Anda di halaman 1dari 521

Kompulasi Semesta

Penulis
Raihan Marvi, dkk

ISBN :

Editor
Muhammad Rizqy Ramadhan
Shafira Khairunnisa
Syifani Dhya Ayu Maharani

Illustrator
Jaeza Taris Qairawani
Madhava Nitisara Wiryana
Rahayu Puspitasari

Penerbit
SMAN 39 Jakarta

Redaksi
SMAN 39 Jakarta
Jalan R. A. Fadhillah, Cijantung. Jakarta Timur

Cetakan pertama, Januari 2020


Hak cipta dilindungi Undang – Undang
Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan
dengan cara apapun tanpa izin dari penulis

iii
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha


Pengasih lagi Maha Penyayang, kami panjatkan puji
syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan
rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga
kami dapat menyelesaikan karya berupa buku antologi
cerpen berjudul “Kompulasi Semesta”.
Terima kasih kami ucapkan kepada semua pihak
yang terlibat dalam proses pembuatan buku ini, sehingga
kami dapat menyelesaikan buku ini dengan sebaik-
baiknya. Terlepas dari semua itu, kami menyadari
sepenuhnya bahwa terdapat kekurangan baik dari segi
susunan kalimat maupun tata bahasanya.
Oleh karena itu, dengan tangan terbukan kami
menerima segala kritik dan saran dari pembaca agar dapat
memperbaiki karya kami ini. Akhir kata, semoga buku ini
dapat dipergunakan dengan sebaik-baiknya, dapat
bermanfaat serta dapat menginspirasi para pembaca.

Jakarta, Januari 2020

Penyusun

iv
Daftar Isi

Kisah Ambisi......................................................................................................
Aku Bukanlah Diriku.........................................................................................
Shinigami............................................................................................................
Dara....................................................................................................................
Comfort...............................................................................................................
Mager Mudik......................................................................................................
Rusaknya Persahabatan Karena Virus Cinta......................................................
Susahnya Menjadi Orang Susah.........................................................................
Angkasa..............................................................................................................
Perkenalan Yang Unik.......................................................................................
Kisah Semu Yang Berdebu................................................................................
Kisah Gadis Kecil..............................................................................................
Hati – Hati, Teman!............................................................................................
Koper yang Hilang.............................................................................................
Cinta Monyet......................................................................................................
Gadis Misterius..................................................................................................
Marsha Park dan Kisahnya.................................................................................
My Father is My Bestfriend...............................................................................
Alfalena..............................................................................................................
Beristirahatlah Bunda.........................................................................................
Motor Tua yang Menyusahkan...........................................................................

iii
Janji Sahabat.........................................................................................................263
Rasa dan Karsa......................................................................................................272
Teruntuk Derek Ivinki...........................................................................................279
Sahabatku..............................................................................................................332
Arti Cinta yang Sebenarnya...................................................................................339
Waktu yang Menjawab..........................................................................................350
Kompulasi Semesta...............................................................................................363
Impian Terbesar....................................................................................................378
Sempena................................................................................................................383
Pada waktu............................................................................................................410
Pada Kakimu, Ibu..................................................................................................419
Semesta Memang Suka Bercanda..........................................................................431
Sebuah Rasa..........................................................................................................481
Ria dan Lara Rok Abu-Abu...................................................................................489

iv
Kisah Ambisi
Karya Agustinus Donny Wicaksono

Hari itu masih gelap, seorang anak laki-laki


bangun dari tidurnya dan bercakap-cakap dengan
Tuhannya. Berdoa di hari pertama ia masuk sekolah
menginjak tingkatan terakhir di masa putih biru. Memohon
ang terbaik dalam mengawali kelas 9. Sarapan, mandi,
dan berangkat dengan sigap demi menghindari macetnya
jalanan ibu kota di pagi hari.
“Mak, salim. Pak, ayo berangkat”
Brummm.
Dari kejauhan sekolahnya sudah terlihat,
menghela nafas sambil memikirkan siapa teman kelasnya
yang baru. Injakan pertama sebagai siswa kelas 9 di suatu
tempat yang penuh dengan ambisi. “Tuhan sertai ku” kata
yang mengawali segala perjuangannya. Ia mencoba untuk
semangat di ujung tingkatan SMP untuk berdamai dan siap
menghadapi UN. Hanya mencoba. Di saat semua sudah
mempersiapkan segala persenjataan, mengumpulkan
amunisi-amunisi, menyusun berbagai strategi, dan
memenutukan tempat berjuang yang berikutnya yaitu
SMA.
“Eh lu mo masuk mana? Galan yuk!”
“Eh 48 kuy bareng gua nanti.”

1
“Eh tarnus keren gasi?”
Kata-kata itu selalu dia dengar dan dipertanyakan
padanya. Hal itu membuatnya merasa belum tahu dan
belum mempersiapkan apa-apa. Di sisi lain dia merasa
bodoh.

2
“Eh gila kok pada ambis semua ya, klo gua ga
ambis bisa kalah ni gua.” pikirnya.
Saat itu juga dia membuat target supaya dia bisa
mendapatkan nilai yang memuaskan. Dia langsung
menargetkan berapa nilai UN nya nanti .
Di dalam hatinya berkata, “Sejelek-jeleknya niali
UN gua harus 40,00.”
Setelah pulang hari pertama sekolah itu, dia
langsung memasang angka 40 di dinding dekat meja
belajarnya. Menulis besar-besar beberapa nama SMA
favorit mulai dari 39, 8, sampai MHT. Jiwa ambisnya pun
berkobar luar biasa.
Dia sering mencari-cari beragam informasi
mengenai SMA, mulai dari standar niali UN minimal
sampai sedetail mungkin. Ia bertanya juga kepada teman-
teman dekatnya baik yang sekelas dengannya maupun
yang tidak.
“Eh lu mau masuk mana nanti SMA?”
“Bareng dong nanti SMA nya.”
“Yah bentar lagi UN.”
Percakapan yang sering dia lakukan bersama
teman-temannya dj waktu luang.
Seminggu berlalu, dia masih memegang kuat kata-
katanya. Belajar, belajar, dan belajar adalah makanan
sehari-hari baginya. Dia tak pernah telat mengumpulkan

3
tugas, tak pernah absen nilai ulangan sekitar 90, dan aktif
bertanya di kelas. Belajar kelompok adalah kesukaannya.
Ditambah lagi dia juga minta bimbel kepada orang tuanya.
Tak bisa dipungkiri kalau dia adalah orang yang
gatelan dan gampang bosan. Jiwa ambisnya mulai
meluntur sedikit demi sedikit. Ditambah lagi dia

4
ditawari untuk ikut kepanitiaan di sekolahnya. Itu
membuat dirinya bimbang. Sebuah dilema karena ia
ditawakan untuk menjadi panitia suatu acara keagamaan
oleh pengurus ekskul yang bersangkutan. Dia bingung
menghadapi hal tersebut, karena dia mempunyai target
besar yang bisa dicapai dengan jiwa ambis di atas rata-
rata. Namun, di sisi lain dia juga merasa tawaran untuk
menjadi panitia untuk acara tersebut adalah panggilan
iman. Pergumulan luar biasa yang dia rasakan, dan pada
akhirnya dia menerimanya. Sebuah pilhan yang
mempunyai konsekuensi besar dan dia mengambil pilihan
tersebut.
Waktu terus berjalan, dia menjalani hari-hari
dengan santai dan konsisten dengan komitmennya. Dia
rutin mengikuti rapat, tanpa harus izin tidak les. Dia
mengatur waktunya dengan baik sehingga semuanya
berjalan lancar.
Pada saat minggu-minggu steril kegiatan ekskul
dan non akademis dia belajar keras menghadapi TO
pertama. Dia mengikuti tambahan intensif di bimbelnya
dan belajar dengan giat. Dia pun tak lupa untuk menjaga
kesehatannya.
“Nilai gua harus bagus nih, TO pertama, gas lah!”
katanya.
Karena sistem TO menggunakan laptop, maka
nilai dapat langsung diketahui oleh dia. Hasil TO
pertamanya cukup baik dibanding siswa yang lain.
Namun, dia sedih karena merasa itu belum maksimal.

5
“34? Kok bisa sih, perasaan gua udah belajar.
Hadehhhhh.”
Alasan lain mengapa dia kurang puas adalah Hasil
TO menentukan tingkat kelas pendalam materi. Logikanya
semakin tinggi peringkat akan semakin intensif dan cepat
pembahasan materinya. Dan dia masuk ke dalam kelas
peringkat 3. Memang terlihat sebagai peringkat yang
lumayan, tapi ini perkelas, dan terdapat 36 siswa/kelas.
“Sumpah kelas ke 3, ah ANNN…dai ku bisa lebih
tekun lagi.”

6
Untungnya masih ada rasa semangat pada dirinya.
Dia belajar makin giat. Kerjaannya setiap hari adalah
bangun, belajar, tidur, dan seterusnya kembali seperti
awal.
Setelah TO pertama tersebut, dia lebih
memprioritaskan belajarnya sementara di sIsi lain dia juga
memounyai tanggung jawab atas sebuat acara besar.
“Sok lah belajar, rapat bisa izin ini kan.”
Sekali izin, dua kali izin, tiga kali izin
membuatnya jadi ketagiahan izin. Dia seolah-olah lari dari
tanggung jawab.
“Males ah, kalau gua ikut rapat nilai gua malah
jelek.”
“Hmmmmm.”
“Udah lah gausah.”
Di saat dia berpikir semakin banyak waktu
kosong, maka semakin banyak waktu dia belajar, yang
terjadi malah sebalikanya. Dia malah lebih sering bermain
HPnya, membuka laptopnya, membuka media sosial, dan
membuang-buang waktu tanpa belajar.
“Gila! Kok malah main terus ya gua. Kapan gua
belajarnya dong?”
Balik lagi dia adalah orang yang gampamg bosan.
Dia sudah mencapai titik di mana bosan belajar.

7
Dari seorang yang suoer ambis menjadi orang
yang paling malas. Dia menjadi malas baik di belajat
maupun dalam memenuhi tanggung jawabnya sebagai
panitia. Padahal acara yang berkaitan akan
diselenggarakan sebentar lagi.
“Duh gimana ya? Hadeh capek gua!”

8
Akhirnya dia berserah keoada Tuhan atas apa pun
yang akan terjadi. Dia mulai muncul kembali ke dalam
persekutuan kecil di sekolahnya. Mulai mengatur waktu
dengan baik. Menyusun porsi belajar dan waktu lainnya,
sehingga dia tidak gampang bosan.
Caranya pun berhasil. Sekarang dia dan panitia
yang lainnya rutin mempersiapkan segala halnya karena
acara tinggal seminggu lagi. Segala persiapan mulai dari
acara inti, acara hiburan, dan sebagainya.
Di dalam kepanitiaan, ternyata dia menemukan
sesuatu yang berbeda. Aura-aura romantis mulai berkobar-
kobar. Di sini dia mempunyai tantangan baru, yaitu cewe.
Mungkin karna dia yang berada di lingkungan di mana
teman-temannya hidup seperti anak-anak remaja senang
yang mempunyai seseorang yang lebih dari teman. Di
samping itu, dia juga merasakan sesuatu yang beda.
“Kok kek apa ya? Kek..kek…kek love-love gitu
lho. Kek.. ya kek gitu.”
Dia pun curhat ke temen-temennya.
“Bro gimana ni bro, yang itu tuh, uwaw luar biasa
bro. Kek ada yang zzzt gitu bro!” katanya.
“Gas aja bro, gua dukung lu kok, tapi kalo jadian
traktir-traktir lah!” sahut temannya.
“Gas bro, gas!” sahut temannya yang lain.

9
Akhirnya dia mendekati cewe tersebut. Dia
memulainya pada saat hari acara dilaksanakan. Berbagai
macam modus dilakukan. Dia juga lintar dalam mencari
celah-celah kesempatan. Sepanjang acara berlangsung,
semakin banyak kenangan yang dia buat bersama cewe
yang ditaksirnya itu.
Tak kenal takut dan malu, selesai acara dia
langsung nembak cewenya.
“duuuuarrr!”
Dan akhirnya diterima. Semua teman-temannya
bersorak-sorai dan langsung makan-makan.
Agenda pertama sudah terpenuhi, tapi muncul
juga tantangan baru. Berbagai pertanyaan yang muncul di
pikirannya.
“Kalo gua pacaran apakah masih bisa belajar?”
“Gimana si nanti kalau pacaran tu ribet?”
“Masih bisa ambis gasi?”
Selesai acara, akan diadakan TO penutup akhir
tahun. Dia belajar terus belajar. Kadang juga belajar
bareng di tempat yang nyaman.
“Hey, belajar bareng yukk!” kata si cewe.
“Kuylah! Mau di mana?” tanya dia.
“Di mana kek” kata si cewe.
Akhirnya TO pun dimulai.

10
Oke TO selesai.
Mereka pun menanyaman hasil TO satu sama lain.
Si cewe masuk dalam kelas kedu. Beda Dengan cewenya ,
dia malah turun jauh ke kelas kelima. Dia pun sedih, tapi
tak lama.
“Kelas kelima? Gila kali ya!” kata dia.
“Udah gapapa, besok-besok kita belajar bareng
lebih sering deh.ok?” tanya si cewe.
“Oooook” menjawab penuh semangat.
Ada perasaan yang berbeda dalam menerima hasil
TO pertama dan kedua. Memang cewenya itu luar biasa
baik.
Setelah libur akhir tahun, hanya tersisa beberapa
bulan lagi sebelum UN. TO demi TO berlalu begitu cepat.
Kenangan yang semakin terukir.dan selalu membuat
semangat.
Akhirnya dengan bekal ilmu yang sudah penuh
mereka siap mengerjakan UN. UN pun dimulai.
“Hah selesai”
Tak terasa UN sudah dilewatkan. Segala
perjuangan yang telah dilakukan semoga tak sia-sia.
Sampai akhirnya pengumuman hasil UN pun keluar. Dan
mereka mendapat nilai yang memuaskan bagi dirinya dan
orang tuanya. Dan tentu, dia berterimakasih kepada Tuhan.
Dalam hidup orang pasti mempunyai target.
Banyak hal yang rela dilakuin demi target Itu tercapai.

11
Selain target kita juga mempunyai tanggung jawab yang
harus dilakukan. Sebagai manusia kita harus bisa
mengimbangi hal tersebut. Dengan seimbangnya kedua hal
tersebut, kesuksesan sangat dekat dengan kita.

12
Aku Bukanlah Diriku
Karya Ahmad Hanafi

Pagi buta, mentari belum sempat menampakkan


sinarnya. Langit masih gelap, tak sedikitpun berwarna
biru. Jarum pendek pada jam di dinding masih menunjuk
angka empat. Genta Putra Pamungkas, pemuda berusia
enam belas tahun yang kurang dari dua bulan lagi genap
berusia tujuh belas tahun. Dengan kantuk yang menemani,
ia bangkit dari tempat tidurnya. Terasa berat, namun ia tak
gentar dengan rayuan manja kasur yang seakan-akan
mengajaknya untuk kembali melanjutkan mimpi indahnya.
Ia bergegas melangkah menuju kamar mandi, bersiap-siap
menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslim.
Lantas ia harus segera bersiap-siap untuk berangkat ke
sekolah.
Disiapkannya sepeda motor yang biasa ia kendarai
setiap hari. Berpamitanlah ia pada kedua orang tua yang
tentunya ia sayangi. Ditemani semilir angin pagi, ia
berangkat ke sekolah dengan semangat. Tak seperti
kebanyakan remaja saat ini yang menganggap sekolah
adalah suatu hal yang membosankan, Genta justru
menganggap sekolah adalah tempat yang menyenangkan.
Baginya sekolah adalah tempat untuk mengembangkan
minat dan bakatnya.
Nama Genta sudah menggaung di kalangan guru-
guru, entah karena kepiawaiannya dalam berorganisasi
atau prestasi-prestasinya di bidang akademik. Rasanya

13
nama Genta sudah melekat di telinga guru-guru. Tak
hanya guru-guru, namanya pun sudah terkenal di antara
siswa-siswi di sekolahnya. Bagaimana seorang ketua osis
yang biasa berbicara di hadapan para siswa tidak dikenal.
Belum lagi sifatnya yang mudah bergaul bagi siapa saja
yang ia temui, semakin besar lah peluangnya untuk
dikenal orang-orang.
Senin ini rasanya agak berbeda bagi Genta. Hari
ini dia akan menerima penghargaan dari sekolah sebagai
“Duta Siswa Anti Rokok”. Rasa bangga tentu ia rasakan,
karena sebagai seorang yang senang mengemukakan
suaranya di hadapan publik, ia dapat menyuarakan asumsi-
asumsinya tentang betapa ia menolak siswa yang merokok
dan bahaya rokok itu sendiri. “Hari ini kita akan
mengumumkan siswa yang berhasil menjadi Duta Siswa
Anti Rokok tahun ini, tak perlu lama-lama langsung saja
mari kita sambut Duta Siswa Anti Rokok terbaru kita,
Genta Putra Pamungkas” namanya pun dipanggil dan ia
berjalan menuju atas mimbar. Berdiri sejajar dengan
kepala sekolah dan disematkannya selempang sebagai
simbolis bahwa ia telah menjadi Duta Siswa Anti Rokok
tahun ini. Siswa pun bergemuruh bertepuk tangan. Meski
tak semua betul-betul memperhatikan apa yang sebenarnya
sedang berlangsung.
Dari barisan kelasnya, tiga sahabat karib Genta
bertepuk tangan seraya menyerukan namanya. Betapa
bangganya mereka melihat temannya berdiri dengan gagah
dan berwibawa diatas mimbar, disaksikan ratusan pasang
mata. Persahabatan dengan temannya itu bukanlah
hubungan yang telah berjalan dalam waktu yang pendek.

14
Rasyid, Bintang, dan Farel telah menjalin persahabatan ini
sejak mereka bertemu di bangku kelas satu sekolah
menengah pertama. Berarti terhitung sudah lima tahun
mereka bersama. Teriakan namanya pun terdengar dari
sekumpulan siswi yang mengagumi Genta, membuat
suasana pagi itu semakin ramai.
Diantara keramaian itu terdengar pula seruan-
seruan dengan maksud hanya ingin membuat kegaduhan.
Tidak lain dan tidak bukan kegaduhan itu datang dari
sekumpulan murid laki-laki yang menamai diri mereka
sebagai The Brothers. Membuat onar sudahlah menjadi hal
yang biasa bagi mereka. Apalagi yang sedang berlangsung
saat ini sangat berbanding terbalik dengan mereka. Hal
yang dilakukan siswa-siswa pembuat onar seperti mereka
yang merasa terpaksa menyaksikan pemberian
penghargaan kepada siswa selain tidak memperdulikan,
tentu hanya membuat kegaduhan. Mereka tak sebatas
perkumpulan di sekolah, tetapi juga sampai di luar
sekolah. Bolos sekolah sampai merokok pun sudah bukan
menjadi rahasia mereka yang perlu ditutup-tutupi lagi.
Tetapi diantara teman-temannya yang membuat
kegaduhan, Derry, salah satu dari anggota The Brothers
yang cukup ditakuti oleh sebagian murid itu justru hanya
terdiam. Hal yang cukup aneh dimana ia tidak turut serta
teman-temannya membuat kegaduhan. Ternyata di balik
diamnya Derry, terbesit niat buruk yang sedang ia
pikirkan. Ia ingin membuat si Duta Siswa Anti Rokok
tersebut menjadi seorang perokok. Entah bagaimana
caranya. Entah akan berhasil atau tidak, Derry ingin

15
menantang dirinya untuk menaklukan Genta yang baru
saja disematkan penghargaan yang cukup bergengsi itu.
“Congrats, ya”, ucapan selamat terlontarkan dari
ketiga sahabat karibnya yang langsung menghampirinya
setelah upacara selesai dilaksanakan. Mereka berempat
pun berjalan menuju kelas, di sepanjang jalan menuju
kelas, ucapan selamat untuk Genta terus-menerus
terdengar. Tapi diantara ucapan-ucapan selamat itu, Derry
pun ikut mengucapkan selamat kepada Genta. Aneh
mungkin bagi sebagian orang yang mendengarnya. Salah
satu dari anggota kelompok yang cukup ditakuti di sekolah
memberikan ucapan selamat kepada siswa berprestasi.
”Terima kasih, ya”, tanpa berfikir panjang Genta yang
mudah bergaul dengan siapa saja itu membalas hangat
ucapan selamat yang dilontarkan Derry.
“Gen, kok bisa Derry memberi selamat,” lontar
Farel, belum sempat menjawab, Rasyid menyeletuk
“Jangan-jangan ada apa-apanya lagi,” kata Rasyid. Dengan
cepat Genta membantah ucapan temannya itu, “Ssstt, kalo
ngomong tuh jangan sembarangan, jangan cepat membuat
kesimpulan, lagipula apa salahnya memberi selamat
kepada orang?”. Tak lama mereka sampai di kelas dan
mereka siap untuk menerima pembelajaran hari ini.
Setelah mendapat gelar keduanya setelah gelar
ketua osis ia genggam, ia menjadi lebih sibuk dari
biasanya. Kegiatannya tak hanya di sekolah saja, Genta
menjadi sering diberi tugas dari sekolah untuk acara-acara
di luar sekolah, seminar misalnya. Ternyata menjadi
seorang Duta Siswa Anti Rokok tidak sekadar penyematan

16
gelar biasa. Seorang yang menerima gelar tersebut benar-
benar harus mendedikasikan dirinya untuk sekolah sebagai
seseorang yang tidak hanya menyuarakan pendapatnya
tentang bahaya merokok, tetapi perlu bekerja secara nyata
dalam mengurangi siswa yang telah menjadi perokok di
usia muda. Lelah pun mulai Genta rasakan. Ditambah
tanggung jawab yang tidak bisa ia tinggalkan begitu saja
sebagai ketua osis dan pelajar biasa. Tuntutan pelajaran,
seperti pekerjaan rumah, ditambah lagi bimbingan belajar
di luar sekolah, ditambah lagi bebannya sebagai ketua osis,
dan kemudian ditimpa lagi tanggung jawabnya sebagai
duta sekolah. Genta pun hanya manusia biasa yang
memiliki batas. Ia mulai merasa bosan dan lelah.
Malam ini bulan bersinar terang. Bintang-bintang
pun ikut serta unjuk keindahannya. Genta duduk
memandang langit ditemani handphone nya yang tengah
memutar lagu kesukaannya. Ditemani semilir angin
malam, ia menikmati malam yang indah ini tanpa adanya
pekerjaan rumah yang harus dikerjakan. Pemuda
berperawakan tinggi berkulit kuning langsat ini juga
sambil memikirkan program-program kerja osis yang akan
ia garap ke depan bersama rekan-rekannya di osis.
Classmeeting, Campus Expo, sampai pentas seni sekolah
sedang ia fikirkan, berusaha menggambarkan akan seperti
apa acara-acara tersebut ia jalankan.
Terhitung sekitar dua jam ia habiskan untuk
memikirkan program-program kerja tersebut. Setelah itu,
ia tersadar kalau dirinya perlu mempersiapkan diri untuk
kegiatan belajar besok. Rasanya ia perlu paling tidak
membaca sekilas tentang materi yang akan dipelajarinya

17
besok supaya ia tidak terlalu buta materi, begitu fikirnya.
Dibukanya salah satu buku mata pelajaran, dibaca kata
demi kata, kalimat demi kalimat hingga akhirnya pada
pertengahan malam ia segera bergegas tidur.
Pagi pun tiba, seperti kebanyakan remaja pada
umumnya ia langsung mencari dimana keberadan
handphone nya. Betapa terkejutnya ia ketika melihat pesan
yang muncul dari layar handphone nya.
”Assalamualaikum, Genta, maaf mengganggu, sekedar
menginfokan bahwa hari ini kamu diminta kepala sekolah
untuk menghadiri acara di luar sekolah. Mohon
dipersiapkan dengan matang”, begitu pesan yang
disampaikan Bu Utami yang merupakan pembina osis di
sekolah. Betapa terkejutnya Genta ketika membaca pesan
itu. Bagaimana tidak, dia baru saja tahu mengenai
informasi tersebut. Ternyata pesan tersebut disampaikan
pada malam hari, namun Genta tak sempat membacanya
sebab ia sedang asyik belajar.
“Mah, gimana nih, tiba-tiba aku diminta sekolah
untuk datang ke acara di sekolah lain”, kata Genta yang
terlihat sangat panik. “Terus kenapa?”, tanya Ibunya.
Genta sedikit geram, namun ia tersadar memang betul
mamahnya tidak tahu menahu soal itu. “Aku baru tahu,
mah! Aku baru baca pesan dari Bu Utami pagi ini”.
Dengan sedikit senyuman, Mamah Genta berusaha
menenangkan anak satu-satunya itu. “Ya sudah, yang
penting kamu penuhi dulu, itu kan memang sudah
tugasmu, kau punya tanggungjawab disana. Jadi kamu
harus siap dengan segala resiko apapun yang kamu terima.
Kamu pasti bisa, kok! Mamah percaya sama kamu”. Kata-

18
kata mamahnya sedikit membuatnya sedikit lebih tenang
meski tak sepenuhnya menjadi tenang.
Genta memang seorang yang cukup mudah panik.
Di sepanjang perjalanan menuju sekolah dia terus
terbayang-bayang bagaimana ia akan menghadapi situasi
yang akan ia hadapi nanti. Sesampainya di sekolah, ia
disambut oleh guru-guru yang berjejer menyalami satu per
satu siswanya sambil melihat apakah mereka sudah
menaati tata tertib sekolah atau belum. Diantara guru-guru
tersebut, ada Bu Utami yang seakan-akan siap menyambut
kehadiran Genta di sekolah. “Selamat pagi, Genta. Siap ya
nanti setelah istirahat pertama kamu langsung menuju
ruang guru. Surat dispensasimu sudah disiapkan. Aman,
lah” ucap Bu Utami dengan semangat. Melihat semangat
Bu Utami, Genta justru menjadi semakin panik. “Baik bu”
ucap Genta pasrah.
Keramaian di sepanjang lorong sekolah tak terlalu
Genta hiraukan, sebab benaknya penuh karena
memikirkan bagaimana ia akan menjalani hari ini.
Sesampainya di kelas, ketiga temannya ternyata sudah
datang lebih dulu dengan alasan untuk menyelesaikan
pekerjaan rumah yang belum selesai. “Lo kenapa, Ta?
Kelihatannya agak kurang semangat, enggak biasanya lo
begini”, ucap Bintang yang berhenti sejenak dari pekerjaan
rumahnya. Genta pun menceritakan segala hal yang terjadi
hari ini. Ketiga teman akrabnya itu pun benar-benar
berhenti mengerjakan pekerjaan rumahnya dan beralih
menghadap Genta. “Serius lo? Kok bisa acaranya
semendadak itu?”, celetuk Rasyid. “Oh iya, berarti lo
enggak ikut ulangan fisika dong?” tanya Bintang. “Fisika?

19
Ulangan?” Genta kebingungan. “Iya, jangan bilang lo
kelupaan soal hal itu juga”, ucap Farel. Benar saja, Genta
ternyata juga lupa bahwa hari ini ada penilaian harian
fisika. Pikirannya semakin kacau. Sudah harus menghadiri
acara mendadak dan juga ia harus melewatkan ulangan
fisika dan berarti ia harus susulan. Pusing. Begitulah saat
ini yang Genta rasakan.
Tiba saatnya Genta untuk menunaikan tugas
mendadaknya ini. Dengan ditemani Bu Utami, mereka
berangkat menuju tempat acara tersebut. Sesampainya
disana Genta pun baru tahu kalau acara tersebut berjudul
“Group Discussion of Nowadays Teenager”. Sesuai
dengan judul yang tertera, acara tersebut adalah ajang
pertemuan dari siswa-siswa se-ibukota yang berkumpul
jadi satu dalam rangka membahas perkara-perkara yang
sering dialami remaja-remaja saat ini. Saat acara tersebut
berlangsung, Bu Utami merasakan sedikit ada yang
berbeda dari Genta. Genta yang biasa aktif menyuarakan
pendapatnya atau bertanya dalam suatu forum kini terlihat
lebih pasif dalam acara ini. Bahkan sekali dua kali Bu
Utami memergoki Genta yang sedang melamun, matanya
kosong, seakan-akan jiwanya berada di tempat yang
berbeda.
Acara tersebut memakan waktu sekitar tiga jam.
Genta yang belum mempersiapkan untuk acara tersebut
berusaha memberikan yang ia bisa, meski dari kacamata
Bu Utami ini bukan Genta yang ia kenal. Akhirnya acara
tersebut selesai. Genta dan Bu Utami kembali ke sekolah.
Meski acara ini bersifat formal dan tidak menggunakan
aktivitas fisik yang berlebih, Genta terlihat kelelahan. Di

20
sepanjang jalan menuju sekolah, di dalam mobil bersama
Bu Utami yang duduk di sebelahnya ia mulai tersadar
bahwa ia sudah terlalu disibukkan dengan aktivitas
sekolahnya. Memegang dua jabatan yang cukup penting di
sekolah ternyata begitu melelahkan baginya. Padahal ini
baru berjalan sekitar tiga minggu. Di saat bersamaan
Genta pun tersadar karena kesibukan dalam berorganisasi
ini pelajaran di sekolah cukup tertinggal.
Ternyata Genta sampai di sekolah bersamaan
dengan waktu pulang sekolah. Ketika turun dari mobil, ia
bertemu salah seorang teman dekatnya, Rasyid. Rasyid
pun dengan spontan memanggilnya. Tapi kelihatannya
Genta begitu kelelahan hingga sapaan temannya itu tak
digubris sama sekali. Bahkan senyum pun saja tidak.
“Genta kenapa, ya?” Batin Rasyid keheranan.
Tanpa lama-lama Genta ingin segera pulang.
Memeluk erat bantal kesayangannya dan segera terlelap.
Namun saat di parkiran motor samping sekolah, terlihat
ada beberapa anggota The Brothers yang tengah
berbincang-bincang dan tertawa. Diantara mereka ada
Derry yang sedang asyik menghisap sebatang rokok.
Melihat Genta dengan raut muka yang kelelahan, Derry
menghampirinya. ”Lo kenapa, bro? Kelihatannya lo
enggak beres”, ucap Derry yang masih asyik dengan
sebatang rokoknya yang belum habis itu. “Enggak, kok”
jawab Genta singkat dengan sedikit senyum kecil di
bibirnya. Lantas Genta segera mengeluarkan motornya dan
beranjak pergi.

21
Derry merasa Genta sedang berada di fase dimana
ia lelah dengan segala kesibukannya. Dengan begitu Derry
menganggap ini adalah kesempatan yang tepat untuknya
melancarkan niat buruk yang sempat terfikirkan ketika
Genta dilantik sebagai Duta Siswa Anti Rokok. Sudah
cukup muak Derry melihat Genta disanjung sebagian besar
siswa, dan guru-guru. Kini Derry ingin membuat citra
Genta buruk.
Malam harinya Genta merasa kecewa dengan
dirinya hari ini. Ia merasa bahwa dirinya sudah tak layak
memegang gelar tersebut. Namun ia teringat keluarga,
teman-teman, dan orang lain yang percaya akan dirinya.
Lantas ia menjadi sedikit lebih termotivasi karena mereka.
Mereka lah yang membuat Genta kuat dan siap menjalani
hari-hari. Sebelum tidur ia berusaha untuk mengikhlaskan
apa yang sudah terjadi hari ini dan berdoa berharap
semoga hari esok ia dapat menjalani hari dengan baik.
Pagi hari Genta bangun dengan semangat baru. Ia
siap menjalani hari ini dengan sebaik mungkin. Di
sekolah, Genta datang lebih awal. Ketika Rasyid datang, ia
pun langsung menanyakan apa yang telah terjadi kemarin
dan mengapa Genta tidak menggubris sahabatnya itu.
Tanpa bertele-tele, Genta menjelaskan segala yang terjadi
kemarin. Tentang betapa ia menjalani hari yang cukup
berat baginya dan alasan mengapa ia tidak menggubris
sahabatnya, Rasyid. Ketiga sahabatnya memahami apa
yang Genta rasakan.
Waktu terus berjalan tanpa berhenti. Hari demi
hari terlewati. Kini tak terasa sudah menginjak bulan

22
kelima Genta menjabat sebagai Ketua Osis sekaligus
memegang gelar Duta Siswa Anti Rokok. Ternyata waktu
lima bulan belakang terasa cukup baginya. Berbagai
cobaan ia terima. Entah kesibukannya yang membuat ia
menjadi sangat lelah sehingga belajarnya menjadi
terganggu, sampai ocehan guru-guru yang selalu ia dengar
setiap hari tentang kinerja osis yang menurun. Itu semua
membuatnya menjadi sangat kelelahan. Yang awalnya
Genta menyambut masa awal jabatannya dengan suka cita,
namun kini ia merasa dua jabatannya itu terasa mengikat
dadanya sampai ia merasa sesak. Rasanya ia ingin melepas
kedua jabatannya itu, namun tak bisa. Satu-satunya jalan
ialah dia harus menunggu sisa masa jabatannya sampai ada
yang menggatikannya.
Saat ini Genta menjadi pribadi yang terlihat sangat
tak bertenaga, seakan tak ada semangat lagi dalam
jiwanya. Setidaknya itulah yang menjadi perbincangan
orang-orang di sekitarnya, termasuk Derry dan The
Brothers. Jumat sore, selepas pulang sekolah, Derry secara
mengejutkan menghampiri Genta yang sedang berjalan
menuju ruang osis. “Bro…”, sapa Derry. “Eh, Derry.
Kenapa, Der?” balas Genta sopan. “Gue perhatiin akhir-
akhir ini lo kecapekan, ya?”, Genta kaget kenapa Derry
begitu memperhatikannya. “Eh enggak, kok. Kok lo
merhatiin gue, gue bukan homo, ya Der, hehehe” ucap
Genta dengan nada bercanda. ”Hahaha, enggak lah, gue
cuma mau jadi temen lo aja, enggak salah kan? Kapan-
kapan gue ajak lo main, deh, gimana?” ajak Derry halus.
“hmmm…” Genta ragu. “Sudah, enggak perlu banyak
mikir” ucap Derry sedikit memaksa. “Oke deh”, kata

23
Genta mengiyakan ajakan Derry. Genta melihat ajakan
Derry sebagai peluang untuknya melupakan sejenak beban
pikiran yang sedang berkecamuk di benaknya. Di samping
itu, Genta menganggap Derry sebagai teman barunya yang
peduli dengan keadaannya, tidak seperti ketiga orang
sahabatnya yang cenderung tidak terlalu peduli dengan
keadaan Genta saat ini.
Keesokan harinya, sesuai waktu yang telah
ditetapkan Genta dan Derry, mereka pun bertemu di salah
satu tempat makan. Saat Genta tiba, ternyata Derry telah
datang lebih awal. Tak hanya itu, Genta melihat Derry
tidak sendirian, melainkan bersama teman-temannya yang
Genta pernah lihat dan bertemu sebelumnya. Tentu saja
mereka adalah beberapa anggota The Brothers. Wajah-
wajah yang ia temui saat itu juga tidak asing karena Genta
telah beberapa kali berusuran dengan mereka guna
menjalankan tugasnya sebagai Duta Siswa Anti Rokok,
yakni mengurangi siswa yang menjadi perokok. Namun,
meskipun mereka sempat terlibat dalam sebuah urusan
yang cukup genting, saat ini rasanya mereka telah
melupakan hal itu. Di sana, mereka saling mengobrol,
tertawa, dan saling bertukar cerita. Genta juga
mencurahkan segala keluh kesah yang sedang ia rasakan
belakangan ini. Genta merasa nyaman bercerita dengan
mereka, karena mereka sangat mendengarkan dan cukup
mengerti bagaimana perasaan Genta saat ini. Di tengah-
tengah pembicaraan, Derry mengeluarkan sebungkus
rokok dan menyalakannya di depan Duta Siswa Anti
Rokok itu. Sesuai apa yang diinginkan Derry, ia pun
menawarkan sebatang rokok kepada Genta dengan kata-

24
kata yang sangat halus supaya Genta tak merasa curiga.
“Ta, ini lo kan lagi stres, ya. Lo coba deh, satu aja.
Soalnya kalau gue lagi stres, ya ini alternatif gue buat
lupain beban yang ada di otak gue”, ucap Derry halus.
Awalnya Genta menolak, karena ia seorang Duta Siswa
Anti Rokok yang benar-benar anti rokok. Bagaimana bisa
seorang Duta Siswa Anti Rokok merokok, begitu yang ada
di pikirannya. Namun, Derry dan teman-temannya tak
gentar, mereka terus membujuk Genta dengan halus.
Sampai pada akhirnya Genta pun mau menuruti apa kata
Derry dan teman-temannya. Diambilnya sebatang rokok
milik Derry dan dinyalakannya rokok itu. Aneh. Genta
merasakan sensasi yang belum pernah ia rasakan
sebelumnya. Benar saja sedikit demi sedikit ia mulai
merasa beban di kepalanya berkurang. Namun setelah
sebatang rokok habis ia tak mau lagi. Sudah cukup
baginya, ia tak ingin ada orang lain yang melihatnya.
Sejak saat itu hubungan Genta, Derry, dan
beberapa anggota The Brothers menjadi semakin erat.
Mereka sering terlihat mengobrol bersama ketika makan di
kantin. Siswa-siswa lain pun begitu keheranan. Setiap hari
Genta semakin merasa lelah, lama-kelamaan ia tak
sanggup untuk menjalankan jabatannya sebagai ketua osis
yang merangkap sebagai Duta Siswa Anti Rokok. Setiap
Genta merasa lelah, kini ia selalu menghubungi Derry. Ia
mulai ketagihan dengan rokok. Karena menurutnya setiap
ia merokok, ia lupa dengan beban-beban yang ada di
pikirannya. Kini Genta bukanlah seorang yang
mencerminkan siswa yang anti dengan rokok. Gelarnya
kini hanya sebatas omongan belaka.

25
Lambat laun tanpa Genta sadari ia kecanduan
dengan rokok. Bahkan ia tak takut untuk merokok sendiri
tanpa Derry. Melihat hal ini, justru Derry merasa senang
karena apa yang ia inginkan tercapai. Namun ia tak perlu
membeberkan hal ini karena pada suatu saat salah satu
sahabat Genta yang bernama Farel tak sengaja bertemu
Genta yang sedang bersama Derry di sebuah tempat
makan. Farel terkejut, tak menyangka temannya bisa
berbuat demikian. Tanpa berfikir panjang, dengan berani
Farel menghampiri Genta yang sedang menghisap
sebatang rokok. “Genta, maksud lo ini apa? Kok lo
merokok?”, bentak Farel. Genta dan Derry sangat terkejut
dengan kehadiran Farel. “Eh, rel. Ini enggak seperti apa
yang lo lihat, kok”, ucap Genta. “Pantes ya akhir-akhir ini
lo berubah, lo enggak seperti biasanya. Lo akhir-akhir ini
jadi kurang peduli sama sekitar lo” bentak Farel.
Mendengar ucapan temannya, Genta terdiam sesaat. Saat
itu Genta langsung menyadari kalau dirinya telah berbuat
hal yang sangat salah. Salahnya karena ia terlalu mudah
menyerah dengan cobaan-cobaan yang menerpa dirinya.
“Gue bisa jelaskan, Rel. Gue terlalu lelah dengan beban
yang menerpa gue. Satu-satunya yang bisa buat gue lebih
tenang ini, Rel. Maaf, gue memang salah”, kata Genta
meminta maaf. “Lo benar-benar bukan Genta yang gue
kenal selama bertahun-tahun. Kemana Genta yang pantang
menyerah? Lagipula kenapa lo enggak cerita ke gue,
Rasyid, atau Bintang? Lo lupa kalau kita sahabat lo?”
bentak Farel. Tak sempat Genta menjawab, Farel menyela
“Sudah lah, Ta. Sekarang terserah lo saja. Gue cuma
berharap lo cepat sadar dan pergi jauh-jauh dari lingkaran
setan ini. Sadar ta, dengan lo merokok beban lo enggak

26
akan berkurang sama sekali. Justru akan menambah beban.
Lo catat itu!”, Farel pun pergi meninggalkan Genta dan
Derry.
Bingung, Genta tak tahu harus berbuat apa. Tanpa
berpamitan dengan Derry, ia langsung pergi
meninggalkannya. Melihat ketegangan yang baru saja
terjadi antara Genta dan Farel, Derry justru tak merasa
bersalah sama sekali karena telah menjerumuskan Genta
ke hal yang salah. “Dari mana, Ta?”, tanya Mamahnya
dengan nada halus sesampainya Genta di rumah. Genta tak
menghiraukan Mamahnya, ia langsung berlari menuju
kamarnya. Pintu kamarnya ditutup dengan keras dan
dikunci. Genta perlu waktu sendirian. Ia pun terdiam
diatas tempat tidur. Kejadian yang baru saja terjadi
rasanya seperti pukulan hebat baginya. Ia tak tahu apa
yang akan terjadi besok, bagaimana ketika ia bertemu
dengan sahabat-sahabatnya karena sudah pasti Farel akan
memberitahu sahabatnya yang lain, yakni Bintang dan
Rasyid. Tanpa terasa air matanya terjatuh. Ia merasa
bodoh atas segala apa yang telah ia lakukan.
Keesokan hari ketika sampai di sekolah, ia
merasa sangat takut untuk bertemu ketiga sahabatnya. Tak
bisa ia bayangkan bagaimana reaksi sahabatnya. Tentu
mereka kecewa dengan Genta. Benar saja, ketika sampai
di kelas ketiga sahabatnya telah sampai lebih awal. Rasyid,
Bintang, dan Farel menatap Genta dengan tatapan penuh
kebencian. Untuk sementara waktu, mereka tak ingin
bersama Genta. Genta pun menerimanya, karena
bagaimana pun juga ini semua tetap kesalahannya. Hari ini
Genta menghabiskan harinya dengan rasa bersalah yang

27
amat dalam. Benaknya terlalu penuh dengan beban. Ia
sangat lelah dengan kehidupannya.
Ketika Genta sedang sendirian di kantin, Derry
menghampirinya. Namun belum sempat Derry berbicara,
Genta lebih dulu berbicara. “Der, cukup ya. Lo puas, kan?
Gue sudah enggak mau berteman sama lo lagi. Apa yang
selama ini lo tawarkan ke gue itu sesat. Enggak bener. Gue
sudah enggak mau merokok lagi”, ucap Genta dengan
nada kesal. Tanpa ia sadari, ia berbicara terlalu keras. Seisi
kantin mendengar apa yang Genta ucapkan. Dari apa yang
Genta ucapkan, siswa-siswi mengetahui bahwa seorang
Duta Siswa Anti Rokok yang terkenal itu adalah seorang
perokok. Jelas itu sangat melanggar aturan. Berita itu pun
menyebar dengan cepat sampai ke telinga guru-guru
termasuk Bu Utami. Mereka sangat kecewa dan
menyayangkan apa yang telah menimpa Genta. Pro dan
kontra pun terjadi di sekolah. Sebagian siswa ingin Genta
turun dari jabatannya karena melanggar aturan yang ada,
namun sebagian siswa juga memaklumi apa yang dialami
Genta dan memilih memberikan kesempatan kedua kepada
Genta untuk berubah menjadi sosok yang lebih baik.
Dalam situasi seperti ini Genta semakin stres.
Rasanya ia ingin pindah ke sekolah lain. Kadang terlintas
dalam benaknya untuk menyerahkan jabatan sekaligus
gelarnya. Kini Genta menjadi pribadi yang mudah
murung. Ia terbiasa sendiri karena ia merasa orang-orang
di sekitarnya memandang dirinya sebagai seorang
pembohong. Melihat keadaan Genta saat ini, ketiga
sahabatnya mulai merasa iba. Mereka tak kuasa melihat
sahabatnya jatuh dalam jurang kesedihan yang sangat

28
dalam. Rasanya kesalahan Genta saat ini tak bisa menutupi
kenangan-kenangan, kebaikan-kebaikan Genta yang telah
mereka alami bersama. Akhirnya mereka bertiga
memutuskan untuk kembali berbicara kepada Genta dan
memaafkan kesalahan yang telah Genta perbuat serta
meminta Genta untuk tidak mengulangi kesalahannya.
“Ta, kami bertiga sudah sepakat untuk memaafkan lo, tapi
lo janji lo enggak akan mengulangi kesalahan yang sama.
Dan satu hal lagi, lo harus ingat kalau lo punya sahabat
yang siap mendengarkan setiap permasalahan yang ada di
hidup lo, kita siap jadi pendengar yang baik, Ta”, ucap
Rasyid. Mendengar ucapan sahabatnya itu, Genta merasa
sangat bahagia. Genta pun berjanji untuk tidak mengulangi
kesalahan yang sama dan akan berusaha untuk menjadi
pribadi yang lebih baik lagi. “Dan kita juga ingin minta
maaf, Ta. Kalau akhir-akhir ini selama lo sedang stres kita
enggak sigap dan perhatian”, ucap Bintang. ”Kalian
enggak salah, gue yang salah. Terima kasih mau memberi
kesempatan buat gue untuk berubah menjadi sosok yang
lebih baik lagi. Gue janji”, ucap Genta haru.
Kini satu permasalahan telah usai.
Persahabatannya telah membaik. Sudah tidak ada dinding
yang memisahkan antara mereka. Namun ia masih
memikirkan bagaimana nasibnya kedepan perkara jabatan
dan gelarnya. Ia pun mencoba berbicara kepada Bu Utami,
meski sebenarnya ia takut untuk bertemunya karena ia
tahu pasti Bu Utami sangat kecewa dengan dirinya.
Ternyata hal tak terduga terjadi. Ketika Genta bertemu
dengan Bu Utami, Bu Utami segera memeluknya, air
matanya jatuh. Bu Utami tak menyangka kalau Genta

29
dapat berbuat sedemikian. Namun disamping itu Bu Utami
yakin kalau Genta tidak benar-benar jatuh dalam
kesesatan, ia tahu betul Genta tak seperti itu. “Ta, Ibu
dengan guru-guru lain dengan kepala sekolah sudah
dengar apa yang terjadi kepada kamu. Ibu tahu kamu lelah,
tapi tetap kamu tidak boleh seperti itu, Ta. Kami sudah
membahas masalah ini. Beruntungnya kamu masih
diberikan kepercayaan sebagai ketua osis. Namun gelarmu
harus segera diturunkan. Kamu tidak keberatan, kan, Ta?”,
jelas Bu Utami. “Jelas tidak, Bu. Kalaupun saya harus
dilengserkan dari jabatan saya sebagai ketua osis, saya
ikhlas, Bu. Karena memang saya sangat bersalah”. “Tidak,
Ta. Kami semua tahu kamu punya potensi yang besar.
Kami yakin kalau kamu akan memperbaiki diri. Kami
menaruh harapan besar pada dirimu, kamu harus ingat itu.
Jangan buat kami kecewa lagi, ya”, lanjut Bu Utami.
“Baik, Bu. sekali lagi saya minta maaf”, jawab Genta
dengan kepalanya menunduk.
Ternyata keputusan sudah bulat bahwa ia sekarang
sudah tidak lagi bergelar Duta Siswa Anti Rokok. Namun
itu tak masalah baginya. Dengan adanya masalah ini,
Genta dapat belajar banyak. Genta tak ingin jatuh ke
dalam lubang yang sama. Kini Genta pun menjalani
hidupnya dengan semangat baru. Meski cobaan-cobaan
akan terus ia dapat, ia dapat mengatasi masalah itu dengan
bijak. Dengan sahabat dan orang-orang yang
mencintainya, Genta menjadi pribadi yang jauh lebih baik
lagi.

30
Shinigami
Karya Aldiansyah Anugra

Rangga adalah nama seorang remaja kelas 3 SMA


di salah satu sekolah terbaik se-Jakarta, ia selalu berada di
peringkat pertama setiap ada ujian, Rangga merupakan
anak tunggal dari seorang jendral polisi yang cukup
terkenal.
Bisa dibilang ia adalah perwujudan dari manusia
yang hampir sempurna, wajahnya yang tampan dan sifat
kalemnya yang misterius membuat banyak wanita
menyukai dan penasaran akan dirinya. Namun dibalik sifat
kalemnya ia memiliki ambisi untuk menciptakan dunia
yang hanya dihuni oleh orang orang baik dan membunuh
semua pelaku kejahatan.
Suatu hari saat pulang sekolah ia menemukan
sebuah buku dengan sampul hitam yang bertuliskan
"Shinigami" atau dalam bahasa jepang berarti nama Dewa
Kematian karna penasaran ia pun mengambil buku
tersebut dan membawanya pulang.
Sesampainya di rumah ia membuka lembar
pertama dari buku Shinigami dan menemukan cara kerja
dari buku tersebut yang dituliskan menggunakan bahasa
Inggris. Di dalam buku tersebut disebutkan bila ia
menuliskan nama seseorang sambil membayangkan
wajahnya maka dalam 40 detik kemudian sang korban
akan meninggal akibat serangan jantung. Tetapi ia juga
dapat memanipulasi kematian seseorang dengan cara

31
menuliskan akibat dan waktu kematiannya kurang dari
waktu 40 detik.
Bila cara kematiannya tidak logis maka sang
korban akan meninggal dengan cara serangan jantung, bila
ia menuliskan nama seseorang tanpa membayangkan
wajahnya maka Shinigami tidak akan bekerja. Awalnya ia
menganggap bahwa buku tersebut hanyalah keisengan
seseorang, tetapi akibat rasa penasarannya yang begitu
tinggi ia pun mencoba menuliskan nama seorang penjahat
yang beritanya sedang tayang di televisi.
Penjahat tersebut sedang menyandra beberapa
orang di dalam sebuah bank, dan benar saja setelah 40
detik kemudian tiba tiba si pelaku penyandraan tersebut di
kabarkan tak sadarkan diri dan meninggal akibat serangan
jantung. Rangga yang terkejut dengan kejadian tersebut
masih juga belum yakin akan kebenaran dari buku
Shinigami miliknya.
Keesokan harinya sepulang sekolah ia kembali
melihat tayangan berita di televisi dan mencoba
menuliskan nama seorang gembong narkoba yang sedang
menjadi buronan polisi. Dan benar saja selang beberapa
jam kemudian berita tentang kematian seorang gembong
narkoba yang menjadi buronan polisi tersiar di berbagai
stasiun televisi lokal dan penyebab kematiannya adalah
serangan jantung.
Rangga yang awalnya meragukan buku tersebut
mulai mempercayai kekuatan magis yang tersimpan di
buku Shinigami. Agar lebih yakin Rangga mencoba
kembali buku tersebut namun menggunakan penyebab

32
kematian dan waktu yang ia tentukan, ia mencobanya pada
teman sekelasnya yang bernama Rafael.
Rafael merupakan anak yang sangat nakal suka
sekali membully dan menindas para adik kelas. Ia
menuliskan nama Rafael sembari membayangkan
wajahnya dan menuliskan waktu serta penyabab
kematiannya sebelum 40 detik. Rangga menuliskan bahwa
Rafael akan meninggal dikarenakan tertabrak mobil pada
pukul 15.35 dimana pada waktu tersebut sekolahnya sudah
memasuki jam pulang. Keesokan harinya ia menunggu di
depan gerbang sekolah tepat pukul 15.30 dan benar saja
tak lama kemudian ia melihat Rafael yang sedang
memalak adik kelas tepat di trotoar jalan.
Setelah diberikan uang, waktu menunjukan pukul
15.35 Rafael pun menyebrang jalan dan tiba tiba ada
sebuah angkutan MetroMini yang ugal ugalan tepat
menabrak Rafael hingga remuk sekujur tubuhnya. Rangga
yang melihat kejadian tersebut tepat di depan matanya
merasa bersalah sekaligus merasa senang karena buku
Death Note yang selama ini ia ragukan ternyata benar
benar memiliki kekuatan untuk membunuh seseorang
tanpa menyentuhnya.
Ia segera menjauh dari TKP meninggalnya Rafael
karena enggan terlibat persoalan tersebut. Dan pihak
kepolisian pun hanya beranggapan bahwa kematian Rafael
adalah murni karena kelalaian supir MetroMini yang
berkendara dengan ugal ugalan. Sesampainya di rumah
Rangga pun segera menyalakan televisi dan handphonenya
guna mencari tau nama serta wajah dari para pelaku

33
kriminal mulai dari penjahat kelas teri hingga kelas kakap.
Demi ambisinya untuk menciptakan dunia yang hanya di
tinggali oleh orang orang baik ia mulai menuliskan nama
nama para pelaku kejahatan sembari melihat foto dari para
penjahat tersebut mulai dari para koruptor hingga penjudi
semua ia tuliskan di dalam buku Shinigaminya. Dan
semua nama yang ia tuliskan meninggal dengan waktu
yang berdekatan dan penyebab yang sama yaitu serangan
jantung.
Selama berhari hari ia gunakan waktu luangnya
untuk menuliskan nama nama para pelaku kejahatan.
Akibatnya tingkat kejahatan di Jakarta pun turus derastis
akibat rumor tentang "pembunuh penjahat" yang menyebar
luas. Melihat banyaknya kematian di waktu berdekatan
dan penyebab kematian yang sama. Akhirnya polisi pun
tergerak untuk menyelidiki fenomena tersebut.
Ayah Rangga sekaligus seorang jendral polisi
yang bernama Tito pun ditunjuk untuk memimpin sebuah
misi rahasia yang bertujuan untuk mengungkap misteri
kematian para pelaku kejahatan yang di anggap ganjil
tersebut. Saking rahasianya misi tersebut, keluarga pak
Tito sekalipun tidak boleh di beritahukan tentang misi
yang sedang ia pimpin itu.
Misipun dimulai dengan skenario pemberhentian
semua berita kejahatan baik di semua koran dan di semua
stasuin televisi. Dan pihak kepolisian hanya menayangkan
satu kali pemberitaan mengenai seorang pelaku kriminal
setiap harinya di stasiun tvOne. Misi hari pertamapun

34
dimulai dengan menayangkan satu pelaku kriminal dan
sisanya merupakan berita bencana alam.
Pelaku kriminal yang di tayangkan merupakan
seorang pelaku pembunuh berantai berumur 38 tahun yang
memang sudah dijatuhi hukuman mati. Benar saja tak
lama setelah berita tersebut di tayangkan pelaku kriminal
yang dijadikan korban tersebut meninggal dikarenakan
serangan jantung. Pihak kepolisian semakin curiga namun
masih membutuhkan banyak bukti dan tetap menayangkan
satu pelaku kriminal setiap harinya selama satu minggu.
Semua pelaku yang di tayangkan pun meninggal
akibat serangan jantung dan pihak kepolisian
memberhentikan semua berita tentang pelaku kriminal di
semua stasiun tv dan surat kabar. Selama satu bulan
rangga tidak bisa membunuh pelaku kejahatan dikarnakan
ia tidak menemukan satupun pelaku kejahatan baik di
stasiun tv, surat kabar, bahkan di social media.
Rangga pun akhirnya memberanikan diri
membuka laptop ayahnya yang seorang jendra polisi guna
mencari informasi para pelaku kejahatan. Tanpa di sengaja
ia membuka salah satu file misterius di laptop ayahnya
yang berisi rekam jejak "Pembunuh Bayaran" sekaligus
foto dan identitas anggota misi rahasia tersebut. Kesal
karna merasa "misi mulia" yang ia rencanakan ternyata di
tentang oleh pihak kepolisian akhirnya rangga melenceng
dri prinsipnya yang hanya membunuh para pelaku
kriminal saja.
Ia menuliskan semua anggota misi rahasia tersebut
termasuk ayahnya sendiri, ia dibutakan oleh kekuatan dari

35
"Shinigami". Akhirnya semua anggota kepolisian yang
menjadi anggota misi rahasia tersebut meninggal secara
tak wajar. Ada yang dikarnakan terlindas kereta hingga
mati keracunan. Namun hanya ayahnya sendiri lah yang
tidak di tulis penyebab kematiannya dan akhirnya
meninggal akibat serangan jantung.
Beberapa jam setelah membunuh semua anggota
misi rahasia tersebut Rangga merasa bersalah dan
mengalami stress berat hingga akhirnya ia menuliskan
namanya sendiri di buku "Shinigami". Keesokan paginya
pihak kepolisian mulai mendapat kabar dari kematian
pihak pihak yang bersangkutan di dalam misi rahasia
tersebut termasuk Rangga.
Kasus "Pembunuh Penjahat" pun tidak pernah
terungkap sampai sekarang dikarenakan buku "Shinigami"
akan hilang jika pemiliknya mati.

36
Dara
Karya Althaf Nafi Anwar

Di sebuah desa hiduplah keluarga yang harmoni,


meskipun dengan ekonomi yang kurang. Seorang pria
bernama Joko. Dia memiliki seorang anak bernama Dara.
Dara memiliki seorang ibu, tetapi ibunya meninggal saat
melahirkan Dara. Dara merupakan anak yang unik.
Berbeda dengan teman-temannya, dia tidak pernah
bermimpi untuk pergi ke kota untuk mengejar mimpinya.
Dara merupakan seseorang yang cerdas dan memiliki
panggilan “Ayu dari Desa” karena kecantikannya.
Kesehariannya dipenuhi dengan membaca, mencuci baju,
dan memasak. Karena itu, dia memiliki sedikit waktu
untuk bersenang-senang bersama teman sekolahnya.
Satu minggu sebelum hari pertama sekolah setelah
kenaikan kelas, Dara mendapatkan berita bahwa ayahnya
berencana untuk pindah ke Jakarta. Dara pun bingung,
karena ayahnya merupakan lulusan SD yang tentunya sulit
mencari pekerjaan di kota besar. Lalu, Dara pun bertanya
pada ayahnya. Ayahnya pun menjawab “Nak, Bapak dapat
pekerjaan jadi tukang kebun di sekolah besar di Jakarta.
Nanti kamu sekolah di situ aja ya.” Dara yang awalnya
menolak pun akhirnya dibujuk oleh ayahnya untuk ikut
pindah ke Jakarta.
Hari esoknya, Dara dan ayahnya berangkat dengan
bus dan kapal menuju kota barunya, Jakarta. Dengan
waktu kurang dari seminggu, Dara mencoba

37
menyeseuaikan diri dengan kehidupan barunya di rumah
susun di Kota Jakarta. Kota yang penuh polusi, kemacetan,
dan sampah, tidak seperti desanya dulu. Di dalam hatinya,
Dara sedikit kecewa, akan tetapi dia mementingkan
keinginan ayahnya, yaitu tinggal dan kerja di kota besar
walaupun dengan pekerjaan yang sangat biasa sekalipun.
Dengan waktu kurang dari seminggu, Dara
berencana untuk mengenali daerah sekitar. Dara dan
keluarganya tinggal di sebuah rumah susun yang terpojok
dari jalan utama perkotaan. Jadi Dara harus menempuh
perjalanan 15 menit dengan berjalan untuk pergi ke jalan
utama dimana terdapatnya kendaraan umum. Saat dalam
misinya, Dara pun melihat sebuah sekolah yang begitu
megah membuat mulut Dara terbuka lebar.
Namun, di kepojokan taman sekolah, Dara
melihat seorang pria tua yang memegang sapu kebun
sedang dibentak-bentak oleh para siswi. Dia kemudian
menyadari bahwa pria yang dibentak tersebut merupakan
ayahnya sendiri. Lalu, Dara lari ke dalam sekolah dengan
bajunya yang kumuh sambil berteriak, “BERHENTI!!”.
Dengan kagetnya, semua orang di sekitar gerbang sekolah
mendengarnya, termasuk ayahnya. Tanpa berfikir lebih
lanjut, Dara mendorong siswi yang membentak ayahnya
tersebut hingga mereka pun terjatuh. Ayahnya pun
seketika menangis menghentikan Dara, dan dia
membisikannya, “Sudahlah, Nak,” Dara terdiam dan
emosinya meredam. Pada akhirnya ayahnya meminta izin
dan membawa Dara pulang. Dia lalu menjelaskan bahwa
yang terjadi adalah dia telah menghilangkan suatu barang
elektronik milik salah satu siswi tadi saat membersihkan

38
kelas. Setelah insiden tersebut, ayahnya tiba-tiba jatuh
sakit. Dara tetap tidak menerima bahwa ayahnya
diperlakukan seperti itu, karena ayahnya yang sakit dia
hanya bisa menuruti saja.
Seminggu telah berlalu, dan hari pertama sekolah
telah datang. Dengan seragamnya yang baru, Dara pun
tidak terlihat seperti anak dari desa. Untuk Kelas X
terdapat masa pengenalan lingkungan sekolah yang
diadakan selama 2 pekan penuh. Dalam 2 pekan penuh itu,
ayahnya yang sakit tidak datang bekerja ke sekolah,
sehingga Dara selalu berpergian sendirian. Dengan waktu
itu, Dara mencoba untuk mencari teman sebanyak-
banyaknya. Mengejutkannya, dia pun cukup terkenal di
kalangan murid-murid di sekolah karena keayuannya.
Tanpa menghabiskan waktu, Dara juga sudah
memiliki teman yang lumayan dekat dengan dirinya,
bernama Asri. Asri dan Dara tidak bisa terpisahkan,
mereka seperti sudah sepaket. Suatu hari, Asri
mengatakan, “Dar, gua denger rumor nih, waktu sekolah
belum mulai, ada cewe yang bajunya kumuh, terus teriak-
teriak ngebantuin si tukang kebun. Ih geli banget kan, kira-
kira siapanya si tukang kebun ya dia?”. “Terus kata
rumornya, kalo cewek itu mirip sama lo” kata Asri. Dalam
hati Dara, dia kaget, panik, dan marah sekaligus. Apa yang
akan dia lakukan jika semua orang mengetahui bahwa dia
lah perempuan berpakaian kumuh tersebut. Lalu dia pun
menjawabnya dengan santai, “ Yakali lah, Sri”. Asri pun
tertawa. Dara pun menyadari bahwa dirinya harus
menjauhi agar rumor tersebut tidak dianggap benar. Di
awal minggu ketiga sekolah, ayahnya sudah sehat dan

39
kembali bekerja. Ketika ingin mengajak Dara berangkat
sekolah, nampaknya Dara sudah berangkat terlebih dahulu.
Saat di sekolah pun ketika berpapasan, mereka tidak saling
menyapa. Walaupun ayahnya ingin sekali menyapa, dia
menahan diri di depan teman-temannya Dara untuk
kebaikan Dara sendiri. Hingga pulang sekolah pun,
ayahnya mencari Dara untuk diajak pulang namun
sepertinya Dara sudah pulang terlebih dahulu.
Karena ayahnya menghargai dan tidak ingin
menyakiti anaknya, dia tidak menanyakan apapun kepada
Dara sepulang sekolah. Perasaan Dara terhadap ayahnya
pun berubah menjadi malu, dan Dara merasa berat dan
takut untuk mengakui bahwa orang yang menyapu kebun
sekolahnya merupakan ayahnya. Takut akan rasa malu
yang dia akan hadapi. Ayahnya menyadari bahwa Dara
telah berubah, mungkin bukan untuk yang terbaik.
Setiap hari semenjak hari itu, Dara selalu
dibombardir dengan rumor oleh Asri. Dara tidak
menganggapnya aneh, dia menganggap bahwa itu
merupakan lelucon biasa yang diberikan oleh temannya.
Namun, kelamaan Dara sadar bahwa Asri semakin
menjauh dari dirinya. Akan tetapi, Dara tidak berani untuk
menanyakan alasannya. Perlahan, tidak hanya Asri, semua
temannya pun menjauh dari dirinya. Jauh dari semua
temannya, Dara merasa gelisah. Dia memeberanikan diri
untuk menanyakan pada Asri. “Sri, gua udh salah apa sih
sampai semuanya gamau ngomong lagi?” tanya Dara. “Lu
bukan anaknya tukang kebun kan?” Asri balik bertanya.
“Bukan lah Sri, masa gua anak tukang kebun.” jawab
Dara. Asri pun meninggalkan Dara dengan muka kecewa

40
tanpa berbicara sepatah kata. Dara yang ditinggal seperti
itu tentunya heran danhanya membuatnya menjadi
semakin gelisah. Semua temannya dia tanyakan dan
mereka hanya menanyakan hal yang sama seperti Asri.
Dara pada akhirnya mengasumsikan bahwa
mereka tahu kebenarannya. Bahwa tukung kebun tersebut
merupakan ayahnya. Dara sekali lagi memberanikan diri
untuk berbicara kepada Asri. Dia lalu mengakui bahwa
ayahnya merupakan tukang kebun sekolah mereka, dan
perempuan dengan baju kumuh tersebut merepakan
dirinya sendiri. Asri kemudian, anehnya, memberikan
Dara senyuman gembira. “Kamu enggak kaget Sri?” tanya
Dara. “Ya, enggak lah.” Jawab Asri. Raut muka Dara pun
berubah dari yang awalnya takut dan kaku. Asri
melanjutkan “ Sebenarnya selama ini gua tau karena hari
itu ada kakak gua di sekolah dan gua diceritain.” Dengan
kagetnya, Dara berkata “Jadi, selama ini kamu ta—“ Dara
yang tidak mengetahui hal tersebut kaget sekaligus
bingung. “Dar, sebagai pelajar seumuran kita pasti pengen
punya temen sebanyak-banyaknya, tapi hal itu gak
sebanding jika kita harus ngejauhin orang tua. Gua paham
lu takut dinilai sama orang lain di sekolah ini karena ayah
lu seorang tukang kebun. Tapi menurut gua orang tua
adalah seseorang yang sama sekali enggak bisa dinilai dari
luarnya. Jadi, waktu itu pas gua cerita pertama kali sama lu
sebenernya gua nguji lu orang seperti apa.”
Saat itu juga Dara menangis di hadapan Asri. Dia
menyadari bahwa apa yang dia lakukan salah, dan ingin
memperbaikinya. Setelah kejadian tesebut, walaupun
memang ada sekelompok siswa yang menilainya, Dara

41
tetap teguh dan bangga akan ayahnya yang merupakan
seorang tukang kebun. Semenjak hari itu Dara mulai
berpergian dengan ayahnya tanpa rasa malu, dan mereka
bahkan menyapa jika bertemu di halaman sekolah. Teman-
temannya pun bergelondongan ikut datang kembali
melihat dara yang sudah bisa berubah.

42
Comfort
Karya Angela Geraldine

Tepat jam 7 pagi hari alarm meja digital milik


Luna berdering, bunyinya memenuhi seisi kamar. Tidak
seperti biasanya alarm itu tepat waktu. Luna mengulurkan
tangannya ke atas permukaan nakas mencoba meraih
tombol di layar alarm. Berhasil mematikan alarm, Luna
kembali melanjutkan tidurnya hingga tak lama kemudian
ia mendengar pintu kamarnya terbuka. Luna menghela
napas dan menyingkirkan selimut yang menutupi
tubuhnya. Dengan mendengar suara hentakan kakinya saja
ia sudah mengenali orang itu.
“Boleh kupinjam sepatu yang kamu beli minggu
lalu itu? Hari ini kelihatannya akan hujan jadi aku ingin
jogging lebih pagi. Kenapa kamarmu bisa tiba-tiba rapih
padahal terakhir kali aku kesini aku hampir tidak bisa
melihat lantainya. Ah sudahlah cepat bangun dan carikan
sepatunya‒ Omong-omong kemana saja kamu seharian
kemarin? Sepertinya banyak sekali tas belanjaan di sofa
ruang tengah. Oh iya apa barang yang aku pesan ke
temanmu sudah dikirimkan? Kalau belum, bilang…”
Sambil jalan memutari kamar Luna, laki-laki
berumur 17 tahun itu mengoceh tiada hentinya. Namanya
Apollo, dipanggil Polo, saudara kembar Luna, berbeda 6
menit waktu kelahirannya dengan Luna. Luna menghela
napas untuk kedua kalinya, beranjak dari tempat tidurnya,
dan mengambil kotak sepatu yang dicari kakak kembarnya

43
itu. Saat Luna memberikan sepatunya, kakaknya masih
saja berkicau. Hal itu sudah biasa untuk Luna, dan
biasanya Polo akan berhenti saat apa yang ia butuhkan
sudah didapat. Dan seperti biasanya Polo berhenti
berbicara untuk sesaat. Ia menatap Luna, tersenyum, dan
berkata,
“Jam 8 aku sampai dirumah, baru kita sarapan
bersama, oke?”
Luna menatap kakaknya dengan tatapan malas dan
menjawab “Ya, baik, terserah.”
Dengan sengaja Polo menepuk halus ubun ubun
Luna dengan kotak sepatu dan akhirnya keluar rumah
untuk jogging.
Keluarga Luna bukan keluarga yang biasa dilihat
di drama televisi kabel atau di acara reality show yang
penuh dengan tragedi, permasalahan dan sebagainya.
Keluarga Luna sederhana, ayahnya seorang pegawai
swasta, dan ibunya sudah pensiun dari pekerjaannya
sebagai kepala koki di restoran ternama dan memilih untuk
menjadi aktivis. Sudah dari akhir bulan Mei kemarin,
kedua orang tua Luna pulang ke kampung halaman untuk
menjagai neneknya yang jatuh sakit. Sedangkan Luna dan
Polo yang masih bersekolah terpaksa berpisah dengan
orang tua mereka untuk sementara waktu. Orang tua
mereka meminta tolong pada kakak dari ibu Luna untuk
mengurus rumah dan menjaga Luna dan Polo sampai
situasi membaik. Kakak dari ibu mereka, atau yang sering
mereka panggil “Tante Sam” adalah anak angkat dari
keluarga ibu Luna. Samantha sudah bekerja sebagai

44
penulis freelance selama 15 tahun. Enam dari belasan
buku yang ia sudah terbitkan berhasil masuk dalam “The
New York Times Bestseller”. Tetapi tidak banyak orang
yang mengenali Samantha karena bukanlah nama
“Samantha Anne” yang tercantum pada buku-buku
terbitannya, melainkan ia menggunakan nama penulisnya.
Ya, mungkin jika dilihat lagi, keluarga Luna memang agak
tidak biasa.
Hari ini adalah hari terakhir liburan musim panas,
kemarin Luna menghabiskan waktunya untuk shopping
spree bersama Eva dan June sahabatnya yang tinggal satu
blok denganya. Hari ini, seperti hari terakhir liburan
musim panas tahun lalu, Luna berniat untuk bersepeda
sendiri mengelilingi kota dan sorenya melihat matahari
tenggelam di pelabuhan. Tetapi, melihat kakaknya yang
bersemangat pagi tadi, Luna sudah tahu kalau Polo akan
mengganggu rencananya hari ini.
Pukul 7.45 Luna selesai membersihkan diri, ia
turun ke dapur untuk sarapan. Melihat rumahnya yang
gelap dan kosong, Luna menyadari Tante Sam sudah pergi
untuk event pameran buku. Luna membuka kulkas dan
mengambil bahan-bahan untuk membuat ham sandwich.
Baru setelah ia meletakkan alat dan bahan di meja dapur,
terdengar suara pintu depan rumah terbuka. Dengan muka
datar Polo melepas sepatu joggingnya dan menuju ke
dapur. Luna melirik paper bag coklat McDonalds’
ditangan Polo.
Luna tersenyum cerah dan berkata, ”NAH, GITU
DONG, tahu aja sih aku lagi pengen junk food pagi-pagi”

45
Dengan lelah Polo menjawab “ya, ya, ya”,
meletakkan makanan di meja makan lalu berkata lagi,
“Tunggu dulu ya, jangan langsung dimakan, aku mau ke
kamar dulu ganti baju oke?”
“Yaudah sana cepetan”, jawab Luna.
Setelah ganti baju Polo bergegas kebawah dan
melihat Luna yang sudah membuka bungkusan
McDonalds’ bagiannya.
“Dasar ga sabaran, makanya kemarin makan
malam jangan langsung tidur aja”, kata Polo.
Luna tidak menjawab dan langsung melahap
dengan rakus. Polo duduk dengan tenang sambil membuka
makanannya.
Sambil menghabiskan sarapan mereka, Polo
membuka percakapan, “Hari ini aku mau lihat kontes
hewan peliharaan di balai kota, temani aku yuk”
“Gak bisa, aku sudah ada rencana lain” jawab
Luna.
“Ya ampun, paling juga rencananya itu keliling
kota naik sepeda, baca buku di kafe, atau ga bengong-
bengong ngeliat kota yang membosankan ini”
“Lho? Memangnya kenapa? Kan juga lebih bosan
cuma liat kontes hewan, itu juga cuma liat, ikutan aja
enggak” jawab Luna sedikit kesal.
“Nggak bosan-bosan banget kok, lagian kan
hewannya lucu bukan seram”

46
“Oh gitu ya, yaudah.” balas Luna sinis.
Keduanya terdiam sejenak, lalu Polo memulai
lagi, “Yasudah, gini aja, kontesnya kan mulai jam 9,
gimana kalau kita naik sepeda kesana terus nonton
sebentar habis itu aku temanin kamu keliling kota”
“Memangnya kenapa sih? Harus banget ditemanin
nonton kontes hewan doang? Adik tetangga depan rumah
yang umurnya 7 tahun aja nonton sendiri kesana naik
skateboard”
Polo terdiam sejenak dengan ekspresi bimbang.
“Itu loh sebenarnya, mantan pacar aku yang tinggal 3 blok
dari sini, dia ikut kontesnya. Aku cuma ingin liat anjing
beaglenya yang selalu dia omongin itu hehehe”
“Halah alasan, maksudnya mau liat anjingnya atau
liat ceweknya ini?”
“Hmm, gatau juga, mungkin nanti liat dua-
duanya”
Luna sudah selesai dengan sarapannya, ia
membersihkan sisa makanan dan sampahnya, lalu sambil
berdiri ia menjawab, “Yasudah, iya, nanti aku temanin
deh, kasihan juga ngeliat kakak aku ini yang susah cari
pacar baru”
“Okelah makasih Lu, emang ga salah aku milih
saudara yang bisa dimanfaatin”
“Ck, diam aja deh sebelum aku berubah pikiran”,
jawab Luna.

47
Polo mengikat tali sneakersnya dan menghampiri
Luna yang sudah menunggu di pertigaan blok memegang
dua sepeda. Mereka bersepeda santai ke balai kota selama
5 menit. Sesampainya disana, kontes sudah dimulai,
berbagai macam hewan peliharaan bertebaran di halaman
rumput balai kota.
Polo melambaikan tangannya, “May!! May! Aku
disini”.
Perempuan berambut hitam menggunakan
bandana berlari menghampiri Polo sambil tersenyum
lebar.
“Aku kira kamu cuma bercanda pas bilang mau
nyemangatin anjingku”.
Luna memperhatikan mata Maya yang
menghilang membentuk bulan sabit ketika ia tersenyum.
“Tadinya aku juga lupa kesini tapi tadi aku
kebetulan lewat didepan sama Luna sambil naik sepeda”,
Polo menjawab dengan malu-malu.
Luna memutar bola matanya terhadap kebohongan
Polo tadi.
“Oh iya Maya, perkenalkan ini Luna saudara
kembarku, Luna perkenalkan ini–”
“Udah kenal kok”, Luna menjawab lalu tersenyum
ramah ke Maya.
“Iya kan kita pernah satu kelas juga”, kata Maya.
“O-oh begitu ya heheh”, kata Polo.

48
Sementara Polo dan Maya bercakap-cakap, Luna
yang tidak mengerti pembicaraan mereka lebih memilih
untuk duduk di bangku taman. Luna menghela napas lelah.
Belum ada setengah hari, tapi Luna sudah merasa kantuk
di matanya. Matahari pagi bersinar kearah kedua mata
Luna. Ia mengeluarkan topi putih dari sling bag yang ia
bawa lalu mengenakannya. Luna merasa bosan dan
mengarahkan matanya keliling halaman balai kota hingga
ke jalan depan.
Sepuluh detik ia mengamati keadaan sekitar
mencari sesuatu untuk menghibur matanya. Luna
mengarahkan pandangannya ke seorang laki-laki berumur
16-17 tahun yang berdiam diri di tengah trotoar jalan
memandang atap gedung berlantai tujuh. Luna
mengalihkan pandangan ke jam tangannya, “12 menit”,
bisik Luna ke dirinya. Sudah 12 menit lelaki itu berdiam di
posisi yang sama. Luna terus memperhatikan lelaki itu
sambil sesekali melirik jam tangannya. Karena frustasi
melihat lelaki aneh itu, Luna akhirnya menghampirinya.
Kelihatannya Polo juga masih asyik mengobrol jadi apa
salahnya Luna menggiring sepedanya menuju lelaki itu
dan menepuk pundaknya,
“Hei”, sapa Luna.
Lelaki itu tersentak, matanya membulat. “Hah?”
jawab lelaki itu.
“Memangnya ada apa disana?”, tanya Luna sambil
menunjuk kearah pandangan lelaki itu tadi.

49
“H-hah?? Apa?”, lelaki itu terlihat masih shock
karena Luna yang tiba-tiba datang.
“Dari tadi aku lihat kamu diam saja memandangi
atap gedung itu, jadii aku tanyaa, memangnya ada apa
disana?”, jelas Luna pelan-pelan sambil tersenyum.
Ekspresi lelaki itu kembali datar. “Ohh nggak.”,
jawabnya singkat.
Luna merasa canggung karena mendapat jawaban
yang singkat, ia tidak tahu harus melanjutkan dengan apa.
“Luna”, katanya sambil menjulurkan tangan
kanannya.
Lelaki itu menatap tangan Luna lalu beralih
menatap mata Luna dengan ekspresi dingin. Keduanya
saling bertatapan selama beberapa detik hingga lelaki itu
berjalan meninggalkan Luna. Sejenak Luna tidak sadar
akan keadaan, tapi ia kemudian ikut berjalan dibelakang
lelaki itu.
“Maaf, tadi aku gak maksud untuk gak sopan atau
gimana, maaf juga kalau tadi kamu kaget karena aku”,
kata Luna yang terus berjalan mengikuti lelaki itu tepat
dibelakangnya.
“Tadi aku cuma penasaran soalnya aku ngeliat
kamu cuma diam a–”
“Kalau memang gak mau ganggu lalu kenapa dari
tadi ngikutin aku sambil ngomong gak jelas? Bukannya itu
malah lebih ganggu ya?”, kata lelaki itu sambil terus
berjalan tanpa melirik kebelakang.

50
“Tapi kan aku cuma mau minta maaf, gak enak
juga kalau per–”, lagi-lagi perkataan Luna terpotong, kali
ini karena lelaki itu yang tiba-tiba saja memberhentikan
langkahnya dan membuat kepala Luna menabrak
punggungnya.
Luna terheran dan melihat ekspresi lelaki itu yang
kelihatan sedikit panik. Luna melihat ke arah pandangan
mata lelaki itu sambil berkata, “Ada ap–”.
Laki-laki itu berbalik badan dengan satu putaran,
mukanya pucat. Ia berlari menabrak bahu kiri Luna
menuju ke celah gang disamping tempat mereka berdiri
tadi. Melihat reaksi lelaki tadi, Luna mengira ada hal
menakutkan didepan sana, ia jadi ikut berlari mengikuti
laki-laki itu,
“Eh ada apa sih? Tunggu sebentar dong! Aku jadi
takut juga nih”, teriak Luna.
Laki-laki itu sampai terlebih dahulu di celah gang
sempit disamping gedung tadi. Nafasnya tersengal-sengal.
Ketika Luna yang menyusulnya sampai, laki-laki itu
kembali kaget.
“Kau ini kenapa sih!”, sentak lelaki itu. “Dari tadi
gak berhentinya ngikutin aku. Kamu ini stalker ya?”, kata
lelaki itu setengah berteriak.
Luna gagal mencoba untuk menjawabnya karena
nafasnya yang tersengal-sengal dan jantungnya yang
berpacu kuat. Luna hanya mengibas-ngibaskan tangannya
dengan artian ‘bukan’ atau ‘tidak’. Mereka berdua terdiam
selama 2-3 menit untuk mengambil nafas.

51
“Nicholas”, katanya dengan tatapan tajam.
“Panggil saja Nic”,sambungnya.
“O-oh halo Nic”, sapa Luna tersenyum canggung.
“Tadi itu siapa? Kamu sedang dicari orang ya?”
Nicholas menatap tajam Luna, Ia seperti sedang
membaca pikiran Luna atau mungkin juga dia sedang
berpikir. Selama kurang lebih 5 menit ia menatap Luna.
Nic menghela nafas. Ia berdiri, lalu melanjutkan,
“Ayo. Kamu mau disini atau mau ikut aku?”,
katanya sambal berjalan ke arah selatan gang yang
berakhir di jalan pintas kecil menuju kompleks rumah.
“Aku juga bawa sepeda. Kalau kamu mau nanti
aku jawab semua pertanyaanmu di tempat lain”, lanjut
Nic.
Luna berpikir sejenak. Ia mengamati tubuh Nic
dari belakang. Nic tidak terlihat seperti orang yang akan
membawa dia kesuatu tempat lalu menculiknya,
mebunuhnya, lalu menggergaji tubuhnya menjadi
potongan kecil-kecil, lalu menjual isi organnya dengan
harga mahal. Wajah Nic terlihat familiar bagi Luna, tapi
Luna tidak bisa mengingat dimana ia melihat wajah itu.
Rambutnya ikal pendek. Matanya bulat, berwarna hazel
dibawah sinar matahari. Kulitnya pucat membuatnya
terlihat lemah ditambah dengan tubuhnya yang tegap,
kurus dan agak pendek jika dibandingkan dengan remaja
seusianya, tapi tetap lebih tinggi daripada Luna. Sementara
Luna memutar otaknya mencari alasan mengapa Nic tiba-

52
tiba memperlakukannya dengan baik, Nic yang sudah tiba
di pengujung gang menyentak Luna,
“Hei! Kamu mau ikut apa tidak!”
Luna terbangun dari lamunannya. Katanya dalam
hati, “Ah gak ada ruginya juga kalau aku menghabiskan
waktu sebentar kan? Maksudku what could possibly go
wrong, right?”
“Iya aku ikut. Tunggu sebentar!”, Luna
mengangkat sepedanya yang jatuh didepan gang dan
menggiringnya ke tempat Nic berdiri.
Ketika Luna sampai di ujung gang, Nic sudah naik
ke sepedanya.
“Loh? Itu darimana? Kayaknya tadi gak–”
“Berisik. Emang semuanya harus dikomentarin
ya?”, potong Nic.
Luna terdiam. “Mmm, yasudah maaf”
Nic menatap Luna lagi. Ia menghela nafas, lelah
akan mulut Luna yang tidak bisa diam.
Nic mulai mengayuh sepedanya, sementara Luna
mengikuti dibelakangnya. Udara pagi musim panas
menerpa halus pipi Luna. Setelah musim dingin, musim
panas adalah musim favorit Luna. Memang keduanya
sangat kontras. Luna menyukainya bukan karena langit
biru cerah saat musim panas atau salju putih yang
menyelimuti jalan depan rumahnya. Tapi sebatas karena
dua musim itu adalah yang mempunyai libur terpanjang.

53
Rambut lurus panjang Luna yang diikat dua
dibelakang berterbangan sesuai dengan pacu sepedanya.
Sesekali Luna membenarkan posisi topinya yang hampir
jatuh. Sling bag miliknya diletakkan di keranjang depan
sepeda. Jalanan ini masih dikenali Luna. Itu tandanya
mereka masih ada didalam kota.
Perlahan-lahan kayuhan sepeda Nic melambat. Ia
berhenti di depan sebuah sebuah toko buku yang sudah
ditinggal pemiliknya. Tulisan banner
‘DISEWAKAN/DIJUAL’ bisa dilihat jelas dari kejauhan.
Lampu neon bertuliskan ‘Hobbit Hall’masih menyala dan
kelihatannya tidak pernah lagi dimatikan. Rak berisi buku-
buku tua terlihat dari jendela kaca toko.
“Mau ngapain disini?”, tanya Luna.
Nic berbalik, ia tersenyum. Luna sedikit kaget. Itu
pertama kalinya ia melihat Nic tersenyum. Walaupun
senyuman itu terlihat tulus, tetap saja Luna berusaha
mencari maksud tersembunyi dari senyum itu.
“Nanti lihat saja didalam”, katanya, masih
tersenyum.
Nic membuka pintu masuk kaca toko itu. Bunyi
lonceng kecil tanda pintu toko dibuka terdengar. Sinar
matahari luar yang masuk tidak cukup untuk mata bisa
melihat isi dalam toko. Nic masuk dan memberi jalan bagi
Luna untuk masuk. Setelah mereka masuk, Nic menutup
pintu, lalu menyalakan lamput. Tidak seperti tampak luar
toko yang terlihat kotor dan terlantar, interior bertema
vintage di toko ini membuat Luna tercengang. Mulutnya

54
sedikit ternganga melihatnya. Lantai toko ini sangat
berdebu dan banyak sarang laba-laba di sudut-sudut
dinding. Tapi rak-rak tua tempat buku-buku singgah masih
terlihat kuat kokoh.
“Ehem, jadi toko ini dulunya milik kakek-
nenekku. Jaman dulu sekali, mereka pindah ke kota ini
yang masih sedikit penduduknya. Profesi keduanya
penulis jadi secara alami mereka langsung terpikir
membuka usaha toko buku”, suara rendah Nic memenuhi
isi toko.
Luna menatap wajah Nic yang tersenyum sedih
melihat sekeliling toko. Luna membuka topi putih yang
dari tadi menutupi setengah mukanya.
“Sudah dari dulu namanya Hobbit Hall?”, tanya
Luna.
“Hmm?”, Nic terbangun dari lamunannya yang
sebentar lalu beralih menatap Luna.
Tatapan mereka bertemu. Nic meneliti wajah Luna
dan ekspresinya berubah beku, matanya bulat, seperti
kaget. Luna menatap Nic aneh. Ada apa sih memangnya
ada laba-laba atau sesuatu di mukaku?
“HEI!”, sentak Luna membangunkan Nic.
Nic tersadar kemudian berdehem, kepalanya
berputar ke samping kembali melihat isi toko “Mmm, iya
dulu kakekku yang menamai tokonya ‘Hobbit Hall’, dan
gak pernah diganti lagi sama pemilik-pemilik
selanjutnya”, jawab Nic.

55
“Kenapa Hobbit Hall?”, tanya Luna.
“Entahlah”, jawab Nic singkat.
Nic berjalan menyusuri isi toko dan berhenti di
depan rak buku di sisi paling kiri toko. Ia duduk di
depannya. Luna menghampiri Nic dan ikut duduk
disampingnya.
“Dulu sewaktu kecil, kalau orang tuaku kerja, aku
selalu main disini”, kata Nic sambil menyusuri buku di
barisan bawah rak.
“Anak satu-satunya ya?”, tanya Luna.
Nic terdiam sejenak, lalu menjawab, “Iya
begitulah”
“Hoooh”
“Semenjak ada kabar toko ini udah lama gak
ditempatin lagi, aku jadi sering menghabiskan waktu disini
kalau lagi gak ada kerjaan”
“Sedih banget sih, kayak gak punya teman aja”,
celoteh Luna.
Nic menatap sinis Luna.
“EHH nggak kok cuma bercanda, maaf maaf”,
Luna tersenyum canggung.
Nic berdiam menatap buku ditangannya dengan
tatapan kosong.
“Tapi aku lebih suka orang-orang yang diam dan
gak banyak omong”, kata Luna.

56
“Mereka itu selalu kelihatannya lebih pintar, lebih
berwawasan, dan kalau ngobrol sama mereka gak pernah
bosen, karena mereka tahu banyak hal tentang dunia dan
pengalaman. Orang-orang kayak mereka juga lebih
mengerti diri mereka sendiri jadi bisa dimintai saran.
Pokoknya cocok untuk dijadikan sahabat”, kata Luna
tersenyum.
Nic beralih kembali menatap Luna dengan
ekspresi datar. Tatapannya seperti menusuk ke dalam
pikirannya. Ia seperti sedang berpikir.
Nic menarik nafas paling dalam. Ia meraih telapak
tangan Luna lalu berdiri. Luna pun ikut berdiri.
“Ini”, kata Nic sambil menyerahkan buku yang
dari tadi ia genggam ke tangan Luna.
“Aku pinjamkan ke kamu meskipun kamu gak
mau. Pokoknya kamu simpan aja sampai aku minta lagi,
oke?”, lanjut Nic.
“Tapi aku gak suka baca buku”
“Loh? Kan aku bilang meskipun kamu gak mau
kamu harus tetap simpan sampai aku minta lagi”
Nic melepaskan tangan Luna kemudian berlalu
keluar toko. Ia mendirikan sepedanya yang tadi ia biarkan
jatuh di jalan.
“Aku lapar, ayo makan”, kata Nic dari luar toko.
Luna melirik jam tangannya. Ia tidak sadar
lamanya mereka bersepeda tadi.

57
“Tapi aku belum lapar”, jawab Luna sambil
menyusul Nic di luar.
“Aku gak nanya”, balas Nic singkat.
“Ck, dasar”, Luna memasukkan buku itu ke tas
lalu menyusul Nic yang sudah di depannya.
Matahari siang sudah mulai membuat Luna
kelelahan. Ia berhenti sejenak dan meminta Nic untuk
istirahat sebentar. Tapi Nic tidak menghiraukannya, tidak
sedikit pun ia berhenti untuk melihat ke arah Luna.
Nic berhenti di depan restoran Jepang yang
memang cukup terkenal di kota kecil ini. Nic
mengarahkan pandangannya ke menu street food yang
tetera di papan depan restoran. Luna yang sudah
bercucuran keringat akhirnya sampai di belakang Nic.
“Dasar udah gila ya? Siang panas-panas begini
mau makan ramen? Udah deh ayok aku tahu tempat lebih
bagus”, keluh Luna.
Sambil memarkir sepedanya, Nic menyuruh Luna
untuk melakukan hal serupa. Entah kenapa Luna menurut
saja. Lalu Nic meraih pergelangan tangan Luna dan
menyeretnya masuk. Luna hanya bisa membuang nafas.
Sementara Luna mencari tempat duduk, Nic
memesan makanan untuk mereka berdua. Karena
restorannya penuh, Luna mendapat tempat duduk di teras
luar. Ia kembali mengeluh karena harus kembali bertemu
dengan udara panas di luar. Selama menunggu, Luna

58
mengecek ponselnya dan mendapat 5 pesan dari Polo dan
2 pesan dari Tante Sam.
Pesan dari Polo yaitu, [10.03] “Kamu dimana
kontesnya udah mulai dari tadi ini’, “Kalau kamu cari aku,
aku ada di samping tenda merah ya~”. lalu [10.47] “Kalau
kamu gak balik kesini aku juga mau pulang aja deh
heheh”, “udah capek tadi abis nyemangatin Cara”. Lalu
yang terakhir yang baru terkirim lima menit lalu [11.15]
“Katanya Tante Sam titip pesan coba buka chatnnya”
Kemudian pesan dari Tante Sam yaitu, [10.58]
“Luna, nanti Tante mau mampir ke toko baju langganan”,
“Kemarin kamu bilang mau beli dress yang kayak gimana
biar Tante beli sekalian”
Nic tiba di meja membawa makanan yang ia pesan
dan melirik ke ponsel Luna yang mengetik sambil
tersenyum kecil.
“Aku makan duluan ya”, kata Nic.
“Ya terserah”, balas Luna.
Nic mengambil sendok dan garpunya dan mulai
menyantap makan siangnya. Sebentar dia kembali
menatap Luna.
“Tidak sopan loh, sudah diajak makan, ditraktir
pula, tapi malah asyik main ponsel.”, kata Nic datar.
Luna selesai memainkan ponselnya, kemudian
menatap Nic.

59
“OOOHH ini traktiran ya, maaf deh kalau gitu Ni-
cho-las hehehe, terima kasih banyak atas makanannya~”,
kata Luna sarkas, lalu mulai memakan makanannya.
Nic tidak menjawabnya. Mereka pertama kali baru
bertemu beberapa jam yang lalu tapi kelihatan sudah
akrab. Luna tidak mengeluh tentang makanan yang panas
karena sudah ditraktir oleh Nic. Mereka berdua makan
tanpa mengeluarkan kata-kata.
Luna selesai makan duluan. Ia memang sudah
terbiasa makan cepat tidak peduli makanan itu banyak,
enak, atau tidak enak. Luna bersandar di bangkunya.
Tatapannya tertuju ke gedung yang dilihat oleh Nic tadi
pagi. Lalu ia teringat kalau Nic belum menjawab
pertannyaannya. Melihat Nic yang belum selesai makan,
Luna memutuskan untuk menahan mulutnya sampai Nic
selesai.
Setelah Nic selesai makan. Luna tersenyum.
“Jadi kapan kamu mau jawab pertannyaanku?”
“Nanti saja”
“Ck, nanti kapan lagi? Memangnya mau sampai
kapan kita disini”
Nic terdiam. “Ada dua tempat lagi kok, gak usah
khawatir”, kata Nic tersenyum palsu.
“Maksudnya? Memangnya aku ini apa? Bibi
penjaga kamu? Enak aja nyuruh temanin kemana-mana”

60
“Bukannya kamu duluan ya yang ngikutin aku?
Kok sekarang jadi aku yang salah? Lagi pula kalau kamu
emang gak mau ikut, dari tadi aku kasih kebebasan buat
pergi kok, memangnya dari tadi kamu diborgol atau
gimana?”, jawab Nic.
Luna terdiam. Memang dari tadi Luna bisa saja
pergi, tapi entah kenapa Luna terus mengikuti dia.
Mungkin Luna hanya bosan kalau sendirian.
“Ehem, sebenarnya gini. Selama musim panas ini
aku punya ‘bucket list’, nah salah satu isinya itu cari teman
baru. Jadi mak–”, penjelasan panjang lebar Luna terpotong
karena tatapannya bertemu dengan tantenya yang hanya
Tuhan tahu kenapa ia ada disitu.
“Luna? Ngapain disini”, kata Tante Sam dari
seberang pagar pembatas teras restoran.
Tante Sam menghampiri meja Luna dan Nic. Luna
menatap Sam dengan heran. Sementara Nic hanya
memperhatikan wanita berumur kurang lebih 38 itu yang
dengan repot membawa tas belanjaannya.
“Loh? Tante yang ngapain disini. Bukannya tadi
bilang mau beli dress?”, tanya Luna.
Sam hanya tersenyum lebar sambil mengangkat
tangan kirinya yang memegang paper bag putih. Mulut
Luna membulat seakan mengucap kata ‘O’. Sam beralih
pandangan ke Nic yang dari tadi juga melihat Tante Sam.
“Halo, Aku Samantha, Tantenya Luna”, Sam
melambaikan tangan ke Nic.

