa, masalahya aku ora ono duit kanggo


bayar kuliah, gimana ya?” Balas Erza dengan muka sedihnya
berharap temannya langsung membantunya.

“Keluarga kamu gimana? Gak ada yang bisa


pinjemin?” Jawab Harsa memberikan solusi.

“Ora ono Sa, semua gak mampu.” Balas Erza.

“Kenapa gak beasiswa aja Za, kan kamu pinter sama


jenius?” Tanya Harsa.
“Gak bisa juga Sa, beasiswa terbatas banget, bahkan
anak orang kaya aja juga mau beasiswa.” Balas Erza.

“Kalo gini caranya, gak bisa diem aja Za, kita harus
cari cara biar kamu bisa kuliah.” Tegas Harsa dengan berani.

“Nah, tapi gimana caranya, Sa?” Tanya Erza yang


mulai kehilangan harapan.

“Ngerampok Za!” Jawab Harsa dengan yakin dan


tanpa pikir panjang.

“Kamu gila ya?” Jawab Erza yang sangat kaget


mendengar jawaban teman seperjuangannya itu.

“Gak ada cara lain lagi Za, kalau kamu mau kuliah di
universitas impian kamu, caranya cuman ngerampok.”

Tidak bisa berbuat apa-apa lagi, Erza mengikuti


rencana tu dengan berat hati. “Kalau begitu, apa yang bakal
kita rampok?” Tanya Erza dengan berat hati.

“Toko mas Za.” Jawab Harsa.

Satu minggu penuh mereka habiskan untuk


merencanakan aksi merampok mereka. Saat rencana mereka
sudah matang, langsung mereka beraksi. Dua buah pisau
dibawanya masing-masing. Awalnya aksi mereka berjalan
sesuai rencana, tetapi aksi mereka tertangkap basah oleh
seorang mantan TNI, langsung dilumpuhkanlah kedua bujang
itu.

Alhasil, aksi mereka tidak membuahkan hasil yang


memuaskan. Mereka berdua berakhir di penjara, Erza pun
menyesal telah melakukan hal tersebut, apa yang ia lakukan
tidak sepadan dengan hasilnya. Ia tidak dapat berkuliah di
universitas impiannya, dan menjalani hari-harinya bersama
napi yang lain.
Telepon Genggam di Kebun Jeruk
Oleh : Michael Evan XIA6/19
Malam yang sunyi dipenuhi dengan suara
kegembiraan di sekitar. Hari beristirahat telah datang, malam
Minggu. Di dalam bar yang terletak di negara jauh barat,
Amerika Serikat, saya dengan teman-teman saya datang untuk
mengambil beberapa minuman serta mengobrol. Waktu
berjalan, obrolan berjalan dari mulut ke mulut, minuman yang
mulai berkurang. Terlarutnya malam, saya dan teman-teman
saya akhirnya memutuskan untuk kembali ke rumah. Kami
pergi ke mobil, tersadar telepon genggam saya telah hilang
dari kantong saya. Segera saya cari di dalam tas, hingga saya
harus balik ke bar hanya untuk menemukan meja yang
kosong.

Datangnya pagi menjumpai, saya melakukan rutinitas


pagi saya: sarapan, mandi, dan seterusnya. Teringat akan
telepon genggam yang hilang, saya pergi ke toko untuk
membeli yang baru. Akun sama, telepon genggam beda.
Mulai sekarang, saya akan lebih memperhatikan barang saya.

Hari berlalu, hari yang kemudian menjadi minggu,


minggu kemudian menjadi bulan. Sudah 4 bulan saya
memiliki telepon genggan yang baru. Rasa kecewa yang dulu
sudah tidak ada dalam hati saya. Saya menjalankan pekerjaan
seperti biasa, tetapi pada suatu hari telepon genggam saya
yang lama telah terhubung dengan milik saya sekarang.
Dengan kebingungan saya melihat apa yang terjadi. Saya
mengetahui bahwa telepon genggam zaman sekarang bisa
terhubung dengan akun yang sama untuk menjaga hubungan
dengan kita, penggunanya.

Dengan teliti saya menginspeksi lebih mengenai


dengan keberadaan telepon genggam saya yang lama. Saya
kaget. Dalam galeri telepon genggam saya, terisi swafoto
dengan buah jeruk. Foto tersebut bukanlah wajah saya. Rasa
kebingungan saya mulai bertambah, berlawanan dengan rasa
ingin tahu akan siapa, dimana dan bagaimana foto-foto
tersebut bisa ada di dalam telepon genggam saya.

Inspeksi mulai mendalam. Saya melihat, mencari dan


akhirnya menemukan jalan buntu. Mengetahui hanya orang
tanpa nama serta sebuah kebun jeruk. Saya merasa cukup
untuk inspeksi pada hari ini. Saya memutuskan untuk istirahat
dan akan berusaha untuk mencari bantuan pada keesokan
harinya.

Meminta bantuan, saya mengubungi teman saya yang


mahir dalam perangkat telepon genggam serta
perdagangannya. Namanya Jonathan, ia sudah bekerja dalam
perdagangan telepon genggam selama 8 tahun. Jonathan
mengatakan bahwa kebanyakan telepon genggam dijual ke
Tiongkok. Selain itu Jonathan mengetahui bahwa telepon
genggam hasil curian dijual ke toko khusus. Jonathan
memberikan ciri-ciri toko yang menjualnya. Saya langsung
mencari dan mencocokkan ciri-ciri dengan toko sekitar bar
yang waktu itu saya kunjungi. Akhirnya, hasilnya tidak
memuaskan dan saya kembali ke rumah.

Di dalam rumah saat waktu luang, saya menulis


artikel mengenai pengalam tersebut. Artikel saya meledak.
Seluruh komen pada artikel saya berisi dengan orang lain
yang berusaha untuk membantu saya mencari informasi lebih.
Dari teman ke teman, artikel yang saya unggah meledak
secara internasional. Sampai kepada Tiongkok. Pada akhirnya
dengan bantuan orang, saya mendapatkan informasi. Saya
mengetahui nama orang yang memiliki telepon genggam saya
yang lama beserta alamat yang akurat. Namanya Tang. Ia
tinggal di rumah dengan kebun jeruk yang dimilikinya di
Guangzhou, Tiongkok.

Interaksi saya dengan Tang dimulai dengan kata


universal, “Hai”. Tang menjawab. Saya mebalas terus-terusan
hingga Tang kesulitan untuk membalas. Tang menggunakan
bahasa Kanton. Dengan bantuan teknologi saya akhirnya
mampu mengerti. Tang mengajak saya untuk bertemu
membahas masalah ini. Dengan sigap, saya langsung melihat
jadwal saya dan menggosongkan waktu untuk bertemu Tang.
Setelah waktu ditentukan saya langsung membeli tiket
pesawat dan pergi sesuai tanggal.

Di bandara Tiongkok dekat rumah Tang saya turun.


Ternyata di Guangzhou, saya memiliki suatu “fan base”.
Ternyata masalah dari artikel saya telah menjadi hal yang
populer di Tiongkok dikarenakan terbentuknya persahabatan
antara orang Amerika dengan orang Tiongkok. Tang dan saya
akhirnya bertemu dan akhirnya pergi makan, diikuti dengan
terangnya lampu kamera dari banyak orang. Pada awalnya
semua terlihat seru, kami bermain bersama. Berfoto-foto
hingga pada saatnya timbul rasa bosan dan kesal dari saya dan
Tang. Seluruh kegiatan yang kami lakukan terdokumentasi.

Dari semua mimpi, menjadi populer mungkin terlihat


baik. Tetapi dari semua kesenangan tersebut ada hal yang
tidak disadari. Karena rumah Tang terletak jauh dari kota, rasa
keraguan saya meningkat dan saya diberi tahu oleh teman
untuk berhati-hati karena banyak tindakan kriminal, terutama
pembunuhan terhadap orang populer. Teman saya benar. Saat
saya berjalan dengan Tang dan rombongan “fan base” yang
mengikuti, ada pisau yang jatuh. Melihat pisau yang jatuh,
saya ambil pisau itu dan melihat tulisan “Tang”. Tang melihat
saya mengambil pisau tersebut lalu secara cepat Tang
mengambil pisau itu dan mengatakan bahwa semua ini
bohongan. Rombongan yang telah mengikuti saya ternyata
adalah kelompok gang Tang sendiri yang ia bayar. Tanpa
mengeluarkan sepatah katapun, saya langsung lari ketakutan
akan penghianatan yang saya alami. Tanpa disadari barang-
barang saya masih di dalam tas. Saya hanya membawa
telepon genggam dengan dompet. Dari situ Tang berteriak dan
mengatakan bahwa ia menginginkan seluruh barang saya.
Saya disuruh untuk memberikannya uang untuk mendapatkan
tas saya kembali, yang berisi paspor serta tiket pulang.

Saya berlari dan berlari hingga bingung mau pergi


kemana. Saya merasa kecewa terhadap diri saya yang bodoh.
Ide mulai mengalir dan saya berpikir untuk pergi ke media
dan memberi tahu kejadian yang saya alami. Saya berjalan, ke
media stasiun tv terdekat dan yang termasuk populer di
kalangan Tiongkok. Saya bercerita mengenai Tang, serta
rombongan yang ia telah buat untuk mengancam saya. Media
tersbeut tidak percaya dan mengatakan bahwa hal itu hanyalah
fiktif. Saya mencari media lain tetapi selalu ditolak.

Pada akhirnya saya memutuskan untuk menyerah.


Lalu seorang saptam menjumpai saya dan bertanya jika saya
baik-baik saja. Saya menjelaskan ulang cerita saya seperti
kepada media yang menolak. Ia percaya, dan dengan kagum
saya meminta bantuannya. Ia menjelaskan bahwa media
Guangzhou jarang menerima kabar atau berita dari orang luar
mengenai berita lokal. Maka, ia menyarankan saya untuk
melaporkannya pada polisi. Saya langsung bertanya dimana
kantor polisi terdekat. Ia memberitahu saya dan saya pun
pergi.

Sampai di kantor polisi, saya menjelaskan masalah


Tang untuk kesekian kalinya dan mereka percaya. Saya di
interogasi mengenai lokasi mereka beserta muka para
pelakunya. Ternyata pelaku tersebut memiliki latar belakang
di penjara karena pencurian bersenjata. Polisi bergegas
menginformasikan yang lain untuk melakukan penyelidikan
lebih.

Malam tiba, Tang menunggu di rumahnya sampai


rombongan kaki polisi berhentakan menimbulkan terror di
sekitar rumah Tang. Tang dengan rombongannya ditangkap.
Sekitar 5 orang termasuk Tang ditahan oleh polisi. Saya pun
mendapatkan seluruh barang saya kembali.

Saya menghembuskan napas lega. Dengan lelah, saya


menuju hotel untuk bersiap-siap kembali ke Amerika. Untung
saja, tiket pulang yang saya telah beli adalah besok. Saya
bersiap-siap di hotel untuk hari esok yang akan datang. Pada
waktu itu juga saya diberikan suatu hadiah, telepon genggam
saya yang lama. Dengan diam saya hanya tertawa dan
mengucapkan terima kasih.

Di pesawat, saya berpikir betapa suatu telepon


genggam ini bisa menunjukkan jalan ke Guangzhou, bertemu
dengan seorang penjahat dalam proses itu. Pikiran itu terus
berlari dalam kepala saya akhirnya saya terlelap di pesawat.
Setelah kembali beraktivitas seperti biasa, teman saya
bertanya kabar. Saya menjawab dan teman saya mengajak
untuk membicarakan “liburan” yang saya alami. Kembali di
bar yang sama, saya duduk, minum, dan berbicara dengan
telepon genggam dan pengalaman yang berbeda.
The Downfall
Oleh : Michael Tumbelaka XIA6/20
Cerita ini bercerita mengenai jatuhnya seseorang dari
ketenaran yang dimiliki dikarenakan dirinya yang gegabah.
Cerita ini berawa mula dari, Timmy Rosaldi adalah seorang
anak sulung dari pasangan Pamela Lin dan Gregory Tung, dia
juga memiliki seorang adik bernama Kiky Rosaldi. Awal
mula ketenaran Timmy Rosaldi ialah dari aplikasi bernama
Vine, Vine merupakan aplikasi yang memperbolehkan orang-
orang untuk memposting klip-klip video yang mereka buat
untuk ditonton oleh orang-orang. Timmy Rosaldi sendiri
membuat banyak video dan videonya banyak yang menonton
sehingga follower Timmy Rosaldi di Vine pun meroket.
Timmy Rosaldi sendiri dapat disebut sebagai artis vine
dikarenakan ketenaran tersebut.