61
“Aku Nic”, jawab Nic tersenyum.
“Tadi tante juga mau makan disini kebetulan
sekali ketemu kalian”, tidak berhentinya Sam tersenyum.
“Nah Luna, karena kamu kebetulan disini jadi
tante gak usah telepon lagi. Tolong bawa pulang mobil
tante ke rumah ya, soalnya habis ini tante mau dijemput
teman tante pergi jenguk teman di rumah sakit”, kata Sam.
“Iya deh, emang wanita karier tuh selalu sibuk
ya”, balas Luna.
“Ih kamu tuh, nanti juga kamu jadi wanita karier.
Nanti kamu rasain enaknya kalau udah sukes itu”
“Iya deh doain aja kalau sukses”
“Iya iya. Yaudah kalau kalian udah selesai, mobil
tante ada di parkiran ya, ini kuncinya. Nanti kalian lanjut
mainnya habis antar mobil ya, oke?”, jelas Sam.
“Tante ke dalam dulu mau mesan ya, dadah~”
Luna membalas senyuman Sam sampai ia masuk
ke dalam.
“Tante kamu ramah ya”, kata Nic yang tengah
menghabiskan minumannya.
“Iya gitulah, kalau orang bilang dia itu ‘happy
virus’”, balas Luna.
“Aku juga bisa ramah kok, asal kamu gak jutek ke
aku”, lanjut Luna menyindir Nic.
“Oh”, singkat Nic malas menanggapi.

62
Luna kembali memutar bola matanya. “Ayo ambil
mobil”.
Mereka berdua pun pergi menuju parkiran. Mobil
sedan hitam satu-satunya yang ada diparkiran, Luna sudah
pasti hafal dengan mobil itu. Luna membuka kunci mobil
dan menyalakan mesin. Sementara Nic masih diluar. Luna
menurunkan kaca jendela kiri.
“Ayo masuk, ngapain diam aja”
“Gimana sepedanya?”, tanya Nic.
“Gak akan diambil orang kok. Nanti aku bilang
sama tanteku”, jawab Luna sambil membenarkan kaca
spion tengah.
Nic pun masuk.
“Memangnya kamu punya SIM?”
Luna mengeluarkan dompetnya dan
memperlihatkan SIM miliknya.
“Sudah dong, emangnya kamu kira aku berapa
tahun”
“Oke. Jadi kemana tujuan selanjutnya Nic?”, tanya
Luna tersenyum jahil.
“Hah? Aku gak mau ya kalau nanti tante kamu
ikut marahin aku karena mobilnya dipakai kemana-mana”,
balas Nic.
“Tenang aja, nanti ditengah jalan aku bikin alasan
supaya boleh. Gimana? Lanjut?”, tanya Luna.

63
Nic diam dan berpikir. Meskipun Nic tidak mau
Luna akan tetap saja memaksanya.
“Lagi pula kan ini hari terakhir libur musim panas,
apa salahnya nakal-nakal sedikit?”, Luna tersenyum jahil.
Nic mengeluarkan ponselnya, membuka aplikasi,
lalu mengetik beberapa huruf yang tidak kelihatan oleh
Luna dari tempat duduk sopir. Nic menekan tombol
‘enter’ lalu menunjukkan layar ponselnya ke muka Luna.
Luna mendekatkan mukanya ke layar ponsel agar lebih
jelas melihat. Belum selesai membaca, Nic sudah menarik
ponselnya kembali.
“Tempat apa itu? Gak pernah dengar”, kata Luna.
“Udah kamu nyetir aja, nanti aku arahin jalannya”,
balas Nic.
Sambil mulai menyetir, Luna melirik jam digital
di mobil. 01.17 p.m, tertera disitu. Cepat juga. Pikir Luna.
Tanpa pikir panjang Luna menekan pedal gas dan keluar
dari parkiran.
Luna menyetir dengan kaca jendela terbuka lebar,
ia kembali menggunakan topinya. Nic menyenderkan
kepalanya ke jendela yang terbuka, sementara Luna fokus
menyetir. Luna merasa bosan dan memutar-mutar radio
mencari frekuensi yang bagus. Putarannya berhenti di
saluran radio musik. Lagunya cocok untuk road trip
seperti ini.
“Heavy by POWERS”, gumam Nic yang kelihatan
sebentar lagi tertidur.

64
“Emangnya iya? Aku juga gak tahu. Tapi enak
kok lagunya, vibe-nya cocok”, jawab Luna.
“Because I’m feeling like I’ve got a sickness,
tounge-tied and white lie addicted”, Nicholas bergumam,
kantuk dimatanya.
“Katanya kamu mau kasih arah, kok malah
tidur?”, kata Luna.
Nicholas tidak menjawab. Ia gagal melawan
kantuknya, atau dia memang tidak berusah melawannya.
Luna membuang napas. Ia berhenti di pinggir jalan,
mengeluarkan ponselnya, membuka navigasi, dan
menyalakan mode suara. Luna kembali menyetir dipandu
oleh suara robot dari ponselnya.
Selama kurang lebih 30 menit Luna menyetir, dan
akhirnya sampai di puncak bukit. Luna keluar dari mobil
dan menghirup udara segar. Dari bukit ini Luna bisa
melihat kota seluruhnya. Hebat juga dia bisa tahu tempat
seperti ini, pikir Luna. Luna berkeliling tempat itu
sebentar dan menemukan halaman rumput luas dibelakang
sebuah bangunan tua. Di pinggir halaman itu ada pohon
besar, batangnya tebal, daunnya hijau, rindang dan sejuk.
Luna berbalik badan kea rah mobil. Lagi-lagi dia
menghela nafas dan berjalan ke arah mobil. Luna berlutut
disamping pintu Nic. Sebentar Luna ingin
mengagetkannya tapi ia terhenti. Luna memperhatikan
muka Nic yang tertidur pulas. Lehernya pasti sakit, pikir
Luna. Ia bisa mendengar suara sayup nafas Nic yang
tenang. Ia memeriksa baik muka Nic. Muka kedunya
hanya berjak beberapa sentimeter. Sejenak ada sebuah

65
memori lama tersimpan di otak Luna. Luna yakin ini
bukan pertama kali mereka bertemu. Entah mungkin
karena itu kenangan masa kecil jadi ia sulit untuk
mengingatnya. Tapi kalau Luna rasakan, sepertinya itu
kenangan yang seharusnya tidak ia lupakan. Kenangan
abu-abu yang manis dan pahit. Luna jadi heran, apa dia
pernah kecelakaan? Jadi dia hilang ingatan atau
semacamnya? Luna melihat rambut Nic yang ikal dan
halus tertiup angin lalu menutupi matanya. Luna menyeka
rambut Nic, lalu ia meletakkan tangannya diatas kepala
Nic. Luna menepuk halus kepala Nic dan tersenyum.
“Aku belum cuci rambut loh”, ucap Nic yang
masih memejamkan mata.
Luna segera menarik tangannya dan membenarkan
posisi berdirinya. Nic membuka matanya dan tatapannya
langsung bertemu dengan Luna. Nic menguap dan itu
membuat Luna tambah tidak nyaman. Karena malu, Luna
langsung menarik gagang pintu mobil dan membukanya.
Nic yang masih bersandar di pintu mobil pun hampir
terjatuh.
“Aduh kenapa sih! Gak lihat apa tadi aku masih
sandaran?”, keluh Nic.
“Oh maaf deh tuan, terganggu ya tidurnya. Lain
kali saya nyetirnya lebih baik deh”, jawab Luna dengan
senyum sarkas.
“Udah ayo cepetan! Kamu yang mau kesini tapi
malah aku yang ribet”, lanjut Luna.

66
“Maaf ya, tapi bukan aku yang nawarin mau
kesini pakai mobil tantenya sendiri”, balas Nicholas.
Luna tidak menjawab, ia menutup pintu
penumpang, mengunci mobil, lalu berlalu pergi
meninggalkan Nic dibelakang. Nic menghela nafas,
membenarkan jaketnya yang berantakan, lalu menyusul
Luna. Nic melihat pemandangan sekeliling kota dari atas
bukit. Ia tersenyum hangat melihatnya. Nic menutup
matanya sebentar untuk merasakan terpaan angina musim
panas.
Mereka tiba di halaman rumput luas tadi. Luna
sudah bersandar dibawah pohon, sementara Nic sudah
melepas sepatunya dan berlarian di atas rumput hijau.
Luna mengamati Nic dari kejauhan. Sepintas Luna merasa
ada sebuah memori terekam ulang diotaknya.
Seorang anak laki-laki, tingginya sama dengan
Luna. Di memori itu Luna hanya bisa melihat punggung
anak itu yang lari menjauh dari posisi Luna berdiri. Ketika
anak itu berbalik wajahnya samar-samar tidak jelas. Tapi
memori itu bukan disini. Bukan di padang rumput ini. Tapi
Luna juga tidak yakin dimana. Lamunan Luna diputus
oleh Nic yang berteriak dari kejauhan.
“Fo… A… …ong”, suaranya kencang tapi tetap
saja tak terdengar.
“APA?”, teriak Luna.
Nic berlari mendekat agar suaranya bisa terdengar
lebih jelas.

67
“AKU BILANG TOLO… FOTO …U”, teriak
Nic.
Tolong foto aku? pikir Luna. Luna tersadar. OH
FOTO DIA! Luna segera membuka kamera di ponselnya.
“SUDAH SIAP?”, tanya Luna.
Nic tidak menjawab, tapi dari pose yang ia
tunjukkan Nic kelihatannya sudah siap. Pose konyol yang
Nic buat membuat Luna tersenyum di belakang kamera.
“SUDAH YA”, teriak Luna.
Nic menjawab dengan acungan jempol dan
senyuman. Kali ini Luna merasa kantuk menyerangnya. Ia
menguap, meletakkan topinya di samping, dan bersandar
di batang pohon. Luna melihat ke arah atas pohon.
Kembali ada memori yang terlintas di pikirannya. Sebuah
pohon yang tidak ada daunnya dan Luna yang masih kecil
menatap ranting pohon itu dengan mata berkaca-kaca.
Memori itu membuat Luna sedikit sedih. Senyumnya
memudar. Ia kembali menatap ke arah padang rumput. Nic
sedang berjalan balik ke tempat Luna bersandar dengan
senyum lebar di wajahnya. Dasar seperti anak kecil aja,
pikir Luna. Nic duduk disamping kanan Luna.
“Sudah? Kamu mau kesini cuma mau begitu aja?”,
kata Luna.
“Mmm”, Nic mengangguk. “Memangnya kenapa?
Kan kamu yang ngajak kesini”
Luna memutar bola matanya. “Ah sudahlah, aku
mau tidur”, ucap Luna kesal lalu memejamkan matanya.

68
Mereka berdua terdiam sejenak. Luna belum
tertidur tapi masih memejamkan matanya.
Nic memecah keheningan, “Karena aku rasa kamu
belum tidur. Gimana kalau hibur dengan random facts
yang aku tahu?”
“Hmm”, balas Luna.
“Fakta pertama, tahu nggak kalau huruf yang
paling dipakai itu huruf ‘e’? Kedua, tahu nggak kalau
kucing menghabiskan 66% dari hidupnya hanya untuk
tidur? Ketiga, tahu nggak kalau madu itu satu-satunya
makanan alami yang nggak basi? Keempat, tahu nggak
kalau petir menyambar bumi 6.000 kali tiap menitnya?
Kelima, tahu nggak kalu ciuman itu membakar 26 kalori?
Keenam, tahu nggak kalau kita membagi ulang tahun kita
dengan 9 juta orang lain di dunia? Ketu– HUAAH”, udara
sejuk dari pohon membuat Nic kembali mengantuk.
Nic melihat ke arah Luna. Luna sudah terdidur
pulas. Terdengar dengkuran halus dari mulutnya. Nic
menatap wajah Luna dengan ekspresi datar, lalu ia
tersenyum. Nic menyandarkan punggungnya di batang
pohon, memejamkan matanya. Ia berkata,
“Ketujuh, tahu nggak kalau dulu kita juga pernah
ketemu. Mungkin kamu nggak ingat, tapi nggak apa-apa.
Makasih ya Luna, udah mau nemanin di saat-saat terakhir
ini. Kenapa ya Tuhan selalu cuma kasih aku satu hari”,
ucap Nic yang kemudian membuka mata.
Nic menatap ranting dan cabang pohon diatas
kepalanya. Ia teringat memori masa kecilnya dengan Luna.

69
Ingin sekali rasanya ia kembali ke masa itu dan
menjalaninya sekali lagi. Nic kembali memejamkan
matanya dan tertidur.
Ponsel Luna bordering keras. Luna sengaja
membuatnya ke mode suara untuk berjaga-jaga kalau
tantenya menelepon untuk marah-marah. Keduanya sama-
sama terbangun. Mata Nic yang masih setengah terbuka
melihat ke arah sling bag kuning pucat milik Luna. Luna
membuka tasnya. Tulisan “Polo :D” tertera di layar
ponselnya. Luna menggerutu.
Sebentar Luna membuka mulut untuk berbicara,
“Ha–”
“Jam berapa pulang? Aku bosan nih. Kasih saran
buat ngelakuin sesuatu dong”, balas Polo dari ujung
telepon.
“Masih lama, aku mau ke pelabuhan liat sunset.
Kalo bosan ikut Tante Sam aja siapa tau dia lagi jalan-
jalan”
“Jalan-jalan sih masih mending, barusan aku
telepon dia masih di rumah sakit huh”, kata Polo.
“Mmm, Oh aku tahu! Gimana kamu ambil
pesanan kue Tante Sam di toko roti punya teman ayah itu,
kan lebih bagus daripada nganggur. Sudah ya bye”, Luna
menutup teleponnya, lalu menghela nafas.
Nic mengenakan sepatunya, ia berdiri, dan
melakukan sedikit stretching. Luna merapikan tasnya dan
mengenakan topi. Luna berdiri dan ikut melakukan

70
stretching bersama Nic. Setelah selesai, Luna berjalan
kembali ke mobil.
“Ayo. Tujuan terakhir kemana Tuan Nicholas?”,
tanya Luna jahil.
“Mmm, nanti aku beri tahu di mobil”, jawab Nic
yang sudah berjalan disamping Luna.
Luna tiba di mobil dan menyalakan mesin. Nic
menyusul masuk. Luna melirik jam digital mobil. 05.03
p.m. Luna sedikit kaget, ia tidak sadar berapa jam ia sudah
tertidur.
“Jadi”, tujuan kemana?”, tanya Luna lagi.
“Pantai, ayo ke pantai”, Nic tersenyum ke Luna
sambil memasang sabuk pengaman.
“Pantai mana?”
“Itu loh yang dekat rumahm–”, Nic berhenti.
“Hah? Rumahku? Emangnya aku pernah kasih tau
rumah aku dimana?”, tanya Luna.
“Eng-Enggak enggak, bukan, bukan rumahmu,
aku mau bilang rumah makan tapi tadi aku agak lupa-lupa
ingat kalau disitu ada rumah makan atau nggak”, Nic
beralasan.
“Ooh gitu. Yaudah ini maksudnya pantai yang
mana?”
“Iya benar, pantai yang ada rumah makan ‘Chow
Down’ kalau gak salah”, kata Nic.

71
“Oh itu, itu sih pantai dekat rumahku”, balas Luna
tersenyum.
Luna menaikkan rem tangan, lalu segera menuju
pantai itu. Melihat ekspresi Luna yang tidak curiga, Nic
bisa tersenyum lega. Kali ini Nic yang menyalakan radio.
Salurannya masih yang sama.
“Wild by Troye Sivan”, ucap Nic.
“Kalau ini aku juga tahu”, balas Luna.
“Leave this blue neighbourhood, never knew
loving could hurt this good oh”, Nic bernyanyi
“And it drives me wild”, Luna melanjutkan.
Keduanya terus bernyanyi selama perjalanan
mereka seolah ini salah satu episode ‘Carpool Karaoke’
milik James Corden. Sesekali salah satu dari mereka
dengan sengaja membuat suara aneh yang membuat
keduanya tertawa.
Luna memberhentikan mobil di depan papan
dengan tulisan ‘Public Beach’.
“Disini gak ada parkir karena jarang yang datang
kesini. Jadi kalau parkir ya dimana aja asalkan rapid an
teratur”, jelas Luna.
“Mmm, gitu ya”, balas Nic sambil membuka pintu
mobil.
Nic mengenakan jaketnya dan berjalan masuk ke
kawasan pantai. Luna meninggalkan sling bag-nya di
bangku mobil, ia hanya membawa ponsel dan topi.

72
“Tumben ya, biasanya jam segini matahari belum
terbenam”, kata Nic sambil terus berjalan.
“Mungkin karena sebentar lagi musim gugur”,
balas Luna yang berlari menyusul disamping Nic.
Angin hangat dari arah laut menerpa tubuh
keduanya. Di pantai itu hanya ada pasangan lansia dan 4
orang anak-anak yang sedang bermain sepak bola. Nic
berhenti untuk melepas sepatunya. Ia menyuruh Luna
untuk melepas sepatunya juga. Nic kemudian mendorong
punggung Luna dan menggiringnya ke laut dengan cepat.
“HEI HEII TUNGGU HEI SEBENTAR
NICHOLAS BERHENTI–”, Luna berteriak di kuping Nic.
Nic tidak juga berhenti. Ia terus mendorong Luna
sampai ke pinggir laut. Nic berhenti, kemudian menarik
lengan Luna yang hampir terjatuh ke laut.
“KAU INI KENAPA SIH, RUMAHKU DEKAT
SINI LOH. KALAU AKU TEGA BISA SAJA AKU
PERGI NAIK MOBIL TINGGALIN KAMU DISINI”,
teriak Luna yang terlihat kesal dan agak marah.
“Hm? Rumahku juga gak jauh kok dari sini. Ini
kan kota kecil, kemana-mana dekat”, balas Nic santai.
Nic lalu berjalan di sepanjang pinggir pantai. Air
laut sesekali menyapu kakinya. Luna masih menatap Nic
dengan tatapan tajam.
“Hei tunggu”, kata Luna masih terdengar kesal.

73
Luna berjalan disamping kiri Nic. Ia takut Nic
tiba-tiba mendorongnya ke laut. Nic berhenti lalu duduk di
pasir. Luna ikut duduk disampingnya. Nic menatap wajah
Luna yang masih terlihat kesal. Ia tersenyum melihatnya.
Keduanya terdiam sejenak. Kemudian Nic berbalik 90
derajat menghadap Luna.
“Pertama”, kata Nic, mengacungkan telunjuknya.
“Gedung itu. Aku bukan melihat ke atap gedung
itu. Tapi aku melihat ke lantai enam”, lanjut Nic.
Luna beralih menghadap Nic dengan ekspresi
datar. Ia baru sadar ia tidak tahu satu hal pun tentang Nic.
Tidak dengan nama lengkapnya, tidak juga tempat ia
tinggal, sekolahnya, ulang tahunnya, nomor teleponnya,
keluarganya, bahkan umurnya pun belum jelas. Tapi
disinilah dia. Sudah 9 jam ia menghabiskan waktu
bersama Nic, seorang asing baginya. Ia juga baru sadar,
Nic juga tidak bertanya satu hal tentangnya.
“Aku bohong saat kamu bertanya apa anak satu-
satunya. Dulu aku punya adik perempuan. Dia jatuh dari
lantai enam gedung itu dan meninggal. Kedua, aku lari
karena melihat penjaga rumahku yang mungkin disuruh
untuk mencariku. Biasanya keluargaku selalu sarapan
bersama, jadi karena aku nggak muncul saat sarapan,
mereka kira aku hilang atau kabur. Sebentar lagi aku akan
pindah dari kota ini jadi aku ingin menghabiskan waktu-
waktu terakhirku di kota ini. Toko buku, restoran jepang,
bukit, dan pantai ini. Keempat tempat itu adalah tempat-
tempat yang paling aku suka di kota ini. Tempat-tempat itu

74
tempat yang selalu membuatku nyaman dan tenang, my
comfort places.”
“Sudah aku jawab semuanya kan?” lanjut Nic.
Luna berdehem, ia berpikir sejenak. “Oke”
“Sekarang ayo kita tanya jawab. Aku tanya terus
langsung kam jawab, oke?”
“Hmm”, jawab Nic.
“Nama Lengkap?”
“Nicholas Oliver”
“Tempat tanggal lahir”
“California, 10 September 2002”
“Berarti benar dong kamu 17 tahun”
“Hmm? Ya?”
“Ehem, lanjut. Alamat?”
“Dibelakang rumah yang diseberang rumahmu”
Luna terhenti, “Dariman–”
“Lanjut saja”, potong Nic.
“Bisa kau ceritakan tentang keluargamu?”
“Hm, oke, ayahku kerja dengan CIA jadi harus
sering pindah-pindah kota, lalu ibuku, dia dulunya
sutradara film, tapi sudah lama pensiun. Keluargaku norak,
jadi mereka banyak sewa pegawai. Yang tadi aku bilang
loh, penjaga rumah. Bahkan menurutku udah berlebihan”

75
“Terus? Gimana hubungan dengan keluarga dan
teman-temanmu?”
“Memangnya aku kelihatan punya teman ya?”
“Mana ku tahu”
“Aku sering pindah-pindah rumah jadi percuma
aja kalau akau berusaha cari teman. Toh pas aku pindah,
mereka juga langsung lupa denganku. Aku gak dekat
dengan keluargaku sama sekali dari kecil sampai sekarang.
Bahkan dengan ibuku sendiri jarang sekali ngobrol”
“O-oh gitu. Mmm”
Percakapan mereka berubah canggung. Luna bisa
mengerti perasaan Nic yang kesepian selama ini. Luna
meraih tangan Nic dan menariknya berdiri. Mereka berdiri
berhadapan. Luna menarik Nic kedalam pelukan. Nic pun
kaget. Kemudian Luna menepuk-nepuk punggung Nic.
“Gimana? Udah merasa baikan?”, kata Luna.
Nic hanya terdiam. Itu pertama kalinya ia dipeluk
seseorang dalam 10 tahun. Nic mengangkat kedua
lengannya dan memeluk Luna kembali. Ia meletakkan
kepalanya di pundak Luna. Rasanya ia ingin menangis
saja.
“Persis sekali seperti 10 tahun lalu”, Mata Nic
terasa sudah dipenuhi air.
“10 tahun lalu?”, tanya Luna.
“Mmm, 10 tahun lalu aku lari ke pantai ini karena
di rumah aku terus menerus disalahkan atas kematian

76
adikku. Karena mataku buram terhalang air mata, aku jadi
terjatuh dan kaki sampai lututku lecet. Dan aku ingat ada
anak perempuan yang tingginya sama denganku
menghampiri aku yang terduduk menahaan tangisan. Dia
jongkok dan mengulurkan tangannya ke aku. Karena aku
malu, aku berdiri dan pergi menjauhinya”
Luna masih menepuk-nepuk punggungnya sambil
mendengar Nic bercerita.
“Tapi anak perempuan itu tetap saja mengikuti
aku walaupun aku sudah menyuruhnya pergi. Dia berteriak
kalau kakaknya bisa menyembuhkan lukaku sambil
menunjuk rumahnya yang ada di belakang pantai. Lalu
aku capek jalan jadi aku berhenti dan berbalik. Anak itu
tersenyum ramah dan menaruh tangannya di pundakku.
Dia membawa aku pulang kerumahnya dan kakaknya
mengobati lukaku. Karena aku terharu, aku jadi nangis
lagi. Muka anak itu jadi cemas jadi dia memeluk dan
mengelus punggungku sambil berkata ‘gimana? udah
merasa baikan?’ Setelah dia bilang itu aku langsung
berhenti nangis. Dan di hari terakhir liburan musim panas
itu ia terus menemaniku sampai aku benar-benar bisa
pulang. Satu hari penuh. Anak perempuan itu cerita semua
hal tentang dirinya sementara aku hanya menyimak.
Begitu dia sadar kalau aku belum cerita, aku sudah
dipanggil sama penjaga rumahku. Dan esok harinya aku
harus pindah rumah”, Ditengah-tengah ceritanya Nic tidak
sadar air matanya sudah membanjiri mukanya.

77
“EH JANGAN BASAHI BAJUKU DONG ITU
BARU BELI LOH”, ucap Luna setengah berteriak sambil
melepas pelukannya.
Nic menyeka air matanya. Ia menggunakan
jaketnya untuk membersihkan mukanya.
“Ih jorok. Sekalian aja tuh cuci muka pake air
laut”, ucap Luna.
Nic terdiam sejenak menatap Luna dengan
matanya yang bengkak.
“Tapi kayaknya anak perempuan itu bukan kamu
deh. Jauh banget sifatnya”
“Heh siapa bilang”, bantah Luna yang kemudian
berlari ke belakang rumahnya.
Nic menyusul dibelakang Luna, berjalan cepat.
Luna menunjuk ke pohon pinus hijau berbatang putih yang
ditanam ibunya saat pertama kali mereka pindah.
“Disitu kan? Aku sedang bersandar di batang
pohon itu pas aku lihat ada anak kecil lari-larian ke laut
terus terjatuh”
Nicholas menyimaknya.
“Disitu juga! Disitu juga kita bermain 50 hal
tentang diri kita masing-masing. Kamu bebas bertanya
sementara aku harus menjawab, lalu setelah aku selesai
kita gentian bertanya. Tapi saat aku mau jawab pertanyaan
yang ke– Eh… ke berapa ya?”
Nic menggeleng kepalanya sambil terkekeh.

78
“Pokoknya sudah hampir selesai. Tapi tiba-tiba
kamu dipanggil dan diseret kerumahmu. Bagaimana?
Benar kan?”, ucap Luna dengan begitu percaya diri.
Nicholas hanya tersenyum melihat Luna yang
menjelaskan dengan semangat yang menggebu-gebu. Nic
menghampiri Luna dan menepuk kepalanya.
“Kurang tepat. Ada satu hal lagi”
Luna terdiam dan berpikir. “Oh! Aku tahu! Aku
harus menggendong kamu untuk pulang kerumahku
karena kamu mengeluh tidak bisa ja–”
“I-IYA IYA tapi yang itu gak usah. Ada yang
lebih penting lagi”
Luna kembali berpikir tapi ia tidak bisa ingat.
Luna mengangkat kedua bahunya, ia menyerah.
“Keempat tempat favoritku yang tadi aku
sebutkan. Pas kamu cerita, kamu nyebutin tempat-tempat
itu sebagai yang paling bagus untuk jadi persembunyian.
Dan kamu juga bilang kalau aku pengen cari kamu, aku
bisa nemuin kamu di tempat-tempat itu setiap musim
panas. Karena itu, setelah aku balik lagi ke kota ini, aku
mulai mengunjungi tempat-tempat itu setiap musim panas.
Tapi setiap harinya aku gak pernah ketemua kamu disitu”,
ucap Nic yang mengangkat kedua alisnya.
“Tapi berkat kamu, tempat-tempat itu jadi bisa
memberi aku kenyamanan tersendiri, walaupun ditempat-
tempat itu tidak ada orang, tapi kalau ke tempat-tempat itu
aku jadi ingat kalau ada satu orang di dunia ini yang

79
pernah peduli denganku. Yah walaupun lama kelamaan
kamu sudah lupa denganku sih”
“Sebentar. Terus pas aku bilang namaku Luna
kenapa kamu gaada respon?”, potong Luna.
“Aku juga sebenarnya sudah lupa nama kamu sih.
Tapi aku ingat mukamu, makanya pas pertama liat kamu
buka topi aku langsung kaget liat mukamu”
“Hooh gitu”, balas Luna.
“Jadi besok kamu pindah rumah lagi?”
“Ya, udah jadi tradisi sih pindah rumah tiap akhir
libur musim panas”, jawab Nic.
Luna berpikir sejenak. Kemudian dia menatap
Nicholas dengan harapan dimatanya.
“Yasudah gini aja. Aku bantuin kamu bikin
‘Lifetime Bucket List’, kayak summer bucket list punyaku,
cuman bedanya punyamu itu untuk seumur hidup alias
‘Lifetime’, gimana”, ucap Luna.
“Hah ngapain sih, yang kayak gitu-gitu gabakalan
aku kerjain”, jawab Nic.
“Udah gausah ngeluh. Sekarang kamu pulang
kerumah, istirahat. Besok pagi aku jamin bucket list
punyamu udah ada di depan pintu rumahmu”, kata Luna.
“Yang penting kamu harus janji, gak peduli kamu
bakal balik lagi kesini atau nggak. Tapi setiap harinya
kamu harus bisa usaha ngelakuin hal di bucket list itu satu
persatu”, lanjut Luna.

80
Nicholas hanya menatapnya.
“Mungkin emang sulit, tapi kalau kamu lakuin
satu langkah demi langkah, pasti gak kerasa kamu udah
sampai di pengujung”
Nicholas tidak mengerti bahasa yang dipakai
Luna, tapi ia mengangguk saja. Luna mengambil tangan
Nic dan mengaitkan jari kelingking Nic dengan miliknya.
Luna memarkir mobil tantenya di garasi, lalu
masuk ke rumah. Terdengar suara tawa Sam dan Polo
yang kelihatannya sedang menonton serial “The Office” di
televise. Luna mengecek jam tangannya yang menunjuk
pukul 7 malam. Setelah berhasil masuk ke kamarnya tanpa
ketauan, Luna mandi, lalu duduk di meja belajarnya,
mengambil kertas hvs berwarna kuning serta semua
koleksi alat tulisnya dan mulai menulis.
Pukul 7 lebih 15 menit. Alarm digital Luna
mengeluarkan bunyi yang berbeda karena ini hari pertama
sekolah. Luna bangun dan langsung terduduk. Ia bersiap
untuk pergi ke sekolah. Saat sedang menyisir rambutnya,
Luna melirik amplop berwarna peach di meja belajarnya.
Ia mengambil tas sekolahnya dan juga amplop itu. Saat
Luna turun ke ruang tengah, Tante Sam sedang memasak
pancake.
“Itu makan siangmu”, kata Sam yang fokus
memasak.
“Makasih Tan. Aku pergi dulu ya”, balas Luna.

81
“Hei gak sarapan kamu?”, teriak Sam ke Luna
yang masih memasang sepatu.
“Udah janji sama teman sarapan di kafe dekat
sekolah”, balas Luna.
“Yah, padahal udah Tante buatin yang banyak
buat kalian”
“Maaf banget ya Tan”, kata Luna sambil
membuka pintu dan berlari ke rumah Nic.
Bunyi ketukan tiga kali dari pintu Nicholas sudah
bisa membangunkannya.
“Nicholas, Ayah bilang 15 menit lagi berangkat”,
terdengar suara bibi penjaga dari belakang pintu.
“Oke”, balas Nic dengan sopan.
Hal pertama yang terlintas di pikiran Nic adalah
kertas bucket list dari Luna. Nic yang masih mengenakan
baju tidurnya terburu-buru keluar dari kamar menuju pintu
masuk depan. Dengan mata penuh harapan Nic membuka
pintu. Matanya menuju lantai teras.
Tidak ada apa-apa. Tidak ada satu kertas pun,
tidak ada amplop atau kotak atau semacamnya yang orang
biasa pakai untuk mengirim sesuatu. Senyum Nic
memudar. Ia duduk di tangga pintu depan, menunggu
barangkali Luna ketiduran. Sementara ia menunggu,
terlintas dipikarannya kenapa selama ini ia tidak pernah
melihat Luna. Walaupun dalam 10 tahun ia sudah lebih
dari 7 kali pulang kesini, tapi baru satu hari kemarin ia
melihat wujud Luna. Sudah hampir 15 menit ia menunggu.

82
Karena cemas akhirnya Nic mengambil jaket yang
digantung di dekat pintu depan dan berlari ke rumah Luna.
Luna tidak bisa berpikir, pikirannya kosong.
Sudah berkali-kali ia bertanya dengan tetangga tapi
mereka menjawab hal yang sama. “Saya gak pernah
dengar ada orang seperti itu yang tinggal disini” atau
“Tanah itu sudah lama sekali kosong. Tidak pernah
dibangun apa-apa. Katanya sih karena tanahnya yang
mahal. Tapi gak ada juga yang tahu siapa pemilik
tanahnya, karena gak ada sama sekali tulisan ‘dijual,
hubungi’atau semacamnya”. Luna duduk di pinggir
trotoar. Benar, ini persis rumah dibelakang rumah yang
ada disebrang rumah Luna. Tapi ternyata hanyalah tanah
kosong. Hanya ada satu kotak surat berwarna merah
dimana terdapat tulisan tangan warna putih yang berbunyi
‘Love & Comfort’.
Nic sampai di depan rumah Luna. Ia membuka
pintu pagar putih dan mengetuk pintu depan. Pada ketukan
keenam pintu terbuka. Tapi berbeda dari dugaan Nic, yang
membalas ketukan Nic adalah wanita lansia yang kemarin
ia lihat dipantai.
“Kenapa Nak, pagi-pagi sekali”, nenek itu
tersenyum ramah ke Nic.
“A-ah maaf. Apa ibu tahu rumah milik keluarga
Mills?”, tanya Nic.
“Hmm, saya sudah lama tinggal dikota ini tapi
tidak pernah mendengar nama keluarga Mills”, jawabnya.

83
Nicholas membeku. “O-oh oke baik, maaf Bu
sudah mengganggu”
“Ah tidak apa-apa. Tapi Nak–”
“Oh iya kenapa Bu”
“Mirip sekali. Kamu mirip sekali seperti laki-laki
muda waktu itu. Saat Ibu masih berusia 43 tahun, ada anak
laki-laki seusiamu pagi-pagi sekali bertanya rumah
seseorang yang ibu tidak pernah dengar namanya. Ia sudah
bertanya pada semua rumah di blok ini tapi tidak ada satu
pun yang kenal”, jelas Nenek itu.
“O-oh begitu ya Bu, makasih informasinya”, balas
Nic yang berbalik keluar pagar rumah nenek itu.
Memang dari luar rumah itu amat jauh berbeda
dari rumah yang dulu Nicholas masuki. Pagar rumah Luna
berbahan besi warna hitam, dan rumahnya berlantai dua
bercatkan abu-abu, cokelat, dan putih. Tidak seperti rumah
ini yang bercat hijau, putih, kuning, warna-warni.
Luna masih duduk termenung. Ia kehabisan
berpikir. Ia menyesal tidak mencubit dirinya sendiri
kemarin, kalau saja ia ternyata hanya bermimpi.
“Ngapain Luna”, suara Polo mengagetkan Luna.
“Hah?”
“Kenapa nangis gitu? Kamu nyesel gak makan
pancake-nya Tante Sam? Kalau kamu lapar ini aku bawa
kok. Atau kamu ditinggalin teman kamu yang janji mau

84
sarapan bareng? Kalau iya sini aku aja yang temanin”,
ucap Polo sambil duduk di samping Luna.
Luna tidak sadar air matanya sudah membasahi
pipinya. Ia mengeluarkan sapu tangan dari tasnya dan
membersihkan mukanya.
“Enggak, tadi aku liat tetangga habis ngubur
anjingnya yang mati. Aku jadi ikut sedih deh”, kata Luna.
“Hah segitu amat cuma anjing mati doing. Udah
ayok ke sekolah”, Polo berdiri dan menarik tangan Luna.
Luna tersenyum. Saudara kembarnya ini tidak
pernah gagal untuk mencerahkan isi hati Luna. Ia sangat
bersyukur mempunyai Polo. Luna berharap Nic juga bisa
menemukan orang yang bisa ia jadikan tempat bersandar.
Luna kembali menatap tanah kosong dan kotak surat
merah itu untuk terakhir kalinya.
Pukul 15.23, Luna tiba dirumah sehabis pulang
dari sekolah. Ia berbaring di tempat tidurnya, mengecek
kotak masuk dan sosial media di ponselnya. Ia
menjatuhkan lengannya dan meneliti sekeliling kamar.
Pandangannya jatuh ke sling bag kuning pucat yang ia
kenakan kemarin. Luna langsung teringat.
Luna berdiri mengambil tas itu. Ia duduk dilantai
dan mengeluarkan seluruh isi tasnya. Sebuah buku cokelat
muda jatuh keluar dari tas Luna. Ada. Itu dia. Buku itu.
Buku yang ‘dipinjamkan’ Nicholas kepadanya. Luna harus
simpan sampai Nic minta kembali. Luna mengamati buku
itu. Ia tersenyum melihat judul bertinta emas di sampul
buku itu. Tertulis, “For My One & Only Comfort”.

85
86
Mager Mudik
Karya Angga Rustico Hadiyanto

Lebaran telah tiba. Semua temanku sangat


bahagia. Mereka akhirnya bisa bertemu keluarga
besar mereka di kampung halaman. Seharusnya
semua orang merasa seperti itu. Tapi aku merasakan
hal yang berbeda. Aku merasakan ketegangan saat
sudah mendekati lebaran.
“Dit, seminggu lagi nih lebaran. Lu ga mudik?
Kalo mau mudik minta cuti gih, mumpung Pak
Pramono masih ada tuh”, kata seniorku di kantor
Bayu yang biasa dipanggil Bang Bay.
“Gatau ni, Bang “, jawabku.
“Kenapa sih? Finansial? Gampang itu mah
bisa gua bantu.” Ujar teman kerjaku Edo yang sangat
tajir.
Sebenarnya yang membuatku tegang
bukan masalah finansial. Bukan masalah transportasi.
Tapi ada satu masalah yang lain. Jam dinding sudah
menunjukan pukul sembilan malam. Aku, Bang Bay,
dan Edo hendak makan malam di sebuah restoran
baru dekat kantor. Di dalam mobil Edo, kita
berbincang-bincang tentang mudik lebaran.

87
“Bang Bay pernah ga si dikasih pertanyaan-
pertanyaan pas mudik ke kampung?” Tanyaku.
“Hmm… Oh pernah. Saat itu gua lagi laper
banget terus ada abang nasi goreng. Abis gua
samperin Abangnya, Abangnya nanya ‘Mau makan
apa, Mas?’” Jawab Bang Bay.
“Hahaha bisa ae, kertas gorengan. Maksud
gua ditanyain ama keluarga lu, Bang. ‘Udah nikah
belum?’, gitu-gitu lah”, jawabku sambal tertawa.
“Pertanyaan kaya gitu sih pasti ada Dit, gak
mungkin gak ada,” sahut Edo yang sedang
mengendarai mobilnya.
“Lu mah enak, Do. Udah kaya, berkeluarga
pula,” jawabku.
Aku setuju dengan pernyataan Edo.
Pasti ada pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Itulah
yang aku takutkan selama ini. Pertanyaan-pertanyaan
yang membuatku kicep. Seakan lidahku menjadi kaku
saat mendengar pertanyaan-pertanyaan seperti itu.
Akhirnya kita sampai di restoran. Sesampai di
restoran, aku terkejut. Aku bertemu Rosa, pacarku.
Kita sudah berpacaran lima tahun. Aku sangat
terkejut saat bertemunya. Karena kemarin Rosa
berkata bahwa ia sudah mudik ke Jogja. Tambah
terkejut aku melihatnya dengan pria lain.

88
Saat itu, Rosa belum melihatku. Aku
bilang ke teman-temanku bahwa aku akan kembali ke
mobil untuk mengambil sesuatu. Di dalam mobil, aku
telpon dia.
“Halo, Ros?”
“Iyaa, Dit. Kenapa?”
“Kamu lagi dimana sekarang?”
“Lagi makan.”
“Di Jogja? “
“Iya. Emang kenapa? Kamu kangen sama aku
ya? Sini ke Jogja.”
Mendengar itu aku sangat kesal. Aku
tidak menutup telpon dengan sengaja. Aku keluar dari
mobil dan berjalan menuju Rosa. Dari belakang, aku
menepuk pundaknya.
“Halo?? Dito?? “
“Iya, ada apa? “
Rosa sangat terkejut melihatku ada
dibelakangnya. Ia menjatuhkan ponselnya dan
membeku. Akhirnya pada hari itu juga aku
memutuskan untuk mengakhiri hubunganku dengan
Rosa. Aku pulang ke kosan dengan rasa sangat
kecewa. Pada hari itu, aku tambah yakin untuk tidak
mudik.

89
Keesokan harinya aku kembali pergi
ke kantor. Di kantor sudah mulai sepi. Satu per satu
sudah meminta cuti. Tapi Bang Bay dan Edo belum
minta cuti. Mereka menunggu kepastianku apakah
aku akan mudik atau tidak. Saat aku duduk di meja
kantor, Edo datang kepadaku dengan memberi
sesuatu.
“Oi! Jadi mudik ga lu? Nih ada oleh-oleh dari
temanku, durian monthong dari Bangkok.”
“Kaga mudik nih kayanya. Mager banget.
Makasi ya duriannye.”
“Lah, kenapa kaga mudik? Pertanyaan-
pertanyaan itu? Yaelah, pertanyaan-pertanyaan itu
juga kali yang buat ngumpul keluarga jadi seru. Masa
pulang kampung diem-dieman.”
Kita mendengar suara adzan ashar. Aku dan
Edo langsung pergi ke masjid. Setelah dari masjid,
kita kembali ke kantor. Di kantor kita memakan
durian yang baru saja dikasih oleh Edo. Aku sangat
suka sekali dengan durian. Walaupun baunya tidak
sedap, kulitnya berduri, tapi daging durian rasanya
enak sekali.
“Lu mau lagi ga buat di kos? Gua masih ada
nih. Gua juga mau bawa ke kampung,” tawar Edo.

90
“Boleh hehehe. Buat apa dibawa ke
kampung?” aku menerima tawaran Edo. Namun aku
penasaran juga, buat apa durian yang lumayan besar
itu dibawa ke kampung?
“Yaa… buat oleh-oleh untuk orang kampung,
Dit”
Mendengar itu, aku punya ide untuk
mudik. Aku langsung pergi ke ruang Pak Pramono
untuk meminta cuti. Setelah itu, aku meminjam mobil
Edo untuk pergi ke pasar. Tapi Edo tidak
memberinya. Jadi Edo pergi bersamaku. Di pasar, aku
membeli hadiah untuk keluargaku di Padang. Setelah
itu, aku pulang dan bersiap-siap.
Aku, Bang Bay, dan Edo pergi ke
pelabuhan. Kebetulan, kampung halaman kita bertiga
sama, yaitu di Padang. Tapi jelas, rumahnya beda-
beda. Sesampainya di Padang, aku dianterin Edo
sampai ke depan rumah keluargaku. Aku sangat
tegang saat berada di depan pintu. Aku mengetuk
pintu dan memberi salam. Di depan pintu ada Uda
Ahmad, abangku.
Setelah aku masuk ke rumah, kita
semua berkumpul di ruang keluarga.
“Kerja apa kamu di Jakarta?” tanya pamanku.
Sebelum aku menjawab pertanyaan itu, pertanyaan
malah bertambah lagi.

91
“Dito udah jadi bos belum?” tanya bapakku.
“Pacarnya mana Uda?” tanya adikku.
“Dito udah nikah belum?” tanya ibuku.
Dan semua pertanyaan-pertanyaan
lain. Aku langsung mengeluarkan hadiahku. Yaitu
berbagai macam buah yang ku beli dari Jakarta. Aku
memberi durian, jeruk, apel, pisang, anggur, dan
buah-buah lainnya.
“Walaupun bau,enak ya duriannya, manis,”
kata bapakku.
“Nah, itu kaya interview kerja aku tuh. Pas
interview aku tegang, bosnya galak, tapi pas diterima
hasilnya manis”.
“Anggurnya enak, tapi kecil,” kata pamanku.
“Kalau anggur makannya harus banyak biar
enak, Pak Uo. Kaya keadaan ekonomiku di Jakarta.
Dito harus mengumpulkan lima ribu rupiah per hari.
Tapi, dikit-dikit lama-lama menjadi bukit.”
“Jeruknya manis. Tapi ada asem-asemnya
gitu,” kata bibiku.
“Kalo itu kaya pacar Dito, manis hehehe.”
“Cieeee,” sahut keluargaku yang lain.
“Asemnya dimana, Uda?” tanya adikku.

92
“Asemnya………… udah jadi mantan.”
Keluarga besarku tertawa terbahak-bahak.
Kita berbincang-bincang sambil memakan buah-
buahan yang aku bawa dari Jakarta. Aku sangat
senang dan aku berjanji setiap tahun aku akan mudik.

93
Rusaknya Persahabatan Karena Virus Cinta
Karya Azka Jauza Nabilah

Cinta bisa datang kapan aja, kadang sulit memilih


antara cinta dan persahabatan. Cinta juga dapat
membutakan seseorang. Banyak orang yang lebih memilih
orang yang dicintainya daripada sahabat mereka. Sehingga
timbul perselisihan ketika cinta itu datang dan merusak
persahabatan.
Perkenalkan nama aku Mentari Marina, biasa
dipanggil Mentari, bukan Mentari yang selalu menyinari
bumi, tetapi Mentari yang selalu menyebarkan
kebahagiaan. Usiaku saat ini 17 tahun, dan aku adalah
anak yatim piatu. Orang tuaku meninggal dunia saat
usiaku 14 tahun. Aku tinggal bersama sahabat kecilku,
yaitu Senja. Orang tuaku dengan Senja sudah lama
berteman, dan sudah dianggap sebagai saudara sendiri.
Jadi saat orang tuaku meninggal, aku pun di asuh oleh
orang tuanya Senja. Mereka memperlakukan ku sama
seperti mereka memperlakukan kepada Senja. Dan kami
sekarang sudah memasuki SMA.
Dimulai dengan pertemuanku dengan “Playboy”.
Entah aku tidak mengerti kenapa ia menggunakan nama
itu untuk nama samaran, atau emang dia seorang
“Playboy”?
Suatu pagi yang cerah, aku dan Senja bersiap siap
untuk berangkat ke sekolah. Kami ke sekolah selalu
diantar oleh ayah Senja, kebetulan satu arah. Jarak antara

94
rumah dan sekolah cukup jauh. Saat memasuki gerbang
sekolah, ada seorang cowok yang mengendarai motor
hampir menyerempet Senja yang sedang bermain
handphone. Aku dan Senja menghampiri laki-laki tersebut.
“WOY, LU PUNYA MATA GAK SI? KALAU
BAWA MOTOR TUH LIAT-LIAT!” Omel Senja.
Cowok itu pun membuka helmnya. Sejenak Senja
terdiam dan memandangi cowo tersebut dengan mata
berbinar-binar.
“Sorry, lo juga seharusnya jangan main
handphone sambil jalan,” jawab si cowok.
Aku pun tidak tinggal diam, dan membela Senja.
“Eh! Kok lu songong?! Lu juga salah tau! Ya gak, Ja?”
Senja pun masih memandangi cowok tersebut, lalu cowok
itu jalan mengabaikan mereka.
Bel tanda masuk sudah berbunyi. Wali kelas pun
memasuki kelasku dan memberi pengumuman siapa yang
mau mendaftar untuk acara Romeo Juliet di hari Valentine
nanti. Senja masih kepikiran oleh cowok tersebut,
menanyakan ia kelas berapa, namun aku tak ahu itu. Sejak
saat itu Senja menjadi tidak fokus, dan selalu
membayangkan muka cowo itu.
Saat bel istirahat berbunyi, aku dan Senja datang
ke perpustakaan untuk mengerjakan tugas ekskul yaitu
membuat teks, atau mencari berita untuk di tempel di
mading. Kemudian datang salah satu kakak kelas kami dan
memarahi karena kami melakukan kesalahan dalam
pembuatan teks tersebut, Senja juga melakukan kesalahan

95
yang cukup besar, yaitu salah mengambil foto dan tidak
sesuai dengan apa yang ada di teks. Akhirnya Senja
mengambil ulang foto tersebut dengan membawa buku
diary-ku. Ketika sedang mengambil foto-foto untuk bahan
mading, Senja melihat cowok yang menyerempetnya tadi
pagi, ia sedang membaca buku dan duduk di taman. Senja
pun tidak mau kehilangan kesempatan untuk berkenalan
dengan nya. Ia pun memberanikan diri untuk berkenalan.
“Hai, boleh gue kenalan? Nama gue Senja, Lo
cowok yang tadi pagi kan?” Tanya Senja sambil
mengulurkan tangan.
“Boleh, nama gue Rafly,” jawab cowok itu dengan
suara beratnya.
Mereka pun asik mengobrol, sampai terdengar bel
selesai istirahat berbunyi. Senja pun bergegas ke kelas
untuk menemuiku. Rafly yang masih duduk di bangku
taman itu, melihat buku diary-ku yang tertinggal,
kemudian ia membaca buku diary-ku. Ya, buku diary yang
isinya puisi-puisi dan curahan isi hatiku.
Senja pun menceritakan kalau ia tadi bertemu
dengan Rafly dan mengajaknya ngobrol. Aku pun
mendengarkan, dan aku menanyakan dimana buku diary-
ku itu. Senja terkejut buku diary-ku tidak bersama
dengannya. Kami pun mencari dimana buku itu, mulai
dengan mencari di taman, tetapi tidak ada, mencari di
setiap sudut yang dihampiri Senja juga tidak ada. Aku
pasrah dan mencoba mengikhlaskan buku diary itu,
mungkin sudah di bawa oleh seseorang dan sudah
dibacanya.

96
Pada malam hari, aku mengunjungi Café yang
letaknya tidak jauh dari rumah. Café favoritku untuk
menulis blog yang berisi qoutes serta foto hasil travelling-
ku bersama Senja. Aku pun segera memesan minuman,
kemudian mengecek blog-ku. Tak disangka banyak orang
yang menyukai dan mengomentari yang positif.
Tiba-tiba ada seseorang yang chatting dengan ku
melalui via Line. Akun nya bernama “PlayBoy”, sangat
mencurigakan bukan? Ada orang asing yang chat ku.
“Playboy” ini sangat menyukai quotes-qoutes yang aku
ketik, dan ia mengajak ku berkenalan. Dia memanggil ku
“Girl”. Cowok ini bilang, ia juga berada dalam Café yang
sama dengan ku. Aku pun melihat yang ada di
sekelilingku. Mata ku tertuju dengan salah satu cowok
yang ada disana. Ia duduk di posisi serong kanan belakang
dari kursi yang ku duduki. Kebetulan ia sedang membuka
laptop yang sama dengan ku. Aku menganggap bahwa
laki-laki tersebut adalah yang mempunyai akun bernama
“PlayBoy”. Aku tersenyum kepadanya, dan ia membalas
senyumku. Demi Tuhan aku baru merasakan cinta pada
pandangan pertama.
Hari demi hari, waktu demi waktu, mulai dari pagi
hingga malam hari aku chatting dengannya. “PlayBoy”
yang tak ku kenal siapa dia. Sampai akhirnya, ia mengajak
ku untuk bertemu. Aku bergegas untuk pergi ke Café
favorit ku, dan kami akan bertemu. Ia memberitahuku
kalau ia memakai baju garis-garis hitam putih. Aku
memberitahunya kalau aku membawa bunga mawar
merah. Sambil menunggunya, aku memesan minuman
kesukaan ku. Aku pun melihat laki-laki yang aku anggap

97
sebagai “Playboy”, dan aku senyum kepada nya. Ia
menghampiri ku dan menanyakan kalau kami pernah
bertemu sebelumnya, aku mengiyakan perTanyaan nya.
Namanya adalah Kevin, kami pun ngobrol, membicarakan
apapun. Kemudian berpindah tempat ke taman, dan ia
mengantarkan ku pulang ke rumah.
Aku senang bisa mengenalnya lebih dekat. Hari-
hari ku jalani begitu ceria, chattingan ku dengannya tidak
berhenti. Aku selalu diantar jemput olehnya. Kami
menghabiskan waktu berdua, dengan jalan-jalan di taman,
atau ke mall. Waktu berjalan begitu saja, kami semakin
dekat. Tingkah laku ia makin kesini makin kurang ajar.
Siang hari setelah pulang sekolah, aku diajaknya ke taman.
Ya, aku berpikir kami hanya berjalan-jalan. Kami berhenti
dan menduduki bangku taman, dan disitulah ia mulai
kurang ajar. Ia mau mencium bibirku, aku pun
menamparnya. Karna menurutku itulah hal yang sangat
tidak wajar dan membuatku tidak nyaman. Tidak hanya
itu, pada saat acara Romeo and Juliet tiba, aku pulang
dengan menangis. Setelah kejadian tersebut aku tidak mau
menemuinya.
Begitu pula dengan Senja dan Rafly yang semakin
dekat. Tapi aku masih mengganjal dengan ekspresi wajah
ketidaksukaan Rafly yang didekati oleh Senja. Apa Rafly
tidak suka dengan penampilan Senja yang tomboy? Aku
selalu memikirkan itu. Ingin ku beritahu kepada Senja,
tetapi aku tidak mau merusak kebahagiannya Aku lihat
mereka sering pulang bersama.

98
Suatu pagi yang cerah, aku sedang berjalan di
koridor sekolah bersama dengan Senja. Aku dan Senja
sedang menawarkan majalah yang kami terbit kan.
Terlihat disana ada Rafly sedang duduk di bangku sambil
membaca yang kami terbitkan.
“Mentari! Lihat Rafly lagi baca majalah yang
kita.” girang Senja.
“Yaudah sih, biasa aja.” Ucapku.
Tak lama kami berbicara, Rafly pun membuang
majalah tersebut ke tempat sampah, aku tidak terima
dengan hal itu. Aku pun menghampirinya.
“WOY MAKSUD LU APAAN DIBUANG
GINI?” Tanya ku.
“Oh, ini majalah lo yang buat?” Tanya nya.
“Iya, kenapa?” jawab ku.
“Gue saranin lo pindah eksul aja, majalah sampah
yang isinya copy paste semua.” ucap Rafly sambil
meninggalkan aku dan Senja.
“Nah iya pindah ekskul” Celetuk Senja sambil
senyum-senyum.
“Ih apaan sih lu” jawab aku yang tambah kesal.
Dengan hati yang masih kesal, aku duduk di
taman sambil mengoceh-ngoceh sendiri. Tampa aku
sadari, di belakang ku ada Rafly yang sedang membaca
novel.

99
“Lo ngomong sama gue?” Tanya Rafly
“Diem lo! Gue bukan ngomong sama lo” Jawab
aku.
“Yakin lo?” Tanya Rafly
“Gue cuma mau ikutin saran dari lo aja.” Jawab
ku.
“Saran apaan?”
“Pindah ekskul.”
“Ahahaha,” tawa ledekan untuk ku.
“heh lo gausah ketawa,” jawab ku sambil
menghampirinya.
“Iya, sorry sorry. Btw, lo lagi nulis apaan si? Coba
lihat” Tanya nya.
“Apaan si gamau ah, nanti lo buang lagi ke tempat
sampah” ucap ku.
Rafly pun mengambil buku coret-coretan ku yang
berisi quotes. Seketika dia membisu. Lalu dia berTanya
apakah ini aku yang buat apa orang lain, dan dia menyuruh
ku untuk membaca quotes yang berisi tentang “Playboy”.
Kemudian aku bacakan quotes itu kemudian dia
memanggil aku Girl. Tidak. Tidak mungkin Playboy ini
adalah Rafly. Selama ini cowo yang aku suka adalah
Rafly?!
Saat itu aku pergi dan tidak mau menemui Rafly,
namun Rafly mencari ku, mencoba menghubungi ku, aku

100
tidak mau meresponnya. Aku masih terkejut dan
mengetahui kalau Rafly itu adalah “Playboy”. Pada malam
hari, Senja mengajak ku untuk pergi makan malam di
restoran milik ayahnya Rafly. Awalnya aku menolak itu,
tetapi Senja memaksa ku untuk dateng. Aku pun dengan
terpaksa menyetujui itu. Saat berada di restoran, kami di
sambut oleh ayahnya Rafly, belum kelihatan ada Rafly
disana.
“Rafly lagi on the way kok, tunggu sebentar ya.”
Ucap ayahnya Rafly.
Aku belum siap untuk ketemu Rafly dan
memutuskan untuk pergi ke kamar mandi. Disana aku
meyakinkan diri kalau Rafly itu bukan “Playboy”. Tidak
lama, Senja menghampiri ku dan menanyakan ada apa
dengan diriku. Aku berbohong. Aku pun keluar dari kamar
mandi, ku lihat disana ada Kevin yang sedang merayakan
ulang tahunnya. Kevin menghampiriku dan mengajak ku
untuk ikut gabung bersama teman-temannya. Ia juga mau
memperkenalkan aku dengan orang tuanya, karena ia
sudah nyaman dengan ku. Aku menolak itu karena aku
tidak suka dengan perilaku nya. Ia memaksa ku, datang lah
Rafly dengan membawa buku diary ku yang hilang.
“Kalo cewenya gamau gausah dipaksa.” Ucap
Rafly
“Banyak omong lo”
Kemudian Rafly berkelahi dengan Kevin. Tak
lama ayahnya Rafly datang melerai mereka agar tidak
berkelahi di dalam restoran tersebut. Mereka

101
menyelesaikan masalah ini dengan kepala yang dingin.
Senja menangis tidak mempercayai ini semua. Aku
menanyakan mengapa buku diary ku ada dengan Rafly.
Rafly menemukan nya di taman dan tidak mengetahui
kalau buku itu milik ku. Di saat aku minta kejelasan
kepada Rafly, Senja marah kepada ku dan tidak mau
bersahabat denganku. Senja pergi meninggalkan ku, aku
segera menyusulnya. Aku beri penjelasan semua ini
kepada Senja. Aku rela laki-laki yang selama ini aku
sukai, aku berikan kepada Senja agar ia bahagia. Akan
tetapi Senja masih marah.
Keesokan harinya, kami tidak berangkat sekolah
bersama. Senja masih kesal dengan ku. di ruang tamu, ada
seorang laki-laki yang sedang duduk. Ya benar, laki-laki
itu adalah Rafly. Rafly memberikan pencerahan kepada
Senja agar ia jangan egois memikirkan kebahagian sendiri.
Senja pun luluh mendengar kata-kata dari Rafly. Akhirnya
kami berdamai dan Senja mendukung aku bersama dengan
Rafly. Aku dan Rafly resmi berpacaran.

102
Susahnya Menjadi Orang Susah
Karya Bergas Putra Aji

Sore itu merupakan sore yang indah. Ada seorang


anak SMA yang baru saja pulang sekolah. Dia memiliki 1
kakak dan 1 adik. Namanya adalah Amin. Amin adalah
murid kelas 3 SMA yang sedang fokus meraih cita-citanya
untuk menjadi dokter. Namun sebelum bercita-cita
menjadi dokter, Amin tidak mempunyai cita-cita. Ada hal
yang membuatnya berubah dan memutuskan bercita-cita
menjadi dokter. Hal tersebut adalah suatu musibah yang
menimpanya pada 3 tahun yang lalu.
Baru saja pulang sekolah Amin terkejut melihat
berita bahwa ayahnya ditangkap dan akan dimasukan ke
dalam penjara, karena kekejaman para penguasa di dalam
pemerintahan. Amin pun terkejut dan mencari tahu apa
yang menyebabkan ayahnya akan masuk ke penjara. Dia
pun bertanya kepada seorang polisi yang menangkap
ayahnya.
“Pak, ayah saya kenapa pak?” Kata Amin.
“Sabar ya dek, ayah kamu telah ditangkap atas
pencermaran nama baik.” Ucap Polisi.
“Ga mungkin pak, ayah saya ga akan ngelakuin
hal kaya begitu.” Sergah Amin tak percaya.
Polisi tidak sanggup berkata apapun.

103
Amin pun mencari tahu apa yang terjadi. Dan
setelah dicari tahu Amin pun mengerti bahwa ayahnya
tidak salah. Namun ini merupakan rencana dari bos/atasan
ayahnya yang tidak senang terhadapnya karena terlalu baik
sehingga tidak mau disuruh melakukan hal yang tidak
baik. Namun Amin dan keluarganya tidak bisa berbuat
banyak dan hanya bisa pasrah dengan keadaan. Tak
disangka bencana tidak berhenti di situ saja. Ayah Amin
dinyatakan sakit dan keluarga Amin harus membayar
biaya untuk perawatan jalan yang ada di penjara.
Amin berpikir agar dapat membayar biaya
ayahnya dia harus bekerja. Akhirnya dia bekerja sebagai
kuli di pasar tanpa sepengetahuan ibunya. Dia berpikir
bahwa jika tidak bekerja bagaimana ayahnya bisa sembuh
dan keluarganya bisa makan. Ibunya hanya melanjutkan
bisnis kecil-kecilan yang sudah ada sejak neneknya kecil,
yaitu berjualan kripik kentang. Sedangkan pekerjaan
ayahnya tidak bisa dilanjutkan.
Selama di sekolah Amin pun tak seperti biasanya
dia hanya sering melamun memikirkan kondisi
keluarganya. Dia tidak bisa bercerita kepada siapapun
karena takut teman-temannya mngejeknya. Beberapa
teman Amin pun mulai khawatir terhadapnya. Beberapa
temannya pun mendekati dan bertanya kepada Amin.
“Oiy min ngapain si lu dari tadi bengong aja?”
Tanya Iky.
“Ga kenapa-napa, emang gua bengong?” Jawab
Amin.

104
“Ya elah kalo ada masalah cerita aja kenapa kita
kan udah temenan dari sd.” Ucap Iky sembari mengusap
punggung Amin. Amin membuka curhatannya, “Ya
sebenernya gua lagi ada masalah yang ngebuat gua dan
keluarga gua pusing ky.”
“Gimana masalahnya coba cerita sama gua sini.”
Iky mulai menenangkan Amin.
Amin akhiranya mau menceritakan tentang
ayahnya ke Iky dan Iky pun tidak menyangka itu.
“Wah pantes lu sampe begini bro. Masalahnya
gede banget.”
“Iya ky, makanya itu gua pusing banget.”
“Gua coba bantu deh kali aja ayah lu bisa sembuh
sekalian keluar dari penjara.”
“Serius lu ky?” Tanya Amin tak percaya.
“Iya bro santai aja kita kan udah temen dari kecil
coba nanti gua tanyain om gua yang polisi.”
Setelah ditelusuri oleh omnya Iky, ternyata yang
menyebabkan ayah Amin masuk penjara adalah
ketidaksenangan penguasa atas terhadap ayah Amin. Om
Iky tidak bisa berbuat banyak karena menyangkut
penguasa atas.
6 bulan kemudian
Amin pun sudah mempunyai uang untuk
membayar hutang untuk berobat ayahnya namun belum
memiliki uang untuk menebus ayahnya dari penjara.

105
Ibunya pun masih bekerja seperti biasa untuk menghidupi
keluarganya, namun tubuhnya semakin kurus karena
memiliki banyak pikiran. 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
2 2 2 2Iky tidak hanya membantu lewat om nya saja, dia
pun membantu Amin berjualan keripik kentang ibunya
agar laku. Tetapi itu semua belum cukup. Akhirnya ada
keluarga Amin yang cukup mampu mengetahui kejadian
tersebut. Beberapa menjauh, namun ada yang mau
membantu dari menyumbangkan uang hingga membantu
ke pengadilan karena om nya Amin merupaka seorang
pengacara, yaitu om Wawan.
Om Wawan pun berfikir untuk menghadapi
penguasa atas apa yang harus dilakukannya. Setelah
beberapa hari dia memberi tahu Amin bahwa ada satu
cara untuk mengeluarkan ayahnya dari dalam penjara,
yaitu dengan memberitahukan ke media televisi, sehingga
keburukan para penguasa akan terungkap dan pihak polisi
mau membebaskan ayahnya. Amin pun menyetujuinya
dan rencana mereka pun dimulai. Amin memulainya
dengan menceritakan ceritanya ke media sosial seperti
twitter,istagram dan lain-lain. Dugaan omnya benar
certianya pun viral dan media televisi pun tertarik dengan
cerita Amin. Om nya pun membantu sebagai pengacara
dengan memberikan kesaksian kepada media televisi. Tak
terkira cerita mereka pun terdengar sampai ke
pemerintahan dan terdengar oleh pak presiden. Pak
presiden pun memberi tanggapan bahwa masalah tersebut
harus cepat terselesaikan. Pihak polisi pun langsung
bergerak dan pihak penguasa pun mulai takut karena berita

106
ini sudah viral dan mereka tidak bisa berbuat banyak
karena pak presiden pun sudah memberi perintah.
Amin berterima kasih kepada om Wawan,Iky, dan
semua yang telah membantunya. Akhirnya ibu Amin pun
tahu karena beritanya sudah tersebar kemana-mana. Ibu
Amin khawatir dan takut apa yang terjadi kepada ayahnya
akan terjadi kepada Amin. Namun Amin meyakinkan
bahwa Amin tidak akan tertangakap dan tidak akan seperti
ayahnya karena dibantu oleh om Wawan. Ibunya akhrinya
pasrah dan menyerahkan semuanya kepada Amin dan om
Wawan.
Dan benar 2 minggu setelah peristiwa itu ayah
Amin keluar dari penjara tanpa biaya apapun dan berhasil
pulang ke rumah dalam keadaan sehat. Walaupun ada
yang Amin kesali karena penguasa atas tidak tertangkap,
tetapi Amin tetap bahagia karena ayahnya telah berhasil
keluar dari penjara. Sesampainya di rumah mereka pun
menangis gembira karena ayah mereka telah kembali.
“Ayah!! akhirnya perjuanganku dan keluarga tidak
sia-sia selama ini.” Iky menjemput ayahnya dengan hati
lega. Air biru nampak di bibir matanya.
“Iya nak terima kasih dan ayah pun minta maaf
karena telah membuat kalian menderita seperti ini.”
“Tidak, ini bukan salah ayah, yang seharusnya
disalahkan adalah para penguasa atas yang ada di
pemerintahan.”

107
“Sudah lah nak yang penting kita dapat kembali
berkumpul seperti ini, ibu sudah senang dan sangat
bersyukur kepada yang di atas nak.”
Kehidupan mereka pun kembali normal dan
ekonomi keluarga mereka pun sudah beranjak baik. Amin
pun terus bercita-cita menjadi dokter karena, dia berfikir
dari peristwa ayahnya bahwa dokter merupakan cita-cita
yang mulia karena dapat membantu orang lain dan
memiliki wibawa yang tinggi. Dan ayahnya sudah kembali
melanjutkan bisnisnya dan ibunya pun sudah mulai
gemuk. Dan berita televisi pun sudah kembali normal.

108
Angkasa
Karya Citra Nuralifah

Namanya Angkasa Hardana. Yang sedang lahap


memakan roti tawar tanpa selai kesukaannya. Bukannya
tak ada selai di rumah. Berbagai rasa selai boleh jadi ada,
tapi yang sederhana bahkan lebih dari cukup bagi Aksa,
nama panggilannya.
Hari itu berbeda, hari itu ialah hari pertamanya
mengenakan celana abu-abu. Masa SMA yang digadang-
gadang menyenangkan. Begitu yang Bunda nya katakan.
Aksa, nama panggilannya hanya menatap sang Bunda
datar lalu berucap “Mananya yang menyenangkan, Bun.
Paling-paling Aku ngebucin sama tugas lagi”.
Tak berlangsung lama setelah ia menghabiskan
sarapannya, ia bergegas melangkah keluar rumah sembari
menggendong ransel abu-abunya yang nampak tidak
berisikan apa apa.
Lagipula siapa orang yang membawa buku pada
hari pertamanya masuk sekolah? Apalagi tipikal orang
seperti Angkasa.
Kala itu pagi masih buta, langit belum benar-benar
biru, mentari bahkan masih malu-malu menampilkan
cahayanya, saat ia menyalakan motor bebeknya yang
sudah berumur tersebut. Hal terakhir sebelum ia pergi
ialah berseru “Bunda, Aksa berangkat!”. Saking lantang
suaranya bisa bisa membangunkan ayam ayam tetangga

109
yang sepertinya masih belum jua bangun. Tak perlu
balasan bagi Aksa untuk kemudian melajukan motornya.
Bunda yang berdiri di depan gerbang tepat saat Aksa
melajukan motornya hanya menggelengkan kepala,
melihat kelakuan putra semata wayangnya.
Begitulah Aksa. Status nya sebagai anak satu
satunya, tidak menjadikan ia seorang anak yang manja. 
Aksa mempercepat motornya sembari
membenarkan rambut hitamnya yang tidak pernah benar.
Jarak rumah nya dari SMA Gemilang terbilang cukup
jauh. Itulah salah satu alasannya berangkat lebih pagi. 
Sebenarnya bisa saja ia ikut jemputan mobil di
dekat rumahnya yang bahkan sudah difasilitasi sarapan,
tapi udara segar yang ia sehari hari hirup karena kecepatan
motornya yang diatas rata rata, menjadikan ia orang paling
beruntung di seluruh muka dunia.
Dibutuhkan 25 menit bagi Aksa untuk akhirnya
memperlambat laju motornya saat berada di depan
gerbang tinggi nan kokoh milik SMA Gemilang, salah satu
sekolah hebat di Jakarta Selatan yang sekarang dipenuhi
banyak mobil. Barangkali hanya dia yang menggunakan
motor untuk berangkat ke sekolah. Namun, Aksa bukan
orang yang terlalu memerdulikan hal tersebut. 
Menurutnya hebat untuk tidak merepotkan orang
banyak.
Lapangan luas dipenuhi orang berlalu lalang
menyapanya saat ia telah benar-benar memasuki SMA
tersebut.

110
Aksa memperhatikan dengan saksama. Siswa
siswinya berkacamata tebal, biasanya menenteng
setidaknya satu buku ditangan, seakan tas besar di
pundaknya tidak dapat menampung, atau ada juga yang
berjalan sembari membaca buku tersebut.
Berjalan tanpa ekspresi seakan tiada yang lebih
menarik daripada buku mereka.
Sama seperti SMA pada umumnya. SMA
Gemilang terdiri dari 2 jurusan. MIPA dan IPS. Namun,
siapa sangka yang perawakannya seperti Aksa begini ialah
anak MIPA.
Hari itu berlangsung seperti yang seharusnya.
Hanya saja sekolah tersebut sudah melakukan “Kegiatan
Belajar Mengajar” bahkan di hari pertama mereka masuk
sekolah. 
Guru-guru dengan ramah menjelaskan, Aksa
hanya mendengar, melainkan yang lainnya sibuk mencatat
setiap kata yang dijelaskan guru tersebut.
Jam telah menunjukan pukul 3. Sudah waktunya
pulang sekolah, namun hujan masih tidak jua berhenti
turun. Sebenarnya itu bukan masalah yang besar bagi
sebagian besar siswa siswi SMA gemilang yang sehari-
hari diantar jemput menggunakan mobil. Namun, beda
halnya dengan Aksa yang bisa-bisa basah kuyup kalau
memaksakan pulang saat ini juga.
Akhirnya ia memutuskan berdiri di selasar pintu
utama SMA Gemilang yang tak kalah luas. Tidak ada
siapa-siapa disana. Kecuali dirinya, dan seorang gadis

111
yang tadi pagi memberinya sebuah denah. Ia sedang
membaca bukunya sembari membenarkan posisi kacamata
yang cukup tebal. Tipikal anak sekolah ini.
“Aduh kapan berhenti sih. Hujan gak capek apa
jatuh mulu?” gumam Aksa pada diri sendiri.
“Efek yang ditimbulkan oleh satu tetes air hujan
yang jatuh dari ketinggian tersebut sama dengan benda
seberat 1 kg yang jatuh dari ketinggian 15 cm loh.” Suara
jernih terdengar dari seberang sana. 
Ternyata sumber nya ialah si gadis yang tepat
berada di depan Aksa, yang tak lain sedang menghafal apa
yang ia baca dari buku bacaannya.
Bagi Aksa, tidak seharusnya ia wajib merespon
ucapan gadis tersebut yang jelas-jelas tidak ditujukan
padanya. Tetapi handphonenya yang tak kunjung menyala
karena habis baterai, membuatnya tertarik berdialog.
"2 kali 2 sama dengan 4." Inilah Angkasa. Tidak
bisa dipisahkan dengan sifat jahilnya.
Boleh jadi ia bosan, tapi sudah pasti yang ia
ucapkan mengganggu gadis tersebut.
Dengan suara lebih lantang dari sebelumnya gadis
tersebut kembali menyebutkan hafalannya "15 cm, Efek
yang ditimbulkan oleh satu tetes air hujan yang jatuh dari
ketinggian tersebut sama dengan benda seberat 1 kg yang
jatuh dari ketinggian 15 cm" ekspresinya ia buat sangatlah
serius. Berusaha tidak memedulikan alam sekitar.

112
Aksa menyambutnya dengan ledekan yang
berlanjut "Ooh jadi kalo 4 kali 4 sama dengan 16."
Aduhai, seolah kesal dibuatnya oleh seorang
Angkasa. Pada akhirnya gadis tersebut mendongak,
mendapati seorang lelaki yang memandang rintik hujan
disampingnya, sembari tersenyum simpul. 
Kesabarannya sudah melampaui batas
kemampuannya. "Permisi tuan, bisakah kau berhenti
mengucap hal konyol?" Padahal sudah barang tentu
mereka seumuran. Tapi lagi lagi bukan anak SMA
Gemilang namanya yang sok enggan dan amat pencitraan.
"Maaf ya, Angkasa Hardana. Dipanggilnya Aksa."
Gadis itu membalasnya remeh. Bukan itu yang ia
butuhkan. Kalau saja dengan mudah ia bisa memanggil
Doraemon untuk meminjamkannya pintu kemana saja, ia
takkan tetap disini.
Di dalam pikirannya, mustahil salah satu siswa di
SMA Gemilang berperawakan berantakan, dan tidak
bersahabat dengan buku juga kacamata.
"Oke maaf ya mengganggu, tapi kayaknya tau
persis sekolah ini ya? Perpus dimana sih?" 
Seolah kata "maaf" sudah jadi imbalan atas yang
ia lakukan. Ternyata gadis tersebut lebih memilih untuk
berdiam diri memperhatikan bukunya.
Lagipula untuk apa orang macam dirinya ke
perpustakaan. Satu ungkapan hati lagi terlontar.

113
"Maaf tuan putri, tapi saya gak lagi ngomong
sama vas bunga,"
Oke, sekarang gadis itu yang berdecak. Sepertinya
tidak mau lebih banyak waktu diganggu oleh pria yang
bernama "Angkasa".
Gadis itu mulai melangkah masuk menuju pintu
utama sekolah tersebut. Aksa hanya memperhatikan. 
"Woi!" Serunya menyadarkan. Ternyata memang
beneran mau ditunjukin jalan.
Tidak lama memang perjalanan menuju gedung
perpustakan yang menjadi titik utama dari sekolah ini.
Tapi resiko nya jika menerjal saat hujan ya barang tentu,
basah kuyup.
Seorang penjaga perpustakaan menyapanya
hangat, tentu lebih hangat dari angin pendingin ruangan
yang tepat berada di depan pintu tersebut yang juga
menyapa keduanya, "Selamat siang, nama saya Ms. Lia.
Silahkan diisi dulu" ungkapnya.
Di meja tersebut selain Ms. Lia, ada 3 orang
lainnya. Angkasa masih setia melihat lihat sekeliling
perpustakaan dari sudut tersebut sembari berbincang
dengan Ms. Lia. Sedangkan, gadis itu sudah entah kemana.
Angkasa tidak memperhatikannya.
Ditengah obrolan yang makin lama makin dingin
karena angin pendingin ruangan yang tak berhenti bertiup
di atas kepala Aksa atau tiada topik lagi yang ia bahas.
Salah satu dari penjaga ruangan tersebut agaknya sedikit

114
berteriak, menarik perhatian. Apalagi bagi Angkasa, yang
jelas-jelas tidak jauh dari dirinya.
Bergegas ia menghampiri "Jangan berisik Bu, ini
perpus bukan pasar." ungkapnya diakhiri dengan kekehan.
Penjaga perpustakaan itu awalnya terdiam namun
selanjutnya berucap "Frau Hesti, nama saya ok? 
Angkasa tidak bisa menghentikan dirinya untuk
berdecak. Ia lupa orang orang di SMA Gemilang bukan
target yang tepat untuk diajak berbagi lelucon.
"Iya jadi ada apa Bu? Eh iya maksud saya Frau
Hesti?"
"Saya gak lagi mau ngomong sama kamu ya, anak
baru." 
Oke, sekali lagi ingin rasanya Angkasa berdecak.
Tapi kali ini ia bisa menghentikannya saat terkejut, tidak
tahu sejak kapan gadis itu, yang tadi ia ledeki muncul.
Menerawang Frau Hesti yang tetap panic menjelaskan apa
yang terjadi kepada Ms. Lia dengan buku tebal yang ia
peluk.
“Menyebalkan bukan?”
Angkasa bergeming. Ia bukan tipe orang yang
akan membicarakan orang. Selanjutnya, kembali
menghampiri Frau Hesti.
“Hei emangnya saya ngomong saya buku.” Kecam
gadis itu setelah diabaikan.

115
“Jadi begini, buku ini seperti judulnya adalah buku
sejarah SMA Gemilang sejak 50 tahun yang lalu…” Frau
Hesti mengawali penjelasannya, diperlihatkan olehnya
buku tebal berlatar putih dengan model yang cukup kuno
tapi agak mengesankan.
“…Anehnya buku ini selalu dipinjam pada hari
Jumat pada orang yang berbeda.” Terang nya sambil
menyodorkan kartu peminjaman buku tersebut.
“Ya ampun Frau, bukankah anak anak SMA
Gemilang memang gemar membaca. Buku setebal ini
bukanlah masalah besar.” Gadis itu menimpali enteng
dengan gaya berbicaranya yang formal.
“Tidak semudah itu, nona Freya. Orang orang
yang meminjam buku ini mengembalikan pada hari itu
juga.” Frau Hesti lagi lagi memberikan penjelasan. Meski
keduanya, Freya dan Angkasa memang anak baru di
sekolah ini. Namun, mudah saja bagi setiap warga SMA
Gemilang untuk menghafal nama serta wajah dari seluruh
anak baru.
Sedangkan Aksa hanya terdiam. Tanpa sadar
sedari tadi orang orang yang berada di perpustakaan
memperhatikan apa yang terjadi di meja tersebut.
“Berarti buku ini memang dipinjam bukan untuk
dibaca.” ucapnya lirih menarik perhatian. Freya kemballi
berpikir, menimbang nimbang kebenaran pernyataan
tersebut.

116
“Benarkah? Rasanya tidak mungkin.” Freya
merespon dengan alis berkerut. Tetap mempertahankan
pendapatnya.
Para penjaga perpustakaan tersebut
memperhatikan keduanya. Bingung yang mana yang
benar. Apakah Freya, anak MIPA yang sehari hari tiada
henti dengan bukunya atau Angkasa, si anak IPS
berantakan tersebut.
Angkasa menghembus pelan. Sebenarnya tidak
ada lagi yang harus dipermasalahkan. Hanya orang orang
yang akan terus berpikir SMA Gemilang ialah pusat buku
seharus harusnya dibaca.
“Aku rasa Freya lebih tepat.” Frau Hesti berbisik
kepada penjaga perpustakaan yang lain dengan suara yang
tentu saja dapat didengar dengan baik oleh keduanya.
Freya dan Aksa.
Freya meninggikan dagunya seolah menang dari
misteri tersebut. Aksa hanya menggedikkan bahunya,
kemudian bersuara “Terserah. Tapi kami harus ke gedung
kesenian untuk penyelidikan.”
Freya hanya diam sebelum ia sadar kata “kami”
adalah dirinya dan Aksa. Mereka berdua akhirnya pergi ke
gedung kesenian. Sepanjang jalan Freya menggerutu,
“Untuk apa ke gedung kesenian duh.”
“Diem aja deh.”
Entah sejak kapan langit berubah cerah dan hujan
telah usai. Mereka berdua telah berada di gedung kesenian

117
yang amat besar berisikan kanvas yang berbaris rapi
dengan lukisan yang sama. Lukisan seorang gadis yang
sedang membawa buku. Buku tersebut tebal, berwarna
putih. Persis seperti buku sejarah SMA Gemilang yang
sedari tadi diperbincangkan.
Yang dikatakan Aksa memang benar, buku itu
dipinjam tidak untuk dibaca. Melainkan untuk didjadikan
objek lukis setiap hari jumat.
“Masih berpikir buku hanya untuk dibaca, nona?”
Ucap Angkasa meledek.
Freya tersenyum simpul. Satu hal dapat ia pelajari.
Sesuatu yang terlihat baik, belum tentu baik, begitu juga
sebaliknya, sesuatu yang terlihat buruk, belum tentu buruk.
Maka, lihatlah lebih dekat. Dan begitulah hari yang
panjang itu berakhir.

118
Perkenalan Yang Unik
Karya Elvina Viyantika

Pada suatu pagi yang cerah aku berjalan jalan


santai di sekitar komplek rumahku menikmati udara pagi
yang sejuk dan asri belum terkontaminasi oleh berbagai
polusi. Aku melihat banyak orang yang melakukan
aktifitas lain, ada yang sedang olahraga, anak kecil yang
sedang bermain main dan masih banyak lagi. ‘Aku suka
sekali suasana ini’ batinku.
Karena terlalu asik memperhatikan orang orang
aku tidak sengaja menabrak seorang lelaki yang sedang
jogging, ia terlihat masih muda dan umurnya seperti tidak
jauh berbeda dariku, aku baru pertama kali melihatnya di
komplek ini. Lalu aku meminta maaf kepada nya, namun
bukannya membalas permintaan maafku dengan
mengatakan kata kata seperti meminta maaf kembali atau
sekedar mengatakan tidak apa apa, melainkan ia berkata
“sampai bertemu besok” sembari tersenyum dan setelah
itu berlalu. Aku bingung mengapa ia berkata seperti itu,
belum tentu aku bertemu lagi dengannya besok dan
bahkan aku tidak mengenalnya. Pria yang aneh.
Aku hendak melanjutkan jalan jalan ku, namun
aku menyadari ada sesuatu di bawah kaki ku, aku
menginjak sebuah kalung dengan liontin yang amat cantik
dengan foto di tengahnya. Aku langsung tau siapa pemilik
kalung ini setelah melihat fotonya, ini adalah foto pria

119
yang tadi aku tabrak. Aku berniat mengembalikannya
namun aku tidak lagi melihat pria tersebut, akhirnya aku
memutuskan untuk membawa pulang liontin tersebut.
Setelah sampai dirumah aku memperhatikan
liontin tersebut, liontin itu sangat indah tak kalah indah
dengan foto di dalam nya, pria itu cukup tampan
menurutku. “Akan lebih cocok jika fotoku yang ada di
liontin ini, wajahku lebih pas dengan cantiknya liontin itu”
kataku bergurau. Aku hendak mandi dan kuletakkan
kalung tersebut di meja lalu aku berlanjut ke kamar mandi
untuk membersihkan diri alias mandi. Setelah itu aku
berniat bersantai sembari bermain ponsel namun tidak
kutemukan ponsel ku. Aku mencari keseluruh rumah tetapi
tidak juga kutemukan. Akhirnya aku menyerah mencari
nya dan masuk ke kamarku. Aku melihat liontin yang tadi
kutemukan dan terlintas di benakku ‘mungkinkah ponsel
ku terjatuh saat aku jalan jalan tadi seperti liontin ini’ , aku
ingin kembali menyusuri tempat ku berjalan tadi pagi
namun aku malas untuk keluar dari rumah. Mood ku untuk
keluar rumah hanya ada di pagi hari , akhirnya kuputuskan
untuk mencarinya disana besok pagi. Sekarang aku ingin
bersantai sembari menonton film , namun entah mengapa
aku merasa ponsel ku aman diamana pun keberadaan
ponselku kini.
Keesokan paginya aku melakukan kebiasaanku
seperti biasanya yaitu berjalan jalan santai di pagi hari,
namun rute yang kuambil hari ini sama persis seperti
kemarin sebab aku ingin mencari ponsel ku kalau kalau
ponsel itu terjatuh di jalan. Sudah seperempat jalan tetapi
aku belum juga menemukan ponsel ku. Lalu aku bertemu

120
lagi dengan laki laki yang kutabrak kemarin, aku melihat
ke arahnya dan ternyata ia juga sedang melihat ke arahku.
Aku rasa kita membuat kontak mata dan aku mengakui
bahwa dia memang tampan.
“Hei! Apa kau sedang mencari hpmu?” sapa pria
itu secara tiba tiba yang membuatku terkejut dan tidak
percaya pada apa yang ia katakan.
Untuk kedua kalinya aku dibuat bingung oleh
perkataannya bagaimana ia bisa seolah tau jika aku sedang
mencari ponselku, namun kali ini aku juga curiga dan
berpikiran yang tidak tidak terhadapnya.
“Kenapa kamu menanyakan hal itu ? seolah kamu
tau aku sedang mencari ponselku” aku bertanya kepadanya
untuk memenuhi rasa penasaranku sembari menatapnya
dengan heran.
“Ternyata kau sedang mencari ponselmu ya” kata
pria tersebut.
“Pernyataanmu barusan bahkan tidak menjawab
pertanyaanku.” Balasku.
Selagi aku berkata begitu, pria tersebut
mengeluarkan sesuatu dari saku celananya dan
menunjukkan benda itu kepadaku dan ternyata itu adalah
ponselku yang sedari kemarin menghilang. Aku
mengetahuinya dari gantungan yang ada di ponsel itu,
gantungan itu buatan tanganku.
“Kenapa hpku bisa di tanganmu? kamu
mencurinya?” tanyaku padanya.

121
“Pertama, hpmu bisa berada di tanganku karena
aku mengambilnya dari saku jaketmu kemarin dan kedua,
aku tidak bisa dibilang mencurinya tetapi lebih tepatnya
meminjamnya” jawabnya.
“Meminjam? Untuk apa kamu melakukan itu?”
aku terus bertanya sebab semakin bingung dengan
jawabannya, benar benar pria yang aneh.
“Aku bisa disebut meminjamnya karena sekarang
aku berniat mengembalikannya.” Jawab pria itu
“Hey , tetap saja kau mengambilnya tanpa
sepengetahuanku itu namanya mencuri tapi kenapa kamu
melakukannya ? kau belum menjawab pertanyaanku itu
sebelumnya”
“Kamu mau hp ini ?” tanya pria itu kepadaku. Ia
menanyakan sesuatu yang seharusnya tidak perlu
ditanyakan.
“Itu hpku, sudah jelas aku mau hp itu kembali,
kalau pun aku tidak mau kamu tetap harus
mengembalikannya karena itu hpku dan kau bilang ingin
mengembalikan hp itu kepadaku tadi, sini kembalikan
hpku” aku menyodorkan tangan ingin mengambil hpku.
“Ouuuh... sabar dulu dong” katanya sembari
menurunkan tanganku.
“Hah ? kenapa?” kataku
“Kalau kamu mau hpmu ini kamu harus
memenuhi satu syarat”

122
“Jangan aneh aneh deh, udah sini balikin aja”
“Mau enggak hpnya ?”
“Oke oke apa syarat nya?” aku akhirnya
mengikuti saja apa katanya , bagaimanapun ponselku
masih ditangannya dan aku menginginkan ponselku
kembali.
“Namamu” katanya.
“Hah? Namaku?”
“Iya namamu, kau harus memberi tahu namamu
maka aku akan memberikan hpmu” ucap pria itu.
“Vina” aku menyebutkan namaku, nama yang
bagus bukan. Aku sangat menyukai namaku. Tetapi
dengan mengatakan namaku, aku baru menyadari bahwa
aku tidak mengetahui nama pria ini, pria aneh yang
membuatku penasaran dengannya.
“Nama yang bagus” katanya sembari memberikan
ponselku..
Aku mengambil ponselku dengan perasaan lega
namun entah kenapa aku penasaran dengan pria ini dan
ingin mengenal nya lebih.
“Jadi ini alasanku meminjam hp mu kemarin” lalu
ia melanjutkan “sebenarnya alasan awalku hanya agar bisa
bertemu lagi denganmu tetapi aku baru menyadari bahwa
aku bisa melakukan yang lebih dari itu yaitu mengetahui
namamu hehe”

123
Mendengar jawabannya entah kenapa aku merasa
terkesan dan semakin penasaran dengannya. Aku memang
mudah terkesan dengan hal yang belum pernah aku temui
sebelumnya. Aku menjadi ingin berkenalan dan berteman
dengan pria ini.
“Wahh aku belum pernah menemukan orang
sepertimu ini sebelumnya, bagaimana kau terpikir hal
seperti itu”
“Haha kau ini lucu sekali ya, cantik pula” pria itu
membalasku dengan tertawa lalu melanjutkan “sekarang
ayo kembalikan liontinku”
Awalnya aku agak tersipu saat ia mengatakan
kalimat pertamanya, namun lagi lagi dan lagi aku dibuat
bingung oleh kalimat keduanya. Bagaimana ia bisa tau
bahwa aku menyimpan liontinnya. Aku rasa ia juga
sengaja menjatuhkan liontin itu.
“Kenapa kamu tau liontin itu ada di aku? Kamu
sengaja menjatuhkannya juga ya? Untuk apa? Sebagai
alasan untuk menemui ku?” aku menghujaninya dengan
pertanyaan, aku juga mencoba menebak tujuannya.
“Kamu benar soal aku sengaja menjatuhkannya
tetapi aku menjatuhkannya bukan untuk bertemu
dengamu, aku menjatuhkannya untuk keadilan. Tidak adil
rasanya jika hanya aku yang menyimpan barangmu tetapi
kau tidak” jawabnya
“Haha kenapa kau bisa berpikir seperti itu coba”
aku tertawa karena jawaban tidak masuk akalnya.

124
“Yasudah kembalikan liontinku”
“Ouuh....sabar dulu dong, ada syaratnya” kataku
mengembalikan kata kata yang dia katakan tadi.
“Kau mengembalikan kata-kata ku yaa, bisa aja
nih”
“Haha iya dong” lalu aku melanjutkan
perkataanku “sama seperti syaratmu tadi, kau harus
memberitahu namamu” aku benar benar mengembalikan
kata-kata nya
“Dean” ia menjawab.
“Keren juga namamu seperti nama rapper” kataku
“Sekarang kita udah kenalan dong, perkenalan kita
unik ya” aku melanjutkan perkatannku sembari
mengembalikan liontin dan menjabat tangannya.
“Haha kalau begitu apa kita bisa temenan?”
“Tentu saja bisa, kenapa tidak”
Aku senang bisa berteman dengannya dan
mengenalnya lebih.
“Apa kau mau bertemu lagi denganku lagi besok
di tempat ini?” kata Dean
“Boleh, aku tidak ada pekerjaan besok” aku
menerima ajakannya karena aku merasa nyaman berbicara
dengannya, jadi aku ingin lebih lama mengobrol
dengannya.

125
“Sampai bertemu lagi besok, bye” kata Dean
sambil melambaikan tangan.
“Byee” aku membalas lambaian tangannya dan
setelah itu ia berlalu ke arah yang berlawanan dengan arah
pulangku.
Setelah ia berlalu aku teringat perkataannya
kemarin sama seperti yang barusan ia katakan ‘sampai
jumpa lagi besok’. Aku akhirnya mengerti kenapa ia
mengatakan itu kemarin. Ia sudah mernecanakan untuk
bertemu denganku. Pria yang unik.
Esok harinya aku bertemu lagi dengannya di
tempat yang sama, namun yang kali ini bukan kebetulan
seperti sebelumnya. Aku mengobrol tentang banyak hal
dengan Dean di taman dekat sana sembari terkadang
bersenda gurau. Aku merasa nyaman berbicara dengan
Dean bahkan jika mengobrol dalam waktu yang lama aku
tidak akan bosan. Dean orang yang asik juga unik dan ia
juga tampan haha.
Sejak saat itu aku menjadi semakin dekat dengan
Dean. Kami sering bermain bersama, jalan-jalan dan
melakukan hal seru lainnya. Aku senang memiliki teman
seperti Dean.

126
Kisah Semu Yang Berdebu
Karya Faiza Assyifa Suhendra

“Aku tidak bisa mencintai mu lagi” kalimat itu


yang saat ini selalu berputar di kepala Fasya. Gadis yang
biasa dipanggil Aca menangis tidak percaya dipojok
kamarnya. Seperti tidak percaya akan kehilangan
seseorang yang mengindahkan kesepiannya. Navarro, iya
laki-laki itu yang selama ini menjadi alasannya tersenyum.
Entah apa alasannya, sampai saat ini Aca benar-benar
tidak paham. Isi kepala aca berkecamuk, bahagianya di
renggut begitu saja.
Sampai bertemu di pagi hari nyatanya senyum
Navva masih untuk Aca, seolah-olah semalem tidak terjadi
drama yang hampir membuat Aca gila. “selamat pagi
Aca!!” sapa Navva kepada Aca. Aca hanya bisa
tersenyum, walaupun dia tahu cepat atau lambat ia akan
kehilangan semuanya. Senyum, ceria, perhatian navva
yang sebelumnya selalu ia berikan kepada Aca. Saat ini
rutinitas yang mereka lakukan masih sama, navva yang
masih saja bermanja-manja. Aca hanya menerima seolah
menolak Navva pergi dari hidupnya.
Di sekolah memang semua terlihat baik-baik saja,
padahal perlahan rutinitas yang selalu dilakukan memudar.
Tapi yang Aca bisa lakukan hanya diam dan seakan-akan
semua baik-baik saja, ya semoga. Beberapa kali mereka
berkesempatan untuk membicarakan hal ini kembali.

127
“Kenapa kamu tetap bertahan berada disampingku?
Padahal kamu tau apa perasaan ku sekarang.” Navva
bertanya sambal menatap Aca begitu dekat. Lagi-lagi Aca
hanya terdiam lalu berucap “gapapa”. Memang Aca tidak
mahir dalam mengutarakan apa yang ia rasa. Café shop
samping sekolahku menjadi saksi atas muramnya dua
pemuda yang dahulu saling mencintai. Namun, esok
harinya Aca memberanikan diri untuk menjawab juga
mengutarakan apa yang kemarin Navva tanyakan kepada
dirinya. Malam itu, tepat malam minggu dimana pasangan
lainnya sedang bersenang-senang, via telepon Aca
memulai percakapan yang cukup mendalam.
“Halo Navva, aku mau ngomong ganggu ga?”
“Ga kok, mau ngomong apa?”
“Aku mau jawab pertanyaan kamu kemarin.”
“Ya, gimana?”
Percakapan malam itu berlangsung 40 menit
lamanya. Saat itu Aca merasa seperti ada harapan yang
masih diberikan oleh Navva. Tidak hanya harapan Navva
pun menuturkan janji bahwa Navva akan selalu ada untuk
Aca. Aca tidak tau harus percaya atau tidak atas janji yang
diberikan Navva kepadanya.
Semakin hari rasanya semakin berat bagi Aca,
setiap malam ia kesepian tidak ada lagi sapaan, tidak ada
lagi perhatian, dan tidak ada lagi ucapan selamat malam.
Malam yang selalu berujung tangis ditemani alunan lagu
yang melankolis dan lampu tidur yang remang-remang.
Kamar sudah menjadi tempat favorit, tempat Aca selalu

128
menumpahkan perasaannya, tempat yang setia
mendengarkan tangisannya, tidak ada tempat lain selain
kamar mungilnya itu.
Jendela berbentuk huruf L yang selalu
memperlihatkan bulan, benda langit yang sangat Aca
sukai. Kepada bulan Aca selalu bercerita dan
menyampaikan pesan, berharap bulan menyampaikannya
kepada orang yang dituju. Kali ini, Aca berbincang dengan
bulan “hai bulan, apapun bentuknya kamu selalu indah.
Malam ini aku ingin sedikit bercerita, lagi dan lagi tentang
Navva. Kamu bosen ga sih denger cerita ku yang selalu
tentangnya.” Tuturnya dengan lembut seakan bulan sedang
berbincang dengannya. “bulan, tolong beritahu aku yaa
kalau perasaan ku ini masih penuh atau sudah pudar.”
Kemudian pada secarik kertas putih yang masih polos Aca
mengeluarkan isi kepalanya dengan puisi.

Bulan Bersembunyi atau Pudar?

Sudah tak nyata


Hilang dihisap kabut malam
Atau
Sembunyi dibalik nestapa gulita

Rasa hampa berkelana

129
Menelusur arah tak temu jua
Semesta yang sembunyikan
Dan waktu yang memudarkan

Dua bait puisi yang mewakili perasaan Aca tercurah


sudah. Beginilah cara Aca mengeluarkan isi hatinya,
melalui tulisan. “Semoga kamu mendengarnya, bulan.”
Tutur Aca penuh harap.
Kesunyian yang Aca rasakan semakin menjadi-
jadi. Kisah yang entah kapan akan berakhir semakin
mengacaukan hari-hari Aca. Terlebih kehadiran Inara yang
terdengar dekat dengan Navva. Iya, Inara yang biasa
dipanggil Ina juga teman sekelas Aca, Inara tahu seberapa
sayang Aca kepada Navva. Betapa kecewanya Aca kepada
Inara. Terlalu cepat bagi Aca untuk melespas Navva,
namun Aca hanya bisa menangis. Dalam tangisnya Aca
hanya merapal kecil penuh kecewa. Kecewa pada Navva,
Ina, juga pada dirinya sendiri. Kecewa mengapa tidak
mempertahankan Navva lebih lagi.
Navva yang terlihat bahagia bersama Inara, seperti
ada rasa asing yang Aca rasakan. Aca hanya memandang
dari kejauhan dengan perasaan asing itu. Rasa sesak dan
tidak rela membuat Aca ingin berbalik arah saja. Sudah
tidak tahan, Aca mulai berlari menuju kamar mandi.
Disana Aca bercermin sambil menangis dan menatap iba
dirinya sendiri. Tak peduli dengan urban legend yang ada,
tak peduli dengan sang penghuni kamar mandi. Disana
Aca menenangkan diri lalu kembali lag ike kelasnya.

130
Kejadian yang tidak hanya sekali sudah cukup membuat
Aca uring-uringan. Isi dikepalanya hanya Navva, Navva,
dan Navva. Tidak yang lain.
Dan sekarang menyepa saja rasanya berat bagi
Aca ataupun Navva. Walau banyak hal yang ingin Aca
tanyakan kepada Navva. Lagi dan lagi semua hanya
tersimpan dalam mulut Aca, tidak ada satu pun kata yang
keluar dari mulutnya.
Terlalu banyak yang ingin Aca katakan sejak lama
kepada Navva hingga menumpuk atau bahkan sudah ada
yang membusuk. Berkali-kali Aca mencari kesempatan
untuk bicara namun hasilnya nihil. “Ca..Ca masih aja lo
kayak gini.” Ucap salah satu sahabat Aca. “Emang ga
capek apa Ca, gue sih jadi lo udah gue buang kali. Udah ga
ada yang bisa diharapin..” Mendengar ucapan temannya
itu Aca terdiam. “siapa sih yang ga capek kayak gini, gue
juga maunya berhenti tapi gue gabisa.” Ucap Aca. “Tapi
menurut gue emang lo belom niat Ca, kapan lo bisa
berhenti kalo lo sendiri belom niat untuk ngelepas Navva.”
Ucap salah seoarang sahabat Aca yang lain. Ya begitulah
perdebatan Aca dengan sahabatnya yang mungkin sudah
lelah menasehati Aca yang masih terlalu keras kepala.
Memang terkadang Aca butuh ditabrak oleh
kenyataan supaya dia realistis. Tapi kali inj Aca hanya
ingin dimengerti bahwa hatinya sedang rapuh, tidak ingin
dipaksa. Aca pasti bisa dia hanya butuh waktu untuk
merelakan semuanya.
Pada suatu saat, entah keajaiban darimana Navva
dan Aca bercengkrama. Beberapa kali Navva berikan Aca

131
perhatian, Aca pun tidak tahu tujuannya apa. Tapi Aca
merasa Navva memberikannya harapan kembali. Pastinya
Aca merasa menang karena Navva bisa saja memilihnya
kembali. Setiap malam mereka berbincang sembari
menghilangkan penat. Tapi Aca tetap menanamkan pada
dirinya bahwa ia menganggap Navva sahabatnya tidak
lebih, Aca tidak ingin kecewa karena harapan hang ia buat
sendiri
Rasa yang sempat hilang terasa kembali, rindu
yang Aca rasakan terbayarkan dengan kehadiran Navva
lagi. Namun, nyatanya kembalinya Navva hanya untuk
memperbaiki hubungan pertemanan yang memang
mengawali kedekatan mereka dulu yang sempat hilang
karena sebuah asmara. Navva tetap memilih Inara, yang
sebelumnya Aca anggap sebagai temannya.
Hubungan mereka yang telah membaik, membuat
Aca ingin mengungkapkan tapi ia takut kalau apa yang dia
bicirakan hubungan mereka akan rusak lagi dan hal itu
mungkin sudah basi. Mau tidak mau lagi dan lagi Aca
memilih untuk memendam semuanya.
Semakin lama banyak hal yang Aca ketahui dan
membuat Aca paham tidak seharusnya Aca mengharapkan
Navva lagi. Namun, tetap ada rasa yang mengganjal dalam
benak Aca. Sesuatu yang selalu Aca hindari,
mengungkapkan semuanya kepada Navva. Dan itu salah
satu keemahannya yang tidak mudah mengutarakan
perasaannya.
Sekarang, Aca bertekad untuk melawa rasa
takutnya dan memutuskan untuk bicara kepada Navva.

132
Aca menemui Navva dikelasnya, dan mulai berbincang.
Aca bicara dimulai dari rasa kecewanya sampai rasa
terima kasihnya. “Makasih Nav untuk semuanya, dari
semua ini gue jadi belajar banyak hal, gue belajar untuk
ikhlas melepaskan sesuatu yang gue punya dan gue
sayang. Karena lo juga gue bisa ada di titik ini. Dan maaf
kalo ada sesuatu yang sebelumnya membuat lu kecewa,
makasih banyak, Navva.” Tutur Aca penuh dengan
ketulusan. “Gue juga mau bilang makasih pernah hadir
dalam hidup gue dan memberikan kesan yang baik. Maaf
kalau gue melakukan kesalahan yang susah buat
dimaafin.” Begitu jawab Navva.
Beginilah kisah mereka yang tidak menjadikan
kisah asmara sebuah penghalang untuk mereka tetap
berteman. Aca dan Navva sudah menjalin hubungan yang
baik sebagai sahabat yang cukup dekat. Karena mereka
sudah saling mengenal pastinya mereka menjadi terbuka
dan saling mendukung satu sama lain.

133
Kisah Gadis Kecil
Karya Fajri Virgitasari

Pagi hariku disambut dengan suara ayam


“kukukkk ruyukk....” perlahan ku buka mataku, ku cari
handuk dan bergegas untuk mandi, selesai mandi aku
mencoba untuk mengikat sendiri rambutku
“Huftttt...” ternyata susah sekali mengikat rambut,
“Yah tolong ikatkan rambut lia”
Ku minta tolong pada ayahku yang sedang sibuk
bersiap-siap untuk bekerja, ternyata ayahku memang tidak
pandai mengikat rambutku, aku merasa kepalaku sakit,
“cuman ibu yang bisa” ya sudah aku bersekolah hanya
menjepit rambutku.
Cuaca diluar sedang hujan deras, tetapi aku sudah
biasa mandiri tanpa di temani orang tuaku untuk berangkat
ke sekolah, biasanya aku hanya di temani oleh teman-
temanku yang seadanya, jeremy namanya,walaupun ia
sangat jutek dan usil kepadaku, tetapi setidaknya dia mau
menemaniku.
Tetapi pada saat itu jeremy tidak mau
menungguku, akhirnya aku berangkat sekolah sendiri,
walaupun ibuku menawarkan untuk mengantarku. Aku
menolaknya karena tidak mau merepotkan ibuku yang
sedang menjaga toko.

134
Menikmati setiap jalanan yang aku tempuh untuk
ke sekolah, aku melihat seorang gadis kecil bersama
ibunya yang sedang menghabiskan waktunya untuk
bersama memainkan alunan musik piano, sedih, ingin, tapi
aku harus apa, orang tua ku sibuk dengan pekerjaan nya
masing-masing,sehingga tidak ada waktu untuk bersama.
Suatu ketika sebelum gerbang sekolahku, sudah
ada di hadapanku seorang bapak-bapak yang tidak tahu
asalnya dari mana dan berpenampilan sangat aneh
menghampiriku
“Dek, boleh bapak satu payung dengan mu?”
Sunggu aku takut, aku hanya bisa menengok
gerbang depan sekolahku, karena aku tidak bisa
menolaknya, lalu aku mengangguk
“Ii..yaa.”
Saat itu juga aku tidak tau aku dimana, tubuhku
terasa sakit, berlumuran darah, aku hanya bisa meringis
kesakitan, tetapi untung saja ponselku tidak jauh dari
tanganku, langsungku hubungi nomor darurat.
Ternyata sudah banyak kerumunan orang di
tempat kejadian itu, banyak petugas kepolisian yang
sedang melakukan pengecekan, ibu dari temanku ternyata
sudah menelpon ibuku, awalnya tidak ada yang tahu
bahwa korbannya itu adalah aku.
*suara ponsel ibuku*
Lalu ibuku angkat

135
“Bu ibu tau ada anak gadis yang di temui
berlumuran darah di rumah kosong depan sekolah?”
Aku sangat yakin ketika ibuku tau berita itu ibuku
cemas dan panik, langsung ia bergegas ke tempat kejadian
itu, disana sudah banyak polisi yang sedang menangani.
“Dimana anak ku?”
“sebaiknya ibu ikut kami ke rumah sakit, anak ibu
sudah kami bawa kesana.”
*kringggg*
“Iya ada apa?”
“Apakah bapak orang tua dari lia ayu?”
Iya saya sendiri, ada apa ya, pak?”
“Sebaiknya bapak cepat ke rumah sakit mulya”
dengan muka sedih,panik,dan takut orang tuaku
menghampiriku di rumah sakit dengan badan ku yang
sangat lemah sakit, perih. Ibuku yang histeris melihatku,
nagis ter isak-isak dan sangat menyesal, sedangkan ayahku
yang mencoba untuk kuat melihatku.
*Suster membuka pintu ruangan tempat aku di
tangani*
“Hanya satu yang boleh masuk, silahkan.”
Sudah ku tebak pasti ayahku yang masuk lebih
dulu, ibuku pasti sangat terpukau.

136
Ayahku yang memegang tanganku sangat lembut,
dan aku mencoba untuk membuka mataku, sangat sakit
dan lemas tetapi aku hanya ingin semua di adili dengan
seadil adilnya, agar semua perempuan di dunia tidak
mengalami musibah yang sama dengan ku.
“Yah..”
“Iii yaa..nak” *sesambil mengusap air mata*
“Rompi..”
“Tak beralas sendal.”
Ayahku menangis, tidak kuat untuk mendengar
“Iya nak, nanti saja kita bahas yaa, yang penting
kamu harus sembuh dulu.”
“Aku hanya takut tidak mengingatnya yah.”
“Aku ingin dia diadili se adil-adilnya yah.”
“Iya nak.”
Seketika aku memejamkan mata, perih sekali
sekujur tubuhku.
Dokter mengatakan harus mengangkat bagian
anusku dan ususku harus mempunyai sambungan
penambahan, kalau tidak nyawaku tidak bisa tertolong.
Ayahku menangis tidak tega padaku.
“Lakukan yang terbaik untuk putriku.”
“Baiklah pak.”
Ibuku hanya bisa nangis,nangis dan nangis

137
Ayahku bergegas ke kantor polisi untuk
menangani kasusku, tetapi ibuku menahannya, ibuku tidak
mau semua orang tau bahwa aku mengalami musibah ini,
ibuku takut aku malu dengan semua orang. Tetapi yang tau
pesanku hanya ayahku, maka dari itu ayahku yang akan
mengurus ini semua.
“Tolong di cari pelakunya, saya mohon sekali.”
“Iya pak siap.”
“Harus di adili seadil-adilnya.” *sambil terisak*
Polisi yang terus mengecek foto dari para pelaku.
Ternyata pelaku tersebut sudah memiliki kasus
penganiyaan seksual pada anak kecil.
Lalu ke esokan hari nya, polisi dan ayahku
melakukan pemeriksaan dengan melontarkan beberapa
pertanyaan kepadaku,
“Apakah yang kamu ingat tentang pelaku itu?”
“Apakah pelaku itu memiliki wangi yang ciri
khas?”
“polisi itu menunjukan sebuah foto kumpulan para
pelaku.”
“Jika iya silahkan menggangguk.”
Setelah ku lihat ada satu wajah yang tidak asing
dan yang paling ku ingat, tampang dan model gaya rambut
masihku ingat jelas. Aku mengangguk dan aku tunjuk
wajah itu, ingin nangis se jadi-jadinya, tetapi aku tidak

138
bisa aku harus tegar. Karena jika aku lemah orang tuaku
sangat terpukau.
Ternyata hati seorang ibu tidak kuat jika melihat
anaknya seperti ini, penyesalan yang terus ia
rasakan,nangis yang terus menerus, ingin rasanya aku
memeluk ibuku, apalah dayaku, hanya bisa menutup mata,
tertidur, dan sedikit trauma.
Pingsan, ibuku saat itu juga lemah tidak berdaya,
untung saja ia bersama ayahku, bergegas ayahku
memanggil dokter dan di gotongnya ibuku menuju kasur
pasien. Ternyata tidakku sangka, bahwa aku akan segera
memiliki adik baru, usia kandungan ibuku sudah
memasuki bulan ke-5. Tidak hanya aku saja yang kaget,
ternyata ayahku juga tidak mengetahui tentang kandungan
ibuku.
Hari mulai berjalan, penyelidikan tetap berjalan.
Para reporter sudah siap untuk mengumpulkan berita
kasusku. Saat ayahku mendengar bahwa pelaku itu sudah
tertangkap, bergegaslah ayahku menuju kantor polisi
untuk memaki dan memberi balasan yang setimpal. Tetapi
saat ayahku sampai di sana ia sudah di hadang oleh para
reporter dan ia diawasi oleh para petugas dari kepolisian.
Jika reporter itu tau kalau itu ayahku, maka kasusku ini
akan menyebar luas dan akan memalukan diriku
sendiri.Geram perasaan ayahku pada pelaku itu, tetapi
apalah daya ayahku tidak punya jabatan apa-apa, ia hanya
seorang karyawan mekanik yang hanya bisa mengikuti
alur hukum yang berjalan.

139
Tidak hanya pihak kepolisian yang menangani
kasusku, ada juga seorang wanita yang sudah memakai
kursi roda yang ikut menangani kasusku, dan ke-
traumaanku. Hari demi hari wanita itu membujuk
perlahan-lahan mengobrol dengan ku, dengan memberikan
aku pertanyaan-pertanyaan. Jika aku menjawab pertanyaan
yang dilontarkan olehnya, aku harus memasang stiker
kupu-kupu di setiap bagian kertas. Dan hingga pada saat
nya kertas yang sudah menjadi buku terisi penuh oleh
stiker kupu-kupu. Di tahap itu aku sudah mulai bisa
mengobrol dengan orang selain ibuku.
Bagaimana kabar ayahku? selama aku di rumah
sakit, aku tidak pernah bisa mengobrol dengan
ayahku.Aku melihat laki-laki adalah seorang yang
mengejamkan, tetapi wanita ahli psikiater itu yang
mengobati rasa traumaku. Setiap hari yang ku lalui aku
harus menghadapi dengan ikhlas. Sampai saat nya aku di
perbolehkan untuk pulang. Menaiki mobil untuk
menempuh perjalan pulang, dengan di tutupi sebuah kain,
agar aku tidak melihat ayahku. melewati jalan kejadian itu,
jantungku sangat sesak.
Ku turun dari mobil dengan sangat hati-hati, ku
lihat di pintu rumahku sudah penuh dengan gambaran,
kertas berisi kata-kata semangat untuk ku, sedih dan
terharu rasanya.semua teman-temanku satu kelas sangat
perhatian dan baik hati hati kepada diriku. jeremy teman
ku yang usil dan jutek, ia adalah yang satu-satunya teman
yang menyesal kenapa ia meninggalkan ku kala itu. Ku
bayangkan pipi tembam dan jutek mukanya bisa menulis
kata-kata yang membuatku tersentuh.

140
Tidak terlewat oleh kasus ku, ayahku di hubungi
oleh pihak kepolisian jika ada yang ingin ayahku tanyakan
pada pelaku itu. Sesampainya disana. Ayahku dan pelaku
itu di tutupi oleh sebuah kaca yang sangat tebal.
“Kenapa kamu bisa-bisanya melakukan itu pada
putriku?”
“Saya tidak ingat sama sekali, kala itu saya sangat
mabuk, saya tidak bisa mengingat kejadian itu, itu bukan
saya yang melakukan.”
“Sudah jelas-jelas pelakunya itu kamu, sudah ada
barang bukti dan saksi yang konkrit, kenapa kamu bisa
tetap mengelak kalau itu bukan kamu?”
“Jika aku sadar tidak akan sekejam itu, bebaskan
aku, agar aku bisa bekerja dan menghasilkan uang yang
banyak, dan aku akan menebus semuanya.”
Saat mendengar itu ayahku sangat geram,marah
dan emosi terhadap pelaku itu, bisa bisanya dia berkata
seperti itu, aku bukan barang yang bisa di daur ulang jika
sudah rusak, aku tidak bisa dibayar dengan uang. Semua
tidak akan balik dengan keadaan semula.
Hari pertamaku masuk sekolah setelah mengalami
musibah itu. Malu rasanya,
“Apa yang harus ku katakan pada teman
temanku?”
“Aku akan bilang bahwa aku dan orang tua ku
pergi ke rumah sodaraku di luar kota.”

141
Ibuku yang mengurusiku, memakaikan baju,
mengikat rambut,membuatkan aku sarapan, aku ingin
sekali seperti ini dikala itu.
Sampai saat ini aku belum bisa bertatap muka
dengan ayahku. Suatu ketika dimana saatnya ayahku
menghiburku dan menemaniku sampai aku di sekolah, ia
memiliki cara berbeda agar aku tidak trauma, ia memakai
badut kesukaanku, senang sekali dan sangat lucu. Awalnya
aku tidak menyadari bahwa itu ayahku.
Jam istirahat dikantor ayahku, ia bergegas untuk
menghampiriku dengan badan yang sudah mandi keringat
dan memakai kostum badut kesukaanku, dan ia berjoget
joget di lapangan yang bisaku lihat dari jendela kelasku.
Saat itu juga aku sangat senang dan sangat percaya diri
dengan kondisiku.
Dan tiba saat nya aku mengetahui itu ayahku, ku
buka kepala badut itu, aku melihat wajah seorang ayah
yang sedang bercucuran keringat demi menyenangkan
anaknya dan menjaga anaknya. Sangat sedih aku
melihatnya, tetes demi setetes air mata ayahku, ku usap air
mata itu yang sudah mengenasi pipi merah ayahku. ku
tarik tangan ayahku menuju rumah, dan ternyata sudah ada
ibuku yang menunggu, ibuku juga tidak tahu kalau ayahku
melakukan itu. Lalu air mata yang sudah tidak bisa kami
tahan, seketika turun dengan cepat dan derasnya. Rasa
trauma aku kepada ayahku dan laki-laki mulai memudar.
Aku sudah bisa menerima kondisi yang menimpaku saat
ini.

142
Hari ini ketetapan nasib pelaku itu, orang tua dan
orang-orang sekitar ingin pelaku itu menerima hukuman
yang pantas seumur hidupnya. Tetapi hakim berkata lain,
pelaku itu hanya divonis 10 tahun penjara sedangkan
usiaku saja kala itu 6 tahun, berarti ia akan bebas dari
penjara saat umurku belum menginjak 20 tahun.
Mendengar ketetapan hakim yang tidak adil itu para saksi
dan orang-orang yang hadir seketika langsung menangis
sejadi jadinya. Ibuku terutama ia menangis dan
menghampiri hakim bahwa tidak pantas pelaku itu
mendapatkan hukuman tersebut. Ayahku yang sudah
menaruh dendam dengan pelaku itu, di ambil papan nama
berbahan kayu dan kuat itu untuk memukul pelaku itu dari
belakang, tetapi dengan nangis-senangisnya aku tahan kaki
ayahku itu.
“Jangan yah,”
Ayahku hanya menangis mencoba untuk kuat dan
ibuku yang masih menjerit tidak terima. Segala keputusan
Hakim tidak bisa diganggu gugat, tidak adil bagiku, tetapi
aku harus kuat, tabah, dan ikhlas menerima ini semuanya.
Bulan ke 9, saat ini aku sudah melakukan
aktifitasku dengan sedia kala, aku juga sudah mempunyai
seorang adik lucu dan menggemaskan. Hidupku terasa
damai dan indah. Menurutku jika kita tertimpa musibah,
kita harus menerimanya dengan berlapang dada dan ikhlas,
biar tuhan yang mengatur semuanya.

143
Hati – Hati, Teman!
Karya Farly Favian Carakatama

Hari ini, hari kamis. Hari yang biasa saja, tidak


terlalu spesial. Hanya hari normal untuk seorang pelajar
SMA. Olahraga – Fisika – Bimbingan dan Konseling –
Seni Rupa, itulah pelajaran – pelajaran yang harus Saya
lalui di sekolah pada hari ini. Saya melalui pelajaran –
pelajaran tersebut tanpa munculnya masalah.
“KRIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIING” Bel
telah berbunyi, menenjukan bahwa semua Kegiatan
Belajar Mengajar telah selesai.
“Oke, anak – anak, mari kita berhenti disini,
minggu depan kita lanjutkan karikaturnya“ Ujar Pak Joko,
guru Seni Rupa.
“Siap, Pak!“ Jawab teman – teman dan Saya.
Saya rapihkan meja saya, siapkan tas saya, lalu
pergi keluar kelas. Tidak tahu mengapa Saya merasa lelah.
SANGAT LELAH. Mungkin Saya terlalu mendorong diri
saat pelajaran Olahraga, atau mungkin saja ada makhluk
gaib yang sedang duduk di punggung Saya. Poin utama :
Saya merasa lemah. Saya di lorong menunggu teman baik
saya yang berada di kelas sebelah dengan muka yang lesu.
“Oi! Farrel!! Nebeng lagi ya!“ Seru teman baik
saya bernama, Akmal.

144
“Yowes......tapi lu yang bayar parkir yak?” Jawab
Saya.
“YEU! Yang punya motor siapa? Yang bayar
Siapa?!” Balas Akmal dengan muka nya yang mengejek.
Mendengar itu saya dengan SEMANGAT
mengatakan,“ ENAK AJA LU!, DIANTER PULANG
MAUNYA GRATIS!“
“Wedeh, kalo tentang duit langsung semangat ye?
Santai elah, bercanda, nanti gua bayar,“ Kata Akmal.
“Nah, kan kalo gitu enak,“ Jawab Saya.
Akmal dan Saya menuju ke tempat parkir. Akmal
membayar parkir kepada Abang Reko, Sang penjaga
parkir, lalu Saya mengeluarkan motor saya. Dengan
Akmal Saya bonceng, kita menuju kerumah Akmal.
Untungnya rumah Saya dengan rumah Akmal satu arah.
Jadi, waktu sisa hari kamis tidak terbuang hanya untuk
mengantar teman kerumahnya.
“Makasih Rel!“ Seru Akmal setelah ia turun dari
motor.
“Yo! sama – sama” Jawab Saya.
Dengan Akmal telah saya antar, Saya melanjutkan
perjalanan menuju rumah. Tidak lama menjauhi rumah
Akmal. Saya merasa lemas lagi, kelemasan yang sama
seperti Saya keluar kelas. “Ini beneran ada setan dipundak
gua kali yak?” Saya bertanya kepada diri sendiri.

145
Dengan merasa kelelahan yang dahsyat, Saya buru
– buru pergi kerumah. Saya gas motor saya mencapai 60
km/jam keatas. Mengapa Saya mengebut? Karena Saya
merasa lelah dan jika Saya sampai di rumah dengan cepat,
maka Saya dapat beristirahat lebih banyak. Mindset Saya
adalah Saya harus sampai di rumah secepat mungkin atau
di bahasa inggris ASAP (As Soon As Possible).
Di jalan saya terlihat pertigaan, Saya harus belok
kiri untuk pertigaan ini. Saya mengurangi kecepatan saya
agar dapat belok dengan aman dan cepat. Itulah yang saya
pikir, aman dan cepat. Di dalam pikiran saya hanya
berbunyi, “Pulang...pulanG!….pulaNG!…..pulANG!
…..puLANG!….pULANG!….PULANG!” Dengan kata
itu di pikiran Saya, Saya belokan setang motor Saya
mendengar suara “Krrrrrrrr“ saat saya lihat ke bawah.
“ASTAGFIRULLAH!!” Teriak Saya.
Saya melihat batu – batu kerikil dan pasir berada
di pertigaan tersebut. Jadi dengan adanya batu – batu
kerikil dan pasir di jalanan membuat gesekan antara ban
motor dengan jalanan di kurangi, yang menyebabkan
motor saya terpeleset dan Saya jatuh.
Saya cepat – cepat mendirikan diri dan langsung
melanjutkan perjalanan Saya. Mengapa Saya melakukan
itu? Apakah tidak kesakitan? SAKIT! Sangat sakit, tetapi
untungnya tidak ada patah tulang atau luka – luka yang
fatal. Hanya luka – luka goresan di lengan dan lutut. Untuk
pertanyaan pertama, Saya tidak ingin membuat sebuah
kejadian dan merepotkan orang – orang sekitar.

146
Saya melanjutkan perjalanan dengan hati
– hati. Sesampai di rumah Saya dihardikan oleh Ibu dan
Ayah. Tingkah kecerobohan Saya telah membahyakan
kesehatan Saya sendiri dan mungkin saja, kesehatan orang
– orang sekitar. Saya sangatlah beruntung orang – orang
sekitar tidak menjadi korban dari tingkah laku Saya yang
sembrono saat mengendarai motor. Saya terlalu fokus
dengan tujuan Saya sampai Saya tidak melihat apa yang
didepan Saya.
Hari – hari selanjutnya Saya mengemudi
dengan hati – hati, dan tidak terburu – buru. Karena
sekarang Saya sudah mengetahui bahwa ceroboh saat
mengemudi dapat membahayakan diri sendiri dan orang –
orang sekitar.

147
Koper yang Hilang
Karya Irsya Salim F

Andi, anak kurang mampu yang tinggal di


bantaran Kali Ciliwung sedang mencari-cari plastik
sampah sisa pembuangan yang dapat ia jual kembali.
Banyaknya warga Jakarta yang membuang sampah
sembarangan di Kali Ciliwung membuat Andi dan warga
sekitar bantaran Kali Ciliwung mendapatkan berkah
sekaligus bencana, pasalnya ia bisa mencari sampah
plastik dengan mudahnya. Namun, banyak sekali sampah-
sampah yang menjijikan yang membuat Andi tidak
nyaman dalam mengambil sampah plastik yang terisi
benda menjijikan itu. Andi hidup hanya dengan ibunya di
rumah yang beralaskan tirai dan beratap bambu. Andi
merupakan anak satu-satunya. Ayahnya meninggal saat
Andi berusia 5 tahun.
Pada suatu hari, Andi sangat lapar setelah bekeja
seharian mengumpulkan sampah plastik. Andi pulang ke
rumahnya, lalu membuka tudung saji. Andi terkejut
melihat isi dari tudung saji tersebut. Andi lalu memanggil
ibunya yang sedang mencuci di pinggiran sungai. “Bu,
Andi nemu sesuatu di dalam tudung saji.” Teriak Andi
sambil berlari menuju pinggiran sungai. “Tunggu nak, ibu
selesaikan dulu cucian ibu“ jawab ibu Andi. Setelah
selesai mencuci, keduanya membereskan cucian dan
segera menjemur pakaian di depan rumahnya. Setelah itu,

148
mereka masuk kedalam rumah dan Ibu Andi menceritakan
apa yang terdapat di dalam tudung saji.
“Nak, kamu tahu tidak apa yang ada di dalam
tudung saji itu?” Tanya Ibu Andi.
“Sebuah Koper, ibu menemukannya dimana?”
Tanya Andi terheran-heran.
“Ibu menemukan Koper itu di sungai saat ibu
mencuci tadi.” Jelas ibu.
“Ayo kita buka, koper itu.” Lanjut Andi.
Mereka berdua membuka koper tersebut dan
terkejut melihat isi dari koper tersebut. Ternyata koper
tersebut berisi pakaian dan sejumlah uang. Mereka berdua
terheran-heran membayangkan sebuah koper berisi
pakaian dan uang bisa terapung di sungai. Lalu, terlintas
dipikiran Andi untuk menyimpan semua barang-barang
tersebut. Lalu ia bilang ke ibunya.
“Bu, Andi punya ide. Kita simpan saja koper ini
untuk keperluan sehari-hari kita.” Pikir Andi.
“Nak, kita memang miskin dan tidak punya apa-
apa namun itu bukan berarti kita mengambil barang yang
bukan milik kita.” “Kita sebagai manusia harus bisa jujur
dan bertanggung jawab, apalagi barang itu bukan milik
kita.” Ujar Ibu.
“Tapi, akan lebih untung jika kita simpan barang
ini.” Jawab Andi.

149
“Tidak nak rezeki ditangan tuhan, tuhan yang
mengatur segalanya. Jika itu memang rezeki kita, tuhan
akan memberikannya dengan jalan terbaik” Jawab Ibu.
“Lalu, akan kita apakan koper ini?” Tanya Andi.
“Kita kembalikan ke yang berhak.” Jawab Ibu.
Andi membuka Kopernya dengan seksama dan
menemukan sebuah kartu nama di dalam koper tersebut.
Lalu, ia membaca dengan seksama kartu pengenal
tersebut.
“Em… Bapak Setyo Wijoko tinggal di Bandung
dan seorang trader profesional.” Ujar Andi.
“Bagaimana cara mengembalikannya bu? Ia
tinggal di Bandung sementara kita berada di Jakarta”
Lanjut Andi.
“Memangnya di kartu itu tidak ada nomor
telepon?”Balas Ibu.
“Ada, yaudah besok aku hubungi.” “Sekarang
Andi lapar ibu udah masak? ” Tanya Andi.
“Oh…. Iya, Ibu biarin deh ikan asin dan sambal
terasi kesukaanmu. Tunggu sebentar ya.”Balas Ibu.
“Oke terima kasih bu.” Jawab Andi.
Sambil menunggu masakan ibunya, Andi
menonton televisi untuk membuang rasa penat bekerja
seharian. Lalu, ibunya memanggilnya untuk makan. Ia
makan dengan lahap sambil menonton televisi. Hari
menjelang sore, dan ia pun bergegas ke kamar mandi dan

150
setelah itu pergi ke masjid untuk melaksanakan sholat
magrib.
Disisi lain, Setyo Wijoko seorang trader
professional baru saja tiba di Indonesia setelah melakukan
bisnis di Amerika. Ia banyak sekali membawa barang dari
Amerika yang berisikan berkas berkas penting perusahaan
yang ia miliki. Saat tiba di rumahnya, ia menyuruh salah
satu anak buahnya untuk memeriksa apakah semua koper
aman. Lalu, salah satu anak buahnya merasa ada yang
tidak beres. Ya, koper pribadi milik bisanya hilang. Ia
langsung melaporkan kejadian itu kepada bosnya. Setyo
Wijoko kaget dan ia berkata “Cari Kopernya,sekarang!”.
Ia merasa kopernya dicuri saat ia baru tiba di Bandara
Soekarno-Hatta kemarin. Ia rencanannya akan membuat
laporan kehilangan besok di kantor polisi.
Hari sudah pagi, Andi bangun dan ia mandi pagi
dan membersihkan rumahnya. Andi sudah siap untuk pergi
bekerja untuk memenuhi kebutuhan ibu dan dirinya. Ia
pamit kepada ibu lalu segera pergi meninggalkan rumah
seraya membawa kartu pengenal milik Setyo Wijoko. Ia
berencana akan menelponnya siang di telepon umum
terdekat.
Di suatu jalan, ia bertemu seorang nenek yang
sedang membawa belanjaan dari pasar dan terjatuh. Andi
dengan cepat membantu nenek tersebut dan ia juga
menuntun nenek tersebut menuju rumahnya. Nenek
tersebut mengucapkan terima kasih dan ia menawarkan
Andi untuk istirahat sebentar di rumahnya sekaligus
mengajaknya makan. Andi dengan senang hati menerima

151
hadiah terimakasih tersebut dan taklupa mengucapkan
terimakasih kepada Nenek.
Setelah beristirahat sebentar, Andi berniat untuk
meminjam telepon rumah milik nenek. Ia diizinkan untuk
meminjamnya. Lalu, Andi segera menelpon Setyo Wijoko
untuk mengabarkan bahwa koper milik nya berada
dirumah Andi. Panggilan pertama tidak dijawab, Andi
mencoba lagi, begitupun dengan panggilan kedua ia tidak
menjawabnya. Andi hampir putus asa, lalu ia mencoba
panggilan ketiga. Dan… berhasil.
“Halo.. saya Andi Apakah ini dengan bapak
Setyo?”. Tanya Andi.
“Iya, ini asisten pribadi bapak Setyo.” Jawab
Asisten.
“Hmm.. Saya mau mengabarkan kepada bapak
Setyo bahwa saya menemukan kopernya yang hanyut
dibawa arus sungai.” Jelas Andi.
“Oke, saya akan kabarkan ke bapak Setyo.” Tutup
Asisten.
Setelah itu, Andi mengucapkan pamit kepada
nenek dan bergegas pulang, namun Anda mendengar ada
bunyi telepon rumah berdering. Ia meminta izin untuk
mengangkatnya.
“Halo saya Setyo, apakah benar ini dengan Andi?”
Tanya Setyo.
“Iya, ini dengan saya Andi” Jawab Andi.

152
“Dimana Alamatmu, aku akan kesana sekarang?”
Tanya Setyo.
“Di Jalan Baker no 221B dekat bantaran sungai
Ciliwung” Jawab Andi.
“Oke, saya kesana sekarang.” Tutup Setyo.
Lalu Andi pulang kerumahnya sambil menunggu
kedatangan pak Setyo. Ia menceritakan kejadian dirumah
nenek kepada ibunya. Ibunya sangat bangga punya anak
baik seperti Andi. Setelah menunggu cukup lama, pak
Setyo tiba di depan rumah Andi.
“Tok Tok Tok… Selamat Sore.” Bunyi ketukan
pintu.
“Sore..” Jawab Ibu dan Anda serentak.
“Apakah benar ini kediaman saudara Andi” Tanya
Setyo.
“Iya, benar disini” Jawab Andi.
“Terima kasih sebelumnya sudah menemukan
koper milik saya, bolehkah saya lihat? ” Tanya Setyo.
Mereka masuk kedalam rumah dan Andi
mengambilkan koper tersebut. Setyo mengecek dan
memastikan semua barangnya masih disana dan tidak ada
yang hilang. Lalu, Setyo mengucapkan terima kasih
sebesar-besarnya dan memberi hadiah sebesar 100 juta dan
menawarkan pekerjaan kepada Abdi sebagai anak
buahnya. Setyo sangat senang dengan kejujuran yang

153
dimiliki Abdi dan berharap banyak orang di dunia ini yang
seperti dirinya.

154
Cinta Monyet
Karya Jaeza Taris Qairawani

Kisah cinta itu mungkin sudah berakhir kurang


lebih sekitar lima tahun yang lalu, cinta yang tumbuh saat
kami masih sama-sama duduk di kelas 3 SMP. Bisa
dibilang cinta pada saat itu masih cinta-cinta monyet oleh
sebagian orang, tapi ngga bagi gue.
Nama gue Adrian, dan si Dia yang gue maksud
bernama Qaira, dulunya kami hanyalah sekedar teman dan
tak lebih. Tak pernah terbayang sebelumnya gue dan dia
akhirnya menjalin hubungan cinta. Pada saat pertama kali
gue mengenalnya, kebetulan dia berbeda sekolah sama
gue, saat itu dia masih berpacaran dengan laki-laki lain
namanya Wira, sedangkan pada saat itu gue masih jadi si
Jomblo yang beberapa ratus hari yang lalu diputusin oleh
Andin, si mantan pacar pertama gue.
Gue adalah pribadi yang terlihat pendiam dan juga
sedikit humoris dan sedikit lebay, tinggi badan gue saat itu
agak boncel jadi lebih tinggi badan Qaira dibanding sama
gue, sedangkan Qaira adalah wanita yang cantik, pintar,
manis, tapi dia itu orangnya cuek kepada orang yang tak
dia kenal.
Gue dan Qaira sering chat-an bareng pada saat itu,
dia sering curhat tentang hubungannya dengan pacarnya Si
Wira, dia sering menceritakan kesedihannya ke gue
tentang sikap pacarnya yang sepertinya tidak membuatnya

155
bahagia, gue pun hanya bisa memberikan semangat
kepadanya agar dia tidak bersedih dan tetap bertahan
dengan kekasihnya itu, jujur meskipun usia gue masih
sangat muda saat itu gue udah bisa merasakan bagaimana
tak teganya melihat wanita yang sedang sedih apalagi
harus meneteskan air mata.
Sampai pada suatu hari, Qaira mendapatkan berita buruk
tentang kekasihnya itu, ternyata Wira sering curhat dengan
teman sekelas Qaira bernama Winda, lalu Winda
menyampaikan apa isi dari curhatan Wira kepadanya.
“Win, sebenarnya gue itu gak ada rasa sayang
sama sekali sama Qaira”, “lah kenapa lo gitu Wir?” kata
Winda,
“Ya gimana ya, gue cuma mau jalanin aja
hubungan sama dia, tapi gak bisa kalau gue harus sayang
sama Qaira.”
Mengetahui akan hal itu, kekecewaanpun melanda
hati Qaira, kesedihan pun datang bagaikan badai menerpa,
bagaimana tidak kecewa dan sakit hati, orang yang dia
cintai dan yang dia pertahankan selama ini justru tidak
menyayanginya apalagi mencintainya, sungguh cinta
bertepuk sebelah tangan.
Qaira pun sangat terpukul akan hal ini, dia pun
menghampiri Wira dengan mata yang mengeluarkan air
penuh kesedihan, dan tanpa banyak kata-kata yang
disampaikan Qaira, ia berkata,
“Wira, terima kasih atas waktu lo sama gue
selama ini, gue mau kita putus”.

156
“Kenapa begitu Qaira, aku masih sayang
padamu”.
“Lo bohong, lo ga sayang sama gue, gua udah tau
semuanya dari Winda sahabat gue juga sahabat lo.”
Qaira pun pergi meninggalkan Wira, dan terlihat
di wajah Wira Perasaan bersalah atas hal ini.
Sejak kejadian itu Qaira susah dihubungi,
termasuk gue yang biasanya menjadi temannya chat-an
bareng. Berkali-kali gue mencoba menghubunginya, tapi
tak pernah ia merespon, sedikit rasa khawatirpun gue
alamin, gue pun bertanya tanya ada apa dengan Qaira, apa
dia marah ke gue atau apa? Begitu dalam pikiran gue.
Sampai pada akhirnya ia membalas chat dariku, tetapi
balasannya dengan nada marah-marah, tidak seperti
biasanya.
“Rian, lo bisa gak, gak usah chat gue terus gue
lagi sakit gue perlu ketenangan gue perlu sendiri, lo itu
bikin gue makin pusing.”
Gue pun membalas chat-nya itu lagi “oh Qaira gue
minta maaf gue gak tau kalau lo lagi sakit, semoga lo cepat
sembuh ya, kalau kamu perlu bantuan hubungin aja gue.”
Qaira pun tidak membalas chat itu lagi, gue pun
berhenti menghubunginya setelah kejadian itu. Beberapa
minggu tak ada kabar darinya gue pun juga tak
mengabarinya, seperti ditelan bumi, ia berubah seperti
tidak mau lagi berkomunikasi sama gue, yaaa.. Apalah
daya gue, gue bukan siapa siapa dia, gue hanya sekedar
teman curhatnya.

157
Handphone gue yang biasanya sering berbunyi
menandakan adanya pesan masuk dari Qaira kini seakan
membisu, entah kenapa ada rasa gelisah yang gue rasain,
padahal Qaira itu hanya gue anggap sekedar teman gue
aja. Gue pun menyerah mengharap adanya pesan dari
Qaira seperti biasanya ke gue.
Sampai pada suatu malam, handphone gue
berbunyi menandakan adanya pesan masuk, gue pun tak
menghiraukannya, gue pikir paling itu pesan dari operator
atau dari orang iseng saja, tetapi handphone gue justru
terus berbunyi, sepertinya ada banyak pesan yang masuk,
karena penasaran gue pun mengambil handphone gue dan
kemudian membuka pesan yang dari tadi seakan-akan
menyuruh gue segera membukanya. Dan ternyata semua
pesan itu dari Qaira. Iya pesan dari wanita yang gue
rindukan akan dirinya. Gue pun gemetar dan gue pun
tersenyum membaca chatnya,
“Hey, mblo… Assalaamualaikum, ada orang”
“Rian, kamu dimana”
“….”
“kosong”
“Rian gue kangen” begitulah beberapa pesan dari
Qaira yang gue dapet.
Gue pun membalas pesannya itu.
“weissss.. Wa alaikum salaam, kemana aja lo
Qaira, gue juga kangen lo”

158
“Gue gak kemana mana, gue hanya ingin sendiri
aja waktu itu, oh ya gue minta maaf soal yang kemarin
itu.”
“Maaf untuk apa ya?”
“Gue kemarin sudah berkata kasar sama lo, saat
itu gue sangat rapuh”
“Qaira, memangnya lo kenapa, apa lo ada masalah
lagi dengan Wira, lo diapainnya lagi?”
“Gue sudah putus dengan dia, dia buat gue
kecewa, gue sudah tak mau lagi bahas sesuatu yang
berhubungan dengan Wira”
“Oke, sekarang lo tenang aja Qaira, ada gue disini
yang akan selalu menemani dan menjaga lo, dan ingat lo
jangan sedih lagi ya.”
“Hemmm.. Cuma lo yang ngerti perasaan gue. Lo
memang sahabat terbaik gue”.
Persahabatan gue dan Qaira pun terjalin semakin
dekat, kami saling berbagi cerita dan saling curhat-
curhatan satu sama lain, seperti biasanya kami saling
berkomunikasian via handphone, setiap harinya kami
saling membahas berbagai macam topik mulai dari yang
berhubungan dengan sekolah, dari yang penting sampai
yang gak penting banget, sampai yang berhubungan
dengan Cinta.
Karena kedekatan kami inilah, muncul perasaan yang tak
biasa pada diri gue, perasaan yang sulit untuk gue jelaskan
dan sulit untuk gue tulis dan ucapkan dengan kata-kata,

159
mungkin perasaan itulah yang dimaksud dengan cinta.
Gue jatuh cinta kepada Qaira, wanita yang awalnya hanya
sekedar teman baik gue, wanita yang tak pernah
sebelumnya gue terbayang untuk bisa menjadi kekasihnya.
Perasaan itu semakin hari semakin menghantui
gue, seakan akan meminta gue untuk segera
mengungkapkannya pada Qaira. Tapi gue takut, takut
Qaira tidak mempunyai rasa yang sama ke gue, gue takut
dia marah karena gue telah berani jatuh cinta padanya.
Namun, gue pun memberanikan diri untuk
mengungkapkannya kepada Qaira, seandainya dia tidak
mencintai gue, gue terima akan keputusannya, yang pasti
gue sudah berani mengungkapkan isi hati gue padanya.
Sampai pada suatu hari pada saat yang gue rasa
momennya sudah tepat, gue mencoba untuk bicara dengan
Qaira namun hanya melalui pesan saja.
“Qaira”
“Iya Rian, kenapa ya”
“Gak, Cuma manggil saja”
“aah.. Dasar jomblo kurang kerjaan”
“Qaira, gue sedang jatuh cinta, tapi apakah dia
juga cinta sama gue ya”
“haaaah, Rian, sama siapa, huh…?”
“Pada seorang wanita lah pastinya, masa sama
laki-laki”.
“Oh gitu yah.”

160
“Kok lo menanggapinya biasa aja, kamu cemburu
ya.. Ciye…”
“Ya gak laaah.. Ngapain gue cemburu.. Weee”
Gue pun terdiam, dalam hati gue berkata “Andai
lo tahu Qaira, wanita yang gue maksud itu lo.”
Akhirnya tibalah saatnya, entah kenapa gue nekat,
gue pun memberanikan diri untuk mengungkapkan
perasaan gue pada Qaira.
“Qaira, sejujurnya gue memang sedang jatuh
cinta, dan lo tahu aku jatuh cinta pada siapa? Pada diri lo,
sama lo Qaira, gue merasa nyaman sama lo dan gue takut
kehilangan lo, lo mau ga jadi pacar gue?” Lama gue
menunggu balasan dari pesan gue itu, tapi tak kunjung
datang, gue mulai gelisah dan mulai cemas, gue menjadi
pesimis gue berpikir mungkin dia tak akan menerima cinta
gue.
Kemudian akhirnya handphone gue berbunyi
menandakan adanya pesan masuk, gue pun terburu-buru
untuk segera membuka pesan itu, dan ternyata yang masuk
pesan dari nomor modus, iseng dan gak penting, begini
isinya
“Mama lagi di kantor polisi nih, tolong isikan
pulsa ke Nomor 085255xxxxxx, yang cepat yah soalnya
lagi penting.”
Gue pun tertawa sendiri, Gue geli sendiri dan
perasaan cemas dan gelisah yang gue rasakan tadi pun
menjadi hilang seketika setelah kejadian ini.

161
Dan gue pun kembali mencoba mengirim pesan kepadanya
demi memastikan jawaban apakah dia menerima cinta gue
atau tidak.
“Qaira, tolong balas pesan gue ini jangan buat gue
bertanya-tanya seperti ini.” Masih saja tak ada balasan
darinya, gue pun hanya bisa menunggu dengan penuh
kepasrahan.
Akhirnya malam pun tiba, ternyata tadinya gua
tertidur sehingga tak sadar hari sudah malam. Gue ambil
handphone gue lalu gue mencek kotak masuk pesan di
handphone gue, dan ternyata tak ada satu pun balasan dari
Qaira.
Setelah sekian lama menantikan balasan pesan,
Qaira tidak pernah membalas chat gue. Mungkin karena ia
yang sebenarnya malas berhubungan dengan cinta lagi.
Akhirnya gue pun menyerah dan berusaha melupakan
Qaira.

162
Gadis Misterius
Karya Jasmine Kamilatun Nuha

Thiersya, gadis berumur 17 tahun, berbadan ideal,


berhidung mancung dan bibirnya tipis. Ia adalah seorang
pelajar kelas 2 SMA di salah satu sekolah favorit di dalam
kotanya. Ia tinggal dengan orang tuanya. Ia memiliki
seorang kakak, namun kakaknya harus pergi pendidikan di
luar negeri. Setelah kepergian kakaknya untuk pendidikan,
Thiersya merasa sepi karena ia merasa tak ada teman
bercanda dan bercerita ketika ia dirumah. Kesepian
Thiersya ini membuat ia lebih terbuka kepada sahabat-
sahabat di sekolahnya. Ia sering jalan-jalan bersama
sahabatnya ketika weekend, mengerjakan tugas bersama
bahkan ketika orang tua Thiersya pergi keluar kota, ia
mengajak temannya untuk menginap dirumahnya.
“Halo, mah!” Thiersya menelfon ibunya
“Iya, nak. Ada apa?” suara lembut ibunya
menjawab telfon Thiersya.
“Aku ngajak teman nginep lagi ya, buat nemenin
aku. Sepi tau kalo sendirian dirumah,” jawab Thiersya
“Hadeh... yaudah iya, siapa aja emang?” tanya ibu
sambil menghela nafas
“Biasa... teman-teman aku,” ujar Thiersya

163
“Ya siapa aja.. mama kan lupa terus sama teman-
teman kamu,” tanya ibu dengan tegas
“Ina, Nayla sama Kayla,” jawab Thiersya
“Yaudah, asal jangan ada cowonya ya,” kata ibu
dengan nada sedikit tinggi
“Siap, bos!” sambil menutup telfon.
Kemudian, ia mengabari teman-temannya lewat
salah satu social media.
“Eh dibolehin ni sama mama gue, gas lah!”
Thiersya mengirim pesan di dalam grupnya.
“Okee, gue siap-siap dulu ya!” jawab Kayla yang
selalu fast respon
“Gue juga! Tapi gue mau pergi dulu sebentar, jadi
agak telat ya!” jawab Ina yang selalu menyisihkan
waktunya untuk pergi bersama sang pacar
“Gue udah siap dari tadi! Gue otw ya, Sya!!!”
jawab Nayla yang selalu tepat waktu
“Ya pokoknya kalo dah dateng langsung masuk
aja ya, gue pengen berenang dulu di halaman belakang”
kata Thiersya sekalian menutup obrolan dalam grup itu
Tepat pukul 14.00 mereka telah berkumpul
bersama. Mereka saling bercerita, bergosip, bercanda dan
membeli cemilan untuk menonto film. Mereka juga
merencakan untuk pergi liburan semester. Ina
menyarankan untuk pergi ke salah satu taman rekreasi
yang terkenal di kotanya.

164
“Eh gimana kalo liburan kita ke dufan aja!” kata
Ina.
Thiersya, Kayla dan Nay;a saling bertatapan
sambil mengerutkan dahi.
“Bosen ahh!” jawab mereka serentak.
Hening sejenak lalu di sambung dengan tawa
mereka bersama.
“Gimana kalo kita keluar kota?” saran Ina.
Setelah muncul saran dari Ina, mereka berdikusi
sepanjang malam dan mempertimbangkan tentang
transportasi, penginapan, tempat yang akan dikunjungi dan
lain-lain. Akhirnya mereka sepakat. Mereka akan pergi ke
sebuah kota yang jauh dari rumahnya yaitu, Bima. Nayla
memiliki seorang saudara yang tinggal disana, jadi mereka
mendapatkan penginapan gratis dirumah paman Nayla.
Mereka semua langsung izin dan membujuk orangtua nya
agar diperbolehkan pergi kesana. Tak lama dari rencana
itu, mereka langsung menentukkan tanggal, tiket pesawat
dan segala persiapan lainnya.
Seminggu kemudian, mereka akan segera
berangkat ke Bima. Mereka langsung berkumpul di salah
satu bandara Internasional di kotanya. Nayla selalu tiba
paling pertama, lalu disusul oleh Thiersya dan Kayla. Ina
selalu jadi yang paling telat.
“Eh ayo kita check-in.” Kata Thiersya.

165
“Hah apaan dah? Kok dah check-in aja, perasaan
gue baru dateng deh.” jawab Ina sambil mengerutkan
dahinya.
“Lo sih dateng nya telat, gara-gara nungguin lo
nih, kelamaan!” jawab Nayla dengan kesal.
“Ih tapi gue pengen beli roti dulu, laper banget
gue.” kata Ina dengan santai.
“Eh gila lo ya..udah ayo...” kata Kayla sambil
menarik tangan Ina.
Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya
mereka semua naik ke dalam pesawat dan menikmati
perjalanan diatas awan. Sama seperti remaja lainnya,
ketika di dalam pesawat mereka juga mengambil gambar
awan yang indah dan di update di Instagram mereka
masing-masing. Setelah kurang lebih 2 jam diatas awan,
akhirnya mereka tiba di sebuah bandara kecil di Bima.
Mereka langsung bergegas turun dan menunggu koper
mereka masing-masing. Setelah mendapatkan kopernya
maisng-masing, mereka langsung di jemput oleh paman
Nayla.
“Nayla!!” Sapa paman Nayla yang bernama Om
Ian dengan senyum yang lebar.
“Eh itu om gue, ayo kesana!” ajak Nayla.
Mereka semua jalan ke arah Om Ian dengan penuh
rasa senang. Kemudian, mereka bersalaman dengan paman
Nayla.

166
“Oh iya om, ini namanya Thiersya, Kayla sama
yang paling bucin ini namanya Ina.” sambil menunjuk satu
per satu.
“Eh enak aja ya lo.” saut Ina sambil menepuk
bahu Nayla.
“Ada-ada aja ya anak zaman sekarang.” saut Om
Ian sambil tertawa.
“Dah ah, jalan sekarang aja yuk, om!” ajakan
Nayla.
Kemudian, mereka jalan kearah mobil Om Ian.
Mobil yang cukup besar dan mempuyai bagasi luas yang
cukup menampung koper mereka yang besar. Nayla duduk
di depan tepat di samping paman nya dan Thiersya, Kayla
dan Ina duduk di tengah. Mereka tidak langsung menuju
kerumah Om Ian, melainkan mereka diajak makan ke
sebuah restoran terkenal di kota itu. Mereka menikmati
makanan yang dihidangkan, Ina yang sudah menahan lapar
makan dengan lahap dan nambah sampai 2 kali.
Setelah perut terisi penuh, mereka langsung
menuju kerumah Om Ian. Perjalanan dari restoran sampai
kerumah Om Ian memakan waktu kurang lebih 1 jam 30
menit. Karena perut kenyang ditambah terkena AC mobil
yang dingin,Thiersya, Kayla, Nayla dan Ina tertidur lelap
selama perjalanan. Setelah menempuh perjalanan yang
cukup jauh, akhirnya mereka sampai.
“Nay, bangun dah sampai nih.” ujar Om Ian
sambil menepuk bahu Nayla.

167
“Iya, Om...” jawab Nayla sambil mengusap wajah.
Kemudian, Om Ian turun dan menurunkan koper
mereka di bagasi.
“Eh bangun woi dah sampe ini...” kata Nayla
membangunkan temannya di belakang.
Setelah itu, mereka semua bangun dah turun dari
mobil. Mereka terkejut melihat rumah Om Ian yang besar
tetapi di kelilingi oleh ladang jagung yang sangat luas.
Rumah nya berwarna putih dan elegan, berlantai 2 dan
dilengkapi oleh interior yang sangat mewah. Mereka
semua masuk ke dalam rumah dan Om Ian memberikan
sedikit house tour agar mereka lebih familiar dengan
rumah Om Ian.
“Nah nanti kalian tidur di kamar yang ini, sama
yang ini ya.” ujar Om Ian sambil menunjuk dua ruangan
yang luas.
“Siap, Om!” jawab mereka serentak.
“Oh iya, maaf nih. Om ga bisa nemenin kalian
disini selama liburan, saya harus pergi ke kota selama
beberapa hari, ada kerjaan yang gak bisa di tinggal. Kalian
disini sama Mba Amel ya.” kata Om Ian.
“Mba Amel siapa Om?” tanya Thiersya.
“Mba Amel yang asisten rumah tangga disini,
soalnya rumah ini jarang Om Ian tempatin.” jawab Om Ian
dengan nada yang lembut.
“Oalah gitu toh....” jawab Thiersya.

168
“Yuk ke Mba Amel biar Om kenalin kalian sama
dia” ajak Om Ian.
Mereka langsung menuju ke basement dimana
disana adalah tempat parkir mobil Om Ian sekaligus kamar
Mba Amel.
“Eh kok lo gak bilang sih rumahnya ditengah
ladang jagung kayak gini? Serem tau” kata Ina berbisik ke
Nayla sambil berjalan.
“Udah gapapa, kita aman disini, santai... ada
gue...” jawab Nayla dengan santai.
Om Ian langsung memperkenalkan mereka semua
ke Mba Amel agar lebih akrab. Mba Amel berusia 18
tahun, badan nya kecil dan usianya tidak jauh dari mereka
semua. Mba Amel harus bekerja karena untuk mencukupi
kehidupan keluarganya. Kemudian, Om Ian langsung
memperkenalkan mereka satu per satu.
“Nah dah saling kenal kan.” kata Om Ian sambil
tersenyum.
“Ini ada 1 mobil yang cocok buat kalian jalan-
jalan nanti ya, Om tau kalian udah bisa nyetir jadi om
pinjamkan satu ya, jaga baik-baik” sambung Om Ian
meminjamkan mobilnya sambil menyodorkan kunci
mobil.
“Waaahh makasih banyak om!!” kata mereka
serentak sambil tersenyum gembira.
“Iya sama-sama, om pergi dulu ya” jawab Om Ian.

169
Mereka semua langsung menuju ke lantai 1 dan
melakukan kegiatan mereka sepert biasa, bercerita,
bergosip, update di social media dan bercanda. Tiba-tiba
Mba Amel membawakan makanan yang enak untuk
cemilan. Kemudian mereka mengajak Mba Amel untuk
bergabung bersama nya dan menceritakan sedikit tentang
desa disini.
“Boleh ga gue panggil lo Amel aja? Soalnya umur
kita ga beda jauh kan nih” kata Kayla.
“Iya, boleh kok” jawab Amel.
“Coba dong ceritain tentang daerah sini. Soalnya
aneh banget deh, rumah sebesar ini ada di tengah-tengah
ladang jagung yang luas dan jarak rumah yang satu sama
yang lainnya tuh jauh banget” tanya Thiersya penasaran
“Hmm.. jadi gini, Om Ian itu orang yang baik
banget dan pekerja keras, dia beli lahan ini untuk
rumahnya dan sebagian besar di jadikan untuk ladang
jagung” jawab Amel
“Iya, jadi om gue tuh buka ladang jagung gini,
itung-itung buat buka lapangan pekerjaan. Kan kasian kalo
orang-orang sini pengangguran, jadi om gue punya ide deh
kayak gitu” ujar Nayla sambil menyemil makanan
“Ya Tuhan... udah ganteng baik hati lagi...” saut
Ina dengan senyuman dan mata genitnya
“Yeehhh lo mah semua orang dibilang ganteng!!”
saut Kayla dengan kencang
“Hahahahahaahaha..” tawa mereka serentak

170
Mereka terus asik bercerita satu sama lain dan tak
menyadari awan diluar menjadi gelap diikuti dengan suara
gemuruh yang keras menandakan hujan akan turun.
“eh gelap banget diluar padahal masih jam 4 sore”
ujar Thiersya
“iya ya.. kayaknya bakalan ujan deres deh” jawab
Nayla
“Ohiya non, kalo besok pengen pergi, hati-hati ya.
Soanya belum lama ini ada gadis remaja yang hilang dan
belum ditemukan sampai sekarang” saut Amel
“Remaja dari desa ini mel?” tanya Kayla
“Bukan, ia anak dari pulau sebrang yang
berkunjung ke desa kami untuk penelitian. Ciri-cirinya
kulitnya putih pucat, terakhir ia pakai jaket hitam dan
namanya Laura” jawab Amel
“Emangnya belom ada yang telfon polisi?” tanya
Ina
“Sudah non, polisi udah 2 hari nyari tapi, tetap aja
belom ketemu sampai sekarang” jawab Amel dengan nada
sedih
Percakapan tentang Laura menutup pembicaraan
mereka sore hari itu. Mereka langsung berkumpul di
dalam salah satu kamar dan Amel melanjutkan memasak
untuk persiapan makan malam mereka. Thiersya masih
berfikir sebenarnya apa yang terjadi dengan gadis yang
bernama Laura itu. Ia masih memikirkan terntang Laura
sambil menatap hujan yang deras lewat jendela kamar

171
yang besar. Sedangkan Ina, Kayla dan Nayla sibuk
membuat rencana apa yang akan dilakukan esok hari.
Tiba-tiba Thiersya yang sedang asik melihat keluar jendela
melihat sosok wanita yang berpakaian hitam dibawah
lampu jalanan. Thiersya sangat bingung, mengapa gadis
itu bediri di tengah hujan yang sangat deras tanpa payung
ataupun jas hujan. Thiersya terus menatap gadis itu dan
tiba-tiba Ina memanggil Thiersya.
“Woi! Bengong aje lo” ujar Ina mengagetkan
Thiersya
“Ih apaan si lo! Bikin gue kaget aje tau gak!” ucap
Thiersya dengan kesal
“Hehe iya-iya maap, lagian lu asik banget
bengong. Ngeliatin apaan sih emg? Ada cogan ga?” tanya
Ina
“Gila ya lo, ujan-ujan gini masih aja lo mikirin ada
cogan apa nggak” jawab Thiersya dengan nada yang
sedikit tinggi
“Terus lo liatin apa cumiii?” kata Ina sambil
meledek
“Liatin itu tuh ad...” ucapan Thiersya terpotong
setelah melihat gadis itu sudah tidak ada di bawah lampu
“Apaan? Mana? Kaga ada apa-apaan” ujar Ina
sambil penasaran
“Ah kepo banget lo, udah-udah” kata Thiersya
sambil pergi dari depan jendela dan menarik Ina untuk
bergabung dan membicarakan apa yang akan dilakukan

172
esok hari. Mereka asik berdiskusi ditengah-tengah
derasnya hujan dan mereka tak menyadari sudah
menunjukan pukul setengah enam sore. Mereka langsung
bergegas mandi secara bergantian dan siap-siap untuk
makan malam bersama.
“Non, makan malam dah siap. Segera turun
kebawah ya” kata Amel
“Oke mel!” jawab mereka serentak
Tak lama, mereka sudah siap dan segera turun
kebawah karena perut mereka sudah kosong lagi. Mereka
mengajak Amel untuk makan bersama dan sambil berbagi
cerita mereka di kota tersayangnya. Setelah selesai makan.
Mereka semua beristirahat. Om Ian memberikan 2 kamar
namun, mereka lebih memlilih untuk menggunakan satu
kamar saja. Mereka juga mengajak Amel untuk tidur
bersama mereka. Setelah mereka berkumpul di kamar, hal
yang dilakukan mereka tak jauh seperti apa yang
dilakukan mereka saat menginap dirumah Thiersya.
Bermain gadget¸ menonton film, update di Instagram, dan
lain-lain. Mereka sangat asik dan lagi-lagi tak menyadari
jam sudah menunjukan pukul 11 malam.
“Ealah udah jam 11 ya, gak kerasa ya..” ujar Amel
“Iya eh, pantesan gue dah ngantuk banget...” kata
Kayla
“Yaudah tidur aja lah, biar besok gak kesiangan”
kata Thiersya

173
Tak lama setelah itu, mereka semua terlelap tidur
dengan nyeyak. Tepat pukul 2 pagi, Thiersya terbangun. Ia
hanya ingin buang air kecil kemudian melanjutkan
tidurnya. Namun, rencana ia tidak berjalan lancar. Setelah
ia keluar dari kamar kecil, tiba-tiba ia mendengar ada yang
berteriak meminta tolong. Tetapi anehnya, teman-
temannya tidak ada yang mendengar. Ia tidak tega untuk
membangunkan teman-temannya. Lalu, Thiersya melihat
kembali ke arah jendela. Ia melihat lagi sosok perempuan
berbaju hitam yang berdiri dibawah lampu saat hujan
deras. Ia terus menatap perempuan itu. Namun, perempuan
itu hanya menunduk seolah-olah ketakutan.
“Sebenarnya siapa sih perempuan itu, kenapa dia
berdiri ditengah ujan gini yaa” dalam hati Thiersya. Tak
lama, ia mengabaikan perempuan itu dan kembali tidur.
Thiersya masih bersikap tidak peduli tentang apa yang ia
lihat hari ini.
Pukul 8 pagi, mereka semua bangun kecuali,
Amel. Ia bangun pukul 6 untuk menyiapkan sarapan pagi.
Setelah bangun, mereka bergegas ke meja makan untuk
sarapan.
“Eh semalem gue kebangun tau...” kata Thiersya
“Ngapain coba lo bangun?” tanya Kayla
“Pipis hehe, tapi anehnya gue liat cewe berdiri
gitu ditengah hujan...” ujar Thiersya
“Ah yang bener lo.. halu kali gara-gara kecapean”
kata Ina

174
“Iya kaliii, ya kali ada cewe main ujan tengah
malem” kata Nayla
“Eee... iya kali ya” kata Thiersya. Ia
memberhentikan percakapan tentang perempuan misterius
karena, ia tak ingin liburannya terganggu dengan hal-hal
mistis.
Setelah sarapan, mereka bergegas mandi dan siap-
siap untuk pergi ke tujuan pertamanya. Nayla memanaskan
mobil sembari menunggu temannya selesai berdandan.
“Mel, ikut ga?” tanya Nayla
“Ngga non, saya dirumah aja. Jaga rumah, takut
ada apa-apa” jawab Amel
“Oh yaudah, gue berangkat dulu ya” kata Nayla
“Iya, hati-hati ya non. Jangan malem-malem takut
ada kenapa-napa” ujar Amel
Mereka langsung meninggalkan rumah di tengah
ladang jagung itu dan menuju pusat kota. Menikmati
keindahan alam sepanjang perjalanan sambil memutar lagu
kekinian. Selama perjalanan mereka asik berbincang,
menyanyi dan menyemil makanan ringan. Butuh waktu 1
jam 30 menit untuk sampai di pusat kota. Setelah sampai,
mereka foto-foto, makan, belanja, berkeliling dan lain-lain.
Setelah petang tiba, mereka langsung menuju pulang
karena hari sudah mulai gelap. Saat perjalanan pulang,
mereka tidak bisa menikmati pemandangan seperti tadi.
Yang mereka lihat hanya jajaran pohon tinggi yang
diterangi oleh lampu mobil saja. Mereka merasa ketakutan

175
karena jalan menuju pulang terbilang cukup sepi, bahkan
hanya mobil mereka saja yang melintas di jalan itu. Kali
ini yang menyetir Kayla. Nayla duduk didepan menemani
Kayla. Ina dan Thiersya duduk ditengah. Ina selalu tidur
dimana pun ia berada sedangkan Thiersya tetap menikmati
pemandangan di malam hari. Tiba-tiba hujan lebat turun.
Untungnya, mereka sudah dekat dengan rumah. Lagi dan
lagi, tepat di pertigaan dekat rumah Om Ian, Thiersya
melihat sosok perempuan berbaju hitam itu lari dan masuk
ke dalam ladang jagung. Namun, hanya Thiersya seorang
yang melihat gadis itu.
“Mengapa gadis itu selalu muncul di hadapan
ku?” tanya Thiersya dalam hati. Thiersya terus
memandang gadis itu samping gadis berbaju hitam itu
hilang.
Setelah sampai dirumah, mereka langsung mandi,
makan malam dan beristirahat. Kali ini tak ada obrolan
malam karena mereka semua kelelahan. Mereka semua
langsung terlelap. Tetapi tidak dengan Thiersya. Ia
terbangun kembali tepat pukul 2 pagi. Kali ini ia Thiersya
tidak terbangun karena ingin buang air kecil namun, ia
mendengar suara perempuan yang teriak meminta tolong.
Anehnya, teman-temannya tidak ada yang bangun.
Thiersya mencoba untuk mengabaikan suara itu tetapi,
suara itu semakin lama, makin terdengar sangat jelas di
telinga Thiersya.
“Ah sebenarnya ada urusan apa perempuan itu
dengan ku. Mengapa selalu aku yang dipanggil?” kata
Thiersya dalam hati

176
Setelah ia mempersiapkan mentalnya, Thiersya
mengintip lewat jendela dan melihat ke arah pertigaan
yang dekat dengan rumah tersebut. Dugaannya benar,
sosok gadis berbaju hitam itu muncul dan berdiri dibawah
lampu jalanan. Jiwa-jiwa penaaran Thiersya mulai
meledak.
“Sebenarnya apa yang dia mau? Mengapa dia
selalu menampakan diri di depan ku?” ujar Thiersya
Tanpa berfikir dua kali, Thiersya langsung
bergegas membuka pintu gerbang untuk mendekati gadis
tersebut. Tetapi, saat Thiersya tiba gadis itu menghilang.
“Kemana gadis itu? Giliran di deketin malah
hilang, dasar cewe” ujar Thiersya kesal
Tiba-tiba ia melihat gadis itu lari masuk ke ladang
jagung yang tinggi. Entah apa yang menggerakan kakinya,
Thiersya langsung mengikuti gadis itu. Ia memasuki
ladang jagung yang tinggi diterangi dengan senter dari
handphonenya. Ia terus lari mengikuti gadis itu tanpa rasa
takut.
“Hei!!! Tunggu!!!” teriak Thiersya.
Tiba-tiba kaki Thiersya tersangkut di dalam
sebuah lubang, ia berusaha untuk mengeluarkan kakinya
dari lubang tersebut. Ditengah usahanya, turunlah hujan
deras. Akhrinya ia dapat mengeluarkan kakinya dari
lubang tanah yang dalam. Tetapi, Thiersya telah
kehilangan jejak gadis itu. Ia memutuskan untuk kembali
pulang ke rumah. Mau tak mau ia harus mandi di pagi
buta. Sekujur tubuhnya berlumuran tanah dan kuyup

177
terkena air hujan. Ia tak mau dirinya sakit saat liburan
seperti ini.
“Eh siapa pagi buta mandi jam segini?” kata Nayla
terbangun mendengar suara di kamar mandi.
“Kay, bangun. Lo denger suara orang mandi ga?”
ujar Nayla membangunkan Kayla
“Hem.. Aapa sih, pagi buta bangunin gue” kata
Kayla sambil mengucek mata.
“Ada yang mandi. Loh loh? Thiersya mana?!”
kata Nayla melihat disebelahnya tidak ada Thiersya.
Tak lama, Thiersya keluar dari kamar mandi dan
terkejut melihat Nayla tepat berdiri di depan pintu kamar
mandi.
“Eh apaan sih lo, bikin jantung gue copot aja sih!”
kata Thiersya dengan kesal.
“Lo ngapain mandi jam segini?” tanya Nayla
“Abis main ujan-ujanan gue di tanah. Nih liat baju
gue, kotor kan?” canda Thiersya sambil menunjukan baju
tidurnya yang kotor dan basah.
“Halu lagi kali lo” kata Nayla.
“Yah batu banget sih lo kalo gue bilangin!” kata
Thiersya sambil tersenyum dan meninggalkan Nayla yang
berdiri di pintu kamar mandi.
Setelah Thiersya selesai mandi, ia mencoba untuk
kembali tidur. Namun, ia tidak bisa. Kali ini ia tidak bisa

178
bersikap tidak peduli dengan gadis itu. Sedangkan Nayla,
melanjutkan tidurnya dengan nyenyak. Menjelang pagi,
Thiersya baru bisa melanjutkan tidurnya sedangkan teman-
temannya, sudah bangun dan bergegas mandi dan bersiap-
siap untuk jalan-jalan.
“Eh tumben banget Thiersya belom bangun” kata
Ina.
“Tadi pagi dia mandi, katanya abis main ujan-
ujanan” ujar Nayla.
“Hah ujan-ujanan sama siapa?” kata Ina.
“Gatau gue juga, dia belom cerita” kata Nayla.
Setelah teman-temannya bersiap-siap, mereka
membangunkan Thiersya yang terlelap.
“Sya, bangun. Kita dah rapih nih... Moso lo ga
ikut kita jalan” kata Kayla membangunkan Thiersya.
“Iya-iya, sabar gue ngumpulin nyawa dulu” jawab
Thiersya sambil mengusap wajah.
“Kita duluan ke bawah ya, laper banget nih” kata
Nayla.
“iya” jawab Thiersya dengan nada lemas.
Thiersya turun ke bawah setelah mereka semua
menyelesaikan sarapan pagi. Ia langsung mengambil
piring dan menyantap makanan yang telah di masak Amel.
“Lo jam 3 ngapain mandi si, sya?” kata Nayla.

179
“Kan gue bilangin, abis main ujan-ujanan” jawab
Thiersya.
“Ih ga jelas banget sih lo, gue nanya serius nih”
ujar Nayla dengan nada sedikit tinggi.
“Panjang ceritanya, capek gue kalo cerita ke lo
semua, kaga ada yang percaya” jawab Thiersya sambil
mengunyah makanan.
Mereka semua terdiam sambil melihat Thiersya
yang lahap menyantap makanannya. Setelah Thiersya
selesai makan, mereka segera berangkat ke tujuan
selanjutnya. Di pagi hari adalah waktu yang tepat
menikmati pemandangan desa yang sungguh indah.
Tetapi, tidak dengan Thiersya, ia terlelap tidur karena
kejadian di pagi buta.
“Tumben banget ni anak tidur pagi-pagi” kata Ina
yang duduk disebelahnya.
“Ada apa ya sama Thiersya, dia aneh banget sejak
sampe disini” kata Kayla.
Setelah menmpuh perjalanan, akhirnya mereka
sampai ke tempat tujuan. Thiersya terbangun dari tidur dan
bergegas turun. Kali ini mereka berjalan ke pantai. Mereka
semua bersenang-senang, Thiersya kembali tersenyum dan
bersemangat. Setelah sore tiba, mereka beristirahat di
sebuah restoran dekat dengan pantai. Ketika menikmati
makanan, Thiersya melihat sosok perempuan berbaju
hitam itu lagi di bawah pohon kelapa. Thiersya merasa
perempuan itu melihat ke arah mereka.

180
“Sya, lo ngeliatin apaan?” kata Ina.
Thiersya masih memandang perempuan itu dan
mengabaikan pertanyaan Ina.
“Sya!” ucap Ina sambil menepuk bahu Thiersya.
“Bikin kaget aja lo!” kata Thiersya
“Lagian lo bengong mulu dari kemarin, emangnya
lo liatin apa sih?” tanya Ina dengan muka penasaran.
“Gak liatin apa-apaan” jawab Thiersya dengan
santai dan melanjutkan makan.
Setelah selesai makan, mereka langsung bergegas
pulang karena waktu sudah menunjukan pukul 6 sore.
Sepanjang perjalanan, Thiersya merasa ada yang
mengikuti mereka dari belakang tetapi, ia tidak tahu sosok
apa yang mengikuti mereka. Setelah perjalanan yang
melelahkan mereka sudah dekat dengan rumah. Thiersya
merasa lemas seketika setelah masuk ke dalam jalanan di
tengah ladang jagung itu. Tak lama, ia melihat sosok gadis
yang berbaju hitam itu lagi dan lagi. Ia berdiri di pinggir
jalan dan dadanya berlumuran darah. Namun Thiersya
heran, mengapa yang meilhat gadis itu hanya ia seorang.
Setelah sampai, mereka langsung bersih-bersih dan makan
malam bersama.
“Mel, gadis yang lo bilang waktu itu udah
ketemu?” kata Thiersya.
“Belum, memang ada apa?” jawab Amel.

181
“Gapapa nanya aja gue, soalnya belakangan ini
sering banget ngeliat perempuan pakai baju hitam, sama
kayak yang lo ceritain” jelas Thiersya.
“Demi apa lo?” kata Kayla terkejut.
“Iya, gue aja belum mau cerita sama lo pada. Gak
ada yang percaya pasti” kata Thiersya.
“Apa yang gue liat itu Laura ya?” sambung
Thiersya.
Mereka semua terdiam, Amel pun juga. Setelah
selesai makan, mereka memutuskan unutk tidur bersama
lagi semenjak Thiersya cerita seperti itu. Tidak lama
setelah makna malam, mereka semua menuju ke kamar
dan segera tidur. Tetapi tidak dengan Thiersya, ia masih
belum bisa tidur. Thiersya terus mencoba untuk tidur,
ketika ia mulai terlelap, ia mendengar kembali suara
perempuan yang meminta pertolongan. Ia
mendengarsecara terus menerus, kemudian Thiersya muak
dengan apa yang ia dengar. Ia mulai melihat kembali ke
jendela dan melihat sosok perempuan itu berdiri dibawah
lampu jalanan. Kali ini, sosok perempuan itu melambaikan
tangan ke arah Thiersya seolah-olah meminta Thiersya
untuk menghampirinya. Bulu tangan Thiersya berdiri
karena ia ketakutan. Thiersya menghela nafas yang
panjang dan langsung pergi meninggalkan jendela
tersebut. Ia langsung mengganti pakaian tidurnya dan
mengambil handphonenya untuk penerangan. Tanpa
membangunkan teman-temannya, ia langsung pergi
menuju lampu jalanan itu. Kejadian yang sama terulang, ia
harus mengikutin perempuan berbaju hitam itu lari namun,

182
kali ini arahnya berbeda dengan sebelumnya. Thiersya
sedikit kewalahan mengikuti perempuan itu. Setelah lama
ia berlari dan mengikuti perempuan itu, ia kehiangan
sosok perempuan itu lagi. Tetapi, kali ini ia sudah sampai
di ujung ladang. Ia melihat ada sebuah karung beras yang
seolah-olah menutupi sesuatu dan ia mencium bau-bau
bangkai yang tidak sedap. Dengan keberaniannya, ia
membuka karung beras tersebut dan ia terkejut setelah apa
yang ia lihat dibawah karung beras. Ia melihat gadis yang
mempunyai luka tusuk berkali-kali dibagian dadanya,
sama seperti yang ia lihat saat perjalanan pulang. Ia
menangis dan segera menelfon polisi. Setelah menunggu
20 menit, polisi tiba. Suara mobil polisi membangunkan
teman-temannya.
“Eh ada apa itu?” ucap Nayla sambil
membangunkan temannya.
“Thiersya mana?!” lanjut Nayla dengan nada
cemas.
Mereka langsung bergegas turun ke bawah dan
langsung menuju ke mobil polisi. Disana ia melihat
Thiersya yang sedang duduk dan menangis. Mereka
langsung menghampiri Thiersya. Thiersya tidak bisa
berbicara apa-apa. Ia sangat terkejut apa yang telah ia
alami. Polisi langsung mengevakuasi mayat gadis tersebut
dan membawa ke rumah sakit terdekat. Teman-teman
Thiernya masih tidak mengerti apa yang telah terjadi.
“Pak ini ada apa ya? Kok teman saya nangis
begini?” tanya Kayla kepada seorang polisi.

183
“Begini mba, teman mba ini menelfon polisi, dia
menemukan mayat seorang gadis yang selama ini kita
cari” jelas seorang polisi.
“Saya permisi mba, selamat malam” lanjut
seorang polisi.
Polisi meninggalkan tempat kejadian dan mereka
kembali ke rumah. mereka semua menenangkan Thiersya
sampai akhirnya ia ingin cerita apa yang telah ia alami
sejak sampai disini. Perasaan Thiersya jauh lebih tenang
setelah ia menceritakannya semua. Kemudian, mereka
memilih mengajak Thiersya beistirahat kembali. Disaat
Thiersya ingin tidur, ia melihat sosok perempuan itu tepat
di depan pintu kamarnya. Ia sangat terkejut dan bingung
apa yang harus dilakukan. Thiersya hanya diam dan gadis
itu menundukan kepala seolah-olah mengucapkan terima
kasih kemudian menghilang. Tanpa sadar, Thiersya
meneteskan air mata. Ia mencoba kembali untuk tidur dan
akhirnya ia dapat tidur dengan nyenyak. Dan akhirnya, ia
dapat tersenyum kembali dan kembali menjadi Thiersya
yang periang. Mereka melanjutkan liburannya dengan
penuh keceriaan tanpa ada halangan. Sampai akhirnya ia
harus kembali ke kota tercitanya.

184
Marsha Park dan Kisahnya
Karya Madhava Nitisara Wiryana

            Sebuah cafe ternama di Jakarta dipenuhi orang-


orang. Jam sudah menunjuk pukul 22.00, tapi tempat itu
tak kunjung sepi. Marsha, seorang gadis yang seharusnya
menjadi tokoh utama pada pesta itu malah terduduk lemas
dibilik kamar mandi. Dirinya menghindari keramaian
karena tak suka. Entah siapa yang beride untuk membuat
pesta tersebut. Kalau Marsha tau orangnya, dengan senang
hati ia menendang ubun-ubun orang tersebut. 
“Hei! lagi nunggu om-om ya?” Ucap seorang
gadis centil mencoba menghina Marsha. Marsha tak
bergeming dan membuat perempuan itu pergi dengan
kesal. Sudah menjadi asupan sehari-hari hinaan dan
cemooh itu. Mulai dari yang menghina fisiknya dan
konidisinya dimana bahwa dirinya ditaksir pangeran-
pangeran sekolah. Marsha orangnya tertutup, tak suka
mengeluh tentang masalah personalnya. Mungkin sesekali
lontaran kata dari dirinya seperti , ”ingin mati saja
rasanya” dan berbagai aduhan lainnya. Tetapi dirinya tak
pernah memberi tahu alasan personal dari lontaran kata
tersebut
Marsha sesungguhnya rupawan. Darah Australi
yang mengalir di tubuhnya membuat fitur-fitur wajahnya
sangat tajam dan juga Ibunya yang keturunan chinese
menambah kesan oriental pada auranya. Tidak begitu
pintar, tetapi cukup kreatif. Jiwa seni yang sudah turun

185
menurun membuat dirinya suka sekali berkecimpung di
dunia seni. 
Temannya hanya beberapa, tidak banyak. Bahkan
bisa dihitung pakai jari. Tapi yang sangat mengenal
Marsha adalah Wendy. Wendy adalah tetangga  Wendy
juga seorang blasteran, bedanya dia lebih lama tinggal di
Indonesia. Wendy menghabiskan masa kecilnya di
Lombok. Kota mataram adalah tempat ia tinggal. 
Singkat cerita, pesta telah usai. Semua orang
sudah pulang ke rumah masing-masing. Marsha menatap
arloji Olivia Burton, sudah menunjukan pukul sepuluh
malam. Marsha benar-benar sendiri di cafe itu. Teman-
temannya pulang kerumah masing-masing dengan
‘gandengan’ barunya. Marsha merutuki dirinya yang
kesepian.
“Bodoh.” Ucapan Marsha menggema. Menusuk
hatinya yang sudah berdarah. Dia tak tau kalau sifat suka
berpikir berlebihannya itu bisa melukai dirinya sejauh ini.
Memeluk kakinya dan bersender di pilar luar cafe,
menatap bintang dan menunggu waktu. Marsha sangat
tidak ingin pulang kerumah.
Dipasangnya penyuara jemala ke kuping dan
mulai mendengarkan alunan lagu Chloe Moriondo
bertajuk “Kalmia Kid”. Dirinya mengikuti irama yang
menenangkan dari lagu tersebut sembari berjalan
menyusuri Kuningan Timur. Marsha sangat suka
menyusuri jalanan malam. Rasanya sangat menenangkan.
Tetapi ketenangan itu terganggu oleh sebuah sepeda motor
yang berhenti tepat disampingnya.

186
“Oi, Marsha!” Ucapnya dibalik helm
“Siapa lu?” Balas Marsha ketus sembari berjalan
terus, tak menghiraukan siapa yang ada di sampingnya.
Motor itu berusaha mengikuti Marsha. Setelah melepas
helmnya, pengendara itu memanggil Marsha sekali lagi
“Heh, anak beruk!” Marsha yang mengenali
panggilan itu langsung berbalik badan
“Apaan?” Balas Marsha ketus
“Jutes banget sih, sini bareng gua. Itung-itung
hadiah ulang tahun,” Daniel terkekeh sembari menepuk
jok belakangnya
“Yok lah,” Marsha langsung naik ke motor Daniel
dan mereka berkeliling Jakarta Selatan. Mulai dari
Kemang, Ragunan, Pasific place, sampai ke Lenteng
Agung. Mereka bersinggah di KFC untuk mengisi perut.
“Bolos nih?” Tanya Daniel
“Hajar lah, capek gua sekolah,” Timpal Marsha
sembari menyeruput Mocha Float favoritnya. Marsha
bukan anak yang rajin. Tetapi Marsha juga bukan anak
yang nakal. Ia jarang sekali tidak mengumpulkan
tugasnya. Ia juga jarang sekali melanggar peraturan
sekolah.
Setelah dari KFC, ia diantarkan Daniel pulang dan
tidur sepanjang hari. Marsha sangat menyukai tidur, tetapi
disamping itu dia sesungguhnya menyimpan hati kepada
Daniel. Marsha sudah nyaman dengan kondisinya
sekarang dengan Daniel. Sungguh dilema besar baginya.

187
Tapi Marsha puas dengan momen yang terjadi semalaman
kemarin.
Marsha dengan sendirinya melupakan perasaannya
terhadap Daniel. Begitu banyak tugas dan ulangan yang
mendatangi dirinya. Tak heran sih, dirinya sedang di tahun
kedua SMA. Persiapan lomba pun menghajar Marsha
sebab dirinya adalah ace di tim dancenya. Tenaga Marsha
benar-benar terkuras di akhir tahun ini. Belum pula
remedial yang menunggu, dan juga impiannya mendapat
sekolah tinggi diluar negeri.
"Ah, melelahkan sekali," Ucap Marsha sembari
berbaring di kasur springbednya yang berbalut seprai
merah. Dia hanya melamun, menatap langit langit dimana
tempat bersinggahnya dua cicak berkejaran. Lalu Daniel
melintas begitu saja di pikirannya. Perasaan Marsha
kembali memenuhi hatinya. Tetapi Marsha mencoba
melupakan kawan seperbolosannya itu dengan
memejamkan mata dan melangkah menuju negeri mimpi.
***
"Wendyy!!" Panggil Marsha di kantin sekolahan.
Wendy yang merasa terpanggil segera mendatang gadis
bersurai cokelat tua itu. Marsha lalu bercerita kepada
Wendy mengenai perasaan yang selama ini ia pendam
kepada Daniel. Tetapi Wendy memiliki kebiasaan buruk
ketika temannya bercerita. Terkadang dirinya suka
menganggap beberapa hal tidak penting, padahal bukan
hal yang sepele yang dibicarakan. Tetapi kali ini dia
mendengarkan. Dalam hati, Wendy merasa bahwa dia
membohongi teman baiknya sendiri.

188
Sesungguhnya Wendy telah di jodohkan dengan
Daniel. Wendy sebagai seorang anak yang tak mau dicap
durhaka hanya manut. Lagipula, alasan apa sih yang
membuat harusnya menolak Daniel? Sudah kaya, tampan,
berbadan atletis, sifatnya friendly pula. Hanya saja dalam
hati kecilnya, ia tidak menginginkan Daniel. Baik karena
ia tahu bahwa Marsha menyukainya, tetapi juga
bahwasanya Wendy memiliki perasaan kepada orang lain.
"Wen, lu dengerin gua gak sih?" Marsha
menyadarkan Wendy dari lamunannya. Wendy tergagap
mengiyakan pertanyaan Marsha. Bell berbunyi dan
akhirnya mereka memasuki kelas. Mereka berdua teringat
bahwa sekarang saatnya kelas Bu Rili, guru yang notabene
akan mengerjai siswa-siswi yang terlambat masuk kelas.
Mereka berdua langsung berlari untuk memasuki kelas
***
Dua hari setelah kejadian itu, tak ada hal yang
mencurigakan. Petangnya, Marsha sedang berjalan pulang
menebeng Daniel. Sudah hal lumrah seharusnya bagi
sekolah kalau Marsha sering pulang dengan Daniel, tetapi
beda dengan sore ini. Segerombolan wanita menatapnya
dengan intens, sedangkan grombolan pria di sisi lain
melihat momen itu nanar. Daniel yang merasa peka
dengan kondisi itu mencoba untuk mengabaikan kondisi
tersebut, tetapi hatinya tak bisa berhenti menembakan
pertanyaan tak berjawab.
"Mar, lu ngeh gak sih kalau anak-anak sekolah
liatin kita mulu," Tanya Daniel sambil melipir ke toko

189
swalayan. Mereka berdua turun dan berjalan masuk ke
Swalayan
"Gak tau deh, ngeh aja lu," Bohong Marsha.
Seorang Marsha tak mungkin berkondisi mengenaskan
seperti ini jika dirinya tak acuh. Merekapun berjalan terus
sampai kerumah Marsha. Setelah berpamitan, Daniel
langsung melesat ke rumahnya yang hanya berjarak
beberapa blok. Marsha masuk kamar, menguncinya rapat-
rapat dan tidak keluar sampai lusa. Dirinya begitu panik
mengenai rahasia yang baru ia ceritakan pada Wendy. Hal,
ternekat yang pernah ia lakukan.
Dua hari berselang. Pukul 4.30, Marsha masih
terduduk di matras lantainya. Bau anyir menemaninya,
menandakan dia melakukan hal yang membekas
ditangannya. Pikirannya kacau, begitupun fisiknya. Tetapi
Marsha mencoba untuk sedikit menutup lukanya.
Setidaknya bisa membendung rasa anxious dari hatinya. Ia
memikirkan impiannya untuk sekolah di negeri Paman
Sam, membuat dirinya tegerak ke kamar kecil dan
membasuh dirinya. Ia mau berangkat menuai ilmu.
Nyatanya, di sekolah ia merasa terusik. Meja
belajarnya dipenuhi blackmail yang tentunya menyakiti
hatinya. Marsha mengupayakan agar hatinya tak
terusik,yakni dengan belajar. Saat ini sekolah di luar
negeri satu-satunya harapan bagi Marsha. Ia tak mau
terjebak di lingkaran setan, ia ingin masa lalunya tak
terseret kepada masa depannya. Tetapi hati kecilnya
berteriak seperti singa. Bisikan teman selalu terngiang

190
membuatnya susah untuk konsentrasi. Ia benar-benar bisa
gila.
Marsha juga menghindari untuk bertemu Daniel.
Setiap akan berpapasan dengan Daniel, dirinya akan
memakai earphone. Begitupun bertemu dengan Wendy. Ia
tak ingin ada masalah dengannya. Dirinya takut emosinya
akan melahap dirinya dan malah menjauhkannya dari
kedua temannya. Ketika disapapun, Marsha hanya bisa
tersenyum getir. Ia sangat takut. Ia bisa merasakan sesuatu
yang buruk akan terjadi terkait hubungannya dengan
kedua insan tersebut.
Saatnya ujian tertulis untuk Beasiswa ke luar
negeri. Marsha merasa biasa saja, tidak ada rasa gugup dan
khawatir. Ia berangkat dengan mengendarai layanan ojek
online. Selama di perjalanan, dirinya hanya menatap
jalanan. Bukan, dirinya menatap objek yang tak eksis.
Melamun sejauh 3.4 Km sambil mencari hal yang hilang
dalam dirinya. Memang, masa remaja identik dengan kata
cinta. Marsha yang baru pertama kali merasakan hal
tersebut bingung harus apa. Marsha benar-benar dibuat
bodoh oleh cinta, terlalu naif.
Beriring waktu, Marsha akhirnya sampai. Ia
registrasi dan menyetor dokumen-dokumen yang
diperlukan. Duduk di kelas ujian dan mulai mengerjakan
dengan santai. Pensil mulai mencoret-coret kertas. Mulai
dari paragraf sampai aljabar Marsha kerjakan dengan
tenang. Walaupun ia tau skillnya tak seberapa, tapi dari
pada terbuang sia-sia tak dikerjakan, lebih baik di kerjakan
sebisa mungkin. Waktu 3 jam telah berlalu, kertas ujian

191
sudah dikumpulkan dan Marsha kini terduduk di luar
gedung ujian. Tiba-tiba, kejadian pada malam ulang
tahunnya terjadi lagi.
"Mar, sini nebeng gua," Ucap Daniel yang
kebetulan lewat daerah situ
"Gamau ah, paranoid gua," Elak Marsha
"Yaelah, kan lunya gak beneran demen ama gua
kan? gak usah malu-malu gitu," Timpal Daniel tak tau diri.
Ingin rasanya Marsha memaki dirinya sendiri lalu
mendorong Daniel ke gorong-gorong. Hei, perasaan
Marsha itu ada. Rasanya seperti dibuang dari pesawat
terjun payung tanpa parasut. Tapi bukan sepenuhnya salah
Daniel karena Marsha pun tidak vokal tentang
perasaannya, takut.
Akhirnya Marsha diantar pulang oleh Daniel.
Benar-benar teringat akan kejadian di malam ulang
tahunnya. Tetapi bedanya mereka tidak keliling Jakarta.
Tak selang beberapa waktu, Marsha sudah sampai rumah.
"Sial, kenapa disaat begini malah kejadian," Ujar
Marsha sambil merebahkan dirinya keatas kasur.
Pertahanannya dibuat runtuh, Marsha akhirnya
menumpahkan semua emosinya. Berbeda dari biasanya
yang penuh darah dan perih. Kali ini kesedihan Marsha
dipenuhi akan nuansa biru, air mata, dan sesak. Marsha
kembali lagi ke mode murungnya. Mengunci pintu kamar
dan tidak keluar-keluar.
***

192
"Gua denger lu mau sekolah di America," Ucap
Irene, teman baru Marsha yang dikenalkan Wendy. Irene
adalah murid pindahan, dia adalah sepupunya Wendy yang
akan tinggal bersamanya sampai lulus. Irene ingin kuliah
di Universitas Indonesia yang notabene dekat dengan
kawasan sekolah dan tentunya sekolah memiliki jalur
undangan yang lebih banyak daripada saat Irene
bersekolah di Bekasi.
"Ahaha, iya bener," Jawab Marsha
"Lah, gua kira gak jadi Mar, kan waktu itu udah
gua kasih tahu kalau sekolah di Amerika itu gak aman!
Kriminalitasnya tinggi, terus societynya juga judgmental
kaya disini. Bisa-bisa lu abis disana," Tegas Wendy.
"Apaan si, kok malah lu yang ngatur-ngatur! Lu
kan bilang kalo pilihannya ada di tangan gua, kok malah lu
seakan-akan ngancam gua?" Balas Marsha dengan suara
yang mulai meninggi
"Udah eh tenang! Kalau kalian berantem gini, pas
lamaran Wendy minggu depan nanti Marsha gamau jadi
Bridesmaidnya lagi." Irene menengahi tanpa mengetahui
kalau Marsha belum tahu tentang lamaran Wendy.
"Wen, lu kok gak ngasih tau gua?" Marsha
menatap Wendy intens. Jujur Marsha merasa sakit hati,
lebih sakit daripada kemarin ketika Daniel secara tidak
langsung menghujamnya dengna suatu pernyataan.
"Bukan gitu, itu karena gua juga masih gak
yakin." Wendy mulai mengecilkan suaranya. Suasana di

193
meja itu mulai tegang. Wendy yang tadinya biasa aja
menjadi ciut atas aura yang menyelimuti Marsha.
"Gak yakin gimana? Orang lamaran lu aja minggu
depan." Marsha semakin emosi.
"Bukan gitu, tapi masalahnya..." Wendy baru saja
mau melengkapi. Tetapi Marsha memotong, "Apa!?Orang
yang mau ngelamar lu ada kaitannya kan sama gua?"
"i..iya, Daniel." Wendy kalut. Ia begitu takut kalau
Marsha sampai-sampai menghajarnya. Tetapi bukan itu
yang Wendy khawatirkan. Ia takut Marsha akan melukai
dirinya sendiri atau bahkan sampai menjadi suicidal.
"Oh.. yaudah," Balas Marsha singkat. Tergambar
dari raut wajah dan suaranya yang parau, Marsha kecewa.
Ia lalu berdiri, beranjak pergi tanpa mengatakan sepenggal
kata. Marsha benar-benar lelah dengan semua hal yang
terjadi belakangan ini. Ia berharap semoga semuanya
berakhir dengan cepat.
Waktunya pulang, Wendy melihat Marsha yang
terburu-buru segera mengikutinya. Dia juga mengirim
sebuah pesan singkat pada Irene dan Daniel. Ia tahu ada
sesuatu yang tidak beres. Dilihatnya Marsha yang berjalan
dari sekolah sampai rumah. Padahal jaraknya lumayan
jauh, Wendy agak kelelahan. Marsha memasuki rumah
dan mengunci pintunya. Wendy yang sedang bersembunyi
melihat kondisi rumah tersebut. Gorden jendela tertutup,
pintu terkuci, satu-satunya akses hanya pintu kebun
belakang yang tertutup pagar.