Tetapi akhirnya pun aplikasi vine ini mati dengan


sendirinya karena semua orang pada beralih ke aplikasi-
aplikasi lain. Maka dari itu Timmy Rosaldi pun juga beralih.
Dia beralih ke Instagram tetapi di instagram dia tidak
seterkenal dan tidak seviral saat dia masih di Vine. Timmy
Rosaldi juga sempat bermain di beberapa film. Lalu pada
suatu hari, adiknya Timmy Rosaldi, Kiky Rosaldi mulai
membuat akun youtube dimana youtubenya sangat sukses dan
juga sangat viral dan juga pada saat itu menjadi channel
tercepat pertumbuhan subscribernya. Pertumbuhannya sangat
cepat dikarenakan faktor dimana Kiky Rosaldi juga ikut
terkenal dengan kakaknya di Vine dan juga Kiky Rosaldi
sendiri merupakan artis Disney sehingga sangatlah terkenal.
Karena adiknya yang sukses di youtube, maka Timmy Rosaldi
pun juga membuat yotube channel dan ternyata Timmy
Rosaldi channelnya bisa lebih booming dari pada channel
Kiky Rosaldi adiknya sendiri itu. Timmy Rosaldi pun menjadi
sangat terkenal karena dia dari sebelumnya sudah terkenal dan
juga konten yang diberikan oleh Timmy Rosaldi dapat
dibilang seru, tetapi sepertinya ia tidak pernah puas dengan
pencapaiannya itu. Bahkan karena dia ingin mencari sensasi
lebih banyak lagi, ia pun sampai bertengkar dengan adiknya
sendiri via youtube.

Pertengkaran tersebut sangatlah viral dan terkenal


pada saat itu dikarenakan kedua channel raksasa yang
bertengkat, bukan channel kecil dimana subscriber dari
keduanya sudah melebihi 10 juta subscriber. Pertengkaran
tersebut lebih memihak kepada Timmy Rosaldi karena
kebanyakan artis dan juga channel youtube lainnya lebih
mendukung Timmy Rosaldi. Timmy Rosaldi juga saat
bertengkar dia mencari aliansi-aliansi lainnya sehingga yang
lainnya pun jadi membenci adiknya. Dan tentunya
pertengkaran tersebut walaupun akhirnya mereka berdua
berbaikan, tetapi dampaknya terkena pada Kiky Rosaldi
karena jadi banyak orang yang membenci Kiky Rosaldi.
Hanya karena ketenaran, Timmy Rosaldi bahkan sampai
mengumbar aib-aib dari Kiky Rosaldi yang mengakibatkan
Kiky Rosaldi, adiknya sendiri menjadi dibenci.

Pada saat Timmy Rosaldi berada di puncak, dia pun


tetap tidak pernah puas dan selalu mencari sensasi baru.
Sensasi barunya ialah ia ngide untuk membuat vlog di suatu
hutan di Jepang yang terkenal dengan banyaknya orang yang
melakukan aksi bunuh diri disana. Alasan ia jatuh ialah pada
cerita ini. Pada saat ditengah-tengah vlog tersebut, ia dengan
tidak sengaja melihat mayat orang yang bunuh diri disana,
lalu dengan sengaja ia memvideokan mayat tersebut.
Walaupun telah ia sensor tetapi tentunya tidak etis untuk
memvideokan orang yang sudah meninggal, lalu
meninggalnya dengan cara bunuh diri lagi. Maka dari itu
banyak sekali yang jadi membenci dia bahkan mencekam dia.
Youtuber-youtuber serta artis lain pun ikut mengomentari aksi
Timmy Rosaldi tersebut dikarenakan hal yang ia lakukan
sangatlah tidak etis. Semakin hari, kebencian yang didapat
oleh Timmy Rosaldi pun juga semakin banyak. Bahkan
karena banyaknya kebencian, subscriber Timmy Rosaldi
menurun, bahkan Timmy Rosaldi sendiri sampai hilang dari
yang namanya youtube selama beberapa lama. Itu bisa
dibilang sebagai titik terendah dari kariernya, ia menghilang
dari dunia maya selama beberapa bulan. Tetapi akhirnya pun
dia memberanikan diri untuk kembali ke dunia maya ini,
walaupun dia sudah tidak setenar dulu lagi dan juga tidak
seaktif dulu, dia tetap berusaha untuk bangkit, walaupun tidak
berhasil.
Telah Dipanggil
Oleh: Mikhael Prima Angelo Hanapie XIA6/21

Mono terbangun dengan cukup semangat pada hari


ini. Setelah bel alarm di jamnya berbunyi dia langsung duduk
tegak penuh dengan energi, dan keluar dari tempat tidurnya.
Dia melihat kalendernya di atas meja belajar untuk
memastikan hari, dan tanggalnya benar, hari ini adalah ulang
tahunnya. Oleh karena ini dia sangat senang, apalagi karena
nanti setelah pelajaran hari ini selesai, dia dapat untuk balik
ke rumah orangtuanya untuk merayakannya bersama
keluarganya.

Dia membuka pintu kamar tidurnya, dan jalan menuju


ruang makan. Mono tinggal di rumah kos bersama teman-
temannya, sebab kuliahnya cukup jauh di Serpong, sedangkan
rumahnya di Kelapa Gading bersama orangtuanya.
Sesampainya di ruang makan dia bertemu dengan Silvio,
salah satu teman lamanya yang tinggal se-kos bersamanya.
Silvio sebenarnya 3 tahun lebih tua dari Mono, dan bahkan
berasal dari negara lain sekaligus. Dia datang ke Indonesia
dengan tujuan mengikuti sebuah kursus Teknologi Informasi
yang dia minati. Namun pada saat ini dia sama sekali bukan
mengotak-atik soal computer, melainkan justru mengenai
memasak sarapan pagi untuk mereka semua.

Ketika dia menyadari Mono telah masuk ruangan, dia


langsung menyambutnya, “Mono! Kamu sudah bangun
ternyata!”, dia bilang dengan ria. Mono senyum kepadanya,
dan berjalan mendekatinya untuk melihat apa yang dia sedang
memasak, “Kamu ingat kan hari ini hari apa?”, dia bertanya
dengan nada bermain-main. Silvio berhenti mengaduk untuk
beberapa detik, lalu jawabannya muncul di pikirannya, “Ooh!
Hari ini ulang tahunmu ya kan? Saya hampir lupa, selamat
ulang tahun temanku!”, dia menjawab kepadanya. Silvio
menepak punggungnya Mono secara ramah, dan dia ketawa
kecil kepadanya, “Makasih sahabat, eh tapi kamu lagi masak
apa?”, Mono bertanya dengan rasa ingin-tahu. Silvio
mengangkat pancinya sedikit untuk menunjukkannya, “Mie
kuah rebus! Dengan sentuhan Italia sedikit, tak instan
tentunya.”, dia menjawab dengan cukup bangga.

Sebelum Mono bisa menyicip masakannya Silvio,


ataupun memberi respons ke jawabannya, ada pintu yang
terbuka dari belakang mereka secara tiba-tiba, yang
mengagetkan Mono. Dari situ salah satu teman kosnya Mono
yang lain keluar, “Apa saya mendengar ada mie kuah rebus?”,
dia bertanya dengan semangat. Itu adalah Erik, temannya
yang relatif baru yang berpindah ke sini dari negeri luar juga.
Meski umurnya sama dengan Mono, dia lebih tinggi dan
kekar, meskipun sikapnya yang ramah membuatnya tak
menyeramkan sama sekali. Dia jalan keluar bersama dengan
Amelia, teman kosnya yang terakhir, dan dapat dibilang
sebagai pacarnya Erik. “Hah... baru jam segini kalian sudah
bangun?”, Amelia bilang dengan heran. “Hey, kamu tahu saya
makannya selalu menambah melulu, butuh waktu yang cukup
dong!”, Erik bilang sebagai bercanda. Mereka ketawa sedikit,
dan dalam waktu singkat makanan sudah siap, dan mereka
makan bersama.
Setelah berjam-jam di kuliah, Mono akhirnya selesai
juga dengan studi-studinya untuk hari ini. Dia meninggalkan
lobby utama kuliahnya, siap untuk balik ke rumahnya untuk
merayakan ulang tahunnya. Seiring dia berjalan ke halte untuk
mendapatkan taksi, teman-temannya berjalan mengikutinya.
“Hey Mono, kamu akan pulang balik dulu ya?”, Erik
bertanya. Mono kaget sedikit setelah sadar mereka
disampingnya, dia menjawab “Iya, saya sudah tak sabra
bertemu dengan keluarga nih.”, dia menjawab dengan
bersenyum. “Hadiahnya terlambat dikit yaa, saya masih
kurang tahu mau beli kami apa”, Silvio berkata dengan jujur.
Mono baru mau menjawab, ketika dia mendapat pesan
melalui WA di telpon selulernya.

Dia memeriksanya sebentar, berpikir bahwa itu


sebuah pesan selamat ulang tahun sekali lagi dari anggota
keluarganya. Namun setelah membaca sekilas, lalu sekali lagi,
detak jantungnya Mono menjadi tinggi. Mono tampak tak
tenang, dan teman-temannya menjadi khawatir. “Ada apa,
Mono? Kamu terlihat sangat kaget…”, Amelia bertanya.
“Saya… saya harus jalan sekarang, maafkan saya!”, setelah
itu Mono lari dengan cepat menuju halte, berita yang baru saja
diterimanya sangat mengejutkannya, dan ini bukan kejutan
ulang tahun yang meriah dan senang... sayangnya. Dia
terburu-buru memanggil taksi pertama yang dilihatnya, dan
dia langsung mengatakan ke supirnya, “Pak, ke Rumah Sakit
Mitra di Kelapa Gading segera!”.

Meski jalannya lancar dan sukar macet, perjalanan ke


rumah sakit terasa amat lama baginya… banyak pikiran
berlaju di pikirannya. Berita yang dia dapatkan adalah bahwa
kakeknya tiba-tiba kejang dan jatuh di rumah sepupunya, dan
sekarang sedang dirawat di rumah sakit. Kakeknya memang
sudah sakit untuk waktu yang cukup lama… namun akhir-
akhir ini dia mudah membaik, kok bisa tiba-tiba terjadi
sedemikian padanya? Dia berdoa kepada Tuhan Yang Maha
Esa agar semua baik-baik saja, dan bahwa kakeknya hanya
mengalami kecelakaan kecil… namun ada sesuatu di
dalamnya yang mengatakan padanya bahwa mungkin saja…
sudah tak ada lagi yang dapat dilakukan.

Ketika dia sampai, dia langsung bertemu kedua


orangtuanya dan beberapa paman dan bibinya yang tinggal
dekat, dan dari cara mereka bicara, raut muka mereka, dan air
mata yang menetes di muka mereka, dia merasa sudah tahu
jawabannya. Dia berpelukan dengan ayah dan ibunya, dan
pada dirinya air mata juga mulai menetes. Ayahnya mengelus
punggungnya Mono dengan lembut, “Maaf Mon… dia
memang telah dipanggil olehNya…”. Dia tak tahu apa yang
harus dirasakannya, kakeknya telah meninggal dunia, dan dia
bahkan tak dapat bertemunya untuk satu saat yang terakhir…
bahkan di dalam pelukan orangtuanya, dia tak dapat menahan
rasa sedihnya.

Mono meninggalkan rumah sakit tersebut sendirian,


keluarganya masih di dalam lobby. Dia memerlukan waktu
sendirian terlebih dahulu setelah apa yang telah terjadi… dia
tak bisa percaya bahwa ini terjadi pada saat ini juga, pada hari
ulang tahunnya apa lagi. Rasa senangnya dari sepanjang hari
ini langsung menguap dan menghilang, “Buat apa lagi saya
merayakan ulang tahunku kalau seperti ini?”, dia berpikir ke
diri sendirinya, dengan murung, sambil duduk di tangga
sekitar lapangan parkir rumah sakit, diantara tanaman-
tanaman. Dia merasa ingin tidur saja di situ, namun di
merasakan sebuah tangan di punggungnya dia. Dia melihat
kebelakang, dan ada teman-temannya! Ternyata mereka
datang menyusul dia.

Erik yang pertama memeluknya, lalu Silvio, dan lalu


Amelia. “Turut berduka cita atas kakekmu, Mono.”, Erik
berkata. “Dan juga… ini hadiah untuk ulang tahunmu.”,
Silvio mengatakan sambil memberinya sebuah set gambar
sketsa yang dia dulu inginkan… ternyata mereka patungan
membelinya untuk dia. “Terima kasih teman-teman…
sungguh, saya sangat bersyukur saya memiliki kalian di sini
sekarang.”, Mono mengatakan sambil menangis sedikit.
Amelia mengusap air matanya, “Jangan sedih teman, saya
yakin kakekmu sudah lebih damai, tak lagi menderita sakit
lagi.”, dia berkata. Mono memeluk mereka bertiga sekali lagi,
sebelum berhenti tangisannya. “Iya… iya, kalian benar… dia
sudah tak menderita lagi, dia sudah dapat beristirahat dengan
tenang sekarang.”, Mono mengatakan. Erik menaruh
tangannya di punggung Mono sekali lagi, dan memberinya
sebuah senyuman yang menenangkan. “Ayolah Mono, saya
yakin kakekmu tak akan mau kamu untuk bersedih seperti ini
di ulang tahunmu untuk alasan apapun.”, Erik mengatakan
dengan lembut. Silvio juga berpendapat, “Iya Mono, kita akan
membantumu melalui ini, tak mungkin kita akan
meninggalkanmu sedih seperti ini pada hari ulang tahunmu
sendiri!”, dia bilang dengan semangat dan ria. Amelia
mengangguk kepalanya, “Mhm, kita akan selalu disisimu
ketika anda berkesusahan, itulah yang teman-teman
melakukan untuk sesama.”, dia mengatakan.