194
Wendy pun memanjat pagar kebun. Mencari pintu
belakang dan membukanya. Beruntungnya, pintu tersebut
tidak terkunci. Ia mulai memanggil Marsha sambil melihat
kondisi rumah. Ada sebuah surat terletak di rak pintu
depan. Ia mengambilnya dan membacanya. Ternyata
Marsha dinyatakan lulus Beasiswa ke Amerika. Ketika
Wendy pertama dengar bahwa Marsha ingin mendapatkan
Scholarship di Amerika, dirnya hanya berpikir bahwa itu
membuang waktu dan uang. Tetapi ketika ia lihat hasil
kerja keras Marsha, ia hanya bisa tersenyum bangga.
Terdengar ketukan pintu yang halus, Wendy
membukanya dan terlihat bahwa Irene dan Daniel sudah
datang. Wendy memberi tahu tentang kelulusaan Marsha
dan mereka pun ikut senang. Tetapi tak lama kemudian,
terdengar bunyi teriakan keras.
"Marsha!" Panggil Irene kencang. Wendy segera
berlari, disusul oleh Irene dan juga Daniel. Ketika dibuka
pintunya, Marsha terbaring lemas. Sebuah tikaman di
perutnya, pisaunya masih menancap dan tangannya
memegang erat gagang pisau tersebut, menahan sakit.
"Rin, telfon ambulans!" Perintah Wendy, lalu
Wendy dan Daniel menggotong Marsha ke bawah. Tak
selang 5 menit, Ambulans datang dan Marsha akhirnya
dilarikan kerumah sakit.
***
Marsha kini sudah sembuh. Singkat cerita, Wendy
dan Daniel menjelaskannya kepada Marsha dan dirinya
kini mengerti mengenai kondisi yang membuatnya

195
depresi. Marsha sudah mulai melupakan tegangan yang
pernah terjadi dan ia berangkat ke Amerika untuk sekolah
disana. Satu semester berselang dan kini dirinya sedang
libur semester, tapi tak ada uang untuk kembali ke
Indonesia.
"Excuse me, are you Marsha Park?" Tanya
seseorang kepada Marsha. Di sebuah cafe yang lumayan
nyaman, Marsha melihat ada seorang teman yang pernah
berkelana keliling Jakarta Selatan bersama.
"Hei Daniel! How's life going?" Tanya Marsha.
Daniel lalu menjawab dengan senyuman hangat, "Great,
nothing special. Tapi gua udah menemukan someone
special in my life."
"Really? Kenalin dong sama gua." Marsha yang
sangat antusias memohon dengan semangat. Lalu
datanglah seseorang dengan surai biru gelap hampir hitam,
duduk di sebelah Daniel.
"This is Ong! Kita ketemu di Uni. Kebetulan dia
juga orang Indonesia," Jelas Daniel. Lalu Ong menyapa
Marsha sambil menjabat tangannya, "Hai Marsha, Daniel
banyak cerita tentang lu BTW."
Lalu Mereka Bercengkrama sampai petang datang.
Marsha juga mengenalkan pacarnya Alix, seseorang yang
ia temui di perpustakaan Uni. Daniel ternyata juga
mengambil beasiswa ke Amerika. Ambisinya bersekolah
di jurusan Social science membuat pertunangannya batal.
Wendy juga menjelaskan kepada kedua orang tuannya
bahwa ia tidak mau menikah begitu muda. Ia masih ingin

196
berkarir sampai ia mapan. Begitulah hidup, kadang kita
harus memilih untuk merelakan sesuatu untuk mencapai
kebahagiaan.

197
My Father is My Bestfriend
Karya Maria Fidudu

Kring..kring.. alarm berbunyi sejak pukul 5 dan


sekarang waktu menunjukkan pukul 6 lebih 10 menit. Ku
terbangun dan segera bersiap-siap berangkat ke sekolah.
Ku lihat ojek jemputan yang mengantarkan aku ke sekolah
telah tiba di depan gerbang rumah. Tin..tin..(bunyi klakson
motor) "ayo neng, sudah setengah tujuh neng nanti telat"
kata Pak Ujang. "Iya pak" jawabku
Nama-ku Aleah biasanya dipanggil Leah atau le, anak
kedua dari dua bersaudara. Aku punya saudara laki-laki.
Kami berbeda 6 tahun. Sekarang kakakku kuliah dan aku
masih sekolah lebih tepatnya senior high school.
"Waktu istirahat dimulai" bunyi bel istirahat.
"Woi, le, diem-diem aja mikrin apaan?" Tanya Soya,
temanku. "Ah, g mikirin apa-apa kok". " Lagi ngumpul
gini malah diem ikut nimbrung ngapa". "Iya-iya" jawab
diriku.
Aku punya teman tapi ga pernah sekelas dari awal
masuk sekolah jadi kami selalu bertemu saat istirahat,
pulang sekolah dan kami punya jadwal di hari tertentu
untuk belajar bersama.
Aku termasuk siswa yang nilainya terbilang cukup bagus
walau sedikit malas-malasan. Orang tua-ku selalu
mendorong-ku belajar supaya nilaiku bagus terkadang
mereka membanding-bandingkan dengan orang lain. Aku

198
hanya bisa mengikuti saja atau tidak membantah, aku tahu
mereka hanya ingin yang terbaik untuk diriku tapi yang
kurasakan seperti terjebak di sebuah ruangan tertutup
dengan badan terikat hingga tak bisa bergerak.
"Waktu belajar telah selesai" bunyi bel pulang sekolah
"Ayo pulang neng" kata pak Ujang di depan gerbang
sekolah. " Iya pak" jawab-Ku. Sesampainya di rumah, aku
hendak pergi ke kamar tapi ayah memanggilku. " Aleah,
gimana sekolah tadi? Nilainya bagus semua kan? Harus
bagus ya sayang. Liat anak Pak Hendi, dia juara 1 paralel
tapi kamu malah ranking 10". " Iyaa, Yah. Aku pergi ke
kamar dulu". " Iya, nanti langsung ke ruang makan kita
makan bersama". " Iya, yah" jawab diriku.
Aku kesal selalu dibandingkan tapi aku tidak bisa
melakukan apapun untuk bilang kalau aku kesal. Setelah
menaruh tas dan berganti pakaian, aku langsung ke ruang
makan dan melihat orang tua dan saudara sudah
berkumpul, aku pun langsung duduk. "Nah, mumpung lagi
ngumpul semua, Ayah mau bilang kalau Aleah akan diberi
tambahan les setiap hari sepulang sekolah. Gimana?" Kata
Ayah. " Tapi di hari Selasa dan Jumat aku ada ekskul lalu
di hari Senin dan Rabu belajar bareng teman-teman" jawab
diriku. " Kamu bisa atur waktu kamu dan Ayah sudah
bayar administrasinya loh". " Iyaa ,Yah" Jawab diriku. \

*Keesokan harinya di sekolah*


"Le, dipanggil Bu Iin di ruang guru tuh,” kata
soya. " Sekarang Soy?". "Iya, sana". Di perjalanan menuju
ruang guru jantungku berdetak kencang. Aku takut nilai
matematika- Ku( Bu Iin adalah guru matematika) jelek

199
karena disaat mengerjakannya aku sedang kurang sehat.
Lalu Ku buka pintu ruang guru dan menuju meja Bu Iin.
"Selamat Pagi, Bu, ada apa Bu?" Tanya diriku. "Ibu lihat
nilai kamu sedikit menurun akhir - akhir ini. Padahal kamu
biasanya mendapatkan nilai tertinggi di kelas. Ada apa
nak?". " Ah enggak ada masalah kok Bu tapi disaat itu
saya sedang kurang sehat Bu. Saya akan tingkatkan lagi
Bu". " Tapi sekarang kamu sudah baik - baik saja kan
nak?" . " Iya, Bu" jawab-Ku. "Gini, Ibu mau kamu bantu
ngelatih adik kelas yang ikut olimpiade matematika. Kamu
bisa? Ibu harap kamu bisa tapi kamu pikirkan saja dulu
nanti kalau sudah yakin kamu kasih tahu Ibu". " Iya, Bu,
tapi kalau boleh tahu setiap hari apa Bu latihannya?"
Tanya diriku. "Setiap Hari Kamis sepulang sekolah, nak"
jawab Bu Iin. "Saya pikirkan dulu ya Bu". Keluar aku dari
ruang guru dengan wajah yang banyak pikiran. "Woi,
Leah, bengong aja keluar dari ruang guru, ada apaan??"
Tanya teman -Ku, Obi. " Enggak ada apa-apa, kalau lu?". "
Oh, gua cari lu. Jadi gini, gua kekurangan panitia untuk
pentas sekolah, lu mau ikut ga? Pliss". " Gua pikirin dulu
bisa g?". "Bisa sih tapi segera ya. Gua harap lu bisa ikut,
kita juga belajar cara ngadain event juga meningkatkan
solidaritas angkatan kita. Kalau mau nanya lu hubungin
gua  oke ". " Oke" jawab diriku. Aku sedikit tertarik
tawaran Obi. Menurut-Ku, ikut menjadi panitia suatu
event itu seru, banyak hal dapat dipelajari dari situ dan hal
ini juga merupakan suatu yang baru dalam hidup ku.
Setelah itu aku menghubungi Obi dengan maksud aku
menerima tawaran dia menjadi panitia.

200
Pembelajaran pun berakhir,  sepulang sekolah aku
langsung pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, Ayah
langsung memanggil ku "Aleah, sini nak" kata Ayah.
"Iya". " Gurumu hubungi Ayah, katanya kamu ditawarin
ngelatih adik kelas yang ikut olimpiade matematika. Ini
kesempatan bagus kamu menambah wawasan, kamu harus
ikut ya nak". "Tapi yah, aku jadi panitia acara sekolah dan
les tambahan kemarin gimana?". "Lesnya akan Ayah
mundurkan jamnya". "Iya, Yah". Aku langsung masuk ke
kamar dan mengunci pintu. Setelahnya, aku keluar dari
kamar dan melihat tidak ada orang. Tinggal aku sendiri di
rumah. Aku lupa bahwa orang tua -Ku adalah orang sibuk
terutama Ayah, dia hanya pulang untuk makan malam
bersama setelah itu pergi ke kantor lagi dan saudaraku
kuliah. Seperti biasa aku ditinggal sendirian di rumah.
Lalu keesokan harinya di sekolah aku ditawarin
ikut olimpiade fisika dan seperti kemarin guruku langsung
bilang ke Ayah supaya aku ikut olimpiade. Kalian pasti
sudah tahu akhirnya. Aku menekuni pelatihannya dan
menjadi juara. Setelah tiga bulan ruang tamu mulai
dipenuhi dengan piala, trophy dan sertifikat. Ranking-Ku
pun meningkat tapi tetap saja aku masih tidak bisa
mengalahkan anaknya Pak Hendi. Lalu pada suatu saat
nilai ulangan harianku menurun tidak seperti biasanya.
"Aleah, nilai kamu kok segini? Pokoknya kamu ah sekolah
langsung pulang ke rumah les tambahan yang Ayah kasih"
kata Ayah. Aku hanya terdiam. "Lihat anaknya Pak Hendi,
nilainya selalu menjadi yang tertinggi di kelas makanya
dia jadi juara 1 paralel" kata Ayah. "Ya sudah kamu ke

201
kamar, ga boleh pergi-pergi". Aku pun langsung ke kamar
tanpa bicara sepatah katapun.

*Di sekolah*
“Le, lu kenapa? Baik-baik aja kan?" Tanya Soya.
"Iya" jawabku. Lalu Obi datang menghampiri kami "Hi
Soy, Le jangan lupa ya nanti pulang sekolah ada rapat
panitia" kata Obi. "Gua ga bisa Bi. Kayaknya gua lebih
baik ngudurin diri dari kepanikan deh" jawabku. "Loh,
kenapa?" Tanya Obi. "Gua ga dibolehin Ayah gua pergi-
pergi mungkin sampai nilai gua meningkat" jawabku. "
Yah, sayang banget padahal kita butuh lu Le. Ga bisa
dibujuk lagi Ayah lu? Gua bantu deh". " Gua ga pernah
ngelawan Ayah gua. Mungkin kalo gua ngelawan bakal
pecah dah tuh perang ketiga". "Ya udah, makasih ya atas
kerjasamanya selama ini". "Iya, sama-sama, semoga
sukses acaranya". "Amin" kata Soya dan Obi. Setelah hari
itu, aku jarang berkumpul dengan teman-temanku. Waktu
istirahat pun guru-guru memanggilku dengan tujuan
membantu mereka tapi aku menyempatkan diri untuk
makan. Memang sih walau kumpul pun aku pasti diem
doang tapi berbeda ketika aku hanya sendirian. Aku
mengikuti kemauan Ayah, pulang sekolah langsung les
tambahan sampai malam. Nilaiku semakin meningkat tapi
kurang cukup untuk mengalahkan anaknya Pak Hendi.
Nilaiku dengan nilai dia sekarang hanya beda tipis.
Sebenarnya aku rindu dengan teman-temanku tapi aku tak
bisa bertemu mereka sebab semenjak nilaiku beda-beda
tipis dengan anak Pak Hendi, Ayah selalu menjemputku
setelah pulang sekolah.

202
Setelah sekian lama akhirnya aku betemu dengan
Soya.
“Le, sudah lama ga ketemu nih, gua lihat-lihat
nilai lu hampir sama kayak si juara 1, siapa tuh namanya?
Ian atau siapa lah?” kata Soya. “enggak tahu” jawabku.
“masa ga tahu, dasar ansos. Oiyaa btw, lu baik-baik aja
kan? Kelihatannya lu tertekan gitu”. “ gapapa kok, gua
baik-baik aja” jawabku. Bel masuk pelajaran berbunyi
dan kami masuk kelas masing-masing. Lalu pada waktu di
jalan menuju kelas seorang siswa menghampiriku “ Aleah
ya? “ kata siswa tersebut. “ iya, siapa ya?ada perlu apa?”
jawabku. “ buset satu-satu dulu pertanyaannya. Kenalin
gua Ian. Kita berdua dipanggil kepala sekolah disuruh
keruangannya sekarang”. “ tapi kan udah bel masuk “. “
gapapa, ayo” jawabnya. Kami berdua pun ke ruang kepala
sekolah.
Di ruang kepala sekolah
“ada apa Pak memanggil kami berdua?” tanya Ian.
“ kalian itu termasuk siswa berbakat di sekolah ini jadi ada
beasiswa dari universitas ternama di Australia tapi hanya 1
siswa saja yang diterima. Karena nilai kalian hanya beda
tipis jadi kalian harus bersaing mendapatkan beasiswa
tersebut” kata kepala sekolah. ” baik pak ” kata kami
berdua.
Sesampainya di rumah
“ Aleah, Ayah dapat kabar bahwa ada beasiswa
dari universitas ternama di Autralia untuk sekolah kamu.
Jadi kamu harus mendapatkannya buat orang tua sama

203
sekolahmu bangga kalau kamu gagal, kamu akan ayah
sangat kecewa sama kamu” kata Ayah. ‘’ iya, Yah”.
Jawabku. Dari kata Ayah tadi aku harus mendapatkan
beasiswa tersebut dan aku tahu kalau Ayah sudah sangat
Kecewa. Hal itu sudah pernah terjadi sekali pada kakaku
dan kami memutuskan untuk menuruti kata Ayah.
Keesokan harinya di sekolah lagi-lagi ada yang
menghampiriku saat menuju kelas. ‘’Aleah” kata Ian. “
iyaa, ada apa?” jawabku. “belajar bareng yuk walaupun
kita bersaing ga salah kan kalau belajar bareng”. “gua ga
bisa. Gua harus langgsung pulang ke rumah dijemput ayah
gua”. “yaudah, kalau di rumah lu belajar bareng gimana?”.
“hhmm, gimana ya?mungkin bisa nanti gua bilang sama
ayah gua dulu”. “oke, sampai ketemu pulang sekolah” kata
Ian. Aku menjawabnya dengan mengangguk saja. Waktu
pembelajaran selesai dan aku langsung pergi menemui
ayahku yang berada di dalam mobil dan aku terkejut
karena ayah memperbolehkan kami belajar bersama di
rumah. Kami pun belajar di rumah. Ayah yang biasanya
langsung pergi ke kantor tapi kali ini tidak, ia mengawasi
Ian bukan kerena dia laki-laki atau takut hal buruk terjadi
tapi karena ia ingin membandingkanku dengan Ian. Aku
tahu itu semua karena hal ini pernah terjadi pada kakakku.
Selama beberapa minggu kami belajar bersama di
rumahku dan setelahnya kami belajar masing-masing
hingga saat hari ujian seleksi karena kesibukan kami
masing-masing. Sebenaranya yang kulakukan hanya
belajar sedangkan dia juga aktif di sekolah seperti menjadi
pengurus OSIS tapi yang kutahu dia tidak dikontrol
sepertiku karena aku pernah menanyakan hal itu padanya.

204
Sebelum ujian seleksi beasiswa kami harus
menghadapi ujian akhir semester terlebih dahulu. Nilaiku
kali ini masih belum bisa menglahkannya. “ Aleah, kenapa
kamu ga bisa buat ayah bangga sedikit aja?! Kamu selalu
buat ayah malu. Kamu tahu ayah dari dulu selalu menjadi
juara di sekolah tapi ga ada pada kamu sifat Ayah yang
seperti itu. Kalau kamu gagal mendapat beasiswa, Ayah
akan sangat kecewa”. Aku hanya terdiam dan segera pergi
dari tempat itu menuju kamar dengan mata berkaca-kaca.
Tidak bisa kutahan genangan air di mataku hingga
menetes.
Di kanti saat jam istirahat “Le, lu kenapa? Mata lu
sembab gitu” Tanya Soya. “ ah ini kurang tidur” jawabku.
Aku enggan menceritakan masalahku karena kupikir pasti
setiap orang punya masalahnya masing-masing dan aku
tidak mau menambah bebannya. “bohong, cerita aja. Jelas
banget lu habis nangis. Lu tertekan ya?”. Disaat itu aku
hanya bisa menangis tanpa berbicara sepatah kata pun dan
semuanya langsung menengok ke arahku. Lalu Soya
menarik ke tempat yang sepi. “gapapa, lu nangis disini
jangan di tempat ramai kayak tadi” kata Soya. Setelah
meredakan tangisanku, aku menceritakan apa yang
kualami. “ Le, lu harus cerita ke keluarga lu jangan sampai
hal yang tidak diinginkan terjadi. Lu janji ya harus cerita
masalah ini ke keluarga lu” kata Soya. Ternyata ada orang
lain selain kami berdua ditempat itu. Orang itu adalah Ian.
Ia sedang tidur dan mungkin terbangun karena
pembicaraan kami. “ gua bisa bantu lu kalo butuh “ kata
Ian. “kaget gua, siapa lu? Kayak pernah liat” kata Soya. “
kenalin gua Ian “ jawab Ian. “ ohh, Ian yang juara 1 paralel

205
itu. Ngapain disini?”. “ nagapain disini? Aturannya gua
yang nanya, tempat ini tuh usudah jadi tempat
persemubunyian dari karamain sekolah ini ketika gua lagi
pengen ketenangan. Biasanya kalo gini gua ketiduran. Oh
iya, betul tuh yang dibilang temen lu harus cerita jangan
dipendam sendiri apalagi hari ujian udah deket nanti yang
ada lu ga bisa jawab karena kepikiran terus” jawab Ian.
“kayak orang tua aja lu ngomong gitu tapi gua coba deh”
jawabku.
Setelah sampai di rumah aku mempersiapkan diri
untuk bicara pada Ayah. Aku menghampirinya yang
sedang bersiap menuju kantor “ Ayah, aku stress, capek,
lelah, kesal tapi aku ga bisa berbuat apapun yang membela
diriku. Aku ga suka ayah terlalu mengontrol diriku
rasanya seperti dikekang denga erat. Sudah lama
kupemdam dan sekarang aku sudah ga kuat lagi
menahannya. ” Kata diriku. Aku berbicara sambil
mengeluarkan air mata. Ayahku terkejut melihatku seperti
itu dan dia langgsung memelukku sambil meneteskan air
mata. “maafkan ayah ya, nak. Ayah salah sudah
mengekangmu. Ayah hanya ingin kamu sukses melebihi
ayah tapi sudah melewati batas. Ayah minta maaf, nak”
kata Ayah.
Hari ujian seleksi pun tiba. Ayah mengantarkanku
ke tempat ujian.” Semoga lulus ya, nak” kata Ayah.
“amin”. Lalu di depan ruang ujian aku bertemu Ian “ Hi,
Ian semoga lulus” kata diriku. “ hi, Lea, lu juga semoga lu
lulus seleksi” jawab Ian. Aku mengerjakan ujian dengan
lancar dan ujian pun telah selesai. Siapapun yang lulus
memang dia pantas mendapatkannya. Lalu hari

206
pengumuman tiba dan lagi-lagi aku belum bisa
mengalahkan Ian artinya aku gagal mendapatkanya.
Mungkin bukan takdirku mendapatka beasiswa disana. “
selamat ya mendapatkan beasiswa, ian ” kata diriku. “ iya,
makasih Le. Gua akuin lu juga hebat. Sebenarnya gua ga
pede bersaing sama lu. Yang gua dengar lu banyak juga
menjuari lomba-lomba dan nilainya beda tipis sama gua”.
“ yaudah, gua balik dulu ya, ayah gua udh nunggu”. “ciee
udah baikan sama ayah”. “bye” jawabku sambil
tersenyum.
*Di mobil*
“Ayah, aku gagal mendapatkan beasiswanya”
kataku dengan murung. “yasudah, kita bisa cari yang lain.
Banyak jalan menuju roma .Ayah bangga sama kamu.
Kamu ga pernah malu-maluin ayah. Kita makan bersama
di luar ya hari ini”.
“Iyaa, Yah,” jawabku sambil memeluk ayah.
Sekarang ayah tidak pernah menekanku atau
memaksaku lagi. Ia selalu menanyai keadaanku, kabar aku
di sekolah ataupun menanyai hariku baik atau buruk.
Sekarang hubunganku dengan ayah lebih dari seorang
ayah. My father is my bestfriend.

207
Alfalena
Karya Marsiha Kurnia Enjelita

Perkenalkan namaku Alena Lesham Shaenette,


tinggal di ibu kota, Jakarta. Lahir dari orang tua yang
begitu sibuk dengan urusan pekerjaannya. Sedih pasti,
tapi aku sudah terbiasa dengan semua itu, bisa di bilang
kedua orang tuaku sangat kaya karena mereka
mempunyai banyak perusahaan dan investor di berbagai
penjuru dunia. Jadi, aku bisa menggunakan uang mereka
untuk menyenangkan hatiku.
Umurku sekarang 17 tahun, benar aku duduk di
bangku kelas 2 SMA, kelas XI MIPA 1. Katy, teman
sekelasku sekaligus sahabatku, anak popular di SMA ini,
SMA Harapan Bangsa. Katy itu anak jaman now banget,
gaya trendi, paras cantik, siapa yang tak kenal
dengannya. Lain halnya denganku, penampilan biasa
saja, suka baca novel tapi bukan kutu buku, dan aku itu
merupakan orang yang bisa dibilang introvert. Mungkin
seisi sekolah juga mengetahui keberadaanku karena aku
sering berjalan dengan Katy, entah itu ke kantin, ke aula,
bahkan ke toilet.
Di kelas XI MIPA 1 ini aku beruntung sekali
bisa berteman dengan anak popular sepertinya, jika
bukan karena aku ini anak dari sahabat orang tuanya
pasti dia belum tentu mau berteman denganku. Dia
memang sedikit pilih – pilih teman, kuakui walaupun dia

208
memang memiliki pribadi yang agak kasar dan bawel,
tapi dia itu sangat baik.
Aku tidak hanya berteman dengannya, aku
mempunyai satu sahabat lagi namanya Diandra. Diandra
itu juga berasal dari kelas yang sama denganku, tapi
modelnya kayak Katy. Dia cantik, gaul, dan tentunya
popular di sekolahku. Katy dan Diandra sering ngobrolin
sesuatu yang terkadang membuatku bosan, makanya aku
lebih memilih membaca novelku saja.
Bel istirahat pertama sekolah telah usai, dan
masuklah OSIS sekolahku untuk menyampaikan
kegiatan class meeting yang akan diadakan tiga hari ke
depan. Dalan batinku kegiatan ini sangat membosankan
dan membuatku malas berangkat ke sekolah. Bagaimana
tidak, acara ini bisa di bilang seperti ajang saling
menggoda karena biasanya para siswa bermain dan para
siswi memberi semangat untuk para pujaan hatinya itu.
Dan tentu saja hal ini yang membuatku bosan, bukan
karena aku cemburu karena tidak mempunyai pujaan
hati, melainkan karena aku tidak suka jika ada laki- laki
dan perempuan yang sok romantis hanya untuk bersaing
satu sama lain dengan pasangan kekasih lainnya.
Hari ini hari terakhir sekolahku
menyelenggarakan lomba antar kelas. Lomba- lomba itu
sangatlah membosankan, membuatku tidak tertarik. Aku
berniat untuk membolos saja. Namun, teman-temanku
yang cerewet memaksaku untuk masuk hari ini. Karena
seperti biasanya, hari terakhir merupakan pertandingan

209
basket putra yang membuat para siswi SMA ku
semangat untuk menyoraki pujaan hatinya.
Benar saja.
Ketika aku sampai di sekolah, guru yang biasa
dipanggil Bu Suda sudah menunggu para murid yang
datang terlambat di depan gerbang sambil membawa
buku yang ditakuti oleh semua siswa di SMA ku.
Dengan perasaan takut bercampur percaya diri, aku
melewatinya. Tak sampai satu langkah ku melewatinya,
aku sudah diteriaki.
“Hey kamu ! Main lewat aja, kamu tau sudah
pukul berapa ini ? ”teriak Bu Suda sambil menarik
lengan bajuku. “Tau bu...” jawabku dengan nada lirih.
Dengan tega Bu Suda menulis namaku di buku
keramatnya. Perasaan kesal mengikutiku hingga ke
dalam sekolah.
Aku hanya berdiam diri di antara kerumunan
siswa yang saling mendukung jagoannya. Tiba- tiba
Katy menarikku dan memaksaku untuk menemaninya
menonton pujaan hatinya itu. Dengan terpaksa aku
menuruti permintaannya itu. Hingga tibalah saatnya
sosok lelaki mencuri perhatianku, ia menggiring bola
dengan percaya diri melewati musuhnya. Keringat yang
membasahi wajahnya semakin membuatku tertarik
kepadanya. Dia lah yang menghilangkan rasa
kekesalanku kepada Bu Suda tadi.
Keesokan harinya, tidak biasanya semangatku
muncul untuk pergi ke sekolah. Saat sampai di sekolah,

210
pintu gerbang sekolahku sudah ditutup dan jika ingin
masuk aku harus berurusan lagi dengan Bu Suda.
Dengan pasrah aku berniat untuk membolos hari ini,
tetapi saat ku membalikkan badan ada sosok lelaki yang
sudah berdiri di belakangku sejak tadi. Jantungku
berdetak sangat kencang, namun aku berusaha untuk
menatapnya dan tidak disangka, ia menatapku balik
sambil menarikku ke belakang sekolah. “ Kita mau
kemana ?” tanyaku dengan nada bingung. “ Ssssttttt, ikut
aja ! Lu mau nanti Bu Suda dateng terus nama lu dicatet
di buku keramatnya ?” jawabnya. Lalu aku hanya
menggelengkan kepala saja.
Setibanya di belakang sekolah, ia langsung
menyuruhku untuk naik ke atas puggungnya agar aku
bisa memanjat dinding sekolahku itu. Saat aku
menengok ke bawah, sosok lelaki itu sudah pergi dan
aku menyesal karena belum mengucapkan terima kasih
dan menanyakan namanya.
Bel istirahat pertama sekolah berbunyi, kami
bertiga pergi ke kantin seperti biasa. Pesen mie ayam
tiga dan es teh tiga. Tempat duduk di pojokan dan
menghadap ke taman adalah tempat favorit kami. Tak
ada yang spesial, masih seperti biasa. Hingga temanku
yang bernama Katy pun mulai menghampiri pujaan
hatinya itu, yang tidak lain bernama Rio. Rio memang
merupakan salah satu pria tampan dan keren di sekolah
ku, hingga tak sedikit wanita yang menyukainya.
Ketika bel istirahat telah usai, terdengar suara
teriakan dan gaduh yang membuat para siswa berlarian

211
ke sumber suara itu. Aku tidak ingin memikirkan suara
itu dan ingin pergi ke kelas. Namun, Katy dan Diandra
memaksaku dan terus menarik lenganku untuk melihat
apa yang terjadi. Sesampainya disana, ternyata ada
beberapa siswa yang sedang berantem dan sudah terlihat
beberapa guru yang mencoba melerai mereka. Dan aku
sangat terkejut bahwa siswa yang berantem itu adalah
lelaki misterius yang membuatku penasaran selama ini.
Setelah kejadian itu aku akhirnya mengetahui namanya,
dan ternyata ia bernama Alfano Syahreza. Dia
merupakan salah satu cowo yang ditakuti oleh seluruh
siswa - siswi di sekolahku. Tetapi tetap saja, ia
merupakan cowo keren dan tampan di sekolahku, tidak
heran jika banyak kaum hawa menyukainya walaupun
mereka tahu bahwa Alfa akan bersikap dingin dan akan
menyakiti hati mereka.
Setelah kejadian itu, aku tidak lagi melihatnya di
sekolah. Hari libur pun tiba, seperti biasa aku akan pergi
untuk menghilangkan penat karena beban sekolah. Kali
ini aku mencoba pergi ke toko buku untuk membeli
novel yang baru saja di terbitkan dan merupakan salah
satu novel yang aku tunggu – tunggu selama ini.
Seperti biasanya, aku selalu mengunjungi kafe-
kafe yang terkenal enak di Jakarta. Aku terlarut dalam
novel yang aku baru beli tadi, hingga aku tidak sadar
jika sekarang sudah pukul 5 sore. Saat aku ingin pulang
dan memesan ojek online hujan pun turun secara tiba-
tiba dan membuat aku harus menunggu hingga hujan
reda.

212
Setelah cukup lama menunggu, hujan pun tidak
kunjung reda dan angin yang terus berhembus membuat
seluruh badanku merasa kedinginan. Aku duduk sambil
memeluk kedua lututku dan meyanderkan badanku ke
sebuah tembok. Saat aku sedang menundukkan
kepalaku, datanglah seseorang yang datang
menghampiriku dan ketika aku melihat orang itu
alangkah terkejutnya diriku.
“Ngapain lu di sini ?” tanya Alfa dengan nada
dingin, ya benar cowo itu adalah Alfa yang merupakan
siswa paling ditakuti di sekolahku.
“ Lagi nunggu ujan” jawabku dengan nada yang
masih bingung dengan kedatangannya secara tiba- tiba
itu.
“ Hujan kok ditunggu? Kurang kerjaan banget
sih lu, hahaha”. Perkataannya itu sedikit membuatku
kesal dan aku hanya diam . Tetapi apa boleh buat karena
sifatnya yang memang seperti itu.
Ngapain sih dia masih di sini, batinku. Tiba- tiba
dia melontarkan pertanyaan “ ngapain dah lu meluk kaki
lu kek gitu? Kedinginan ya?” udah tau pake nanya lagi,
batinku. Setelah itu ia pergi tanpa bilang kepadaku dan
itu cukup membuat kesal.
Tak lama kemudian, ia datang dengan dua buah
tentengan yang terbuat dari karton. Pertama ia
memberiku segelas kopi panas yang mana cocok banget
diminum pas lagi dingin- dingin kek gini. Dan alangkah

213
terkejutnya aku saat sedang minum tiba – tiba ia
memakaikan sebuah jaket ke pundakku.
“ Nih pake katanya kedinginan kan? Gua udah
beliin ini buat lu awas aja kalo entar ujan lagi lu ga pake
jaket ini.” Perkataannya itu membuatku tidak sadar
menatapnya, karena aku terpesona olehnya. Hingga tiba-
tiba ia berkata “ ngapain lu ngeliatin gua mulu? Awas
entar suka lohh” tanyanya sambil senyum.
Hal itu sontak membuatku sadar. “ Apaan sih
loh? geer banget dah jadi orang” jawabku dengan nada
yang masih malu dengan kejadian itu.
“ helehh gosah boong neng, gabaik tau haha”
jawabnya dengan muka yang masih seperti ingin
mengejekku. Hingga aku dibuat kesal olehnya dan ingin
pergi darinya walaupun itu masih hujan. Tidak sampai
satu langkah aku sudah dibuat terkejut oleh petir yang
sangat kencang dan membuatku terpeleset. Namun,
setelah beberapa saat kok aku tidak merasakan sakit
batinku.
“ Woy bangun kali, cape nih tangan gua” suara
itu membuatku tersadar dan lagi- lagi membuatku malu.
Saat hujan reda, Alfa tiba- tiba mengajakku untuk
pulang denngannya. Sebenarnya diriku ingin sekali
menolaknya, tapi ini sudah malam dan untuk menunggu
ojek online pun cukup lama. Akhirnya aku terpaksa
harus menerima tawarannya itu.
Saat di motor ia menyuruhku untuk pegangan di
pinggangnya tetapi aku tidak mau dan beberapa saat

214
kemudian ia melaju dengan cepat dan membuatku sangat
takut. Aku tak sadar jika aku ternyata sudah memeluk
dirinya, saat ingin ku lepaskan tanganku ia tiba- tiba aku
merasakan tangan Alfa menarik tanganku satu persatu ke
depan sehingga sekarang aku memeluknya.
Perlakuannya ini membuatku seakan terbang melayang.
Aku juga tidak bisa mengatur detak jantungku.
“ Gua bilang kan pegangan, lu nggak takut jatuh
apa?” tanyanya.
“ Iiiii....iiiiyaaaa fa.” Jawabku terbata- bata.
Tidak membutuhkan waktu lama untuk sampai
ke rumahku. Kurang lebih tiga puluh menit kami sudah
sampai di rumahku. Aku segera turun dari motor
berjalan meninggalkannya tanpa mengucapkan
terimakasih, sesaat terdengar teriakan kesalnya karena
aku yang langsung masuk ke rumah tanpa bilang apa-
apa padanya. Bagaimana tidak, aku masih tidak habis
pikir dengan perlakuannya padaku hari ini.
Di sekolah aku menjalani hari- hariku seperti
biasa tanpa ada sesuatu yang spesial. Saat bel istirahat
kedua, aku selalu pergi ke perpustakaan. Aku datang ke
perpustakaan untuk meminjam buku dan tentunya untuk
menghilangkan penatku sebentar.
Setelah ku pilih buku, aku duduk di kursi baca
perpus, tidak untuk membaca. Ku letakkan kepala di atas
tanganku yang terlipat di atas meja. Belum lama
kupejamkan mata, kurasakan kursi di sampingku
bergetar karena bertemu penghuni baru.

215
Lima menit kemudian aku merasakan kehadiran
cowo ngeselin yang sedang mengejekku.
“ Alena.... Alena... Alena...” katanya membuatku
merinding.
Aku tak percaya jika dia ada di sini, seorang
seperti dia mana mungkin berada di perpustakaan.
“ Ha ha ha ha ... Bidadari cantik. Apaan nih ?”
kudengar dia tertawa. Dan sepertinya dia menyebut
nama grup Line ku dengan Katy dan Diandra.
Bagaimana dia bisa tahu? Ahhhh sialan hp ku
kan di atas meja. Batinku. Bagaimana ini, haruskah aku
membuka mataku dan memarahinya. Tapi aku terlanjur
malu dibuatnya.
“ Apa- apaan sih loh, balikin gak hp gue?”
kubuka mataku dan kudongakkan wajahku, saat kulihat
dia memang sedang memainkan hp ku.
“Suruh siapa jomblo, makanya punya hp tuh di
segel biar gak digangguin orang. Dasar jomblo lu. Tuh
gua bantuin segel, gua doain semoga besok dapet pacar
hahaha” katanya dengan penekanan.
Tiba- tiba ia pergi meninggalkanku tanpa
memberi tahu kata sandi hp ku. Aku mencoba tabnggal
lahirku, tanggal lahir Katy, tanggal lahir Diandra, dan
bahkan tanggal lahirnya ku coba. Tetapi tak satupun
berhasil. Lama- lama hal itu membuatku sangat kesal .
“ Hai Alena....” sapa Nodi. Nodi si anak bandel
tidak jauh berbeda dengan Alfa, satu kelas denganku,

216
dan kata Katy dan Diandra dia suka sama aku. Tapi
entah kenapa aku tidak bisa menyukainya walauoun ia
tampan, keren dan juga cukup popular di sekolahku.
Saat bel pulang sekolah, seperti biasa Diandra
selalu rapat OSIS sedangkan Katy selalu pulang bersama
pacarnya itu. Aku masih mencari Alfa agar ia
membukakan hp ku. Cukup lama aku mencarinya,
hingga akhirnya aku menemukannya sedang tidur di atas
bangku taman sekolah. Tidak ingin berlama- lama aku
langsung mencubit lengannya dengan sangat keras dan
membuatnya kesakitan.
“ Cepetan bukain sandinya! Kalo nggak mau nih
cubitan gue bakal melayang ke perut loh” paksaku
dengan nada marah dan kesal.
“ Buka aja sendiri. Lagian ngapain juga di buka
kan lu jomblo, paling yang sms cuma daro operator
hahaha” jawabnya dengan muka yang seakan
mengejekku.
“ wah nantangin ya lohhh? Belum pernah liat
gua marah yaa?” tanyaku dengan nada yang sudah
begitu kesal dengan perlakuannya.
“ iya... iya.. jangan marah – marah dong, kalo lu
marah nanti gua jadi tambah suka sama lu” perkataanya
itu sontak membuatku kaget dan membuat detak
jantungku tidak karuan. Tidak berlama- lama akhirnya ia
mengetahui bahwa kata sandi hp ku adalah ulang tahun
mang Ujang dan setelah memberi tahuku ia langsung
pergi begitu saja tanpa rasa bersalah.

217
Aku langsung mencari mang ujang ke seluruh
sekolah dan akhirya aku menemukannya dan segera
meminta tolong untuk memberi tahu ulang tahunnya itu.
“ Mang Ujang ya? Saya boleh nanya ulang tahun
mang ga?” tanyaku dengan nada yang agak malu- malu.
“ Oh... Eneng Alena ya... tadi den Alfa ke sini
terus bilang kalo saya suka sama neng saya boleh ngasih
tahu ulang tahun neng” jawabnya dengan ramah.
“ Hah... suka sama saya? Gila tuh orang stres
banget” jawabku dengan perasaan yang masih tidak
percaya dengan semua ini.
“ Anu neng... tadi den alpa bilang, katanya kalo
saya setuju neng Alena sama den Alpa, mamang boleh
ngasih tahu”
“ Ooohh... He he he he.” Aku tersenyum malu,
sedikit bingung tetapi aku kok senang ya. Mang ujang
lalu memberi tahu ku tanggal ulang tahunnya dan ia
menceritakan sedikit tentang Alfa. Mang ujang
menceritakan bahwa Alfa merupakan siswa yang baik
dan juga satu – satunya siswa yang sering mengajaknya
ngobrol dan memberikannya hadiah. Seketika aku
tersadar bahwa ternyata Alfa merupakan sosok lelaki
yang walaupun sangat ngeselin dan berwatak keras
tetapi juga memiliki sifat kepedulian yang sangat besar.
Tidak terasa sudah pukul lima sore, aku terlalu
asik bercerita dengan mang ujang. Aku pun segera pamit
pulang dan memesan ojek online.

218
Sesampainya di rumah, aku di buat penasaran
dan bingung dengan perkataan Alfa dan mang ujang di
taman tadi. Aku tidak bisa tidur dan terus memikirkan
hal itu.
Keesokan harinya, aku merasa ada yang janggal
dengan seluruh siswa di sekolahku, semua mata selalu
menuju ke padaku. “Apakah ada yang salah dengan
pakaianku atau apakah ada yang slah dengan wajahku?”
Batinku.
Setelah sampai kelas aku di buat terkejut karena
seluruh teman kelasku langsung bertanya tentang
keadaanku. Katy dan Diandra pun tiba- tiba menjadi
sangat peduli kepadaku.
“Lu kalo ada masalah bilang ke kita ya...”
ungkap Diandra dengan wajah yang penuh kehawatiran
itu. Aku hanya mengangguk tanpa mengetahui apa yang
sedang terjadi.
“ Iya.... mulai sekarang lu harus selalu bareng
kita kalo mau kemana –mana” perkataan Katy itu
semakin membuatku tidak mengerti dengan situasi
sekarang ini.
Bel istirahat pun tiba, tidak seperti biasanya
Katy dan Diandra tidak membolehkanku untuk makan di
kantin bersamanya. Aku disuruh nunggu di kelas dan
katannya aku tidak boleh kemana –mana. Mendengar
perkataan mereka yang penuh penekanan dengan wajah
yang menunjukkan kekhawatiran, aku mengiyakannya.

219
Bel istirahat kedua pun berbunyi, seperti biasa
aku ingin pergi ke perpustakaan untuk meminjam buku.
Dan sepertinya ada yang janggal, Katy dan Diandra yang
tidak pernah mau diajak ke perpus kali ini mereka malah
menawarkan dengan senang hati untuk menemaniku ke
perpustakaan.
Belum sampai depan pintu perpus tiba- tiba ada
seseorang yang menarik lenganku, alangkah terkejutnya
kami saat mengetahui yang menarik lenganku itu adalah
Dandy. Dandy merupakan salah satu teman Alfa yang
juga merupakan siswa yang ditakuti di sekolah kami dan
ia merupakan pacar Diandra.
“Ayo ikut gua, lu di cariin Alfa noh” paksa
Dandy dengan serius sambil menarik tanganku. Di
belakiangnya sudah ada beberapa temannya yang
sepertinya juga ingin memaksaku untuk menemui Alfa.
“ Kemana ? jangan macem- macem sama temen
gua, kalo sampe Alena kenapa- napa gua ga segan-
segan mutusin lu” perkataan Diandra yang sangat serius
kepada Dandy itu membuatku semakin merasa bersalah
karena harus melibatkan mereka berdua.
“ Udah gapapa kok, percaya ini bakal baik- baik
aja, kalian gausah khawatir yaa.. oiya buat loh Di..
jangan ngomong kaya gitu sama pacar lu, ga baik tau..”
ucapku dengan senyum terpaksa di bibirku dan mencoba
menenangkan mereka yang mulai hampir nangis
melihatku dibawa oleh Dandy dan teman- temannya itu.
Bagaimana tidak, satu sekolah pun sudah tahu jika Alfa

220
sudah memanggil seseorang untuk menemuinya berarti
orang itu tidak akan selamat.
Mungkin itu yang membuat seisi sekolah dari
pagi selalu memandangiku dan menanyakan keadaanku
karena mereka sudah tahu bahwa aku telah
membangunkan raja singa, yaitu Alfa.
Perasaan takut mengikutiku hingga sampai di
taman belakang sekolah. Sesampainya di sana, aku telah
melihat sosok yang penuh aura dingin dan seperti ingin
cepat- cepat memburu mangsanya karena sudah berada
di hadapannya.
“ Santai aja, dia gak bakal ngapa – ngapain lu
kok. Gua harap lu bisa ngejawab dengan benar dan ga
nyakitin hatinya. Semangat!!!” ucap Dandy dengan
wajah yang berusaha meyakinkanku. Dandy dan teman-
temannya meninggalkan kami berdua. Dan sekarang
hanya ada aku dan Alfa di sini, perasaan takut terus
menghantuiku. Aku hanya diam dan tidak mau
memikirkan apa yang akan dilakukan Alfa kepadaku
karena aku begitu takut untuk membayangkannya.
“ Udah tau kalo lu ke sini mau ngapain?” tanya
Alfa dengan mulai bangun dari bangku taman dan mulai
berjalan ke arahku. Aku hanya bisa menggelengkan
kepalaku dan tidak berani menatap matanya.
“ Mau tau ga alasan gua manggil lu kesini?”
pertanyaan itu langsung membuat wajahku melihat ke
wajahnya. Jujur, aku berusaha membuat diriku tenang
dan meyakinkan diriku bahwa aku bisa menghadapinya.

221
“ Gua suka sama loh” ucap Alfa denga penuh
serius dan dengan wajah yang seperti bersungguh-
sungguh. Aku diam membeku mendengar perkataannya
itu.
“ Gila nih orang, kenal aja baru kemaren eh
sekarang udah nyatain cinta aja dasar cowo”. Batinku.
“ Sejak pertama gua ngeliat lu di pertandingan
basket kemarin, gua tertarik sama lu dan gua kira itu
cuma perasaan penasaran aja. Tapi pas kita telat dan gua
ngebantuin lu buat manjat tembok sekolah, disitu gua
ngerasa kalo gua emang beneran suka sama lu. Ga tau
kenapa gua selalu pengen di deket lu, makanya gua
selalu gangguin lu. Maaf...” perkataan Alfa itu membuat
jantungku berdetak dengan sangat kencang. Aku masih
tidak percaya walaupun di dalam hatiku ini merasa
sangat senang mendenngar pengakuannya itu.
“ Jadi, lu mau ga jadi pacar gua?” pertanyaan itu
segera membuatku tersadar bahwa aku harus menjawab
pertanyaannya dengan benar dan tidak menyakiti
perasaannya.
“ Duh gua harus jawab apa coba? Kalo gua tolak
entar gua bisa- bisa menghilang dari dunia ini tapi kalo
gua terima gimana nasib hidup gua...” Batinku.
“ Iiiii...iiiiyaaaa....” jawabku dengan terbata-
bata setelah berhasil menenangkan pikiranku ini.
“ Yeyy.... Serius kan ini?” teriak Alfa yang
kelihatan begitu gembira sambil berjalan mengambil
sebuah tas kresek hitam kecil di bangku taman. Aku

222
masih tidak mengerti apa yang akan dia lakukan, tiba-
tiba ia mengeluarkan sebuah kertas materai dan pulpen.
Aku hanya diam melihatnya yang sedanng menulis
sesuatu di atas kertas itu. Dan saat aku baca ternyata itu
merupakan kertas yang berisi bahwa aku dan dia resmi
pacaran.
“ Nih cepet tanda tangan di sini. Ini tuh biar
nanti gua pajang di kamar dan bukti kalo kita resmi
pacaran” paksa Alfa yang seperti tidak sabar melihatku
menandatangani kertas itu. Aku hanya senyum- senyum
melihat tingkah Alfa itu. Aku sadar bahwa Alfa
merupakan sosok yang sangat peduli dan romantis. Aku
tidak sadar bahwa ternyata kami telah saling bertatap
mata, hingga tiba- tiba terdengar suara sorakan bahagia
untuk kami. Saat ku melihat sekeliling ternyata itu
adalah suara Katy, Diandra, Dandy dan semua teman-
temannya Alfa.
Hal itu membuatku cukup malu, tapi malu itu
berubah menjadi tawa karena melihat sikap Dandy yang
langsung memeluk Alfa dan memberikan selamat
kepada kami.
Sesampainya di kelas pun Diandra dan Katy
sibuk menanyakan perasaanku saat Alfa menyatakan
perasaannya padaku. Saat ku ingin menjawabnya tiba-
tiba Bu Suda sudah memasuki kelas dan memulai
pelajarannya.
Kelas begitu hening, karena Bu Suda merupakan
guru yang paling ditakuti di sekolahku hingga banyak

223
siswa yang terpaksa mendengarkan dan mengikuti
pelajarannya itu dengan bosan.
Bel pulang sekolah pun berbunyi, para siswa
sudah berhamburan untuk keluar dari sekolah ini. Tetapi,
aku masih malu karena kejadian tadi. Aku berusaha
untuk menghindar dari Alfa dan teman- temannya. Aku
menyuruh Katy dan Diandra untuk pulang duluan
dengan alasan bahwa aku ingin pulang bersama Alfa.
Saat aku mengendap berjalan keluar pintu
belakang sekolah, tiba- tiba ada yang menarik tasku dan
itu sontak membuatku sangat terkejut.
“ Ngapain jalan ngendap- ngendap begitu? Ga
mau ketemu gua ya? Tanya Alfa dengan tangannya yang
masih menarik tasku.
“ Apaan sih kaga, lepasin dulu nih tas gua”
jawabku dengan perasaan malu dan tidak berani menatap
wajahnya. Tanpa berkata apa pun ia langsung menarikku
ke area parkir, ia langsung memakaikan helm ke
kepalaku yang mana membuat jantungku berdegup
sangat kencang. Alfa langsung menyuruhku naik ke
motornya dan aku hanya bisa mengikuti perintahnya.
“ Kita mau kemana sih? Lu tau kan rumah gua
dimana?” tanyaku dengan nada yang sedikit bingung
karena Alfa tidak membawaku untuk pulang ke rumah.
Tibalah di sebuah rumah yang cukup megah, dan
ternyata itu adalah rumahnya. Dengan perasaan bingung
aku turun dari motor dan segera berjalan ke rumah itu.

224
“ Ehhh.... itu helmnya buka dulu, ga sabar yaa
mau ke rumah calon suami hahaha” perkataan Alfa itu
cukup membuatku malu.
Saat masuk ke rumah itu, terdapat sosok wanita
yang seumuran dengan bundaku dan ternyata itu adalah
bundanya Alfa. Bunda Mawar merupakan sosok ibu
yang sangat sabar dan menyayangi putranya. Ia juga
sangat cantik dan mempunyai karisma seperti halnya
bundaku.
Di rumah Alfa aku berbincang- bincang dengan
bunda dan tidak sadar jika aku sudah tertawa geli karena
cerita bunda Mawar bahwa Alfa itu walaupun nakal
tetapi masih cengeng. Banyak sekali hal yang ku ketahui
tentang Alfa dari bunda. Dan Alfa hanya bisa
menunjukkan sikap malu dan kesal kepada bundanya itu.
“ Eh nanti jalan yuk.” Ajak Alfa dengan tiba-tiba
saat kami sedang makan di kantin.
“ Kemana? Kaga ah, gua lagi mager terus mau
ngerjain pr juga.” Jawabku dengan nada sedikit malas.
“ Yaelah, kali- kali buat pacar seneng dikit
napa.” Jawab Alfa dengan bibir yang sedikit dimajukan
dan entah mengapa sekarang wajahnya sangat imut.
“ Hmmm yaudah deh iya. Tapi lu aneh masa
ngajakin jalan malen jumat kek gini, biasanya kan orang
kalo jalan malem minggu.” Jawabku dengan sedikit
bertanya-tanya.

225
“Yehhh... itu mah udah biasa. Kan aku
pengennya yang luar biasa biar beda dari yang lain gitu.
Kan kamu special Alenaku sayang...” Ucap Alfa dengan
wajah yang penuh menggoda.
“ Spesial, spesial pala lu peyang, lu kira gua nasi
goreng yang ada di pinggir jalan apa?” ucapku dengan
nada sedikit kesal.
“Ett dah serius.. lu itu se-pe-si-al, gua tau ini
emang najis banget buat diomongin tapi gua sayang
sama lu Alena.” Perkataan itu sudah cukup membuat
pipiku menjadi seperti tomat. Aku masih terdiam hingga
aku merasakan sesuatu yang hangat mendarat di pipiku.
Ya... dia menciumku begitu saja dengan muka yang
seperti tidak merasa bersalah sama sekali. Aku hanya
diam membeku dan suara sorakan siswa siswi di kantin
membuatku sadar dan langsung membuatku mencubit
perut Alfa itu.
“Awww sakit tau, eh kamu mau kemana?”
tanyanya sambil melihatku yang langsung berdiri dari
kursi kantin itu.
“Terserah dong bukan urusan loh!” jawabku
dengan nada sinis.
“ Oh... cie salting kiw kiw, mukanya sampe
merah gitu sih neng.” Ledeknya dengan wajah yang
penuh menggoda. Tanpa basa basi lagi aku langsung
meninggalkannya dengan mukaku yang sudah semerah
kepiting rebus karena malu.

226
Alfa menjemputku untuk pergi karena janji di
kantin tadi. Mau tidak mau aku harus menurutinya. Alfa
hanya mengajakku mengitari kota Jakarta yang entah
mengapa sangat berbeda dengan lelaki lain yang
mencoba melakukan hal romantis kepada
perempuannya. Tetapi entah mengapa aku sangat
senang.
Tiba- tiba Alfa mengajakku ke sebuah
angkringan di alun- alun kota. Aku sangat senang karena
kami menghabiskan waktu kami dengan saling
menceritakan segala hal lucu yang pernah kami alami
dan tentunya tidak lepas dengan Alfa yang selalu
mengejekku.
Hari- hariku berjalan seperti biasanya. Aku
sangat senang mempunyai pacar yang begitu humoris
dan romantis seperti Alfa. Dia selalu bisa membuatku
tertawa dengan semua tingkahnya itu di saat aku sedang
sedih maupun lelah dengan urusan sekolah. Saat aku
rindu dengan kedua orang tuaku dia selalu berada di
sisiku untuk menemaniku dan menghiburku. Aku sangat
beruntung mempunyai kekasih seperti Alfa.
Dua bulan kemudian.
Satu sekolah ricuh, banyak terdengar teriakan di
sana- sini. Ternyata komplotan geng motor menyerang
sekolahku. Tidak lain karena ulah Alfa yang mempunyai
banyak musuh di mana- mana sehingga banyak
musuhnya yang mencarinya di sekolah.

227
“ Alena... Alfa... cepet dia ada di warung bi
Inah” ucap Dandy dengan wajah yang serius dan
menyuruhku untuk menemui Alfa.
Entah megapa, aku dikawal oleh beberapa
teman- temannya Alfa. Penampilan mereka memang
menyeramkam, namun aku sudah tidak takut lagi karena
sering bertemu mereka dan sudah mengetahui sifat
mereka.
Sesampainya di warung Bi Inah aku di buat
terkejut dengan Alfa yang sudah terbaring di kursi dan
berlumuran darah di wajahnya. Aku langsung berlari
menghampirinya dan memeluknya dengan erat hingga
tak sadar air mata telah membasahi pipiku.
“ Udah.. gapapa tauu, aku baik- baik aja kok.
Kamu ga usah khawatir” ucap Alfa dengan berusaha
meyakinkanku bahwa dia baik- baik saja. Tapi hal itu
tidak membuatku tenang dan masih menangisinya
karena kondisinya itu.
“ kok kkaa..mu.. bisa kaya gini sih?” ucapku
dengan air mata yang terus- menerus membasahi pipiku.
“ Biasalah banyak haters, ha ha ha”
perkataannya itu membuatku sangat kesal dan langsung
mencubit lengannya itu.
“ Aaawww... sakit tau, kejam amat. Orang
pacarnya lagi sakit bukannya di tolongin kek apa di
obatin eh ini malah dicubit.” Ucapnya dengan sedikit
merengek kesakitan

228
“ Lagian sih udah kaya gini masih aja bisa
bercanda. Aku tau niat kamu baik pengen ngehibur aku
tapi namanya orang khawatir. Coba kalo tadi kamu
kenapa- napa terus ga selamat gimana? Ga kasian sama
aku dan Bunda hah?” ucapku dengan nada kesal.
“ Wush.. kalo ngomong, kan aku kuat jadi ga
mungkin kenapa- napa.” Alfa berusaha meyakinkanku
bahwa dia baik- baik saja. Alfa tiba- tiba bangun dari
kursi dan langsung memelukku dengan sangat erat
seakan –akan tidak ingin kehilanganku.
Aku mengobatinya dan ia menceritakan
mengapa semua hal ini bisa terjadi. Ia menceritakan
dengan penuh serius tetapi entah mengapa hal itu
membuatku senang karena bisa melihatnya sekarang.
Tak sadar aku telah bersender di pundaknya, ia seperti
ayah yang sedang mendongengkan putrinya agar
tertidur. Aku tak tau ada setan apa yang merasukiku,
tiba- tiba bibirku sudah mendarat di pipinya. Aku
langsung tersadar dan mengalihkan wajahku darinya,
aku merasa sangat malu.
Alfa juga hanya diam membeku tanpa
mengatakan apa pun. Benar saja, suasana itu sangat
canggung dan aku memutuskan untuk pulang. Alfa
menyuruhku agar pulang bersamanya, walaupun masih
malu aku mengiyakannya.
Di motor kami tidak berbicara apa pun hingga
tiba di rumahku.

229
“ Maafin ya.. tadi aku tidak sengaja. Kau
marah ?” tanyaku dengan wajah yang masih malu dan
tidak berani menatapnya.
“ Aku tidak marah, aku senang sangat senang.
Haha, hanya saja aku kaget denganmu. Aku tidak ada
bayangan kamu akan melakukan itu, dan jujur itu
membuat jantungku berdeguo kencang dan tidak bisa
berkata apa- apa. Aku lebih bisa mengontrol jantungku
saat aku yang melakukannya.” Jelasnya panjang lebar
dan diakhiri dengan senyuman.
“ Heeee....” aku hanya tersenyum malu
mendengar penjelasan Alfa itu. Setelah itu aku
menyuruhnya pulang.
Saat aku membuka pintu terlihat sosok yang
selama ini sangat ku rindukan. Ya benar, mereka adalah
kedua orang tuaku. Aku langsung berlari mengahmpiri
mereka yang kelihatannya sudah menungguku sedari
tadi. Tanpa berbicara apa pun aku langsung memeluk
mereka dan menangis di pelukan mereka. Aku sangat
amat senang dengan kepulangan mereka dan tidak
melepaskan pelukanku itu.
“ Alena... kamu sudah besar sekarang. Papah
tahu bahwa kamu sangat rindu dengan kami, kami pun
juga merasakan hal yang sama. Oleh karena itu, mari
ikut kami ke Australia. Di sana kami bisa menghabiskan
waktu yang lama untuk bersama.” Ucap ayahku sambil
mengelus rambutku.

230
“ Iii..Iiiyaaa.. Alena, mari ikut kami. Bunda
tidak mau terpisah denganmu lagi.” Ucap Bunda dengan
memegang kedua tanganku sambil menangis. Wajah
bunda penuh dengan harapan agar aku bisa ikut dan
tinggal di Australia bersama mereka.
Aku hanya diam membeku tidak tahu harus
melakukan apa. Aku menaiki tangga rumahku dan
masuk ke dalam kamar dengan air mata yang sedari tadi
kutahan. Ingin rasanya aku tinggal bersama kedua orang
tuaku di Australia. Namun, aku tidak bisa meninggalkan
orang- orang yang kusayangi di Jakarta ini, terutama
Alfa.
“Apa yang harus kukatakan pada Alfa? Aku
tidak ingin membuatnya khawatir. Dan apabila aku
mengatakannya apakah ia akan menerima
keputusanku?” Batinku.
Keesokan harinya aku diantar oleh kedua orang
tuaku. Saatku turun dari mobil, sudah terlihat Alfa yang
berlari menuju ke arahku.
“ Hay tante.. hay Om... nama saya Alfa,
pacarnya Alena he he.” Ucap Alfa dengan penuh
kegembiraan di wajahnya karena senang melihatku
bertemu orang tua ku.
“ Hai Alfa... Oh ini toh yang namanya Alfa,
ganteng ya.. keren lagi.. ga salah Alena milih kamu buat
jadi pacarnya. Alena banyak cerita tentang kamu loh.”
ucap bunda dengan senyum di raut wajahnya.

231
“ Udah ah, ayo kita masuk fa. Udah mau bel nih,
bye bunda... bye ayahh...” ucapku sambil melambaikan
tanganku ke arah mereka dan menggandeng tangan Alfa
masuk ke dalam sekolah.
Bel pulang sekolah pun tiba. Alfa langsung
menarikku dengan wajah senang.
“ Wah.. aku turut senang ya... akhirnya kamu bisa
ketemu sama orang tua kamu. Kapan- kapan aku mau
ngobrol sama mereka dong. Oh iya... ayo anterin aku
beli hadiah buat orang tua kamu. Kan kapan lagi bisa
cari perhatian sama calon mertua ha ha ha.” Ucap Alfa
dengan penuh bahagia. Hal itu membuatku semakin
ingin menangis di pelukannya karena tidak ingin jauh
darinya.
Aku hanya menemaninya subuk memilih hadiah
untuk kedua orang tuaku. Setelah mencari hadiah, kami
pergi ke taman kota sambil menikmati senja seperti
biasa.
“ Kamu kenapa sih? Kok dari tadi diem mulu.
Kamu ga seneng orang tua kamu balik? Kamu harusnya
bahagia dong, kan orang yang paling kamu rinduin udah
ada di sisi kamu sekarang.” Ucap Alfa dengan wajah
yang begitu bingung melihat sikapku. Aku tidak bisa
lagi menahan air mataku hingga air mataku sudah
meluap dan membasahi seluruh pipiku.
Alfa hanya mengusap pipiku dengan perasaan
bingung yang masih terlihat di wajahnya. Dia tidak
menanyakan apa pun kepadaku, ia tahu bahwa aku butuh

232
waktu untuk menenangkan hati dan pikiranku di saat
seperti ini. Tangisku mereda dan aku memeluk erat Alfa.
“ Kamu kenapa sih? Cerita sama aku ada
masalah apa. Aku khawatir kalo kamu cuma diem gini.
Aku ngebuat kamu sakit hati? Maaf...” tanya Alfa
dengan penuh kebingungan.
“ Nggak kamu ga ngebuat aku sakit hati. Tapi
aku yang bakal ngebuat kamu sakit hati fa.. hiks hiks
hiks.” Ucapku dengan air mata yang terus mengalir di
pipiku. Terlihat Alfa yang penuh kebingungan dan tidak
mengerti situasi ini.
“ Aku senang, senang banget orang tuaku balik
ke Jakarta. Aku bahagia orang yang selama ini aku
rinduin bisa ada di sisiku. Namun, aku juga sedih jika
aku harus meninggalkan orang yang begitu peduli
kepadaku. Selalu berada di saat aku butuh.” Ucapku
dengan penuh tangis.
“ Maksud kamu apa? Jelasin sama aku
sekarang.” Tanya Alfa dengan mata yang sudah mulai
berkaca- kaca.
“ Aku harus ikut orang tuaku tinggal di
Australia. Aku harus meninggalkanmu di sini sendiri.
Aku tidak bisa meninggalkanmu tetapi aku juga tidak
bisa berada di sini. Maafin aku Alfa... hiks hiks hiks.”
“ Ka..ka..kaamuu.. mau pergi ke Australia?”
tanya Alfa yang penuh dengan ketidak percayaan itu.

233
“ Iiii...Iiiyaaa... maafin aku... aku sungguh minta
maaf kepadamu. Aku belum bisa menjadi sosok wanita
yang kamu idam- idamkan. Maafin aku selalu
memarahimu. Maafin aku jika aku sering membuatmu
kecewa.” Ucapku sambil memegang kedua tangan Alfa.
“ Iya... aku maafin. Aku mengerti semua situasi
ini. Tidak, kamu adalah wanita yang selama ini aku
idam- idamkan. Bagiku kamu sudah sangat sempurna
untukku. Aku beruntung kamu bisa masuk ke dalam
hidupku Alena. Mungkin ini memang kehendek Tuhan
untuk memisahkan kita seperti ini. Jangan merasa
bersalah Alena. Aku sayang, sangat sayang kepadamu.”
Ucap Alfa dengan mata yang berkaca- kaca.
Aku tahu jika dia sangat sedih dan ingin
menangis. Namun, ia tidak ingin membuatku bersedih
dan merasa bersalah kepadanya. Aku pun diantarkan
olehnya dan selama di perjalanan aku tidak pernah
melepas pelukanku.
Tibalah hari di mana aku harus meninggalkan
ibu kota Jakarta dan itu berarti aku harus meninggalkan
Alfa. Alfa, Katy, Diandra, Dandy, dan Nodi
menemaniku pergi ke bandara. Aku melihat tetesan air
mata mereka jatuh membasahi pipinya. Aku memeluk
mereka satu persatu dan tentunya air mata sudah
membasahi pipiku ini.
Hingga tibalah aku harus memeluk kekasihku,
Alfa. Ingin rasanya aku mengajaknya untuk pergi
bersamaku ke Australia. Namun, itu tak mungkin. Alfa

234
terus- menerus memberiku semangat dan terus
menungguku hingga aku masuk ke dalam pesawat.
Hari- hariku di Australia sama dengan hari-
hariku di Jakarta. Namun, jika di Australia ada kedua
orang tuaku yang selalu berada di sisiku dan perasaan
rindu kepada Alfa yang terus bersamaku.
Setiap hari aku selalu bertukar kabar dengan
Alfa. Walaupun kami berdua sangat sibuk dengan urusan
sekolah kami, setidaknya kami bisa memberi tahu
keadaan kami satu sama lain. Aku pun sudah menyuh
kepada para sahabatku untuk terus memantau Alfa jika
sewaktu- waktu ia melakukan suatu hal yang bisa
membahayakan dirinya dan tentu saja yang paling
penting adalah mengawasinya agar tidak genit kepada
perempuan lain.
Aku sangat senang ternyata selama aku di
Australia, Alfa selalu menepati janjinya agar tdak
melakukan sesuatu perbuatan yang membuat dirinya
dalam bahaya kecuali dalam keadaan darurat dan yang
paling membuatku sangat percaya padanya adalah ia
tidak pernah sekalipun bersikap genit kepada perempuan
lain yang centil. Para sahabatku bilang semenjak aku
pergi meninggalkannya ke Australia Alfa menjadi sosok
yang begitu dingin kepada seluruh perempuan kecuali
bundanya.
Empat tahun kemudian.
Aku pulang ke Jakarta. Ya... ternyata sekarang
Jakarta sudah sangat berbeda dari empat tahun yang

235
lalu. Alfa menjadi CEO di perusahaan ayahnya itu. Ingin
rasanya aku memberi surprise kepadanya.
Aku meminta bantuan kepada Katy, Diandra,
dan juga Dandy untuk merencanakan sesuatu yang akan
membuatnya khawatir. Kami memeberi pesan kepada
Alfa yang mana berisi bahwa saat aku pulang ke Jakarta,
aku langsung di culik oleh Nodi.
Dandy yang bersama dengan Alfa pada saat itu,
melihat Alfa yang begitu panik menerima pesan itu.
Tidak berpikir panjang, Alfa pun langsung pergi ke
tempat yang tertulis di pesan itu. Aku terharu melihatnya
yang begitu panik dan bersusah payah mencariku.
Tibalah peranku, aku berpura- pura meninggal
dan Alfa menangis di wajahku.
“ Ettt dah... basah semua nih muka gua.” Ucapku yang
membuat Alfa kebingungan.
“ Hah... Alena... Kamu gapapa?” tanyanya dengan penuh
kekhawatiran.
“ Gapapa kok. Ini semua kan cuma surprise...” ucapku
dengan wajah puas karena berhasil menipunya itu. Katy,
Diandra, Dandy, Nodi, dan kedua orang tua kami pun
datang dengan penuh tawa dengan membawa kue ulang
tahun.
“Dandy sini gak loh.” teriak Alfa yang penuh
kemarahan di wajahnya.

236
“ Ha ha ha maaf dek fa, gua cuma disuruh sama
Alena fa. Suer deh.” Jawab Dandy dengan mengangkat
dua jarinya itu.
“ Bunda kok tega sih liat anak bunda yang
ganteng gini di kerjain?” tanya Alfa dengan merengek
kepada bunda Mawar.
“ Gapapa. Kali- kali tau...” jawab bunda Mawar
dengan wajah yang mengejek Alfa.
Aku menghampiri Alfa yang sedari tadi sudah
memelototiku. Aku kira dia akan marah tapi ternyata
tidak. Alfa berjongkok di depanku kemudian dia
merogoh dan mengeluarkan sesuatu dari dalam kantong
celananya itu. Terlihat sebuah kotak kecil berwarna
merah, entah apa isinya aku tak tahu.
“ Alena kamu mau kan teman pendampingku?”
Dia memperlihatkan isi dari kotak itu, terlihat sebuah
kalung dan cincin di dalamnya.
“Apaan sih fa. Berdiri kek, malu tau.” Jawabku
dengan pipi yang sudah mulai memerah karena malu.
“ Ehemm..Ehem...” sorak Dandy.
“ Cie... pakek malu segala nih ye... terima len
terima..” ucap Katy yang seperti sudah tidak sabar
menunggu jawabanku saat itu.
“ Aduhh... ternyata anakku bisa romantis juga
yaa....” ucap Bunda Mawar dengan menggoda anaknya
itu.

237
“ Jadi.. gimana nih len? Kamu mau kan?”tanya
Alfa sekali lagi. Aku masih diam tak mengeluarkan
sepatah kata apa pun.
“ Hmmm...” Aku menganggukan kepalaku.
“ Yeayyy... Yuhu.... I Love You.” Alfa tiba- tiba
memelukku. Tiba- tiba ia langsung menggendongku.
Semua orang tersenyum menyaksikan tingkah Alfa
tersebut.
“ Alfa.. Turunin dong. Malu tau diliatin banyak
orang.” Pintaku.
“ Gak mau. Semuanya aku bawa Alena dulu ya,
bye. Oh iya tante aku pinjem anaknya sebentar ya.. he he
he” ucap Alfa dengan wajah yang sangat gembira.
Alfa memang gila, entah dia akan membawaku
ke mana aku tidak tahu. Dia menuju ke sebuah tangga
yang menuju ke roof top. Dia berjalan menaiki tangga
dan masih menggendongku. Sku sudah memintanya
untuk menurunkanku tapi dia tetap saja tidak ingin
menurunkanku. Setelah beberapa menit berlalu akhirnya
kami sampai di roof top itu.
Dia menurunkanku dan menarik tanganku
menuju kursi panjang yang ada di sana. Dia duduk, dan
aku duduk karena perintahnya. Pemandangan kota
Jakarta begitu indah dan begitu menyejukkan jika dilihat
dari atas sini. Beberapa bintang pun masih
menampakkan dirinya membuat langit semakin indah
saja.

238
Tiba- tiba Alfa mendekatkan kedua tangannya
ke rambutku dan merapikan rambutku dengan kedua
tangannya. Alfa membuka kotak merah tadi dan
mengambil kalungnya. Dia mulai mendekat ke arahku
untuk memasangkan kalung itu ke leherku. Wajahnya
mendekat ke arahku, hembusan nafasnya menerpa
pipiku, jantungku mulai berdebar tidak karuan.
Aku memang sudah sering duduk berdekatan
seperti ini dengannya, tapi entah mengapa jantung ini
selalu saja berdetak lebih cepat. Dan selalu muncul
perasaan yang aku tidak bisa mengungkapkannya
dengan kata- kata.
Hembusan angin di atas roof top menerpa kami
berdua. Angin di atas roof top lebih dingin dari biasanya.
Tapi kini, aku merasa jauh lebih hangat karena ada Alfa
yang selalu berada di sisiku.
Aku jadi ingat tentang semua perjalanan kisah
cinta kami. Jika dulu aku tidak masuk sekolah di hari
terakhir classmeeting mungkin kami tidak akan bisa
sedekat ini. Aku tidak menyangka seorang anak yang
sangat ditakuti satu sekolahan bisa bersikap sangat
manis seperti ini. Alfa memang nakal, pembuat onar,
dan tidak tahu aturan. Namun, di balik perbuatannya itu,
Alfa mempunyai sisi yang hangat dan rasa kepedulian
yang amat begitu besar.
Kini gadis pendiam sepertiku bisa merasakan
yang namanya cinta. Dan orang yang membuatku
merasakan cinta adalah Alfano Syahreza.

239
Thank you and I Love You.

240
Beristirahatlah Bunda
Karya Maulina Septiana

Pagi ini merupakan pagi yang cerah. Terlihat


mentari sudah terbit kembali, terdengar suara orang
bertegur sapa diluar dan suara burung menyambut
hari yang indah ini. Tapi bagi Raquella Anastasha
Adiwira, gadis 14 tahun ini yang baru saja terbangun
dari tidurnya, setiap hari adalah hari yang
menyakitkan baginya.
Sudah hampir dua bulan ini dia menjalani
hidup dimana setiap pagi ia harus bangun lalu
menyadari bahwa hari ini sama seperti hari kemarin.
Berdiri dari tempat tidurnya, menatapi wajah lesu nya
dikaca rias sambil mengikat rambutnya. Raquel
keluar mengambil handuknya yang digantung di
jemuran teras belakang rumahnya. Ia berjalan menuju
kamar mandi nya tetapi kakinya terhenti di depan
kamar orang tua nya. Rasanya pedih sekali melihat
kesunyian kamar itu, memandangi setiap figura yang
menggambarkan senyum tawa keluarganya yang
dipajang diatas meja milik bunda nya.
Raquel membenahi rumah dan dirinya.
Bersiap diri untuk pergi ke rumah kedua bunda nya.
Ia mengambil ponselnya dan memesan ojek online

241
dengan mengetik tujuan ke Rumah Sakit Medical
Healthcare. Raquel sampai ditujuannya kemudian
menelusuri ruang inap bunda nya. Setelah Melewati
kamar-kamar pasien, ia pun tiba di kamar yang
dianggap sebagai kamar kedua ibu nya. Raquel
melihat ayahnya yang tidur di sofa.
'Pah… Bangun... Papa pulang ajah, papa
mandi terus makan ya, biar aku yang jagain Bunda.'
Ucap Raquel membangunkan ayahnya yang sudah
menjaga bunda nya dari semalam.
'Eh Raquel kamu sudah datang, yaudah nanti
siang papa kesini lagi. Hari ini kamu ada latihan?'
tanya ayah nya seraya bangun dari tidurnya.
'Ada pah, latihannya siang tapi aku udah izin
datang sore soalnya aku mau jaga bunda dulu biar
papa bisa istirahat dirumah.' Ujar Raquel yang begitu
perhatian pada ayahnya.
'Ya udah kalau gitu papa pulang dulu ya,
kalau ada apa-apa langsung hubungi papa.' Jawab
ayah nya pada Raquel yang kini sedang mencium
tangan ayahnya.
Ayah nya sudah pulang, Raquel duduk di sofa
menggantikan ayah nya. Ia menatapi bunda nya.
Setelah beberapa menit, ia berdiri dan menghampiri
bunda nya. Raquel menggenggam tangan bunda nya

242
dengan hati-hati karena terdapat selang infus disana.
Raquel kemudian mendekati telinga bunda nya.
'Bunda, Ella dateng bun. Ella kangen banget
sama suara Bunda. Udah mau dua bulan lho bunda
tidur, Bunda pasti sembuh kok. Bunda kan udah janji
mau nonton Ella lomba.' Ucap Raquel yang kini air
mata sudah membasahi pipi nya. Walaupun tidak ada
jawaban dari bunda nya, Raquel percaya bahwa
bunda nya mampu mendengar perkataan Raquel.
Raquel selalu melontarkan kata-kata semangat kepada
bunda nya dan tidak pernah sedikit pun Raquel
mengeluh pada bunda nya.
Raquel tak pernah patah semangat karena ia
selalu berharap agar bunda nya bisa kembali ke
kamar asli nya, bukan kamar kedua bundanya, yaitu
kamar inap. Ia kembali duduk di sofa dan ia pun
tertidur. Waktu sudah menunjukan jam 3 sore, Raquel
bersiap-siap untuk latihan dan memakai sepatu
sneakers nya yang tadi ia lepas ketika menaikkan
kaki nya keatas sofa. Tak lama kemudian ayahnya
datang.
'Pah, aku pergi latihan dulu ya. Kayaknya
latihan nya sampai malam pah.' Pamit Raquel pada
ayahnya.

243
'Kamu hati-hati ya, kalau sudah selesai kamu
langsung pulang ajah, istirahat dirumah.' Ucap ayah
nya.
'Oke pah, aku jalan dulu ya.' Raquel mencium
tangan ayah nya. Raquel tidak lupa menghampiri
bunda nya lalu mencium kening bunda nya.
Raquel kemudian pergi ke tempat latihannya.
Raquel adalah anak yang aktif dalam bidang
akademis maupun nonakademis. Sore ini Raquel
harus latihan berenang yang sudah diikutinya kurang
lebih setahun. Sebenarnya Raquel merasa tidak enak
hati pada pelatihnya karena sering meminta izin
datang telat, namun harus bagaimana lagi. Raquel
harus membagi waktu nya antara kegiatannya dengan
keluarga nya yang saat ini sedang membutuhkan
kerjasama dalam mengurus bunda nya.
Raquel mengikuti latihan hingga malam hari.
Hal ini biasa dilakukan oleh peserta lain ketika
dirinya ingin mengikuti lomba. Sebenarnya lomba
Raquel masih sebulan lagi, namun untuk
mempersiapkan diri dibutuhkan waktu yang lama
untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Kedua
orang tua Raquel sangat mendukung Raquel dalam
mengikuti kegiatan itu.
Selesai latihan Raquel pulang ke rumahnya
sesuai dengan yang diperintahkan ayah nya. Tiba di

244
rumahnya, ia merasa kesepian. Mendengarkan lagu
tetap saja membuat suasana tak akan berubah, apalagi
Raquel anak tunggal dan selama bunda nya sakit
Raquel tinggal sendiri dirumah sedangkan ayah nya
menginap di rumah sakit.
Raquel membuka laptop nya, mencari
informasi mengenai penyakit yang dialami bunda
nya. Diketiknya usaha menangani penyakit
meningitis pada kolom pencarian google. Ia
mendapatkan berbagai informasi namun ada beberapa
sumber yang membuatnya sedih, ia membaca bahwa
penyembuhan penyakit meningitis memiliki peluang
yang kecil untuk sembuh. Seperti biasa, Raquel
kembali menangis ditengah-tengah kesunyian
rumahnya. Ia lalu berdoa kepada Tuhan atas penyakit
yang diderita bunda nya. Tak ada sehari pun yang ia
lewatkan tanpa berharap kepada yang maha kuasa.
Hari berganti hari Raquel menjalani hidup
seperti biasanya. Bangun tidur, ke rumah sakit,
latihan lalu pulang ke rumah dan diulang seperti awal
lagi. Sudah hampir dua bulan Raquel tidak pernah
bermain bersama teman-temannya. Pagi ini Raquel
terbangun karena mendengar suara ponsel nya.
'Halo? Kenapa pah kok nelpon Ella?' tanya
Raquel setelah mengangkat telepon dari ayah nya
yang sudah bordering sejak tadi.

245
'Buruan kamu ke rumah sakit ya! Bunda kritis
El!' suara ayah begitu panik ketika mengatakannya.
Raquel bisa merasakan ketegangan yang dialami
ayahnya saat itu juga.
Tanpa berfikir panjang Raquel mematikan
ponselnya dan merapihkan dirinya sebagaimana
adanya. Ia memesan ojek online dengan ponselnya.
Raquel tiba didepan rumah sakit, berlari sekuat yang
ia bisa menuju kamar bunda nya walau kini kaki nya
sudah bergetar dan tubuhnya bermandikan keringat.
Ia sampai di kamar bunda nya namun ia tidak
mendapati ayah dan bunda nya.
'Sus, pasien yang ada dikamar ini dimana?'
tanya Raquel terengah-engah tanpa salam karena
dirinya sudah tidak bisa terkontrol karena
kekhawatirannya pada bunda nya.
'Pasien baru ajah dibawa ke ruang ICU mbak,
nanti mbak ke lantai dua nah ruangannya ada di
paling pojok.' Suster itu segera memberi tahu kepada
Raquel karena melihat Raquel yang tingkat panik nya
sudah diambang batas.
Raquel berlari secepat kilat dan menemukan
ayahnya yang sedang duduk didepan ruang ICU.
'Pah bunda kenapa pah? bunda baik-baik ajah
kan?' tanya Raquel segera pada ayahnya.

246
'Tadi pagi bunda ngedrop, awalnya detak
jantung nya tidak normal dan lama-lama tidak ada.'
Ayahnya menangis dan memeluk Raquel sambil
menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Ini adalah
kali pertama setelah sekian lama ayah Raquel tidak
menangis.
Setelah bunda nya ditangani oleh medis,
Raquel dan ayahnya menemui dokter.
'Dok sebenarnya apa yang terjadi sama istri
saya?' tanya ayah ketika bertemu dengan dokter.
'Itu adalah hal yang sudah biasa yang terjadi
para pengidap meningitis. Meningitis adalah penyakit
radang selaput otak, ketika pasien memaksa otak nya
untuk berfikir keras maka otak tidak bisa merespon
sehingga tubuh pasien akan semakin lemah.' Ujar
dokter kepada ayah Raquel.
Raquel dan ayahnya kebingungan. Mereka
bertanya-tanya pada diri mereka masing-masing
sebenarnya apa yang difikirkan oleh bunda Raquel
hingga bunda nya menjadi seperti itu.
Setelah seminggu bunda nya di rawat diruang
ICU, dokter memperbolehkan untuk memindahkan
bunda nya ke ruang inap. Raquel sangat lega
mendengar kabar baik tersebut, itu artinya kondisi
bunda nya semakin membaik walaupun masih dalam

247
keadaan koma. Akhirnya bunda nya dipindahkan ke
ruang inap sebelumnya.
Hari berganti lagi dan hari ini tanggal 25 april
2017, adalah tepat dua bulan bunda Raquel koma.
Raquel pergi lagi ke rumah sakit. Entah mengapa
dokter memanggil ayah Raquel untuk berbicara
dengan dokter. Ayahnya pun menuruti perintah
dokter. Sesudah ayahnya bertemu dengan dokter.
Raquel bertanya-tanya pada ayahnya karena
penasaran.
'Ada apa pah? semua baik-baik ajah kan?'
tanya Raquel.
'Tadi dokter bilang, lebih baik kalau bunda
dirawat dirumah, kata nya dengan seperti itu bunda
akan termotivasi untuk bangun dari koma nya.' Ayah
menjelaskan kepada Raquela.
Akhirnya mereka berdua berdiskusi mengenai
hal itu dan mereka pun memutus kan untuk
melakukan seperti apa yang dokter bilang. Ayah
Raquel memanggil Tante Raquel datang ke rumah
sakit untuk menjaga bunda nya karena Raquel dna
ayahnya ingin mempersiapkan kamar untuk merawat
bunda nya. Raquel dan ayahnya merubah kamar
bunda nya layaknya ICU. Sebelumnya kamar yang
dipakai adalah kamar orangtua Raquel, sekarang
menjadi kamar yang super steril dan banyak alat alat

248
medis disana. Butuh dua hari untuk mempersiapkan
ini semua.
Tanggal 27 April 2017 adalah saat yang
dinantikan Raquel, dimana Raquel mengharapkan
bunda nya bisa pulang ke rumah. Pagi ini mobil
ambulans tiba di depan rumah Raquel, diturunkannya
dari sana bunda Raquel dengan menggunakan
brankar dan memasukan bunda nya kedalam kamar
yang sudah disiapkan. Semua sudah aman. Kini
bunda nya tidur dengan nyaman dirumah walau status
nya masih koma.
Ayah nya sudah menyiapkan satu suster untuk
membantu merawat bundanya di rumah. Dari pagi
Raquel selalu berada didalam kamar bunda nya
ditemani oleh suster. Banyak yang dibicarakan antara
Raquel dengan suster.
'Sus, suster pernah ngerawat pasien yang
dirawat dirumah juga?' tanya Raquel pada suster yang
duduk di sampingnya.
'Pernah dek kayaknya ini yang ke tiga kali nya
suster merawat pasien dirumah.' Jawab suster.
'Terus pasien-pasien nya setelah dirawat ke
rumah sembuh kan sus?' dengan nada cepat Raquel
bertanya.

249
'Hmmm, oiya dek kamu tau gak, bunda kamu
tuh bisa denger lho suara orang-orang yang ada
disekeliling nya.' Entah mengapa tiba-tiba suster
mengganti topik pembicaraan seolah-olah ada sesuatu
yang tidak ingin dibicarakannya.
'Pasien dibawa ke rumah itu supaya mereka
bisa lebih sering ngederin suara-suara orang yang
mereka sayangi jadi mereka bakal berusaha melawan
penyakitnya supaya mereka bangun dari tidur nya.
makanya mulai sekarang kamu harus ngomongin hal-
hal yang positif ya sama bunda kamu.' Sambung
suster kepada Raquel yang sejak tadi masih
menunggu pertanyaan yang belum sempat di jawab
suster.
Hari sudah malam, suster sedang
membersihkan dirinya dan Raquel lah yang menjaga
bunda nya.
'Bun. aku sayang sama bunda, aku yakin cepat
atau lambat pasti bunda akan bangun dan semangatin
aku latihan lagi.' bisik Raquel pada bunda nya sambil
menggenggam jemari bunda nya.
Pagi ini Raquel bangun dengan ceria setelah
sekian lama karena semalam dia bisa tidur diatap
yang sama dengan bunda nya. Ia mengambil
handuknya dan mendatangi kamar bunda nya.

250
'Selamat pagi bunda. Hari ini aku seneng
banget bangun tidur bisa lihat bunda. Aku mandi dulu
ya bun soalnya habis ini aku mau latihan.' Sapa
Raquel kepada bunda nya dengan riang. Ia lalu mandi
dan bersiap-siap diri untuk pergi latihan.
Hari ini adalah hari jumat, berarti saat latihan
nanti Raquel memiliki waktu istirahat yang panjang
ketika orang-orang solat jumat oleh karena itu Raquel
menyiapkan bekal nya untuk dimakan nanti.
Raquel sudah siap untuk pergi, dia
memandang ke arah kamar bunda nya melihat suster
yang baru saja merapihkan bunda nya. Raquel
menuju ke teras rumah untuk memakai sepatu. Ia
tidak sabar untuk pamit pada bunda nya. Tiba-tiba
terdengar suara suster menjerit memanggil nama
Raquel dan Ayah Raquel.
'Pak! Pak! Ella! Pak! tolong buruan kesini!'
suara suster berteriak dari kamar bunda nya hingga
terdengar sampai ke Raquel yang sedang di teras dan
Ayah yang sedang mengambil barang dimobil yang
ad adi halaman rumah. Tanpa aba-aba Raquel dan
Ayahnya berlari bersama kedalam. Melihat suster
yang sedang memompa dada bunda Raquel.
'Pak ibu detak nya berhenti!' Teriak suster
sambil terus memompa.

251
Raquel dan Ayah nya panik mereka tidak
mengerti apa yang harus dilakukan. Raquel menangis
sambil menyebut nama bunda nya. Ayah membantu
suster dan berteriak memohon kepada Tuhan.
'El ambil fingertip nya! Taruh di jari ibu
cepat!' Raquel segera mengambil alat pengukur detak
jantung tersebut lalu memakaikannya di ibu jari
bunda nya. Alhasil angka yang tampil pada fingertip
pulse itu tidak menunjukan adanya detak jantung.
Raquel menangis menjerit melihatnya.
Raquel menngambil ponselnya dan menelpon
rumah sakit untuk mengirimkan ambulans ke
rumahnya. Suara ambulans sudah mulai terdengar dan
ambulans pun tiba dan bunda nya dibawa ke dalam
ambulans dnegan bantuan brankar. Raquel dan
Ayahnya juga masuk dalam ambulans.
'Pah bunda pasti baik-baik ajah kan pahhh.'
Raquel memeluk ayahnya dan menangis.
'Iya Ella pasti bunda baik-baik ajah kita harus
berdoa supaya bunda baik-baik ajah ya.' ucap ayah
sambil menangis juga. suara tangisan Raquel dan
ayah nya kini saling beradu.
Raquel dan ayah tiba di rumah sakit, brankar
yang dipakai segera diturunkan dan didorong menuju
IGD. Raquel dan ayahnya menunggu didepan pintu
dan tak henti-hentinya berdoa.

252
Setelah beberapa menit, terdengar suara pintu
dan dokter keluar.
'Maaf pak, kami sudah berusaha tapi istri
bapak tidak bisa kami selamatkan. Jantung nya sudah
berhenti sebelum bapak membawa nya kesini. Kami
turut berduka cita.' Ucap dokter kepada Ayah Raquel.
Ayah Raquel benar-benar menjerit hingga
terduduk sampai ke lantai. Raquel berlari ke dalam
menemui bunda nya. Raquel mengguncang tubuh
bunda nya dan berteriak memanggil bunda. Raquel
masih mengantongi fingertip tadi. Ia memakai kan
nya kembali ke ibu jari bunda nya.
'Engga! Pasti dokter salah, pasti fingertip ini
juga salah!' teriak Raquel tak percaya bahwa belahan
jiwa nya kini sudah tiada. Ia terus-menerus mengecek
fingertip itu sambil menjerit. Ayahnya memeluk
Raquel dan menyuruh Raquel menghentikan itu
semua.
'Sudah Ella. Anak papa harus kuat. Bunda
sudah bahagia disana.' Ucap ayah nya lagi
menguatkan Raquel.
Hari menjelang siang, Raquel dan Ayahnya
pun kembali ke rumah berserta bunda nya dengan
ambulans. Rumah Raquel sudah dipenuhi orang-
orang. Semua orang yang hadir memeluk Raquel
memberikannya penguatan. Dengan mata sembab

253
dan pandangan kosong Raquel menatapi tubuh bunda
nya yang sudah siap di kebumikan. Setetes demi
setetes air mata hingga jadi jeritan yang sangat
menyakitkan dilakukan oleh Raquel.
Sore ini bunda Raquel dikebumikan. Tak
disangka bahwa hari ini adalah pertemuan terakhirnya
bersama bunda nya. Proses pemakaman selesai,
hanya nisan bertuliskan Arrabella nama bunda nya
yang sejak tadi Raquel tatapi. Raquel merasa dunia
nya juga sudah berhenti ketika menyadari bunda nya
tak ada lagi.
Hari terus berlanjut, dua minggu setelah
kepergian bunda nya Raquel belum mau untuk
melakukan kegiatan apapun. Hanya merenung
menatapi foto bunda nya. Ayah nya datang
menghampiri Raquel.
‘El, sudah dua minggu lho kamu tidak keluar.
Sedih itu wajar tapi jangan berlarut dalam kesedihan,
kamu masih punya kehidupan yang harus kamu
lewati di luar sana.’ Ayah nya menasehati Raquel.
Karena ucapan ayahnya, Raquel sadar bahwa
dirinya tidak seharusnya seperti ini. Malam ini
Raquel berjanji pada dirinya untuk melanjutkan
kehidupannya. Sebenarnya Raquel sangat rindu pada
bunda nya karena selama dua bulan bunda nya tak
sadarkan diri dan belum sempat berbicara lagi dengan

254
Raquel. Itu yang membuat Raquel bersedih, suara
yang ia nanti kan selama dua bulan kini tidak akan
ada harapan untuk mendengar kembali suara bunda
nya. Tetapi kini Raquel tersenyum mengingat bunda
nya yang tidak akan pernah merasa kesakitan lagi.
Tak terasa malam sudah berganti pagi. Raquel
mandi dan bersiap-siap untuk latihan. Pagi ini Raquel
diantar ayahnya ke tempat latihan. Raquel tiba dan
disambut gembira oleh teman-temannya. Semua
temannya memeluk Raquel karena mereka sangat
senang melihat Raquel kembali latihan. Seminggu
lagi lomba renang akan diselenggarakan. Oleh karena
itu Raquel harus lebih fokus karena perlombaan
sudah didepan mata.

Seminggu sudah berlalu dan pagi ini waktu


nya Raquel menunjukan talentanya. Ia bersama
teman-temannya duduk di kursi yang disediakan
untuk peserta. Raquel menangis melihat teman-
temannya ditemani oleh kedua orang tua mereka.

‘Anak papa kenapa nangis? Masa ayahnya


datang bukannya senang malah nangis sih?’ tegur
ayah sambil merangkul Raquel.

‘Ella kangen sama bunda pah. Coba aja bunda


masih ada pasti sekarang bunda lagi semangatin Ella.’
Ucap Raquel pada ayahnya

255
‘Raquella anak papa, kamu harus tahu ya. Di
surga sana Bunda tuh lagi semangatin kamu. Jadi
ayok kamu buktiin ke Bunda kalo kamu pasti bisa.’
Ayah nya memang selalu saja bisa membangkitkan
semangat Raquel.

Pertandingan sudah dimulai, setelah sekian


banyak peserta sudah tampil kini saatnya Raquel.
Raquel berdiri diatas balok start. Ia mengambil
ancang-ancang dan kemudian ia terjun ke kolam
setelah mendengar pluit. Hanya bayangan bunda nya
lah yang selalu ia lihat ketika ia sedang berenang di
dalam kolam. Bunda nya yang menjadi motivasi
bahwa ia bisa melewati pertandingan ini. Raquel tiba
di garis finish lebih awal dibanding peserta lain. Ia
naik dan memeluk ayahnya yang sejak tadi berteriak
menyemangatinya.

Babak demi babak sudah dilewati Raquel, kini


saatnya mendengarkan pengumuman pemenangnya.
Juri memanggil nama Raquella Anastasha Adiwira
sebagai pemenang juara pertama. Raquel sangat
senang dan berterima kasih pada ayahnya yang selalu
mendukungnya. Seusai lomba, Raquel mampir ke
makam bunda nya. Ia membawa medali nya dan
menangis terharu di makam bunda nya.

256
Raquel sudah melewati masa-masa sulitnya.
Kehilangan sosok bunda yang sangat ia sayangi
memang sangat menyakitkan dan membuat dunia nya
seakan-akan ikut terhenti. Namun inilah kehidupan,
yang datang akan pergi. Raquel percaya bahwa
dibalik hujan pasti ada pelangi. Raquel memang
sangat menyayangi bunda nya, namun ia tahu bahwa
Tuhan lebih menyayangi bunda nya.
Raquel melanjutkan hidup tanpa seorang
bunda nya tetapi ia percaya bahwa kemarin, hari ini,
dan esok adalah rencana indah Tuhan yang sudah
disiapkan untuk nya.

257
Motor Tua yang Menyusahkan
Karya Mohammad Toriq Farizqi

Suatu hari temanku mengajak jalan-jalan


mengelilingi Jakarta dengan menggunakan kendaraan
bermotor.Ku terima ajakan ia,lalu ku persiapkan motor
dan perlengkapan lainnya agar selamat dalam
berkendara.aku berangkat dengan motor vespa tua ku yang
bernama “Skubut” atau bisa disebut “Sekuter Kebut”.
Tepat pada pukul 7 pagi kami ber-lima berkumpul
ditempat biasa yaitu didepan rumah Iqbal Namun ada
salah satu orang terlambat,yaitu Vandi.Si vandi terlambat
datang karena ia sehabis bergadang.Sekitar 30 menit kami
berbincang-bincang dan menentukan tempat yang akan
dituju lalu kita semua pun jalan.
Saat di jalan terjadi sebuah perdebatan,Iqbal
tidak terima apa pendapat yang kami semua sampaikan
sehingga kami semua terpaksa berhenti terlebih dahulu
untuk menyelesaikan perbedaan pendapaat
tersebut.Karena perbedaan tersebut kami pun terpaksa
memilih rute jalanan yang berbeda,yaitu melewati Jalan
Pangeran Antasari.Dengan melewati jalan tersebut lalu
kami ber-lima setuju dengan pendapat tersebut dan kami
pun lanjut berjalan menuju tujuan.Saat sampai di lampu
merah pertama,perjalanan kami terhambat karena adanya
suatu kecelakaan di jalan raya tersebut.Setelah menunggu
lama kami pun bergegas kembali menuju tujuan.

258
Disaat sampai di Jalan Pangeran Antasari,motor
tua ku mulai berasa tidak enak.Setelah jalan beberapa ratus
meter kedepan kopling motor tua ku mulai tidak
berfungsi.Diriku pun panik karena motor semakin lama
semakin perlahan lajunya,lalu ku berhentikan motor
tersebut dan mulai periksa apa yang terjadi pada motor
tersebut.Saat di standarkan ternyata tali kopling nya putus
dan aku pun tidak membawa cadangan tali tersebut
sehingga makin menumpuk masalah yang terjadi.Saat tau
ada salah satu anggota yang berhenti di jalan,teman ku pun
ikut berhenti menghampiri.Munir bertanya:”motor lu
kenapa riq?” lalu aku pun menjawab:”tali koplingnya
putus nir!”.Aku pun mencoba membetulkan motor
tersebut,namun bukannya benar mungkin malah
memperparah keadaan.salah satu teman kami yaitu Bergas
berkata:”mengapa tidak menunggu vespa lain lewat saja?
bukannya satu vespa sejuta saudara?”.Perkataan Bergas
pun ada benarnya,lalu kami semua pun menunggu ada
vespa yang lewat.Setelah lama menunggu tak ada satupun
vespa lain yang lewat dan kami semua pun pasrah
menghadapi kejadian tersebut.
Akhirnya Akmal menyarankan kami semua
mendorong motor tersebut menggunakan kaki dan yang
lain pun setuju.Tujuan kami selanjutnya pun beda,yang
tadinya ingin ke Monas pun menjadi gagal.Tujuan baru
kami yaitu ke Pati Unus,yaitu tempat berkumpulnya para
pengendara motor.Berharap dapat bantuan disana ternyata
tidak ada yang mau membantu.Akhirnya yang lain pun
terpaksa mendorong lagi motor tersebut.Sebelum kami
pulang,kami berhenti di tempat makan dulu yaitu

259
MCD.Disana kami beristirahat sejenak melepas penat,dan
mengisi perut juga.Setelah makan dan istirahat kami
semua pun langsung menuju ke tempat tujuan yang
lain.Beberapa menit kemudian Vandi memberikan saran
untuk jalan lagi ke daerah Monas karena disana banyak
acara yang diadakan oleh pemerintah.
“Bro,mau lanjut ga jalan jalan-nya,kayaknya di
Monas ada acara asik tuh buat di datengin,” ujar Vandi.
“Lah ayok gas terus gua mah bro,kalo yang lain
si kurang tau,” jawab Bergas.
“Ayok lah kita jalan sekarang bro bro,” ucap
Akmal
Lalu kami pun berjalan menuju Monas.Di jalan
kami menemukan banyak peristiwa yang tidak
menyenangkan menghampiri kami,yaitu kami semua
terkena tilang oleh polisi di daerah senayan.Aku pun di
hampiri oleh salah satu polisi yang bertugas di sana dan
menanykan beberapa hal.
“Selamat siang dek,boleh tunjukan sim dan stnk
kendaraan tersebut?” Ucap pak polisi.
“Siang pak,saya belum punya sim tetapi kalua
stnk bawa pak,” jawabku.
“Coba saya liat STNK nya dek,” perintah pak
polisi sambil menjulurkan tangan.
“Ini pak STNK nya,mohon jangan di tahan ya
pak,” balasku.

260
“Kami bekerja sesuai prosedur dek,apabila adik
tidak memiliki sim berarti belum boleh membawa
kendaraa bermotor,apakah peraturannya sudah pernah
dibaca dik?” Tanya pak polisi.
“Sudah pak,yasudah silahkan ditindak lanjuti
saja pak saya terima kok,ini adalah kesalahan saya,”
jawabku.
“Baik,terima kasih dik sudah koperatif terhadap
kami,ini akan saya tilang dan STNK motor tersebut akan
saya ambil dan adik akan menghadiri siding di kejaksaan
negeri Jakarta Selatan ya,” ujarnya
“Apa bisa diwakilkan oleh orang lain pak apabila
saya tidak bisa hadir?” Tanyaku.
“Tentu bisa dik,sidang tersebut bisa diwakilkan
oleh keluarga adik,” jawabnya.
“Baik terima kasih pak sudah memberi saya efek
jera supaya saya tidak mengulangi kesalahan saya
tersebut,” ucapku.
“Baik silahkan hati hati dijalan dik,patuhi rambu
lalu lintas yang sudah terpasang,”
“siap pak!!”
Lalu kami semua melanjutkan perjalan sesudah
mendapat tilang dari pak polisi yang sedang menggelar
razia di salah satu tempat di senayan.
Saat sampai,kamipun bertukar cerita tentang
peristiwa yang terjadi tadi saat menuju kesini.Ternyata

261
Akmal tidak terkena tilang karena dia kabur melawan arah
sehingga polisi tidak melihat dia, dia pun bercerita
“Lu semua pada ketilang?” Tanya Akmal.
“Wah parah lu si,udh tau masih ditanya,” ujar
Bergas
“Wah sorry brodie,soalnya gua gak kena tilang,”
ketus Akmal.
Kami semua pun melanjutkan perjalanan menuju
monas,di setiap perjalanan kami sangat senang karena
kami saling berbicara lewat telefon melalu aplikasi
LINE.Saat sampai di daerah Senayan kami berhenti dulu
di stadion GELORA BUNG KARNO karena ingin
mencari spot foto yang bagus,lalu kami semua pun foto
foto di daerha tersebut dan tak lama kemudian SATPOL
PP datang menghampiri kami semua karena telah parkir di
tempat yang sudah dilarang.Kami semua pun pergi dari
daerah tersebut dan mencari tempat yang sepi atau yang
tidak terjangkau dari SATPOL PP yang tadi kami
temui.Kami pun menemukan tempat yang menurut kami
bagus untuk tempat berhenti dan juga di tempat itu
terdapat penjual makanan yang kelihatannya lezat
sekali.Aku pun mencoba mengambil gorengan dan lontong
dan yang lain pun mengikuti,namun lucunya saat kami
ingin membayar makanan tersebut ternyata harganya tidak
masuk akal,karena harga gorengan biasanya hanya 1000
Rupiah sedanngkan gorengan yang kita semua makan
berharga 5000 Rupiah.Sesudah membayar,motor ku pun
kembali mati,tidak tau apa alasannya sepertinya karena
busi yang dipakai sudah rusak.Aku pun mencoba

262
membenarkan kembali busi tersebut namun tidak
mempengaruhi apapun.Vandi dan Iqbal pun mencari
bengkel terdekat untuk membenarkan motorku agar bisa
jalan kembali.Setelah mereka kembali bukannya
menemukan bengkel malahan mereka terjatuh dari motor
karena ditabrak oleh pengendara yang tidak bertanggung
jawab.Iqbal pun terkena luka yang cukup serius karena
tertiban oleh motor,sedangkan Vandi hanya sedikit
saja.akhirnya motor ku didorong oleh Bergas menuju
monas dan aku sangat berterima kasih kepadanya karena
sudah membantu ku mendorong motorku ini.Di jalan kami
bertemu segerombolan vespa yang sedang berjalan
melintasi kota.Kami pun semua memanggil mereka semua
untuk membantu motor ku ini yang sedang rusak.Lalu
mereka semua pun berhenti menghampiri kami.Salah satu
dari mereka bertanya,”kenapa motornya bro?”aku
menjawab”busi nya bang rusak”akhirnya mereka
membantu aku untuk mengganti busi motorku.Setelah
selesai membenarkan motorku,aku pun memberi imbalan
kepada mereka,namun mereka menolak karena mereka
menjalankan semboyan “Satu vespa sejuta saudara”.Aku
pun yang mendengar itu terasa sangat senang karena
banyak yang mau membantu ku.Kami semua pun
melanjutkan perjalanan dan kami semua pun menancap
gas
asdasdasdasdasdsadsadsaadddddddddddddddddddddddddd
ddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddd
ddddddddddddddddddddddddddddddddddd
Setelah sampai di Monas kami semua pun
berhenti dahulu untuk ber istirahat sejenak karena sudah

263
mendapat beberapa perisitiwa yang kurang menyenangkan
kami pun berbincang bincang sejenak:
“Sorry ya bro gua nyusahin lu semua,” ucapku.
“Santai aja bro kita semua kan temen ikhlas
ngebantu lu semua,” jawab Bergas
“Iya riq,lagian juga tadi ada vespa yang
ngebantuin lu juga,” timpal Akmal.
“Ah nyusain aja lo riq,tapi not bad lah gak papa,”
ucap Vandi.
“Iya riq santai gapapa,gua gituin luka gua dulu
ya,” timpal Iqbal.
“Makasi ya kawan kawan gua semua,” ucapku
berterima kasih.
“Sekarang anter gua dulu yuk ke pengobatan
terdekat bro,sakit banget nih,” ujar Iqbal.
“Ayok cepetan keburu infeksi bal,” balasku.
Lalu kami semua pun beranjak dari monas ke
pengobatan terdekat.Di sekitar fatmawati ada rumah sakit
terdekat.Kami pun berhenti di rumah sakit tersebut untuk
memeriksa luka yang terjadi pada Iqbal.Setelah itu kami
pun melanjutkan perjalan meuju rumah masing
masing,dan perjalanan pun selesai.

Janji Sahabat
Karya Muhamad Raihan Dwi

264
Andi dan faris adalah sahabat dari usia 5 tahun
mareka berdua adalah teman yang sangat dekat,di saat
Andi sakit faris selalu ada untuknya. Mareka selalu
bermain bersama dan belajar bersama walaupun mareka
berbeda sekolah, mareka ada janjian akan bertemu di
taman dekat rumah agar bermain bersama,``Hei dari mana
saja Di?``kata faris.``Maaf tadi ban sepedah ku bocor saat
aku mau menujuke mari,``jawab Andi. Faris hanya
tersenyum dan langsung mengajak Andi untuk bermain
bola, mareka bermain dengan gembira .waktu sudah
menunjukan pukul 18.00 WIB. Mareka pun pulang ke
rumah masing-masing untuk bersiap-siap menuju masjid.
Ketika mareka berumur 8 tahun Andi memiliki beberapa
teman baru yang bernama Roni dan Hafiz, Andi juga
mengenalkan teman barunya ke Faris. Marekapun bermain
bersama,hampir setiap hari Andi menteraktir temannya
untuk makan bakso.
``Wahh, banyak banget duitmu Di,``Kata
Hafiz.Andi pun hanya tersenyum ketika Hafiz memujinya
seperti itu. Andi kemaren itu pergi ke luar negeri bersama
keluarganya. Roni, Hafiz dan iwan pun kesepian. Hafiz
dan Roni memberitahu Faris bahwa mareka mendekati
Andi hanya meminta duitnya saja.
``Ehh Ris, kau gak berani ya minta duit sama si
Andi?``Kata Hafiz
``apa? Kok kalian bicara seperti itu Fiz?``Jawab
Faris

265
``Hei, ini kesempatan kita loh mengambil semua
duit Andi,``Kata Roni
``Ah aku gak mau, Andi adalah sahabatku, aku
gak mau berbuat jahat ke dia,``Jawab Faris.
``Ah jangan sok baik deh Ris,``Jawab Hafiz
Ketika adzan magrib marekapun pulang ke rumah
masing-masing. Faris terus berpikir Bagaimana caranya
agar Roni dan Hafiz berhenti berpikir jahat ke Andi. Faris
pun bertanya pada ibunya. ``Ibu, apakah ada orang jahat di
dunia ini?``Ibunya heran kenapa tiba-tiba Faris bertanya
seperti itu ke Ibunya, Ibunya memeluk Faris lalu
berkata,``Tidak ada orang jahat di dunia ini Faris.`` kata
Ibunya sambil memeluk dengan penuh kasih sayang. Lalu
Faris pun tertidur lelap. Di sore hari,Andi dan keluarganya
akhirnya kembali dari liburan ke luar negri. Faris
mendatangi Rumah Andi.
``Assalamualaikum, Andi...Andi...``Kata Iwan.
Lalu ibu Andi keluar.
``Waalaikumsalam, ada apa Faris?``Jawab ibu
Andi.
``Ada Andinya tante?``Tanya Faris.
``Maaf sekali Faris, Andi sedang kurang enak
badan ketika pulang dari Thailand,``Jawab ibu Andi
``Ohh begitu ya,``Kata Faris. Faris pun pergi
sendiri dan bermain sendiri. Faris melihat Hafiz dan Roni
sedang bermain.

266
``Hei.. Faris sedang apa kau?`` Tanya Hafiz.
``Mana sahabatmu yang bencong itu?Haha,``Kata
Roni sambil ketawa terbahak-bahak.
``Jangan pernah bilang dia banci ya!``Kata Faris
dengan wajah marah
``Ohh jadi ngajak berantem nih?``Kata Hafiz yang
ingin memukul Faris
``Ssstt.. sudahlah Fiz untuk apa memukul anak
ini? Sekali kita masih bisa ngorupin uang Andi ya kan?
``Kata Roni dengan santai. Akihirnya Roni dan Hafiz pun
pergi ninggalin Iwan,
Beberapa hari kemudian Andi datang menemui
Faris di taman.
``Hei Faris.. Apa kabar? Sudah lama tidak bertemu
ya hehe,``Kata Andi dengan semangat bertemu dengan
Faris.
``Hehe iya nih,``Kata Faris dengan lesu
``Kau kenapa Faris?``Tanya Andi.
``Hmm ya?Hehe gak apa-apa kok.`` Kata Faris
sambil tersenyum.
``Begitu ya, bagaiman kita main badminton?``
Tanya Andi
``Wahh seru juga tuh,``Kata Faris sambil
semangat. Sedangkan Roni dan Hafiz yang satu sekolah
dengan Andi selalu saja minta uang Andi.

267
``Eh Fiz, si Andi belakangan ini kok gak mau
ngeluarin duit lagi ya?``Tanya Roni.
``Iya nih Ron. Bagaimana kita minta secara paksa
aja?``Jawab Hafiz menantang.
``Hmm benar juga tuh bagaimana nanti waktu di
taman aja kita mintanya?`` Kata Roni yang semangat.
Di sore hari Hafiz dan Roni bermain dengan Andi,
``Hei Di.. bagi duit dong?Tanya Hafiz.
``Untuk apa?``Tanya Andi kembali.
``Ya tidak untuk apa-apa sih!,sudah berikan saja
duitmu,``Kata Hafiz sambil mencekik Andi.
``Hentikan Hafiz Aghh!``Kata Andi. Tiba-tiba
datang Faris.
``Hei hentikan!!`` kata Faris
``Aaahh datang juga dia si perusuh!``Kata Roni.
``hHentikan Hafiz jangan paksa Andi untuk
memberikan kalian uang,``Kata Faris dengan wajah
marah. Tiba-tiba Hafiz memukul Faris dan terjadilah
perkelahian disana, Dan akhirnya Hafiz menangis lalu
pergi.
``Hei Hafiz tunggu!``Kata Roni.
``Jangan pernah kalian ganggu temanku lagi!
``Kata Faris dengan wajah kesal.

268
``Haha thanks ya Ris, kau keren juga ya kalau
marah,``Kata Andi dengan wajah serius.
``Ahh kau bisa saja Di`` Dengan wajah yg
tersenyum Faris
``Ris, aku akan pindah rumah hari ini ke
jakarta,``Kata Andi dengan wajah serius.
``HAH! Serius Di?`` Terkejut Faris.
``Haha iya Ris, kok wajahmu jadi sedih gitu sih?
``Jawab Andi sambil tertawa.
``Jadi kita bakal bisa bermain bersama lagi?``
Tanya Faris.
Akhirnya Andi pun pergi ke Jakarta dan
meninggalkan sahabatnya yang ada di Medan. Tahun terus
bergantian di saat usia Faris sudah berumur 12 tahun dia
selalu menyendiri di saat SMP ini pun dia belum
mempunyai teman. Dia hanya bisa berharap agar Andi
bisa kembali bermain bersamanya. Di sore hari Iwan
duduk-duduk di taman sendiri.
``Ehem.. apa Ada Faris di sini?``Tanya orang
misterius.
``ya.. saya sendiri ada apa ya?``Tanya Faris
terkejut.
``Hei apa kabar sahabatku?`` Tanya orang
misterius tersebut.
``Andii.. haha kapan kau kembali?``Tanya Faris.

269
``Kemarin aku baru sampai di Medan,``Jawab
Andi.
``Kenapa kau tidak bilang sih Di?``Tanya Faris
dengan wajah kesal.
``Yahh maaf deh Ris lagian aku sibuk terus
nih,``Jawab Andi.
``Iya deh, eh hidungmu berdarah Di, kau sakit ya?
``Tanya Faris
``Ehh gak kok.``Jawab Andi. Tiba-tiba Andi jatuh
pingsan dan Iwan pun melapor ke Ibunya Andi
Lalu Andi di bawa ke rumah sakit,``Tante, Andi
sakit apa?`` Tanya Faris
``Sebenarnya Andi menderita Leukimia
Rin,``Jawab ibunya
``Apa? Kenapa Andi tidak pernah cerita?``Tanya
Faris terkejut.
``Dia tidak mau membuat sahabatnya
sedih,``Jawab ibu Andi sambil mengeluarkan air mata.
``Jadi, makanya itu Andi di bawa ke Jakarta?
Hanya untuk pergi berobat?``Tanya Iwan sambil
menangis.
``Iya,kau benar Faris,``Jawab ibu Andi sambil
menangis. Faris dan seluruh anggota Andi pun menangis
di rumah sakit tersebut.

270
Dan di saat itu Faris melihat Andi terbaring di
tempat tidur.
``Hei,jangan menangis kawan, aku gak kenapa-
kenapa kok,``Kata Andi sambil tersenyum.
``Tidak, kenapa kau tidak bilang padaku Di?
``Tanya Faris sambil menangis.
``Hehe maafkan aku sahabatku, aku hanya tidak
mau kau bersedih karena aku,``Jawab Andi sambil
tersenyum.
``Kenapa? Kita ini kan sahabat kita harus senang
bersama dan juga susah bersama,``Kata Faris kepada Andi
sambil menangis.
``Faris, kau benar-benar sahabat terbaik yang
pernahada dalam hidupku, aku punya pesan terakhir
untukmu wahai sahabatku. Jangan pernah menyerah
seberat apapun rintangan menghadapimu``Kata Andi
dengan wajah sedih.
``Jangan bicara seperti itu Di, kita akan selalu
bersama dan bermain bersama,``Kata Iwan dengan air
mata.
``Jaga Ibuku ya Ris ingat pesanku tadi, kau adalah
sahabat lamaku yang terbaik tidak kau benar-benar sahabat
terbaikku yang pernah ada di dunia ini. Jangan pernah
menyerah!``Kata Andi dengan penuh harapan.
``Annddreee``Menjerit Faris ketika melihat
sahabatnya pergi meninggalkannya. Andi meninggalkan
sahabatnya dan semua keluarganya,setelah kepergian

271
Andi,Faris berjanji akan memenuhi janjinya kepada Andi.
Dan semua penuh kenangan antara cerita dua orang
sahabat yang saling mempercayai san saling memahami.

272
Rasa dan Karsa
Karya Muhammad Fajri Alqamari

Pukul 10.00, Minggu, 15 Desember 2019. Cerah


berawan menyinari SMA di Jakarta Timur. Ramai para
murid masuk nyatanya pembagian nilai akhir ujian
semester telah dibagikan. Tentu saja, acara sekolah.
Perkemahan Sabtu Minggu. Rupanya Ary murid kelas XI
Mipa 3 berbadan tinggi cukup berisi dengan rambut
ikalnya, duduk termanyun di tiang basket, dengan
seragamnya yang tergulung dua gulungan kearah bahu
menatap sepasang mata yang menunduk kebawah, seakan
diperingati kalau ada dua pasang bola mata menatapnya.
Farah, kekasihnya. Gadis berbola mata coklat yang hanya
dapat menyamai lengan Ary saat berdiri bersebelahan,
kerudung yang selalu di lontaikan ikatannya tanpa make
up dan lipstick. T anpa disadari, hari itu mereka berpisah,
dengan segala angan di kepala dan ingin di hati. Hanya
saja, salah satunya tak ada yang berani memulai untuk
memperbaiki. Farah yang terlalu malu untuk menghampiri
dan Ary yang sudah termakan egonya.
-
“Kenapa matahari tenggelem, beb?” Ary bertanya.
“yaelah ry, lo pacaran jangan disini dah, ganggu
komentator aje lo” gumam Ruben. “Elah diem dah, urusin
aja tu mic. Jomblo sih!” ledek Ary. Senyum mereka di
bibir Farah saat main tebakan. Ary punya banyak cara

273
untuk membuat Farah tersenyum. “yaa kalo tenggelem
kiamat lah!” jawab Farah semangat. “salah” balas Ary
singkat. “lah terus apaan?”, balas Ary cekatan “yaaaa
karena matahari ga bisa berenang HAHAHA”. “dih
HAHAHA aneh banget” tawa kecil Farah pecah karena
sedang ramai kakak kelas disamping Ary. Seakrab itu
lelaki kelas 11 dapat bergaul dengan kakak kelasnya
hingga mengajak pacarnya duduk bersebelahan di podium.
“GOL ! tendangan yang sangat indah dari kawan kita
Faisal ! berhasil mencetak gol pertama untuk kelas 11
Mipa 4” teriak Ruben kearah mic yang mengacung kearah
mulutnya. Wajah yang sumringah muncul di pipi Ary saat
temannya berhasil menjebolkan gawang lawan. *prit prit
prit* kartu merah diberikan kepada Afif pemain klub futsal
tersebut menjatuhkan lawannya dari kelas 11 Mipa 4. Bola
diambil Faisal. “kita lihat Faisal, GOL !” teriak Ruben si
komentator sekali lagi berkat tendangan kearah bawah
kanan yang rupanya sulit di tepis kiper kelas 12 Mipa 6.
“WO Isal keren, emang Ary” celetuk Farah tanpa Ary
sadari. Tampak pula raut wajah Ary yang mulai menekuk
kecewa. Sekali lagi dalam kepalanya Ary mulai berfikir
yang tak pantas difikirkan. Ary hanya bias melirih Farah
dan singkat “sakit tau digituin” dan kembali membuang
mukanya dari hadapan kekasihnya. Farah yang sadar ia
telah melukai hati kekasihnya sendiri pun tak enak hati
melihat tingkah Ary yang jelas kecewa dan kaget atas
tindakannya. “maaf..” satu kata yang dapat diungkapkan
cewek pemalu itu, ia sadar betul akhirnya kalau melukai
hati kekasihnya. “ntar balik sama siapa? Sama aku yok!”
Ary kembali menyaut tiba tiba dengan muka yang senyum
lebar. “ehh, engga kok, aku nanti di jemput mama” jawab

274
Farah sambil menunduk. “oh iya? Mama udah dateng
belom?” kembali Ary bertanya dengan sumringah. “lagi di
jalan, kok.” Jawab Farah singkat. “yaudah ntar aku
temenin aja sampe mama dateng.” Jawab Ary agak
singkat. Yang rupanya cowok berambut ikal itu mencoba
menutupi luka di hatinya yang dihujam kekasihnya sendiri
melalui perbandingan tadi. Farah hanya mengangguk.
Ary langsung bangkit dari duduknya
meninggalkan Farah yang tampak kebingungan dan tak
enak hati pada kekasihnya sendiri. Ary mengambil tasnya
di lantai dua depan ruang osis. Langusng segera turun
menghampiri pacarnya yang jalan menunduk. Baginya hal
itu adalah hal biasa dilakukan oleh Farah pada keadaan
apapun. Kembali Ary harus mengemban rasa sakit itu
sendirian dan tak memberi tanggapan atas apa yang
dilontarkan kekasihnya Farah yang telah menghujam
hatinya. “kita duduk disitu aja” Ary memegang tangan
Farah. Berdua duduk di taman dekat gerbang sekolah.
Tak banyak berkata diantara mereka, tentu saja
Aryyang memulai percakapan yang diawali oleh bas abasi.
Rupanya situasi yang seperti ini yang membuat Ary
canggung. Menunggu pacarnya untuk membuka perkataan
serius mengapa Ary sampai dibandingkan seperti itu.
Namun, keinginan Ary tak kunjung datang. Farah hanya
duduk termanyun melihat kakinya yang digoyang-
goyangkan. “emang mama dari mana, beb?” tanya Ary
membuka pertanyaan, ia berusaha menahan egonya yang
akan meluap akibat tingkah laku pacarnya yang duduk
terdiam tanpa balasan apa apa *ga punya hati emang ni
cewe* gumam Ary menahan emosinya. Farah mendongak

275
“eh sorry aku lagi bengong. Abis dari rumah” jawab Farah
singkat. “emang kamu mau pergi abis ini?” tanya Ary lagi.
“enggak, langsung pulang” kembali jawaban singkat dari
Farah. Ary sadar, ia tetap harus sabar menghadapi
pacarnya yang aneh ditambah emosinya yang kian meluap.
*gila udah buat salah sama sekali ga ada minta maapnya ni
anak.* gumam ari bertambah panas. Ary hanya terdiam
melihat respon kekasihnya itu. Ia sadar bila ia meluap lagi
jumlah pertengkaran mereka berdua berjumlah 109 kali
dalam 5 bulan. Kembali mereka terdiam. Ary hanya
menatap kekasihnya penuh kebimbangan *gua kurang apa
si, Rah di mata lo, sampe bisa lo bandingin lagi, se-gak
bisa cukup apa lo sama gua sampe lo bandingin gue 3 kali
sama temen temen gua, tolong dong kalo lo udah capek
sama gua bilang aja, jangan nyakitin hati gua ampe berkali
kali kaya gini* tatapan Farah pun sebaliknya, kosong,
menyesal, sungkan terhadap pacarnya sendiri akibat
tindakannya. Ia hanya berdiam diri mencoba agar
menghindari salah kata lagi terhadap pacarnya.
“eh sorry aku bengong..” Farah membuka
percakapan, ia sadar betul situasinya kurang baik. “eh iya,
aku juga, beb. Gimana mama udah dateng?” jawab Ary
canggung dan bertanya mengalihkan situasi. “iya udah
deket tuh. Yaudah kamu pulang aja” Jawab Farah singkat.
“iyaa ntar, gua nyebrangin lu dulu.” Jawab Ary sambil
matanya melirik lirik motor yang lewat mencoba
membantu Farah untuk menyebrang. “assalamualaikum
tante!” sambut Ary kepada tante Giselle. “eh kok Ary
belum pulang?” tanya tante Giselle bersamaan dengan
kaca mobil yang turun dibagian kursi penumpang depan.

276
“hehe tanggung tante, nemenin Farah” senyum Ary
merekah lebar dihadapan tante Giselle. “aku duluan ya, ry.
Makasih ya” ucap Farah sambil tersenyum. “iyaa far ati
ati” jawab Ary mengangguk. Ary langsung menyebrang
dan pulang dengan sepeda motornya.
-
“sini dulu deh” Ary menarik tangan Farah yang
dibalut baju pramuka yang tergulu rapih sesikut. Senyum
Farah merekah “kenapa? Sok misterius lu” ledek Farah.
Lelaki tadi hanya dia membelakangi Farah. “ni gua
balikin” sambil menyodorkan gelang pemberian Farah.
“kenapa dibalikin ry? Kamu kenapa?” tanya Farah ada
yang ganjal. “menurut gua, mending kita putus aja, far.
Gua ga baik buat lo. Gua bandel, kena poin mulu, gua
ngerokok, banyak deh. Dan diliat liat emang lu udah capek
kan dari awal yang lu bilang sama gua kemarin kita
marahan. Menurut gua juga gua emang ga cukup buat lu,
gua adanya cuma gua far. Gua ga bisa jadi yang lain, gua
gabisa jadi yang lu mau.” Jelas Ary sambil terbata bata,
tanpa menatap mata Farah. “Hah, emang kenapa, ry?
Emang ga ada jalan lain?” berubah senyuman Farah
menekuk ingin menangis. “ya emang apalagi, Far? Gua
ngerasa gua ga bisa jadi apa yang lu mau. Dan bener deh,
gua Cuma nyakitin lu doang. Lo sakit kan sama gua? Lo
capek kan sama gua walaupun sediki ? tapi gua sadar, gua
gabisa jadi lebih baik karena gua merasa tertekan sama
kelakuan lo. Gua ngerasa kalo sayang lo emang bukan
buat gua. Lo melihat dia yang pernah sempet ngejar lo
dulu, dan gua akuin dia emang lebih dari gua, gua selalu
ngebatin, gua kurang dimana, di duit oke, tapi kalo

277
masalah kasih sayang. Gua harap lu ga nilai gua sebelah
mata. Hati gua sakit kalo lu mau tau, cuma gua sadar. Gua
emang bukan apa yang lo mau” jelas Ary tanpa menatap
mata Farah. “yaudah, putus kan?” tanya Farah bernada
kecil ditambah air mata yang ingin meluap. Ary hanya
mengangguk. Ia sadar betul meninggalkan Farah bukanlah
jalan yang benar. Farah pergi meninggalkan Ary. “rah
tunggu, bentar dulu” Ary menarik tangan Farah.
“apalagi?” tanya Farah singkat, tampak kekecewaan yang
sangat berat di wajah Farah. Ary hanya terdiam disana, ia
tak kuasa menahan air matanya, melihat wajah seorang
yang dia benar sayang walau hanya sebentar menahan
tangis dihadapannya persis. Ary seorang ketua Angkatan
yang disegani kawannya, badboy yang sangat pengertian
kepada kawannya, tukang cari ribut sama kakak kelas jika
ada yang menyenggol angkatannya, perokok aktif sehabis
pulang sekolah. Kini, air matanya tumpah pula. “lo kenapa
ry?” “ry lo nangis?” “Ary lo kenapa?” hujaman tanda
tanya bagi teman teman Ary atas air matanya yang
berusaha ditahannya. Melewati koridor kelas cewek-cewek
11 Ips adalah hal yang sulit bagi seorang panglima
Angkatan, Ary.
Kini, rasa tersebut sayang tersebut membekas di
hati Ary Ramdani. Farah Clarissa, merasa tak cukup bagi
Ary, sehingga membuat pacar yang ia sayangi melangkah
pergi dari hidupnya pula. Mungkin rasa bisa berbalas.
Mencintai, dicintai pun perlu. Namun sedianya, dalam
cinta, yang utama adalah rasa nyaman. Mereka tak saling
melepas. Mereka memaafkan satu sama lain. Mereka
masih menyayangi satu sama lain. Mereka hanya

278
mengulang semuanya. Membentuk segala rasa. Nyaman
sebagai karsa-nya.

279
Teruntuk Derek Ivinki
Karya Muhammad Rizqy Ramadhan

“Kepada Derek Ivinki, Hari ini akan menjadi hari


yang indah, dan inilah alasannya…” Begitulah tulisan
yang tertera pada file Microsoft Words 2017 yang kubuka.
Bayangkan, seorang Derek mengerjakan tugas pada laptop
HP 14 inch miliknya di atas kasur single, seperti dirinya,
itu bukanlah hal yang normal.
Sejak kapan seorang Derek mengerjakan
tugasnya. Ditambah lagi, tangan kanannya dibalut gips
karena jatuh dari pohon di taman minggu lalu. Lagipula,
mana ada orang mengerjakan tugasnya saat tahun ajaran
baru pun belum dimulai? Ya, sejujurnya aku pun tak ingin
mengerjakan tugas ini lagipula ini bukan tugas sekolah,
namun lagi lagi Kak Ian menyuruhku untuk membuat surat
kepada diriku. Parahnya, deadline yang diberi kak Ian
tinggal 15 hari lagi, sekitar 1 minggu setelah sekolah
dimulai, dan diriku baru memulai tugas ini.
Membuat surat mungkin terdengar sangat mudah,
semua orang bisa melakukannya, namun beda lagi jika
dirimu harus membuat surat bodoh kepada diri sendiri,
seperti orang tolol kalau aku menyebutnya. Namun, apa
boleh kuperbuat toh surat ini demi kebaikan diriku sendiri.
Kalau bukan terapisku yang menyuruhnya, tentu takkan
kukerjakan.

280
Berkat surat tersebut, tujuh hari sebelum diriku
menginjak tahun terakhir di lubang neraka — Puji Tuhan
— yang disebut sekolah menengah atas ini kuhabiskan
untuk membuat secarik surat yaang masih belum selesai.
“Derek, Bangun Derek!”, teriak seseorang dari
luar pintu. Suara lancang nan halus tersebut
membangunkanku
“5 Menit lagi, mah!”, balasku.
Lagipula sekarang masih jam 07.30, tumben
sekali mamah membangunkanku, biasanya mamah
mengizinkanku bangun jam 10 saat liburan.
Hampir saja aku terlelap lagi, tiba tiba terdengar
suara derit pintu. Suara tersebut membangunkanku,
lantaslah aku duduk karena kulihat mamah masuk
kamarku.
“Yah mamah, kalau masuk ketuk pintu dulu dong,
aku masih ngantuk nih” gumamku sambil menguap.
“Lah, mamah udah ketuk pintu kamarmu
berpuluhan kali sampe pintunya udah capek denger
ketukan mamah, kamu masih gak bangun, pasti kamu lupa
nyalaiin jam beker ‘kan?” balas mamah seraya duduk di
atas kasur di sampingku dan mengecup ubun – ubunku.
“Mah, Aku kan masih li-”,
“Libur? Mimpi kamu, udah cepetan bangun dan
mandi, mamah udah masakin blueberry pancake kesukaan
mu,” selak mamah sebelum aku bisa menyelesaikan
ucapanku

281
“Omong – omong, mamah taruh uang makan di
meja makan ya, mamah harus pergi dulu, bos mamah
marah – marah, ada kerjaan penting di rumah sakit,”
“Oiya, nanti malam, kamu mamah ajak ke Deli
Indie buat all you can eat. Anggap aja selebrasi tahun
ajaran baru, kamu ketemu temen – temen kamu di sekolah.
Nanti, mamah kabarin lagi ya!”
“Iya,” jawabku tersenyum palsu.
Seandainya saja, mamah tau kalau tak ada yang
ingin berteman denganku selama 3 tahun belakangan ini.
Dengan perkataanya seperti itu, rambut pirang
mamah dan baju perawatnya yang ia kenakan dengan pin
nama bertuliskan “Anya Ivinki” pun mulai hilang dari
pandanganku. Tubuh mungilnya pun terlihat tergesa – gesa
keluar kamar dan menuruni tangga. Baru saja ia turun
tangga, wanita itu sudah berteriak lagi,
“Derek, jangan lupa suratnya ya, tugas Kak Ian
jangan lupa!”
“Holy Guacamole, hampir saja aku melupakan
tugasku, terima kasih, mah!”, gumamku dalam hati.
Sebagai seseorang yang memiliki Social Anxiety
Disorder, hari pertama sekolah merupakan hari terburuk
semasa sekolah, meski sudah memasuki tahun senior, tapi
kalau seorang pecundang ya tetaplah pecundang.
Naik bis sekolah adalah rintangan lain, seperti
biasa, aku duduk di belakang sendiri tanpa teman. Vlad
yang kukira temanku duduk di depanku, ingin kusapa

282
namun ia sedang asyik bersanda gurau dengan temannya.
Terkadang aku bingung, bagaimana Vlad dapat
mempunyai banyak teman meskipun memiliki tubuh
pendek, besar, berkacamata seperti loser. Kurasa dia hanya
orang yang supel dan ramah. Mungkin akan kusapa dia
setelah di sekolah
“Hei Vlad, apa kabar?” sapaku pada Vlad
sesampai di sekolah.
Namun sayangnya, Vlad tak menggubris sapaanku
sedikitpun.
“Ah mungkin dia tidak mendengar saja karena
sedang mendengarkan musik melalui Airpods nya,”
pikirku positif
“Vlad!” Teriakku sambil memegang pundak Vlad
yang masih asyik berjalan mengenakan sepatu putih dan
tas hitamnya menuju pintu utama sekolah.
“For fucks sake, Derek berhentilah mengusikku,
tak bisakah kau lihat? Aku sedang mendengarkan musik
dan tak ingin diganggu, pergi sana!” Balas Derek
“Tapi Vlad, aku cuma ingin menyapamu aja,
lagipula udah satu bulan kita gak ketemu, terakhir ketemu
kan di Broadway Musical Theatre Summer Camp, udah
gitu kita beda divisi, kamu di tech, aku divisi act, lagipula
kita kan teman”.
“Hahahaha, pffft, teman? Kamu kira aku
temanmu? Oh My Gosh Derek, kau mengada ngada saja,”

283
“Aku menjadi ‘temanmu’ karena kau tidak punya
teman Derek, kalau ibumu tidak berteman baik dengan
ibuku, mana mau kujadi temanmu.”
Hatiku tertusuk mendengar perkataan Vlad. Wow,
terimakasih Vlad, hari pertamaku sudah hancur karena
perkataanmu.
“Hei, lihat! Itu Allyster. Hai Allyster. Aku suka
gayamu hari ini, mirip seseorang yang akan melakukan
penembakan di sekolah,” ucap Vlad sambil menarik
badanku dan menunjuk ke arah sosok tersebut.
Sosok tersebut tidak kelihatan marah, namun juga
tidak kelihatan senang. Tapi tampaknya, sosok tersebut
benar – benar kesal, terlihat jelas dari tangan kirinya yang
menggengam tas slempangnya erat – erat. Tangan
kanannya pun digengga seakan – akan ingin meninju muka
Vlad. Vlad segera mengucapkan bahwa itu cuma candaan.
Kurasa Vlad takut melihat sosok tersebut.
“Hahaha… Ya, ku tahu. Itu sangat lucu sekali,
terimakasih,”
“Apakah aku ketawa kurang keras? Hahaha…,”
geram sosok tersebut sambil tertawa sangat keras.
“Whatever, kau sangat aneh,” ujar Vlad.
Vlad pergi begitu saja meninggalkanku. Ia agak
terburu – buru pergi menuju lantai dua. Aku tidak tahu
apakah dia takut terhadap sosok tersebut atau takut telat
masuk jam pelajaran pertama. Meskipun Vlad sudah pergi,

284
sosok tersebut masih berdiri disitu. Tapi, kuperhatikan
sosok tersebut, ia terlihat sedih (?).
“Apa kau lihat – lihat? Kau menertawakanku
ya?!”
“Hah, aku ti-”
“Hentikan ketawanya!”
“A… Ap-”
“Kau pikir aku aneh juga? Aku tidak aneh,”
“Ta… Tapi aku tidak menertawakanmu,”
“Kau yang aneh!”
Ia tiba – tiba mendekat dan mendorongku dengan
kuat sampai aku terjatuh ke lantai. Ia pergi begitu saja
tanpa menolongku maupun meminta maaf. Aku mencoba
berdiri dengan menopang tangan kiriku sebagai tumpuan.
Anehnya, setelah aku berdiri, tangan kananku
terasa sakit dan aku merasakannya lagi. Diriku seakan
akan tertarik kembali terbawa ke tempat familiar yang
gelap di luar melihat ke dalam. Tak ada apa apa selain
jendela berukuran besar. Ku coba ketuk jendela tersebut
perlahan, tak ada yang mendengar. Ku coba melambaikan
tanganku di jendela, tak ada yang menggubris. Hanya
dapat kuperhatikan orang – orang berlalu lalang melalui
jendela tersebut.
Hening pening melanda jiwa bening ini dalam
lorong – lorong sekolah. Namun, dalam semua
kesunyiannya, terdengar sebuah suara. Suaranya lugu nan

285
lembut, halus namun menghanyut, membuat hatiku
terpincut mendengar suara tersebut. Meskipun suara
tersebut terdengar stabil, masih dapat kudengar hela – hela
nafas terengah – engah dari belakang diriku. Suara
tersebut seolah – olah menyadarkanku dari pelamunanku,
membawa diriku keluar dari tempat gelap tersebut.
“Hei… hei… tunggu…”
Kata – kata tersebut terdengar dari belakang
diriku, tapi tak kugubris karena kutau suara itu pasti bukan
ditujukan untuk diriku. Lagipula, suara tersebut bukanlah
suara guru, jadi sudah jelas kalau suara tersebut tidak
memanggilku. Namun dugaanku salah, sosok pemilik
suara tersebut menghalangi jalannku.
“Hei… maafkan kakakku tadi. Aku tadi melihat
dia mendorongmu di lorong. Dia memang agak psikopat.
Derek kan?” ujar sosok tersebut.
“Derek?” tanyanya.
“Ya, itu namamu kan?” lanjutnya.
“Ya, Derek, itu namaku, maaf.” Ucapku.
“Kenapa kau perlu minta maaf?” tanyanya lagi.
“Karena kau bilang Derek dan aku juga bilang
Derek. Aku mengulangnya, yang mana hal tersebut agak
menyebalkan saat orang – orang melakukan itu,” jelasku.
“Namaku Alwyn,” ujar sosok tersebut sambil
menjulurkan tangannya.
“Y-y-ya… Kutahu,” balasku.

286
“Kau tahu namaku?” tanyanya.
“Ya… Aku tahu kamu main gitar di sebuah jazz
band. Aku suka jazz band. Aku suka musik jazz. Aku
semuanya tentang jazz, tapi tidak seperti jazz band jazz.
Ini sangat aneh, maafkan aku,” jawabku
“Kau minta maaf terlalu sering ya,” ujarnya
“Maaf” ucapku
“Ooo… Oke, aku harus pergi dulu, bye!” ujarnya
sambil membalikkan badan.
“Maukah kau menanda tan-“ tanyaku terpotong.
“Apa?” tanyanya.
“A-a-apa yang kau katakan?” tanyaku balik.
“Aku tidak mengatakan apa – apa, tadi kamu
mengucapkan sesuatu,” ujarnya.
“Aku? Tidak, tidak mungkin,” jelasku.
“Okay, bye!” ucapnya.
Alwyn langsung pergi membelakangi diriku dan
menaiki tangga utama di ujung lorong menuju kelas Miss
Cherley. Aku tahu betul hal tersebut karena memang tiap
senin, kelas pertamaku adalah kelas sejarahnya Mister Jay,
kebetulan kelas Miss Cherley dan Mister Jay bersebalahan.
Jadi, aku mengikuti Alwyn dari belakang dan bergegas
menuju kelas Mister Jay.
Kelas berlangsung dengan lancar seperti biasanya,
bahkan lebih santai karena hari pertama sekolah. Bel

287
istirahat pertama juga berbunyi seperti biasanya, pukul
11.30, tak ada yang baru. Seperti tahun sebelumnya, aku
pergi istirahat sendiri, tak ada satupun hal yang baru.
Namun, saat aku ingin pergi ke toilet, mamah
meneleponku.
Ya, betul, tak ada hal yang baru. Mamah memberi
tahuku kalau ia akan pulang telat, karena nampaknya
Linda, rekan kerjanya sedang sakit, jadi ia harus
mengambil shift Linda sore ini. Dan ternyata, mamah juga
ada kelas kuliah malam hari ini. Rencana makan malam
bareng mamah gagal lagi, tapi ya mau tidak mau, harus
kupahami. Lagipula, mamah bekerja dan mendapatkan
gelar sarjananya toh demi kebaikan mamah dan aku
sendiri. Mau diapakan lagi, mamah memang single mother
terhebat yang kutahu.
Setelah istirahat, seperti biasanya, aku mengikuti
semua kelas sampai bel pulang berdering. Meskipun
sekolah telah usai, aku pergi ke laboratorium komputer di
lantai 3 untuk menyelesaikan tugas dari Kak Ian.
Untungnya, hari pertama sekolah, belum ada satupun klub
yang aktif, termasuk klub komputer, jadinya aku dapat
menggunakan laboratorium sespuasku.
Kepada Derek Ivinki,

Ternyata, hari ini bukanlah sama sekali hari


yang baik.
Ini takkan menjadi hari yang baik, minggu
yang baik, atau bahkan tahun yang baik.

288
Karena memangnya ada alasan apa agar itu
jadi baik.
Ya, ya, kutahu, ada Alwyn, yang menjadi
harapanku, meskipun aku tak mengenalnya.
Mungkin, mungkin, jika kumengenalnya,
mungkin takkan ada yang berubah.
Mungkin jika orang tuaku lebih peduli,
mungkin juga takkan ada yang berubah.
Kuharap semuanya berbeda, tidak sama.
Kuharap aku menjadi bagian dari sesuatu.
Kuharap apa yang kukatakan itu pentin dan
didengarkan oleh seseorang.
Maksudku, face it, apakah ada yang akan
peduli jika aku menghilang besok?

Tertanda, teman terbaikmu dan yang paling


tulus,

Aku

Begitulah, kurang lebih, surat yang kubuat hari ini.


Tinggal kutekan tombol print dan tugasku akan kelar.
Laboratorium itu sepi, namun ada suara yang berasal dari
satu jendela yang dibuka. Angin sepoi – sepoi pun masuk,

289
suasanya mirip seperti beberapa minggu lalu saat aku
terjatuh. Tapi saat dirimu jatuh di hutan dan tak ada orang
lain, apakah kamu benar – benar jatuh atau bahkan
mungkin mengeluarkan suara. Tiba – tiba terdengar suara
familiar, suara sosok pagi tadi, Allyster.
“Jadi, apa yang terjadi pada tanganmu?” tanya
dirinya tiba – tiba
Aku tidak menyadari kalau ternyata Allyster sejak
tadi melihatku duduk di depan komputer. Tapi, dia
kelihatan lebih tenang, dan somehow lebih lucu.
“Umm… Aku sebenarnya jatuh dari pohon 2
minggu lalu,” balasku
“Jatuh dari pohon? Wow, itu adalah hal tersedih
yang kudengar” jawabnya dengan nada kasar dan sarkas.
“Hmm… Tak ada yang menandatangani gipsmu?
Sini, biar aku tanda tangan,” lanjutnya dengan nada yang
lebih halus dari sebelumnya
Aku menjawab bahwa dia tidak usah
menandatanganin balutan gips ini, tapi ia agak memaksa.
Ia menanyakan apakah aku punya sharpie untuk ia tanda
tangan. Ya, mau tak mau, kuberikan ia sharpie milikku
dan membiarkannya menarik tanganku dan menulis di
gipsku.
Ia tidak benar – benar menandatangani gips ku, ia
hanya menorehkan namanya dengan tinta hitam sharpie di
gips putihku. I guess, setidaknya ada yang mau menulis
namanya di gipsku. Anehnya, setelah mengembalikan

290
sharpie-ku, ia berkata bahwa sekarang kita dapat berpura –
pura kalau kita adalah teman. Memang aneh, tapi tak
kuhiraukan dan aku segera pergi menuju pintu keluar.
Belum saja melangkahkan kakiku, Allyster
memanggil namaku. Ia ternyata menemukan suratku di
printer yang baru saja aku print. Ia menanyakan apakah itu
milikku apa bukan karena ada namaku tertera pada kertas
tersebut.
“Oh… tidak, tidak, itu hanya tugas bodoh yang
aku buat, itu tugas aneh,” jawabku.
“Karena ada Alwyn? Adikku?” balas dia.
“Kau menulis tentang Alwyn karena kau tau aku
akan melihatnya? Ya, kau tahu aku ada di lab, lalu kau
print surat ini, sehingga aku bisa menemukannya,” lanjut
dirinya dengan nada geram.
“Ti-ti-tidak, buat apa a-a-aku menulis surat
tentang adikmu,” jawabku
“Kamu menulis ini tentang adikku agar aku panik
dan marah sehingga kamu bisa bilang ke semua orang
kalau aku gila kan?! Benarkan?” bentaknya dengan kasar.
“fuck you,”
Mukanya memerah dan ia pergi dengan geram.
Kukira dia akan meninjuku atau gimana, tapi ia malah
pergi dengan marah dan membawa kertasku. Aku berusaha
mengejarnya ke luar ruangan dan memohon untuk
mengembalikan kertasku, tapi ia tidak mendengarnya dan
pergi menuruni tangga.

291
Aku sebenarnya sunggu tak peduli ia membawa
suratku karena aku masih punya datanya. Namun ia tidak
pernah masuk ke sekolah 3 hari berturut – turut sejak ia
mengambil suratku. Aku cemas jika ia akan memberi tahu
suratku ke semua orang. Aku juga tak tahu harus cerita ke
siapa kecuali Vlad. Ia mendengarkan curahan ceritaku
lewat telepon, tapi tampaknya, ia tak begitu peduli dengan
masalah ini. Ia bahkan menyuruhku untuk menjalankan
sekolah seperti biasanya karena itu bukanlah hal yang
besar.
Keesokan harinya, aku pergi sekolah seperti biasa,
seperti yang disarankan oleh Vlad. Ternyata ia benar, tidak
terjadi apa – apa. Aku pergi ke kelas Mister Archie seperti
seharusnya. Bel pelajaran berbunyi dan aku belajar seperti
biasanya. Semua berjalan dengan tenang sampai tiba – tiba
public announcement system menyala dan keluar suara
kepala sekolah yang menyuruhku untuk bertemu
dengannya di ruangannya segera.
Shit. Itulah yang muncul di pikiranku. Mengapa
kepala sekolah memanggil seorang murid yang tidak
penting? Apakah ini berkaitan dengan Allyster? Aku takut
sampai merinding dan bercucuran keringat dingin. Tiap
langkah mendekati ruangan kepala sekolah, semakin cepat
detak jantungku. Aku benar – benar mati rasa dan hampir
mengalami panic attack sesampai di depan ruangannya.
Saat aku memasuki ruangan tersebut, aku tidak
melihat Miss Taylor sama sekali melainkan terdapat dua
orang yang duduk di depan meja kepala sekolah. Dua
orang tersebut bukanlah seorang guru karena aku

292
mengenal guru – guru di sekolah. Dari wajahnya, dua
orang tersebut tampak murung dan sedih. Di sebelah kiri
meja Miss Taylor ada pria paruh baya mengenakan
kacamata kecil, rambutnya sudah memutih, tangan dan
kakinya gemetar. Di sebelahnya, terdapat seorang wanita
yang tidak terlalu tua, rambutnya pirang tapi kusut,
sepertinya istri dari pria paruh baya tadi. Ia memegang tisu
di tangannya karena matanya berlinang air mata.
“Umm… Morning. Permisi, maaf mengganggu,
Miss Taylor tadi memanggilku untuk menemuinya di
ruang kepala sekolah,” sapaku kepada dua orang tersebut
“Miss Taylor pergi ke luar ruangan sebentar
karena kami ingin bertemu denganmu,” ucap pria paruh
baya tadi sambil menyilakan aku untuk duduk.
Aku duduk di bangku kepala sekolah berhadapan
dengan mereka. Si wanita yang tadi menangis, menyeka
matanya dengan tisu dan menaruh tisu tersebut di tasnya.
Ia juga tampak mengeluarkan secarik kertas dari tasnya
dan membacanya.
“Kau Derek kan? Kami orang tua Allyster.
Sayang, kenapa kau tidak langsung saja memulai
pembicaraan?” Ujarnya sambil menepuk punggung
istrinya.
Sang istri menyerahkan kertas yang dipegangnya
dan menyerahkannya kepadaku. Kakiku gemetaran karena
kertas tersebut merupakan kertas yang diambil Allyster.
Aku merasa cema karena aku rasa aku dalam masalah
besar.

293
Belum selesai membaca surat yang diambil
Allyster, ibu Allyster berkata bahwa Allyster ingin
menyerahkan surat ini kepadaku. Ayah Allyster juga
menimpalkan bahwa mereka tidak pernah mendengarku
sebelumnya, mereka mengira bahwa aku adalah teman
dekat Allyster. Mereka sebelumnya mengira bahwa
Allyster tidak punya teman, tapi mereka pikir dugaan
mereka salah karena mereka mengira aku teman dekat
Allyster.
Aku sempat terperanga mendengar mereka.
Mereka salah paham bahwa itu adalah surat punyaku. Aku
bertanya kepada mereka apakah Allyster memberikan
surat ini kepada mereka. Tapi, mereka bilang mereka
menemukannya dan itu adalah kata – kata terakhir
Allyster. Aku sungguh terkejut mendengar perkataan
mereka. Kata – kata terakhir? Apakah Allyster? Tidak
mungkin pikirku.
Mereka menjelaskan bahwa 2 hari yang lalu,
Allyster mengambil nyawanya sendiri. Ia menggantung
dirinya sendiri dan mereka menemuka surat tersebut di
tasnya. Ketika mereka menjelaskan hal tersebut, ibu
Allyster kembali menangis. Aku berusaha menjelaskan
bahwa itu bukan surat yang ditulis Allyster tapi mereka
pikir aku juga masih shock sehingga menolak tersebut.
Aku menyerahkan kembali surat tersebut kepada
ibu Allyster dengan tangan kananku dan berusaha pergi,
tapi ia menahan tanganku dan melihat gipsku. Ia melihat
nama Allyster tertulis jelas di gipsku. Mereka tambah
percaya kalau aku temannya. Namun, aku keluar tanpa

294
pamit karena aku panik dan cemas. Aku ke kamar mandi
dan mengalami panic attack karena hal tadi. Aku minta
izin pulang cepat kepada piket, untungnya piket
mengizinkan.
Di rumah, aku masih merasa panic dan bingung.
Aku bingung bagaimana menjelaskannya ke orang tua
Allyster. Ketika waktu menunjukkan pukul 16.00, aku
menelpon Vlad. Untuk saat ini, Vlad adalah satu – satunya
orang yang dapat kupercaya dan dapat kuceritakan. Aku
jelaskan semuanya ke Vlad dan ia menyarankanku untuk
pergi mengunjungi rumah Allyster dan menjelaskannya
kepada orang tua Allyster.
Saran tersebut kujalankan. Kurang lebih 3 jam
setelah aku menelepon Vlad, aku pergi ke rumah Allyster.
Sesampai di sana, mamah Allyster membukakanku pintu
dan mengundangku untuk makan malam. Aku terima
undangan mereka lagipula mamah hari ini pulang malam
seperti biasanya dan hanya meninggalkan uang untuk
order pizza. Toh, tidak ada ruginya mendapatkan makanan
gratis.
Rumah Allyster sangatlah besar, desain
interiornya sangatlah modern namun minimalis. Ruang
tamunya bagaikan ruang tunggu hotel, mewah dan elegan.
Memasuki lebih dalam, terdapat ruang keluarga yang cozy
dan nyaman. Terdapat sofa besar dan TV 45 inci lengkap
beserta audio set. Mamah Allyster menyuruhku menunggu
di ruang keluarga seraya ia menyiapkan makan malam.
Dari kejauhan, aku melihat Alwyn membantu mamahnya
menghidangkan makan malam di meja makan.

295
30 menit menunggu sambil berbincang dengan
ayah Allyster, mamah Allyster mempersilakanku untuk
makan. Ia telah menghidangkan banyak makanan; Cobb
salads, Tater tots, Chicken roasted pies, dan beberapa
buah bluberi. Mejanya juga sangat besar, terdapat delapan
bangku di meja makan tersebut, dua bangku di setiap sisi,
tapi hanya empat bangku saja yang digunakan. Orang tua
Allyster duduk di hadapanku dan aku duduk di sebelah
Alwyn yang mana membuat suasana canggung.
Saat makan malam, tak terjadi masalah, namun
mamah Allyster mulai menanyakan hal – hal tentang
Allyster. Tentu itu membuatku cemas karena aku dan
Allyster bukanlah teman dan tujuan awalku ke rumah
mereka adalah untuk menjelaskannya. Namun, orang tua
Allyster sangat ingin tahu tentang apa saja yang Allyster
pernah ceritakan kepadaku dan apa yang kita lakukan
sampai di mana kumerasa mereka menanyakan banyak
pertanyaan. Kakiku mulai gemetaran dan aku mulai panik
seperti kemarin. Dengan panik dan tanpa pikir panjang aku
berkata kepada mereka bahwa aku dan Allyster sangat
dekat dan sering main bersama. Setelah mendengar
jawabanku tadi, mereka malah tambah bertanya dan ingin
tahu. Dengan semua kepanikan yang ada, aku malah
bercerita bahwa kalau aku dan Allyster sering
mengunjungi hutan kota dan taman. Aku juga sempat
bilang kalau aku dan Allyster sering bertukar pesan
melalui e-mail. Hal bodoh, aku tahu, tapi kupikir mereka
akan berhenti menanyakanku karena sudah kuberi
jawaban.

296
Selesai makan malam, kami berbincang di ruang
keluarga dan menonton film. Kali ini, mereka tidak
menanyakan tentang Allyster melainkan menanyakan
tentang diriku seperti menanyakan hariku, menanyakan
bagaimana sekolahku, apa cita – citaku, tamat sekolah,
mau lanjut kuliah di mana, dan hal lain yang jarang orang
menanyaiku.

Usai berbincang, aku pamit balik karena angka


pada layar hp-ku telah menunjukkan pukul 21.15. Mereka
menawarkanku untuk mengantarkanku pulang, sudah
kutolak tapi mereka memaksa. Akhirnya aku diantar oleh
orang tua Allyster dengan mobil. Sesampainya di
rumahku, mereka berkata untuk memanggil mereka
dengan panggilan nama saja, Mister dan Miss Howard.
Mereka juga memberikanku uang dan beberapa makanan
karena mereka tahu, mamahku belum pulang. Tentu saja
aku tolak, tapi mereka memaksa. Mau diapakan lagi toh
rezeki tidak boleh ditolak. Namun, sebelum aku menutup
pintu mobil mereka, mereka mengundangku untuk makan
malam lagi lusa dan membawa email – email antara aku
dengan Allyster. Shit.
Awalnya, kukira permasalahan ini telah selesai.
Namun, mereka masih ingin tahu lebih dalam. Seharusnya
dari awal aku tidak panik dan menceritakan sebenarnya.
Oke, oke, diriku harus tenang. Ambil nafas dan

297
hembuskan. Aku memutuskan untuk menelepon Vlad saat
ini juga karena sejak Allyster mengambil suratku, Vlad
bagaikan penasihat pribadiku. Vlad berkata aku sudah
keterlaluan dan berbohong terlalu jauh, bahkan dia berkata
aku sudah fucked up dan mencoba cara lain. Ia
menawarkan bantuannya untuk memberikan solusi lain ini
dengan syarat mengerjakan pekerjaan rumahnya. Tipikal
Vlad, sangat malas mengerjakan sesuatu sampai mau
membiarkan seseorang yang bodoh seperti diriku
mengerjakan pr-nya. Ia berkata, ia akan menemuiku besok
pagi di rumahku. Kebetulan juga, mamah besok harus
berangkat lebih pagi karena besok ada acara seminar
kesehatan di rumah sakit.
Pukul sembilan pagi esok hari, aku baru bangun.
Semalam aku benar – benar tidak dapat tidur karena
memikirkan masalah ini. Apakah aku akan dikeluarkan
dari sekolah jika mereka tahu aku dan Allyster bukanlah
teman? Malam kemarin juga, aku melihat sebuah pos viral
di twitter dan facebook. Tampaknya pos tersebut berasal
dari salah satu teman seangkatanku dan juga Allyster. Pos
tersebut dibuat oleh Kavinsky Romanov, class of 2020.
Ya, setidaknya, itulah yang tertulis dalam akhir thread pos
yang dibuatnya. Aku tidak begitu kenal dengannya, tapi
dia sudah kenal Allyster sejak lama, jauh lebih lama
dariku. Dari pos yang ia buat, kelihatannya ia sudah kenal
dengan Allyster sejak tahun freshman, dan ia juga pernah
sekelas dalam berbagai macam kelas selama 3 tahun
belakangan ini, termasuk kelasnya Miss Cherley, lebih
tepatnya 3 tahun menjadi rekan labroatorium di kelas
kimia Miss Cherley. Tidak ada hal penting lain dalam

298
untaian – untaian pos tersebut, kecuali sepertinya dia
adalah satu – satunya orang yang peduli dan menganggap
kasus bunuh diri Allyster itu penting. Jangan beranggapan
salah, aku juga peduli dengan kasus bunuh diri Allyster,
tapi dia yang paling peduli dari ribuan warga sekolah yang
ada.
Karena merasa cukup me-scroll lini masa sosial
mediaku yang dipenuhi oleh berita kematian Allyster, aku
merasa bosan. Aku putuskan untuk bebenah diri dan
merapikan kamar karena Vlad segera datang. Tiga puluh
menit berlalu, aku turun ke ruang makan untuk sarapan.
Mamah tampaknya telah membuatkanku sandwich sejak
jam 8 karena sandwich mamah yang biasanya enak dan
hangat, kini terasa aneh dan dingin. Mamah juga
meninggalkan file berisi kertas kertas. Di atas tumpukan
tersebut, terdapat sepucuk memo dari mamah. Mamah
pulang telat seperti biasanya dan tumpukan file tadi
berisikan soal – soal latihan SAT/ACT dan brosur
rekomendasi universitas dan kampus—setidaknya, itulah
yang mamah tulis di memo tadi. Ya, aku tahu, ini tahun
terakhirku sebagai senior di sekolah menegah atas dan
seharusnya aku sudah menentukan pilihan universitasku
atau setidaknya mempersiapkan diri untuk ujian masuk ke
perguruan tinggi, tapi aku masih belum mengenal diriku,
jadi belum dapat kuputuskan apa minat dan bakatku.
Sepuluh menit aku membaca brosur – brosur yang
diberikan mamah, bel rumahku berbunyi. Dari suara
nyarignya sudah dapat kutebak kalau itu Vlad. Ia
membawa tas laptopnya yang berwana abu – abu dan tas
punggung yang terlihat penuh. Aku menyuruhnya

299
menunggu di kamarku sambil aku di dapur menyiapkan
kudapan untuk disantap. Aku telah menyiapkan pineapple
tart untuk kami makan, tapi ternyata Vlad sudah
membawa snack nya sendiri yang ia simpan di tasnya di
kamarku. Dengan mulutnya yang masih penuh nachos, ia
menjelaskan bahwa ia dapat membantuku menyelesaikan
masalahku dengan keluarga Howard dengan memalsukan
email – email yang aku ceritakan kepadanya. Sejujurnya,
aku tak terkejut. Maksudku, Vlad adalah ketua klub
komputer dan telah memenangkan lomba programming
skala nasional. Meskipun tubuhnya gemuk, tapi
kemampuannya dengan teknologi sangatlah gesit. Aku
sangat beruntung mempunyai teman seperti Vlad—atau
seperti kata Vlad, ‘mengenalnya’.
Kurang lebih 2 jam telah berlalu, Vlad sudah
selesai membuatkanku dan mencetak belasan ‘email-ku’
dengan Allyster. Semua isi email telah sejalan dengan
ceritaku mengenai aku dan Allyster yang sering
menugunjungi hutan kota, taman, A-la-mode, dan berbagai
karangan indah antara aku dengan Allyster. Aku berterima
kasih kepada Vlad dan kukira dia akan lupa dengan
bayarannya. Namun, ia masih ingat betul bayarannya dan
mengeluarkan pr matematika AP dan bahasa Spanyolnya.
Esoknya, hari minggu sore hari, aku pergi ke
rumah keluarga Howard menepati janjiku. Garasinya
terbuka lebar, tak ada mobil di garasi tersebut. Namun aku
melihat Miss Howard di depan pintu. Ia menyapaku dan
menyambutku. Mukanya tampak senang sekali melihatku.
Ia memelukku dan memanduku ke ruang keluarga. Tanpa
berbasa – basi, aku langsung memberikannya cetakan

300
email-email palsuku antara Allyster dengan aku. Aku tidak
menyerahkan semua email yang sudah Vlad buat karena
meurutnya lebih baik menyerahkannya secara berkala.
Jadi, aku hanya menyerahkan 3 buah email keapda Miss
Howard. Ia mengambilnya dan membacanya secara
seksama. Ia juga menanyakan apakah aku masih punya
lebih banyak email lagi. Tentu saja, aku jawab iya.
Di saat yang bersamaan, terdengar suara mobil
seperti memasuki garasi. Mister Howard mungkin baru
saja pulang. Tak lama setelah bunyi bising mobil berhenti,
Mister Howard dan Alwyn memasuki ruang keluargai
lewat pintu garasi. Kukira Alwyn sedang di kamarnya
mendengarkan musik jazz atau semacamnya, ternyata
tidak. Tapi, kalau diperhatikan lagi, muka Alwyn seperti
sedang kesal dan marah melihatku di rumahnya.
“Oh, kau lagi?” Tanya Alwyn kepadaku.
“Yang sopan dikit Alwyn, Derek di sini karena
mamah memintanya dating memberikan email – email
kakakmu. Mamah tidak ingat kapan terakhir kalinya dia
tertawa dan bergembira seperti yang ditulis kakakmu di
email ini. Setidaknya, punyalah rasa sedih terhadap
kematian kakakmu!” Omel Miss Howard dengan tegas.
“Oh rasa sedih ya?! Kakak? Maksudmu, orang
yang tiba – tiba marah dan menggedor pintu kamarku
dengan kencang dan mengancam akan membunuhku? Aku
sudah berpura – pura untuk sedih dan berduka terhadap
monster tersebut di hadapan semua orang. Tiba – tiba
banyak orang mau menjadi temanku bahkan di tempat les
pianoku tadi. Banyak orang mengirimkan pesan kepadaku

301
di sosial media. Seketika aku menjadi pusat perhatian
karena aku adalah adik orang mati, kan?! Setidaknya,
kalau Allyster punya orang tua yang memang benar –
benar peduli terhadap anaknya, mungkin kematiannya
dapat diundur setidaknya beberapa bulan,” Balas Alwyn
dengan rasa marah yang dahsyat.
Ia benar – benar marah. Tapi, bukan marah
‘marah’, melainkan marah sedih. Kuperhatikan, air
matanya mulai berlinang dan matanya berkaca – kaca.
Mister Howard pun menyuruhnya naik ke kamarnya. Tapi,
sesungguhnya, tanpa disuruh ke kamarpun, Alwyn sudah
pergi duluan dan tidak mendengarkan orang tuanya. Miss
Howardpun hanya dapat terdiam dan berkata semua orang
menangani duka dengan cara yang berbeda dan ia
meletakkan email yang kuberikan tadi di atas meja dan
menyuruh Alwyn membacanya kalau ia sudah siap.
Aku mencoba untuk pamit untuk menghindari
situasi keluarga ini. Miss Howard menyuruhku untuk
tinggal karena sebentar lagi ia akan memasak untuk makan
malam dan mengajakku makan malam. Tapi, kali ini aku
tolak sungguh – sungguh. Miss Howard mengizinkanku
dengan syarat besok aku harus ikut makan malam dengan
mereka. Aku menyetujuinya dan pamit mengundurkan
diri.
Dua puluh jam berlalu, istirahat kedua, aku duduk
dengan tenang di kantin, memakan makan siang. Tiba –
tiba datang seseorang dari ujung kantin membagikan
selembaran brosur. Aku tak tahu apa isi brosur tersebut.
Lagipula kupikir aku tidak akan kebagian karena aku

302
duduk di meja paling ujung. Namun, orang tersebut
mendekatiku dan membagikan brosur tadi dan duduk di
hadapanku. Brosur yang ia bagikan ternyata berisikan
tentang pencegahan bunuh diri dan berkaitan dengan
kesehatan mental, kurasa berkaitan dengan kematian
Allyster.
Ia memperkenalkan dirinya, ternyata ia adalah
Kavinsky yang posnya sempat viral beberapa hari lalu.
Rambutnya hitam berantakan, tapi cocok dengan kulit
kaukasiannya. Sweatshirt yang ia gunakan berwarna biru
dengan tulisan “You matter”. Ia menjelaskan bahwa ia
adalah ketua klub kesehatan mental dan ia ingin bertemu
denganku karena ia tau kalau aku adalah ‘teman dekatnya’
Allyster. Ia juga menjelaskan kalau orang – orang
membicarakanku perihal kematian Allyster. Dengan
singkat, ia juga menawarkanku untuk bergabung klubnya
dan membantunya kampanya keehatan mental karena ia
rasa aku adalah orang yang cocok. Aku tidak terima
tawarannya sepenuhnya. Aku bersedia membantunya, tapi
tidak bersedia bergabung dengan klubnya. Ia
mengucapkan berterima kasih lalu pergi dan
memberikanku pin yang mirip dengan sweatshirt yang ia
kenakan.
Sepulang sekolah, aku langsung bergegas ke
rumah karena hari ini aku merasa lelah berkat kelasnya
Mister Jay dan kelas olahraga. Di rumah, tumben sekali,
mamah sudah ada di rumah. Ia menjelaskan kalau ternyata
shiftnya hari ini kelar lebih awal. Mamah juga bilang kalau
hari ini mamah bisa mengajakku untuk makan di Deli
Indie setelah ia selesai kelas sorenya. Aku menolaknya

303
karena aku ingat, nanti malam aku ada janji dengan Miss
Howard untuk makan malam di sana. Lagipula, makanan
Miss Howard lebih lezat dari pada Deli Indie. Namun, aku
beralasan kalau nanti malam aku ada kerja kelompok dan
tugas proyek. Aku tahu bohong kepada mamah itu salah,
tapi lebih baik mamah tidak tahu masalahku ini. Lagipula,
mamah juga tidak sadar kalau aku telah memberhentikan
sesi konselingku dengan Kak Ian untuk sementara.
Beberapa jam kemudian setelah mamah berangkat.
Aku pergi ke rumah keluarga Howard seperti biasanya.
Seperti biasa, Miss Howard menyambutku dengan hangat
dan menyuruhku menunggu karena hidangan makan
malam belum sempat selesai. Aku juga menyerahkannya 2
email baru kepadanya. Kali ini aku juga diizinkan untuk ke
lantai atas rumahnya dan melihat lihat bahkan memasuki
kamar Allyster.
Kamar Allyster sangat rapih, namun agak
berantakan, ada beberapa box dan kardus berserakan.
Sepertinya orang tua Allyster belum selesai merapikan
kamarnya—tidak, lebih tepatnya, mereka belum siap
merapikan kamarnya. Kamarnya bercatkan putih dengan
motif motif abstrak di dinding. Kamarnya lebih besar dari
kamarku. Di sana terdapat kamar tidur dan di sebelahnya
terdapat meja belajar. Aku mencoba duduk di kasurnya.
Kasurnya empuk, lebih bagus dari kasurku. Aku merasa
kalau aku bakal senang juga kalau menjadi Allyster.
Tiba – tiba terdengar bunyi pintu terbuka. Alwyn
membuka pintu kamar tersebut dan memasuki kamar
Allyster. Ia tampak bingung melihatku di kamar kakaknya.

304
“Apa yang kau lakukan di sini? Di kamar
kakakku? Dan dua hari berturut – turut kau ke rumahku?”
tanya Alwyn dengan nada jutek sambil duduk di sisi lain
kasur Allyster.
“Umm… Maaf, tapi mamahku memintaku untuk
datang makan malam,” balasku.
“Anyway¸ aku minta maaf soal kemarin. Kau jadi
harus melihat masalah keluargaku deh. Omong – omong
kemana orang tuamu? Kenapa mereka mengizinkanmu
makan di sini?” tanyanya lagi dan dengan nada jutek yang
sama.
“Eh maaf, orang tuaku tidak tau kalau aku ke sini.
Mamahku ada kelas sore, ia berusaha mendapatkan gelar
sarjananya,” jawabku jelas.
“Ayahmu?” tanyanya singkat,
“Ayahku pergi meninggalkanku dan ibuku.
Mereka bercerai ketika aku berumur 6 tahun. Aku rasa ia
juga tidak mengenalku,” jelasku
“Sorry to hear that,” jawabnya singkat.
“Ma…Maaf,” balasku grogi.
“Kau benar – benar ya. Selalu minta maaf,”
ujarnya sambil tertawa kecil.
Wajahnya mulai ceria dan ia mulai tersenyum
lebar. Ia juga mendekatkan duduknya kepadaku.
“Omong – omong, soal surat kakakku, apa
maksudnya ia menuliskan ‘Alwyn adalah harapanku, tapi

305
aku tak mengenalnya bagai orang asing’?” tanyanya
serius.
Pertanyaannya membuatku cemas lagi karena
surat itu adalah suratku bukan surat Allyster. Aku
berusaha untuk menenangkan diri dan menjawab
pertanyaannya. Aku menjelaskan bahwa Allyster
sebenarnya sangat sayang dan peduli kepadanya. Aku juga
menjelaskan hal – hal kecil yang kuperhatikan dan berkata
bahwa aku tahu itu dari Allyster. Kurang lebih, aku
menceritakan betapa kagumnya aku kepadanya melalui
perkataan Allyster yang kubuat.
Ia terdiam mendengar penjelasanku tadi dan
sepertinya ia ingin menangis. Aku rasa ini adalah momen
yang tepat dan aku mengakui dan berkata kalau aku
sebenarnya suka pada Alwyn, tapi belum selesai aku
berkata ia meninggalkanku dan kabur.
“Apa – apaan kau Derek?!” Teriak Vlad kencang
melalui panggilan suara.
Ya, aku menceritakan kejadian tadi kepada Vlad
karena memang Vlad adalah satu – satunya orang yang
kupunya dan mau mendengarkanku. Ia juga adalah
pemberi saran yang handal, oleh karena itu aku cerita
kepadanya.
“Seriously dude? Di kamar kakaknya yang sudah
meninggal? Dan saat sedang membicarakan kakaknya?
Kau gila, seharusnya kau bilang di sekolah atau di tempat
yang tempat,” ujarnya lanjut di telepon

306
“Anyway, tenang saja, semua ini akan berakhir
dalam hitungan minggu bahkan hari. Semua orang
sebentar lagi akan melupakan Allyster. Allyster akan
menjadi angina lalu saja. Karena, memang begitu
kenyataaanya. Kita hidup di masyarakat yang tidak peduli
pada sesuatu yang tidak lagi viral. Tak ada yang benar –
benar peduli dengan kesehatan mental maupun bunuh diri.
Setidaknya, kamu manfaatkan momen ini seperti aku
memanfaatkan momen ini untuk menjual pin, topi, baju,
dan sweatshirt untuk memperingati Allyster. I mean, kau
juga memafaatkan momen ini kan? Mendekati keluarga
Howard, makan malam di sana, mendekati Alwyn, dan hal
lain yang mungkin tak kuketahui. Tapi, tenang saja, aku
masih akan membantumu membuat email – email palsu
tersebut dengan balasan engkau mengerjakan pr-ku,”
lanjutnya.
Benar saja, apa yang Vlad katakan. Sepuluh hari
kemudian, Allyster bagaikan menjadi asap yang tak tau
hilang kemana. Semua orang berhenti berkoar – koar
tentang kesehatan mental dan bunuh diri di sosial media
dan dunia nyata. Lini masa sosial media sudah balik
seperti biasanya. Orang – orang sudah tidak memakai
barang – barang yang mengingatkan akan Allyster yang
ternyata Vlad adalah dalan dari bisnis licik ini. Mungkin
itu tidak sepenuhnya benar karena masih ada orang yang
memakan sweatshirt dan pin ‘You Matter’, tidak lagi kalau
bukan Kavinsky. Ia bertemu denganku dan menjelaskan
keadaan kalau Allyster sekarang sudah dilupakan dan ia
ingin aku membantunya dengan memberikan pidato
singkat di depan sekolah membicarakan tentang Allyster

307
sebagai rangka acara bulanan klub kesehatan mental. Ia
juga inginku mengajak Alwyn dalam acara tersebut. Selain
itu, ia juga ingin meminta bantuan Vlad untuk
membuatkannya website untuk menggalang dana. Ia ingin
membuat taman atas nama Allyster karena ia percaya
email – email yang kuberikan.
Aku memberi tahunya kalau akan kupikirkan
nanti. Aku masih bingung apakah aku ingin melanjutkan
kebohongan ini atau tidak. Menurutku, ini adalah
kesempatan yang bagus untuk menghilang dan tidak perlu
menceritakan seujujurnya kepada keluarga Howard karena
semua orang sudah lupa dengan Allyster.
Sebelum dia pergi meninggalkanku, dia berpesan
padaku, “Jika kau tidak berbuat sesuatu secepat mungkin,
aku bisa memastikan takkan ada yang mengingat Allyster.
Apakah itu yang kau mau?”
Di rumah, aku masih berpikir soal tawaran dan
pesan Kavinsky tadi. Pesan tersebut sempat membuatku
merinding. Aku duduk di kasur dengan mengenakan kaos
kaki abu faavoritku. Di depanku, ada laptop HP milikku.
Aku sedang membuka website yang Kavinsky berikan
kepadaku. Tak diragukan lagi dari seorang Vlad. Sebuah
website dapat dibuat hanya dalam hitungan jam saja.
Andai ia dapat memberiku sara atas hal ini. Atau mungkin,
Allyster sendiri yang memberikanku saran. Karena
sejujurnya, aku juga rindu Allyster.
“Ajaklah Alwyn dan mintalah saran padanya!”

308
Terlintas suara tersebut di dalam benakku. Suara
itu begitu jelas dan nyata, seolah – olah suara tersebut
berasal dari ruangan ini. Namun, siapa yang mungkin
dapat mengatakan hal tersebut. Mamah sedang ada kelas
malam dan aku sendirian di rumah. Aku juga bukan tipikal
orang yang percaya dengan kisah mistis seperti hantu dan
semacamnya. Kuperhatikan seluruh sudut ruanganku
dengan seksama, tapi tak dapat kutemukan darimana
sumber suara tersebut berasal.
“Aku ada di sini, kau bodoh!”
Betapa terkejutnya aku menemukan sumber suara
tersebut dari samping tempat tidurku. Suara familiar
tersebut ternyata adalah Allyster. Jika boleh jujur, aku
sesungguhnya tak begitu terkejut, hanya sedikit saja. Ini
bukan pertama kalinya, aku memanifestasikan seseorang
dalam pikiranku. Aku tidak tahu bagaimana ini bisa
terjadi. Namun, menurut penjelasan Kak Ian, halusinasi
yang aku alami merupakan efek lanjutan dari penyakitku.
Menurutku, ini bukan masalah yang besar karena hal ini
tidak sering terjadi dan tidak menganggu hidupku sama
sekali.
Terdengar gila, aku tahu, tapi aku mencoba
berbicara dan meminta saran kepada ‘Allyster’. Aku
menjelaskan bahwa sepertinya Alwyn membenciku karena
aku menyatakan perasaanku di saat yang tidak tepat.
“Kau bercerita dengan orang aneh itu, Vlad?
Percayalah, aku lebih peduli terhadapmu daripada Vlad,”
balasnya dingin.

309
“Siapa orang yang bisa kuceritakan selain Vlad,
hah?” Tanyaku dengan nada ketus.
“Well, kau bisa berbicara kepadaku. Unless, kau
punya pilihan lain, yang mana kita berdua tahu, kau tidak
punya pilihan lagi,” ujarnya.
“Dengarkan baik – baik. Alwyn, orang tuaku,
mereka semua membutuhkanmu. Kau adalah satu –
satunya orang yang dapat menolong mereka dan membuat
semua orang tidak lupa dengan ku. Oh tunggu, mereka
sudah lupa denganku setelah dua minggu. Setelah mereka
semua melupakanku, pikirkan apa yang akan terjadi
padamu! Karena sesungguhnya, tidak ada yang benar –
benar peduli dengan orang – orang seperti kita, Derek.
Allyster Howard, murid bandel dan sering tidak masuk
sekolah. Atau mungkin, Derek Ivinki, murid yang bodoh
dan sama sekali tak ada yang mengenalnya,” lanjutnya
menasihatiku
“Derek, sesungguhnya tak ada satupun orang yang
layak dilupakan dan menghilang begitu saja. Tak ada
orang yang pantas datang ke sekolah lalu pulang tanpa ada
satupun orang yang menyadari mereka pernah ada.
Bahkan, orang yang jarang aktif di sekolah, orang – orang
bandel dan bodoh, orang – orang yang merasa kesepian,
maupun orang – orang yang pintar dan punya banyak
teman berhak diakui. Meskipun ada yang tidak melakukan
apa – apa di sekolah, bukan berarti mereka pantas
dilupakan saja. Mereka semua penting. You Matter. We
Matter. Ingat itu, Derek Ivinki.”

310
Bayang – bayang Allyster menghilang begitu saja
setela ia mengucapkan hal tersebut. Mendengar kata – kata
Allyster tadi membuatku tersentuh. Apa yang ia katakan
ada benarnya juga. Tak ada yang berhak dilupakan,
termasuk Allyster. Berkat Allyster, aku menyetujui
rencana Kavinsky untuk memberi pidato minggu depan.
Aku sudah memberi tahu Kavinsky kalau aku
bersedia membantunya. Aku juga sudah mengajak Alwyn
dan ia setuju untuk ikut datang, meskipun suasana agak
canggung saat aku mengajaknya. Tak lupa juga, aku dan
Kavinsky mengajak dan meminta izin orang tua Allyster
untuk memberikan pidato tentang Allyster. Mereka sangat
gembira mendengar berita tersebut. Mereka merasa
Allyster benar – benar penting bagi teman – temannya.
Apakah aku gugup? Tentu saja sangat gugup.
Berbicara di depan ratusan bahkan mungkin ribuan murid,
guru, dan juga wali murid bukanlah hal yang gampang.
Kavinsky sudah berkoordinasi dengan kepala sekolah dan
mengadakan acara tersebut malam sabtu. Aku sudah
mempersiapkan segalanya.
Hari H telah tiba. Aku, Kavinsky, Vlad, dan
keluarga Howard sudah siap di belakang panggung. Lima
belas menit sebelum aku memulai berpidato, bangku –
bangku auditorium sudah dipenuhi oleh banyak orang.

“… Apakah kalian pernah merasa seperti tak ada


orang di sekitar kalian?

311
Apakah kalian pernah merasa seperti kalian
dilupakan di tengah tengah entah berantah?
Apakah kalian semua pernah merasa kalian bisa
hilang begitu saja?
Bagai jatuh dan tak ada yang mendengar?

Setiap kali kumelihat ke atas, Allyster ada di sana.


Hal tersebut adalah hadiah yang diberikan
Allyster kepadaku.
Dia menunjukkan bahwa aku penting, kita semua
penting.
Itulah yang Allyster persembahkan kepada kita
semua.
Dan aku ingin kita membalas itu kepada Allyster.

Well, biarkanlah rasa kesepian itu terhanyut


pergi.
Mungkin ada alasan untuk percaya kalau
semuanya itu tak apa – apa.
Karena saat kita merasa tak kuat untuk berdiri.
Kita dapat mengangkat tangan kita tinggi dan
meminta bantuan.

312
Seseorang pasti akan datang berlari.
Dan aku tahu, ia pasti akan membawamu pulang.
Bahkan saat kegelapan melanda dirimu.
Saat kau membutuhkan seseorang.
Dan saat kau jatuh tak berdaya di tengah.
Kau kan ditemukan.

Biarkanlah sinar matahari memancar.


Karena ku tahu kau akan bangun dan bangkit
lagi.
Kau akan melihat dan memperhatikan sekeliling.
Kau akan menyadari kalau kau akan ditemukan.”

Kurang lebih, itulah yang kusampaikan kepada


semua orang. Pidatoku tadi tidak sepenuhnya berjalan
dengan sempurna. Aku melakukan banyak kesalahan,
seperti di awal pidato, aku malah mengucapkan selamat
siang bukannya selamat malam, atau juga seperti di tengah
jalan, aku menjatuhkan kartu pengingatku dan akhirnya
kuputuskan untuk improvisasi. Secara keseluruhan, itu
bukanlah pidato singkat yang buruk. Namun, aku benar –
benar takut saat membacakannya. Aku juga merasa kalau
ini akan jadi angin lalu, semua orang akan melupakannya
beberapa hari lagi

313
Setelah kejadian itu, tak ada hal yang berubah.
Aku seperti biasa makan malam di keluarga Howard. Vlad
masih membantuku dengan membuat email palsu. Aku
juga masih Kavinsky. Namun, saat kupikir Allyster telah
menjadi angin lalu lagi, Kavinsky meneleponku. Aku tak
dapat mempercayai apa yang Kavinsky katakana padaku
melalui telepon itu. Ia berkata, pidatoku waktu itu ada
yang merekam dan sempat viral di sosial media. Video itu
telah ditontoh lima puluh ribu kali di youtube dan telah
dibagikan enam belas ribu kali di berbagai sosial media.
Allyster tidak menjadi lagi masalah sekolahku, namun
juga sudah menjadi masalah nasional. Bahkan berbagai
media massa juga membuat berita tentang kematian
Allyster. Dan terlebih lagi, penggalangan dana yang
dilakukan Kavinsky telah mencapai enam puluh persen
dari total dana yang diperlukan. Aku masih tak percaya,
Kavisnky mengatakan seperti itu. Tentu saja, kubagikan
berita itu kepada Keluarga Howard dan mereka kelihatan
senang sekali.
Tapi, tampaknya, tidak semua orang bergembira
mendengar kabar tersebut. Ketika ku di rumah, mamah
melihatku dengan berbagai emosi. Aku lupa bahwa aku
belum memberi tahu mamah soal pidato tersebut.
“Derek Ivinki, kenapa kamu tidak memberi tahu
mamah kalau kau berpidato di sekolah? Bahkan kau tidak
mengundang mamah ke acara tersebut,” tanya mamah
dengan nada sedikit kesal.

314
“Aku piker mamah tidak peduli karena setauku hal
yang mamah pedulikan adalah pekerjaannya dan kelas
malamnya,” ketusku.
“Wow, Derek, kau benar – benar ya, mamah
melakukan ini semua demi kita, bahkan mamah hari ini
rela melewatkan kelas malam mamah hanya untuk
menanyakanmu hal ini. Lagipula waktu itu mamah
bertanya kepadamu apakah kamu mengenal Allyster atau
tidak dan kamu jawab tidak. ‘Aku dan Allyster dulu sering
pergi ke taman dan tanganku yang patah ini karena waktu
itu Allyster mengajakku memanjat pohon’, kamu bilang ke
mamah kalau kamu jatuh sendiri. Apakah semua pidatomu
itu bohong?” tanyanya marah.
“Iya, iya aku bohong… Aku bohong kalau aku
tidak mengenal Allyster.” Balasku singkat dengan marah.
“Jadi kau bohong soal kau jatuh di taman waktu
itu saat kau bekerja di sana?” tanyanya.
“Mamah pikir siapa yang menolongku saat ku
jatuh? Yang menungguku tiga jam di raung tunggu rumah
sakit? Allyster mah,” Tanyaku.
“Bukannya kau berkata itu bosmu?” tanya mamah
balik.
“Bukan, aku bohong, karena kupikir mamah
takkan peduli, seperti mamah waktu itu tidak mengangkat
teleponku berkali – kali saat aku di rumah sakit. Sudahlah,
aku ingin pergi ke rumah Vlad,” jawabku.

315
“Derek Jean Ivinki, aku adalah mamahmu. Mamah
bekerja keras demi kita dan kau seenaknya bekata kalau
mamah tidak peduli padamu. Berani – beraninya kamu,
anak tidak tahu diri!” bentaknya dengan marah.
Mamah terlihat sangat marah. Aku tidak mengerti
kenapa mamah bisa menyalahkanku begitu saja. Ya,
mungkin mamah melakukan ini demi kami berdua. Tapi,
ia tidak peduli bahkan mungkin tidak perhatian denganku.
Aku tentunya punya hak untuk marah kepada mamah.
Tapi, setelah mamah membentak, suasana di kamar
kecilku itu berubah menjadi sunyi. Tak ada yang berani
mengucapkan kata terlebih dulu.
“Mamah minta maaf, mamah tidak bermaksud
berkata seperti itu. Maukah kau pergi makan malam ke
Deli Indie bersama mamah sekarang?” tanya mamah
dengan nada jauh lebih halus dari sebelumnya.
Aku tidak menerima maupun menolak ajakan
mamah. Aku terdiam dan tak menjawabnya. Ia juga
terdiam dan suasana menjadi canggung. Ia mencoba duduk
di kasurku mungkin karena kelelahan. Namun, sebelum
duduk ia menemukan botol obat oranye yang kosong.
Botal obat itu dulunya untuk obat cemas dan depresiku.
Obat Xanax itu udah lama tak kukonsumsi karena aku
meraa lebih baik. Mamah menanyakan apakah aku ingin
obat yang baru namun kutolak. Aku jelaskan kepadanya
kalau aku sudah lebih baik, aku tidak perlu minum obat itu
lagi, dan aku juga tidak perlu konseling Kak Ian lagi. Ia
hanya terdiam di kasurku. Aku pergi meninggalkannya di
kamarku dan berkata ingin pergi ke rumah Vlad.

316
Untungnya, orang tua Vlad hari ini sedang pergi.
Jadi, ia mengizinkanku untuk menginap di rumahnya. Aku
menceritakan semua kejadian yang terjadi hari ini, dari
Kavinsky yang mengabarkan kabar gembira sampai
mamah yang marah padaku. Vlad, temanku, yang
seharusnya mendukungku malah membela mamah dan
berkata aku sudah keterlaluan kali ini. Ia juga
menyarankan aku untuk berhenti kebohongan ini lebih
lanjut karena masalah Allyster sudah menjadi viral skala
nasional. Ia juga mengatakan aku sudah banyak berubah
belakangan ini. Selama aku menjadi sangat dekat dengan
keluarga Howard, ia mengatakan aku semakin jarang dekat
dengannya. Ia merasa digunakan denganku. Ia juga
berkata bahwa sejak pidatoku waktu itu, banyak orang
yang menjadi temanku, aku sekarang lebih sering bermain
dengan Alwyn dan teman – teman lain daripada
dengannya dan tak ada di saat dia membutuhkanku.
Wow, temanku sendiri, temanku satu – satunya
berkata seperti itu. Rasanya, aku ingin marah dan
menangis menjelaskan semuanya. Aku merasa terkhianati
oleh Vlad. Namun, perkataan iya aku anggukkan saja dan
malam itu, suasana menjadi canggung. Vlad juga berkata
akan berhenti membantuku membuat email palsu dengan
Allyster.
Satu – satunya yang dapat kuceritakan adalah
keluarga Howard. Aku ceritakan semua masalahku kepada
Miss Howard dan ia mau mendengarku. Aku merasa
sangat beruntung mempunyai keluarga yang peduli padaku
meski tak terikat dengan hubungan darah. Mereka lebih
peduli daripada mamah dan mungkin mereka

317
mengaggapku sebagai anak mereka sendiri. Hubunganku
dengan Alwyn juga membaik, tidak canggung seperti dulu
lagi.
Beberapa hari kemudian, aku makan malam
dengan keluarga Howard seperti biasanya. Makan malam
dengan mereka dan menginap di rumah mereka sudah
menjadi rutinitasku akhir – akhir ini. Namun, ada yang
aneh saat makan malam. Bangku di meja makan tersebut
disediakan lima buah bangku dan meskipun hidangan
makan malam telah tersedia, kami belum memulai makan
malam. Aku menanyakan hal ini kepada Mister Howard, ia
berkata kami menunggu satu orang lagi. Tak lama
kemudian, terdengar bunyi ketukan pintu depan. Bukan
main aku terkejut ketika mendengar suara mamah di depan
pintu.
“Apa yang mamah lakukan disini?” pikirku.
Mamah memasuki ruang tamu dan menuju ruang
makan. Mamah duduk di sebelahku. Alwyn yang biasanya
duduk di sebelahku, duduk di sebelah Mister Howard yang
diapit oleh istrinya dan anaknya. Miss Howard lalu
menjelaskan bahwa ia mengundang mamah makan malam
untuk berterima kasih karena membiarkanku bertemang
dengan Allyster dan ini adalah ide Alwyn.
Awalnya, makan malam berjalan dengan tenang.
Namun, suasana berubah ketika Mister Howard
mengatakan kalau mereka bersedia membiayai kuliahku
nanti. Mereka juga mengatakan mereka bersedia
memberikan uang jajan dan uang keperluan lain kepadaku
karena mamah adalah single parent. Kupikir mamah akan

318
tersenyum dan bergembira. Namun muka mamah
mengerut. Mulutnya melengkung ke bawah menandakan
cemberut.
“Astaga, kupikir selama ini kupikir anakku tidak
mau pergi ke Deli Indie karena ia lebih senang memesan
pizza dengan uang yang aku berikan, tapi ternyata tidak. Ia
malahan bersenang ria dengan keluarga lain, makan
malam tanpa diriku dan tanpa memberi tahuku. Ia
berbohong kepadaku. Lebih parahnya lagi, ia
menceritakan semua masalah yang kami lalui kepada
orang asing yang baru ia kenal, bahkan yang aku tidak
ketahui selama sekali. Kau menceritakan kepada mereka
dan meminta tolong kepada mereka untuk merendahkanku
dan mempermalukanku ya?” ujar mamah dengan keras
dan intonasi marah.
Mamah langsung pergi tanpa pamit kepada
keluarga Howard. Kurasa kali ini, ia benar – benar marah
kepadaku. Tapi, apakah aku salah? Aku rasa tidak.
Mungkin mamah sedang sensitif belakangan ini.
Bukannya bersyukur ingin dibantu malah marah. Aku
tidak mengerti mengapa mamah begitu. Aku pun minta
maaf kepada keluarga Howard atas kelakuan mamah tadi.
Aku juga izin pamit pulang duluan ingin menyusul mamah
dan meyelesaikan masalah.
“Kau tahu betapa memalukannya aku saat itu?
Kau bilang kau bermain di rumah Vlad, mengerjakan pr
atau proyek atau bahkan sekedar main, tapi ternyata tidak.
Orang – orang ini mengira kau adalah anaknya,” ujar
mamah ketika aku sampai di rumah.