Mono tersenyum atas perkataan teman-temannya, dan


memeluk mereka semua sekali lagi. “T-terima kasih…
bagaimana kalau kita masuk ke dalam? Sudah mulai dingin,
dan mungkin kalian bisa berkenalan lebih lanjut dengan
keluargaku, mungkin sambil makan?”, Mono menawarkan ke
mereka. “Itu terdengar seperti ide bagus!”, Silvio mengatakan
dengan ria. Dengan itu, mereka jalan bersama masuk ke lobby
rumah sakit, sambil berbincang ramah bersama.
PLASTIK
Oleh: Muhammad Rizky XIA6/22

“Jelek banget si lu jadi cewek!”, kantin kampus tiba-


tiba jadi hening gara-gara teriakannya Anna, si cecan sekolah
yang lagi ngehujat Jisoo, cewek (yang katanya) terjelek di
kampus. Emang hal kek gini hal yang biasa terjadi. Anna dan
gengnya emang sering banget ngehujat Jisoo. Ga cuman di
kantin, di kelas, selasar, pagi, sore, dimanapun dan kapanpun
kalo bisa.

Jisoo emang udah capek dengerin ocehan Anna dkk,


tapi mau apa lagi. Kejadian di masa lalunya Jisoo udah buat
dia stuck dengan mukanya itu. Kejadian yang sampai saat ini,
cuman dia dan keluarganya yang tau (Penulisnya aja gak tau
sumpah, Jisoonya ga mau cerita). Jadi dia sampe sekarang
cuman bisa nahan kesedihannya. Tapi, dia ga mau nyerah gitu
aja.

Selang beberapa waktu, ga kerasa udah Jisoo udah 4


semester berkuliah. Tapi dia masih tetep aja dapet hujatan dari
banyak orang. Jisoo denger dari orang-orang kalo ada tempat
buat operasi plastik yang murah banget. Katanya gosip anak-
anak kampus si, orang-orang langsung jadi cakep abis oplas
disitu. Jisoo jadi tertarik. Dia mulai ngumpulin duit dan
akhirnya operasinya jalan.

Mulai dari mata, hidung, pipi, sampe dagu, semuanya


dirombak. Emang keknya Jisoo bertekad banget biar ga diejek
Anna lagi. Tapi kalo dipikir-pikir siapa yang tahan diejek
terus-terusan (Penulis kalo diejek terus-terusan kek Jisoo udah
ga kuliah kali)(Untuk yang nanya, “Kok orang tuanya Jisoo
ngebolehin dia operasi plastik si?” Jangan nanya penulis,
sekali lagi Jisoo ga mau cerita. Aneh kan, aneh).

Setelah operasi yang syukur Alhamdulillah berjalan


lancar, Jisoo jadi semangat lagi buat kuliah. Dia ngerasa
dengan muka barunya ini, dia dapet confident boost yang gede
banget. Setiap pagi, dia ngeliat cermin sambil bilang, “Jir, gw
cakep banget”, abis itu dia pasti bilang, “Jir, gw lebay
banget.” Tapi yang terpenting, dia sekarang ga bakal dikatain
ama Anna dan gengnya lagi, ya kan?

Ternyata hidup bener-bener ga semudah


membalikkan telapak tangan ya. Sekarang Anna ada cara lain
buat ngatain Jisoo. Gimana ya? Dengan ngatain kalo Jisoo
OPLAS. Ternyata oplas juga ada beban moralnya ya. Jisoo ga
kepikiran sampe sana. Dan sekarang dia mikir lagi,
keputusannya buat operasi bener atau engga. Ternyata masi
ada yang support dia meskipun dia ga tau.

Jisoo sekarang depresi lagi. Apa dengan dia oplas,


masalah dia belom selesai? Apa orang belom juga puas sama
dia yang sekarang? Jisoo nanya terus ke dirinya ini, di atas
gedung kampus. Ralat, di ujung atap gedung kampus. Bahaya
emang, tapi Jisoo ga peduli, pikiran dia masih terfokus
masalah dia yang sekarang. Dia jadi kepikiran buat ngeakhirin
semuanya aja, biar dia ga tersiksa lagi.

Jisoo udah dalam tahap siap lompat. Dia udah ga


peduli sama apapun lagi. Dia mikir buat apa juga. Tuhan
punya rencana lain ternyata. Tangan seseorang tiba-tiba
megang Jisoo, orang itu sambil bilang, “Jangan mati dulu, ada
banyak hal yang gw suka dari lu.”

“Dari suaranya, orang ini cowok,” kata Jisoo di


pikirannya. Pas dia nengok ke belakang, dia ngeliat muka
yang familiar, “Kevin?!”

“Lu ngapain di sini?” kata Jisoo.

“Nyelematin orang yang gw suka. Kenapa, salah?”


bales Kevin. Denger itu, Jisoo langsung diem, suasana tiba-
tiba jadi aneh. Mereka akhirnya pindah ke tengah-tengah
gedung buat ngobrol (Biar ga jatoh). Kevin tuh sebenernya
temen SMA-nya Jisoo, cuman ga terlalu deket. Kevin udah
lama suka sama Jisoo, tapi ga berani bilang (Sekali lagi
penulis ga tau kenapa Kevin ga berani).

Di akhir omongan panjang lebar dan tinggi mereka,


Kevin tiba-tiba ngomong, “ Lu mau ga jadi pacar gw?” Jisoo
cuman bisa diem lagi sama kayak tadi, sampe Kevin nanya
lagi, “ Mau ato engga, kalo diem aja gw dorong ni,” disusul
oleh cubitan dari Jisoo. Jisoo narik nafas terus bilang, “Iya
Kev, gw mau.”
Lagu Terakhir
Oleh : Nicolas Matthew Tenadi XIA6/23
Di dalam ruangan terang ini, saya hanya bisa melihat
sejauh mata memandang. Suara tepuk tangan dan sorak sorai
memenuhi ruangan itu. Saya tidak merasakan malu ataupun
ketakutan, melainkan saya merasa bangga dan terharu. Setelah
saya keluar dari ruangan ini 1 tahun kemudian, saya perpikir
bahwa saya tdiak akan masuk ke sini lagi.

Tiba-tiba, perasaan pusing yang telah saya alami sejak


dulu kambuh lagi. Tetapi kali ini, sakitnya sudah tak
tertahankan. Setelah beberapa waktu, akhirnya saya mulai tak
sadarkan diri.

12 bulan yang lalu.

Suasana di panggung internasional ini sangat meriah


sekali. Temanku yang berada di panggung baru saja tampil.
Hasilnya luar biasa. Dia mendapatkan standing ovation dari
hampir seluruh penonton. Ya, temanku adalalah penyanyi
yang sangat hebat. Nadia adalah namanya. Kita bersekolah di
sekolah yang sama, yaitu SMAN XX, sekolah unggulan di
Jakarta. Kita brada di sini sama-sama diminta pemerintah
untuk mewakili Indonesia untuk ajang International Music
Festival 2017. Saya akan tampil sebagai pemain piano dua
hari kemudian.

Pertunjukan temanku tadi sangat fenomenal.


Temanku bisa bernyanyi sampai 6 oktaf. Walaupun demikian,
yang membuat suaranya sangat spektakuler adalah
kemampuannya untuk memberikan suara yang sampai ke hati.
Dia sengaja mengubah sedikit sebuah lagu untuk suasana
yang sangat indah. Temponya, nadanya, bahkan gerakan dan
ekspresinya sangat cocok untuk lagu itu.

Sesudah pertunjukkannya selesai, kita menikmati


jalan-jalan kita di kota Vienna, kota yang sangat terkenal
dengan musik dan budayanya. Indah sekali kota ini, apalagi
hotelnya. Kita merasakan hotel bintang lima dengan ruangan
yang sangat nyaman dan kolam renang yang sangat luas.
Semua ini dibayar oleh pemerintah.

Besoknya, kita menikmati makanan super mewah


yang disajikan hotel. Setelah itu, saya berlatih dengan piano
yang dimiliki hotel sampai sore hari, menjelang malam.

Saya sedang akan melanjutkan rekreasi saya ketika


saya mendengar pntu kamar saya diketuk. Teman saya
cekatan membukanya. Tak lama kemudian, teman saya
menyebutkan bahwa seseorang dari KBRI mencari saya. Saya
terkejut. Untuk apa seorang diplomat mencari saya? Saya
belum tampil. Yang memberikan penampilan spektakuler
kemarin kan temanku.

Si diplomat pun mengajak saya untuk membahas


sesuatu di kamar saya. Dia pun mengusir semua pembantunya
dan bahkan temanku sendiri. Dia berkata bahwa kita perlu
privasi. Firasatku menjadi buruk.

Setelah duduk, si diplomat berkata demikian,”


Adikku, saya tidak tahu bagaimana caranya menyampaikan
berita ini, tetapi mungkin tidak ada cara yang halus untuk
memberitakannya. Pada pukul 21.30 WIB, nenekmu sedang
mamberishkan rumah bersama dengan pembantunya. Tiba-
tiba, nenekmu jatuh saat dia sedang merapikan ruang tamu.
Dia dibawa ke rumah sakit 30 menit kemudian, tetapi Tuhan
berkata lain. Dia meninggal pukul 23.50 WIB karena gagal
jantung. Saya mengucapkan belasungkawa atas meninggalnya
nenekmu ini, terutama saat kita mengetahui bahwa anda ini
adalah yatim piatu. Mungkin sekarang, anda memerlukan
istirahat dan waktu sendirian, dan oleh karena itu, saya pamit
mengundurkan diri”. Dia langsung bergegas meninggalkan
hotel bersama dengan pembantunya.

Tidak mungkin. Sangat tidak mungkin. Nenekku


adalah orang yang sangat bertenaga. Dia adalah orang yang
menemaniku dan mengajariku bermain piano dari kecil. Dia
selalu berlari pagi dan berenang di rumah setiap hari. Setaiap
hari terlihat sangat sehat, sangat segar. Mengapa bisa
demikian?

Tetapi, saya lambat laun menerima kenyataan. Tidak


mungkin sebuah lembaga negara memberitakan berita
bohong, apalagi topik serius seperti ini. Perasaan kebingungan
mulai terganti dengan kesedihan. Saya menangis tersedu-
sedu. Saya tidak bisa keluar kamar, dan saya terus menangis
sampai mata saya kering, dan kemudian saya tertidur.

“Kok, kemarin diplomat itu menyuruh untuk


membiarkanmu sendirian? Memangnya ada apa, sampai-
sampai kamu tidak keluar dari kamar?”, tanya si Nadia.

“Tidak ada apa-apa”, jawabku, mempersiapkan


penampilanku.

Penampilanku tinggal dua menit lagi. Saya harus


bersiap-siap.
Tiba-tiba, MC berkata, “Next, we have Ms. Rosa
Amelia, 15 years old, from Indonesia!”

Waduh, saya sudah harus tampil. Saya berjalan di


panggung, menuju piano yang sudah disiapkan untukku.
Begitu saya duduk, saya seharusnya merasakan gairah yang
luar biasa. Sekarang, tidak demikian. Saya hanya merasakan
kekosongan. Saya memandang tuts yang sudah berbaris rapi
menunggu untuk dimainkan dengan lama. Namun, sekarang,
saya hanya dibaluti pikiran tentang nenek dan kedua orangtua
saya. Bagaimana mereka direnggut dariku sangat cepat.
Kedua orangtuaku karena kecelakaan pesawat, nenekku
karena serangan jantung.

Saya mulai meneteskan air mata. Tidak dapat


menahannya lagi, saya menyambar keluar dari panggung
dengan menutup muka, menyisakan kebingungan dari
penonton.

Singkat cerita, kita pulang ke Indonesia. Fakta bahwa


kita dikirim ke acara tersebut nampaknya tidak dihiraukan
media. Mereka hanya fokus pada persiapan lebaran. Tetapi,
apa yang terjadi di Vienna mengguncang dunia musik
Indonesia. KBRI mendapatkan kritik-kritik yang luar biasa
dari kalangan pemusik, baik luar maupun dalam negeri.
Harusnya saya tidak usah diberi tahu sebelum pertunjukkan
selesai. Walaupun demikian, nasi sudah menjadi bubur.
Berkat pengalamanku di Vienna, saya tidak bisa lagi bermain
piano karena trauma dan kesedihan yang melanda saya.