319
“Mereka bukan sekadar orang – orang ini, mereka
adala-” jawabku dipotong mamah.
“Mereka apa? Mereka apa, Derek? Apa?!” bentak
mamah dengan marah.
“Aku tidak tahu!” balasku teriak.
“Aku juga tidak tahu mereka, tapi tiba tiba mereka
seperti mengadopsimu, menganggapmu seperti anak. Dan
aku seakan – akan dilupakan dan hilang dalam
kehidupanmu,” lanjut mamah memarahiku.
“Mereka setidaknya peduli denganku,” jawabku.
“Mereka bukang orang tuamu, Derek!” ucap
mamah dengan nada semakin marah dan kencang.
“Bagiku, iya!” balasku kesal.
“Mereka tidak mengenalmu, Derek,” timpal
mamah marah.
“Oh, jadi mamah kenal aku, anakmu?” tanyaku
sarkas
“Kupikir iya…” ujar mamah, dilanjutkan dengan
keheningan sesaat.
“Kamu tidak mengenalku, kau tidak tahu aku,
bahkan kau jarang melihatku sehari – hari,” ujarku tak
lama kemudian.
“Aku melakukan semampuku, Derek!” ketus
mamah.

320
“Mereka setidaknya peduli denganku! Mereka
pikir aku tidak mempunyai masalah dan harus diperbaiki
seperti yang kau pikir. Aku harus pergi ke terapi, harus
minum obat ini, obat itu,” jelasku pada mamah.
“Tunggu, tunggu, tunggu. Aku adalah ibumu,
Derek. Sudah seharusnya aku merawatmu,” ujar mamah
dengan nada sarkas dan sinis.
“Ya, ya, ya aku tahu aku menjadi beban. Dan hal
terburuk yang pernah kulakukan adalah aku
menghancurkan hidupmu,” ocehku kepadanya.
“Ka-ka-kamu adalah… Kupikir dulu, kamu adalah
satu – satunya hal baik yang pernah terjadi pada diriku.
Maaf jika aku tidak memberikanmu lebih dari ini. Shit,”
ucap mamah sambil mulai meneteskan air mata.
“Bukanlah salahku jika orang lain bisa memberi
lebih,” ujarku.
“Oh, jadi kau telah menemukan tempat dengan
rumput yang lebih hijau. Dan kau melompati pagar ke
tempat yang lebih bagus. Apakah enak? Apakah mereka
memberikanmu dunia yang tak dapat kuberikan? Kuharap
kau bangga dengan keputusanmu. Ya, kuharap itu adalah
yang kamu mau karena sekarang kau terbebas dari
kehidupan buruk yang kau tinggalkan. Jadi kau katakana
apa yang perlu kau ketikan, sehingga kau dapat pergi saja.
Maaf – maaf saja jika kamu waktu itu merasa tidak enak
dan maaf – maaf saja kalau aku tidak cukup. Puji tuhan
mereka menyelamatkanmu.”

321
Itulah yang dikatakan mamah sebelum ia
membalikkan badannya dan pergi ke luar rumah. Aku
tidak tahu ia pergi kemana. Mungkin ia memerlukan
waktu untuk menyegarkan pikirannya seperti yang
kubutuhkan. Aku pergi ke kamar dengan campuran emosi.
Mamah sebelumnya tidak pernah marah seperti ini. Aku
coba melupakannya dengan menangis sampai aku tertidur
lelap di kasurku.
Keesokan harinya, aku pergi ke sekolah. Aku
tidak bertemu dengan mamah di rumah sebelumnya. Ia
juga tidak meninggalkan pesan dan membuatkanku
sarapan. Sepertinya, mamah masih marah kepadaku. Aku
tidak mencari atau menelepon mamah karena kurasa ia
butuh waktu untuk menenangkan pikirannya.
Di sekolah, biasanya aku disapa oleh Vlad tapi
kini tidak lagi. Aku rasa ia juga marah kepadaku.
Untungnya, ada Alwyn yang masih menjadi temanku.
Sayangnya, ia harus pulang terlebih dahulu setelah
istirahat kedua karena ia ada perjanjian dengan dokter.
Di kantin, saat istirahat kedua, aku duduk sendiri
di tempat biasanya. Tanpa Alwyn, tak ada yang mau
duduk denganku. Saat aku makan siang dengan asyik, tiba
– tiba datang Kavinsky dengan muka masam.
“Hey Derek, aku tidak mengerti, di email – email
yang kau kirim kepadaku. Kelihatannya Allyster tiap hari
semakin baik. Tak ada satupun email yang menandakan ia
mengalami depresi atau ingin bunuh diri. Ini agak aneh, ia
berpikir positif dan membaik, tapi beberapa hari kemudia

322
ia bunuh diri dan menghilang begitu saja. Hal – hal ini
tidak masuk akal,” ujarnya tanpa sapa kepadaku.
“Banyak hal yang tidak masuk di akal, Kavinsky,
tenanglah,” jawabku menenangkannya.
“Oh, seperti kau mendekati adik Allyster? Kau
telah menjadi bahan omongan semua orang, apakah kau
berbohong?” balasnya.
“Kenapa kau sangat terobsesi dengan Allyster?
Karena kau dan dia menjadi rekan laboratorium selama 3
tahun? Apa mungkin karena kau dan dia tergabung di
suatu klub yang ku tak tahu? Apa mungkin kau suka
dengannya?” balasku kesal.
“Karena aku tahu rasanya seperti Allyster, Derek.
Aku tau rasanya tak dihargai dan tak diketahui orang –
orang. Aku tahu rasanya dilupakan dan menghilang. Aku
juga berani taruhan kalau kau dulu tau betul perasaan itu,”
keluhnya marah dan pergi meninggalkanku begitu saja.
“Lihat saja, akan kukirimkan kau email saat
Allyster merasa sedih dan penggalangan dana akan kelar
dalam waktu dekat,” teriakku kepadanya.
Terima kasih Kavinsky, engkau telah menambah
masalahku hari ini saja. Kini sudah tiga orang marah
denganku. Aku tak tahu harus berbuat apa. Aku benar –
benar merasa kosong saat pulang di rumah. Mamah juga
tidak ada di rumah. Aku memutuskan untuk ke kamar dan
merenungkan diri di sana.

323
“Aku tidak bisa melakukan ini lagi,” teriakku di
kamar
“Kau tidak boleh berhenti, Derek. Kita sudah
sejauh ini,” ujar bayangan Allyster yang tiba – tiba muncul
di kamarku.
“Aku tidak bisa hidup dengan rasa seperti ini
lagi,” ujarku.
“Bagaimana dengan orang tuaku? Bagaimana
dengan Alwyn? Bagaimana kau tega melakukan ini
padanya? Setelah yang mereka lakukan untukmu, Derek.
Mereka membutuhkanmu,” balasnya dengan nada marah.
“Mereka tidak membutuhkan kebohongan,
Allyster,” jawabku.
“Kebohongan itu yang membuat mereka rekat,
yang membuatmu rekat, Derek. Pikirkan Alwyn.
Bagaimana dengan dia? Mengapa ia dekat denganmu?”
tanya balik ia kepadaku.
“Karena dia suka aku dan aku baik padanya dan
keluargamu,” jawabku.
“Ya, kecuali kau melupakan fakta bahwa semua
ini adalah sebuah untaian kebohongan yang besar. Sebuah
efek domino. Oh, kau melupakan itu.” Ucapnya kasar.
“Bagaimana jika aku mengatakan sejujurnya?
Mungkin mereka akan mengerti,” balasku.
“Kau pikir mereka akan mengerti seorang anak
yang berbicara pada dirinya sendirinya lagi? Kau pikir kau

324
akan berbalik arah dan mengatakan sebenarnya kepada
mereka? Kau bahkan tak mampu mengakui kejujurannya
kepada dirimu,” ujarnya sarkas.
“Apa yang mau kau katakan?” tanyaku marah.
“Bagaimana kamu mematahkan tanganmu,
Derek?” tanyanya singkat membuatku membeku.
“Apa kau benar – benar jatuh dari pohon?”
lanjutnya.
“A-a-aku… Aku kehilangan pegangan… Lalu aku
jatuh dan mematahkan tanganku,” jawabku sendu.
“Apakah kau benar – benar jatuh? Atau kau
sengaja melepaskan peganganmu?” tanyanya.
“Kau dapat menghilangkanku kapanpun kamu
mau. Kau juga dapat melepaskan semuanya, projek
Allyster, penggalangan dana taman untukku kapanpum
kau mau. Tapi saat kau melepaskannya. Hal yang tersisa
adalah kau sendiri.”
Hal tersebut adalah hal terakhir yang ia ucapkan
sebelum ia memelukku dan hilang dari ruangan ini. Aku
rasanya ingin menangis, ingin memeluk balik Allyster.
Dadaku sangat sesak, tapi aku tidak dapat mengeluarkan
rintikan air mata. Rasanya sakit. Sangat sakit. Pertanyaan
terakhirnya pun benar – benar menusuk emosiku.
Aku memutuskan untuk menelepon Kavinsky dan
membuktikan bahwa cerita ini benar. Aku belum bisa
melepaskan semuanya. Ia mengangkat teleponku, tapi ia
berkata ia tidak membutuhkanku lagi. Ia mengatakan

325
bahwa ia telah move on dari masalahnya denganku. Ia juga
mengatakan bahwa ia sekarang makin percaya kalau aku
berbohong.
Sebelum, ia dapat memutuskan sambungan
telepon, aku memintanya untuk menunggu sebentar karena
aku dapat membuktikannya. Aku memutuskan untuk
mengirimkannya email berisikan surat yang memulai
masalah ini, yaitu surat untuk diriku sendiri. Ia berdiam
sejenak, ia membca surat tersebut secara seksama. Ia benar
– benar merasa Allyster sangat kesepian setelah membaca
surat tersebut. Ia mengatakan kepadaku untuk
menyebarkannya di dunia maya karena ia rasa, surat ini
dapat membantu banyak orang, terutama penggalangan
dana yang saat ini berada ada pada sembilan puluh satu
persen. Aku melarangnya, tapi ia keras kepala dan
memaksa. Ia memutuskan untuk mengunggah surat
tersebut ke dunia maya. Semuanya sudah terlambat karena
sekali sesuatu berada di internet, hal tersebut takkan
hilang.
Malam harinya, aku pergi ke rumah keluarga
Howard karena mamah belum juga di rumah dan aku
sangat lapar. Namun, saat aku ke sana, pintu mereka
terbuka lebar. Aku memasuki rumah mereka pun mereka
tak menyadarinya. Mereka sedang berkumpul di ruang
keluarga. Muka mereka terlihat panik dan kesal. Miss
Howard dan Alwyn membuka laptop mereka di depan
hadapannya.
Mereka menyadariku dan segera menanyakanku
apakah aku pernah mengunggah surat Allyster ke internet.

326
Aku tentu menjawab dengan alasan lain. Aku juga berkata
bahwa aku tidak tahu dan sudah berusaha menelepon
Vlad, tapi tak diangkat. Ternyata, keluarga Howard
diancam dan sedang viral di internet. Menurut netizen,
keluarga Howard adalah penyebab utama Allyster bunuh
diri, dibuktikan dari surat Allyster tersebut. Keluarga
Howard juga mendapatkan berbagai telepon usil, pesan
usil, bahkan email usil yang berisikan ancaman dan hinaan
kepada mereka.
Di saat itu, aku merasa bersalah. Berkatku,
keluarga Howard benar – benar hancur. Mereka diteror
oleh masyaratkat dunia maya. Tanpa kusadari,
kebohonganku menghancurkan kehidupan mereka,
menghancurkan kehidupan Allyster dan Alwyn.
Aku tiba – tiba mencetus dan memberi tahu
mereka sebenarnya kalau surat itu adalah tugas dari
terapisku. Surat tersebut eharusnya kubawa untuk
terapisku tapi Allyster ambil dan bawa ke rumah. Aku juga
menjelaskan kalau aku dan Allyster bukanlah teman.
Mereka benar – benar shock dan dalam penolakan
mendengarnya. Miss Howard bahkan berkata kepadaku
kalau aku sedang berhalusinasi karena ia tidak dapat
mempercayainya.
“A-a-aku… Aku tidak bermaksud membuat ini
sebagai masalah. Aku tidak berpikir, kebohonganku akan
sampai sejauh ini,” jelasku sekaligus meminta maaf.
Jadi aku berdiam di sini, minta maaf, mencari
sesuatu yang harus kukatakan, tapi aku tak tahu apa yang
harus aku katakan. Kata – kata gagal keluar dari mulutku.

327
Mereka masih tidak percaya denganku, mereka masih
menanyakan bagaimana Allyster bisa menulis namanya di
gipsku. Namun, aku masih berdiam diri di situ, tidak
mengatakan apa pun, dan mengeluarkan air mata.
Aku pikir aku bisa menjadi bagian dari hal ini.
Aku tidak pernah punya hal seperti ini sebelumnya. Aku
tidak pernah punya seseorang yang peduli, seseorang yang
dapat melihatku apa adanya. Aku juga tidak pernah punya
ayah yang lucu dan perhatian kepadaku. Tidak juga
seorang ibu yang selalu ada dan mendengarkan. Aku tahu
ini tidak tepat untuk menjadi alasan, aku tahu. Aku tahu
tak ada alasan yang membenarkan apa yang telah
kulakukan. Kata – kata gagal, tak ada yang dapat
kuucapkan. Kecuali, terkadang kau melihat apa yang kau
inginkan dan berandaikan kau punya. Dan hal tersebut
tepat berada di depan matamu. Dan kau mau mempercayai
hal itu. Jadi, kau buat seperti itu kenyataan. Dan kau pikir,
semua orang mau hal itu juga, membutuhkan hal itu. Itulah
yang kulakukan.
Mereka benar – benar marah dan sedih. Semuanya
menangis dan tak tahu apa yang harus dikatakan. Mister
Howard pun menyuruhku keluar dari rumahnya. Aku pun
segera ke luar rumah mereka dan berjalan pulang.
Ini hanyalah sebuah invensi sendu yang kubuat.
Hal ini tidak nyata, aku tahu. Aku pikir aku tidak dapat
melepaskannya, tak dapat membiarkanya. Ku pikir aku
hanya ingin percaya karena jika aku percaya, aku tidak
perlu melihat apa kenyataanya. Aku lebih memilih berpura
– pura aku adalah sesuatu yang lebih baik dari hal rusak

328
dan usang ini, sehingga takkan ada yang melihat. Karena
aku sduah belajar menginjak rem, bahkan sebelum aku
memasukkan kuncinya , sebelum aku berbuat kesalahan.
Apa yang akan terjadi jika mereka melihat dan tau?
Apakah mereka akan menyukai apa yang mereka lihat?
Apakah akan membencinya juga sepertiku? Apakah aku
akan selalu berlari dari kenyataan?

Itulah yang dapat kupikirkan selama perjalanan.


Aku menangis di sepanjang perjalanan menuju rumah. Di
rumah, ternyata mamah sudah menungguku di ruang tamu
sambil mengeluarkan laptopnya. Ia menanyakan apakah
aku sudah melihat surat yang beredar viral di sosial media,
termasuk facebook. Mamah mengetahui itu adalah suratku.
Mamah tahu itu adalah tugas dari Kak Ian. Ia membacakan
kalimat pertama dari surat itu dengan nada halus, tidak
marah.
“Aku tidak tahu,” ujar mamah lembut
“Semua orang juga tidak tahu kalau itu suratku,”
jawabku dengan menghela nafas panjang dan masih
berlinang air mata,
“Bukan, aku tidak tahu kau sangat dalam kesepian
dan tersakiti seperti itu. Aku tidak tahu, bagaimana aku
tidak tahu hal ini?” Bantahnya masih dengan halus.
“Karena aku tidak memberi tahumu… Aku
berbohong tentang banyak hal…,”

329
Aku menjelaskan kepadanya kalau meamng dari
bulan – bulan lalu aku merasa kesepian. Sangat sepi.
Bukan sedih yang kurasakan, lebih tepatnya hampa.
Sangat hampa.
“Kau boleh cerita kepada mamah, Derek,” ujar
mamah kepadaku.
“Tidak, kau akan membenciku jika kau tahu cerita
sebenarnya. Kau seharusnya membenciku jika kau tahu
apa yang aku coba lakukan saat itu. Betapa rusaknya aku
saat itu,” jawabku kepada mamah.
“Aku sudah mengenalmu sejak lama dan aku
mencintaimu, Derek,” ujar mamah kepadaku sambil
menyuruhku duduk di sofa di sampingnya.
“Aku minta maaf,” ucapku pada mamah.
“Tidak Derek, seharusnya mamah minta maaf.
Mamah minta maaf, mamah telah membiarkanmu merasa
sendiri. Membuatmu hampir saja pergi meninggalkan
mamah selamanya,” balas mamah sambil memelukku.
Ia lalu mengusap palaku dan mulai menangis. Ia
juga menceritakan bahwa dirinya berjanji untuk
merawatku dan menjagaku ketika ayahku pergi begitu
saja. Ia juga menceritakan bahwa untuk pertama kalinya,
rumah yang kami huni terasa sangat besar dan sangat kecil
di saat yang bersamaan. Ia juga berjanji waktu itu untuk
tidak meninggalkanku.
Kami berpelukan entah untuk berapa lama. Aku
tidak pernah mersakan pelukan hangat seperti ini. Aku

330
merindukannya. Beberapa waktu yang terlewatpun tak
terasa. Semua suara juga tak terdengar. Aku hanya
menangis pada bahu mamah dan tidak mau
melepaskannya. Hari – hari penuh asalah tersebut terasa
hilang begitu saja dengan pelukan mamah. Aku belajar
banyak hal dari itu.
Dua tahun berlalu tanpa ada yang tahu
kebenarannya kecuali aku, mamah, dan keluarga Howard.
Mereka tampaknya tidak ingin rahasiaku tersebar. Aku
tidak begitu dekat dengan Alwyn lagi. Aku juga meminta
maaf kepada Kavinsky dan Vlad. Vlad juga masih mau
berteman dengaku. Tapi, tahun terakhirku di sekolah
menegah atas kuhabiskan dengan belajar dan bekerja. Aku
dan Vlad pun terpisah karena Vlad memutuskan untuk
memasuki perguruan tinggi di MIT.
Di tahun yang sama, Alwyn mengajakku untuk
bertemu di suatu taman. Kini, ia lebih dewasa, ia
memasuki tahun keduanya di Harvard, sedangkan aku
memasuki tahun pertamaku di community college karena
aku mengambil gap year. Aku dan Alwyn sama – sama
mengalami tahun – tahun sulit dua tahun belakangan ini.
Aku menanyakan alasan apa yang membuatnya
mengajakku bertemu di sini. Ia hanya mengatakan bahwa
ia ingin aku melihat taman baru di sini. Taman yang
dibangun dengan uang penggalangan dana untuk Allyster.
Setelah mengatakan itu, ia pergi meninggalkanku.
Aku hanya dapat takjub dengan taman ini. Taman
yang dibangun atas rasa duka masyarakat. Meskipun
dilandasi kebohongan, taman ini menjadi bukti bahwa

331
sesungguhnya tak ada satu pun orang yang pantas untuk
dilupakan. Aku merenung dan berkata pada diriku sendiri,

“Teruntuk Derek Ivinki,


Hari ini akan menjadi hari yang baik dan inilah
alasannya.
Karena hari ini, setidaknya kamu adalah kamu,
dan itu cukup.
Tidak perlu berpura – pura dan tidak perlu
mengumpat, dan itu cukup.
Karena memang tak ada seseorang yang pantas
untuk dilupakan.”

332
Sahabatku
Karya Ni Luh Made Kendran

Kejadian ini terjadi tahun 2012, saat itu aku


berumur 16 tahun. Aku adalah seorang siswi yang
bersekolah di SMA D yang terletak di Bali tepatnya di
daerah Klungkung selama di sana aku tinggal bersama
orang tuaku. Ayahku adalah seorang TNI angkatan darat
yang setiap dua tahun sekali akan dipindahtugaskan ke
daerah lain. Dan Bali adalah tempat ke 15 ayahku
bertugas.
Aku dan keluargaku menginap di rumah sewa di
dekat kantor ayahku, sebenarnya kami mendapatkan
rumah dinas tetapi karena kami datang terlalu awal dan
barang pemilik rumah dinas yang dulu belum selesai
dibereskan jadi kami memutuskan untuk tinggal di rumah
sewa selama beberapa minggu.
Aku dan keluargaku masih asing akan hal-hal di
Bali tetapi untungnya warga setempat sangat terbuka akan
kedatangan kami sehingga mereka dengan baik hati
membimbing kami. Mereka memperlakukan kami
layaknya keluarga mereka sendiri.
Kedatangan pertamaku ke Bali sangatlah baik,
tetapi setelah beberapa hari tinggal di sana aku mulai
merasa aneh. Banyak kejadian aneh yang menimpaku
hanya diriku, aku sering mimpi buruk, selalu sial, aku

333
merasa seperti ada yang mengawasiku, dan yang paling
buruk aku pernah sekali diganggu. Saat itu aku sedang di
toilet dan tiba-tiba sampo yang berada di dekatku
bergerak, saat itu aku hanya bisa berkata keren karena aku
sangat suka horror. Setelah kejadian itu besoknya aku
langsung memberitahu teman-temanku dan mereka
menanggapinya dengan bercada mereka pikir aku
bergurau. Aku tidak ingin memberitahu ke orang tuaku.
Setelah kejadian itu hari-hariku berjalan seperti biasa.
Lima hari setelah kejadian itu...
Aku pulang sekolah agak malam karena ada kerja
kelompok di rumah teman. Aku pulang dengan
mengendarai sepeda karena jarak antara rumahku dan
sekolah tidak terlalu jauh. Saat aku sudah berada di
komplek, tanpa sengaja aku berhenti di rumah kosong
yang sering dibicarakan oleh para tetangga. Aku
mengamati rumah tersebut, desainnya seperti rumah
mewah. Sangat indah dipandang saat siang hari, namun
entah mengapa saat malam hari rumah tersebut terlihat
seperti rumah hantu Jepang. Angin dingin pun mulai
menusuk kulitku saat aku mengedarkan pandanganku ke
kaca di lantai dua. Di situlah kejadian itu terjadi.
16 tahun sebelum aku pindah, di rumah kosong itu
hidup sepasang kekasih dan anaknya yang baru berumur
satu tahun. Mereka hidup sangat harmonis, seorang istri
yang sangat cantik dan suami yang baik hati. Sayangnya
suaminya sangat posesif akan istrinya. Saking posesifnya
ia akan memukul semua cowok yang berusaha mendekati
sang istri. Suatu hari sang suami mendapatkan video yang

334
berisikan istrinya sedang bersama cowok bahkan saling
berpelukan. Sang suamipun naik pitam dan meminta
penjelasan dari sang istri tapi karena sang suami tidak
percaya akhirnya ia membunuh istrinya dan ia bunuh diri.
Aku menjadi mengingat cerita tetangga dan aku
mulai merinding. Akupun buru-buru membawa sepedaku
ke rumah.
Keesokan harinya kejadian-kejadian aneh mulai
sering berdatangan. Pertama, aku hampir ketabrak mobil,
untungnya ada sahabatku yang memanggilku. Kedua, aku
mulai dapat melihat sedikit hal tak kasat mata. Dan lain-
lain. Akupun mulai tidak betah dan memutuskan untuk
pergi ke cenayang.
Cenayang itu berkata jika banyak yang ingin
melukaiku, namun untungnya ada perempuan seumuran
ibuku yang menjagaku, sayangnya tidak setiap hari ia
menjagaku. Sehingga aku dapat tertimpa sial. Kata
cenayang itu aku dilindungi oleh ibu temanku. Dan sejak
itu aku mencari tahu siapakah temanku itu.
Tiga hari berlalu akhirnya aku mendapatkan
jawaban atas pertanyaanku. Di kelasku hanya ada satu
orang yang ibunya sudah meninggal dan itu adalah
sahabatku. Akupun memberanikan diri untuk bertanya
padanya apakah ia dapat melihat dan berkomunikasi
dengan hantu, dan ya. Astaga aku kaget banget. Dan dia
mulai bercerita bahwa ibunya meninggal karena ayahnya
cemburu saat melihat foto ibunya bersama pria lain,
padahal pria tersebut adalah sahabat ibunya yang bahkan
hadir dalam pernikahan mereka. Dan aku tambah kaget

335
rasanya aku tidak mampu lagi menghirup oksigen, karena
aku baru tahu bahwa sahabatku adalah anak dari pasangan
suami istri yang tewas dalam rumah kosong yang berada
di dekat rumahku. Dan ia menambahkan kalau ibunya
sangat bersyukur karena akhirnya anaknya mempunyai
teman maka dari itu ia mau menjagaku, rasanya aku ingin
memeluk ibunya sebab aku sangat berterimakasih karena
mau menjagaku.
Hari berlalu, gangguan akhir-akhir ini masih bisa
aku atasi tanpa bantuan ibu sahabatku. Dua hari sebelum
aku pindah ke rumah dinas, gangguan semakin terasa
nyata. Saat aku tidur aku bermimpi keluargaku meninggal
dalam kebakaran, banyak penampakan, aku dijambak, dan
akhirnya aku mengalami insomnia. Aku menceritakan hal
tersebut ke sahabatku, ia berkata ibunya ada disampingku
namun ia tidak dapat berbuat apa-apa. Aku hanya bisa
pasrah dan menguatkan diriku sendiri karena hari ini hari
terakhirku di rumah sewa.
Saat malam hari tiba aku merasa seperti ada
seseorang di belakang jendela yang sedang mengawasiku,
karena takut akupun mengabaikannyaa dan berusaha untuk
tidur. 15 menit berlalu aku tidak dapat tidur akhirnya aku
memutuskan untuk menonton acara hiburan di hp.
Tok tok tok
“ Masuk! Nggak dikunci kok!” kataku
Tok tok tok
“ Siapa sih?”

336
Saat aku membuka pintu tidak ada siapa-siapa di
sana. Aku pun memutuskan untuk pergi ke kamar orang
tuaku dan bertanya apakah mereka pergi ke kamarku tadi,
dan ternyata tidak. Lalu siapa yang mengetok pintuku?
Akhirnya aku kembali menonton acara hiburan di hp tapi
kini suaranya aku besarkan sampai maksimal.
Duk duk duk
.....
Duk duk duk
.....
Duk duk duk
....
Duk duk duk
Suaranya seperti langkah kaki, jadi aku berpikir
bahwa itu adalah suara dari lantai atas.
“ Hoam, tidur ajalah.” Dan penglihatanku mulai
gelap.
Aku terbangun karena suara bising dari luar, jarum
jam menunjukan angka tiga dini hari. Awalnya aku ingin
kembali tidur karena suara bising itu tiba-tiba berhenti,
namun saat aku akan tidur kembali tiba-tiba terdengar
suara bayi menangis, saat aku akan menyalakan lampu
tiba-tiba kakiku terasa tidak dapat bergerak.
AKHHHHH

337
Suaraku, suaraku tidak keluar, sekeras apapun aku
teriak tidak keluar sama sekali. Aku pun mulai panik
karena kepalaku tiba-tiba bergerak sendiri, memutar
menghadap ke sudut ruangan dekat pintu, di sana aku
melihat bayangan menyerupai manusia yang sedang
menggendong sesuatu, saat aku memperhatikannya dengan
lebih cermat, bayangan itu hilang dan tubuhku akhirnya
bisa bergerak kembali.
Huh
Aku menghela napas berat, napasku terasa sangat
berat, dan tubuhku lemas. Aku pun kembali
membaringkan tubuhku, rasa kantuk tiba-tiba
menyerangku. Saat aku akan menutup mataku
AKHHHHH
sesosok orang dengan kulit hitam bekas terbakar,
mata berwarna putih, dan daging yang tampak
menampakkan dirinya di atasku. Darah menetes satu
persatu ke atas kulitku. Dia tersenyum, lebih tepat
menyeringai. Tiba-tiba ia jatuh dan aku pingsan.
Keesokan harinya.
Hari ini adalah hari aku pindah ke rumah dinas.
Setelah selesai mengemas barang dan memasukannya ke
dalam mobil, aku dan keluargaku berpamitan ke tetangga.
Setelah selesai aku dipanggil oleh para ibu. Mereka
memberitahuku bahwa rumah sewa itu adalah rumah
bekas kebakaran, kebakaran berlangsung saat malam hari
dan semua orang sudah tertidur, sehingga tidak ada yang
menyadarinya. Para korban pun terkunci di dalam rumah,

338
sehingga mereka tewas dalam kebakaran. Para ibu
meminta maaf karena tidak memberitahu sejak awal.
Untuk terakhir kalinya aku melihat rumah sewa tersebut
tepatnya di jendela tempatku tidur. Saat akan
memalingkan wajah tanpa sengaja aku melihat sesosok
bayang, saat aku mencermatinya aku menyadari bahwa itu
adalah salah satu korban kebakaran, sosok itu berkata
“ Pergilah, pergilah, pergilah.” Akupun langsung
memalingkan wajahku.
Saat aku mengingat lagi fakta yang diberitahu, aku
menjadi merasa sedih dan takut. Berarti selama ini yang
menggangguku adalah para korban kebakaran, lalu
mengapa hanya aku yang diganggu. Dan mimpi kebakaran
itu adalah kisah para korban, lalu apa hubungannya
denganku. Dan suara yang seperti langkah kaki itu adalah
suara pukulan gelisah para korban. Tetapi masih ada teka-
teki yang masih belum terpecahkan kenapa hanya aku ?
Setelah aku pindah dari rumah sewa hidupku
kembali cerah, tidak ada gangguan sama sekali. Beban
terasa lepas dari hidupku, dan insomniaku pun hilang.
Hari-hariku berjalan dengan sangat baik. Setelah aku pikir-
pikir kembali jika saja aku tidak mendekati dan bersahabat
dengan sahabatku mungkin saja gangguan akan semakin
parah. Aku bersyukur karena dalam diriku masih ada rasa
perhatian.

339
Arti Cinta yang Sebenarnya
Karya Prasanti Putriana

Lydia tidak pernah meminta kepada Tuhan agar


dirinya menjadi anak Mr.John dan Mrs.Kalyana. Dia juga
tidak memilih calon orangtuanya sebelum lahir. Lydia
yakin, apa pun keadaannya, Tuhan pasti sudah memilih
yang terbaik untuknya.
“Non Lydia, dipanggil Tuan John di ruang
keluarga.” Sebuah suara milik Pak Odi mengagetkan
Lydia yang sedang melamun di kamarnya. Dia segera
menuju ruang keluarga dimana ayahnya sedang menunggu
dengan raut marah di wajahnya. Dengan rasa takut, Lydia
mendekati ayahnya.
“Apa ini? Jelaskan apa maksudmu menulis ini!”
seru Mr.John. Dilihatnya sebuah kertas bergambar yang
merupakan sobekan buku diary milik Lydia. Lydia
menulis keburukan ayahnya dengan tinta merah. Bahkan,
Lydia menyatakan ingin cepat mati agar semua masalah
dengan ayahnya cepat selesai. Ternyata, kata-kata dalam
kertas itu membuat Mr.John marah.
Melihat Lydia yang tidak menjawab
pertanyaannya, Mr.John semakin memanas. Dia
mendorong tubuh Lydia yang kecil ke sofa dan langsung
meninggalkannya.

340
Mr.John adalah seorang lelaki yang sukses. Dia
mempunyai banyak perusahaan. Walaupun berlimpah
materi, tetapi Lydia selalu merasa sangat kesepian.
Mrs.Kalyana, Ibunya Lydia, juga tidak berbeda dengan
Ayahnya. Ia adalah seorang wanita karier yang sangat
sibuk. Di rumah Lydia yang besar, hanya selalu berisi
Lydia serta pembantu-pembantunya.

Alunan istrumen piano klasik menandakan waktu


istirahat SMA Melbourne. Siswa-siswi di kelas X MIPA 2
langsung mengeluarkan bekal mereka masing-masing.
“Hai,Lydia. Mau nyoba pisang cokelatku
enggak?” ajak Anastasia. Lydia mengangguk, lalu
mengambil sepotong pisang cokelat. “Ini ibuku sendiri lho
yang buat, enak ya!” seru Anastasia. “ Wah, benarkah?
Ibumu jago sekali,” komentar Lydia sambil menikmati
pisang cokelat yang diberi Anastasia.
Lydia termenung sambil memakan pisang cokelat
perlahan. Hal tersebut mengingatkan Lydia pada
keluarganya.
Akhirnya, Lydia meminta resep pisang cokelat
tersebut. Walaupun Ibunya tidak bisa membuat kue, Lydia
akan mencoba membuatnya sendiri ditemani oleh Bi Nani.
Keesokan harinya, Anastasia membawa kue lagi.
Kali ini, Ibu Anastasia membuat kue khas Jawa Tengah,
namanya Klepon. Bentuknya bulat berwana hijau dengan
isian gula merah yang dibalut dengan parutan kelapa
muda. Rasanya tentu saja manis dan enak sekali.

341
“Ada menu apa hari ini, Nas?” tanya Sheila yang
tiba-tiba datang menghampiri Lydia dan Anastasia yang
sedang asyik makan Klepon. “Hidi, ada tamu tak
diundang,” canda Anastasia. Lydia tertawa. “Bagi dong
satu, Nas. Aku kan teman terbaikmu dari yang paling
baik,” bujuk Sheila. “Pret,” jawab Anastasia sambil
tertawa.
Mereka bertiga pun berbincang-bincang sepanjang
istirahat. Tak sengaja, Lydia ,yang selalu sendiri, akhirnya
mempunyai teman baru.

Lydia selalu menyukai kue-kue buatan Ibu


Anastasia. Begitu juga Sheila. Anastasia sangat bangga
ketika teman-temannya memuji kue buatan ibunya. Ibu
Anastasia hanya seorang ibu rumah tangga. Membuat kue
merupakan perkara mudah bagi Ibu Anastasia karena tidak
memiliki kesibukan.
“Nas, ajarin kita buat kue, dong!” ujar Sheila.
Anastasia nyengir. “Hmm.. mau ga ya?” “Ayo, lah. Ibu
kamu kan jago. Pasti kamu gak kalah jago!” seru Sheila.
“Oke,deh. Gimana kalau besok sepulang sekolah kalian
belajar di rumahku?” tawar Anastasia. “Baik sekali kamu,
Nas,” ucap Lydia. “Itu mah, sudah pasti!” canda
Anastasia. “Jangan lupa bawa baju ganti, ya.” “Siap, deh!”
seru Lydia dan Sheila.
Sebelum pulang, Lydia menunggu Anastasia
keluar kelas. “Ada apa, Lyd?” tanya Anastasia. “Enggak
apa-apa. Aku cuman ingin mengucapkan terima kasih
sama kamu,” jawab Lydia. “Untuk apa?” tanya Anastasia.

342
“Karena berkat kamu, aku enggak sedih lagi. Aku
sekarang sadar kalau aku itu enggak sendiri. Dulu aku
selalu kesepian, entah di rumah maupun di sekolah. Sekali
lagi, makasih, Nas. Kamu ingin berteman denganku,” ujar
Lydia. Anastasia hanya tersenyum.
Keesokan harinya, Sheila dan Lydia pergi ke
rumah Anastasia. Setelah semuanya sudah ganti baju,
Anastasia segera mengajak mereka ke dapurnya yang luas.
Di sana, mereka bertemu dengan Tante Lita, Ibunya
Anastasia. Lydia dan Sheila langsung menghampirinya
dan mengucapkan salam.
“Perkenalkan nama saya Lydia, Tan,” ucap Lydia.
“Kalau nama saya Sheila, Tan,” sambung Sheila. “Wah,
salam kenal,ya. Saya Ibunya Anastasia. Panggil saja Tante
Lita!” Tante Lita tersenyum ramah. “Kalian ambil celemek
di lemari itu,ya,” kata Anastasia.
Lydia dan Anastasia segera mengambil celemek
di lemari yang ditunjukkan Anastasia. Ternyata, Tante Lita
mempunyai banyak celemek. Ada yang polos dan ada juga
yang bermotif. Lydia mengambil celemek berwarna pink,
sedangkan Sheila mengambil celemek berwarna ungu.
“Tante, kita mau buat kue apa?” tanya Lydia.
“Kita akan membuat kue mangkok. Nanti kalau kalian
sudah mahir, Tante bakal ajarin kue yang lain.”
Di atas meja telah tersedia bahan-bahan membuat
kue mangkok. Ada margarin, gula pasir biasa dan halus,
kuning telur, putih telur, cokelat pasta, cokelat bubuk, susu
bubuk, susu cair, keju, maizena, tepung terigu, dan bubuk
pengembang.

343
“Sekarang kita bagi-bagi tugas,ya,” ucap Tante
Lita. Anastasia, Lydia, dan Sheila diberi tugas oleh Tante
Lita. Setelah 2 jam, mereka akhirnya berhasil membuat
kue mangkok. Mereka memberi satu kue mangkok kepada
Tante Lita untuk mencobanya. “Wah,enak juga. Hebat
kalian!” seru Tante Lita. Mereka tersenyum.
Sheila melihat jam tangan putih yang melingkar di
pergelangan tangannya. Jarum jam sudah menunjukkan
pukul lima sore. Ternyata, mereka sudah lama berada di
rumah Anastasia. Sheila dan Lydia pun segera pamit
pulang kepada Tante Lita sambil membawa satu kue
mangkok untuk dibawa pulang.
Saat Lydia sudah sampai rumah, dia terheran-
heran saat melihat mobil Ayah terpakir di garasi. Lydia
membuka pintu utama dengan hati-hati, berharap tidak
mengeluarkan suara. Masuk dan menyusuri ruang tamu,
Lydia merasa aman.
“Lydia, dari mana saja kamu?” sebuah suara yang
sangat dikenal Lydia membuatnya berhenti berjalan. Lydia
memutar badannya. Ayahnya melipat tangan di dada.
“Dari rumah temen, Yah,” jawab Lydia ketakutan.
“Ngapain aja kamu di sana?” tanya Mr.John. “Belajar
masak kue, Yah,” jawab Lydia pendek. Lydia menelan
ludah. Dia sudah siap dengan apa pun yang akan terjadi.
“Hah, belajar masak kue? Kamu kurang kerjaan banget,
sih. Seharusnya ke rumah teman itu belajar bersama.
Kamu sadar enggak, kalau kamu itu ahli waris tunggal
perusahaan Ayah? Kalau dari kecil kamu sudah enggak
disiplin, bagaimana nanti saat memimpin perusahaan?!”
seru Mr.John.

344
Lydia hanya menundukkan kepala. Diam.
“Ya,sudah. Sekarang cepat mandi, istirahat, setelah itu
belajar!” ujar Mr.John.
Lydia cepat-cepat ke kamarnya sambil menangis.
Dia mengambil satu buah kue mangkok dari tasnya, lalu
segera menikmatinya. Setidaknya, kue mangkok ini dapat
menenangkannya.
Di sekolah, Lydia bertemu lagi dengan Anastasia
dan Sheila. Mereka menyambut Lydia dengan ramah.
Sejak hari Anastasia membagi pisang cokelatnya, Lydia
merasa senang berada di sekolah. Ia sangat bersyukur
mempunyai teman-teman sebaik mereka.
Satu minggu berlalu. Lydia heran. Akhir-akhir ini,
dia sering melihat ayahnya di rumah. Lydia jadi takut ke
luar kamar. Dia selalu menyiapkan buku pelajaran di atas
meja belajar supaya dia terlihat sedang belajar apabila
ayahnya masuk ke kamar.
Tiba-tiba, pintu kamar Lydia diketuk. Terdengar
suara ayahnya meminta izin masuk ke kamar. Lydia heran.
Tidak biasanya ayahnya begitu. Lydia mempersilahkan
ayahnya masuk.
“Lydia, kamu enggak usah memaksakan diri terus-
menerus belajar. Nanti sakit,” kata Mr.John saat melihat
meja belajar Lydia penuh dengan buku. “Ayah kenapa?
Kok, pucat?” tanya Lydia takut-takut. “Enggak ada apa-
apa,” kata Mr.John pelan. Wajahnya terlihat sedih.
Malam harinya, Lydia mendengar suara ayah dan
ibunya. Sepertinya, mereka sedang bertengkar. Dengan
hati berdebar, Lydia mencoba mendengar apa yang

345
Mr.John dan Mrs.Kalyana katakan.
“Ayah sebenarnya tidak setuju Ibu menjadi wanita
karier. Ayah lebih suka kalau Ibu mengurus Lydia dengan
baik,” suara Mr.John terdengar dengan jelas. “Ibu masih
punya mimpi,Yah. Ibu masih ingin bekerja!” teriak
Mrs.Kalyana.
Lydia berbaring ke atas kasur. Matanya
menerawang jauh. Dia lalu menangis sendirian di kamar.
“Kamu masih sedih, Lyd?” tanya Anastasia saat
istirahat. Dia duduk di samping Lydia. Lydia
mengangguk. “Kemarin, Ayah dan Ibu bertengkar. Aku
enggak sanggup melihat kejadian itu,” Lydia berusaha
tidak menangis. “Sabar, ya, Lyd. Aku juga sedih. Tapi,
aku salut sama kamu. Walaupun keadaanmu kayak gitu,
kamu tetap kuat. Kita makan kue cokelat ini aja,yuk.”
Anastasia berusaha menenangkan Lydia.
Lydia baru saja melangkahkan kaki di ruang tamu.
Lydia baru pulang sekolah ketika ayahnya memanggil.
Ternyata ibunya juga ada di sana.
Tanpa sempat mengganti baju seragam, Lydia
mengikuti langkah Ayahnya. “Apa yang ingin Ayah
bicarakan?” tanya Lydia sambil duduk di sofa. Mr.John
mengambil napas panjang. “Ayah harap kamu tidak sedih
mendengar kabar ini. Ibu dan Ayah akan berpisah.” Kata
Mr.John lirih. Mrs.Kalyana hanya membuang muka.
“Ibu dan Ayah sudah bosan hidup bersama.
Sekarang Ibu mau nanya, kamu mau ikut siapa, Lydia?
Ikut Ibu atau Ayah?” tanya Mrs.Kalyana. “Lydia tidak bisa
memilih,” jawab Lydia. “Maumu itu apa, Lydia?!” sentak
Mrs.Kalyana. “Lydia mau Ayah dan Ibu tidak berpisah,”

346
kata Lydia. Mrs.Kalyana mendengus, “Karena kamu tidak
bisa memilih, Ayah akan pilihkan. Kamu harus ikut
Ayah,” jawab Mr.John. “Ayah tega sekali melakukan
semua ini!” Lydia berlari ke kamarnya.
Mr.John terdiam, sementara Mrs.Kalyana
beranjak dari tempat duduk.
Sejak saat itu, Ayah dan Ibu Lydia jarang ada di
rumah. Mereka sibuk mengurus surat perceraian. Begitu
pula, Lydia. Ia tidak masuk sekolah selama 3 hari.
Hari kamis, Lydia masuk sekolah seperti biasa.
Wajahnya semakin tirus. Kantong matanya menghitam
akibat sering menangis. Lydia yakin teman-temannya
sudah tau kabar tentang perpisahan orangtuanya karena
telah ditayangkan di televisi.
“Lydia, waktu kamu enggak masuk, kita dikasih
tugas keterampilan. Kita harus membuat prakarya secara
berkelompok,” kata Sheila saat istirahat. Lydia tersenyum.
“Kerja kelompoknya di rumahku saja,ya? Aku masih
malas, nih, kalau disuruh pergi ke luar rumah,” kata Lydia.
Sheila dan Anastasia mengangguk.
Minggu cerah, Sheila dan Anastasia pergi ke
rumah Lydia. Mereka melakukan kerja kelompok bersama
di kamar Lydia. Kamar Lydia yang luas dan bagus
membuat mereka nyaman mengerjakan tugas. Setiap anak
mengeluarkan peralatan untuk membuat prakarya.
Rencananya, mereka akan membuat tempat pensil dari
kaleng bekas yang dihias.

347
Sheila dan Lydia bertugas mengecat kaleng itu
sesuai dengan pola yang telah dibuat oleh Anastasia.
Ternyata, tidak mudah mengecat kaleng mengikuti pola.
Beberapa tetesan cat tampak menodai lantai kamar Lydia
yang putih bersih.
Setelah kaleng telah dijemur, mereka
menghiasinya dengan biji-bijian dan tinta timbul. Supaya
kaleng-kaleng tersebut kering sempurna, Lydia
meletakkannya di sudut kamar supaya dapat dibawa besok.

Teman-teman Lydia memutuskan untuk segera


pulang karena hari sudah siang. Sebenarnya, mereka ingin
membersihkan kamar Lydia dari tumpahan cat. Namun,
Lydia menahan. ”Biar pembantuku saja yang
membersihkannya,” kata Lydia. Setelah teman-temannya
sudah pulang, Lydia pergi ke halaman rumah untuk
mengambil tiner. Di sana, ia membersihkan tangannya dari
cat.
“Lydia, kamu di mana?” teriak Mrs.Kalyana.
Terdengar suara ibu Lydia dari lantai atas. Lydia segera
berlari menuju sumber suara.
Hari itu, Mrs.Kalyana memutuskan untuk
menengok anaknya. Karena pintu kamar Lydia tertutup,
Mrs.Kalyana membukanya. Emosi Mrs.Kalyana naik saat
melihat kamar Lydia yang kotor dan berantakan. Mungkin
karena kecapekan bekerja, Mrs. Kalyana mudah marah.
“Kamu gimana,sih. Sudah diberi kamar bagus,
bukannya dirawat malah dikotorin!” sentak Mrs.Kalyana
sambil menjewer telinga Lydia. “Ampun, Ma. Tadi Lydia

348
berencana untuk membersihkannya bersama Bi Nani,
tetapi tadi Lydia membersihkan tangan Lydia dulu habis
kerja kelompok,” Lydia memegangi telinganya yang sakit.
“Oh, kamu berani, ya, sama Ibu!” seru Mrs.Kalyana.
Didorongnya tubuh Lydia yang langsung berguling-guling
di tangga.
Mrs.Kalyana khawatir. Dia melihat tubuh Lydia
berhenti di ujung tangga dan tidak sadarkan diri.
Mrs.Kalyana segera menuruni tangga. “Lydia, maafkan
Ibu,” Mrs.Kalyana menangis tersedu-sedu memeluk tubuh
Lydia.
Lydia dilarikan ke Rumah Sakit Ruby. Mr.John
akan datang dari Australia menggunakan pesawat paling
awal. Mrs.Kalyana sempat mengambil handphone Lydia
yang tergeletak di atas meja belajar. Dibukanya daftar
nomor handphone teman-teman Lydia. Mrs. Kalyana
memutuskan untuk menghubungi Anastasia.
Anastasia sangat terkejut ketika mendengar kabar
bahwa Lydia sedang dimasukkan ke ruang ICU. Anastasia
pun langsung menghubungi Sheila dan mereka berdua
berangkat bersama ditemani oleh Tante Lita ke Rumah
Sakit Ruby.
Tiga jam adalah waktu yang dibutuhkan dokter
untuk mengoperasi Lydia yang ternyata mengalami gegar
otak. Jangka waktu itu serasa tiga tahun bagi Mrs.Kalyana.
Pintu ruang operasi terbuka. Lydia dikeluarkan
dari ruang operasi dan dipindahkan ke ruang rawat biasa.
Perlahan-lahan mata Lydia terbuka. Kepalanya
terasa sangat pusing. “Lydia, maafkan Ibu. Ibu tidak

349
sengaja mendorongmu. Ibu tidak tahu akan berakhir
seperti ini,” Mrs. Kalyana berwajah sedih. Lydia
tersenyum. “Sebagai bentuk rasa bersalah, Ibu ingin kamu
sebutkan dua permintaan,” ucap Mrs.Kalyana. Lydia
menatap wajah teman-temannya dengan gembira. “Lydia
ingin Ibu kembali bersama Ayah,” jawab Lydia lirih. Air
mata Mrs.Kalyana semakin deras. “Yang kedua, Lydia
ingin Ibu menjadi wanita karier, tetapi tetap mengurus
rumah,” ujar Lydia. Mrs.Kalyana terdiam.
“Bu, Lydia ingin Ibu keluar sebentar bersama
Tante Lita. Lydia ingin ngomong sama sahabat-sahabat
Lydia,” pinta Lydia. Mrs.Kalyana segera keluar kamar
bersama Tante Lita.
Sheila dan Anastasia segera mendekat ke tempat
tidur Lydia. Mereka dapat mendengar suara Lydia dengan
jelas. “Teman-teman, terima kasih banyak, ya. Kalian
sudah peduli sama aku. Mungkin kalau kalian tidak
menyemangati, aku bisa meninggal karena depresi,” ucap
Lydia lirih. “Itu kewajiban kami sebagai teman, Lydia,”
kata Anastasia. Sheila mengangguk.
Lydia sangat senang. Ayah dan ibunya bersatu
kembali menjadi keluarga sakinah. Lydia yakin ayah dan
ibu mencintainya. Hanya saja cara pengungkapan mereka
berbeda dengan orangtua lain.
Begitu juga dengan sahabat-sahabatnya. Walau
mereka berbeda dari segi fisik, mental, dan finansial,
mereka akan selalu menjadi sahabatnya selamanya.

350
Waktu yang Menjawab
Karya Rahayu Puspitasari
w

Siang ini cuaca tak berdamai denganku,


awan gelap, matahari tampak menghindari ku,
langitpun meneteskan perasaanya. Perkenalkan
namaku Zefana Harum, mahasisiwi UGM jurusan
teknik dirgantara semester 7. Sudah 3 tahun aku
terbang dari ibukota yang kumuh merantau hingga
kekota ini, Jogjakarta namanya,
17 tahun hidup bersama paman dan ibuku
dengan kebutuhan dan kasih sayang yang cukup,
namun sekarang berbeda, aku kesepian dan sedih tak
ada teman yang mendengarkan ku, merana mencari
pekerjaan paruh waktu untuk sesuap nasi. Aku
memutuskan meminta paman untuk tidak
mengirimkan ku uang 2 tahun belakangan ini karena
usahanya di ambang kebangkrutan dan lebih baik
uang itu untuk mengobati penyakit ibu yang
mengharuskan melakukan perawatan jangka panjang.
Sembari duduk di taman kota dekat kampus ku
dengan baju basah dan perasaan yang rumit
dijelaskan. Kata orang di masa akhir kamu kuliah,
kamu akan banyak merasakan cobaan nya, dan ya itu
benar untukku. Cinta? Apa itu cinta, aku belum

351
pernah merasakannya, aku terlalu sibuk dengan
kehidupan kuliah dan kerjaku.
“Huhh, semangat Efa, kamu pasti bisa kamu
kuat !!” kataku menyemangati diriku, aku bangkit
berjalan ke halte bus dan menunggu bus tujuan akhir
yang dekat dengan kos an ku dengan pakaian yang
basah, cuaca mulai berdamai, banyak kendaraan
beroda dua yang menyelesaikan teduhannya dan
kembali berjalan menelusuri jalanan kota yang basah,
tadi paman menelepon ku memberi tahu bahwa ibu
kembali kritis dan butuh uang untuk operasi, aku
bingung dimana aku harus mencari uang untuk
operasi ibu.
“Mbak, ini pake jaket saya”, seorang mas-mas
mendekatiku. “mbak, jangan diem aja, ini ambil,
ooohh… sorry, kenalin nama gw Rafif Pradipta,
jurusan teknik biomedik semester 7, panggil aja Afi.”
“gausah mas, saya udah biasa kedinginan”,
kataku menolak. Bus yang kutunggu datang aku
tersenyum pada Afi dan mulai naik namun setelah ku
berdiri dan berjalan menaiki bus tiba-tiba Afi
mengikatkan jaketnya pada pinggang ku dan berkata
“dipake aja ya mbak, di dalemnya ada nomor
WA saya, balikin kapan aja boleh asal jangan
diambil”, aku pun bingung dan akhirnya aku
menyadari setelah 15 menit menaiki bus aku sadar ini

352
sudah memasuki tanggal merahku, malu dan kesal
bersamaan menyadari betapa bodohnya diriku.
Lusa aku menelepon Afi, ternyata dia satu
kampus denganku, aku menunggunya berniat
mengembalikan jaketnya di kantin kampus siang hari
ini dan mengtraktirnya somay sebagai tanda terima
kasih ku.
“eh, mbak hujan, maaf ya nunggu lama tadi
pak dosen ngaret lumayan lama.”, kata Afi.
“iya enggak apa-apa, nama saya Efa, jurusan
teknik dirgantara semester 7, jangan panggil saya
mbak hujan, oh iya ini somay buat kamu saya pergi
duluan ya ada kerjaan, maksih buat jaketnya.”,
panjang lebar aku menjelaskan.
“Nama panjang lo siapa ?”.
“Zefana Harum”, aku berkata sambil berlari,
aku sudah telat 10 menit untuk kerja, pekerjaanku
sebagai kasir di coffeeshop dekat kampusku, aku
bekerja dari jam 2 siang hingga jam 9 malam,
upahnya memang tak seberapa namun cukup untukku
makan dan bayar kos untuk seminggu.
Waktu menunjukkan pukul 20.45, shif ku
akan selesai. Hari ini pengunjung toko begitu ramai,
aku bersiap-siap melepas celemek ku dan msegera
pulang tidur.

353
Lonceng pintu masuk berbunyi. “selamat
malam, mau pesan apa ?”, aku pun berbalik dan
menyapa dengan manis. Menyadari siapa yang datang
seketika muka ku berubah.
“Caramel macchiato yang dingin ukuran venti
atas nama Rafif ya mbak.. eh Efa lu kerja disini?”
“Caramel macchiato, cold, venti atas nama
Rafif 1 total 64000, pembayaran debit atau tunai?”
“Tunai, mbak jawab pertanyaan saya yang
akhir donk.”
Segera aku mengambil uangnya, “ini struknya
silahkan ditunggu di sebelah.”
Sekarang pukul 21.05, aku sudah bersiap
pulang. Melangkah keluar aku melihat Afi duduk di
sudut pojok toko kami, kulihat matanya memerah
menahan tangis tak lama setelah memutuskan
sabungan teleponnya, aku pun mendekatinya dan
duduk didepannya.
“E..Efa temenin gw Fa, gw butuh pundak lo
gw mau nangis..”
Ia memelukku dan menangis di pundakku.
Malam ini untuk pertama kalinya aku dipeluk oleh
orang yang ku kenal berapa hari lalu, ia menangis di
pundakku seakan tak ada hari esok, untuk malam ini
aku mendengar tangisnya, menunggunya hingga kami

354
keluar karena toko akan tutup. Pukul 23.00, ia
mengantarku pulang hanya suara motornya dan
dinginnya angin malam menjadi pengisi perjalanan
kami tak banyak percakapan, ia hanya menanya
dimana kos an ku, setelah sampai dan aku turun dari
motornya, ia langsung menancapkan gas motornya
dengan cepat tanpa mengucapkan apapun, malam ini
aku sadar bahwa tiap orang pasti memiliki waktu
untuk menyembuhkan dirinya sendiri.
Sudah seminggu semenjak kejadian malam
itu, aku melakukan aktivitas seperti biasanya,
semiggu pula aku tak melihat Afi di kampus,
biasanya aku suka melihat dia makan bubur ayam di
toko terdepan kantin kampus Teknik. Siang ini cuaca
begitu panas, aku membeli sebotol sprite dingin, usai
membayar aku melihat Afi sedang merokok dengan
tangan yang di perban di pintu keluar kantin.
“Afi, apa kabar?, kemana aja dari kemarin?.
Btw, makasih ya udah nganter gw pulang malam itu.
Eh ini ada sprite buat lu, tadi gw beli belum gw
minum.”
Aku mendekatinya dan bertanya, entah aku
merasa bahwa aku harus peduli dengan Afi.
“Baik, makasih gw gasuka sprite. Fa, lu mau
temenin gw ngga ke Malioboro?” Afi bertanya seakan
ingin mengajakku bercerita.

355
“Bo..boleh, gw juga kebetulan gaada shift
kerja hari ini.”
Kami jalan hingga keluar kampus lalu kami
menaiki dolman untuk menelusuri jalan kota
Malioboro yang ramai. 3 tahun aku disini, hanya 2
kali aku ke Malioboro, bagiku temat ini terlalu ramai
dan berisik. Kami berhenti di seberng Starbucks
Malioboro, Afi mengajakku duduk di salah satu
bangku jalanan ini, di depan kami ada sepasang suami
istri yang berjualan es dawet.
“Eh,mas Afi udah lama ngga kesini. Ini
pacarnya mas? Ayu banget mas, es dawet 2 ya, bentar
ibu buatin ya.”
“Iya bu, 2 es nya dibanyakin. Namanya Efa
bu, teman saya emang cantik banget bu.”
Aku melihat Afi menjawab dengan sangat
ramah dan aku menyadari senyumnya sangat manis.
“Efa, sebenarnya gw malu ketemu ama lo,
buat pertama kalinya gw nangis minta ditemenin
sama orang, sumpah gw malu banget makanya
seminggu ini gw ga ngampus.”
“Santai aja, gw bisa kok jadi temen curhat lu.”
“Gw anak broken home Fa,” Afi berkata
dengan lirih. “Ayah bunda gw cerai pas umur gw 13
tahun, gw tinggal bareng ayah gw. Kak Yara kakak

356
cowo gw tinggal bareng bunda. Ayah selingkuh dan
bunda nikah lagi. Dari kecil gw di didik buat masuk
Akmil, tapi bunda gw selalu menyuruh gw masuk
jurusan kedokteran, hal sekecil itu kadang yang buat
kedua orang tua gw berantem. Gw masih ga ngerti
kenapa orang tua gw selalu menjadikan gw sebagai
ambisi yang dulu gabisa dicapai, dan kak Yara pun
juga sama. Gw selalu berantem sama ayah gw, kata
ayah gw bukan anak baik, gw selalu membangkang,
ayah selalu ngerusakin miniature maket yang gw buat
di kampus. Kata ayah masa depanku suram di Teknik
biomedik, ia selalu bilang kerjaanku hanya bias
menjadi montir. Emang salah Fa, disaat gw milih
pilihan hidup gw sendiri. Di satu sisi gw gabisa
meninggalkan ayah, ayah gabisa sendiri karena
penyakit jantung nya yang sudah akut, yang membuat
bias kapan aja penyakit jantungnya kambuh, untuk
bunda sekarang ia sudah menerima gw masuk Teknik
biomedik. Walupun budan lebih sayang samak kak
Yara, karena kak Yara jadi dokter. Tau ga, alasan gw
ngambil teknik biomedik apa? Karena gw mau
nunjukkin ke ayah bunda kalau gw bakal bisa buat
alat pemompa pegganti jantung yang nanti bias
dipake ayah klo jantung ayah udah gabisa dipake lagi.
Lu sendiri kenapa Fa mau ngambil Teknik
dirgantara?”
“Ini dawetnya mas, mba silahkan dinikmati,.”
bapak es dawet datang menghantarkan pesanan kami.

357
“Makasih Pak,” jawabku.
“Ini es dawet lu, karena gw mau buat pesawat.
Gw mau bawa ibu gw terbang jauh dari sini, sejauh
mungkin ke tempat lain dimana ibu dan gw bisa
bahagia.”
“Emang lu ga bahagia kenapa Fa?”
Siang hingga sore ini akhirnya aku
mendapatkan teman cerita baru, yang bernasib sama
denganku bahwa hidup di bumi ini serba salah dan
melelahkan, Rafif Pradipta orang pertama yang
mengetahui kisah hidupku, biarkan hari ini kami
berbagi cerita sembari menikmati es dawet kami dan
melihat ramainya kota Malioboro.
Hari-hari berlalu cepat, 1 tahun kami menjadi
lebih dekat, sebatas teman dekat. Bangku depan
Starbucks Malioboro sekarang menjadi tempat
favoritku apalagi ditambah dengan minum es dawet,
di situ kami akan saling berbagi cerita tentang keluh
kesah kami selama menjalani hidup di bumi . Aku
pernah bertanya mengapa ia suka sekali tempat ini. Ia
hanya menjawab,
“Epaaaaa anak terjutek se antara kampus,
cuman ditempat ini gw bisa liat orang tanpa mengejar
ambisinya, liat banyak penjual yang menjual barang
sama tapi mereka ga saling menyaingi karena mereka

358
percaya aka rezeki Tuhan,”dia berhasil membuatlu
memandang dunia ini dengan kesederhanaanya.
Besok akhirnya kami wisuda, setelah revisi
berkali-kali akhirnya skripsi kami diterima. Sekarang
kami lagi mencoba baju wisuda untuk besok.
“Epa, gimana gw udah ganteng belom, liat nih
udah kece banget gw klo pake baju wisudaan gini.”
“Cantikkan juga gw liat nih, udah kek ibu
presiden,” jawabku dengan memutar badan.
“Idih, halu tuh gausa tinggi-tinggi entar kalo
jatuh sakit,” Afi menoel kepala ku membuat aku
cemberut.
“Fi, lucu yah besok kita wisuda tapi gaada
yang dateng. Ayah lu gamau datang, bunda lu lagi
keluar negeri, ibu gw udah ngga ada. Padahal kita
kuliah 4 tahun buat nunggu hari esok,” ibuku
meninggal 7 bulan lalu, kata dokter penyakit ibu
sudah sangat parah dan tak bisa diselamatkan.
“Gausah cemberut gitu makin lucu tau ngga,
gausah dikeluhin emang udah jalan hidup itu, dah mo
pulang gw sekarang dah malem tar gw digebukin ibu
kos lu lagi.”
“Yeuu sukurin sapa suruh malam-malam main
ke kos gw mulu, mana kesini cuman minta
dimasakkin mie, gamodal lu.”

359
“Hahaha gw modal ya buktinya gw selalu
bawa mie nya sendiri. Dah ya byee,”dia menjawab
dengan tawanya yang khas.
Hari ini aku resmi menjadi Zefana Harum
S.T . akhirnya aku mendapatkan gelar ku, namun aku
belum melihat Afi sampai sekarang saat pemindahan
toga oleh rektor tadi aku tak melihatnya. Ada yang
nggak beres aku segera menelfon Afi.
“Afi, lo dimana sih jangan bilang lu kesiagan
ya, gadateng wisuda jadinya ihh lu gapernah serius
ya?”, aku kesal dengannya.
“Ayah pergi Fa. Dia pergi selamanya,” setelah
itu telfonnya terputus aku segera pergi kerumah
ayahnya.
10 hari berlalu, Afi masih mengurung diri
dikamarnya, ia meyalahkan dirinya sendiri. Kak Yara
dan bunda udah berusaha ngerayu Afi buat keluar
namun masih sama saja ia tetap tak mau keluar.
Akupun berdir didepan pintu kamarnya.
“Fi, pleasee deh buka pintunya, ini udah hari
ke 10 loh gw kesini, lu ga kasian sama gw tiap hari
gw bawain lu makanan tapi nggak lo makan,”
terdengar pintu kunci terbuka aku pun segera masuk.
“Fa, gw salah besar gw anak yang banyak
dosa. Seharusnya malam itu gw nggak maksa ayah

360
buat datang wisuda, gw berantem Fa sama ayah, sakit
jantung ayah kambuh sehabis gw berant
em sama dia, gw merasa gaguna Fa kuliah 4
tahun di teknik biomedik, berharap bisa buat alat
pompa jantung buat ayah, tapi gw yang ngebuat ayah
pergi,” Afi berkata dengan penyesalan yang
mendalam.
“Tapi dunia lu ga berhenti di sini Fi, katanya
lu masih mau buktiin ke bunda dengan membuat alat
popa jantung, ayo semangat lu pasti bisa.”
“Gw pasti bisa Fa, pasti bisa!!, gw akan buat
alat itu biar ngga ada yang namanya Afi ke 2, cukup
gw kehilangan ayah gw karena penyakit jantung yang
sulit untuk bekerja normal.”
“Tapi Fi gw izin pergi ya, gw mau ngelanjutin
kuliah gw di jerman bulan depan, 2 bulan lalu gw liat
Technical University di Jerman lagi buka beasiswa
S2, gw coba daftar dan gw keterima, maaf ya baru
ngasih tau sekarang.”
“Engga Fa, itu bercanda kan, lu gamungkin
ninggalin gw kan. Kok lu gapernah cerita ke gw?
Udah pasti lu bercanda,” mata Afi mulai memerah, ia
kecewa.
“Maaf ya Afi, gw mau ngomong pas wisuda
kemarin tapi ternyata gabisa.”

361
“Gw kecewa sama lu Fa, lu gabilang gw kalau
mau pergi, sekarang gw mau sendiri fa,”kulihat air
matanya kembali menngalir. Aku pun pergi dari
rumahnya, mungkin ia butuh waktu.
Sebulan aku tak bertemu Afi, ia tak bisa di
hubungi, aku mengiri pesan pada nya untuk bertemu
di bangku Malioboro tempat biasa kami bercerita
nanti sore, entah ia akan membacanya dan datang
atau tidak aku akan menunggu disana.
Sudah satu jam aku menunggu, Afi tak
kunjung datang, mungkin usai disini pertemanan
kami, akhir kisah pertemanan yang tak elok. Aku pu
beranjak berdiri melihat kembali kota Jogjakarta ini,
terimkasih kepada Rafif Pradipta yang telah
mengajarkanku untuk memahami sudut pandang yang
berbeda tentang kota ini. Jogjakarta aku akan pergi.
Aku pun siap berjalan menaiki dolman.
“Efaaaa,”teriak seorang lelaki yang suaranya
kukenal. Aku pun berbalik.
“Afi!!!”
“Maafin gw, gw gaberani buat ketemu lo,
maaf Fa gw udah jadi cowo pengecut, maafin gw
yang gapernah jujur tentang perasaan gw buat lo. Gw
suka sama lo selama ini.”
Aku pun tersenyum dan memeluknya.

362
“Iya, lo pengecut dan gw orang yang gapeka,
makasih buat 1 tahunya dan makasih buat kejujuran
lo, lo bakal jadi teman yang selalu gw inget
disana,”Afi mengambil wajahku dan menatapku.
“Zefana Harum, anak teknik dirgantara yang
juteknya melebihi batas, anak yang jadi pendengar
setia gw, dan cinta pertama gw. Fa, nanti di masa
depan kalau kita bertemu lagi, izinkan gw jadi bagian
hidup lu melebihi dari teman dekat yang selalu ada di
sisi lu, lu janji kan?”aku hanya mengangguk dan
mulai meneteskan air mata.
“Gw janji, di masa depan kalau kita bertemu
lagi, lo bakal jadi orang spesial buat gw.”
“Udah gausah nangis, jelek tau ga lu kalau
nangis, hati-hati ya disana,” kami kembali
berpelukan.
Kami berpisah untuk sekarang, jalan terbaik
untuk kami. Aku gadis yang tidak peka dan Afi laki-
laki yang pengecut untuk perasaannya. Mungkin
kisah kami telah berakhir, atau mungkin kisah kami
baru di mulai, sampai berjumpa di lain waktu Afi
dengan pribadi kita yang kebih baik.

363
Kompulasi Semesta
Karya Raihan Marvi

Entah sudah berapa jam pemuda itu pingsan.


Perlahan,ia kejapkan matanya beberapa kali hingga
penglihatannya membaik. Namun penglihatannya
tidak salah, disekelilingnya memang tak ada cahaya.
Napasnya terengah. Khawatir, takut, panik, semua
bercampur satu. Ia beteriak meminta
tolong,menunggu,teriak lagi,menunggu lagi. Sia-
sia.Ia mulai mengatur nafasnya dan memerhatikan
keadaan sekitar. Hening. Tidak ada suara orang
dikejauhan.Hanya dedaunan yang diempas angin dan
suara hewan-hewan malam.Ia mencoba menggerakan
kaki kanannya. Sakit.Kaki kanannya seolah
berkhianat,tak mau begerak dan terasa ngilu.Ia
kembali beteriak dan mulai tersedu-sedu. Oh, betapa
rasa ego dan sombong yang pernah membumbung
dadanya kini menciut dilahap pepohonan yang berdiri
tegap disekitarnya.
Ia mencoba mengingat kembali detik-detik
terakhir yang membuatnya terbaringg di lumpur yang
menggeanginya sekarang. Setengah dirinya masih
berharap kejadian itu hanya mimpi. Ia
tergelincir,kakinya patah karena berusaha lawan
gravitasi yang memaksanya jatuh dari ketinggian,

364
berguling-guling, hingga akhirnya masuk ke dalam
jurang. Tapi bukan, itu bukan mimpi. Kakinya
memang patah, dirinya memang sedang bergelimang
lumpur, hari memang sudah gelap, dan ia memang
sendirian.
Betapa pemuda itu menyesal karena telah
merasa sok tahu; berjalan tanpa seorang pun
pendamping kala turun dari puncak gunung, karena
menganggap otaknya sudah cukup hafal apa yang
harus dan apa yang tidak boleh diinjak. Kini ia
mafhum, berjalan sendirian hingga terjatuh kejurang,
tanpa ada saksi mata, atau seorang pun temannya
melihat. Ia merenung dan menyadari kesalahan yang
fatal. Kesalahan yang mesti ia tanggung dengan
menjadi korban dari keganasan alam. Kini, ia
tertunduk pada kekuasaan gunung yang memaksanya
merebahkan diri. Ia meraba lagi kaki kanannya. Ia
meringis ngeri ketika telapak tangannya menyentuh
ujung tulang kering yang mencuat dari kulit kaki
yang robek.
Di usianya yang sebentar lagi menginjak dua
puluh satu tahun,puluhan gunung telah ia taklukan,
puluhan puncak telah ia gapai, dan ini merupakan kali
kedua pemuda itu mendaki gunung ini. Kali kedua
dan paling nahas. Suaranya parau ketika mencoba
lagi meminta tolong. Setelah melakukan beberapa
gerakana yang tidak membawanya ke mana-mana,

365
pemuda itu menyerah. Ia pun berusaha mengolah
emosi, seperti yang para seniornya pernah memberi
tahu, bahwa di keadaan seperti ini hendaklah tidak
panik. Tapi, teori sih mudah, batinnya.
Rintik gerimis kembali membasahi batok
kepalanya yang kini diselimuti rasa takut. Hujan
memang datang dan pergi seenaknya di gunung.
Pemuda itu berdoa, karena hanya berdoalah yang
tersisa untuk dilakukannya. Ia berharap teman-
temannya bisa segera menemukannya. Betapa ia
rindu kamarnya, betapa ia rindu berselimut di kamar
tidur setelah mandi air hangat.
Di tengah lamunan, ia lihat melihat seberkas
cahaya turun dari arah atas. Ia mengerjap-ngerjap.
Apa ini halusinasi?pikirnya. Ia kembali berdoa.
Cahaya itu terus mendekat ke arahnya. Terang, putih,
menyilaukan mata. Doanya semakin keras. Doa demi
doa yang jarang ia ucapkan kini silih berganti
berhamburan dari bibirnya. Nyalinya ciut bukan
kepalang. Kepercayaanya yang selama ini
menganggap bahwa makhluk gaib itu tidak ada,
pupus begitu saja.
Cahaya itu berpendar satu meter dari arah
kakinya yang terkulai lemas. Cahaya itu kemudian
meredup,hingga akhirnya membentuk sebuah sosok.
Pemuda itu memicingkan mata , antara takut dan
penasaran. Kuntilanak-kah? Dedemit-kah?

366
Seorang perempuan berdiri di hadapan si
pemuda. Sinar yang tadi menyelimuti perempuan itu
kini telah padam. Tapi, kilauan di kulitnya masih
berbinar terang. Rambut panjangnya tergerai hingga
punggung, begerak-gerak tertiup angin yang sedari
tadi kencang. Kemban hijau muda yang dikenakannya
kering. Rintik gerimis seakan tidak menyentuhnya
sama sekali, apalagi dinginnya gunung. Tangannya
dalam posisi tapa. Bibir perempuan itu merah tipis,
hidungnya sangat mancung. Wajahnya benar-benar
ayu khas wajah-wajah bangsawan. Katup matanya
perlahan terbuka, menunjukan bahwa memang
seharusnya pemuda itu tunduk penuh rasa gentar di
hadapannya. Namun, kini ada perasaan lain di benak
pemuda itu. Ia tidak lagi tahu anatar berurusan
dengan rasa takut atau terlarut dalam rasa kagum
yang dipancarkan perempuan bercahaya itu.
Mereka bertatapan selama beberapa detik,
hening. Entah bagaimana, sang pemuda mulai
beranggapan bahwa si perempuan ayu bercahaya itu
laksanan bidadari yang pernah diceritakan ibunya
dalam dongeng-dongeng tentu saja kuntilanak pun tak
pernah memakai kemban semenarik itu. Sementara,
perempuan itu memasang raut wajah heran
bercampur waspada pada pemuda yang ia temukan di
dasar hutan itu.

367
Beberapa detik penuh takjub berlalu. Pemuda
itu memberanikan diri untuk bertanya. Tak diduga,
perempuang yang biasa dipastikan bukan manusia
tersebut mampu menjawab dengan bahasa manusia.
Dewa-dewa telah menganugerahinya kemampuan
untuk bertutur kata dan sapa dengan segala jenis
makhluk yang bisa berpikir, apa pun bangsa dan
bahasanya. Ada rasa tenang ketika pemuda itu bahwa
perempuan tersebut tidak membawa maksud untuk
menyakiti, apalgi untuk mengambil nyawanya.
Sejujurnya, pemuda itu sempat berpikiran kalau sang
perempuan berkemban akan memakannya hidup-
hidup.
Perempuan yang kulitnya diselimuti cahaya
itu, Nirmala namanya, sering datang ke gunung ini
jika hatinya sedang gundah. Malam ini, ayah Nirmala
marah perihal penolakan anak semata wayangnya
akan lamaran seorang lelaki. Padahal usia Nirmala
sudah menginjak 25 tahun. Di negerinya, perempuan
berusia dua puluh lima tahun yang belum menikah
sama saja dengan membuat malu keluarga. Perawan
tua, kata mereka. Wajar saja, Nirmala adalah anak
seorang ningrat, ayahnya seorang raja dinegrinya. Di
saat yang sama, Nirmala turun ke gunung untuk
menenangkan pikirannnya. Kebetulan , tanpa
disengaja, pemuda itu berada di tempat favoritnya
untuk menenangkan dirinya. Dasar hutan lebat yang

368
kebanyakan orang adalah tempat menyeramkan. Sang
takdir mempertemukan mereka berdua.
Pemuda itu, Adabana namanya, memakan apa
pun cerita tidak logis yang disunguhkan Nirmala.
Entah tentang negeri di atas awan, entah tentang
Dewa-dewa, entah tentang bangsa yang telah
mengikuti jejak langsung kehidupan di bumi dari
jutaan tahun silam. Toh, semua cerits itu terasa
rasional-rasional saja jika disandingkan dengan sosok
Nirmala yang bahkan kedatangannya pun memakai
cara yang tidak lazim.
Mereka pun mulai bercakap,meski lebh sering
tidak menyambung. Bayangkan saja dua sosok dari
dua dunia berbeda, dipertemukan dalam situasi yang
aneh. Tapi, bagi Adabana sendiri, lebih baik
berbincang tentang kemuskilan, daripada kembali
gelap-gelapan sendirian.
Perlahan, Adabana berusah berdiri. Ia
kemudia berjalan tertatih keluar dari lumpur yang
membuatnya tampak konyol dihadapan perempuan
itu. Adabana kemudian duduk di atas runtuhan pohon,
mendengarkan keluh kesah Nirmala. Waktu terus
berlalu,hingga akhirnya ada keengganan dalam diri
Adabana untuk permisi pergi, bahkan setelah merasa
dirinya telah bisa berjalan normal. Sosok perempuan
itu menariknya untuk tetap tinggal. Lama-
lama,obrolan pun tiba di titik temu. Adabana

369
memberikan nasihat atas cerita pernikahan paksa
yang akan digelar sang Ayah. Ada kagum yang
Nirmala rasakan saat lelaki yang lebih muda darinya
itu memberinya wejangan seolah ia sudah hidup
tahunan lebih lama dari Nirmala.
Mereka berbincang sampai pagi menjelang.
Tiada lagi ada rasa takut dalam diri lelaki itu. Satu-
satunya yang ia takutkan sekarang adalah kembali ke
dunia nyata di mana smeua terasa biasa saja. Takkan
ia temui cahaya Nirmala di sudut kamarnya,bukan?
Namu, sahut-sahut dari kejauhan yang
memanggil nama Adabana membuat tuan putri harus
pergi. Nirmala berasal dari bangsa yang pemalu,
bangsa yang sebenarnya tidak boleh berinteraksi
langsung dengan manusia. Mereka lebih memilih
untuk melihat dan mengamati tingkah laku manusia
yang tampaknya lebih sering menghancurkan
daripada memperbaiki. Itulah kenapa ayah
Nirmala,sang raja, berpesan agar anaknya jangan
pernah membuat kontak dengan manusia. Tapi bagi
perempuan itu, Adabana adalah pengecualian. Ia
berjanji akan menemuinya lagi esok hari. Tak perlu
Adabana tanya bagaimana caranya,Nirmala pasti
akan datang kembali. Nirmala merasa tawa tulus
Adabana-lah yang bisa melukis tawanya, bukan lelaki
tampan nan kaya yang disodorkan sang ayah
padanya.

370
Nirmala pergi. Cahayanya meninggalkan
hutan yang baru akan disiram matahari. Teman-teman
Adabana datang dan menolong pemuda itu,
membawanya pulang,kembali pada kehidupan nyata
di mana kota adalah nagian dari kita, dan kita adalah
bagian dari sistem.
Namun,Nirmala tidak datang.Esok, lusa,
sebulan kemudia, hingga bulan-bulan berikutnya,
perempuan itu tidak pernah datang lagi menemui
Adabana. Perlahan Adabana melupakan kejadia di
gunung, meski hatinya tidak pernah benar-benar lupa.
Tiga ratus enam puluh lima hari telah berlalu
semenjak Adabana ditolong oleh seorang bidadari.
Pernah beberapa kali Adabana berandai=andai, jika
saja ia tahu bagaimana cara merebut selendang
Nirmala agar perempuan itu menetap dan tak kembali
pulang. Tapi, mimpi konyol semacam itu sudah lama
dihapusnya. Kata siapa pula Nirmala terbang
menggunakan selendang?
Kampus sudah sepi. Adabana menyalakan
sepeda motornya tatkala adzan isya berkumandang. Ia
baru akan pulang ketika dilihatnya cahaya yang sama
dengan di gunung datang mendekat. Adabana melihat
ke orang-orang di sekelilingnya, tiga orang di depan
ruang sekretariat, seorang dosen yang baru keluar dari
parkiran kampus, tidak ada seorangpun yang melihat
cahaya itu. Hanya Adabana yang melihatnya.

371
Adabana mengucek mata. Diletakannya
kembali helm di spion sepeda motor. Ia kemudian
berjalan ke arah cahaya itu melayang, ke bagian kelas
yang sudah gelap,Jantungnya berdegup kencang.
Perempuan itu masih saja cantik, dengan
posisi mendarat yang sama seperti tatkala turun di
gunung. Kulitnya masih bercahaya, namun sekarang
kembannya berwarna merah muda. Andai Nirmala
adalah manusia, rasanya pantas jika paras itu
dipampang di iklan pelembab wajah atau sabun
muka.
Nirmala tersenyum, Adabana tidak. Ia
menagih janji Nirmala yang harusnya datang dari
setahun yang lalu. Nirmala tertawa, nyari tanpa dosa.
Perempuan itu lupa menjelaskan bahwa kalau satu
hari di dunianya sama dengan satu tahun di dunia
manusia. Adabana juga lupa kalau dongeng punya
dimensiinya sendiri, yang takkan sekonyong-konyong
ia mengerti. Adabana hanya perlu menelan bulat-
bulat lagi fakta aneh itu, bahwasannya memang
Nirmala menempati janjinya.
Tidak jadi marah, Adabana berlari ke arah
ruang sekretariat pecinta alam. Ia bergegas meminjam
helm. Untuk siapa? tanya kawan-kawannya,
penasaran. Adabana hanya mengibaskan tangan,
tanda tidak mau cerita.

372
Adabana mengajak Nirmala berkeliling
dengan sepeda motor, berputar-putar di kota kelahiran
lelaki itu. Sebetulnya, Nirmala sudah beberapa kali
melihat moda transportasi berbentuk sepeda motor,
tapi baru kali pertama ini ia duduk dia atas joknya
dan merasakan angin membelai lembut rambutnya. Di
atas sepeda motor, mereka bercerita tentang banyak
hal. Nirmala bilang kalau sang ayah msih bersikeras
menikahkannya dengan pangeran dari seberang awan.
Adabana yang sduah bertambah usia tentu saja lebih
bijaksana lagi dalam menanggapi curahan hati sang
bidadari. Nirmala merasa betul-betul didengarkan.
Dulu, gadis itu bisa menemukan sosok tersebut di diri
ayahnya yang selalu bercerita tentang dongeng-
dongeng purba. Namun ketika sang ayah malah
menjadi musuh prinsipnya, sosok Adabana-lah yang
membuatnya nyaman.
Di pinggir jalan raya yang kalau malam
berubah bentuk menjadi jajaran tempat makan,
Nirmala dan Adabana menyantap nasi goreng. Untuk
lidah Nirmala nasi goreng adalah makanan terlezat
yang pernah ia coba. Di negrinya, hanya variasi
daging burunglah satu-satunya sajian yang bisa ia
makan. Kerajaannnya memang yang paling maju
dalam pengolahan tenaga petir, daging burung tidak
pernah gosong dalam penyajian. Tapi nasi digoreng?
Apa pula itu nasi? Nirmala menyantap dengan lahap.
Adabana hanya tertawa melihat tingkah laku Nirmala.

373
Perempuan dewata nan anggun itu perlahan tampak
menjadi sosok perempuan biasa, yang dirasa Adabana
wajib ia lindungi. Dan Adabana, sebagai seorang
lelaki, butuh sosok seperti itu.
Mereka lanjut berekendara, hingga menuju
bukit.Mereka lalu bergadang bersisian di sisi bukit.
Adabana ingin sekali melihat mentari pagi bersama
Nirmala. Tapi, sayangnya, perempuan itu harus pergi
pada jam lima pagi. Katanya, panas matahari di dunia
manusia berbeda dengan panas matahari di negerinya.
Ada beberapa hal di dimensi manusia yang terlalu
kuat untuk Nirmala terima, dan salah satunya adalah
panas mentari. Bertatap muka secara langsung dengan
bola pijar panas gas itu akan membakar kulitnya
hingga hangus. Setelah dua porsi mi ayam (iya
Nirmala makan lagi) ditambah pelataran kota yang
bersinar di kejauhan dinikmati oleh Nirmala, ia
kembali menjadi seberkas cahaya yang terbang ke
langit pergi. Pergi. Jauh.
Adabana duduk termangu. Perempuan cantik
itu berjanji akan datang lagi esok hari, yang kali ini
sudah Adabana pahami, itu adalah 365 hari dari
sekarang.
Kali ketiga pertemuan mereka, Nirmala
pangling dengan penampilan lelaki yang berdiri
dihadapannya. Adabana berambut panjang. Kumis
menghiasi atap bibirnya. Lelaki yang sebentar lagi

374
menginjak usia 23 tahun tersebut sebetulnya ingin
tampak lebih tua dari Nirmala. Tapi, mengultimatum
lelaki untuk melakukan hal yang ia suka. Nirmala
lebih suka rambut Adabana yang seperti tahun lalu.
Maka, berangkatlah mereka ke tempat pangkas
rambut di sudut kota. Putri raja atauapun bukan, titah
perempuan menjelma sabda begi lelaki yang
mempunyai perasaan lebih terhadapnya. Lagi pula, di
pertemuan mereka yang bagi Adabana terbilang
sangat jarang dan sangat singkat, dirinya ingin
memperlihatkan kualitas diri yang terbaik pada
Nirmala.
Pukul sembilan malam, pertunjukan di gedung
bioskop dimulai. Nirmala terpingkal-pingkal melihat
adegan film layar besar. Awalnya ia heran dengan
konsep film. Maklum saja, gedung bioskop bukanlah
hal yang menarik untuk ia pantau dari negeri di atas
awan sana.Jadi, ini adalah kali pertama Nirmala
melihat layar berisi gambar bergerak. Malah ia kira,
seluruh adegan yang ada di film adalah sungguhan.
Tapi, setelah dijelaskan oleh Adabana, ia paham. Saat
itu pula, Nirmala jatuh cinta dengan apa yang disebut
“seni peran”.
Ketika mereka berjalan menyusuri kota yang
hampir tiba pada pertengahan malam, perempuan itu
terus bercerita tentang adegan-adengan yang
dinikmatinya sambil sesekali meniru gaya sang aktor.

375
Adabana hanya tertawa, matanya mengisyaratkan
damba. Kata-kata Nirmala luruh menjadi gema, bola
matar berbinar milik perempuan itu terus membuat
jantung Adabana berdebar.Namun, Adabana sadar,
bagi Nirmala, ia hanyalah teman lelaki yang harus
baru ia kenali selama tiga hari, tidak lebih.Tangannya
pun tetap sopan, tidak dijatuhkan di tangan Nirmala,
walaupun suasana malam terlalu romantis untuk
diabaikan. Rembulan utuh menghiasi angkasa, beradu
tanding dengan lampu jalan yang menerangi kaki
mereka.
Mereka singgah sejenak di sebuah studio foto,
satu-satunya yang masih buka di pertengahan malam.
Empat kali lelaki yang tak biasa difoto dan
perempuan yang bekum pernah difoto itu bergaya
kaku. Saat gambar jadi, pihak studio berkali-kali
meminta maaf karena ada kesalahan teknis.
Perempuan di foto itu hanya berbentuk cahaya.
Adabana dan Nirmala menolak untuk bergaya ulang.
Mereka tahu, itu bukan kesalahan studio foto.
Nirmala bermalam di rumah kontrakan tempat
Adabana tinggal. Setelah tak henti-hentinya
berdiskusi, Nirmala kelelahan pun tertidur. Dari sofa,
diseberang ranjang tempat Nirmala tertidur, pemuda
itu menatap wajah sang bidadari. Hanya itu yang
hendak ia lakukan, lainnya tidak. Ia merasa Nirmala
terlalu berharga untuk dinodai.

376
Saat Adabana ketiduran di sofa, perempuan
itu bagun, lalu melompat ke arah jendela; terbang
tinggi menuju ke antah berantah. Sebelum pergi,
Nirmala sempat menatap wajah Adabana yang sedang
tertidur. Cukup lama, cukup untuk perempuanitu
merasakan debaran di dadanya.
Kebanyakan lelaki, bukanlah makhluk setia.
Kita tahu itu. Mereka lebih rentan dengan godaan.
Apalagi dengan situasi ketidakjelasaan hubungan dan
perlunya waktu satu tahun untuk setiap perjumpaan.
Adabana sempat satu-dua kali berpacaran dengan
gadis dikampusnya, mengisi kekosongan dalam tahun
yang akan kembali sang bidadari. Toh, memang tidak
pernah ada hubungan apa-apa antara dirinya dengan
Nirmala. Meskipun begitu, Adabana hanya
menganggap gadis-gadis itu sebagai pelipur lara
sementara, bukan tempat sebenar-benarnya ia
menaruh hati.
Hari keempat Nirmala menemui Adabana
adalah tahun keempat bagi Adabana sang bidadari.
Pemuda itu sudah berumur 24 tahun itu sedang
disibukkan dengan skripsi. Hari-hari yang tadinya
dipenuhi oleh kegiatan bermain game, futsal, atau
pendakian gunung, kini beralih wajah menjadi
lembar-lembar kertas. Tapi, tentu saja selalu ada
waktu untuk Nirmala. Harus ada. Satu hari

377
bertamasya dengan perempuan itu takkan membuat
skripsinyaa berantakan, bukan?
Mereka pergi ke pasar malam, menikmati
keseruan di sana, Nirmala betul-betul suka dengan
suasana dan keramaiannya. Ia bisa melihat
bermacam-macam jenis manusia dengans egala
tingkah polanya. Gula-gula kapas membuat Nirmala
merem melek. Es krim membuat perempuan itu
diliputi kegembiraan. Konyolnya, karena takut,
Nirmala memukul hidung pocong-pocongan di rumah
hantu. Adabana sampai meminta maaf pada pihak
atraksi rumah hantu.
Jam lima pagi lewat lima belas menit, Nirmala
permisi pergi. Kini ada rasa enggan di hati mereka
berdua dengan melepas satu sama lain. Adabana
mencium kening Nirmala sebelum perempuan itu
benar-benar berubah menjadi cahaya; pertanda bahwa
ia adalah milik Adabana, setidaknya begitu hati
Nirmala berkata.

378
Impian Terbesar
Karya Robiatul Adawiyah

Langit terlihat begitu indah, bulan terlihat akan


menggantikan matahari, senjapun datang menyapa. Ku
dudukkan diriku di teras rumahku ketika senja datang
menyapa, saat itu aku berfikir tentang sebuah impian. Apa
kalian tau apa itu imipan? Menurutku, impian merupakan
sesuatu yang sangat ingin kita capai. Terkadang ketika
impian kita tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan
mungkin hati akan merasa sakit, tapi aku mencoba
meyakinkan hatiku kalau semua adalah garis hitam dalam
hidupku.
Aku, Fisya hanya seorang anak perempuan
sederhana yang megharapkan impian terbesarnya akan
tercapai. Impian terbesarku adalah menjadi seorang dokter
yang bermanfaat bagi kehidupan orang lain dan bisa
menyembuhkan berbagai penyakit agar meringankan
derita orang yang sakit dan terluka. Membayangkan betapa
bahagianya dan bangganya kedua orang tuaku nanti,
sangat membuatku tidak sabar ingin mewujudkan
mimpiku itu. Ku tutup kedua mataku seraya mendesah
pelan dan membisikkan harapan agar impianku terwujud
kepada Tuhan.
Di tengah kegiatanku itu, terlintas sekilas dalam
fikiranku khayalan tentang sebuah gambaran impianku
terwujud. Tentang sebuah impian yang sangat aku damba-

379
dambakan. Pertanyaan demi pertanyaan datang bertubi-
tubi menghantui fikiranku. Ku buka kedua mataku
kembali lalu menatap langit senja yang mulai pudar dan
tersenyum cerah kepada langit yang seakan-akan
menyemangatiku.
“Fisya” ku tolehkan kepalaku ke arah samping
ketika mendengar suara lembut itu memamnggilku, ku
dapati seorang wanita cantik yang sudah tak muda lagi
duduk di sampingku entah sejak kapan. Wanita yang
sudah tak muda itu adalah Ibuku yang sedang tersenyum
manis menatapku.
“Ibu? Sejak kapan Ibu ada di sini?” tanyaku
dengan kening berkerut.
“Hmmm sepertinya sejak 5 menit yang lalu”
jawab Ibu.
“Serius Bu?” tanyaku dengan kaget.
“Iya Ibu serius” jawab Ibu. Setelah itu aku
kembali dengan kegiatan awalku yaitu termenung dengan
menikmti semilir angin malam yang berhembus menusuk
kulitku hingga aku kedinginan.
“Kamu kenapa Sya? Masih memikirkan impian
terbesarmu? Impian untuk menjadi dokter?”
Senyap. Tak ada jawaban yang keluar dari
mulutku. Ibu melirik ke arahku sekilas. Bingung. Itulah
yang Ibu lihat dari raut wajahku.
“Syaaaa?”

380
“Ah iya kenapa Bu?” jawabku sedikit kaget.
“Jawab pertanyaan Ibu Sya” jawab Ibu dengan
sabar dan lembut.
“Hmmm iya Bu aku masih memikirkan impianku
untuk menjadi dokter” jawabku dengan lesu.
“Apa yang mengganggumu sampai kamu terus
memikirkan impianmu tu?”
“Aku hanya memikirkan apakah aku bisa menjadi
dokter suatu saat nanti? Bagaimana jika aku gagal menjadi
dokter? Apakah aku sudah benar memilih impianku?
Apakah jika aku menjadi dokter, aku bisa bertanggung
jawab dengan pekerjaanku sebagai dokter? Apakah aku
akan menerima dengan ikhlas jika aku tidak bisa
menggapain impianku?” sedih dan lega saat aku
mengungkapkan semua pertanyaan yang tadi aku fikirkan
kepada Ibu.
“Syaa, Ibu hanya bisa bilang sama kamu kalau
kamu tidak salah memilih impianmu. Impian itu bebas,
terserah diri kita sendiri kita akan memilih impian kita
seperti apa. Tidak ada impian yang salah dan benar. Kamu
hanya perlu berusaha keras dan pantang menyerah untuk
menggapai impianmu, tapi jika pada akhirnya impianmu
tidak tercapai ingatlah sebuah pepatah Sya jika kegagalan
bukanlah akhir dari segalanya. Proses menjadi suatu
yang beharga itu tak semudah membalikkan telapak
tanganmu. Ibu yakin dibalik kegagalanmu nanti akan
datang suatu kebaikan dan keindahan yang lain yang akan
membuatmu bahagia. Jika memang impianmu tercapai

381
bersyukurlah Syaa, soal bertanggung jawab Ibu yakin
dengan sendirinya rasa tanggung jawab itu akan ada di diri
kamu sendiri Sya. Tuhkan Ibu jadi bicara panjang kali
lebar nih. Hahaha ” nasehat dan canda Ibu. Terharu dan
sedih saat aku mendengar semua nasehat ibu.
Ku peluk ibu dan kemudian aku berkata dengan
suara bergetar menahan tangis, “Terima kasih Bu,
maafkan aku yang bimbang ini yaa Bu” kemudian aku
tertawa karena mnegingat kalimat akhir yang Ibu katakan.
Tiba-tiba seseorang datang mengagetkanku dan
Ibu dari belakang, “DOOOOR” teriak Ayah
“AAAAAAA” teriakku kaget dan Ibu yang berada
di sebelahku pun mengusap dada kaena sama terkejutnya
dengan diriku.
“Hayooo kalian lagi bicarain apaa? Kok sampe
kayak kaget gitu?” tanya Ayah
Sambil memeletkan lidah aku berkata, “Iiih Ayah
kepo deeeh”
“Tau nih Ayah masalah perempuan nih” canda Ibu
“Oooh gitu yaa, yaudah deh” kata ayah dengan
lesu
“HAHAHA engga kok Yah bercanda kok kita”
kataku dengan tertawa kencang
“Ini loh Yah, Fisya kepikiran mulu sama
impiannya” jawab Ibu

382
“Kepikiran kenapa Bu?” tanya Ayah dengan
kening berkerut
“Fisya takut Yah kalau impian dia gak tercapai
gimana terus kalau misalkan udah tercapai gimana kalau
dia gak bisa tanggung jawab sama impiannya” jelas Ibu
“Oalaah terus apalagi Bu?”
“Udah Yah terus tadi udah Ibu nasehatin kok Yah
udah Ibu semangatin juga panjang kali lebar lagi Yah”
jawab Ibu
“Oke deh Bu. Sekarang giliriran Ayah nih, Syaa
dengerin Ayah yaa”
“Iya Yah”
“Ayah hanya mau kamu jangan terlalu banyak
fikiran tentang impianmu jalani saja dengan semestinya
soal kamu bisa mencapainya atau tidak itu tergantung
takdir kamu yang penting sekarang ini kamu berusaha dulu
aja Sya. Ayah yakin usaha tidak akan mengkhianati hasil”
nasehat Ayah seraya tersenyum lembut.
“Iya Syaa. Apapun impianmu Ibu dan Ayah akan
mendukungmu. Ayo kita wujudkan impianmu itu Sya”
kata Ibu dengan semangat.
“AYOOO KITA WUJUDKAAN” jawabku tak
kalah semangatnya.
Aku ingat ada sebuah kalimat yang selau
menguatkanku yaitu try to be something if you’re nothing.