Januari 2018
Liburan semester sudah berakhir. Tidak ada latihan
musik selama semester kemarin. Bahkan, saya tidak pernah
lagi menemani temanku si Nadia latihan bernyanyi. Menurut
rumor yang beredar, dia sudah menemukan pasangan
bernyanyi cowok di sekolah, dan dia mau berduet dengannya
untuk konser regional satu bulan lagi.

Nilai saya di semester lalu meroket naik karena saya


memiliki banyak waktu untuk belajar. Sekarang, saya diasuh
oleh kakek saya.

Pada saat istriahat dimulai, tiba tiba si Nadia


menghampiriku dan mengajakku untuk pergi ke mall.

“Nanti gue akan traktir lo makan lah, sambil main ke


rumah gue”, kata si Nadia.

Saya sebenarnya tidak tergiur dengan tawaran itu,


karena toh saya juga memiliki uang saku yang cukup. Tetapi,
saya sadar bahwa saya tidak pernah pergi lagi bareng sama
Nadia. Akhirnya, saya menyetujuinya.

Sebelum masuk, temanku mendaftarkan meja untuk 3


orang. Tidak ada waiting list, jadi kami langsung masuk.

“Loh, kok pesennya buat 3 orang sih?”, tanyaku.

“Nanti ada temanku yang mau dating.”, jawabnya.

Yaudah, masuk sajalah. Setelah kita memakan


setengah porsi kita, tiba-tiba temannya datang. Seorang pria,
namun bukan pacarnya si Nadia. Nadia sebenarnya tidak mau
pacaran sebelum kuliah.
“Perkenalkan, dia ini adalah Max, umur 15 tahun. Dia
ini adalah anak pindahan kita.”, kata si Nadia

Bukan main! Di itu sangat tampan. Menilai dari


percakapan kita selama di restoran, dia itu sangat baik dan
pandai berbicara.

Setelah selesai makan, kita diajak untuk main ke


rumahnya si Nadia. Rumahnya sebenarnya sangat besar.
Karena besarnya, dia memerlukan 7 pembantu untuk
keperluan rumah tangga. Saat sampai di rumahnya, saya
langsung duduk di sofa, menyalakan TV. Namun, Nadia
menarikku ke atas, menuju ke ruangannya.

Loh? Ini bukan ruangan si Nadia. Kita dihadapkan


dengan ruangan gelap. Saat Nadia menyalakan lampunya, kita
melihat ruangan seperti ruangan rekaman 15X7 meter,
lengkap dengan alat-alat musik.

“Lu ngapain ajak gue ke sini?”, tanyaku.

“Gue pengen latihan buat konsernya. Lu mau ikut


ngga, sebagai pemain piano buat instrumennya?”, jawab
temanku.

“Ngga ah, gw sudah quit. Gw sudah trauma megang


piano. Lagian gw sekarang pusing-pusing terus, ga bisa
konsen”, jawabku.

“Ayolah, katanya tujuan hidupmu hanya bermain


musik. Kalau begitu, segala usaha nenekmu sia-sia dong?”,
balasnya.
“Gue trauma, Nadia. Bisa aja pas nanti konser gw
berhenti di tengah.”, kataku.

Entah mengapa, si Max tiba-tiba datang sambil


berkata, “Sudahlah, kita latihan dulu. Kalau si Rosa ngga
mau, ya jangan paksakan.”

Akhirnya, saya memutuskan untuk mendengar


mereka latihan.

5 Bulan Kemudian

Mendengarkan duet mereka memebuatku sangat


terkesan, fokus dengan musiknya. Mereka sudah sangat
kompak, sangat baik. Semua konser sudah kita lewati,
semuanya berujung sangat baik.

Ya, saya memutuskan untuk membantu mereka


setelah mendengar mereka bernyanyi. Cara mereka bernyanyi
sangat emosional. Meskipun demikian, kami tetap saja
latihan, tidak pernah bermalas-malasan.

Tetapi, seiring jalannya latihan-latihan intensif, saya


mulai merasakan sakit kepala yang luar biasa. Bahkan, saya
mudah lemas, dan sering ketiduran di kelas sekolah.

Sampai pada saat latihan, kami memainkan lagu A


Million Dreams untuk acara internasional 2 minggu lagi,
tiba-tiba kepalaku seperti melayang. Saya terjatuh dari tempat
duduk, dan semuanya menjadi gelap.

Saya terbangun di kamar rumah sakit. Saya langsung


diberikan operasi untuk menyembuhkan masalah di jantung
saya. Dokter memvonis bahwa saya tidak boleh dipaksakan
latihan dulu selama satu tahun, karena jantungku yang baru
dioperasi tidak bisa menahannya.

Saya diperbolehkan keluar rumah sakit 6 hari


kemudian. Nadia dan Max sudah menunggu di luar.

Si Nadia langsing berkata,“Kita harus mencari


pemain pengganti, mungkin pemerintah akan bersedia….”

“Tidak, aku akan tampil di pertunjukan itu, meskipun


saya harus mempertaruhkan nyawa saya. Saya tidak akan
mengulangi kesalahan yang sana.”, saya tegas memotong.

Saya dan teman-temanku lanjut latihan, meskipun ada


waktu dimana mereka berdua latihan sendiri dan saya
istirahat.

Satu minggu kemudian

Saya tidak bisa tidur semalaman. Malam sebelumnya,


saya sudah terus-menerus latihan, tanpa ada mereka berdua.
Saya sudah Lelah, mungkin jantungku juga tak mampu
menahannya. Saya hanya tidur 2 jam.

Saya merasakan kegugupan yang luar biasa. Gedung


opera Vienna. Selama hidupku, saya tidak pernah gagal dalam
bermain piano, sebelum kejadian satu tahun kemudian, di
tempat yang sama. Tanganku terlihat mengigil ketakutan.

Tiba-tiba, Nadia memegang tanganku sambil berkata,


“Tidak apa-apa, kita akan mengguncang panggung itu
bersama-sama. Terima kasih, Rosa, karena telah mendukung
saya untuk sampai ke sini dua kali, dan juga untuk kerja
kerasmu dan tekadmu untuk melakukan hal ini.”
Nama kita kemudian dipanggil. Inilah saatnya.
Dimana saya akan membuktikan diriku sendiri.

Saat saya duduk di kursi, saya melihat banyak


penonton melirik saya. Saya tidak peduli. Saya hanya akan
fokus kepada pertunjukannya.

“A Million Dreams, by Michelle Williams”, MC


berkata.

Saya mulai mengerakkan jari-jariku di piano. Si Max


mulai bernyanyi, diikuti dengan Nadia beberapa saat
kemudian.

Hasilnya sungguh baik. Suara pianoku dengan


nyanyian mereka sangat sinkron. Kita seperti menggambar
suasana di seluruh panggung. Kita terlihat bersemangat sekali
saat bertampil, apalagi si Nadia dan Max. Mereka semangat
sekali membawakan lagunya. Nada demi nada, lirik demi lirik
kita mainkan secara sempurna.

Akhirnya, lagu itu selesai. Tetapi dampak yang kita


berikan kepada penonton belum selesai. Mereka tercengang
dengan apa yang barusan mereka lihat. Mereka terbawa
suasana yang barusan kita buat

Kemudian, semua penonton berdiri dan memberikan


kita tepuk tangan. Sebuah standing ovation yang jarang
terlihat di acara ini.

Di dalam ruangan terang ini, saya hanya bisa melihat


sejauh mata memandang. Suara tepuk tangan dan sorak sorai
memenuhi ruangan itu. Saya tidak merasakan malu ataupun
ketakutan, melainkan saya merasa bangga dan terharu. Setelah
saya keluar dari ruangan ini 1 tahun kemudian, saya perpikir
bahwa saya tidak akan masuk ke sini lagi.

“Lihatlah, kawan. Kita menaklukkan dunia.”, sebut


Max

Tiba-tiba, perasaan pusing yang telah saya alami sejak


dulu kambuh lagi. Tetapi kali ini, saya langsung merasa
seperti melayang. Setelah beberapa waktu, akhirnya saya
mulai tak sadarkan diri. Saya terjatuh dari tempat duduk.

Saya terbangun, hanya melihat putih-putih. Apakah


ini surga? Apakah saya sudah meninggal?

“Hei, dia sudah terbangun! Nadia, dia sudah bangun!”


Saya kenal suara itu. Apakah itu Max? Berarti, saya masih
hidup.

“Kamu selamat, Rosa. Saya mengira bahwa kami


semua akan kehilanganmu.”, Nadia berkata demikian sambil
menangis.

Ternyata, setelah saya pingsan di bangunan opera,


saya langsung dilarikan ke rumah sakit. Di rumah sakit,
dokter sudah menyatakan bahwa saya sudah flatline, alias
tidak ada denyut nadi. Segala usaha resitusi jantung mulai
dilakukan.

Pertama, mulai dari pemberian pernapasan. Tidak


ampuh. Dokter langsung mengambil alat penghentak jantung
dan memasukkan tegangan sedang ke tubuhku. Tidak ampuh.
Nadia dan Max mulai putus harapan, mulai menangis.
Tetapi, tim medis belum putus harapan. Tegangan
listrik tinggi mulai dimasukkan. Pompa oksigen dimasukkan
ke mulutku. Suntikan adrenalin dimasukkan ke tubuhku.
Hingga akhirnya, jantungku mulai berdetak lagi.

Dokter sudah menyarankan agar saya tinggal di


rumah sakit di Vienna, karena jantungku masih sangat lemah.
Tidak apa-apa, toh yang membayar tiket juga pemerintah
Indonesia.

Lalu, tiba-tiba saya mendapat surat dari Pak Presiden.


Surat itu dikirim langsung oleh kedutaan.

Dia berkata, “Halo Ny. Rosa. Senang bisa berbicara


denganmu. Saya mendengarkan konsermu bersama temanmu
di televisi. Sangat fenomenal sekali kalian. Tetapi yang sangat
berkesan menurut saya adalah kamu. Saya sudah membaca
latar belakang anda. Kehilangan kedua orangtua dan
nenekmu, gagal di panggung internasional, bahkan menderita
penyakit jantung. Tetapi, anda memutuskan untukterus maju,
terus bertahan dengan tekad dan semangat yang luar biasa.”

“Teruslah berjuang, anakku. Teruslah menggapai


mimpi-mimpimu dengan semangat yang tinggi dan tekad
yang kuat.”
Hari Kesialan Anton
Oleh: Peter Brian XIA6/24

Setiap harinya, Anton selalu mengatakan dirinya


bahwa keberuntungan selalu ada. Dia merasa tidak ada sebuah
nasib sial yang akan menimpa dirinya. “Setiap hari rasanya
enak-enak aja ya, selalu beruntung aja aku,” katanya. Tobi
menjawab, “Ya ampun, Ton. Jangan berpikiran gitu, deh.
Hidup tuh pasti gak sempurna. Tiap orang pasti pernah
mengalami yang namanya gagal.” Anton hanya cuek
mendengar hal itu dan langsung pulang ke rumahnya. Di
rumah, Ibunya menanyakan apakah besok ada ulangan
ataupun tugas. “Nggak ada kok. Santai aja, Bu,” jawabnya.
“Awas, sampe besok dihukum!”

Anton masuk ke kamarnya dan bergegas untuk mandi.


Yang ada di pikirannya bahwa besok tidak ada tugas dan
ulangan. Dia pun bermain game sepuas-puasnya hingga dia
mulai mengantuk. Dia tertidur pulas di ranjangnya dan
mengorok keras-keras. Dia pun bermimpi sedang bersantai di
pantai seolah-olah tidak ada rasa kekhawatiran dalam dirinya.

Keesokan harinya, ketika Anton masih di ranjang,


tiba-tiba ada suara ketukan pintu kamarnya. Ada pula suara
teriakan, “Anton! Bangun! Hei!” Ibunya berteriak-teriak
hingga akhirnya Anton bangun. “Astaga! Jam setengah 7?!
Gawat!” seru Anton ketika melihat jamnya. Dengan keadaan
yang terburu-buru, dia langsung memakai seragamnya dan
makan roti saat perjalanan naik mobil ke sekolah. Ibunya
yang melihat hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala.

Anton berhasil sampai di sekolah, tetapi sudah


terlambat. Jam sudah menunjukkan pukul 07.20 dan dengan
lemas, dia berjalan ke kelasnya. Begitu masuk, semprotan
amarah dari gurunya langsung mengenai Anton. “Maaf, Pak.
Saya janji tidak bakal mengulanginya lagi,” jawabnya. Dia
langsung duduk di sebelah Tobi. Tobi hanya menepukkan
dahi ketika melihat temannya tersebut. Belum selesai di situ,
guru tiba-tiba meminta semua siswa untuk mengumpulkan
tugas laporan observasi. Anton kaget dan langsung bertanya
ke Tobi, “Tob, emang ada tugas?” “Lah kan emang iya, Ton.
Kamu kan sudah tulis di notes kemarin kan?” Setelah
semuanya terkumpul, guru kembali memanggil Anton. Dia
menanyakan tentang tugasnya yang Anton tidak kumpulkan.
“Maaf, saya lupa bawa, Pak,” jawabnya. Kembali dimarahi
oleh guru, Anton dihukum berdiri di luar kelas dan tidak
boleh mengikuti pelajaran selama satu hari itu. “Aduh!
Kenapa bisa begini?!” katanya dalam hati.