383
Try to be somebody if you’re nobody. But don’t try to be
someone else just be yourself.

384
Sempena
Karya Safira Salsabillah

Penghujung bulan Agustus. Beberapa jam lagi hari


sudah masuk awal bulan September. Langit sudah
diselimuti awan hitam menutupi keindahan senja di sore
hari.
Ya, memasuki bulan September memang cuaca
hujan sudah mulai meringsek memaksa untuk segera
menurunkan butir-butir air. Air yang sepertinya memang
sudah siap menghujam tanah yang perlahan mulai kering
dan tandus.
Di depan halte yang berada di pinggiran kota, para
pengendara motor menepi. Ada yang sekadar memakai
mantel atau ada juga yang bertahan menunggu hujan
sedikit agak reda. Satu per satu halte mulai ramai. Para
pengemudi berdesak-desakan di bawah atap hanya untuk
tidak terkena percikan air hujan.
Sama halnya dengan seorang gadis remaja yang
memutuskan untuk menepi di halte itu juga. Karena
berada didalam kerumunan, ia mendengar hiruk pikuk
orang yang berbincang. Ada yang bersyukur diturunkan
hujan hari ini (setelah 3 bulan tidak membasahi kota),
namun ada juga yang malah tak terima dan marah.
Beberapa dengan alasan pekerjaannya jadi terhambat atau
ada juga yang ingin cepat-cepat pulang setelah lelah
seharian bekerja.

385
Gadis itu bernama Judy Deraina. Ia memang
sempat kesal ketika gerimis mulai mengetuk kaca helmnya
dari luar dan akhirnya membuat ia harus berdesakan di
halte yang sempit ini. Selain itu, ia juga memikirkan
tumpukan tugas sekolahnya yang harus diselesaikan
sesegera mungkin. Jadwal yang sudah ia buat jadi harus
mundur beberapa menit atau bahkan sampai berjam.
Sedangkan di sisi ujung, terdapat seorang laki-laki
remaja yang sedari tadi berada di pinggir halte tanpa ada
niat untuk masuk atau menyelinap ke dalam kerumunan. Ia
tampak menikmati sensasi hujan yang terpercik ke
mukanya. Jaket yang menutupi kemeja sekolahnya dan
celana abu-abu yang ia gulung sudah terlihat basah.
Judy memperhatikan lelaki itu dari kejauhan. Satu
kata yang terlintas di benaknya yaitu aneh. Semua
pengemudi berlomba untuk mendapatkan tempat yang
aman di dalam halte, sedangkan ia malah berdiri di
pinggiran halte. Sampai satu per satu orang mulai pergi
melajukan kembali motornya (karena menurut mereka
sudah sedikit reda, mungkin) lelaki itu tetap berada
dipinggir.
Judy tetap mengamati segala gerak-gerik lelaki itu
hingga tiba-tiba lelaki itu menengokkan kepalanya kearah
Judy. Hanya sekilas tapi mampu membuat Judy
memalingkan wajahnya malu karena ketahuan. Saat
kepergok, ia melihat muka lelaki itu walau samar-samar.
Mukanya seperti tidak asing, rasanya ia pernah bertemu
lelaki itu di suatu tempat, tapi Judy tak ingat dimana.

386
Setelah beberapa kali melirik untuk memastikan.
Ternyata lelaki itu sudah mau bersiap untuk pergi. Ia
bergegas menuju motornya yang diparkir di ujung jalan
(karena tadi penuh dengan motor pengendara lain). Mulai
men-starter motornya dan melaju dengan kecepatan
sedang, karena jalanan masih sedikit licin.
Judy tetap memperhatikannya dari saat ia naik
motor hingga tidak tampak punggungnya lagi. Diam-diam
Judy menaruh rasa penasaran dan iri akan sesuatu dalam
diri lelaki itu. Judy berharap ia tau apa itu, tapi ternyata
tidak. Ia menghela nafasnya dalam, biasanya hal ini
membantu ia agar lebih tenang dan relax. Lagi-lagi
ternyata tidak.
Ya sudah, sepertinya Judy memang harus
menyimpan rasa penasarannya ini. Mana mungkin kan ia
bertemu dengan lelaki itu lagi? Menghela nafas lagi ia
melihat sekeliling. Haltenya sudah sepi hanya tinggal
beberapa orang termasuk Judy. Hujan juga sepertinya
sudah lama reda. Ah, mengapa Judy tidak sadar ya?
Sepertinya ia terlalu asik dengan pikirannya. Ia
menggelengkan kepalanya sambil keluar dari halte menuju
motornya yang tak jauh dari halte.
Judy melajukan motornya membelah jalanan yang
masih setengah basah dengan rasa penasaran yang masih
membelai otaknya. Sejenak melupakan kalau tugasnya
masih menumpuk di rumah.
Keesokan harinya, Judy berangkat sekolah. Judy
adalah siswi SMA Negeri paling favorit di Jakarta. Dia
masuk di kelas 12 saat ini. Kelas yang sudah pasti

387
disibukkan dengan banyaknya try out, ujian, pendalaman
materi dan adanya bimbel tambahan. Sama dengan
kebanyakan siswa, Judy juga seperti itu. Tapi keliatannya
Judy lebih dari itu.
Judy selalu menempati ranking 3 teratas di
kelasnya. Tak heran jika teman- temannya merasa segan
dengannya. Belum lagi sifat Judy yang idealis dan sedikit
egois membuat beberapa temannya merasa tidak nyaman
walaupun masih ada yang menemaninya, tidak banyak sih.
“Judy! Liat PR kimia lu dong!” Seru salah satu
teman sekelasnya ketika Judy baru selangkah masuk ke
dalam kelas.
“Gamau, ah! Lu nyontek mulu, mana gue baru
dateng udah langsung di tagih aja.” Ucap Judy menolak
memberikan dan duduk di bangkunya (urutan ke 3 dari
paling depan sebelah kiri.
“Yaelah, pelit amat jadi orang. Kuburannya sempit
aja baru tau rasa!” Ucap temannya sedangkan yang lain
menanggapinya dengan tawa.
Judy sendiri mendengar ucapan temannya itu, tapi
apa boleh buat dia tidak akan memberikan PRnya kepada
teman-temannya itu. Enak saja, Judy saja mengerjakannya
hingga pukul 1 pagi dan teman-temannya hanya tinggal
menyalin? Lagipula, kalau pernah dikasih sekali keesokan
harinya apabila ada tugas lagi pasti akan meminta
jawabannya terus.
Atau bisa dibilang juga, Judy sangat menentang
segala bentuk kelicikan dalam proses belajar mengajar.

388
Saat ulangan dia tidak pernah mencontek sama sekali. Ia
rela belajar hingga pukul 3 pagi hanya untuk menguasai
materi. Terserah orang mau mengecap dia anak paling
ambis di muka bumi, toh itu untuk kebaikannya di masa
depan.
Bel masuk berbunyi. Judy dan teman-teman
sekelasnya bersiap untuk memasuki jam pelajaran pertama
mereka.
Ketika pulang sekolah, Judy tidak semerta-merta
bisa langsung rebahan di kasurnya yang empuk. Dia masih
harus mengikuti les tambahan di setiap hari selasa, kamis
dan sabtu. Bahkan ketika teman-temannya bisa jalan-jalan
atau sekedar beristirahat di rumah, ia masih harus belajar.
Terkadang Judy merasa lelah, namun mau tak mau
ia harus melakukannya. Selain karena angsurannya sudah
dibayar lunas, keinginan orangtuanya agar ia bisa
mendapatkan SNMPTN di jurusan kedokteran juga
membuatnya harus belajar lebih extra dari yang lain.
Saat di parkiran motor, Judy mencari letak motor
yang ia parkir tadi pagi. Setelah menemukannya, ia segera
memakai helmnya dan melajukan motornya. Ia tak ingin
telat dan melewatkan materi yang akan dijelaskan nanti.
Sesampainya di salah satu tempat les ternama, ia memarkir
motornya dan merapikan rambutnya yang berantakan
akibat memakai helm tadi.
Ternyata ketika memasuki kelas, ia terlambat 10
menit dari jadwalnya. Dengan asal ia menempati kursi
kosong yang masih tersedia dan tanpa sadar ada anak baru

389
pindahan dari hari lain duduk disampingnya. Judy
langsung fokus terhadap materi yang sedang disampaikan,
namun anak baru itu tetap menatap Judy. Rasanya seperti
pernah melihat muka Judy tapi entah dimana. Judy yang
merasa sedang diamati dari samping pun menengok ke
arah tatapan itu. Betapa terkejutnya Judy ketika mata
mereka bertemu.
Ah, sekarang anak baru itu ingat. Perempuan di
sampingnya ini adalah perempuan yang menatapnya di
halte tempo hari. Judy pun demikian, ia terkejut karena ia
ternyata bertemu dengan lelaki aneh yang ada di halte.
Dengan masih memasang tampang terkejutnya, Judy
bertanya kepada lelaki itu.
“Lu yang ada di halte minggu lalu, kan?”
Lelaki itu terkejut karena tidak menyangka
perempuan itu masih mengingat dia. Belum sempat
membalas ucapan Judy, guru yang sedang mengajar di
kelas mereka sudah menegur Judy agar tetap fokus pada
pembelajaran. Menjadi sebuah keberuntungan bagi lelaki
itu karena tak harus melanjutkan pembicaraan yang akan
menjadi canggung dengan perempuan di sebelahnya ini.
Setidaknya tidak sampai pulang nanti.
Namun dugaan lelaki itu salah. Nyatanya,
perempuan di sebelahnya tadi sedang mengejarnya yang
sudah lebih dulu keluar dari kelas mereka. Dengan
terengah-engah Judy berusaha memanggil lelaki itu, walau
dia masih belum tau siapa nama lelaki yang sedang ia
kejar ini. Kalian boleh sebut Judy aneh karena hal sepele
bertemu di halte saja sampai dipermasalahkan seperti ini.

390
Namun, bukannya dari awal Judy mengatakan kalau ada
hal yang membuat dia penasaran dan iri dalam diri lelaki
ini?
Lelaki itu dengan amat terpaksa menghentikan
langkahnya, kalau dipikir-pikir juga dia tak punya masalah
dengan perempuan yang sekarang sudah berada di
hadapannya ini. Kenapa juga ia seperti terkesan
menghindar dari perempuan ini?
“Kenapa?” Tanyanya tidak ingin berbasa-basi.
“Hai! Gue Judy.” Ucap Judy memperkenalkan
dirinya sambil mengulurkan tangannya ke depan lelaki itu.
“Nuka.” Jawab lelaki itu membalas uluran tangan
Judy. Setelah berjabat sekitar 5 detik, Judy lebih dulu
melepas uluran tangannya.
“Oke, Nuka.” Panggil Judy sambil tersenyum,
“Jadi lu anak baru di kelas?”
“Engga. Gue ganti hari di les-an aja jadi hari
Selasa, Kamis, Sabtu.” Jawab Nuka sambil melangkahkan
kakinya ke parkiran. Judy hanya ber-oh ria sambil
menganggukkan kepalanya. Tidak mau membuang waktu,
Judy langsung mengutarakan alasan kenapa ia mengejar
Nuka tadi.
“To the point aja, pas gue lihat lu minggu lalu di
halte, gue ngerasa lu punya sesuatu yang gue ga punya dan
saat itu gue udh pasrah karena ga mungkin kan gue bakal
lihat lu lagi,” ucap Judy terpotong menunggu reaksi dari
lelaki yang sekarang sedang berjalan beriringan

391
dengannya. Yang diajak bicara hanya memasang tampang
datar. Judy yang melihat ekspresi Nuka pun langsung
melanjutkan ucapannya, “Jadi yaudah gitu aja.”
Nuka mengangkat sebelah alisnya, tampak
bingung. Perempuan disebelahnya ini benar-benar aneh.
Dia pun mempercepat langkahnya menuju motornya,
meninggalkan Judy. Judy keheranan melihat respon dari
Nuka. Sebelum Nuka benar-benar meninggalkan parkiran
dengan motornya, ia berhenti di samping Judy.
“Apa yang orang lain punya belum tentu juga
harus lu milikkin. Apalagi ini menyangkut personality
seseorang. Jadi diri lu sendiri aja, sih. Bersyukur, gausah
kebanyakan iri.”
Setelah mengatakan itu, Nuka langsung meng-gas
motornya, meninggalkan Judy yang seakan ditampar oleh
kata-kata dari lelaki itu.
Keesokan harinya adalah hari Jumat. Namun,
kata-kata lelaki itu masih terngiang di pikirannya. Judy
menjadi tidak fokus dan bersemangat seperti hari-hari
biasanya. Judy lebih memikirkan apa yang salah dari kata-
kata lelaki itu. Judy ingin sekali menyangkalnya. Tapi,
ternyata tidak bisa. Judy merasa kesal karena apa yang
diucapkan lelaki itu sangatlah benar dan menyentil
egonya.
Selama ini, belum pernah ada yang bisa
membuatnya merasa seperti ini. Belum pernah ada yang
menyanggah ucapannya. Belum pernah ada yang bisa
mengerti sekalipun orangtuanya bahkan dirinya sendiri.

392
Karena Judy biasanya hanya menuruti segala ucapan
orangtuanya. Kecuali perkataan Abangnya.
Dia lahir dan tumbuh di keluarga yang sangat
mengedepankan pendidikan. Ayahnya adalah seorang
arsitek dan Ibunya adalah seorang guru fisika dulu
sebelum akhirnya memilih resign untuk mengurus anak-
anaknya. Judy sendiri mempunyai satu orang kakak laki-
laki berumur 20 tahun. Namanya Gean yang sekarang
sedang menimba ilmu di Yogyakarta, yaitu di Universitas
Gajah Mada dengan jurusan Teknik Nuklir. Abangnya ini
memang memiliki otak yang encer, sepertinya memang
bawaan dari lahir. Berbeda dengan Judy, dia harus bekerja
keras supaya menjadi lebih pintar. Sebagai adik, Judy
benar-benar mengidolakan abangnya. Judy ingin
mencontoh segala hal yang dilakukan abangnya.
Ibu mereka menginginkan mereka menjadi orang
yang sukses di masa depan. Ibu mereka bahkan yang
menentukan nasib mereka. Saat itu, Ibu mereka ingin Gean
masuk UGM dengan jurusan Teknik Nuklir dan Judy
masuk Fakultas Kedokteran di UNAIR. Sekarang,
Abangnya dapat membanggakan kedua orangtua mereka
dengan berhasil lolos SNMPTN di kampus yang dituju.
Judy pun harus seperti itu, ia tidak boleh mengecewakan
orangtuanya.
Ia terlalu larut dalam pemikirannya sampai tak
sadar kalau ia sudah sampai di depan pintu kelasnya.
Menggelengkan kepalanya berusaha mengusir segala hal
yang sedari tadi terus terlintas di otaknya. Ia sepertinya
harus mengobrol dengan Nuka esok sepulang les. Bel

393
masuk berbunyi dan Judy berdoa semoga hari ini cepat
berlalu.
Sepulang sekolah, ia memutuskan untuk mampir
sebentar ke kafe langganannya terlebih dahulu. Sudah
lama sekali sepertinya ia tak berkunjung ke tempat itu,
sekitar 2 bulan yang lalu saat ia sudah menjadi siswi kelas
12. Ia lumayan rindu dengan menu-menu andalan disini
dan juga tempatnya yang nyaman untuk para remaja
nongkrong. Setelah memesan strawberry milkshake
kesukaannya, Judy segera mengambil duduk di kursi pojok
bersebelahan dengan kaca . Memang suasana kafe saat ini
lumayan ramai mengingat sekarang adalah jam pulang
anak sekolah dan juga letak dari kafe itu yang cukup dekat
dengan kawasan sekolah.
Sebenarnya Judy ingin sekalian mengerjakan
tugasnya disini sambil melihat-melihat berbagai jenis
manusia yang keluar-masuk kafe ini. Hingga mata belo
nya membulat ketika satu sosok yang sudah cukup familiar
di kepalanya memasuki kafe. Mata Judy terus menatap
lelaki yang sedang celingukan mencari kursi kosong
setelah memesan secangkir kopinya.
Ketika matanya menyusuri satu-satu tak sengaja
matanya bertemu dengan mata bulat perempuan yang
sedang melihat kearahnya juga. Tanpa pikir panjang, ia
segera mendatangi kursi kosong yang berhadapan dengan
perempuan itu. Judy tidak kaget ketika lelaki itu sudah
duduk dihadapannya sekarang ini.
“Hai Nuka, gak nyangka ketemu lu disini.” Sapa
Judy. Yang disapa hanya menyunggingkan senyumnya

394
tipis. Nuka sontak melihat meja mereka yang penuh
dengan buku-buku Judy. Judy yang mengerti segera
menata bukunya agar Nuka tidak merasa kesempitan.
“Lu lagi ngerjain tugas?” Tanya Nuka.
“Iya, bosen kalo ngerjainnya di rumah terus.”
Jawab Judy sambil menganggukkan kepalanya.
“Gue ganggu?” Nuka merasa tidak enak hendak
membawa cangkir kopinya pindah ke tempat lain, “Gue
cari tempat lain aja deh.”
“Eh gausah, ini gue udahan kok belajarnya.”
Cegat Judy cepat-cepat memasukkan buku-bukunya ke
dalam tas. Nuka hanya meng-oke-kan saja. Terjadi
keheningan selama beberapa menit. Judy yang menyesap
minumannya dan Nuka yang menatap ke luar jendela.
“Lu sering kesini?” Tanya Judy memecah
keheningan diantara mereka. Merasa diajak bicara Nuka
pun menolehkan kepalanya untuk menatap Judy.
“Lumayan, cuma akhir-akhir ini agak jarang si.”
Jawab Nuka sambil memutar jarinya dipinggiran cangkir
kopinya. Judy mengangguk-anggukkan kepalanya lagi.
“Kalo lu? Sering?”
“Sama kayak lu si. Dulu iya sering banget, tapi
pas kelas 12 udah mulai jarang. Ini pertama kalinya setelah
2 bulan, hehe.” Ujar Judy diikuti kekehan diakhir
ucapannya. Nuka membulatkan mulutnya tanda kalau dia
meng-oh-kan ucapan Judy.
“Lu mau kemana ka abis ini?”

395
“Pulang ke rumah lah, capek nih badan.” Dengan
tampang sok polosnya Nuka menjawab pertanyaan Judy.
“Lu tau maksud gue bukan itu kan?”
“Hah? Emang apalagi?”
“Setelah lulus, apa rencana lu?” Judy menjelaskan
dengan gemas kepada Nuka. Nuka jelas tau arah
pertanyaan Judy, tapi ia pura-pura tidak mengerti saja.
“Hmm, apa ya?” Ucap Nuka dengan gaya sok
mikir. Melihatnya Judy hanya bergidik geli. “Gatau. Gue
belum tau mau kemana.”
Mendengar ucapan Nuka, Judy hanya bisa
menganga. Tidak mungkin. Nuka sudah kelas 12, beberapa
bulan lagi dia akan masuk ke jenjang pendidikan yang
lebih tinggi lagi. Tidak mungkin belum merencanakan
apapun saat ini. Atau bisa jadi, Nuka gak mau kuliah?
Memikirkannya Judy ngeri sendiri. Yakali kan.
“Bercanda ya lu?” Judy menyipitkan matanya.
“Gak mungkin banget belum ada tujuan.”
“Yee gue serius. Lagian buat apa sebenernya
kuliah.” Nuka mengucapkan pernyataan itu dengan
entengnya. Lain dengan Judy, ia sudah melotot tak terima.
“Kuliah tuh buat masa depan lu nanti, Ka!” Seru
Judy. “Gimana lu bisa sukses nanti.”
Nuka langsung mengernyitkan dahinya. “Emang
sukses jalannya dari kuliah doang?”

396
“Ya enggak juga si. Tapi kan mostly orang-orang
yang sekarang sukses itu berawal dari kuliah.”
“Jadi menurut lu, kuliah itu yang nentuin
kesuksesan orang? Jadi setiap orang tuh harus kuliah kalo
mau sukses?”
“Tepat.”
“Wah, hidup lu teratur banget, Jud,” Nuka
mengusap kepala Judy sebelum melanjutkan ucapannya
lagi, “Pasti di otak ini tertata rapi banget nih target-target
hidup lu.”
Mendapat perlakuan begitu, muka Judy
memerah. Nuka masih mengusap puncak kepala Judy
dengan tetap memasang senyum lebarnya. Mereka masih
terdiam satu sama lain.
“Judy,” panggil Nuka lembut. “Gak semua hal
yang ada di pikiran lu ini, benar buat orang lain. Begitu
juga sama rencana-rencana yang menurut lu paling ampuh,
paling baik, paling briliant itu bagus buat orang lain.”
Judy masih setia mendengarkan.
“Yang harus lu tau, Jud. Gak semua keteraturan
itu bakal nuntun lu buat sukses besok. Idealis boleh, tapi
jangan lupa sama realita yang sekarang.”
Usai berkata demikian, Nuka bangkit dari
duduknya meninggalkan Judy yang masih termangu di
kursinya. Menelaah apa yang salah dari ucapan Nuka agar
ia bisa membantahnya. Tapi sayang, omongan Nuka selalu

397
menampar ego Judy. Hati kecilnya selalu membenarkan
segala ucapannya. Judy jadi kesal.
Di lain sisi. Nuka tidak sebodoh itu. Dia sudah
punya tujuan akan melanjutkan pendidikannya kemana
dan dimana. Ia hanya mengetes pemikiran Judy akan suatu
hal dan terbukti. Judy sangat penuh dengan ambisi, egonya
sangat tinggi dan merasa selalu benar akan suatu hal. Tipe-
tipe orang yang sangat idealis menurut Nuka dan itu
sangat berkebalikan dengan Nuka yang lebih realistis.
Entahlah. Nuka agak malas jika berbincang
dengan orang-orang model seperti Judy. Yang biasanya
tidak menyukai kritik dan saran dari orang lain. Tapi,
untuk kasus kali ini berbeda. Nuka merasa Judy perlu
orang yang bisa menyanggah idealisme.
Dan, entah kenapa. Nuka merasa dirinya lah
orangnya. Di lain sisi, tanpa sadar Judy juga merasa hal
yang sama. Dia butuh orang seperti Nuka.
Dari pertemuan pertama kali mereka di halte dan
tanpa diketahui ternyata mereka selama ini berada dalam
satu institusi pembelajaran yang sama. Rasanya seperti
skenario tuhan memang menjebak mereka dalam satu
cerita. Seperti ditakdirkan supaya nanti saling
membutuhkan, saling bergantung.
Setelah pertemuan terakhir mereka di kafe,
mereka lebih sering jalan berdua, mengobrol bersama
membahas satu isu. Perlahan, idealisme Judy mulai
mencair sehingga lebih terbuka akan suatu pandangan

398
yang baru. Begitu juga Nuka, ia banyak belajar dari
pemikiran Judy.
Hingga saat itu, hari Sabtu sepulang mereka les.
Mereka memutuskan untuk ke kafe yang biasa mereka
kunjungi. Setelah memesan, mereka duduk di kursi yang
menjadi favorit mereka selama lebih dari 1 bulan ini.
Memulai obrolan dengan suatu hal yang ringan, saling
melempar canda. Lalu tiba-tiba Judy bertanya. Pertanyaan
yang sama seperti 1 bulan yang lalu Judy tanyakan. Hanya
saja meungkin lebih terdengar spesifik.
“Nuka, apa tujuan lu setelah ini?”
Nuka awalnya kaget, menimang-nimang apakah
dia akan memberitahu impiannya kepada Judy atau tidak.
Karena belum ada satupun orang yang mengetahui ingin
menjadi apa ia kelak selain dirinya sendiri. Apakah Judy
cukup bijak?
Akhirnya ia memutuskan untuk memberitahu
Judy.
“Gue pengen banget jadi dokter si, Jud. Dokter
spesialis kalo bisa.” Judy yang sedang minum
milkshakenya terkejut. Ia refleks membulatkan matanya
tak percaya ke arah Nuka.
“Serius lu??? Gak bercanda???” Tanya Judy
sangat excited.
“Iya, emang kenapa? Gak pantes ya tampang
kayak gue jadi dokter?” Nuka mulai tidak percaya diri.
Judy menggelengkan kepalanya.

399
“Gue kaget aja si, gue pikir lu pengen jadi
pengusaha gitu. Yang gak bekerja dibawah orang.”
“Kenapa mikir gitu?” Tanya Nuka heran. Emang
muka dia ada tampang jadi pengusaha ya?
“Ya, gak apa si. Gue pikir lu pengen pekerjaan
yang bebas terus gak terikat gitu.” Jelas Judy. Nuka hanya
menganggukkan kepala sambil menyesap kopinya yang
masih agak panas itu.
“By the way, gue juga pengen jadi dokter
spesialis.”
“Ohh, pantes.”
“Iya, hehe.” Judy terkekeh kecil. “Kemana niat lu,
Ka?”
“Hmm, kemana ya. Gue si gak usah muluk-muluk
palingan di UNDIP aja.”
Judy membulatkan mulutnya. “Gue disuruh ibu si
di UNAIR.”
“Gak heran si gue,” ucap Nuka. “Orang kayak lu
pasti maunya masuk kampus yang bagus.”
“Ibu gue si pengen banget gue masuk situ, ya buat
banggain orangtua juga si. Lagipula kan pasti orang-orang
pada kagum kalo gue masuk situ.” Ujar Nuka sambil
menaik-turunkan alisnya.
“Gak capek apa lu, Jud?” Judy menghentikan
aktivitasnya sebentar, “Selalu kepengen menuhin standar
masyarakat.”

400
Tak ada pembicaraan berarti lagi setelah Nuka
menyatakan pernyataan yang lagi-lagi menohok Judy.
Judy jadi kepikiran.
Ia yang selalu berusaha memenuhi standar
masyarakat atau ia yang dibentuk sedemikian rupa untuk
menjadi salah satu dari standar masyarakat?
Berbulan-bulan sudah berteman dengan Nuka
membuat Judy menjadi pribadi yang lebih baik hari ke
harinya. Menekan egonya, membuka pandangannya dan
kadang lebih berani menyuarakan pendapatnya sendiri
kepada orangtuanya. Nuka pun begitu. Ia menjadi individu
yang lebih lembut dan tidak semerta-merta menerima
realita begitu saja. Keduanya nyaman dengan perbaikan
diri mereka masing-masing.
Selain bertukar pikiran dan suka pergi bersama,
selama berbulan-bulan itu juga mereka habiskan dengan
belajar bersama. Entah itu di kafe biasa, rumah Judy atau
juga rumah Nuka. Mereka juga sudah mendaftar SNMPTN
di perguruan tinggi yang masing-masing mereka ingin
tuju.
Seperti sekarang, mereka berdua sedang bersantai-
santai sambil menunggu pengumuman SNMPTN mereka
di ruang keluarga rumah Judy. Setelah ibunya Judy
mengantarkan beberapa camilan dan minuman untuk
mereka. Ibunya Judy pun duduk sebentar di sofa, sebelah
Nuka. Hendak berbincang sebentar dengan remaja-remaja
ini.

401
“Haduu bentar lagi kalian lulus yaa,” ujar Ibu
Judy, Reina. Sambil menatap Judy dan Nuka bergantian.
“Gimana? Udah keluar hasilnya?”
Nuka dan Judy serempak menggeleng lemah,
“Belum kayaknya tan, masih nungguin nih daritadi.”
“Ohh yaudah. Tetep semangat ya! Ibu yakin kalian
berdua pasti diterima.” Ujar Reina memberikan afirmasi
postif kepada mereka berdua kemudian berlalu
meninggalkan muda-mudi yang sedang deg-deg ser
menunggu hasil.
Tak lama Reina kembali ke dapur, handphone
mereka berdenting cukup berisik. Judy memeriksa
handphonenya segera dan terkejut bahwa teman-teman
seangkatannya sudah update tentang SNMPTN.
Sontak saja Judy memberitahu Nuka dengan
semangatnya sambil menepuk paha Nuka dengan keras.
“NUK, UDAH ADA!”
Mereka berdua langsung memeriksa website hasil
SNMPTN. Setelah melihat hasilnya, Nuka bersorak girang
dan berulang kali mengucapkan syukur kepada Tuhan.
Lain halnya dengan Judy. Ia tak menampilkan raut wajah
yang gembira sama sekali malah lebih ke sedih dan siap
menumpahkan air matanya.
Tak ada sahutan sorakan lain, Nuka menghentikan
perayaannya dan memilih untuk bertanya ada apa. Air
mata Judy makin deras. Harusnya hari ini Judy sedang
bersenang-senang merayakan keberhasilannya masuk
universitas yang dia ingin bersama dengan Nuka. Tapi

402
kenapa ia sedih? Apakah ini yang disebut air mata
bahagia? Nuka bertanya-tanya dalam hati.
“Gimana, Jud? Berhasil, kan? Let’s having fun
today!” Ajak Nuka menarik-narik lengan Judy agar
bangkit ikut merayakan. Yang ditarik tangannya hanya
menggeleng-gelengkan kepala. Nuka merasa bingung juga
takut. Takut akan segala kemungkinan. Judy menatap
Nuka dengan berlinang air mata.
“Gagal, Ka.”
Satu kata tapi mampu membuat Nuka juga
merasakan pedihnya. Judy, gagal?
“Seumur hidup gue, baru kali ini gue ngerasa
kayak pecundang.” Judy terus menumpahkan rasa
sedihnya. Judy mengusap-usap lengan Judy. “Gue gagal
banggain orangtua gue, Ka.”
“Udah gak apa, Jud. Kan masih ada SBM.”
“Dari awal kan emang gue pengennya dari SNM,
Ka!” Judy melepaskan tangan Nuka yang ada di
lengannya. Bangkit dari duduk, “Lu ga akan ngerti, Ka!”
Judy meninggalkan Nuka yang masih termangu.
Jujur saja, Nuka benar-benar sakit saat tau impian Judy
tidak terwujud. Nuka mengerti. Kemudian, datanglah
sosok wanita yang tadi mengantarkan camilan, Reina.
“Ada apa, Ka? Hasilnya udah ada?” Reina
bertanya dengan excited. Belum sempat Nuka menjawab,
Reina sudah bertanya lagi.

403
“Loh, Judy mana?” Tanya Reina celingukan.
Nuka menggaruk tengkuknya yang tidak gatal,
Masuk kamar tadi, Tante.” Merasa tidak enak masih
berada di rumah Judy, Nuka segera pamit kepada Reina.
Reina yang sepertinya mengerti keadaan, mempersilahkan
saja Nuka pulang.
Setelah mengantar Nuka hingga pagar, Reina
segera menemui anaknya di kamarnya. Mengetuk pintunya
dan membukanya secara perlahan. Terlihat Judy sedang
menutup mukanya dengan bantal sambil menangis
tersedu-sedu. Reina segera menghampiri anak perempuan
satu-satunya itu.
“Gak apa, Jud.” Ucap Reina mengelus puncak
kepala Judy. Sementara Judy masih sesenggukan. Reina
memeluk anaknya itu dengan hangat. Judy membalas
pelukan Ibunya dengan erat.
“Gak usah terlalu dipikirkan, ya.” Seusai
mengucapkan kalimat itu, Ibunya mengecup puncak
kepala Judy dan langsung keluar dari kamar Judy. Sudah,
seperti itu saja. Judy bisa menyimpulkan kalau Ibunya
sedang menahan rasa kecewanya demi kebaikan Judy.
Judy tidak ingin bertemu lagi dengan Nuka. Nuka
sangatlah beruntung dan ia tidak. Judy benar-benar iri
dengan dia. Dengan entengnya tadi dia bilang masih ada
SBM, padahal dia tau dengan jelas kalau SNM itu bagi
Judy sangatlah berharga. Dia sih enak dapet SNM
makanya bisa berkata seperti itu. Lah, Judy? Dia mana
ngerti rasanya.

404
Judy memutuskan untuk mengurung dirinya di
kamar. Meratapi nasibnya. Hanya Gean yang ia butuhkan
sekarang. Gean yang suka mendengarkan keluh kesahnya
dari kecil. Ia butuh dia disini, disampingnya. Tapi, tak
mungkin abang kesayangannya itu harus datang ke Jakarta
hanya untuk menemui adiknya yang pecundang ini. Judy
akhirnya terlelap dengan air mata yang sesekali masih
turun.
Pagi harinya, Judy menemukan sosok bayangan
tinggi yang sedang membuka tirai jendela kamarnya. Ia
mengucek matanya, menyesuaikan cahaya yang masuk ke
mata. Awalnya ia berpikir bahwa itu adalah ayahnya yang
baru pulang sehabis mengurus proyek di luar Pulau Jawa.
Namun, semakin lama diperhatikan itu tidak seperti postur
tubuh ayahnya. Matanya Judy menyipit untuk memastikan
bahwa ini nyata, bukanlah mimpi.
Itu Gean! Abang kesayangannya!
Bagaimana bisa ia disini? Bagaimana dengan
kuliahnya?
Terlepas dari semua pertanyaan yang hinggap di
kepalanya, Judy memilih untuk segera loncat dari
kasurnya dan memeluk sosok itu. Dia adalah sosok yang
dirindukan Judy, sosok yang dibutuhkannya. Dia adalah
Gean. Judy memeluk Gean erat seperti tak ingin
melepaskannya lagi. Baru memeluk saja, Judy sudah
merasa tenang. Gean pun membalas tak kalah eratnya
seakan menyalurkan segala kekuatan untuk adik kecilnya.

405
Setelah berpelukan selama 2 menit, Gean
mengurai pelukannya. Menyapa adiknya dengan
senyuman lebar. Melihat senyuman itu, kembali memori
semalam terulang lagi. Judy menangis lagi. Abangnya ini
juga pasti akan kecewa. Gean menyuruh adiknya itu untuk
duduk dan menceritakan segalanya. Lalu, mengalirlah
cerita-cerita Judy tentang kegagalannya, ibunya yang
kecewa, dan juga tentang Nuka.
Gean menyimak dan mengamati semua kata yang
terlontar dari bibir kecil adiknya itu. Sesekali adiknya akan
berhenti untuk menahan senggukannya dan Gean yang
siap dengan tisunya. Setelah panjang lebar, Judy pun
selesai bercerita. Rasanya lebih tenang daripada hari
kemarin. Gean tiba-tiba meraih tangan adiknya lembut dan
mulai memberikan nasihat.
“Judy, lu harus bisa ngerti kalo ga semua hal yang
lu rencanain itu bisa berjalan semulus yang lu pikirkan.”
Gean mengelus jari adiknya.
“Untuk meraih impian lu itu ga hanya satu jalan,
Jud. Gak cuma satu akomodasi. Ada macem-macem,”
Gean memberi jeda sedikit agar tidak terkesan menuntut
Judy. “Walaupun lu gabisa lewat jalur undangan, tapi
masih ada jalur yang lain, kan?”
Judy menganggukan kepalanya tanda ia mengerti.
“Gak perlu peduliin kata orang, Jud. Lu ga perlu ngerasa
gagal karena ibu kecewa.” Gean memindahkan tangannya
jadi ke bahu adik kesayangannya ini. Merangkulnya.

406
“Berhenti jadi standar masyarakat, Jud. Berat
bebannya. Juga berhenti jadiin gue patokan lu, Jud. Kita
berdua itu punya jalan yang beda buat sukses. Gue tau
selama ini lu pasti kepengen banget buat kayak gue.”
Judy melotot terkejut. Tak menyangka kalau
abangnya itu selama ini sadar. “Ambisi itu penting, Jud.
Tapi jangan lupa sama realita lu.”
Judy tertohok dengan kalimat itu. Abangnya
benar. Selama ini ia hanya mengikuti apa yang terbaik
menurut orang lain. Padahal itu belum tentu menjadi yang
terbaik untuk dirinya sendiri. Standar masyarakat ini yang
seakan mengurungnya untuk terus terikat dan susah bebas.
Hidupnya terlalu monoton dan teratur selama ini.
“Dan tentang temen lu si Nuka,” Gean
melanjutkan pembicaraannya. “Dari cerita lu si, dia peduli
banget sama lu, Jud.”
“Dia yang selama ini temenin lu buat sedikit
berubah. Buat menahan egonya sendiri,” Ujar Gean, “dan
menurut gue dia berhasil. Agak aneh si kalo lu marah
sama dia cuma karena dia dapet undangan sedangkan lu
engga.”
Judy mulai memikirkan kata-kata abangnya.
Abangnya ini seakan bisa menyelami isi hatinya. Semua
yang diucapkan olehnya selalu kena di otak dan hati Judy.
“Lu bener, Bang. Tentang semuanya.” Judy
menarik nafas panjang, “Gue gak boleh nyalahin Nuka
atas hal ini dan lagi gue mau belajar ikhlas deh sama

407
semua yang udah terjadi ke gue. Mau gimana pun juga ini
udah jadi takdir dari Tuhan, kan?”
Gean tersenyum kepada adiknya atas
keikhlasannya ini. Gak sia-sia ia memesan tiket
penerbangan kemarin malam. Ia punya feeling Judy pasti
membutuhkannya saat ini dan terbukti. Yah, walaupun
saat ini dia masih merasa pusing akibat jet lag. Tapi
apapun akan ia lakukan untuk Judy-nya.
Sementara dalam otak Judy, ia memikirkan beribu
cara agar ia bisa meminta maaf pada Nuka. Agar ia bisa
bertemu lagi dengan laki-laki yang mempunyai senyum
hangat itu. Tapi, gimana? Apa ia ke rumahnya saja ya?
Kapan ya? Atau lewat pesan aja? Ah, tapi July kurang sreg
kalau tidak bertemu langsung.
Di lain sisi, Nuka sedang termenung di balkon
kamarnya. Ia memikirkan Judy sedang apa? Apakah ia
masih sedih? Nuka ingin mengunjungi tapi masih segan,
takut diusir sama Judy. Mau telfon tapi gengsi. Ah, jadi
bingung. Nuka tidak marah dengan Judy, hanya saja ia tak
menyangka reaksi Judy akan seperti itu kepadanya. Ya
sudahlah mau bagaimana lagi. Mungkin setelah UN ia
akan mengajak Judy untuk bertemu.
Tak terasa 2 minggu terlewati dan Judy sudah
mulai ikhlas akan impiannya itu. Orangtua Judy juga
sudah tidak mempermasalahkan hal kemarin. Gean sudah
pulang 3 hari setelah tragedi air mata di kamar Judy
berlangsung. UN juga telah selesai kemarin dan Judy
sudah sedikit bebas dan lega.

408
Masalah Nuka. Ia belum bertemu lagi dengan
lelaki itu. Entah kapan mereka akan bertemu kembali.
Sebenarnya Judy cukup rindu dengan tawa khas dari lelaki
itu. Alisnya yang akan berkerut apabila tidak setuju
dengan pernyataan Judy. Senyumnya yang hangat dan
teduh. Ia rindu dengan Nuka.
Sekarang ini, Judy sedang berada di halte saat
pertama kali mereka bertemu. Entah dengan alasan apa
Judy kembali kesini, padahal sedang tidak hujan. Ia iseng
saja sih.
Dari kejauhan, terlihat pengendara motor sedang
memarkirkan motornya tak jauh dari halte. Judy melihat
kanan dan kirinya kosong, tak ada orang. Judy sedikit was-
was takut diculik oleh pengendara motor itu. Tapi setelah
mengamati, Judy mengenali motor itu dan jaket yang
sedang dipakai si pengendara. Judy terus mengawasi
pengendara itu hingga sekarang berada tepat di depannya.
Pengendara itu melepas helmnya dan muncullah muka
orang yang selama ini dirindukan oleh Judy.
Dia Nuka.
Nuka sedikit kaget melihat Judy sedang duduk di
bangku halte seorang diri. Tanpa pikir panjang, ia segera
menghampiri Judy. Hendak mengobrol sebentar.
Mereka saling terdiam, menatap satu sama lain.
Nuka masih mempertahankan posisinya saat ini, belum
ada keinginan untuk duduk. Hingga Judy berdehem
membuat keduanya saling mengalihkan pandangannya.

409
Nuka yang tak tahan dengan situasi ini pun memulai
mencairkan obrolan.
“Apa kabar, Jud?”
Judy sontak menahan tangisnya agar tidak keluar.
Nuka begitu baik. Judy menyesal menyalahkan keadaan
saat itu pada Nuka.
“Nuka, maafin gue ya? Gue gak maksud waktu
itu, gue lagi emosi jadi gabisa mikir,” Judy memegang jari
Nuka erat, “Maaf ya, Ka?”
“Jangan tutup hati lu sama ambisi dan idealisme lu
lagi, Jud.” Ujar Nuka, “Sampe lu lupa sama perasaan
orang lain.”
Judy tambah mengeratkan jarinya, seolah tak ingin
Nuka pergi.
“Gue sayang lu, Jud. Gue mau lu dapet yang
terbaik. Mungkin SNM bukan jalan yang terbaik buat lu,
Jud.” Nuka membalas kaitan jari Judy di jarinya.
“Gue udah putusin, Ka,” Judy tersenyum lebar,
“Gue bakal nyoba SBM di UNDIP, kampus yang sama
kayak lu.”
Wah, jangan tanya Nuka sebahagia apa sekarang.
Dia tersenyum sangat lebar lalu terkekeh. Nuka mengacak
rambut Judy, gemas sekali dengan dia.
“Mohon bantuan doa dan bimbelnya ya, guru.”
Ucap Judy bercanda. “Semoga lolos ya, nyusul gue gitu.”

410
Nuka lalu memutuskan untuk mengantar Judy
pulang ke rumahnya. Sebelum naik keatas motor, Judy
berkata, “Gue juga sayang lu, Ka. Makasi ya untuk
segalanya.”
Dari Nuka, Judy belajar banyak hal. Tentang
realita, ego, ambisi, keikhlasan, penyesalan, rasa rindu dan
juga cinta. Nuka merupakan simbol kebebasan bagi Judy.
Dengan Nuka, Judy lebih banyak tau tentang dunia.
Dengan Nuka, Judy lebih bisa menghargai orang. Dengan
Nuka, Judy ingin bahagia selamanya.
Dan Bagi Nuka. Judy adalah simbol keteraturan.
Dengan Judy, Nuka merasa hidupnya lebih tertata. Dengan
Judy, Nuka lebih bisa mengerti bahwa impian itu juga
realita. Dengan Judy, Nuka belajar apa arti kehilangan.
Semoga kedepannya, mereka masih akan tetap
sama-sama belajar, saling koreksi diri, saling menguatkan
dan saling peduli. Karena kita harus berusaha untuk
menyempurnakan diri sendiri dulu baru bisa dicintai orang
lain.
Mereka masih harus berjuang. Cerita mereka
belum berakhir sampai sini. Tapi, yang pasti Judy dan
Nuka akan terus memperbaiki dan menjadi berkat satu
sama lain. Lagipula ada kebebasan juga harus bersamaan
dengan adanya keteraturan, bukan?

411
Pada waktu
Karya Salwa Dwitirta

Suatu hari, ada seorang anak remaja yang bernama


Michael, ia termasuk orang keturunan Afrika yang tinggal
di New York city, Amerika Serikat. Michael adalah anak
yatim dan ibunya masih ada tetapi entah kemana, ia
memiliki badan yang tinggi dan besar, Michael termasuk
orang yang bodoh tetapi ia berbakat dalam bidang
olahraga.
Malam harinya, ia berjalan-jalan ditaman dan ia
selalu bersedih karena ia selalu memikirkan ibunya yang
entah kemana ia ingin sekali bertemu ibunya sekali saja.
Lalu Michael bertemu dengan wanita yang sedang
membawa anaknya, wanita itu bernama Cristine. Cristine
merasa kasihan terhadap michael karena saat itu turun
hujan,Cristine langsung mendatangi michael yang sedang
kehujanan. Dan Cristine bertanya kepada Michael “Siapa
namamu?” tanya dia kepada Michael. “Michael.”
Jawabnya, Cristine tanya lagi “Dimana orang tuamu?”
Michael menjawab “Tidak tahu, saya tidak tahu dimana
orang tuaku.” Karena merasa kasihan Cristine langsung
mengantarkan Michael ke rumah Cristine dan menginap
beberapa hari. Cristine menyuruh Michael untuk tidur di
sofa yang lumayan besar untuk badan sebesar Michael, ia
memberi selimut dan bantal kepada Michael yang sedang
mengantuk.

412
Pagi haripun tiba, Cristine Merasa kaget setelah ia
memberi selimut dan bantal ke dia, dia langsung
merapikannya. Cristine merasa ia ingin mejadikan Michael
sebagai anak angkatnya, cristine langsung mendaftarkan
Michael di sekolah Universitas Kristiani Amerika Serikat.
Setelah mendaftar Michael masuk di kelas A8, di kelas A8
Michael langsung diejek oleh teman sekelasnya dengan
sebutan “BIG MIKE.” Tetapi guru di kelasnya langsung
menghentikan ulah muridnya yang berada di kelas A8.
Michael langsung duduk di bangku yang kosong, setelah
gurunya menerangkan gurunya langsung memberikan
ujian tertulis, setelah dibagikan semua murid mengerjakan
termasuk Michael. Satu jam berlangsung, murid yang ada
di kelas A8 ujian tertulisnya harus dikumpulkan sekarang
dan langsung pulang kerumah akan tetapi Michael tidak
mengerjakan ujian tertulis yang diberikan oleh gurunya
tadi, ia merasa bersalah sehingga Michael duduk
dibangkunya sendirian, gurunya mendatangi Michael dan
ia bertanya “Mengapa kamu tidak pulang?, semua
temanmu sudah pulang.” Michael menjawab “Saya belum
mengerjakan ujian tertulisnya sama sekali, bu!.” Merasa
kasihan gurunya meyuruh Michael pulang.
Siang harinya, ada guru yang menganalisis tentang
Michael bahwa IQ Michael sangat rendah tetapi IQ
pertahanan atau yang disebut “PROTECTION” sekitar
melebihi orang normal hingga sembilan puluh delapan
persen.
Malam harinya, Cristine mengajak Michael pergi
ke pertandingan bola basket di lapangan basket sekolah.
Setelah sampai ke lapangan basket sekolah, Michael terasa

413
memiliki keluarga yang bahagia sekali, ia senang dan
berdoa kepada Tuhan “Ya, Tuhantemukanlah ibuku
denganku Tuhan, sehingga aku tidak sedih lagi.” Cristine
langsung mengajak Michael menonton pertandingan
basket anaknya yang bernama Morris dan melihat anaknya
yang mejadi pemandu sorak basket yang bernama Susan,
seusai melihat pertandingan basket Morris, Michael
langsung memunguti sampah yang berserakan di lapangan
basket sekolah karena, pikir ia “kebersihan adalah
tanggung jawab bersama.” Cristine merasa kaget mengapa
anak itu memiliki perbuatan yang baik sekali dari pada
anak remaja yang lain,sesampai dirumah, Cristine
menyuruh Michael untuk langsung tidur dan akhirnya,
Michaelpun tertidur dengan pulas. Sebenarnya Cristine
merencanakan sesuatu yaitu ingin menjadikan Michael
menjadi anak angkat Cristine, dan berunding kepada
keluarganya termasuk Morris dan Susan, dan mereka
setuju untuk menjadikan Michael anak angkat tetapi lihat
kedepan Apakah Michael anak yang baik atau tidak.
Keesokan harinya, Cristine mengajak Michael
pergi membeli pakaian dan sepatu baru yang akan
digunakan Michael untuk sekolah. Saat itu, Cristine mau
membayar pakaian dan sepatunya tiba-tiba ada pencuri
yang mengambil tas Cristine, Cristinepun langsung
mengejarnya tiba-tiba dihadapan pencuri itu ada Michael
yang sedang melihat sepatu yang bagus. Segera, Michael
langsung bersiaga dan menangkap pencuri tersebut,
setelah ditangkap ia langsung membawa pencuri tersebut
ke kantor polisi Cristine merasa kaget dan sepertinya
cocok kalau ia dimasukkan ekstrakulikuler American

414
Football pasti Michael akan menjadi pemain internasional
yang terkenal.
Siang harinya, Cristine merencanakan untuk
mendatangkan guru les privat agar Michael lebih pandai,
setelah datang Michael agak terkejut karena ia merasa
takut untuk mengerjakan soal tertulis. Tetapi guru les
privat Michael mengajarkan, supaya Michael selalu
berusaha dalam menjadi diri sendiri dan berusaha hingga
mencapai kemampuan yang maksimal.
Sore haripun tiba,hari ini adalah hari yang spesial
karena sekarang waktunya ulang tahun Morris. Keluarga
Cristine telah menyiapkan makanan yang lezat,mereka
merayakan dengan menonton American Football di TV,
Cristinepun menyuruh Michael untuk mengambil makanan
yang ada di meja, asik-asiknya keluarga Cristine menonton
American Football di TV tetapi Michael malah makan di
meja makan dan Cristinepun agak kaget Michael betul
seharusnya saat merayakan sesuatu dengan makan
bersama seharusnya makan di meja makan jangan makan
disofa sambil nonton TV. Akhirnya Cristine menyuruh
suaminya yang bernama Jack, Morris,dan Susan untuk
pergi ke meja makan dan makan bersama, Cristine
menyuruh Jack untuk memimpin berdoa supaya Morris
panjang umur, tambah pandai dan sebagainya.
Esok harinya, Cristine mengajak Michael pergi ke
lapangan American Football untuk mendaftarkan Michael
dan bergabung menjadi anggota pemain American
Football di sekolah Michael. Setelah mendaftar ia berlatih
bagaimana bermain American Football dengan benar, akan

415
teapi setelah diajarkan, ternyata Michael tidak bisa
bermain American Football, Cristinepun mendatangi
Michael dan berbicara kepada Michael untuk bermain
seperti menjaga Cristine dari pencurian yang kemarin
Michaelpun mengerti. Akhirnya Michael dapat bermain
American Football dengan benar, sesudah bisa, pelatih
bilang kepada Michael bahwa besok malam ada
pertandingan uji coba yang mempertemukan sekolah kita
dengan sekolah frenfield dan pelatih menyuruh Michael
untuk datang ke sekolahnya besok malam , seusai berlatih
ia langsung dilatih lagi oleh Morris dari bagaimana harus
menghadang pemain hingga taktik jitu untuk mendapatkan
skor.
Siang harinya, Cristine mencari rumah ibunya
Michael di anggota kepolisian untuk membolehkan
Michael menjadi anak angkatnya, setelah dianalisis
komputer ternyata rumahnya dekat dengan toko pakaian
yang dibeli kemarin, kemudian Cristine mengajak Michael
pergi ke rumah ibunya Michael, setelah sampai disana
Michael kaget karena bertemu dengan kakaknya yang
termasuk perampok bank dan penyebar narkoba. Lalu
Cristine mengajak Michael pergi ke rumah ibunya
Michael. “Jangan, jangan kesana aku sendirian saja yang
kesana, ibu tunggu di mobil saja.” Suruh Michael ke
Cristine “Kenapa, kenapa aku tunggu di mobil?, aku juga
ingin bertemu dengan ibumu.” Tanya Cristine “Percayalah
padaku bu, kalau aku sudah bertemu ibuku aku akan
mengantar ibu menemuinya.” Jawab Michael “Baiklah.”
Jawab Cristine. Setelah berbicara dengan Cristine,
Michaelpun langsung ke rumah ibunya dan bertemu

416
dengan saudaranya yang bernama Edmund. “Hei, BIG
MIKE saudaraku dari mana saja kau?” tanya Edmund
“Bukan urusanmu.” Jawab Michael, setelah berbicara
dengan Edmund ia langsung pergi ke rumah ibunya,
sesampainya disana ia merasa gugup karena sudah
bertahun-tahun tidak bertemu dengan ibunya. Setelah
disana ia bertemu dengan ibunya, ibunya merasa bahagia
sekali karena sudah bertahun-tahun tidak bertemu dengan
Michael, setelah menceritakan apa yang Michael lakukan,
sekarang menginap di rumah siapa dan lain-lain.
Michaelpun langsung kembali dan menjemput Cristine
yang sedang menunggu dimobil, setelah Michael
menjemput Cristine yang sedang menunggu di mobil,
Cristine senang akhirnya Michael bertemu dengan ibu
kandungnya dan dibolehkan ibu kandungnya untuk
menjadikan Michael anak angkat Cristine.
Malam haripun telah tiba, sekarang wakunya
bertanding melawan sekolah frenfield Michael senang
karena Michael mejadi starting line-up sekolahnya yang
berada diposisi menghadang pemain lawan, sebenarnya ia
masih gugup, saat pertandingan dimulai ia selalu
melakukan kesalahan sehingga pelatihpun agak marah ke
dia tetapi ada pemain dari sekolah frenfield yang mengejek
Michael dengan kata “Hei, BIG MIKE kau adalah orang
yang lemah sekali seperti ayam.” Pelatihpun marah kepada
pemain frenfield tersebut dan melemparkan botol yang
berisi air kepada pemain tersebut, pelatihpun mendapatkan
kartu kuning yang diberi wasit sehingga, Michael melerai
pertengkaran antara pelatih Michael dengan wasit dan
pemain frenfield, dan Michael bilang kepada pelatih

417
“Sabar, Coach aku pasti akan menjaga coach dan
menghadang pemain frenfield tersebut.” Ujar Michael,
Coach berkata “Baiklah.” Akhirnya pertandingan dimulai
kembali dan Michael bisa menghadang pemain frenfield
tersebut sampai ke luar lapangan American Football,
itupun sampai dilihat penonton dengan tertawa terbahak-
bahak karena menjatuhkan pemain sampai keluar dari
lapangan, akhirnya setelah menghadang pemain frenfield
beberapa kali, timnya Michaelpun menang dengan skor
53-47.
Ke esokan harinyaterdengarlah berita bahwa ada
pemain yang sangat kuat menghadang pemain hingga
keluar lapangan, akhirnya tim-tim besar American
Football ingin merekrutnya dengan gaji yang tinggi,
sebetulnya Michael ingin bermain di tim sasana California,
tetapi Cristine menyuruh Michael untuk memilih tim yang
agak dekat dengan sekolah Michael akhirnya tim yang
paling dekat adalah tim miami lets jadi Michael
memutuskanuntuk Michael memilih tim miami lets.
Siangharinya guru-guru menyatakan bahwa kalau Michael
ingin lulus dan mendapatkan nilai terbaik Michael harus
mendapatkan nilai A sampai sepuluh kali tetapi nilai
Michael hanya selalu mendapatkan nilai C. Akhirnya
Michaelpun belajar dengan guru les privatnya hingga
mendapatkan niai A sampai sepuluh kali. Sebulan
kemudian, Michael mendapatkan nilai A tetapi hanya
sampai sembilan kali yang nilai satunya lagi cuma
mendapatkan nilai B ,supaya mendapatkan nilai A Michael
harus menulis cerita tentang kehidupannya bagaimana
supaya tidak menjadi putus asa dalam menjalani hidup.

418
Setelah menulis ceritanya iapun mendapatkan nilai A dan
lulus dengan nilai tertinggi.
Ke esokan harinya Critine merencanakan untuk
membeli mobil buat Michael karena prestasi dia yang
menakjubkan dan membahagiakan keluarga Cristine,
Cristinepun menyuruh Michael untuk sekolah mengemudi
dan mendapatkan SIM. Setelah sekolah mengemudi iapun
mendapatkan SIM dengan mudah hanya kurun waktu lima
hari Michael langsung mendapatkan SIM, setelah
mendapatkan SIM Michaelpun dibelikan mobil oleh
Cristine, setelah itu setelah mobilnya datang Michaelpun
mencobanya dengan Morris. Michael dan Morris
mengendarai mobil dengan bernyanyi-nyanyi sambil
berjoget di kursi mobil,sehingga tidak melihat arah
depannya, setelah itu Mobilnya Michael menabrak sebuah
pohon yang ada didepannya yang menyebabkan
kompresor mobil yang akan terkena Morris nyaris terkena.
akan tetapi, Michael menghalangi kompresor yang akan
terkena Morris, akhirnya Morris selamat tetapi tangan
Michael terkena luka yang sangat parah ditangannya
sehingga Cristine takut kalau Michael terkena apa-apa,
akan begitu Cristine juga kaget mengapa Michael selalu
melakukan perbuatan baik yang dapat membahagiakan
orang lain dan juga yang ada di sekelilingnya.
Sepuluh tahun kemudian, tangan Michael sudah
sembuh dan ia menjadi pemain berbakat di American
Football dan ia selalu menjaga keluarga Cristine,
termasuk Morris, Susan, Jack, dan orang-orang
disekitarnya. Michaelpun berkata kepada kita semua
“Bahwa kalau engkau melakukan perbuatan baik dan

419
membahagiakan orang lain pasti, kalian akan dibalas
dengan perbuatan baik pula.”

420
Pada Kakimu, Ibu
Karya Shafira Khairunnisa
Kenangan itu selalu saja membuat rindu untuk
pulang ke kampung halamanku, di Semarang. Ya, kini aku
memang sedang merantau di Jakarta. Kota yang penuh
kebisingan akan masalah dunia, denting jam kerja dan
segala macam kelikuannya. Tak ada lagi kedamaian pun
ketengangan seperti yang pernah kudapatkan dulu saat
masih di kampung. Kini tekadku sudah bulat, bukan materi
yang akan membawaku menuju ketenangan hidup,
melainkan hati yang penuh kedamaian dan pribadi yang
bermanfaat yang akan menuntunku menuju ketenangan
itu.
Dddrrtt… Drrrttt..
Teleponku berdering. Aku mengangkatnya pelan,
sebuah nama tertera di layar telepon itu membuatku
tersenyum sumringah.
“Sudah sampai mana, Ri?” terdengar suara parau
yang sangat aku rindukan.
“Alhamdulillah, sudah dekat stasiun. Bapak sudah
berangkat menjemput, Bu?”
“Bapakmu sudah tiba di stasiun sejak pukul enam
tadi. Ia tidak sabar bertemu denganmu. Rindu berat
katanya.”
“Yang sedang menelepon tidak rindu berat juga,
kah?”

421
“Ya tuhan berhentilah mengguyoni ibumu ini. Ya
sudah, hati-hati ya…”
“Iya Bu, terima kasih…”
“Oh iya, tadi sudah berbuka puasa?”
“Sudah Bu…”
Itu suara ibuku, perempuan yang sangat aku
kagumi. Ada banyak hal dalam hidupku yang selalu
menjadi sempurna setiap kali ibu hadir, meski kadang
sebatas suara lewat telepon. Ibuku adalah salah satu
pewaris seni menari tradisional. Dari ibu juga darah seniku
mengalir dan menjadikanku menjadi sesosok orang yang
selalu berkarya.
Kerlap kerlip lampu terlihat seperti kunang-
kunang dari jendela kereta yang membelah area
persawahan. Bulan dan bintang dengan sempurna
menghias malam. Selama di Jakarta, ketertarikanku pada
dunia seni memang sangat kuat. Aku pernah bergabung
dengan beberapa sanggar dan komunitas seni budaya, dan
itu mengasah segala kemampuanku. Namun, kini aku
merasa saatnya untuk pulang. Ya, aku pulang untuk
sebuah hal baru dalam hidupku. Sebuah hal yang kuyakini
akan membawaku menuju ketenangan hidup.
Kereta terus melaju memasuki perbatasan kota
yang pernah kutinggalkan hampir sembilan tahun lalu.
Banyak hal berbeda yang kulihat di sepanjang jalan,
rumah-rumah yang menggusur sawah, gedung dan pusat
perbelanjaan yang kini berdiri tegak di pusat kota.
Sembilan tahun ternyata membawa perubahan yang sangat

422
banyak pada kotaku. Dan kini stasiun tua itu terlihat dekat,
aroma kota mulai tercium menembus jendela kaca. Aku
pulang. Ya, akhirnya pulang. Rasanya sungguh
menenangkan,
“Tari!” seru Bapakku saat aku baru saja keluar
dari gerbang stasiun yang ramai penuh sesak orang mudik
itu. Ya, bapak memang sudah menungguku. Ia terlihat
sangat antusias di atas sepeda motor bututnya.
Aku langsung mencium tangan bapakku,
memasang helm dan segera membonceng di motor butut
itu. Bapak memang tak pernah mengizinkanku menyetir
sepeda motor itu, aku sendiri kaget penasaran dengan
alasannya yang selalu bilang aku masih kecil, pada usiaku
saat ini hampir tiga puluh tahun.
“Ibu mau dibelikan apa Pak? Nasi goreng?”
tanyaku saat kami dalam perjalanan menuju rumah.
“Ibu hanya menunggumu pulang, tadi pun sudah
makan saat berbuka puasa, tapi tidak apa kalau kau belikan
nasi goreng, ibumu pasti suka,” jawab Bapakku sambil
terus memacu sepeda motor kesayangannya itu.
Suasana kampung tempatku dilahirkan masih
memberikan kesejukan yang sama, meski kini agak
berubah pemadangannya, sudah berdiri beberapa rumah
dan bangunan toko di sepanjang kanan dan kiri jalan
menuju rumahku.
Akhirnya aku sampai juga di rumah. Ternyata
bapak sudah memperbaiki beberapa bagian rumah yang
dulu saat aku tinggalkan dalam keadaan rusak bahkan

423
warna cat dinding rumahku juga berubah, kini berwana
hijau viridian.
“Wah, makin terlihat beda rumah ini,” ucapku saat
melangkah ke halaman rumah.
“Hehehe ibumu bilang, malu kalau anak e sing
ayu ini pulang tapi rumahnya masih berantakan seperti
dulu saat kau pergi Nak…” jawab Bapak sambil
memakirkan motornya lalu mengunci pagar rumah dengan
gembok.
Aku mengucapkan salam dan langsung membuka
pintu rumah, tampak ibuku menyambut, perempuan
idolaku, masih terlihat anggun meski kini memang terlihat
beberapa kerutan halus di wajahnya, aku lansung mencium
tangan dan kedua pipi perempuan yang melahirkanku
kedunia ini.
“Alhamdulillah, Tari akhirnya sampai. Wah, kau
sudah jadi wanita rupanya..” ucap Ibuku sambil terus
memperhatikanku. Entah kenapa aku malah grogi
disanjung begitu, dan aku segera masuk rumah untuk
menaruh tas dan juga membersihkan badan.
Di rumah itu, hanya ada Bapak dan Ibu. Adik
lelakiku menikah dengan seorang wanita asal luar kota di
kota tempat kerjanya, mungkin mereka akan datang
setelah lebaran. Kadang aku merasa kasihan dengan
orangtuaku yang hanya tinggal berdua saja di rumah, tapi
mereka selalu terlihat bahagia bahkan sering pula bercanda
denganku meski melalui lewat telepon.

424
Aku memberikan nasi goreng yang tadi kubeli
untuk Ibu, dan kami makan bersama malam itu. Bercerita
tentang duniaku di Jakarta dan tentu saja ibu akan
bercerita bagaimana aku saat kecil dulu, sebuah hal yang
sangat kusenangi tiap pulang, cerita masa kecilku.
Hari masih sangat panjang ketika ibu
membangunkanku untuk salat subuh. Di kampungku ini,
dulu hanya diterangi oleh batang bambu yang disebut
obor. Jalanan masih sepi, terkadang juga terdengar bunyi
gemerincing dari pedati yang mengangkut batu ke kota.
Kampungku memang masih sangat asri, banyak pohon
bambu yang tumbuh subur di sepanjang aliran sungai di
kampung ini.
Bapakku yang bekerja sebagai seorang satpam di
sebuah pabrik di Kota, biasanya akan pulang saat aku
sudah berangkat sekolah, jadi ibu-lah yang akan
menyiapkan segala perlengkapanku untuk berangkat
sekolah. Memasak sarapan dan menyiapkan baju
seragamku.
“Bangun Nak, salat subuh lalu segera berangkat
ya…” ucap Ibuku tiap membangunkaku.
Setiap berangkat sekolah aku akan selalu diantar
ibu menggunakan sepeda onthel yang dibeli ibu sendiri
dari hasil menari topeng. Ibuku adalah salah seorang
penari topeng yang cukup terkenal meski ia juga
menguasai beberapa tarian lainnya. Aku sangat bangga
tiap kali menemani ibu di pertunjukkan, di kampung-
kampung tetangga.

425
Meski bapak juga bekerja, ibu tidak mau diam di
rumah. Ibu ingin bisa bekerja juga agar semua kebutuhan
keluarga dapat terpenuhi. Bapak sebenarnya sering
meminta ibu di rumah saja mengurusku dan adikku yang
masih kecil, namun ibu tidak tinggal diam karena kadang
gaji bapak pun habis tak tersisa membayar hutang di
warung.
Ibuku tidak pernah mengeluh meski ia terlihat
sangat lelah setiap hari sehabis menari. Satu-satunya yang
bisa aku lakukan hanya menghiburnya dan mengusap
keringat di wajahnya setiap selesai menari. Ibu selalu
membawaku ke pertunjukkan tarinya, mengajariku
manfaat berkesenian agar hidup seimbang, katanya.
Tak jarang banyak orang yang menggoda ibu,
namun dengan tegas ibu selalu menepis godaan, itulah
alasannya kenapa ibu selalu membawaku juga agar orang-
orang tahu itu kalau ibu sudah memiliki keluarga, selain
tentu agar aku bisa belajar kesenian juga.
Justru godaan keluarga kami tak bisa ditolak oleh
Bapak saat ia kemudian berselingkuh dengan seorang
perempuan di tempatnya bekerja. Itulah cobaan yang
sangat besar dalam keluarga kami. Namun, Ibu selalu terus
bersabar dan selalu memintaku juga adik laki-lakiku agar
terus berdoa agar bapak kembali menyadari kesalahannya.
Aku yang sangat emosi mengetahui pertengkaran
ibu dan bapak pernah meninggalkan rumah. Aku merasa
bahwa bapak tidak menghargai ibu sama sekali, terlebih
ibu bahkan ikut berjuang mencari rezeki bagi keluarga.
Aku minggat dari rumah dan menggelandang ke kota

426
sampai akhirnya salah seorang tetanggaku menemukan
aku sedang tertidur di sebuah emperan toko di pasar. Aku
akhirnya mau pulang saat tetanggaku itu mengatakan
bahwa ibuku sakit keras karena mencariku.
Pertengkaran ibu dan bapak akhirnya memang
tidak berujung pada perceraian karena pada akhirnya
bapak mau kembali bersama kami. Ibu pun memaafkan
bapak dan memulai kehidupan yang baru. Namun sejak
saat itu, kegiatan berkesenian ibu memang sudah mulai
dikurangi, ia lebih sering berada di rumah membantuku
mengerjakan tugas sekolah atau menemani adikku.
Sementara Bapak mencari tempat kerja di tempat lain
sampai ia mendapat kerja sebagai satpam di kantor
pemerintah.
Usai menikmati makan malam bersama, Ibu masih
saja menemaniku berbincang, sementara Bapak yang tidak
lagi bekerja karena usianya, mengikuti acara di Balai desa
kampung untuk membahas acara Salat Idul Fitri yang akan
dilaksanakan dua hari lagi.
“Jadi, bagaimana kerjamu di Jakarta?” tanya Ibu.
“Yah, seperti biasa saja, Bu, mungkin memang
cukup untuk memenuhi hidup, tapi rasanya aku ingin
membangung kesenian di kampung ini lagi,”
“Zaman sekarang Nak, sepertinya memang sudah
tidak ada lagi yang berminat dengan kesenian. Apa kau
sudah ingin berkeluarga?” tanya Ibuku dengan raut wajah
yang kini terlihat serius.

427
“Aku masih ingin terus berkesenian dulu, masalah
keluarga pasti akan datang waktunya Bu…” jawabku.
“Ada satu hal yang ingin sekali ibu lihat sebelum
meninggal, melihatmu memiliki keluarga, anak, dan tentu
saja kehadiran cucu itu akan membuat ibu merasa sangat
bahagia, Tari…”
“Bukankah Ibu sudah punya cucu,” ujarku
mengingatkan Ibu tentang anak adikku yang kini berusia
genap dua tahun.
“Adikmu memang sudah memiliki anak, cucu
untuk ibu, Tapi alangkah bahagia kalau kau juga memberi
ibu cucu... Ingat umurmu sudah tidak muda lagi, Tari..”
Aku hanya terdiam, sejak beberapa waktu ini ibu
memang selalu mengingatkan aku tentang pernikahan
yang jujur saja aku sendiri tak pernah memikirkannya.
Masih banyak hal yang ingin aku lakukan sebelum
menikah, yang menurut akan lebih bermanfaat dan efektif
jika kulakukan sebelum menikah,
Setelah lama berbincang, ibu pun pamit istirahat
agar bisa bangun nanti menyiapkan makan sahur terakhir
sebelum hari Lebaran, aku sendiri sudah sangat lama tidak
menikmati sahur bersama keluarga, itu alasanku pulang
dua hari sebelum lebaran agar aku bisa menikmatinya.
Pekerjaanku yang lumayan padat di Jakarta memang tidak
bisa aku tinggalkan begitu saja, namun akhirnya aku
mendapat izin untuk pulang.
Pagi itu, ibu membangunkanku untuk sahur.
Bapak yang juga baru pulang sekitar jam dua pagi tadi

428
masih terlihat mengantuk, sementara ibu membuat
masakan kesukaanku, ayam semur.
“Wah, sudah lama rasanya tidak makan semur
ini,” ucapku seraya tersenyum lalu melahap ayam semur
itu.
“Dulu waktu kamu kecil selalu menangis kalau
minta itu…” ucap Ibuku yang diiringi senyum Bapak.
Rasa ayam semur yang sedap itu tidak berubah.
Aroma nikmat, bumbu rempah yang meresap dengan
sempurna serta lembutnya daging ayam setiap kugigit
membuat makanan ini menjadi makanan favoritku. Ibu
masih tetap mampu memasak dengan sangat lezat, salah
satu hal yang mungkin tidak aku dapatkan dari siapa pun.
Namun ada yang aneh karena melihat wajah ibu yang
sedikit pucat.
“Ibu, sepertinya kondisi Ibu kurang sehat, wajah
Ibu pucat…” kataku.
“Itulah Ibumu, selalu saja anggap kondisinya
baik..” ucap Bapak dengan suara berat.
Ibu hanya menatapku lalu tersenyum. Aku tahu
dibalik senyumnya menyimpan rahasia. Aku tak berani
menanyakannya. Hanya mampu menerka-nerka apa yang
sesungguhnya terjadi. Ibu memang sejak dulu selalu
berusaha tegar meski aku tahu kadang ia menangis di
tengah malam, sendirian dalam doanya.
Puasa hari terakhir itu memang terasa lebih berat
dari biasanya karena banyak persiapan yang dilakukan

429
menyambut lebaran. Ibu seperti biasanya akan membuat
sayur opor ayam, krecek, dan ketupat khas lebaran. Aku
mencoba mencari tahu tentang penyakit yang diderita Ibu
namun ia selalu saja memintaku tak memikirkannya meski
kondisinya kini makin memburuk, beberapa kali aku lihat
Ibu sering batuk.
“Ibu, apa tak sebaiknya periksa ke dokter?”
tanyaku.
“Sudahlah, mungkin sudah tua. Tak perlu kau
khawatirkan kondisi Ibu, segera selesaikan saja ketupat-
ketupat itu,” jawabnya.
Itulah ibuku, perempuan yang selalu tegar
terhadap apa pun, bahkan terhadap sakitnya. Aku akhirnya
tahu bawha ibu sudah sakit sejak dua bulan lalu dari
Bapak. Menurut Bapak, kondisi Ibu menurun sejak jatuh
di kamar mandi beberapa saat yang lalu, saat itu ibu
sempat di rawat di rumah sakit namun meminta bapak agar
tidak menceritakan kondisinya kepadaku.
Penuturan Bapak membuatku merasa sangat
bersalah karena tak mampu menemani Ibuku saat ia
terbaring tak berdaya di rumah sakit. Namun Ibu juga
menyadari bahwa aku sibuk bekerja dan tak ingin
membuatku berpikir terlalu banyak. Adikku yang tingga di
Padang memang jarang pulang, ia juga sepertiku tidak
dikabari oleh Bapak karena permintaan Ibu.
Semua makanan telah selesai dibuat, malam itu
malam takbir dan semuanya bergembira karena usai sudah
puasa kami sebulan ini. Bapak pergi ke musala untuk

430
menggemakan takbir sementara aku dan Ibu di rumah
untuk menyiapkan makanan untuk esok pagi. Masakan
opor ayam ibu memang berbeda karena harus dimasak
hampir semalaman, anehnya daging ayam yang dimasak
ibu tidak hancur.
***
Kumandang takbir bergema pagi itu. Aku, Bapak,
dan Ibu pergi ke masjid tempat kami salat Idul Fitri. Salat
bersama keluargaku yang pertama sejak beberapa tahun
ini. Suasana yang sudah sangat lama tidak aku rasakan
sejak hidup di Jakarta.
Akhirnya momen yang aku tunggu datang juga,
sungkeman. Ketika aku mendapat kesempatan untuk
meminta maaf atas segala kesalahanku pada orang tua.
Aku duduk bersimpuh pada Bapakku, yang saat itu tak
mampu menahan tangisnya, mengusap lembut kepalaku
dam memberikan wejangan tentang hidup.
Namun, justru aku yang menangis sangat deras
saat bersimpuh di kaki Ibuku. Bersujud meminta maaf atas
segala khilaf dan dosa yang aku lakukan sejak kecil hingga
saat ini. Aku membasuh kaki ibuku dan terus menangis
meski aku sendiri tidak mengetahui kenapa aku bisa
secengeng itu.
“Maafin Tari ya Bu…” ucapku lirih.
Ibu hanya mengingatkanku bahwa hidup harus
dilanjutkan dengan usaha dan doa. Apa pun itu tak boleh
menyerah. Ia juga mengingatkanku untuk tak terlalu sibuk
bekerja hingga lupa berkeluarga. Aku membasuh kedua

431
kakinya, bersimpuh, dan menciumnya. Aku merasakan
betapa dinginnya kaki ibuku, betapa cerahnya wajah ibuku
yang terus menatapku dan tersenyum.
Sebuah senyuman yang rupanya menjadi
senyuman terakhir untukku, karena tak lama setelah itu ibu
terjatuh pingsan saat mengambil makan untuk bapak. Aku
berteriak kesetanan. Air mata mengalir deras bagai air bah.
Kami sempat membawanya ke rumah sakit.
“Ikhlas Tari…Ikhlas…” ucap Bapak seraya
memelukku.
Pada hari suci yang amat agung itu, ibu kembali
kepada-Nya. Meninggalkanku, Bapak, Dewo, adik
lelakiku, istrinya, dan juga cucu tersayang Ibu, Raka. Yang
tertinggal hanya sesalku yang tak bisa memenuhi pintanya.
Pelajaran bagiku, mungkin juga bagi kalian semua. Tak
baik menunda-nunda. Bila nanti kutunjukkan pada sang
pusara, apa rasanya kan sama?

432
Semesta Memang Suka Bercanda
Karya Syifani Dhya Ayu Maharani

Malam itu seharusnya menjadi malam yang cukup


hangat sebab seluruh penghuni rumah itu tengah duduk
tenang sambil menyantap makan malam. Semuanya fokus
pada apa yang ada di depan mereka. Tak terdengar satupun
dari mereka yang buka suara. Yang terdengar hanyalah
dentingan-dentingan ketika sendok dan garpu bertemu
dengan piring-piring.
Atmosfer seperti ini sudah sangat biasa, terlalu
biasa malah. Maklum, kisah ini berputar pada sebuah
keluarga bertopeng harmonis dari kalangan konglomerat
elit politik. Bagi mereka, etika dan adab adalah sesuatu
yang harus dijunjung tinggi, ya, seperti makan malam
bersama dalam keheningan.
Namun keheningan itu tak cukup untuk membuat
seorang gadis merasa tenang. Lihat saja tingkahnya; netra
kelamnya bolak-balik melirik Sang Ayah, juga kakinya
yang tak henti bergerak-gerak kecil. Ingin rasanya
mengakhiri sesi makan malam penuh formalitas itu
sekarang juga. Dan, oh, sesi makan malam penuh
formalitas benar-benar selesai saat itu juga. Gadis itu
memutuskan untuk buka suara.
”Hmm, Bapak?” Ucapnya dengan suara pelan.
Tentu saja suaranya pelan. Dia bukan anak rimba yang

433
akan berteriak meledakkan kegelisahannya secara tiba-
tiba.
”Kita sedang makan malam bersama, Reswara
Gemani Ayudisa. Kamu pasti mengerti maksud Bapak,”
jawab Ayahnya.
“Iya, Pak. Reswara cuma mau memberi tahu
sesuatu.”
“Kamu bisa beritahu Bapak nanti, kan?” Sahut
Sang Ayah sambil menatap Reswara.
“Sejak kapan aku bisa bicara sama Bapak? Bapak
terlalu sibuk dengan gemerlap dunia Bapak sendiri.
Rasanya aneh mendengar Bapak bilang seperti tadi,” tukas
Reswara. Wah, gadis ini, apakah tengah lepas kendali atau
sengaja melepas amunisi?
“Ayudisa, jangan memulai. Kamu diajar toto
kromo, toh? Itu tidak sopan.”
“Ya, aku tahu itu memang tidak sopan. Tapi
semua yang ada di meja ini termasuk Bapak, jelas sadar
tentang apa yang baru saja aku ucapkan. Itu memang
benar, kan, Pak?”
“Bapak tidak mau berdebat dengan dirimu.
Masalah seperti ini sebaiknya tidak kamu bawa ke meja
makan, Ayudisa. Dan kamu sebagai putri pertama,
harusnya mengerti situasi keluarga kita,” nada Sang Ayah
terdengar mulai tegas. Namun sepertinya, nada tegas itu
tak membuat Reswara gentar.

434
“Aku tidak mengajak Bapak untuk berdebat. Juga
aku tahu, aku memang putri pertama yang seharusnya
mengerti situasi, dan aku telah cukup mengerti. Aku cukup
mengerti bahwa situasi keluarga kita menjadi begitu pelik
dan berbeda dari keluarga lainnya, sampai-sampai
keinginanku untuk sekedar berbicara atau bercerita pada
Bapak menjadi suatu hal yang entah mengapa…. begitu
sulit untuk dilakukan. Bapak bilang jangan membawa
masalah, dan itu membuat aku bingung. Bagian mana yang
menjadi masalah? Apakah keinginan berceritaku? Ataukah
kebenaran yang aku katakan? Bahkan –
BRAK!
“Cukup, Ayudisa!” Teriak Sang Ayah memotong
pembicaraan Reswara setelah memukul meja makan
dengan cukup keras. Suara gebrakan meja itu sukses
membuat semua orang yang ada disitu terkaget, terutama
Reswara yang sedikit terlonjak dari kursi kayunya.
Tak bisa dibohongi bahwa apa yang baru saja
dilakukan Ayahnya membuat Reswara ingin menangis. Ia
merasakan pelupuk matanya mulai memanas dan mungkin
sebentar lagi tetesan air matanya siap menuruni pipi.
“Bapak! Menggebrak meja dan berteriak, apalagi
berteriak kepada putri sendiri juga bukan toto kromo yang
patut diajarkan!” Jelas Sang Ibu.
Reswara gemetar. Sama seperti meja kayu jati itu,
sekuat apapun bahan jatinya, tetap tak kuasa menahan
getaran. Reswara boleh saja terlihat kuat, tapi ini masalah

435
dengan Ayahnya, tentu dia juga merasa terguncang, sedikit
apapun rasa itu.
Tanpa mengucap sepatah katapun atau
melanjutkan kalimatnya yang sempat terpotong tadi,
Reswara menuju kamar dengan langkah penuh amarah
sambil menahan tangis. Dia mengambil tas dan jaket jeans
warna merah maroon miliknya, keluar kamar dan menuju
keluar. Melangkah menuju mobil merahnya, yang ada di
pikirannya hanya satu tempat; rumah kakeknya.
Di tengah gelap dan dinginnya malam, Reswara
memaju mobilnya untuk terus membelah jalanan kota.
Reswara memutar playlist favoritnya secara acak, sial
sekali bagi dirinya, lagu pertama yang secara acak diputar
adalah lagu ‘gila’ – nya bersama sang Ayah; All Out of
Love gubahan Air Supply, lagu lawas yang selalu mereka
nyanyikan, ya… setidaknya dulu.
“Cih, sialan. Kenapa dari puluhan lagu yang ada di
playlist – ku, ini justru jadi lagu pertama yang muncul.
Semesta memang suka sekali mengejek diriku, semesta
suka sekali bercanda,” ucap Reswara entah pada siapa.
Mungkin dirinya bicara pada semesta yang baru saja
sukses mengejeknya? Entahlah.
Cahaya rembulan yang semula terang kian
meredup, dihalangi oleh awan-awan egois yang menutup.
Langit malam menjadi lebih kelam dari biasanya, seperti
ikut prihatin akan perasaan Reswara yang suram. Bahkan
kilatan petir terlihat mengaum di atas sana. Jelas sekali itu
adalah tanda-tanda bahwa tangis milik langit akan segera

436
turun untuk bertemu dengan bumi. Iya, sebentar lagi akan
turun hujan.
Semesta benar-benar telah berkonspirasi untuk
mendukung suasana hati Reswara. Tangis yang sedari tadi
ditahannya, akhirnya pecah juga. Air mata mulai turun
membasahi pipi ranumnya. Giginya gemetar menahan
tangis agar tak terlalu deras. Reswara merasa malu untuk
menumpahkan tangisnya meski ia tengah sendiri dan tak
akan ada seorang pun yang melihatnya menangis. Itulah
Reswara, gengsinya lebih besar daripada kepala dan
seisinya. Hanya ada satu orang yang selalu jadi tempat
pengaduannya.
Rumah kakeknya sudah dekat, tinggal satu
belokan ke kanan di depan sana dan lurus saja sekitar satu
kilometer. Rumah bergaya arsitektur jawa warna jingga –
coklat, di sebrangnya ada ‘Bakso Solo Pak Blangkon’, dan
di sudut luar rumahnya terdapat lampu jalan.
Reswara telah sampai. Ia memarkirkan mobilnya
di depan teras rumah. Dirinya tak langsung ke rumah dan
memilih untuk keluar sekadar melihat-lihat iseng.
Terdengar suara Pak Blangkon si tukang bakso solo
kesukaannya dari sebrang.
“Loh, ada Mbak? Walah, sudah lama ndak lihat
Mbaknya main sini. Gimana kabar, Mbak?” Kata Pak
Blangkon menyapanya dengan logat jawa yang kental.
“Baik, Pakde. Gimana bakso? Sepertinya makin
laris saja, nih,” jawab Reswara sambil mengangguk
tersenyum.

437
“Ya, alhamdulillah, siang jualan jam segini sudah
mau habis.”
“Baguslah, Pakde. Saya pamit masuk dulu, ya,”
kata Reswara sekali lagi mengangguk sopan dan
tersenyum. Ia segera berbalik badan dan menuju pintu
depan. Reswara senang ketika berbincang kecil dengan
Pak Blangkon, bahkan ketika hanya saling menyapa.
Menurutnya, suara Pak Blangkon lucu sekali, logat
jawanya sangat kental dan ketika berbicara dengan dirinya,
Pak Blangkon berusaha menggunakan bahasa Indonesia.
Ya, walaupun bahasa Indonesianya masih campur-campur
bahasa Jawa. Suara Pak Blangkon terdengar hangat seperti
suara kakeknya.
“Assalamualaikum, Mbah,” Reswara mengucap
salam.
“Walah, dalah, Ayudisa! Waalaikumsalam,”
jawab kakeknya dengan mata yang berbinar. Bagaimana
tidak? Belakangan ini, Reswara jarang sekali mampir ke
rumah kakeknya.
“Aduh, Mbah. Kan sudah aku bilang, panggil aku
‘Reswara’ saja. Jangan ‘Ayudisa’. It sounds weird, Mbah.
Sama saja seperti Bapak, huh.”
“It sounds great, Ayudisa. Mbah dengan bapakmu
memang janjian memanggil dirimu ‘Ayudisa’,” kata
kakeknya sambil tertawa kecil. Mata menerawang ke atas,
seperti sedang mengingat sesuatu.
Kakek Reswara boleh saja orang Jawa tulen.
Boleh saja seorang sesepuh. Boleh saja logatnya kental

438
Javanese. Tapi jangan salah sangka, kakeknya itu sangat
kekinian. Dirinya lancar berbahasa Inggris meski logatnya
tetap logat Jawa. Bahkan bahasa gaul sehari-hari yang
terkadang Reswara tak tahu saja, kakeknya tahu. Intinya,
kakek ini seperti kakek masa depan, deh!
“Hah? Maksudnya gimana, Mbah?” Reswara
terlihat bingung, atau lebih tepatnya penasaran.
“Hahaha,” kakeknya justru tertawa dengan suara
serak tuanya.
“Loh, Mbah kok malah tertawa? Aku mau tahu,
Mbah,” desak Reswara sambil memegang tangan
kakeknya dengan sedikit menggoyangkannya, seperti
orang anak kecil yang meminta mainan, hahaha.
“Kalau, Nduk mau tahu, ayo ikut Mbah ke ayunan
belakang, kita sambil lihat bintang. Sudah lama, kan, ndak
lihat bintang disini?” Kata kakek sambil melenggang pergi
menuju halaman belakang.
“Wah! Iya, ayo, Mbah! Aku sudah lama tak
menyentuh teleskop. Rumah Mbah is the best place to do
stargazing.”
Reswara menyusul Sang Kakek menuju halaman
belakang. Dirinya suka sekali bintang, pun juga dengan
astronomi. Bidang itu menjadi salah satu studi yang
Reswara gemari meski dia bukan seorang ahli. Ya,
semacam hobi saja.
Halaman belakang di rumah kakek adalah tempat
bersejarah bagi Reswara sendiri. Setiap inchi dari tempat

439
itu menyimpan memori indah, tangis, serta amarah yang
Reswara simpan di folder khusus dalam hatinya. Reswara
melihat sekitar halaman belakang itu. Menyadari bahwa
memang tak ada yang pernah berubah dari tempat itu sejak
berbulan-bulan dirinya tak berkunjung. Oh, tidak, bahkan
sejak bertahun-tahun dirinya selalu berkunjung, tempat ini
benar tidak pernah berubah. Reswara hafal setiap sudut
tempat ini, seperti pot besar bunga bougenville warna
coklat yang selalu ada di samping saung. Atau pot pohon
cabai kecil yang ada di dekat jendela dapur, supaya kalau
memasak bisa langsung memetik cabainya tanpa harus
keluar, kata kakeknya. Yang berubah mungkin hanya
lumut di dinding batas yang semakin tebal dan menguning.
”Sini, Nduk. Duduk sini, samping Mbah,” ajak
kakek yang sudah duduk di saung sambil menepuk-nepuk
sampingnya, memberi tahu Reswara untuk segera duduk
disitu.
“Jadi, gimana ceritanya, Mbah? Ayo ceritakan
padaku.”
“Kamu ndak sabaran, sama saja seperti Bapakmu.
Kita stargazing dulu, Mbah punya teleskop baru yang
lebih canggih.”
Reswara sebenarnya sudah sangat penasaran.
Entah kenapa hal semacam itu membuatnya sangat
penasaran. Padahal kalau diingat-ingat, dirinya sedang
kesal setengah mati dengan ayahnya. Namun keinginan
kakeknya tak bisa ia tolak. Apalagi dengan iming-iming
teleskop baru, dia rasa ide itu tak buruk juga, tak buruk
sama sekali malah.

440
“Baiklah. Mana teleskop baru yang mau Mbah
pamerkan?” Tanya Reswara.
Kakek berjalan menuju sebuah tempat terbuat dari
batu-bata berpintukan kayu yang memang difungsikan
untuk menyimpan benda-benda seperti teleskop barunya
itu. Sebuah kotak besar atau lebih tepatnya kardus, dibawa
oleh Kakek menuju saung tempatnya tadi.
“Ini dia!” Ucap kakek antusias.
Satu persatu jari Reswara menjelajah teleskop
baru itu. Warnanya silver dan hitam, diameternya sedang
untuk ukuran teleskop, tinggi tripodnya sekitar satu meter
dan masih bisa ditinggikan lagi. Matanya sampai pada
nama teleskop itu. Dan Reswara –
“Apa?!” Pekik Reswara.
Ya, dia berteriak. Kencang sekali. Lihat saja
kakeknya, reflek menutup telinga dan memejamkan mata
saking kencangnya suara cucunya itu.
“Ini Refraktor Vixen ED81S?! Mbah! This is
crazy! Keren sekali!” Reswara tak bisa berhenti
menumpahkan rasa senangnya yang terlalu.
Tanpa menunggu jawaban kakeknya, Reswara
langsung mengoperasikan teleskop tersebut. Dirinya tak
kesulitan sama sekali, seperti melakukan hal yang sudah
sangat biasa. Diarahkannya teleskop itu ke arah langit
sana, sesekali memastikan tripodnya sudah kencang. Satu
matanya bolak-balik melihat langit melalui lensa, mencari
posisi terbaik untuk melihat bintang incarannya. Saat ia

441
selesai dan beruntungnya dengan cepat menemukan
bintang di atas sana, Reswara memekik kesenangan.
Senyum diwajahnya terukir jelas. Benda-benda langit
memang sahabatnya Reswara.
“Mbah! Aku menemukan si bintang Rigel!
Terangnya bukan main!”
Kakeknya sedari tadi hanya tersenyum hangat
melihat tingkah Reswara. Dia tahu ketika Reswara datang
berkunjung sendiri tanpa mengabari dulu, pasti ada saja
masalah yang dihadapinya. Dan ia juga tahu, masalahnya
tak jauh-jauh dari hubungan ayah dan anak, tepatnya
hubungan putranya dan cucunya.
“Dulu ayahmu dan Mbah putrimu, suka sekali
melihat bintang. Hampir setiap malam luang, kita melihat
langit malam. Di sini, di saung ini juga. Kalau sudah dapat
bintangnya, pasti selalu bilang ‘Ayu tenan’ artinya cantik
sekali. Dari situ Mbah putri mau punya anak namanya
Ayu, tapi karena ndak kesampaian, jadilah namanya
menurun ke kamu, Nduk.”
Pandangan Reswara perlahan teralihkan. Ia
perlahan meninggalkan teleskop dan beralih memandang
Sang Kakek. Sejenak ia diam, memikirkan potongan kisah
pendek yang baru saja ia dengar.
“Jadi itu alasan ayah dan kakek memanggilku
Ayudisa?” Tanya Reswara. Retoris. Pertanyaan yang
sudah terjawab dan tak perlu lagi untuk dijawab. Hanya
untuk pengulangan saja agar dirinya lebih yakin.

442
“Aku tadi berantem dengan ayah, Mbah. Aku
hanya mau bercerita sedikit dengan ayah, tapi ayah justru
marah, sampai-sampai meja pukul. Ya, aku tahu itu salah
jika berbicara saat makan bersama. Tapi…….” Cerita
Reswara yang sedikit ragu melanjutkan.
“Tapi opo, toh?” Tanya kakek.
“Aku ikut PPB, Mbah.” Lanjut Reswara singkat.
“PPB? Pemuda Pilar Bangsa itu?”
“Iya. Mbah pasti sudah dengar kalau ayah tak suka
aku ikut lomba-lomba semacam ini, kan? Politik, Mbah,”
ucap Reswara sambil melirik kakek takut-takut.
Kakek hanya diam. Ia tahu benar alasan dibalik
ketidaksukaan ayah Reswara. Tapi ia juga tak bisa ikut
mengekang Reswara. Gadis itu cerdas dan hebat, cucunya
hanya butuh sebuah dukungan, sekecil apapun itu.
“Itu kan ayahmu. Mbah setuju, kok.”
“Serius, Mbah?”
Kakek mengangguk sambil tersenyum. Kerutan
tua di wajahnya ikut tertarik ke atas bersama senyuman
itu. Sudut matanya bahkan menyipit. Menandakan betapa
besar kasih sayangnya. Dan Reswara? Dia sudah berdiri
sambil melompat-lompat kesenangan. Kedua tangannya
terkepal di depan dada. Bibir tipisnya tak berhenti
mengucap ‘yes’. Dan wajahnya tak berhenti memancarkan
keceriaan, seakan aura suramnya luntur begitu saja.
“Jadi kapan lombanya?” Tanya kakek.

443
“Hmm, sebenarnya aku sudah masuk final, hehe.
Aku ikut lomba ini diam-diam, kalau dihitung sejak awal
proses seleksi, kira-kira sudah hampir satu bulan,” ucap
Reswara sambil menggaruk kepala bagian belakang yang
sebenarnya tak gatal sedikitpun.
“Hahaha, entah mengapa Mbah tidak terkejut.
Lalu kapan babak finalnya?”
“Besok pagi, pukul 10 di Istana Presiden.”
“Loh? Kamu ndak siap-siap? Ndak belajar gitu?
Babak finalnya debat, toh?”
“Hahaha, Mbah percaya aku pintar, kan?” Tanya
Reswara sambil pura-pura mengangkat dagunya, berlagak
seolah tengah menyombongkan diri.
“Hush, sombong membunuhmu,” sahut kakek.
“Aku bercanda. Tentu saja aku sudah bersiap. I’m
a planner, Mbah. You know it well. Lagipula lomba ini
penting bagiku, tak mungkin aku main-main.”
Kakeknya hanya tersenyum mengangguk-angguk.
Setelahnya, mereka hanya bersantai sambil telentang di
atas saung. Menikmati keindahan langit malam tanpa
bantuan teleskop. Berbincang-bincang kecil tentang hal
yang sedikit perlu sampai yang sangat tidak perlu untuk
dibicarakan. Seperti pertanyaan; apakah dunia pararel
benar adanya? Atau mengapa air dan minyak tidak dapat
menyatu? Mereka tidak perlu jawabannya. Saling bertanya
hal-hal aneh membuat mereka merasa lebih terhubung dan
tentu lebih baik, terutama Reswara pastinya.