Saat pulang sekolah, Tobi menyampiri Anton.


“Sudahlah, Ton. Nggak usah dipikirkan. Lain kali ya lebih
diperhatikan tentang tugas.” “Iya, Tob, tapi kamu juga bantuin
ingetin aku juga kadang-kadang.” Tobi mengangguk tetapi
juga memberi nasihat lagi. “Kan sudah aku bilang kalo hidup
gak mungkin sempurna. Siapapun pasti pernah mengalami
kesialan.” Anton mengangguk-anggukan kepala.

Sampai di rumah, Ibunya langsung menanyakan


bagaimana di sekolah. Anton secara jujur akhirnya
menceritakan apa yang sudah terjadi di sekolah. Ibunya
menasihatinya, “Makanya, dari kemarin kan Ibu sudah
mengingatkan kamu ada tugas atau nggak, tapi kamu malah
santai-santai aja.” “Iya, Bu. Entah kenapa, kemarin aku bener-
bener lupa dengan tugas yang harus dikerjakan. Aku bener-
bener terlalu meremehkannya,” jawab Anton sambil
meneteskan air mata. “Ya sudah, sekarang anggap ini sebagai
pelajaran buat kamu. Ke depannya, kamu harus lebih
bertanggung jawab sebagai siswa sekolah.” “Ya, Bu. Aku
janji kok,” jawab Anton lagi-lagi sambil meneteskan air
matanya. Ibunya langsung memberinya pelukan dan mencium
dahinya.

Keesokan harinya, Anton dapat bangun lebih pagi.


Dia bisa mandi, memakai seragam dan sarapan lebih tenang.
Saat berangkat, Ibunya memeluk dia dan mencium dahinya
agar Anton dapat semangat. Saat di sekolah, Anton bisa
mengikuti pelajaran dengan baik. Tugas-tugas yang harus
dikerjakan saat hari itu juga sudah diselesaikan dan
dikumpulkan olehnya. Tak hanya itu, tugas yang kemarin
belum terkumpul akhirnya dia kumpulkan. Saat pulang
sekolah, Tobi langsung berkata, “Nah, akhirnya sudah ada
yang lega nih.” “Iya, Tob. Akhirnya masalah bisa
terselesaikan. Terima kasih ya, nasihatmu kemarin sangat
membantu.” Tobi hanya tertawa mendengar hal itu. “Yaudah,
Ton. Karena besok hari Sabtu libur, main yuk ke Mall. Siapa
tahu ada film baru di bioskop.” “Ok, siap,” jawab Anton.
Tak Ada yang Seperti Tampaknya
Oleh : Philip Jonathan Kho XIA6/25
Pada suatu hari, Clyde, salah satu pengusaha besar di
Asia Tenggara ingin berangkat ke negara lain Karena
panggilan kerja. Ia pada siang hari berangkat menuju bandara
namun sampai dibandara ia merasa lemah dan lapar sehingga
Clyde ingin mencari bekal untuk makan. Sampailah Clyde di
sebuah kedai donut, ada tulisan besar yang menggoda Clyde
“beli 4 gratis 1” maka Clyde membeli donut tersebut dan
duduk di sebuah kedai untuk bersantai sembari. Clyde
meletakan barang- barangnya di sofa dan ia ke kasir untuk
memsan minum. Saat clyde kembali ke mejanya, ia melihat
seseorang berbaju kumuh, menggunakn sandal jepit, dan
terlihat tidak berkecukupan, duduk berhadapan di meja Clyde.
Clyde menanyakan kepada pria itu, “ada yang bisa saya
bantu” pria itu menoleh dan tidak menjawab Clyde sama
sekali, dan itu sedikit membuat Clyde kesal akan perlakuan
pria itu. Beberapa menit kemudian Pria itu mengambil sebuah
donut yang ada di meja, Clyde melihat ia mengambilnya dan
merasa kesal mengambil donut miliknya, namun Clyde
membiarkannya karena merasa kasihan dan Clyde juga
mengambil satu sehingga sisa 3 donut. Clyde kemudian asik
membaca koran dan berapa menit kemudian pria itu
mengambil donut kedua dan Clyde menatap mata pria itu
dengan kesal, karena donut miliknya diambil seakan tidak
mempunyai etika dan sopan santun. Pria itu menoleh balik
kepada Clyde seolah tidak ada yang terjadi dan hal itu
dianggap hal yang biasa. Akhirnya Clyde membiarkannya dan
mengambil satu donut lagi sehingga tersisa 1 buah donut.
Clyde sudah kehilangan semangatnya membaca koran karena
harinya sudah cukup kesal. Beberapa saat kemudain terdengar
suara pengumuman bahwa pesawatnya akan segera boarding,
si pengusaha itu ber siap- siap untuk pergi. Sebelum si
pengusaha pergi, si pemulung pergi terlebih dahulu dan
mengambil donut terakhir, dengan sangat kesal si pengusaha
akhirnya berdiri dan melototi si pemulung dengan muka yang
sangat marah dan kesal. Dengan lancangnya, si pria tersebut
merobek donut itu dan membaginya kepada sang pengusaha,
dengan pasrah ia menerimanya begitu saja. Sang pengusaha
tersebut akhirnya bergegas untuk pergi dengan kesal dan
menyimpan amarah, “betapa tidak tahu dirinya pria itu,
makan tinggal makan, ijin juga tidak, terimakasih juga tidak”
dia mengambil barang- barangnya yang ia letakkan di sofa,
setelah ia mengangkat tasnya ia menemukan sebuah kantong
putih berisi lima donut miliknya yang masih utuh. Seketika
ekspresi pria itu langsung berubah, dan Ia kaget ternyata
selama itu ia memakan donut milik pemulung itu dan
pemulung itu tidak masalah ia memakannya miliknya, bahkan
saat tinggal satu masih dibagi dua. Pria itu kemudian
mengambil donutnya dan mengejar sang pemulung itu,
kemudian ia melihat pemulung itu dikawal oleh 7 orang
pramugari kedalam loung bertulisan “first class” ia langsung
kaget dimana ternyata orang yang ia kira pemulung
merupakan pemilik “fly emirates’ alias salah satu maskapai
penerbangan terbaik. Ternyata pria itu hanya mengetes
perilaku orang yang berpakaian baik.
Amanat yang saya dapatkan adalah, orang yang
berpenampilan baik tidak selalu beretika baik, dan orang yang
berpenampilan buruk tidak selalu beretika buruk, roda
kehidupan berputar dan tidak ada yang seperti tampaknya.
Si Anak Emas dari Malang
Oleh: Ravi Harun XIA6/26
Suatu hari di malam yang dingin dan basah, Bobby
sedang memikirkan nasibnya di kota ini. Bobby tinggal
bersama bapaknya Agus dan ibunya Ratna di pedalaman kota
Malang, Jawa Timur. Belakangan anak berumur 15 tahun ini
bertanya-tanya kepada Tuhan, entah seberapa besar salah dan
dosanya untuk diperlakukan seperti sampah di kota yang
sudah lama dia berniat untuk pergi. Sudah lama Bobby
menggarap tanah di pinggir jalan kota Malang untuk
membantu bapak ibunya mencari nafkah. Ia pun tidak
memiliki banyak waktu untuk belajar setelah pulang sekolah
karena harus membantu ibunya berjualan koran di jalan raya
dekat rumahnya. Meskipun itu, Bobby terus berusaha untuk
meraih nilai yang terbaik di sekolah demi masa depannya
nanti.

Semua keputusaan Bobby berubah saat ia membaca


berita di koran yang sedang ia jual, bahwa akan diadakannya
tes bagi calon siswa SMA Kelas 1 untuk berasrama dalam
sebuah sekolah top di Jakarta. Melihat kesempatan ini, Bobby
langsung memberitahu orangtuanya untuk membantunya
dalam pendaftaran sekolah tersebut. ‘Bu, Pak, boleh dengerin
Bi sebentar nggak?’ sebut Bobby menggunakan nama
panggilannya. ‘Apa nak?’ hasut ibu, ‘tadi pas Bi lagi jualan
koran, Bi lihat pemberitahuan mengenai suatu sekolah di
Jakarta yang menerapkan program asrama bu.’ ‘Terus kenapa
Bi? Kamu mau sekolah di sana’, selutuk ibu ‘Iya bu, soalnya
program ini bisa ngebantu kita sekeluarga dalam masalah-
masalah kita, termasuk masalah uang’ jelas Bobby. ‘Lagi-lagi
bu, program ini menyediakan beasiswa bagi kita yang berhasil
meraih nilai tinggi di tes mereka’. Ibu Ratna pada awalnya
ragu-ragu akan ide anaknya, mengingat bahwa kota Jakarta
sangat jauh dari Malang, tetapi setelah mendengar bahwa ada
beasiswa, Bu Ratna langsung bersemangat. Pak Agus yang
sedang makan di meja makan mendengar percakapan mereka
berdua dan lansung memberikan tanda hijau atas ide tersebut.

Dengan bantuan tetangga mereka, semua keperluan


Bobby dapat dipenuhi. Ia mulai belajar giat demi
mendapatkan nilai tinggi demi beasiswa tersebut. Ibunya pun
harus bekerja lebih keras selama jenjang waktu enam bulan
agar Bobby dapat memiliki waktu belajar yang banyak setelah
pulang sekolah. Meski lelah, ibu tidak pernah mengeluh.
Sedangkan bapak harus kerja lembur di pabrik demi
membantu istrinya jualan koran. Sekali-kali temannya datang
untuk membantu Bobby namun ia tidak ingin merepotkan
teman-temannya karena ia sudah sering mengutang mereka di
sekolah. Meski merupakan Bobby merupakan salah satu siswa
terbaik di sekolahnya dengan nilai yang tinggi-tinggi, Bobby
merasa bahwa tes ini merupakan salah satu tantangan terbesar
yang ia akan hadapi. Bahkan beberapa dari guru mereka
bertanya kepadanya, ‘Bi, kamu gak cape apa?’ ‘gak bu, saya
pengen bantu orangtua saya agar mereka tidak terus terjerat
dengan keberadaan saya’, sahut Bobby dengan senang hati.
Bobby berharap dengan pindahnya dia ke Jakarta, ia bisa
membantu orangtuanya dengan mengurangi tanggung jawab
mereka karena nantinya semuannya akan ditanggung di
asrama itu apabila Bobby berhasil meraih beasiswa itu.

Enam bulan telah berlalu dan hari tes telah tiba.


Bobby merasa sangat gugup karena ia takut tidak mencapai
targetnya. Namun ibu sadar akan kegelisahan Bobby dan ia
langsung memeluknya dan berkata, ‘tenang bi, proses tidak
akan mengkhianati hasil, kamu pasti bisa kok.’ Bapak juga
ikut mendampingi Bobby karena itu hari sabtu dan pabriknya
tutup libur. Bobby sangat senang dengan dukungan kedua
orangtuanya dan sangat bersyukur atas pengorbanan mereka
selama ini. Akhirnya Bobby berhasil mendapatkan beasiswa
tersebut dengan tertera namanya di papan pengumuman 2
minggu setelah tes tersebut di tempat diselenggarakannya tes
ini. Bobby merupakan salah satu dari 20 anak yang berhasil
meraih beasiswa di seluruh Indonesia yang dimana kebutuhan
mereka kan ditanggung 100 persen oleh pihak asrama
termasuk tiket bus/pesawat dari kota mereka masing-masing.

Meski berhasil meraih beasiswa tersebut, tantangan


Bobby tidak sampai situ saja. Begitu sampai di asrama, ia
langsung di bebani dengan realita kehidupan di asrama. Meski
ada beberapa anak baru di asrama tersebut, kebanyakan dari
mereka sudah kenal satu sama lain karena berasal dari kota
yang sama. Dalam kata lain, Bobby hanyalah satu-satunya
yang berasal dari Lampung. Adapun anak-anak mayoritas
lainnya yang berasal dari SMP asrama tersebut. Jadi Bobby
sungguh merasa kesepian. Sudah tiga bulan lewat dan ia
sangat merindukan orangtuanya. Disaat Bobby sedang
melamun di sela-sela istirahat, ia mendengar sebuah sahutan,
‘Hei, ikut main yuk!’ Ternyata salah satu temannya yang ia
tidak terlalu kenal mengajaknya bermain basket. Melihat
kesempatan itu, Bobby setuju dan ia pun ikut bermain. Selama
beberapa menit bermain, Bobby mulai merasa ia diterima di
sekolah tersebut. Sampai pada suatu saat dimana Bobby
disekat oleh salah satu temannya yang tidak jumpa meminta
maaf. Merasa kesakitan Bobby ditertawai oleh teman-
temannya karena terlihat air mata keluar dari matanya.
‘Cengeng lu! Dasar bocah’ sahut temannya. Bobby pun
merasa tidak berdaya karena sudah sakit dan juga diejek.
Namun ada satu orang yang tidak tertawa yakni teman yang
mengajaknya bermain basket. Ia kemudian yang membantu
Bobby untuk berdiri dan membawanya ke UKS. Disana
mereka berkenalan, sambal Bobby dirawat oleh salah satu
guru di asrama tersebut. Ternyata nama anaknya adalah Evan,
dan Bobby merasa bahwa hanya Evan yang bisa tulus menjadi
temannya.

Bobby dan Evan kemudian menjadi teman dekat


selama kelas 1 SMA dan Bobby tidak merasa sepi lagi.
Sampai pada saat Evan bertanya kepada Bobby, ‘Bi, lu
sebenernya ada temen lain nggak sih, selain gw.’ Mendengar
pertanyaan tersebut, Bobby tersinggung dan berkata, ‘Maksud
lu apa Van, nanya begituan?’ ‘Nggak maksudnya tuh lu
keliahatan sedih banget kadang-kadang, kenapa sih?’ jelas
Bobby mencoba untuk menenangkan situasi. Ternyata Bobby
masih trauma akan kejadian di lapangan basket setahun yang
lalu, sampai hari itu, ia merasa tidak diterima semua orang
disekolahnya kecuali oleh Evan. Mendengar perasaan Bobby
setelah ia jelaskan kepada Evan, Evan mencoba untuk
mencari sebuah solusi untuk mengatasi masalah percaya diri
Bobby. Sampai pada pulang sekolah, Evan bertemu Bobby di
kantin untuk memberitahu nya bahwa satu-satunya cara untuk
dihormati oleh teman-teman sekitarnya adalah untuk meraih
sebuah prestasi. Bobby kemudian mengikuti Evan untuk
mencari tahu mengenai lomba-lomba sains yang akan
diadakan selama semester 1 ini karena minatnya adalah mapel
kimia dan fisika. Bobby pun menemukan sebuah proposal
suatu lomba sains di Jakarta Utara mengenai lomba fisika
yang berhadiah 5 juta rupiah.

Selama berminggu-minggu Bobby mempersiapkan


dirinya untuk lomba ini. Ia terus bekerja keras dalam berlatih
dan terus meminta latihan soal kepada ibu guru. Kemudian
hari lomba telah tiba dan ia lagi-lagi gugup. Bobby
sebenarnya berniat untuk memberikan hadiah uang 5 juta
tersebut kepada kedua orangtuanya. Ia mengetahui bahwa
uang sebesar itu dapat membantu mereka, maka dari itu, ia
sangat ingin memenangkan juara 1. Setelah berlomba ternyata
Bobby juara 2. Melihat hasilnya ia merasa sedih dan ingin
putus asa karena telah gagal mencapai tujuannya yaitu untuk
mendapatkan hormat dari teman dan juga untuk membantu
orangtuanya. Meski tidak juara 1, ia tetap memberikan uang
sebesar 3 juta rupiah itu kepada orangtuanya di Malang.
Bobby sangat sayang kepada kedua orangtuanya jadi ia rela
memberikan semuanya bagi mereka.

Melihat kemurahan hati Bobby, pihak sekolah dan


asrama sangat menghargai tindakannya untuk memberikan
seluruh hadiah uang yang ia menangkan kepada kedua
orangtuanya. Sehingga kepala sekolahnya saat apel pagi
mengapresiasi Bobby dengan menyebut namanya dan
memanggilnya untuk naik panggung. Di atas panggung, bapak
kepala sekolah menceritakan pengalamannya kepada seluruh
siswa SMA di pagi hari itu. Berdiri di panggung membuat
Bobby merasa nyaman dan senang akan pencapaian dan
pengorbanannya selama ini. Ia tidak bertujuan untuk mencari-
cari perhatian agar dihormati oleh teman-temannya. Ia hanya
merupakan anak sederhana yang menginginkan yang terbaik
untuk keluarganya. Maka semenjak hari itu, ia dikenal sebagai
anak emas asrama tersebut.
Khayalan Penuh Harapan
Oleh : Stephanus Primayuda XIA6/27
Siang itu, aku duduk termenung di kursi terasku.
Matahari siang itu menyapaku, memberikanku segenggam
harapan sembari diiringi melodi-melodi angin yang
membawaku pada khayalan penuh harapan, hingga kerap
kali aku menutup mata membayangkannya.

***

Nasib yang tak kunjung berubah, membawa tekadku


untuk pergi ke suatu kota, entah kemana. Terlintas dalam
pikiranku untuk pergi ke Jakarta, sebuah kota yang
kuharapkan bisa mengubah nasibku. Kata orang, Jakarta
adalah kota yang tepat untuk mengubah nasib. Sebenarnya,
aku bingung, aku terjebak dalam perasaan yang tidak mudah,
dilema namanya. Aku tak tega aku meninggalkan istriku yang
sedang hamil muda sendirian. Tak lama aku mendengar suara
samar-samar dari kejauhan, sepertinya dari dapur.

“Klinting…klinting…klinting…klinting…ting…
tingg…ting…ting…”

Suara itu menganggu sekali, rasanya penuh dalam


pikiran dan menganggu semua harapan indah yang sudah
kususun. Tanpa rasa bersalah, istriku duduk disampingku
sambil mengibaskan rambutnya dan meletakkan segelas teh
hangat sebagai tanda cintanya. Aku mulai membuka mulut
tuk mengatakan semua isi pikiranku selama termenung tadi.
Belum ada satu katapun yang kuucap, aku masih ragu, takut
keputusan yang kuambil salah. Namun akhirnya aku berani
berbicara meskipun diikuti rasa takut. Jawaban tak terduga
keluar dari mulut istriku.

“Iya mas tidak apa apa, semoga keputusanmu bisa


mengubah keluarga kecil ini.” jawabnya.

Tanpa berpikir panjang, istriku dengan mudahnya


membiarkan ku pergi. Kepenatan dengan keadaan atau justru
sebuah dorongan agar aku bisa mengubah keluarga kecil ini.
Kalimat yang keluar dari mulutnya terasa tawar, ambigu
sekali. Butuh beberapa detik hingga akhirnya aku tahu apa
yang harus kulakukan. Aku berlari menuju bilik kamarku
untuk membereskan pakaian. Tak sengaja aku melihat
celengan ayam di atas meja, kupecahkan celengan ayam itu
sebagai uang pegangan. Uang yang selama ini aku kumpulkan
untuk biaya persalinan istriku, namun tampaknya aku harus
gunakan untuk pergi ke Jakarta. Kuhitung ada dua juta lima
puluh ribu rupiah. Cukup, harus cukup, dan pasti cukup.

Berpamitan dengan orang yang kusayangi tak


semudah seperti yang kubayangkan, apalagi pergi untuk
waktu yang tak tentu. Aku merasakan air mata mengalir dari
pipinya membuat pundak kananku basah. Doa dan harapan
juga turut menyertai saat pelukan terakhir kami itu. Entah
untuk berapa lama hingga akhirnya kami bisa berpelukan lagi.
Langit berubah menjadi abu-abu ketika aku keluar dari rumah
tersebut. Tuhan pun seakan ragu memberikan jalan kepadaku.
Keputusanku sudah bulat, aku tetap harus berangkat.

Aku sudah sampai di pelabuhan Tanjung Ringgit


sebelum senja tiba. Memori itu kembali memasuki diriku,
membawaku pada kenangan masa muda saat kami berpacaran
saat itu. Menikmati segelas air kelapa dingin sambil
menunggu senja turun dan akhirnya berganti malam. Diiringi
dengan obrolan kami yang menghangatkan malam yang
dingin kala itu. Bulan begitu sempurna malam itu, tak seperti
jalan hidupku. Memori itu kian lama kian memudar, aku
terganggu dengan kebisingan diluar sana. Egoisnya orang-
orang, tak ada kesempatan bagiku untuk menikmati semua
memori indah itu sebentar saja.

Di tengah kebisingan itu, pandanganku tertuju pada


seorang perempuan yang tampaknya seumuran denganku.
Aku mencoba untuk menghampirinya. Ternyata itu adalah
Siti, temanku ketika SMA. Pertemuan yang sangat tidak
disengaja. Dulu, aku sempat berpacaran dengannya untuk
waktu yang lama. Dan aku pikir, kini kami sudah terlalu
dewasa untuk membahas kenangan masa muda kami. Aku
turut senang ketika tahu bahwa Siti adalah seorang guru,
setauku itulah cita-citanya ketika SMA waktu itu. Desiran
ombak menemani obrolan kami yang tak ada habisnya. Bulan
purnama malam itu juga terlihat sabar menyaksikan obrolan
kami. Tak ada kata lelah bagi kami, kami sama-sama punya
harapan, harapan kecil untuk bisa mengubah nasib.  Obrolan
kamipun meluas, seperti luasnya harapan kami di dunia ini. 
Tak terasa jauh disana mentari mulai menunjukkan
sinarnya. Dan akhirnya aku sampai di pelabuhan Tanjung
Priuk, Jakarta.

“Huftt… perjalanan yang melelahkan” kataku.

Lagi-lagi aku harus berpisah, sebuah kejadian yang


membuatku trauma karena banyak perasaan didalamnya.
Rasanya baru sebentar kami mengobrol, namun Tuhan
mempercepat waktu dalam perasaanku. Tak apa, pertemuan
singkat itu sungguh bermakan bagiku.

Akhirnya aku sampai di Jakarta. Ya Jakarta, kota


yang awalnya kuharapkan bisa mengubah nasibku ini menjadi
sebuah kota tanpa petunjuk. Orang-orang Jakarta adalah orang
yang mandiri. Mereka bisa menentukan arah jalan hidupnya
masing-masing. Sedangkan aku yang bukan orang Jakarta
dibutakan oleh mereka. Ketidakpastian ini membuatku takut
sejak awal. Aku memberanikan diri untuk memulai langkah
dan ketika aku berjalan, aku bertemu dengan seseorang yang
tak kukenal. Ia menyapaku duluan seperti kami sudah akrab,
padahal tidak. Namun menurutku ini satu petunjuk yang
Tuhan berikan kepadaku. Tuhan seperti mengutus satu
nabinya untuk membantu memberikan jalan padaku hari itu.
Namanya Bapak Tono. Ia menuntunku sampai ke rumah
pengusaha kaya. Dan akhirnya aku ditawari pekerjaan sebagai
tukang kebun. Tanpa pikir panjang, aku segera menerima
kesempatan itu. Bukan pekerjaan yang kuharapkan, tetapi aku
tahu Tuhan memberikan jalan kecil ini agar aku bisa sampai
ke jalan yang besar.

Selama kira-kira 6 bulan, Tuhan tidak memberikan


aku cobaan sedikitpun. Aku nyaman dengan pekerjaanku dan
penghasilan yang kudapatkan juga lumayan. Aku heran
mengapa Tuhan sungguh baik akhir-akhir ini. Mungkin, Ia
mendengar semua keluh kesahku selama ini. Dengan
pendapatan yang sudah kudapat, aku memutuskan untuk
pulang diakhir tahun ini. Pastinya, aku rindu pada istriku
yang kini sedang hamil besar. Rindu itu kusimpan selama 6
bulan. Untuk memberi kabar pun, aku tak bisa, aku tak punya
gawai, dan aku tidak punya waktu. Rasa rindu inilah yang
membuatku semangat untuk kembali.

Aku berangkat saat matahari mulai bercahaya.


Matahari begitu cepat bercahaya seakan ia terburu-buru
membawaku pulang. Ada apakah sebenarnya ? Aku terus
merenungkan itu sambil melihat pecahan ombak yang
menabrak kapal. Secepat itukah hingga aku tak sadar bahwa
kapalku sudah sampai sebelum senja tiba. Aku tersadar bahwa
senja itu adalah senja yang sama seperti dahulu kala. Memori
itu mencoba untuk masuk lagi, namun kutinggalkan itu. Aku
tak ada waktu untuk memikirkan itu, aku hanya rindu
padanya.

Dari kejauhan aku lihat rumahku cukup ramai, banyak


orang berdatangan, namun dengan pakaian hitam. Aku
bertanya tanya dalam hatiku, apakah yang sebenarnya terjadi.
Semua orang menangis, bendera kuning banyak terpasang,
semua orang menunduk dan terfokus pada sesuatu yang
diselimuti kain putih ditengah. Terdengar samar-samar
lantunan surat yasin.

“ya sin, walqur anil hakim, innaka laminal mursalin,


ala siratim mustaqim, tanzilal azizir rahim…”

Semakin aku berjalan mendekat, semakin keras suara


itu hingga mengacaukan perasaanku. Aku tak kuasa melihat
diriku yang sebodoh ini. Nampaknya, resiko yang kuambil
terlalu besar hingga aku harus mengorbankan istriku dan anak
dalam kandungannya. Perhatian seorang ayah dan suami yang
seharusnya mereka rasakan, tidak mereka mereka terima.
Mereka telah berjuang untuk hidup tanpaku. Kini aku sendiri,
tak punya siapa siapa. Andaikan Tuhan bisa terlihat,
setidaknya aku punya teman yang selalu menemani hari-
hariku.

Turut berduka cita adalah kalimat munafik yang


kudengar dari orang orang itu karena aku tak rela istriku harus
pergi lebih cepat. Sedikit demi sedikit orang-orang itu pergi
kembali ke rumah masing-masing tanpa rasa bersalah sama
sekali. Air mata mereka sudah berhenti, sedangkan air mataku
terus mengalir dari mataku tak ada hentinya. Semua memori
masa lalu itu kembali masuk. Semua kenangan indah itu
mengacaukan pikiranku, menambah banyaknya air mataku
yang keluar dari mataku. Ingin kuhabiskan semua air mataku
sampai berhenti sendiri dan akhirnya sembab.

Ayam berkokok sejak pagi tadi, tetapi aku


menghiraukannya, meskipun ayam itu memang bermaksud
untuk membangunkanku. Biasanya istriku membangunkan
aku. Mataku sulit dibuka, mungkin mata ini kurang air karena
semua air telah kukeluarkan tadi malam. Apakah perlu
kumasukan kembali air mataku agar semua kejadian kembali
seperti semula? Aku tak biasa hidup mandiri, bahkan aku tak
tahu bagaimana cara membuat teh seperti yang istriku lakukan
setiap hari kepadaku. Akhirnya, aku berhasil membuat teh itu.
Sambil berjalan ke teras kuseruput sedikit, tawar sekali,
rasanya menyedihkan.

Siang itu, aku duduk termenung di kursi terasku.


Matahari siang itu menyapaku, memberikanku segenggam
harapan sembari diiringi melodi-melodi angin yang
membawaku pada khayalan penuh harapan, hingga kerap kali
aku menutup mata membayangkannya. Aku terbangun karena
siang itu, istriku tidak sengaja menumpahkan teh di kakiku.
Untung saja semua khayalan itu hanya mimpi.

Cedera yang Mengubah Segalanya


Oleh: Theo Adiwinata XIA6/28

Tahun ajaran yang baru sudah mulai berjalan di SMA


Puji Indah Melati, Jakarta Pusat. Murid-murid baru di tahun
ajaran 2019/2020 ada sekitar 212 anak. Salah satu murid yang
baru di tahun ajaran 2019/2020 ini adalah Kenny Gregory.
Kenny memiliki seorang ayah yang merupakan sebuah atlit
basket terkenal di Indonesia. Alhasil Kenny mengikuti jejak
ayahnya yang merupakan seorang atlit basket, oleh karena itu
seorang Kenny gemar bermain basket.

Pada hari Senin, 21 Juni 2019 Kenny pergi ke SMA


Puji Indah Melati untuk upacara sambutan murid di tahun
ajaran 2019/2020. Kenny mulai beradaptasi di sekolah SMA
barunya, dia mulai bermain dan bergaul dengan teman
sebayanya di kelas. Alhasil Kenny memiliki banyak teman
yang baru di SMA Puji Indah Melati. Lalu saat pulang
sekolah Kenny juga mendaftarkan diri pada ekstrakurikuler
basket, salah satu alasan Kenny daftar sekolah ini adalah
karena program basketnya yang terkenal.

Kemudian satu minggu setelah Kenny mendaftar


ekstrakurikuler basket, dia baru diterima dan mulai mengikuti
ekstrakurikuler tersebut. Karena Kenny mendapatkan ajaran
khusus dari ayahnya, Kenny sudah beberapa tingkat diatas
teman sebayanya. Oleh karena itu Kenny di ekstrakurikuler
basket sangat tinggi sekali hatinya. Temannya yang baru
berteman dengan dia juga sudah mulai jengkel dengan
sikapnya Kenny. Tapi mereka masih berharap bahwa Kenny
bisa berubah seiring berjalannya waktu.

Kenny yang selalu dinasehati oleh temannya, tidak juga


berubah. Bahkan Kenny sekarang semakin sombong dan
emosian saat bermain basket. Akhirnya Kenny pun mulai
dijauhi oleh temannya di SMA Puji Indah Melati ini.
Walaupun begitu pelatih atau coach ekstrakurikuler basket
tetap senang dan terus memuji Kenny. Karena Kenny
memiliki talenta dan skill yang sudah terbukti. Oleh sebab itu
sikap Kenny tidak ada yang berubah karena Ia menjadi anak
favorit pelatih di sekolahnya.

Namun pada suatu hari setelah beberapa bulan Kenny


ekstrakurikuler, Kenny yang sedang melakukan drill dengan
pelatihnya jatuh. Kenny yang terjatuh itu cedera, akibatnya
pelatih dan para guru membantu Kenny untuk pergi ke rumah
sakit. Para murid yang ikut ekstrakurikuler itu malah tertawa
senang. Karena si Kenny yang sombong itu cedera dan tidak
akan mengikuti ekstrakulikuler untuk sementara.

Kenny yang sekarang berada di rumah sakit, terkejut


dan tidak bisa menerima kenyataan dari dokter. Lututnya
tidak bisa disembuhkan dengan segala cara medis, cedera
yang dialami oleh Kenny ternyata lebih parah dibanding yang
Ia perkirakan. Setelah itu orang tua Kenny datang untuk
membayar biaya perawatan dan berbicara dengan dia. Setelah
mendengar keadaan Kenny dari dokter, ibu dan ayahnya
terkejut.
Ayah dan Ibunya menyemangati Kenny bahwa Ia akan
terus bisa bermain basket. Tapi Kenny yang mendengar
semangat itu menjadi marah dan menyuruh orang tuanya
keluar dari ruangan. Akhirnya orang tuanya keluar, Kenny
tahu bahwa orang tuanya hanya ingin menyemangati dia. Tapi
Kenny juga kesal karena diberi harapan palsu “dengan lutut
seperti ini apa yang bisa aku lakukan” kata Kenny sambil
menangis.

Setelah beberapa bulan berlalu, Kenny baru


diperbolehkan untuk keluar dari rumah sakit. Kenny sudah
rehabilitasi dan bisa berjalan, tapi sekarang Kenny sudah
sangat sulit sekali untuk bermain basket. Kenny bertemu
dengan pelatihnya dan berkata bahwa Ia akan keluar dari
ekstrakurikuler basket. Pelatihnya yang sudah mengetahui
alasan Kenny setuju dengan keputusan yang Ia buat.

Lalu Kenny mulai berubah menjadi orang yang


pendiam dan lesu. Kemudian teman-teman dan para murid
anggota ekstrakukrikuler basket mendengar berita tentang
Kenny. Mereka merasa bersalah dan akhirnya meminta maaf
kepada Kenny, atas seluruh hal yang mereka katakan kepada
Kenny. Kenny yang mendegar permintaan maaf itu tidak
berkata apa-apa dan tidak merasakan apa-apa. Karena cita-cita
yang Ia punya dan kejar sekarang sudah tiada. Akhirnya
Kenny pergi kembali ke sekolah SMA Puji Indah Melati
hanya untuk belajar.
Bangkit
Oleh: Timothy Antonius Sevenson XIA6/29

Seorang anak bernama Teddy adalah seorang anak


laki-laki yang memiliki sifat pekerja keras, tidak mudah putus
asa, tekun, dan rajin dalam berlatih suatu hal yang
digemarinya. Ia adalah seorang pelajar yang masih duduk di
bangku SMA. Sekarang Ia bersekolah di SMA Kolese
Kanisius Jakarta. Salah satu kegemarannya adalah bermain
basket. Impiannya sejak kecil adalah menjadi seorang
pemain/atlet basket. Ia tidak pernah menyerah dan putus asa
dalam mengembangkan kemampuannya di dalam bermain
basket. Sejak SD hingga SMP Ia selalu ikut dalam
ekstrakulikuler basket yang ada di sekolahnya, bahkan Ia juga
sempat tergabung dalam sebuah klub basket yang berada di
daerah Senayan, Jakarta Selatan.
Pada bulan Februari 2016, pada saat sedang
mengikuti ekstrakulikuler basket di sekolahnya SMP, Teddy
terjatuh dengan posisi yang sangat tidak tepat, sehingga Ia
mengalami cedera di lutut kirinya. Setelah kejadian tersebut,
Ia dibawa ke sebuah pengobatan tradisional, tetapi setelah
selesai menjalani segala pengobatan, cedera lututnya tidak
kembali seperti normal dan terdapat sebuah benjolan pada
tulangnya serta posisi tulang tempurung kaki kanannya yang
tidak pada tempatnya. Pengobatan tradisional maupun medis
pun sudah dilalui, tetapi hasilnya masih belum kembali seperti
normal. Menurut salah seorang dokter, untuk melakukan
operasi akan mengeluarkan dana yang besar dan tingkat
keberhasilan yang hanya 50 persen. Oleh karena itu, setelah
berdiskusi dengan keluarganya, Ia memutuskan untuk tidak
melakukan operasi, sehingga Ia masih bisa berjalan normal,
tetapi tidak dapat berlari dan melakukan kegiatan yang berat.
Setelah mengalami kejadian tersebut, Teddy merasa
minder dengan kondisinya saat itu dan merasa bahwa masa
depannya tidak mungkin lagi dapat dicapainya. Ia terpaksa
untuk tidak bisa lagi dalam mengikuti kegiatan olahraga,
sehingga Ia keluar dari ekstrakurikuler basket dan keluar dari
klub basket yang sempat diikutinya. Ia sangat menyesali
kejadian pada waktu itu yang mengakibatkan semua cita-
citanya lenyap. Ia pun sempat berpikiran bahwa Ia tidak
memiliki kemampuan dan bakat apapun lagi.
Saat berada di kelas 8 SMP, Teddy merasa tertarik
untuk mencoba bermain sebuah alat musik tiup, saksofon. Ia
memilih alat musik tersebut, karena menurutnya laki-laki
yang bermain saksofon terlihat sangat menarik untuk ditonton
dan terlebih lagi pada waktu itu masih sedikit orang yang
mampu memainkan alat musik tersebut. Pada awal pertama
belajar, Ia belajar di sebuah tempat kursus musik di daerah
Cikini, Jakarta Pusat. Namun, saat masih di tempat kursus
tersebut, Ia tidak pernah mendapat nilai yang bagus untuk tes
kenaikan tingkat. Nilai yang didapat hanya selalu di angka 7.
Setelah 2 tahun mengikuti kursus musik, Ia memutuskan
keluar dan memilih untuk berlatih secara mandiri. Ia mencoba
untuk mengikuti ekstrakulikuler band dan orkestra di
sekolahnya SMP. Beberapa kali Ia mengikuti penampilan
orkestra dan juga mengikuti lomba-lomba band. Walaupun
seringkali tidak masuk sebagai juara, tetapi itu tidak
mengurangi semangatnya untuk selalu berlatih. Ketika masuk
di bangku SMA pun, Ia mengikuti sebuah ensemble alat
musik tiup di SMA Kolese Kanisius, Canisius Wind
Ensemble (CWE). Bahkan, Ia pernah sekali diajak oleh
seorang penyanyi seriosa, Putri Ayu untuk berkolaborasi. Ia
tidak pernah berpikiran negatif lagi terhadap dirinya. Ia sangat
mensyukuri anugerah yang Tuhan berikan kepadanya. Ia juga
sangat menikmati keadaannya sebagai pemain saksofon.
Sekarang Ia bercita-cita untuk menjadi seorang musisi
muda berbakat. Ia ingin sekali agar suatu saat mempunyai
karyanya sendiri, seperti album musik.
Besok Aku Mati
Oleh: Vannes Wijaya / XI-A6 / 30

Hari yang normal di tengah ibukota, aku bangun di


pagi yang selalu sama saja. Seperti biasa aku menjalankan
rutinitas lalu berangkat ke kantor. Membosankan. Jalanan
tampak kosong, pepohonan tampak lebih hijau dari biasanya.
Hmmm, cukup aneh, aku pikir. Aku mengamati rumah-rumah
di pinggir jalan, tampak lebih muram dari biasanya.
Menyedihkan, aku pikir.

...

...

DUAR!

...

Hitam, hitam, hitam. Aku tidak bisa melihat apa-apa.


Telingaku berdengung terus-menerus, sangat tidak nyaman.
Penglihatanku mulai muncul, walau masih buram. Mulai
terdengar suara-suara, obrolan dan keramaian. Aku mulai
terbangun, menyadari aku sedang berada di rumah sakit. Apa
yang terjadi denganku? Aku menengok badanku, tidak ada
luka, walaupun terasa pegal-pegal. Sungguh aneh. Padahal
seingatku aku ditabrak oleh truk besar.

"Wah, mas sudah enakan?" kata suster yang tiba-tiba


datang.
"Eh-eh-sudah kok mba," jawabku dengan gugup
sambil menatap wajahnya yang sungguh mempesona.

"Apa yang terjadi dengan saya ya mba? Kok tidak ada


luka sama sekali? Padahal saya kecelakaan cukup parah."

"Iya mas, keajaiban itu nyata, mungkin?"

Tak lama kemudian dokter datang dan mengatakan


bahwa ia membawa berita buruk.

"Kami telah melakukan pengecekan medis, dan


hasilnya cukup mengecewakan. Walaupun mas tidak
mendapatkan luka luar sama sekali yang ialah aneh, namun
mas mengalami kerusakan organ dalam yang cukup fatal, dan
dengan berat hati saya harus memberitahukan bahwa mas
tinggal punya satu minggu untuk hidup. Kerusakan organ
yang mas alami ini tidak dapat kami pulihkan secara total, dan
hanya satu minggu ini yang dapat kami usahakan untuk hidup
mas."

Aku hanya terdiam. Dokter ini bercanda? Atau


jangan-jangan ini hanyalah mimpi? Lagipula wajah si dokter
terlihat aneh. Tidak simetris. Aku kembali mengamati
kamarku, meraba-raba kulitku. Ya, ini nyata.

Satu minggu? Aku rasa aku tak bisa menghabiskan


waktuku untuk bersedih dan bersesal. Lagipula, usiaku masih
muda, masih banyak hal yang belum saya alami di dunia ini.
Aku pikir, aku akan menghabiskan satu minggu terakhirku ini
untuk melakukan hal-hal yang selalu aku ingin lakukan
namun tidak aku wujudkan selama ini.

Petualangan dan kebersamaan. Tunggu aku.


Aku memberitakan dengan segera berita burukku
(atau baik?) kepada orang-orang terdekatku. Selalu disambut
dengan tangisan, aku mengajak mereka untuk berhenti
menghabiskan waktu dengan bersedih, tapi dengan bersenang-
senang bersamaku. Bersama mereka, akupun menyusun
rencana dan daftar hal-hal yang ingin ku lakukan untuk
minggu terakhir dalam hidupku.

Petualangan dimulai. Aku mendaki Gunung Slamet


bersama sahabat-sahabatku sampai ke puncak. Sungguh aneh,
kerusakan organ dalamku tidak menggangguku sama sekali
dalam melakukan olahraga ekstrim. Kemudian aku berlibur
bersama keluargaku ke Raja Ampat, bercanda tawa dan
mengenang momen-momen lucu bersama dengan kedua
kakak kandungku. Yang terakhir, aku berkelana bersama
pacarku ke Jogjakarta, menikmati cinta dan kebersamaan
untuk terakhir kalinya. Semua terasa cepat, hingga hari
terakhir datang.

Telpon berdering, si dokter berwajah aneh


mengingatkanku bahwa hari ini adalah hari terakhirku. Aku
memutuskan untuk menggunakannya untuk memberikan
terima kasih dan balas budi kepada orang-orang yang telah
memberikan pengaruh positif besar dalam hidupku. Orang-
orang yang telah memberikan warna-warna unik dalam
hidupku. Aku tidak memberitahu mereka berita burukku,
namun aku langsung berterima kasih dan memberikan
sebagian hartaku sebagai bentuk balas budi. Tak heran,
mereka semua tampak bingung.

Akhirnya, misiku sudah selesai. Aku telah


memberikan terima kasih terakhirku kepada pamanku yang
selalu memberikanku nasihat dan bantuan di saat-saat sulit.
Aku pamit, keluar dari rumahnya, tiba-tiba paman
memanggilku lagi dengan lantang. Sambil aku berbalik badan,
telingaku tiba-tiba berdengung. Dengungan itu lama-
kelamaan semakin keras. Ketika aku berbalik badan, tidak ada
siapa-siapa.

...

...

DUAR!

...

Hitam, hitam, hitam. Lagi.

Titik kecil terang terlihat, makin lama makin besar.


Aku terbangun di atas tempat tidur rumahku. Apakah aku
sudah mati? Aku sudah kecelakaan dua kali, bagaimana
mungkin aku belum mati? Aku abadi? Punya banyak nyawa?
Ataukah ini sebuah mimpi?

Aku turun ke dapur, menemui pacarku. Aku meraba


dan menyentuhnya, memastikan apakah ini mimpi atau
realita.

"Ada apa sayang? Kok baru pagi-pagi gini udah aneh-


aneh aja sih kamu. Sana makan sarapannya. Kamu harus kerja
loh sayang hari ini."

Kenyataan? Ini sebuah kenyataan?

Ya, ternyata selama ini aku hanya bermimpi. Dari


jalanan yang kosong, si dokter berwajah aneh, hingga
kecelakaan kedua. Itu sebuah hanyalah mimpi. Mimpi yang
membuka mataku. Sekarang aku kembali pada kenyataan, dan
aku rindu akan mimpiku tadi malam, ketika aku dikejar
kematian, dan terpaksa harus hidup dengan sepenuhnya
selama satu minggu. Menjalani hidup dengan seharusnya.
Menghabiskan waktuku dengan orang-orang yang aku cintai,
untuk hal-hal yang berharga. Aku baru menyadari, bahwa
selama ini aku hanya bersembunyi di balik topeng gembira,
bersandiwara. Kenyataanya, di dalam lubuk hatiku yang
paling dalam, aku bersedih dan bersesal. Aku menghabiskan
waktuku untuk hal-hal yang sejujurnya tidak aku nikmati dan
membuatku membenci hidup. Hal-hal yang tidak bernilai
bagiku. Dari mimpi tadi malam, aku sadar, bahwa hidup itu
singkat, dan aku harus menggunakannya untuk hal-hal yang
bermakna.

Eh, tunggu sebentar. Kamarku tampak aneh.


Semuanya tampak rapih dan bersih, tidak seperti biasanya.
Masih mimpi?
Luangkan Waktu
Oleh: Xaverius Victor Constantino XIA6/31

Tentara Nasional Korea Selatan, adalah mereka yang


berada di paling depan dalam garis pertahanan suatu negara.
Mereka dilatih dan dibentuk fisik dan mentalnya sehingga
siap dalam menghadapi situasi yang darurat. Saat negara
dalam keadaan bahaya dan terancam, mereka lah yang akan
menjaga pertahanan kita. Tidak jarang juga mereka harus
membantu dalam urusan diplomatik negara. Richard adalah
seorang tentara yang ditugaskan untuk membantu mengurus
diplomatik tersebut. Akan tetapi Richard tertembak peluru
sehingga ia harus pulang dengan keadaan terluka.
Setelah kembali dari tugasnya, ia tinggal di barak dan
diperbolehkan untuk keluar dari baraknya pada jam tertentu.
Akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke rumah sakit untuk
melakukan perawatan terhadap lukanya. Dalam perjalanan ke
rumah sakit, ia bertemu dengan temannya yang sedang ingin
ke rumah sakit juga. Sesampainya di rumah sakit, ia berpisah
dan mendaftar untuk bertemu dengan dokter umum. Dokter
yang ia temui bernama Irene. Irene meminta Richard untuk
datang rutin. Setelah itu, ia rajin datang ke rumah sakit untuk
penyembuhan lukanya. Tetapi, ia menjadi semakin akrab
dengan Irene.
Suatu hari, Richard diminta pergi ke Ukraina untuk
membantu penanganan terorisme di Ukraina tersebut. Saat di
barak, ia tidak tahu akan disatukan areanya dengan tim medis.
Saat tim medis tiba di barak, Irene pun berpapasan dengan
Richard. Irene ditugaskan karena ada kerja sama antara rumah
sakit tempat ia bekerja dengan Ukraina. Akhirnya mereka pun
menjalankan hari-harinya bersama.
Setiap hari, ada pasien yang dicek kesehatannya di
barak tentara ini. Kemudian Richard harus pergi untuk
menangani terorisme di Ukraina ini. Richard berhadapan
dengan rakyat miskin yang disiksa oleh kelompok-kelompok
teroris, sehingga rakyat ini perlu dibawa ke barak untuk dicek
kesehatannya. Ternyata banyak yang tidak baik kesehatannya,
dan dirawat di ruang perawatan yang telah disediakan.
Di waktu yang bersamaan, ada pembangunan gedung
pencakar langit di dekat situ. Saat suasana sedang tenang dan
tentram, terjadi gempa bumi yang cukup kuat dan membuat
gedung itu hancur. Kehancuran ini menyebabkan banyak
pekerja yang tewas dan luka-luka. Tim Irene pun diminta
untuk langsung terjun ke area konstruksi. Sesampainya di
sana, mereka langsung bergegas menghampiri korban terdekat
dan langsung memberikan pertolongan pertama. Ada banyak
korban yang luka parah hingga harus dirawat di ruang
perawatan di barak. Bahkan ruang perawatan hingga
kelebihan kapasitas dan beberapa ada yang dilarikan ke rumah
sakit lain.
Para tentara pun membantu tim Irene dengan evakuasi
area konstruksi, dan mencari korban-korban selamat diantara
tumpukan puing bangunan. Richard yang memimpin evakuasi
ini bekerja cukup keras. Mereka terkadang kesulitan karena
puing-puing yang ada di situ cukup besar, sehingga alat
pengangkat puing kadang tidak kuat dan mereka harus
menghancurkan puing itu dulu. Setelah para tentara
menemukan korban selamat, mereka langsung memanggil
salah satu tim medis atau mengarahkan korban selamat ke tim
medis terdekat. Setelah mendapatkan pertolongan pertama,
mereka akan dibuat untuk melakukan rawat jalan, sehingga
tidak menumpuk di area situ.
Evakuasi berjalan cukup lama dan tim medis pun
tidak ada berhentinya mengobati para korban selamat.
Terkadang tim medis harus menahan rasa sabar mereka dari
rintihan kesakitan. Tidak sedikit juga yang mengeluh meminta
pulang karena khawatir akan keluarganya. Irene yang sedari
tadi menghadapi berbagai karakter pasien ini pun kelelahan.
Tapi ia sadar, tugasnya belum selesai, masih ada beberapa
perawatan yang harus dijalankan oleh beberapa korban
selamat. Bencana ini membuat Irene dan Richard jarang
mengobrol lagi, bahkan hanya bertegur sapa.
Hari-hari berlalu dengan kelelahan mereka mengobati
maupun mengevakuasi para korban selamat. Banyak evakuasi
telah dijalankan, dan semakin hari, korban meninggal dunia
pun semakin banyak. Karena insiden ini, banyak rakyat
sekitar yang membuat tempat untuk menyalakan lilin dan
mendoakan mereka yang meninggal dunia. Ya, memang
cukup sedih untuk menghadapi situasi seperti ini. Irene pun
yang sedang menatap tempat ini, meneteskan air mata. Saat
itu, Richard datang menghampiri Irene, karna tugasnya saat
itu sudah selesai. Richard pun merangkul Irene yang sedang
menangis itu, dan berusaha menenangkan Irene.
***
Beberapa bulan setelah insiden itu, mereka kembali
beraktivitas seperti biasa di barak. Kemudian Richard dan
Irene pun tetap membantu rakyat Ukraina. Di sela-sela
pekerjaan mereka, terkadang mereka bertemu untuk sekedar
minum teh bersama dan mengobrol. Setelah berbulan-bulan
ada di Ukraina, akhirnya Richard pun menyatakan
perasaannya pada Irene dan mereka pun berpacaran.
Setelah tinggal di Ukraina cukup lama, mereka pun
kembali ke Korea Selatan dan kembali beraktivitas di Rumah
sakit ataupun di barak. Dalam hubungan mereka, banyak
rintangan yang dilalui, misalnya jadwal mereka yang padat,
membuat mereka sulit untuk bertemu. Irene yang sering
diminta bertugas di UGD, hampir setiap malam mendapatkan
kiriman pasien dari berbagai macam kejadian, seperti
kecelakaan atau kebakaran. Richard dengan pangkatnya yang
cukup tinggi pun, kini memiliki peran penting dalam
pekerjaannya. Banyak rapat-rapat yang harus ia hadiri dan
tidak bisa diubah.
Pada akhirnya Richard dan Irene pun menjalani
hubungan yang tidak pada umumnya. Mereka bertemu kurang
lebih sebulan sekali, dan hal ini menyebabkan kerenggangan.
Akhirnya, di akhir Desember, pada saat musim dingin,
mereka bertemu di sebuah kafe. Suasana yang dingin,
memang nikmat sambil meminum sebuah kopi panas. Setelah
mereka bertemu dan duduk berhadapan. Irene pun mengawali
pembicaraan dengan terang-terangan. Ia meminta untuk putus
karena jarangnya mereka bertemu. Selain itu Richard juga
tidak memberikan kepastian kepada Irene. Richard pun
menerima keputusan Irene dengan terbuka. Akhirnya mereka
putus dan tidak pernah berhubungan lagi.

Anda mungkin juga menyukai