444
Menyelami langit malam dalam suasana yang
tenteram, membuat Reswara justru berbalik menyelami
alam mimpinya. Ya, Reswara tertidur begitu saja.
Tidurnya terlihat nyenyak sekali padahal dirinya tak
menggunakan bantal atau teman-temannya itu. Dirinya
terlihat sangat tenang, seperti beban-beban yang ia pikul
lepas darinya. Kakek hanya tersenyum hangat melihatnya.
Menyadari bahwa waktu, pertumbuhan, perkembangan
dan perubahan nyata adanya. Cucunya sudah tumbuh
menjadi gadis remaja yang hebat. Masih genap di
ingatannya ketika Reswara kecil lebih suka cerita astro-
mitologi dewa-dewi Yunani daripada cerita-cerita putri
kerajaan. Atau gilanya belajar hitungan sambil bicara
politik yang tayang di televisi dahulu.
Kakek masuk ke dalam rumah dan kembali ke
saung halaman belakang dengan membawa selimut, bantal
serta guling untuk Reswara. Dirinya yang sudah tua sudah
tak sanggup menggendong Reswara masuk ke dalam
kamar. Pikirnya biar saja Reswara tidur di luar, bukan hal
yang baru juga bagi cucunya itu. Penting sudah ada bantal-
guling dan sudah di selimuti. Perkara nyamuk? Oh, saung
itu sudah di lengkapi dengan kelambu.
Reswara boleh saja menatap langit malam
sesukanya. Tapi kini giliran langit malam yang menatap
gaya tidur Reswara sampai fajar menjemputnya bersama
matahari. Menonton gaya tidur Reswara sepuasnya sampai
pagi. Ke kanan atau ke kiri, berputar atau balik sana-sini,
itu semua gaya tidurnya Reswara, haha. Maaf Reswara,
tapi kali ini langit malam yang menang dalam hal melihat
kekonyolan diri!

445
Waktu berjalan dan sayup-sayup suara adzan
subuh mulai terdengar. Ayam bolak-balik berkokok, tanda
hari yang baru akan segera dimulai. Reswara merasa
terusik dan memilih untuk bangun. Dengan mata yang
belum sepenuhnya terbuka, Reswara turun dari saung.
Kedua tangannya dikepal guna mengucek-ucek matanya
supaya bisa benar-benar bangun. Dirasakan udara pagi hari
yang sejuk terlanjur dingin menerpa kulitnya. Reswara
berjalan masuk ke dalam rumah. Tepat sekali melihat
kakek yang sudah siap dengan kopiahnya. Ia segera
mengambil air wudhu supaya bisa shalat berjamaah.
Reswara bersiap-siap. Ia akan berangkat ketika
jam dinding coklat tua itu menunjukkan pukul 6. Rasa
cemas dan tegang pasti dirasakan olehnya. Dan raut wajah
Reswara mudah sekali terbaca oleh kakeknya.
“Sudah, tenang saja. Kamu pasti bisa. Siapa tahu
dapat bonus gebetan anak nakal tapi keren, hihihi,” ujar
kakek sambil tertawa menghibur.
“PPB itu PPB itu Pemuda Pilar Bangsa. Bukannya
Perempuan Pencari Badboy. Sudahlah, Mbah. Aku mau
berangkat sekarang saja. Takut macet.”
Reswara mengambil barang-barangnya,
memastikan tidak ada satupun yang tertinggal. Dia pamit
pada kakeknya dan segera masuk ke dalam mobil. Di awal
hari yang masih agak gelap, Reswara memacu mobilnya.
Lomba yang ia ikuti sebenarnya mengundang keluarga
peserta, siapapun boleh ikut, meski tak wajib. Ia
memutuskan untuk mengirim pesan singkat pada ibunya

446
dengan menggunakan layanan google asisstant pada
ponsel pintarnya.
“Okay Google! Kirimkan Ibu pesan!”
“Okay, pesan apa?”
“Datang kalau Ibu mau. Undanganya ada di atas
meja belajarku.”
“Okay, apakah kamu mau merubahnya atau
mengirimnya?”
“Kirim.”
“Okay, pesan telah dikirim.”
Jalanan pagi terasa biasa saja, namun cukup untuk
hiburan kecil sebelum ketegangan sebenarnya dimulai.
Reswara sampai lebih awal. Salah, dia sampai terlalu awal.
Belum ada keramaian yang berarti di sana. Dirinya
memilih turun dari mobil dan mencari sarapan sebab
perutnya sudah mulai mengaum tak karuan.
Pilihannya jatuh pada kedai tukang bubur pinggir
jalan. Lumayan, sudah lama tak makan bubur ayam.
Lagipula kedainya masih sepi, jadi makannya pasti lebih
tenang. Hanya ada seorang pemuda yang tengah bermain
gawai tablet dan… tanpa bubur? Tak masalah bagi
Reswara bila hanya seorang. Toh, dia itu orang asing.
Kau boleh merasa dia orang asing. Tapi setelah
ini, dia mungkin jadi orang yang berarti bagi dirimu,
Reswara. Tunggu waktu mainnya saja.

447
“Pak, bubur ayamnya satu, pakai kacang, pakai
kerupuk, pakai sambal, tapi jangan pakai kecap, ya Pak,”
pesan Reswara seraya menarik salah satu kursi plastik di
sana.
“Pak, bubur ayamnya satu, pakai kacang, pakai
kerupuk, pakai kecap, tapi jangan pakai sambal, ya Pak.”
Perhatian Reswara seketika teralih pada suara itu.
Jelas sekali itu suara pemuda tadi. Tapi pandangan
pemuda itu tak ada pada dirinya.
“Dia sengaja meledekku? Dengan mengulang
cara dan intonasi memesanku tadi? Cih, apa-apaan,”
batin Reswara.
Tapi Reswara memilih pura-pura tak
mendengarnya. Pikirnya hanya kebetulan saja. Lagipula,
ada urusan apa orang asing tiba-tiba sok meledek? Tidak
mungkin, kan? Oh, tentu mungkin saja, Reswara. Ia
mengeluarkan novel yang belum selesai ia baca, novel
Selena garapan penulis tersohor, Tere Liye. Dirinya
tenggelam dalam keseruan yang diberi novel itu. Reswara
memang begitu, sekalinya ia tenggelam dalam movel,
kelima indranya seperti abai pada dunia. Dunia serasa
milik berdua. Reswara dan novelnya. Sampai sebuah suara
mengiterupsi, barulah Reswara mengalihkan
pandangannya.
“Oh, kamu kutu buku,” ujar seseorang yang tak
lain si pemuda plagiat intonasi. Wah, belum kenal saja kau
sudah punya panggilan khusus untuknya, Reswara.

448
Satu hal. Reswara tak suka bicara pada pemuda
asing yang aneh. Reswara tak menanggapi perkataan
pemuda intonasi itu. Dia lanjut pada kata-kata yang siap
dibaca dalam novelnya.
“Kamu kutu buku yang anti sosial. Sampai-sampai
pesanan buburmu datang, tapi kamu bahkan tak sadar,”
lanjut pemuda itu.
Reswara tak suka. Pemuda itu jelas
menganggunya.
“Aku bukan seorang anti sosial. Terima kasih atas
pemberitahuan buburnya. Dan kutu buku atau tidak, bukan
urusanmu.” Ketus Reswara.
“Woah, tenang saja. Baik, kau mengaku bukan
anti sosial. Sama-sama untuk pemberitahuan buburnya dan
aku hanya tertarik karena novel yang sedang kau baca itu
juga sedang kubaca. Sorry jika bahasaku sedikit
menyebalkan,” ucapnya menjelaskan.
“Kau? Baca Novel Tere Liye juga? Novel
Selena?” Tanya Reswara yang mulai tertarik.
“Hmmm, mungkin bisa dikatakan ya. Tapi
sebaiknya kita habiskan dulu buburnya sebelum dingin.
Cepat makan buburmu,” kata pemuda plagiat intonasi itu
dengan intonasi yang sedikit…. memerintah?
Reswara sebenarnya tak terima dengan ucapan
pemuda di depannya yang lebih seperti memerintah.
Reswara tak suka diperintah. Apalagi oleh pemuda aneh.

449
Namun memang benar adanya. Ia memilih diam dan
membawa suapan buburnya menuju mulut mungilnya.
Setelah selesai, Reswara segera mengembalikan
mangkoknya dan membayar buburnya. Harganya murah,
lima belas ribu rupiah untuk semangkok bubur yang
rasanya juga enak. Reswara segera melenggangkan
langkah kakinya meninggalkan kedai bubur ayam itu.
Berjalan sendirian memang sepi, tapi bila sesekali seru
juga, pikir Reswara.
“Hei! Kau!”
Reswara mendengar itu. Suara pemuda di kedai
bubur tadi. Dirinya sekali lagi pura-pura tak mendengar
dan mempercepat langkahnya. Bagaimanapun juga,
Reswara seorang perempuan, ia pasti waspada dengan
orang-orang yang mulai aneh dan notabennya berbeda
gender. Sial, langkah kaki di belakang Reswara semakin
terdengar dan derap langkah itu semakin cepat. Hal itu
membuat Reswara melakukan hal yang sama, ia mulai
berlari. Tapi sial, lagi, dirinya terkejar.
“Kau tak bisa mendengar, hah? Aku jelas
memanggilmu dan kau sadar akan itu. Aku hanya mau
mengembalikan novelmu yang tertinggal, bukannya mau
menerkannu. Itu saja.”
Jujur, Reswara merasa terkejut. Dirinya merasa
sedikit bersalah.
“Terima kasih. Maaf tapi aku harus duluan,” ucap
Reswara singkat.

450
“Itu saja? Kupikir kau akan membalas
perkataanku, hmm, Reswara?”
Oh, pemuda plagiat intonasi itu pasti membaca
nama pemilik novel tadi pada halaman judul yang tak lain
adalah Reswara.
“Aku yang salah karena berburuk sangka. Kenapa
aku harus membalas perkataanmu? Aku masih tau etika.
Dan ya, namaku Reswara. Kurasa cukup sampai sini saja,
kita terlalu jauh untuk dua orang asing.”
“Kau bukan lagi orang asing bagiku,” ucap
pemuda itu. Membuat Reswara mengernyitkan dahinya
terheran.
“Kalau definisi asing adalah antara orang yang
saling tidak mengenal nama, maka kau bukan orang asing.
Aku tahu namamu. Kau Reswara G A, entah apa G A nya
itu. Tapi aku sudah tau nama depanmu, Reswara.”
Reswara mulai jengah.
“Sebenarnya apa maumu, sih? Aku punya urusan
penting dan bukan denganmu,” ketus Reswara.
“Berkenalan. As simple as that,” jawab si pemuda.
“Oke. Kau sudah tahu namaku. Kau? Beritahu aku
namamu maka kita selesai,” ucap Reswara.
“Sebenarnya ini bukan cara berkenalan yang baik.
Tapi namaku Harsa Janu Tarachandra. Kau bisa
memanggilku Harsa atau Tara. Kusarankan kau memilih

451
Harsa, aku lebih suka Harsa,” Jelas pemuda yang mengaku
bernama Harsa.
“Baik, salam kenal Harsa. Aku Reswara. Sayang
perkenalan kita sampai sini saja, aku ada urusan penting.
Sekian,” Kata Reswara dengan menekankan kata ‘sekian’
di akhir kalimat perkenalannya.
“ Belum. Aku belum tahu dua kata terakhir pada
namamu. Dan aku tahu, kita punya tujuan yang sama
disini,” ujar Harsa sambil membuka resleting jaketnya.
Voila! Entah ada takdir apa di antara mereka berdua. Tapi
posissi mereka sekarang sama-sama memakai batik putih
tanda peserta lomba PPB. Kalau dilihat-lihat, mereka
seperti pasangan yang berpakaian senada. Lucu sekali.
“Kau? PPB juga? Kenapa tak bilang sejak tadi?
Kau membuatku terlihat bodoh dengan mengatakan aku
punya urusan penting, padahal itu sama dengan urusanmu.
Menyebalkan,” ujar Reswara dengan kesal. Dirinya benar-
benar kesal dengan Harsa.
“Eh? Kau….. marah padaku? Maaf, aku tak
bermaksud begitu, Reswara.”
“Cih, ya ya, aku tahu. Harsa, dengar. Lebih baik
kita tak banyak berinteraksi, okay? Jujur aku tak suka
terusik oleh dirimu. Dan namaku adalah Reswara Gemani
Ayudisa. Kita selesai berkenalan.”
Tanpa menunggu tanggapan Harsa, Reswara
melenggang pergi begitu saja. Dirinya melirik jam kulit
yang melingkari pergelangan tangannya. Jarumnya
menunjukkan pukul 09.53, ya pukul sepuluh kurang tujuh

452
menit lagi. Reswara segera berlari. Dia menyadari bahwa
kedai bubur ayam itu ternyata cukup jauh kalau dengan
berjalan kaki. Reswara tak akan sempat. Reswara tahu itu.
Dia hanya berharap sesuatu yang baik terjadi hari ini. Dia
sudah siap dengan rasa malunya. Sampai suara itu lagi,
suara Harsa memanggilnya.
“Reswara! Kau mau ikut?” Tanya Harsa yang
sekarang berada di samping Reswara dengan motornya.
Harsa menunjuk jok di belakangnya yang masih kosong.
Ya, Tuhan. Harsa adalah musibah bagi Reswara.
Tapi tawarannya adalah berkah. Reswara tahu dia
seharusnya mengangguk atau bilang iya. Tapi gengsi
Reswara terlalu tinggi. Jangan harap Reswara langsung
bilang iya dalam sekejap.
“Aku bisa sendiri,” kata Reswara.
“Oh, ayolah. Aku berbaik hati padamu, anggap
saja permintaan maafku karena telah membuatmu kesal.
Dan kita sama-sama tahu, kau tak akan bisa sampai tepat
waktu dengan sisa hanya lima menit, tak peduli seberapa
kencang kau berlari atau seberapa banyak keringat yang
kau keluarkan,” kata Harsa seraya menyodorkan helm.
“Kau yang memaksa.” Reswara akhirnya setuju
dan segera memakai helmnya.
“Pegangan pada jaketku. Aku akan mengebut atau
kita akan terlambat.”
Peringatan itu awalnya tak diindahkan oleh
Reswara. Tapi ternyata itu benar adanya. Harsa memacu

453
motornya dengan cepat. Ralat, sangat cepat. Mereka
sekarang resmi terlihat seperti sepasang kekasih remaja
yang masih malu-malu. Selamat untuk Harsa dan Reswara.
Aneh sekali. Takdir apa yang ditulis Tuhan sampai kedua
insan ini bisa bertemu dengan cara yang aneh.
Mereka berhasil. Tepatnya Harsa berhasil. Mereka
sampai tepat sebelum gerbang akan ditutup. Harsa segera
memarkirkan motornya setelah Reswara turun. Reswara
memilih berdiri disitu, menunggu Harsa untuk
mengucapkkan terima kasih atau justru untuk masuk
bersama ke dalam? Reswara menunggu. Tapi Harsa tak
kunjung terlihat. Terpaksa Reswara masuk duluan karena
area luar mau di sterilkan jelas beberapa petugas yang
sempat ia tanya.
Di dalam gedung itu sudah ramai. Reswara bahkan
sedikit bingung saking ramainya tempat itu. Petugas yang
melihat Reswara mengenakan batik peserta pun
mengarahkan Reswara menuju ruangan briefing khusus
peserta. Disana sudah ada belasan peserta, tapi matanya
tak melihat Harsa. Harsa belum masuk juga.
Seorang yang berumur paruh baya dengan setelan
jas hitam mulai berbicara melalui microphone.
“Perhatian semua. Selamat pagi. Dan selamat
untuk kalian semua, pemuda terbaik bangsa yang bisa
hadir disini. Saya pribadi sangat bangga terhadap prestasi
kalian, karena kita sama-sama tahu sulitnya untuk kalian
bisa menginjakkan kaki disini dengan prestasi yang kalian
bawa. Mungkin cukup disitu saja ucapan selamatnya. Saya
akan lanjut pada aturan bermainnya. Kalian akan dibagi

454
menjadi kelompok berisi dua orang untuk menjalankan
semua tahapan dalam tahap final ini. Dan
mengejutkannya, kalian akan dikarantina. Tapi tenang
saja, semua kebutuhan kalian aman. Cukup sampai disini.
Lebih detailnya akan dijelaskan nanti. Mengerti?”
Semua peserta mengangguk sampai sebuah
ketukan terdengar dari arah pintu masuk. Kalau firasat
Reswara benar, ketukan itu adalah ketukan milih Harsa.
Seorang petugas segera membukakan pintu. Dan benar
saja, Harsa muncul dengan santainya sambil berkata maaf.
Reswara memang tak salah, anak itu memang gila dan
aneh. Kedua mata mereka sempat saling bertemu, berbeda
dengan Reswara yang hendak memalingkan wajah guna
menghindar, Harsa justru tersenyum dan tangannya
melambai pada Reswara. Tapi Reswara hanya diam saja.
Aduh, ayolah, Reswara, cobalah tersenyum pada Harsa.
Kalian terlihat cocok, haha.
“Untuk kelompok yang saya bicarakan tadi,
silahkan lihat pada papan di sisi kanan ruangan ini,” Ujar
pembina tadi.
Semua peserta langsung menuju papan itu, tak
terkecuali Reswara dan terkecuali Harsa. Anak itu mulai
aneh lagi, saat yang lain penasaran siapakah partnernya,
Harsa justru hanya berdiri dengan kedua tangannya masuk
dalam saku celana. Berbeda dengan Reswara yang sedari
tadi mulutnya komat-kamit berdoa, semoga mendapat
partner yang baik dan sejalan dengan dirinya.
Reswara memerhatikan nama-nama itu. Namanya
tak kunjung ada, sampai Reswara terpaku pada nomor

455
sepuluh. Ya, namanya tertulis disitu. Masalahnya, nama
Harsa juga tak ada sejak tadi. Artinya? Berkah atau
musibah, nama Harsa ada di samping namanya. Ya,
Tuhan. Ya, Gusti. Rasanya tak mau percaya.
Ketika peserta lain masih mencari yang manakah
partnernya karena belum saling mengenal. Reswara
dengan langkah sebalnya, mantap menuju tempat Harsa
berdiri. Kesalnya semakin bertaMbah ketika melihat Harsa
hanya menatapnya datar.
“Kau!” Ucap Reswara sambil menunjuk Harsa.
“Ada apa sih denganmu? Kau tahu, hah?” Lanjut
Reswara.
Harsa masih saja menatap datar. Sial.
“Kita satu kelompok, Harsa! Semesta pasti
bercanda!” Kata Reswara dengan meninggikan
intonasinya.
“Benarkah?” Kini Harsa justru sangat tertarik.
“Makanya jangan diam saja! Lihat sana di papan
pengumuman!” Ujar Reswara.
“Tidak, tidak perlu. Aku percaya padamu, hahaha.
Tapi kalau begini cara semesta bercanda padaku, aku suka
cara semesta. Aku suka,” balas Harsa membuat Reswara
terdiam. Bukankah ucapannya terlalu manis?
Atmosfer di sekitar terasa sedikit berbeda
keduanya. Tapi ini tak begitu penting sebab tahap satu

456
PPB telah diberi tahu. Sebuah layar besar di dinding
menampilkan sebuah kalimat.
Kemukakan hal yang masih salah dalam
pandangan masyarakat dan perlu diperbaiki.
Peserta diperbolehkan keluar ruangan. Mereka
diberi waktu 30 menit penuh untuk memikirkan isinya.
Tak ada batasan dalam hal yang boleh dikemukakan.
Harsa tak mengucap apa-apa pada Reswara. Dirinya hanya
keluar ruangan dan Reswara tentu mengikutinya. Kalian
tahu? Mereka malah sampai di depan toilet pria.
“Harsa?! Kenapa kita kemari?!” Tanya Reswara
jengkel.
“Aku mau buang air kecil. Lagipula aku tak
memintamu untuk ikut,” jawab Harsa.
“Tiga menit. Setelahnya kita diskusi, Harsa.
Jangan main-main.”
“Cih, siapa yang mau main-main,” ketus Harsa
yang langsung masuk dalam kamar mandi pria.
Setelah selesai dengan urusan kamar mandinya,
Harsa keluar dan langusng menarik tangan Reswara.
Reswara yang tidak terima tangannya ditarik berusaha
melepaskan, tapi usahanya sia-sia saja. Harsa tak
menggubris rontaan Reswara sedikitpun. Mereka sampai
di sebuah taman. Di tengah taman itu ada sebuah kolam
ikan yang ukurannya cukup besar. Taman itu terlihat
sangat terjaga, rumputnya rapih, suasanya asri dan banyak
bunga.

457
“Kita diskusi di sini saja, ya, Reswara?” Tanya
Harsa.
“Memangnya kau peduli pendapatku? Mana ada
orang bertanya mau kemana setelah sampai?” Balas
Reswara.
Harsa hanya tertawa kecil melihat bibir tipis
Reswara yang sedikit mengerucut kesal. Dia kembali
berjalan menuju dekat kolam ikan. Memilih sebuah batu
yang besar – cukup untuk diduduki dua orang. Reswara
memilih untuk mengikuti Harsa, lagi.
“Nah sekarang, isu apa yang mau kamu ajukan?”
Reswara membuka diskusinya.
“Entahlah. Mungkin tentang global warming?
Tentang stigma masyarakat bahwa global warming belum
begitu penting? Bagaimana menurutmu?” Usul Harsa.
“Itu ide yang menarik dan global warming
memang isu yang penting untuk diangkat. Hanya saja,
firasatku bilang pasti kelompok lain ada yang juga mau
mengangkat isu itu juga. Kita diberi kebebasan seluas-
luasnya dan dari situ kita tetap harus berpikir jauh. Jangan
sampai isu yang kita angkat, telah di angkat duluan oleh
yang lain.” Jelas Reswara.
“Lalu kau ada ide apa?” Tanya Harsa sambil
tiduran santai di atas batu tadi.
Reswara tersenyum senang ketika Harsa bertanya
begitu. Karena saat inilah yang ia tunggu. Reswara
menepuk lengan Harsa, memintanya untuk bangun sambil

458
memberikan sebuah tablet. Layar tablet itu menampilkan
sebuah dokumen.
“Baca. Ini artikel yang kutulis sendiri. Aku banyak
membaca referensi sebelum menulisnya.”
Salahnya Stigma Aborsi Di Masyarakat
“Aborsi? Kau yakin?” Tanya Harsa.
“Aha, aku cukup yakin. Tapi aku tak memaksa,
kalau kau tidak setuju, kita cari isu lainnya saja,” ujar
Reswara.
Harsa membaca artikel milik partnernya itu. Itu
artikel yang bagus. Menurut Harsa, artikel itu lengkap dan
ringkas. Opini dan fakta yang seimbang. Sepertinya bagus.
“Jujur… artikelmu lumayan,” puji Harsa.
“Serius? Kamu setuju?” Tanya Reswara dengan
mata berbinar-binar.
“Iya. Sekarang kita bagi saja. Kita bicara
bergantian saja. Kau bagian paragraf ganjil, aku bagian
genap. Jadi kau ambil pembukaan, aku ambil penutup.
Setuju?”
Reswara mengangguk mantap. Dia merasa Harsa
tak seburuk yang dia kira. Harsa memang aneh dan gila,
tapi dia partner yang baik. Reswara yakin bisa bekerja
sama dengan Harsa.
Tahap satu segera dimulai. Semua peserta telah
bersiap di bangku yang telah disediakan. Harsa melirik
Reswara yang terlihat tenang saja di sebelahnya.

459
Bagaimana bisa gadis itu terlihat begitu santai? Dia jelas
seperti tak tegang sama sekali.
“Reswara? Kamu tenang sekali? Kalau aku jujur
deg-degan.”
“Aku? Aku juga nervous kali. Tapi aku sudah
biasa menghadapinya, jadi santai saja. Lagipula rasanya
menyenangkan sekali ketika adrenaline kita terpacu. Aku
selalu suka sensasi itu,” ujar Reswara.
“Perhatian. Urutan maju peserta akan ditentukan
secara acak oleh mesin pengacak yang sudah si uji
kemurniannya. Silahkan perhatian layar di depan Anda
karena setelah ini, nomor urut maju akan segera diacak,”
ucap salah seorang pembawa acara.
Layar lebar yang menampilkan hasil spektrum dari
proyektor itu menampilkan nomor satu sampai sepuluh
yang terus berubah-ubah secara acak. Reswara berharao
mereka mendapatkan urutan dua atau tiga, pikirnya untuk
melihat tolak ukur dahulu. Harsa? Harsa tak begitu peduli,
asal jangan yang pertama.
Keberuntungan sepertinya sedang pergi jalan-
jalan. Doa mereka berdua tak dikabulkan. Layar itu
menunjukkan nomor 10 berada di urutan 1. Reswara hanya
bisa menghela nafas panjang dan Harsa hanya bisa pasrah
yang benar-benar pasrah.
Reswara melihat tangan Harsa yang agak gemetar.
Oh, Harsa tremor saat gugup. Reswara tanpa sadar
memegang tangan Harsa yang gemetar. Perlakuan itu
membuat Harsa merasa terkejut, ia mengangkat kepala

460
yang sebelumnya menunduk dan menatap Reswara.
Tegaknya kepala Harsa disambut hangat oleh senyuman
Reswara.
“Harsa, kamu bilang kamu percaya padaku, kan?
Kita pasti bisa dan kita harus bisa. Kamu dan aku sudah
berlatih. Tenang saja, aku ramal, kita berhasil sampai
akhir, kok. Percaya, deh,” hibur Reswara memberi
semangat sambil berpura-pura membuat gerakan meramal.
“Hahaha, terima kasih, ya. Kamu berhasil
membuatku merasa jauh lebih percaya diri,” balas Harsa
sambil mengacak-acak rambut di pucuk kepala Reswara.
Reswara terpaku. Rasanya aneh sekali. Seperti ada sesuatu
yang menggelitik perut dan seisinya. Reswara merasa
senang. Semburat merah muda mulai malu-malu
menampakkan diri di kedua pipi Reswara.
“Hei! Jangan mengacak-acak rambutku! Sebentar
lagi kita tampil, Harsa!” Ucap Reswara kesal. Atau yang
sebenarnya pura-pura kesal. Tak mungkin kan Reswara
melanjutkan fase senang – malu-malunya? Semoga saja
Harsa tak sadar, harap Reswara.
Pembina tadi memberi pengumuman agar nomor
urut pertama segera meuju podium. Sepasang partner yang
tak lain adalah Reswara dan Harsa saling menatap yakin
satu sama lain. Seperti berkata antarbatin bahwa mereka
pasti bisa. Mereka dengan yakin melangkah menuju
podium bersama-sama.
Reswara mulai mengucap salam dan menyapa
para juri serta hadirin yang ada di sana. Dia mulai

461
membuka isu aborsi yang telah didiskusikan dengan
Harsa.
“Ketika kita mendengar kata aborsi, pikiran kita
akan otomatis menjurus pada hal-hal negatif. Itulah yang
salah pada stigma masyarakat selama ini. Aborsi selama
ini dilabeli sebagai perbuatan keji yang patut diberi
hukuman, bukan hanya hukum sosial melainkan juga oleh
hukum negara. Saya dan Harsa, kita semua, banyak sekali
membaca berita-berita mengenangi aborsi. Di laman berita
itu, misal kita tahu bahwa kasus aborsi itu terjadi karena
adanya tindak tanduk pemerkosaan dan korban yang tak
siap akan kehamilannya di usia belia akhirnya memilih
untuk aborsi. Label korban pada wanita itu kemudian
berganti menjadi pelaku kejahatan. Pelaku untuk
perempuan itu. Dan kejahatan untuk tindakan aborsi.” Ujar
Reswara lantang dan serius. Seluruh mata benar-benar
tertuju pada gadis hebat itu.
“Aborsi adalah tindakan medis. Tidak kurang dan
tidak lebih. Aborsi adalah tindakan yang lahir sebagai
konsekuensi logis dari keadaan biologis tubuh seorang
wanita yang mengalami Kehamilan Tak Diinginkan
(TDK). Perlu diingat, wanita memiliki hak penuh atas
tubuhnya, dan aborsi termasuk di dalamnya.” Sambung
Harsa.
“Saya akan mengajak juri, hadirin, dan rekan-
rekan peserta untuk kembali menyelami berita aborsi tadi.
Berita-berita yang beredar jenis informasinya rata-rata
sama. Kami tidak bermaksud untuk meng-generalisasikan
semua platform berita namun kita harus mengakui, itulah

462
realitanya. Wanita yang melakukan aborsi akan dilabeli
sebagai pelaku kejahatan dan aborsi yang dilakukannya
akan disebut sebagai sebuah pembunuhan. Hal ini menarik
sekali karena antara aborsi dan pembunuhan tidak bisa
dijustifikasi. Aborsi yang dilakukan oleh seorang wanita
akan dilakukan saat masa kandungan awal atau sebelum
mencapai usia fetus 20 minggu dengan berat normal
sekitar 500 gram. Dan secara biologis, pada usia fetus di
bawah 20 minggu, fetus belum memiliki nyawa. Fetus
berbeda dengan bayi. Fetus masih berupa gumpalan yang
anggota tubunya belum terbentuk dan yang pasti belum
bernyawa. Maka ketika pembunuhan didefinisikan sebagai
suatu aksi penghilangan nyawa seseorang, aborsi tidak
dalat dikatakan sebagai suatu pembunuhan karena aborsi
tidak menghilangkan nyawa siapapun.” Jelas Reswara.
“Dari apa yang telah dijelaskan oleh rekan saya
Reswara. Maka kesalahan-kesalahan pada stigma
masyarakat tengang aborsi, kami bagi menjadi tiga
permasalahan utama, yaitu; pertama, media
mendemonisasi perempuan yang memilih aborsi dengan
evaluasi moral yang hitam-putih. Kedua, media memiliki
pemahaman yang keliru mengenai aborsi, di mana aborsi
disamakan dengan pembunuhan. Ketiga, adalah penihilan
otoritas perempuan atas tubuhnya sendiri.” Sambung
Harsa.
Mereka terus mengutarakan pendapat dan fakta-
fakta yang relevan. Mereka terlihat sangat hebat dan
kompak. Mereka team yang keren. Seluruh pasang mata
terfokus pada mereka. Para juri bahkan mengangguk-
angguk seakan mengangumi aksi Reswara dan Harsa.

463
“Untuk mengakhiri paparan ini, kami ingin
berterima kasih dan kami ingin menyampaikan rasa
senang kami tentang adanya lomba ini karena akhirnya ada
wadah yang dapat menampung pikiran-pikiran kami akan
hal-hal yang mungkin melawan standar masyarakat.
Dengan ini kami harap, stigma buruk pada aborsi akan
berubah sedikit demi sedikit.” Ujar Reswara.
“Sekian dari kami. Terima kasih atas
perhatiannya. Selamat siang.” Ucap Harsa menutup
paparan mereka berdua.
Gemuruh tepuk tangan seketika memenuhi
ruangan. Tepuk tangan yang ditujukan untuk mereka
berdua. Mereka berhasil. Reswara dan Harsa turun dari
podium bersama-sama. Keduanya kembali ke tempat
duduk tadi. Lucu sekali, Harsa tiba-tiba mengajak
bersalaman. Reswara menyambut baik tangan Harsa,
mereka berdua tersenyum lega dan tiba-tiba tertawa kecil,
tak menyangka mereka bisa melewatinya dengan sangat
lancar. Selanjutnya interaksi antara dua anak manusia itu
menjadi lebih akrab. Entah sekaya apa isi pikiran mereka
berdua tapi obrolannya tak kehabisan bahan sampai hari
mulai gelap.
Saat malam tiba, peserta diberi waktu istirahat.
Boleh melihat-lihat isi istana dan kembali ke asrama
sebelum jam malam habis.
Harsa mengajak Reswara pergi ke ruang rekreasi
astro setelah tahu bahwa Reswara suka astronomi. Di sana
terdapat banyak mading mengenai astronomi dan juga

464
benda-benda unik. Seperti museum kecil. Yang membuat
Reswara sangat senang adalah disana ada teleskop bintang.
“Kamu tahu ruangan ini dari mana?” Tanya
Reswara.
“Ayahku seorang arsitek. Dia tahu struktur
bangunan ini dan aku pernah kesini sewaktu kecil. Jadi,
ya, begitulah. Kamu, bagaimana bisa sampai suka
astronomi?”
“Bapak dan Mbahku juga suka astronomi.
Mungkin itu menurun padaku. Dulu saat kecil, sering
sekali stargazing bersama. Tapi sekarang susah, Bapak
sibuk, sih. Loh? Kok aku jadi curhat begini? Hehe, maaf,
ya,” kata Reswara.
“Ternyata benar dugaanku. Kamu orang Jawa
juga, ya?” Harsa tiba-tiba bertanya hal yang lain.
“Iya, Ibu dan Bapakku sama-sama orang Jawa.
Kamu juga?”
“Iya, sama. Kenapa kita jadi sama begini, ya?
Hahaha.”
Reswara tak melanjutkan obrolan itu. Bisa-bisa
jantungnya melompat keluar sebab dari tadi rasanya sudah
tak karuan.
“Mmm, Harsa coba sini lihat. Kamu lihat dua
benda di atas sana? Yang satu kelap-kelip namun lebih
redup dan yang satu terang sekali namun tak berkelap-
kelip. Kamu tahu bedanya?” Kata Reswara mencoba
mengalihkan obrolan.

465
Harsa menggeleng singkat. Dia tidak tahu.
“Yang berkelap-kelip itu bintang dan yang satunya
itu planet. Itu bintang Rigel, bintang paling terang di
konstelasi Orion. Dan planet itu, planet Jupiter.”
Harsa melihat Reswara dengan tatapan kagum tak
percaya.
“Bagaimana bisa Reswara jadi keren sekali
seperti tadi? Dan lagi, kenapa dia terlihat manis sekali?
Dia mengagumkan sekali saat bicara tadi. Auranya
cerdas. Aku suka.. Eh?” Batin Harsa. Harsa yang sempat
terlarut dalam lamunannya, tiba-tiba menggeleng-
gelengkan kepala seakan tak setuju dengan apa yang baru
saja muncul dalan pikirannya
“Aku punya satu fakta menarik tentang bintang.
Mau tahu?” Lanjut Reswara yang tak sadar bahwa Harsa
sempat melamun sambil menatap wajahnya.
“Mau.” Jawab Harsa singkat.
“Cahaya bintang yang selama ini kita lihat
sebenarnya adalah cahaya dari masa lalu. Waktunya
berbeda-beda. Ada yang dari 18 tahun yang lalu dan
artinya cahaya itu sebenarnya muncul saat kamu baru lahir
tapi baru kamu lihat sekarang. Atau puluhan tahun yang
lalu.”
“Kenapa bisa? Ada penjelasannya?” Tanya Harsa
yang heran.
“Tentu ada. Jarak bintang dengan bumi itu sangat
jauh. Bayangkan saja matahari si bintang kehidupan.

466
Untuk bisa mencapai matahari saja, manusia lerlu waktu
tahunan, padahal matahari masih terlihat cukup besar
untuk ukuran objek langit. Lalu bagaimana dengan bintang
yang terlihat hanya sebagai sebuah titik di langit? Bisa
bayangkan betapa jauhnya? Jauh sekali, kan.”
Harsa sekali lagi jatuh dalam pesona Reswara.
Belum pernah dirinya bertemu dengan gadis seunik
Reswara.
“Aku kagum padamu, Reswara.” Ucap Harsa
mengagetkan. Bahkan Harsa lebih kaget lagi terhadap apa
yang dia ucapkan. Sial sekali dia, keceplosan.
Reswara yang kaget dan merasa semakin panas
akan rasa malu, memilih pamit ke asrama.
Apa-apaan kau, Reswara. Bisa-bisanya kabur saat
kau tak tahan akan malunya dirimu terhadap dirimu
sendiri.
“Reswara tunggu! Ayo aku temani.” Ajak Harsa.
Oh, Tuhan. Tak bisakah Harsa paham akan situasi
canggung yang tengah Reswara hadapi? Reswara jelas
sengaja menghindar dari situasi tadi, tapi Harsa justru
kembali lagi. Namum rasanya Reswara tak kuasa menolak.
Jadi Reswara diam saja saat Harsa berjalan di sampingnya.
Mereka berdua benar-benar hanya jalan saja. Tak
ada obrolan yang tercipta diantaranya. Langkah mereka
akhirnya terhenti. Namun bukan karena sudah sampai
asrama, melainkan melihat orang-orang berjas hitam dan

467
masker hitam yang seperti mengendap-endap menuju arah
ruang darurat.
Harsa menarik tangan Reswara dan memosisikan
Reswara di belakang punggungnya, seperti gestur
melindungi. Harsa berbalik dan menatap mata Reswara,
seakan berkata bahwa mereka sebaiknya mengikuti orang-
orang itu. Reswara mengangguk setuju.
Mereka ikut mengendap-endap mengikuti
kelompok ber jas tadi. Benar dugaan, mereka benar
menuju ruang darurat. Sial sekali, ruang darurat adalah
salah satu ruang yang kedap suara. Harsa dan Reswara tak
bisa mendengarnya. Rasa penasaran telah mengalahkan
rasa takut mereka. Mereka diam-diam menyelinap masuk.
Gila, rasanya seperti ada di dalam adegan film bergenre
action-thriller.
Mereka menyelinap dan bersumbunyi dibalik meja
pajang. Harsa dan Reswara mendengar percakapan orang-
orang itu. Kata-kata seperti perusahaan, tender, orang
dalam, dan suap ada di dalamnya. Tak salah lagi, mereka
bersokongkol dalam korupsi.
Di tengah-tengah adegan menyelinapnya, Reswara
berbisik bahwa perutnya tiba-tiba merasa mulas. Ada-ada
saja, kau, Reswara. Harsa hanya bisa wanti-wanti supaya
mereka tak ketahuan. Pertemuan sialan itu hanya
berlangsung kurang dari sepuluh menit saja. Tepat ketika
orang-orang ini bersiap keluar ruangan, mereka terhenti
ketika mendengar suara aneh.
Coba tebak.

468
Ya, benar. Itu suara buang angin Reswara.
Kencang sekali. Oh, Tuhan. Reswara takut sekali bila
sampai ketahuan, rasa tengsin terhadap Harsa belakangan
saja. Berbeda dengan Harsa yang justru sedang setengah
mati menahan ketawa.
Beruntung sepertinya suara buang angin itu tak
terlalu dipikirkan. Orang-orang itu pasti hanya akan
menuduh rekannya dalam hati sambil berpikir betapa
konyolnya itu.
Setelah memastikan orang-orang itu sudah jauh
keluar. Harsa dan Reswara bisa bernapas lega. Mereka
juga segera keluar dari ruangan itu.
“Hahahahaha! Aku tak bisa berhenti tertawa!
Bisa-bisanya kamu kentut saat kita menyelinap tadi!
Konyol sekali bila kita ketahuan karena bunyi kentutmu,
Reswara!” Ucap Harsa yang tak henti-hentinya tertawa
sampai dia lelah sendiri.
“Sudah, dong! Jangan menertawaiku terus!” Kata
Reswara.
Harsa masih saja sibuk dengan ketawanya.
“Ih, Harsa! Aku tak mau berteman lagi denganmu
kalau begitu! Lagipula apa yang salah dari buang angin,
hah? Itu kan normal-normal saja, semua orang
mengalaminya!”
“Hahaha, iya, aku tahu. Hanya saja timing-mu
benar-benar tidak tepat Reswara! Hahaha! Oke, oke. Aku

469
berhenti tertawa,” kata Harsa sambil mengatur nafasnya
yang masih naik turun tak beraturan.
“Mmm, Harsa? Mereka tadi itu korupsi? Apa kita
akan diam saja?” Tanya Reswara yang sedikit resah.
“Tentu tidak. Kita akan melapor,” jawab Harsa.
“Tapi bagaimana bisa? Kita tak punya bukti apa-
apa. Pengakuan dan kesaksian kita akan sia-sia bila tak ada
bukti fisik,” kata Reswara murung.
“Itulah kenapa aku cerdas,” ujar Harsa sambil
tersenyum puas. Harsa menunjukkan tablet yang biasa ia
bawa dan menunjukkan sebuah rekaman.
“Kamu merekamnya?!” Tanya Reswara
kegirangan. Harsa menjawab dengan anggukan. Senang
luar biasa, Reswara tak bisa menahannya. Dia menjadikan
kedua bahu Harsa sebagai penahan saat ia melompat kecil
kegirangan.
Harsa merada detak jantungnya bertaMbah. Bukan
lain, ini pasti karena Reswara.
“Kamu hebat, Harsa. Terima kasih,” ucap
Reswara. Mata mereka berdua beradu pandang. Bukannya
saling mengalihkan pandangan seperti biasa, mereka
berdua justtu saling megunci pandangan. Mereka
tersenyum.
“Kamu lucu, Reswara.”

470
Reaksi Reswara? Dia hanya menunduk malu.
Harsa juga tak kalah malu. Dia memilih untuk membuka
topik lain.
“Okay, so here’s the plan. Kita beri tahu saja pada
petugas disini,” usul Harsa.
“Jangan bercanda. Kau pikir mereka bisa kita
percaya? Bagaimana mungkin orang-orang tadi bisa
masuk begitu mudah bila tidak menyuap petugas sini?
Orang-orang itu adalah elit politik, aku yakin itu. Dan
mereka tak bisa diremehkan. Pilihannya hanya
memberikan bukti ini kepada KPK,” Jelas Reswara.
“Elit politik memang memuakkan. Mereka semua
sama saja,” ketus Harsa.
Reswara merasa tersinggung. Ayahnya adalah
seorang elit politik. Namun diam adalah emas. Harsa
memang juga tak tahu apa-apa.
“Begini saja. Kita hubungi KPK lewat situsnya.
Disana pasti ada nomor hotline-nya. Kebetulan aku juga
punya paman yang bekerja di sana,” ujar Reswara.
“Kau punya paman yang bekerja disana? KPK?
Pamanmu orang penting!”
“Ya, begitulah.”
Akhirnya mereka memutuskan umtuk sesuai
dengan rencana Reswara. Situs KPK, nomor hotline, dan
yang terpenting; hubungi pamannya Reswara. Dengan
tablet keberuntungannya itu, Harsa membuka situs KPK
dan masuk pada laman pengaduan. Dia membuat surat

471
pengaduan yang formnya telah tersedia di sana. Setelanya
mencatat nomor hotline supaya dapat menghubungi
langsung KPK. Dan yang terakhir, ia mengirim rekaman
itu pada email Reswara.
“Yup! Selesai! Sisanya kuserahkan padamu dan
pamanmu yang orang penting itu, ya, Reswara.”
“Ya, serahkan saja padaku.”
Mengingat waktu yang hampir melewati jam
malam, mereka berdua kembali ke gedung asrama.
Asrama putra ada di sayap kanan dan asrama putri ada di
sayap kiri.
“Ayo, cepat Reswara! Kuantar kau sampai depan
pintu asramamu. Cepat!” Kata Harsa.
“Kamu gila?! Peraturannya adalah kita tak boleh
masuk area asrama selain asrama kita, batasnya adalah
ruang rekreasi di tengah-tengah. Kau cari masalah sendiri
saja, jangan ajak aku,” ucap Reswara setengah jengkel.
“Tak masalah sebab kita sudah pernah menyelinap
berdua. Itu yang lebih gila Reswara! Ini akan baik-baik
saja, ayolah!” Ajak Harsa dengan gestur setengah
memohon.
“Aku tak ikut kalau kamu dihukum,” ucap
Reswara menyetujui bersyarat.
Mereka akhirnya berjalan bersama. Harsa terlalu
aneh. Dia diam saja selama berjalan mengantar Reswara.
Apa bedanya dengan berjalan sendiri, hah? Oh, nyatanya
beda. Tangan Harsa tak berhenti mengecek barang yang

472
entah apa dalam saku jaketnya. Jangan lupakan matanya
yang lirik-melirik Reswara. Pikirnya Reswata tak tahu,
namun sedari tadi Reswara sadar bahwa Haraa kerap
meliriknya. Mereka terhenti di depan sebuah pintu kayu
yang besar. Daan itulah pintu asrama putri.
“Sampai. Mmm, terima kasih karena sudah
menemaniku. Hati-hati, ya, Harsa.” Ujar Reswara malu-
malu. Dia tersenyum singkat dan mengangguk terima
kasih terhadap Harsa. Tangannya mulai menekan knop
pintu untuk membukanya.
“Tunggu.” Harsa menahan tangan kiri Reswara.
Reswara menegang sesaat setelah sensasi dingin
dari tangan Harsa gang menyentuh tangannya.
“Kenapa? Ada yang mau kau katakan?” Tanya
Reswara.
“Buatmu,” kata Harsa yang langsung berbalik
melarikan diri setelah memberikan sesuatu pada tangan
Reswara.
Reswara membuka tangannya. Itu sebuah
flashdisk. Reswara penasaran sekali. Ia segera masuk
untuk membuka isinya. Diambilnya note-book yang ia
bawa dan segera saja ia pasang flashdisknya.
Hanya ada satu file bertuliskan ‘Bab 1’.
Bab 1? Tak mungkin ini skripsi, kan?
Tanpa rasa ragu Reswara membuka file itu. Isinya
benar-benar hanya satu file juga. Judulnya ‘Potretmu’.

473
Entah mengapa, jantung Reswara menjadi lebih cepat
seketika. Pikirannya mulai melayang kemana-mana.
Reswara mengklik touchpad note-book nya dua
kali. Tanda loading terasa cepat sekali, padahal Reswara
berharap file yang dibukanya lola alias loading lama.
Sebuah potret lukis? Seorang perempuan?
“Wah, bagus sekali! Kau melukia dirimu sendiri?”
Puji seorang gadis manis berkulit sawo matang.
Benar. Potret itu adalah dirinya. Harsa ‘melukis’
dirinya secara digital. Tunggu, siapa yang baru berbicara
pada Reswara?
“Hai! Aku Margareth. Kau Reswara, kan? Kau
hebat sekali saat paparan tadi dan gambarmu itu juga
keren!” Kata gadis bernama Margareth itu.
“Ya, aku Reswara. Salam kenal. Terima kasih atas
pujianmu, tapi gambar ini bukaan buatanku, ini buatan
Harsa.”
“Harsa? Lucunya!” Ujar Margareth.
“Kau kenal Harsa?” Tanya Reswara.
“Siapa yang tak mengenalnya? Dia sangat populer
di kalangan remaja seumuran kita. Dia tampan dan
berbakat. Bulu tangkis, fotografi, bahkan akademiknya
bagus. Dia seperti tipe laki-laki yang ada dalam kisah
roman remaja,” jelas Margareth.
“Masa, sih? Aku sedikit tak percaya.”

474
“Jangan-jangan dia menyukaimu! Lihat saja, dia
melukismu dan memberikan hasilnya!” Kata Margareth
kegirangan.
Pipi Reswara memanas. Ketika mendengar ucapan
Margareth tadi, rasanya ia ingin tenggelam saja saking
malunya. Tak lama, Margareth pamit untuk tidur duluan.
Reswara ingat, dia harus menghubungi pamannya.
Paman, coba dengarkan rekaman ini. Bukankah
ini korupsi?
Bisa tolong selidiki ini? Beritahu aku
perkembangannya, ya, Paman.
Selamat malam.

-Reswara.-
Reswara ingat, dia punya alamat email Harsa. Ia
mengirim pesan yang akan membuat Harsa senang bukan
kepalang.

Untuk : harsajanu.tarachan@omail.com
Dari : reswarayudisa.gem@omail.com
Terima kasih. Lukisanmu terlalu cantik. Aku
terlihat bagus disini, haha.

Email terkirim.

475
Selanjutnya ia memilih untuk segera menjelajah
alam mimpinya. Berharap mimpinya seindah hari esok
yang belum ia tahu.
Hari baru sudah datang. Dan tahap dua sudah
diumumkan, sekaligus menjadi tahap terakhir dalan
serangkaian tahapan lomba. Pamannya bilang akan
menelpon pagi ini via telepon.
Reswara dan teman-teman asramanya menju
ruang makan. Dan Harsa sudah ada disana. Reswara
dengan canggung memilih bangku di samping Harsa.
“Reswara tebak? Aku sudah punya ide cemerlang
untuk tahap 2!” Tanya Harsa dan juga jawab Harsa.
“Kau sudah dapat kabar dari pamanmu?” Tanya
Harsa lagi.
“Belum.”
Tepat sekali setelahnya, ada panggilan masuk dari
paman Reswara. Reswara pamit keluar dan Harsa ikut
menemaninya. Mereka memastikan tak ada orang lain
yang tahu karena ini super rahasia. Setelah aman, Reswara
segera mengangkat teleponnya. Harsa memberi gestur
supaya suara teleponnya dikeraskan.
“Halo, assalamualaikum.” Sapa pamannya dari
seberang.
“Halo, paman. Bagaimana? Maaf merepotkan tapi
aku harus buru-buru.” Balas Reswara.

476
“Ini rahasia penting sekali. Paman sebenarnya tak
mau kamu tahu, tapi pasti kamu akan terus mencari tahu.
Jangan melakukan yang aneh-aneh, setahkan saja pada
paman. Mereka adalah orang-orang Menteri Pendidikan,
Reswara….”
Deg. Menteri Pendidikan katanya? Satu hal, Ayah
Reswara adalah Wakil Menteri Pendidikan. Telepon
Reswara tutup begitu saja. Dia seketika lari. Lari tanpa
tujuan. Reswara ingin lari sejauh mungkin dari kenyataan.
“Reswara! Tunggu!” Hara mengejar partnernya
itu.
“Kamu ini kenapa, sih?” Lanjut Harsa.
“Ayahku Wakil Menteri Pendidikan, Harsa.” Ucap
Reswara.
Harsa terdiam tak percaya.
“Tenang dulu, Reswara. Kita belum tahu siapa
pelakunya,” kata Harsa menenangkan.
“Tapi aku takut, Harsa….” Lirih Reswara yang
mulai menangis.
“Aku ada di sini,” kata Harsa sambil menarik
Reswara ke dalam pelukannyya.
Reswara menangis. Dia menangis dalam pelukan
Harsa. Bahkan baju yang Harsa kenakan sampai basah
akibat air mata. Harsa hanya bisa mengusap-usap kepala
dan punggung Reswara, mengatakan bahwa semua akan
baik-baik saja. Harsa tak menyangka, gadis unik yang baru

477
ia kenal 2 hari menjadi gadis yang rasanya paling dekat
dengan dia.
“Aku akan bilang kita mengundurkan diri dari
lomba. Kamu sebailna pulang,” kata Harsa.
“Tidak. Aku tak mau ini jadi hal yang sia-sia. Aku
yakin kita bisa. Kamu berjanji ada untukku, kan, Harsa?
Jadi ayo, bantu aku. Aku mau menang,” ucap Reswara
mantap meski air matanya masih menetes. Harsa
tersenyum haru melihat semangat Reswara.
Tahap 2 dimulai pukul 2 siang. Reswara dan
Harsa sudah menjalaninya dengan baik. Berdebat megenai
inovasi saat terjadi bonus demografi 2030 nanti. Tinggal
tunggu pengumuman saja.
Reswara memilih pamit untuk masuk asrama
duluan. Dia tak mau bertemu siapa-siapa dulu, termasuk
Harsa. Namun Harsa tak bisa tinggal diam. Dia kembali
menghubungi paman Reswara. Sial sekali, ada yang tidak
beres. Paman Reswara terus-terusan bilang untuk tidak
memberi tahu siapapun. Harsa yang tak sabar memilih
jalan nekat yang sudah ia pikirkan sejak pagi.
Memberi tahu awak media. Ini memang ide
tergilanya. Dia benar-benar mengirimkan rekaman itu ke
salah satu rekan Ayahnya di sebuah stasiun tv berita
terkemuka.
Sampai senja menjelang, Harsa tak melihat
Reswara sama sekali. Anak itu benar-benar tak keluar
asrama. Dan untungnya, rekan ayahnya membalas. Terima
kasih pada Tuhan, rekaman itu tengah di proses.

478
Saat hari sudah malam, Harsa dihubungi oleh
rekan ayahnya untuk menonton tayangan berita. Kabarnya,
rekaman itu sudah positif sebagai barang bukti korupsi,
bahkan berkat rekaman itu, pelakunya bisa ditangkap.
Beruntungnya lagi, ayah Reswara bukanlah pelaku dalam
kasus ini. Bahkan Menteri Pendidikan beserta jajarannya
tidak sedang dalam pengawasan KPK. Apa yang dikatakan
paman Reswara adalah bohong.
Harsa tak sabar mengajak Reswara untuk
menonton tayangan berita itu. Dia telah mengirim email
berkali-kali pada Reswara, namun tidak memberi tahu
yang sebenarnya. Harsa bilang mengajak Reswara untuk
menonton debat mahasiswa yang kebetulan keduanya
sama-sama suka. Sayang, tak ada balasan dari Reswara.
Harsa akhirnya menyerah dengan mengirimkan email ke
Reswara bahwa ia akan menunggunya di ruang rekreasi
astro pukul tujuh malam, artinya tersisa satu jam lagi.
Harsa bersiap dengan rapih. Bukan tanpa alasan,
ia mau bertemu dengan Reswara walau ia tak yakin
Reswara akan datang. Harsa segera menuju ruang rekreasi
astro bahkan sebelum jam 7 dia sudah sampai. Harsa
menyibukkan diri dengan tabletnya sembari berharap siapa
tahu Reswara membalas emailnya. Dirinya resah sekali,
karena jam hampir menunjukkan pukul 8 malam. Dan
belum ada tanda-tanda kehidupan Reswara.
Harsa menyerah. Ia mulai berjalan balik menuju
gedung asrama. Sampai sebuah suara menghentikannya.
Suara orang yang paling ia tunggu.
“Maaf aku terlambat.”

479
Reswara menghampiri Harsa. Mereka bertemu
tepat di depan kolam taman. Oh, semesta memang
perencana terbaik.
“Kau lama sekali! Aku sampai menyerah
rasanya!” Ketus Harsa.
“Sudah, aku minta maaf. Sekarang ayo tonton
debatnya!” Ajak Reswara.
Harsa hampir saja lupa. Acara berita itu mulai
sejak pukul setengah delapan. Bagaimana kalau berita
korupsi itu sudah tayang sejak tadi? Gawat. Dengan hati
yang berdoa-doa, Harsa membuka channel televisi itu
melalui live website.
Sekali lagi, semesta memang perencana terbaik.
Tepat saat acara itu tersambung. Layar itu tengah
memberitakan tagline korupsi. Tak salah lagi, itu pasti
beritanya.
“Kau bilang debat, kan? Kenapa jadi berita? Dan
korupsi…?” Kata Reswara.
“Tunggu dan tonton saja. Ini kejutan dariku
untukmu.” Kata Harsa.
Korupsi kembali terjadi lagi. Tragisnya
Indonesia. KPK berhasil menahan pelaku korupsi dengan
barang bukti terakhir berupa sebuah rekaman yang
dikirimkan oleh anonimus. KPK berterima kasih atas
kerja sama anonimus ini dan berharap akan lebih banyak
orang yang tak hanya peduli melainkan bertindak dalam

480
memberantas korupsi. Berikut ini adalah daftar inisial
pelaku beserta jabatan dan siluetnya.
Reswara tegang setengah mati saat membaca
daftar pelaku. Eh? Dia tak percaya namun ia senang sekali.
Dia bahkan mengulangnya dari atas, tapi tetap tak ada
inisal nama ayahnya. Reswara seketika menangis dan
berteriak lega. Ketakutannya tak terjadi.
Dia langsung memeluk Harsa dan mengatakan
terima kasih berulang-ulang.
“Bagaimana kau bisa berbuat hal sehebat ini?”
Tanya Reswara.
“Ada saja pokoknya. Aku senang kau sudah lega,”
jawab Harsa.
KPK memberitahu bahwa ada 2 orang staffnya
yang ternyata ikut dalan kasus korupsi tersebut. Dengan
ini KPK akan lebih memonitor para staffnya. Berikut
adalah inisal dan jabatannya.
Perhatian Reswara teralih lagi pada acara berita
itu. Terkejut bukan main. Inisial pamannya ada disana.
Tak salah lagi itu pamannya, Reswara tahu jabatan
pamannya. Jadi selama ini pamannya sengaja menutupi
kebenarannya. Reswara masih tak menyangka tapi
kejahatan akhirnya terungkap.
Malam itu Reswara dan Harsa jadi menonton
debat mahasiswa. Mereka mengisi malam itu dengan
saling beradu opini. Ya, tipikal orang-orang cerdas. Terus

481
begitu sampai akhirnya mereka kembali ke asrama
masing-masing.
Keesokan paginya, tangis haru mewarnai
keduanya. Piala besar mereka dapatkan. Selamat, mereka
menang! Yang tak kalah menyenangkannya adalah ayah,
ibu, dan kakek Reswara datang si hari kemenangannya.
Reswara senang sekali, ia memeluk mereka satu persatu.
Di hari itu juga, Reswara dan ayahnya mau bernyanyi lagi.
Mereka sudah baik seperti sebelumnya, justru lebih baik
lagi.
Harsa mengajak Reswara makan bubur ayam di
kedai waktu itu. Mereka berbicara banyak hal. Obrolan A
sampai Z sudah dibahas, tapi tetap saja. Ya, namanya juga
cocok.
“Reswara, mungkin ini terlalu cepat. Tapi aku
mau jujur satu hal,” kata Harsa dengan raut wajah sangat
serius.
“Iya, katakan saja,” balas Reswara.
“Aku suka padamu. Aku tahu ini terlalu gila dan
terlalu cepat. Tapi aku mau mengenalmu lebih jauh lagi,”
kata Harsa dengan sangat cepat.
“Hn,” respon Reswara.
“Apa?” Tanya Harsa.
“Iya.” Kata Reswara mengakhiri pembicaraan itu
sekaligus kisah ini.

482
Semesta. Dia punya milyaran cara yang tak
terpikirkan olehmu. Caranya terlalu unik untuk dipahami.
Polanya terlalu acak untuk diprediksi. Semesta akan
melambungkanmu setinggi angkasa lalu menjatuhkanmu
sedalam palung marina. Dia juga suka bercanda, jangan
marah saat ia bercanda, karena sebenarnya kau akan
menyadari betapa lucunya itu. Ikuti saja permainan
semesta. Bermainlah dengan semesta dan seisinya.

483
Sebuah Rasa
Karya Syifatunnisa

Ada yang baru bersahabat lalu jatuh cinta, ada


yang baru bertemu lalu jatuh cinta, ada yang perlu
pendekatan untuk jatuh cinta, ada yang membutuhkan
status, ada yang tidak perlu status, aku yakin itu semua ada
fitrah dari Tuhan untuk umatnya agar mereka merasakan
betapa hebatnya rasa cinta pada orang lain selain
keluargannya.
Berbeda dengan diriku, saat bertemu dengan dia,
laki-laki luar biasa di mataku. Parasnya tak begitu tampan,
sikapnya tidak seperti lelaki pada umumnya, dia terlalu
pendiam tapi disitu daya tariknya. Dia jarang berbicara
padaku, tapi dia selalu setia mendengarkan segala
curahanku. Dia Gean. Aku bertemu dengannya saat
Sekolah Menengah Pertama. Gean dan aku hanya pernah
sekali berada di kelas yang sama, yaitu kelas IX.
Saat berada di kelas yang sama, Gean dan aku
jarang atau bahkan bisa dihitung dengan jari aku
berinteraksi dengannya. Dia terlalu pendiam, sulit
berinteraksi dengan aku yang bisa dibilang ’tidak bisa
diam’. Aku hanya mengenal namanya dari absen nama
yang biasanya para guru sebutkan. Aku juga sering
melihat Gean berangkat sekolah bersama adiknya, tapi
dulu aku sangat tidak merasa harus peduli atau bahkan

484
melihatnya. Aku hanya menganggap Gean sebagai teman
sekelasku saja.
Seiring berjalannya waktu, setelah aku lulus
Sekolah Menengah Pertama, aku kembali bertemu
dengannya. Gean dan aku berada di sekolah lanjutan yang
sama, tetapi kami berbeda kelas. Ketika aku mengikuti
suatu bimbingan belajar, aku melihat sosok yang familier
diantara teman sekelasku yang lain. Gean duduk paling
depan dan terlihat sendiri. Karena hanya Gean yang
kukenali, akhirnya aku memutuskan untuk duduk di
sebelahnya. Awalnya aku merasa sangat canggung. ”Hai”
sapaku pada akhirnya setelah lelah dengan keheningan
yang terjadi. Dia hanya membalas dengan senyumnya
yang menurutku terlihat ‘canggung’. Hari itu kami
habiskan hanya untuk saling diam. Di hari berikutnya aku
mulai banyak berbicara walaupun dia belum
menanggapinnya, Gean hanya mendengarkan ocehanku
dengan sabar.
Hari-hari berikutnya Gean sudah mulai membalas
ocehanku, ya walaupun hanya satu dua patah kata aku
tetap bersyukur setidaknya dia mulai mau membalasnya.
Dia adalah orang yang sabar atau bahkan bisa dibilang
kelewat sabar. Waktu itu, bimbingan belajar kami
mengadakan tes yang memang selalu diadakan. Kami
sebagai siswa diperbolehkan untuk memilih waktu untuk
melakukan tes. Aku mengajak Gean melakukan tes secara
bersama-sama. Kukira Ia akan menolak untuk melakukan
tes bersamaku, tetapi dia bersedia. Aku merasa Gean
sudah mulai membuka dirinya padaku, tentu saja aku
sangat senang karena temanku akan bertambah, pikirku

485
saat itu. Ketika hari untuk melakukan tes tiba, aku datang
terlambat karena ada suatu tugas yang memang harus
kukerjakan saat itu juga. Aku bilang pada Gean untuk
lebih dulu mengerjakan tesnya karena aku akan telat. “
tidak, aku akan menunggumu sampai disini.” Jawabnya
padaku. Aku merasa terkejut dengan sikapnya, kupikir dia
mulai bersifat seperti manusia pada umunya, tidak seperti
biasanya. Biasanya Gean akan lebih terlihat seperti ‘Es
balok berjalan’ daripada seorang manusia. Setelah aku
menyelesaikan tugas ku, aku langsung pergi ke tempat
bimbingan belajar tersebut. Ketika sampai, aku kembali
terkejut melihat Gean benar-benar menungguku. Sebagai
perempuan aku ‘sedikit’ merasa tersanjung dengan
perlakuannya. Tetapi saat itu aku belum memiliki rasa
apapun padanya, aku menganggap pelakuannya hanya
sebagai bentuk bahwa dia menghormatiku.
Setelah hampir satu semester, aku dan Gean mulai
dekat. Dekatnya aku dan Gean dalam artian kami lebih
sering mengobrol saat di bimbingan belajar atau bahkan
ketika kami berada di lingkungan sekolah, tapi ya sikap
pendiamnya tidak bisa hilang. Dia hanya membalas
ocehanku saat aku mendesaknya untuk menjawab. “Ayo
jawab dong! Jangan iya-iya aja.” Balasku sengit
melihatnya hanya diam. Biasanya dia hanya akan tertawa
jika aku mulai terlihat kesal dengannya. Kalo boleh jujur,
aku suka melihatnya tersenyum.
Gean pernah bercerita padaku tentang cita-citanya.
Ia ingin menjadi arsitek. Aku yang memang mengaggumi
lelaki berprofesi sebagai arsitek langsung membalas
perkatannya dengan heboh. “Ah seriusaan? Ih iya dong

486
bagus tuh arsitek aja”. Gean kembali tersenyum. “Tapi aku
gak tau bisa masuk atau engga” jawabnya dengan pelan.
Aku langsung menjawab pernyataannya dengan gemas “
kamu kan pinter Geaaan, pasti bisa deh”. Oh iya, aku
belum memberitahu bahwa Gean adalah seseorang yang
sangat cerdas menurutku. Gean selalu mengajariku
pelajaran yang tidak aku mengerti. Aku merasa Gean pasti
bisa masuk jurusan arsitektur di kampus impiannya,
Universitas Indonesia. Gean juga banyak bercerita padaku
tentang dirinya, seperti film favoritnya, games
kesukannya. Oh ya, games favorit Gean adalah Geometry
Dash. Permainan itu biasanya dimainkan oleh mereka
yang memang memiliki otak yang cerdas, karena pada
permainan itu membutuhkan taktik untuk melewati setiap
tingkatannya.
Saat liburan semester, ketika aku sedang berlibur
di Semarang, aku mendapat notifikasi dari salah satu sosial
mediaku. Ketika aku melihatnya, ternyata Gean baru
memfollow media sosialku. “ ih kok baru follow sihh
kemarin-kemarin kemana aja” batinku kesal. Aku
langsung mengirim pesan singkat kepada Gean yang
berada di Jakarta.
“ Gean, kok kamu baru follow Instagram ku sih?”
kukirim pesanku padanya.
Aku harus menunggu berjam-jam untuk
mendapatkan balasan pesan darinya, aku tidak tau
mengapa rasanya seperti dia sangat jarang memainkan
ponselnya. Karena aku malas menunggunya aku
meninggalkan ponsel ku lalu aku kembali menikmati

487
liburanku. Setelah selesai, aku memeriksa ponselku, aku
mendapatkan balasan pesan dari Gean.
“Loh kenapa memangnya? kukira tidak ada yang
salah dari itu.” Jawabnya.
Aku kesal dengan pernyataannya, lalu segera ku
balas pesannya.
“Ih kan kita udah kenal lama Geaan, dari SMP
lohh masa kamu baru follow.”
“Yakan Instagram gak penting, banyak kok yang
saling follow di instagram tapi di dunia aslinya gak kenal.
Nah mending aku, udah kenal dulu baru deh follow. Gak
penting juga kan sosial media, selama kita bisa
berinteraksi langsung kenapa engga.” Jawabnya.
Aku terenyuh membaca pesannya, aku tidak
membalasnya lagi karena aku bingung harus menjawab
bagaimana.
Setelah liburan berakhir, aku kembali bertemu
dengannya. Bertemu dengannya menjadi hal yang sangat
aku tunggu, entah mengapa hatiku membenarkannya.
Setelah kedekatan kami selama satu semester, aku
merasakan ada yang berbeda dengan dirku. Rasanya ketika
bisa melihatnya sudah menjadi bahagiaku yang sederhana.
Klise memang kedengarannya, tapi sungguh itu yang aku
rasakan.
Ketika Gean berulang tahun, aku pada awalnya
tidak mengingat bahwa Gean berulang tahun. Karena Gean
tidak pernah menyinggung tentang hari ulang tahunnya.

488
Aku mengetahuinya dari data teman sekelasku ketika aku
duduk di kelas XI. Ketika Gean berulang tahun, aku
memberikannya hal yang sangat sederhana tapi berguna.
Gean pernah berkata ingin membeli pulpen warna warni,
jadi aku memutuskan untuk memberikan barang yang
memang dibutuhkannya. Kumasukkan pulpen tersebut ke
dalam suatu kotak dan aku juga memberinya kartu ucapan.
“ Jadi arsitek ya.” Tulisku.
Besoknya, aku harus menemui Gean untuk
memberikkan kado dariku. Aku merasakan jantungku
berdetak dengan cepat ketika aku baru saja memintanya
untuk bertemu. Aku kembali ragu untuk memberikkan
kado, aku takut salah tingkah di depannya. Akhirnya
dengan ditemani temanku, aku menemui Gean. Dia
menungguku di taman sekolah bersama seorang temannya
yang juga teman sekelas kami di kelas IX. Aku merasakan
kegugupan yang paling tinggi sepanjang hidupku.
“Ya Allah deg-degan banget.” Batinku.
Ku hampiri Gean dan temannya, langsung saja ku
berikkan kado dariku untuknya, setelah itu aku langsung
pergi, aku takut salah tingkah. Semenjak aku
memberikannya kado, aku menjauh. Aku takut rasa yang
kumilikki untuk Gean meminta lebih. Ketika di Bimbingan
Belajar pun aku berusaha menjauhinya.
Siang itu, saat istirahat aku tak sengaja menginjak
sepatu seseorang di depan perpustakaan sekolah. Aku
mendongak untuk meminta maaf sekaligus melihat siapa
yang kuinjak sepatunya. Dan seketika aku menegang,
ternyata Gean lah orangnya. Orang yang selama ini

489
kupikir telah hilang dari hatiku. Apa kalian tahu
bagaimana perasaanku ketika aku melihat mata coklat
Gean? Atau senyumannya yang tersungging manis
menatapku? Atau suara beratnya yang khas memanggilku
“ eh Sita, udah lama ya gak ngobrol.” Rasanya jantungku
akan meloncat keluar, dan lututku terasa lemas. Getaran
itu muncul lagi. Muncul menggedor pintu hatiku, rasanya
udara di sekelilingku mendadak lenyap. Oh kumohon,
jangan berikkan rasa yang sama lagi, jangan biarkan hati
ini sakit karena tak bisa memilikimu. Langsung saja aku
pergi meninggalkan Gean tanpa menjawab sapaannya.
Hujan turun deras ketika waktu pulang sekolah,
matahari tak terlihat, bersembunyi di balik awan hitam
yang menggantung. Aku berdiri sendirian di depan kelas,
temanku yang lain sedang membersihkan kelas sambil
menunggu hujan reda.
“Nunggu hujan reda?” Suara Gean.
“Oh,iyaa.” Jawabku dengan gugup.
“Aku rasa kamu ngejauh belakangan ini.Kenapa?”
tanyanya.
Aku bukan tidak mau menjawab pertanyaannya,
tapi aku tidak tau jawaban dari pertanyaannya. Aku takut
Gean menanyakan alasan aku menjauhinya.
“Aku minta maaf dan mari kita akhiri.” Ucapnya.
“Akhiri apa? Aku tidak merasa kita punya urusan
yang harus di akhiri.” Jawabku.

490
“Aku menyukaimu, ayo kita lebih dari sekedar
teman.” Jawabnya yang membuatku kaget.
Ternyata selama ini Gean juga memiliki rasa yang
sama seperti yang kurasakan. Ketakutan tentang aku yang
merasa tidak pantas bersama Gean seketika lenyap. Hujan
saat itu adalah hujan terbaik selama hidupku, karena hujan
aku bisa bersama Gean hingga sekarang.

491
Ria dan Lara Rok Abu-Abu
Karya Yusticia Valen

“Assalamualaikum…” ucap Bimo


“Waalaikumsalam. Eh Bimo, masuk nak,” jawab
Bu Dian
“Iya tante, Ghinanya udah siap belum tante?”
tanya Bimo
“Udah Bim lagi ambil sarapan,” jawab Bu Dian.
Ghina menghampiri Bimo yang telah
menunggunya.
“Lama banget sih,” gerutu Bimo
“Iya iya maaf,” jawab Ghina
“Bun aku berangkat dulu ya,” ucap Ghina
“Berangkat dulu ya tan,” ucap Bimo
“Iya hati-hati,” ucap Bu Dian
Hari ini merupakan hari pertama mereka masuk
sekolah setelah libur panjang. SMA. Ya, tingkatan sekolah
yang tentunya menjadi dambaan para remaja. Entah
kenapa, namun memang begitu nyatanya. Semua harapan
ada disini dan lembar demi lembar mulai terisi.
“Bim, menurut lo kita sekelas ga?” tanya Ghina
“Mana gue tau,” jawab Bimo

492
“Kalo kita sekelas, duduk sama gue ya. Gue kan
ga kenal siapa-siapa disini,” pinta Ghina
“Ogah,” ledek Bimo
“Ihh, kalo bukan tetangga udah gue musnahin lo,”
jawab Ghina dengan ketus
Ghina adalah tetangga baru Bimo yang baru
pindah dari Surabaya..
“Turun, dah sampe,” ucap Bimo
“Iya bawel,” jawab Ghina
Setelah turun dari mobil, mereka langsung menuju
mading untuk melihat pembagian kelas.
“YAHH,” ucap Ghina dengan kecewa
“Ga sekelas ya?” tanya Bimo
“Iya. Duh gue ga tau siapapun disini, kalo lo kan
udah ada temen,” gerutu Ghina
“Yauda ga papa kan nanti bisa kenalan, lo
langsung ke kelas aja nanti keburu bel,” jawab Bimo
“Iya deh, gue masuk duluan ya,” jawab Ghina
Ghina berjalan menyusuri koridor untuk mencari
ruang kelasnya.
“Sebelah mana sih kelasnya, mana sekolahnya
gede banget, kan gue bingung,” gerutu Ghina

493
Tiba-tiba ada seseorang yang menghampiri Ghina.
“Hai, lo kelas 10 kan?” tanyanya
“Iya, lo juga?” tanya Ghina
“Iya, gue X MIPA 1,” jawabnya
“X MIPA 1? Gue jugaa, akhirnya gue ketemu
temen yang sekelas,” jawab Ghina dengan senang
“Oh iya, nama lo siapa?” tanyanya
“Ghina, lo siapa?” tanya Ghina
“Ghina? Hm gue Dira,” tanyanya dengan heran
“Kenapa? Ada yang aneh sama nama gue?” tanya
Ghina
“Ga kok, kayak pernah denger aja,” jawabnya
(kringg….)
“Eh udah bel, yaudah yuk kita langsung ke kelas
aja,” ajak Ghina
“Iya,” jawabnya

Setiba di kelas, mereka segera mencari tempat


duduk dan tidak lama kemudian datang Pak Tino.
“Pagi anak-anak. Perkenalkan nama bapak Pak
Tino, bapak mengajar mata pelajaran Fisika. Sekarang
bapak mau kalian perkenalkan diri kalian masing-masing,”
ucap Pak Tino

494
“Baik pak,” jawab serempak
(kringg…) Bel istirahat berbunyi
“Dir, ke kantin yuk,” ajak Dito
“Tapi.. Ghina gimana? Gue bareng Ghina aja
deh,” tolak Dira
“Gue gapapa kok, lu sama Dito aja,” jawab Ghina
“Bener nih? Yaudah gue ke kantin dulu ya,” ucap
Dira
“Iya,” jawab Ghina
“Gue makan sarapan yang tadi aja deh, males juga
ke kantin,” pikir Ghina bimbang
Tiba-tiba Bimo datang menghampiri Ghina dan
membawakannya burger.
“Woy, ansos banget di kelas doang,” ucap Bimo
“Apa sih, gue mager ke kantin, lagi pula gue
masih ada sarapan tadi pagi,” jawab Ghina
“Bilang aja ga punya temen kan lo,” ledek Bimo
“Enak aja, gue udah punya temen kali,” jawab
Ghina
“Nih gue bawain burger, bilang apa?” tanya Bimo
“Sama-sama,” jawab Ghina
“Lah apaan sih lo, orang gue yang ngasih kok
malah sama-sama,” protes Bimo

495
“Kan gue ga minta dibeliin,” jawab Ghina
“Ya daripada lo mati kelaparan, dimakan nih,”
suruh Bimo
“Iya iya makasih banyak ya tetanggaku yang
nyebelin,” jawab Ghina
“Yaudah gue balik dulu ke kelas, nanti gue tunggu
di parkiran,” ucap Bimo
“Siap bos,” jawab Ghina
Tidak lama kemudian, bel masuk kelas berbunyi.
Dira yang akan memasuki kelas berpapasan dengan Bimo
yang akan keluar kelas.
“Gin, itu siapa?” tanya Dira sambal memandangi
Bimo yang semakin jauh
“Hah? Yang mana?” tanya Ghina
“Itu loh yang barusan keluar kelas,” jawab Dira
“Oalah itu, namanya Bimo,” jawab Ghina
“Loh, lo kok kenal sama dia?” tanya Dira
“Ya iya lah, rumahnya aja depan rumah gue,”
jawab Ghina
“By the way, ganteng parah sih,” jawab Dira
dengan kagum
“Biasa aja kali, orang ngeselin kayak gitu,” jawab
Ghina

496
Bel pulang sekolah berbunyi. Pelajaran berjalan
seperti biasa dan mereka mendapatkan tugas individu
untuk dikerjakan di rumah.
“Main yuk gin,” ajak Dira
“Kemana?” tanya Ghina
“Ke mall aja,” jawab Dira
“Yah gue ga bisa dir, gue belum izin jadi harus
langsung pulang,” jawab Ghina
“Oh gitu, next time aja ya,” jawab Dira
(tinn.. tinn..) Bimo menekan klaksonnya memberi
tanda agar Ghina segera naik ke mobilnya.
“Iya sabar,”jawab Ghina
“Siapa gin?” tanya Dira
“Bimo. Yaudah gue duluan ya,” ucap Ghina
“Gue titip salam ya buat Bimo, byee..” jawab Dira

Sesampainya di mobil
“Bim, dapet salam,” ucap Ghina
“Dari siapa?” tanya Bimo
“Dari Dira,” jawab Ghina
“Temen lu yang tadi?” tanya Bimo
“Iya,” jawab Ghina

497
“Wajar sih orang ganteng kayak gue dapet salam,”
ledek Bimo
“Nyesel gue sampein salamnya,” jawab Ghina
dengan muka kesal
“Gimana first day schoolnya?” tanya Bimo
“Seru sih tapi rada beda aja sama di Surabaya,”
jawab Ghina
“Ya jangan dibandingin sama di Surabaya, jelas
beda,” jawab Bimo
“Oiya nanti ngerjain pr bareng yuk,” ajak Ghina
“Boleh, gue ke rumah lo jam 7 ya,” ucap Bimo
“Oke,” jawab Ghina
(huaa..) Ghina menguap. Sembari mendengarkan
musik di mobil, tidak sadar bahwa ia sudah terlelap.
“Turun gih udah sampe,” ucap Bimo
“Astaga, dia malah tidur. Gimana gue
banguninnya, kasian juga sih,” ucap Bimo dengan bingung
“Gin.. gin.. Bangun udah sampe,” ucap Bimo
berusaha membangunkan Ghina
“Entar ah masih ngantuk,” jawab Ghina dengan
tidak sadar
“Lo mau gue kunciin di mobil? Bangun woyy,”
ucap Bimo

498
“Eh loh kok gue ketiduran, lo ga bangunin gue sih
kalo udah sampe,” jawab Ghina, baru menyadari kalau ia
ketiduran
“Kebo sih lo, gue bangunin ga bangun-bangun
juga,” jawab Bimo
“Yaudah gue turun dulu, bye,” ucap Ghina
Di depan rumah, Bu Dian sudah menunggu Ghina
pulang dan menyambutnya dengan senyuman manis.
“Assalamualaikum bun,” ucap Ghina
“Waalaikumsalam, udah pulang anak bunda,”
jawab Bu Dian
“Iya, bunda tumben udah pulang,” jawab Ghina
“Tadi kerjaan bunda udah selesai, yaudah kamu
makan dulu aja,” ucap Bu Dian
“Iya bun, Ghina ganti baju dulu ya abis itu
makan,” jawab Ghina
Beberapa saat kemudian, Ghina turun tangga dan
segera menuju meja makan.
“Gimana nak sekolahnya?” tanya Bu Dian sembari
menyiapkan makanan
“Alhamdulillah bun lancar, temen aku juga baik,”
jawab Ghina yang menunggu hidangan makanan dari
ibunya
“Kamu sekelas ga sama Bimo?” tanya Bu Dian
penasaran

499
“Enggak bun, dia X MIPA 5, aku X MIPA 1,”
jawab Ghina
“Oh ga papa, kan kamu juga bisa kenalan sama
yang lain,” ucap Bu Dian
“Iya bun. Oh iya tadi katanya Bimo mau kesini
bun jam 7,” ucap Ghina
“Yaudah kamu makan dulu aja,” jawab Bu Dian
“Oke bun,” jawab Ghina
(ting.. tong..)
“Biar bunda bukain ya, kamu cuci tangan dulu,”
ucap Bu Dian
“Iya bun,” jawab Ghina
“Assalamualaikum tante, Ghinanya ada?” ucap
Bimo sembari mencium tangan Bu Dian
“Walaikumsalam, ada kok nak masuk aja,” jawab
Bu Dian
“Iya tante,” jawab Bimo
“Eh udah dateng bim, yaudah langsung ke atas aja
ya,” ucap Ghina
“Iya,” jawab Bimo
“Oiya lo mau minum atau makan apa?” tanya
Ghina
“Apa aja deh,” jawab Bimo

500
“Lo tunggu di atas ya, gue siapin dulu,” ucap
Ghina
Beberapa saat kemudian, Ghina membawa
kentang goreng dan jus jambu.
“Repot-repot aja,” ucap Bimo
“Ga kok,” jawab Ghina
“Lo ada pr apa?” tanya Bimo
“Fisika nih, lo apa?” jawab Ghina
“Sama,” jawab Bimo
“Gue sambil setel lagu ya, biar ga boring,” ucap
Ghina
“Gass,” jawab Bimo
(Ghina membuka ponselnya dan menyetel lagu
Photograph – Ed Sheeran)
“Loh lo juga suka?” tanya Bimo
“Iya, enak lagunya,” jawab Ghina
Walaupun baru sebulan kenal, tetapi mereka sudah
akrab. Ghina, gadis yang manis. Berambut pendek,
berwajah tirus, dan berkulit sawo matang. Terlihat bahagia
padahal ia juga memiliki duka. Ia pindah ke Jakarta karena
kedua orangtuanya telah pisah.
Ibunya bekerja sebagai pekerja kantoran untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya dan putrinya. Beruntung

501
sekali Ghina bertemu Bimo. Cowo yang terlihat agak
dingin namun perhatian.
Paras Bimo telah membuat banyak gadis terpukau,
namun tidak dengan Ghina. Tidak heran jika banyak yang
memperhatikannya.
Tidak seperti biasanya, pagi ini terpaksa Ghina
harus berangkat sendiri karena Bimo harus keluar kota
untuk beberapa waktu. Ghina bangun lebih pagi dan
bersiap untuk berangkat.
“Bun aku berangkat dulu ya,” ucap Ghina
“Iya hati-hati nak,” jawab Bu Dian
Ghina berjalan dari komplek rumahnya menuju
halte bus yang kurang lebih berjarak 500 meter dari
rumahnya.
“Akhirnya sampe halte juga, ternyata lumayan
jalan dari rumah kesini,” gerutu Ghina
Setelah 7 menit menunggu, akhirnya bus yang
dinanti datang. Ghina segera memasuki bus tersebut agar
tidak ketinggalan. Namun ia tidak mendapat tempat
duduk. Akhirnya ia berdiri dan memandang keadaan jalan
yang macet.
“Di Surabaya ga macet kayak gini,” batinnya
Sesampainya di sekolah, ia bergegas menuju kelas
Bimo, X MIPA 5.
“Misi, ada sekretarisnya ga?” tanya Ghina ke salah
seorang siswa

502
“Ada, bentar gue panggilin,” jawabnya
“Iya,” jawab Ghina seraya menunggu
“Kenapa ya?” tanya sekretaris tersebut
“Ini ada titipan surat dari Bimo, beberapa hari ini
dia ga bisa masuk sekolah karena harus keluar kota,”
jawab Ghina
“Oh thanks ya, by the way lo siapa?” tanyanya
“Gue Ghina, anak X MIPA 1. Sorry gue ke kelas
dulu ya,” jawab Ghina dengan terburu-buru
“Well, okay,” jawabnya
Diperjalanan menuju kelas, Ghina tersandung pot
yang diletakkan di tepi lapangan dan hampir tersungkur.
Untung saja ada yang langsung menolongnya.
“Lo ga papa?,” tanyanya
“I..iya,” jawab Ghina terkejut
“Lain kali hati-hati,” ucapnya
“Iya, ma...,” jawab Ghina
Orang itu langsung meninggalkan Ghina sehingga
Ghina belum sempat mengucapkan terima kasih.
Sesampainya di kelas, Dira menghampirinya.
“Oh my god Ghina, lo kenapa? Kok keliatan shock
gitu,” tanya Dira khawatir
“Gue ga papa dir,” jawab Ghina

503
“Ga papa apanya, muka lo keliatan banget shock,”
ajak Dira
“Jadi tadi gue abis dari kelas Bimo trus mau ke
kelas, gue kesandung pot di lapangan. Tapi untungnya ada
yang nolongin gue sih,” jawab Ghina
“Ya ampun lo ga hati-hati sih. By the way, siapa
yang nolongin lo? Bimo?” tanya Dira penasaran
“Bukan, dia ga masuk,” jawab Ghina
“Trus siapa?” tanya Dira
“Gue juga ga kenal sih, lupa ga nanya namanya,”
jawab Ghina
“Ciri-cirinya gimana? Kali aja gue tau,” tanya Dira
“Cowo, lebih tinggi dikit dari gue, pake kacamata,
putih,” jawab Ghina
“Ganteng ga? Kalo ganteng buat gue aja lah,”
ledek Dira
“Yehh.. lo mah sama Dito aja,” jawab Ghina
(kringg…) Bel istirahat berbunyi
“Gue ke toilet dulu ya dir,” ucap Ghina
“Gue temenin, gimana?” tanya Dira
“Oke,” jawab Ghina setuju
Sebelum ke toilet, Ghina mengajak Dira untuk
pergi ke kantin terlebih dahulu.

504
“Menurut lu mending gue beli snack atau
cokelat?” tanya Ghina bimbang
“Tumben lo beli snack, dalam rangka apa?” ledek
Dira
“Ini bukan buat gue tau,” jawab Ghina
“Trus buat siapa? Gue?” tanya Dira
“Bukann, buat cowo yang tadi udah nolongin gue.
Ya sebagai ucapan terima kasih aja sih,” jawab Ghina
“Emang lo tau kelasnya?” tanya Dira
“Enggak sih, barangkali ketemu di jalan,” jawab
Ghina
“Hm,, gitu. Mending cokelat sih,” jawab Dira
Ghina membeli 2 batang cokelat, lalu dia ikat
dengan pita merah.
“Yaudah yuk langsung ke toilet aja, keburu bel,”
ajak Ghina
“Iya,” jawab Dira
Di jalan menuju toilet, mereka bertemu dengan
orang yang tadi pagi menolong Ghina. Dengan segera,
Ghina menghampirinya.
“Heii,, tunggu,” teriak Ghina
Orang itu mengarahkan pandangannya ke Ghina.
“Kenapa?” tanyanya

505
“Gue cuma mau kasih ini, makasih ya tadi,” jawab
Ghina sambil memberikan cokelat itu
“Oh, sama-sama,” jawabnya singkat dan bergegas
meninggalkan Ghina
“Eh bentar, nama lo siapa dan kelas berapa?”
tanya Ghina
“Rio XII IPS 2,” jawabnya dan langsung menuju
kelasnya karena bel sudah berbunyi
“What?? Ternyata kelas XII gin, gila sih. Sikat aja
lah, kurang oke sih tapi,” ucap Dira penuh pertimbangan
“Apaan sih dir, udah ah,” jawab Ghina dengan
malu
Sepulang sekolah, Ghina harus menunggu bus di
depan gerbang sekolah.
“Lo duluan aja dir, paling juga bentar lagi busnya
sampe,” ucap Ghina
“Yaudah deh, hati-hati ya gin, gue duluan,” jawab
Dira sambil melambaikan tangannya
“Duh,, lama banget sih, udah setengah jam gue
nunggu,” ucap Ghina dengan raut kesal
Tak lama kemudian, mobil berwarna putih
berhenti di depannya dan terbukalah kaca mobil tersebut.
“Buruan naik!” ucapnya
“Hah?” tanya Ghina kaget melihat Rio

506
“Cepet naik ke mobil gue,” jawabnya
“I..iya,” jawab Ghina dengan ragu
“Nama lo siapa?” tanyanya
“Ghina kak,” jawab Ghina
“Kak? Emangnya lo kelas berapa?” tanyanya
“Kelas X kak,” jawab Ghina
(Rio mengangguk)
“Kak, aku turun disini aja, itu udah ada kendaraan
umum kok,” ucap Ghina
“Ga papa kali sampe depan rumah lo aja,”
jawabnya
“Oh iya, emang kakak tau rumah aku?” tanya
Ghina heran
“Tau lah, ngapain gue anterin kalo gue ga tau,”
jawabnya ketus
“Kakak tau darimana? Kakak ngikutin aku?” tanya
Ghina semakin penasaran
“Eh jadi orang ga usah geer, gue pernah lewat
rumah lo trus ada lo di depan rumah,” jawabnya yang
membuat Ghina terdiam

“Turun gih udah sampe kan,” ucapnya


“Iya, makasih kak,” jawab Ghina

507
Sesampainya di rumah, Bu Dian sudah menunggu
di ruang tamu.
“Assalamualaikum bun,” ucap Ghina
“Waalaikumsalam, kamu pulang sama siapa nak?
Pacar baru ya?” ledek Bu Dian
“Ihh bunda. Itu kakak kelas aku tau, tadi aku lagi
nunggu transportasi umum tapi ga ada yang lewat, trus aku
diajak bareng deh,” jelas Ghina
“Oh gitu, kalo jadi pacar juga ga papa kok,” ledek
Bu Dian sambal tertawa
“Apa sih bunn, yaudah deh aku ganti baju dulu
ya,” jawab Ghina
“Iya sayang,” jawab Bu Dian
Setelah berganti pakaian, Ghina duduk di kasurnya
sambil memandang ponselnya. Ditelfonnya sebuah nama
yang ada di kontaknya, Bimo.
“Halo,” ucap Ghina
“Iya, udah pulang?” tanya Bimo
“Udah,” jawab Ghina
“Naik apa?” tanya Bimo
“Dianter kakel,” jawab Ghina
“Hah? Siapa?” tanya Bimo kaget
“Namanya Rio kelas XII IPS 2,” jawab Ghina

508
“Rio? Saran gue lo jauhin dia deh,” ucap Bimo
serius
“Lah kenapa? Ga jelas banget sih,” jawab Ghina
heran
“Please dengerin gue, demi kebaikan lo juga,”
jawab Bimo
“Udah ah gue mau siapin pelajaran besok, bye
bim,” jawab Ghina malas menanggapi reaksi Bimo
“Gin dengerin gue dulu dong,” jawab Bimo kesal
yang ternyata telfonnya sudah terputus
“Gue harus jauhin Ghina dari Rio,” ucapnya
Hari demi hari terus berjalan, tidak satu
kesempatanpun dibiarkan begitu saja oleh Rio untuk
mengambil hati Ghina.
“Gin nanti malem gue ke rumah lo lagi ya,” ucap
Rio
“Ngapain kak?” tanya Ghina
“Aku mau ngajak kamu jalan,” jawab Rio
“Oh ok,” jawab Ghina
“See you, duluan tante,” ucap Rio kepada Bu Dian

Tanpa sepengetahuan Ghina, Bimo sudah sampai


di Jakarta.
“Assalamualaikum, Ghina,” panggil Bimo

509
“Waalaikumsalam. Bim kok ga bilang sih kalo lo
udah di rumah,” jawab Ghina kaget
“Gin gue mau ngomong sama lo,” ucap Bimo
serius
“Iya ngomong aja,” jawab Ghina
“Rio itu ga baik buat lo. Dia bukan cowo baik-baik
gin, percaya sama gue,” ucap Bimo
“Bim dia tuh bukan tipikal cowo kayak gitu,
penampilan diapun bukan kayak cowo bad boy kok,” bela
Ghina
“Lo ga ngerti gin, mungkin lo udah kemakan
omongannya. Asal lu tau, gengnya dia bukan anak baik-
baik,” jelas Bimo
“Gue cape bim, gue cape. Bisa ga sih ga usah
ngomongin Rio. Dia baik sama gue, ya mungkin dia bad
boy sama yang lain, tapi sama gue ga gitu,” jawab Ghina
sembari mengeluarkan air mata
“Ga gitu maksud gue gin, ikutin saran gue kali ini
aja,” jawab Bimo sembari menenangkan
“Udah ya bim mending lo pulang aja, gue juga
mau siap-siap, mau pergi sama Rio,” ucap Ghina langsung
berlari ke kamar
Bimopun pulang dan menghubungi Dira.
“Dir gue mau minta tolong sama lo, temuin gue
jam 7 di Original Café,” tulis Bimo kepada Dira

510
“Lo mau kemana? Makan, shopping, atau apa?”
tanya Rio
“Makan aja, gimana?” jawab Ghina
“Boleh, makan di Hawai Restaurant aja ya,” ajak
Rio
“Iya,” jawab Ghina

(kringg..) Ponsel Ghina bergetar.


“Sebentar ya aku angkat dulu,” ucap Ghina
“Halo dir,” ucap Ghina
“Gin gawat banget!” ucap Dira dengan panik
“Kenapa dir kenapa?” tanya Ghina
“Bimo gin, Bimo kecelakaan,” jawab Dira
“Sekarang ada dimana?” tanya Ghina seraya
menangis
“Rumah Sakit Permata gin,” jawab Dira
Ghina terdiam, seakan disambar sesuatu.
“Kak, stop aku turun disini aja,” ucap Ghina
“Kenapa gin?” tanya Rio heran
“Bimo kecelakaan, gue harus ke rumah sakit,”
jawab Ghina panic

511
“Bimo? Kenapa sih apa-apa Bimo? Lo juga bisa
kan ke rumah sakitnya nanti?” tanya Rio kesal
“Kalo lo ga ngerti diem aja, turunin gue disini,
Bimo tuh sahabat gue jauh sebelum gue kenal lo,” jelas
Ghina lalu keluar dari mobil Rio
“Ghina tunggu!” panggil Rio
Ghina berlari untuk menaiki transportasi umum.
Selama diperjalanan, ia terus memikirkan keadaan Bimo.
“Pak ayo pak cepetan, saya buru-buru,” ucap
Ghina panik
“Iya neng ini udah deket,” jawab supir tersebut
“Dir, gimana kondisi Bimo?” tanya Ghina
khawatir
“Bimo lagi ditanganin dokter gin,” jawab Dira
“Sebenernya ini ada apa sih dir? Kenapa bisa
kayak gini?” tanya Ghina penasaran
“Jadi tadi Bimo ngajak gue ketemuan jam 7 di
Original Café. Disana dia minta tolong ke gue buat bilang
ke lo kalo Rio itu bukan cowo baik-baik, gue ngerti
maksudnya dia baik. Kalo gue pikir-pikir emang alasannya
dia bener. Saat dia pulang, dia ditabrak mobil trus
langsung ga sadar,” jelas Dira
“Segitunya, gue ga ngerti senggak mau itu kalo
gue sama Rio,” jawab Ghina dengan menghela napas

512
“Oh iya, gue mau nanya sama lo,” ucap Dira
serius
“Tanya aja,” jawab Ghina
“Lo pindahan dari Surabaya ya?” tanya Dira
“Iya, kenapa?” tanya Ghina heran
“Lo kenal sama Leo?” tanya Dira
“Kenapa tiba-tiba lo nanya tentang Leo?” tanya
Ghina dengan raut wajah yang berbeda
“Pas pertama kali gue tau nama lo, gue pernah
denger nama itu sebelumnya. Leo cerita semua tentang
lo,” jawab Dira
“Lo siapanya Leo?” tanya Ghina heran
“Gue sepupunya Leo, nyokap kita adek-kakak,”
jawab Dira
“Oh, iya jadi Leo itu pernah suka sama gue
begitupun dengan gue. Tapi tiba-tiba dia pergi gitu aja
tanpa gue tau alasan yang jelas,” jelas Ghina
“Sekarang lo masih ada rasa sama dia?” tanya Dira
“Gue berusaha buat lupain dia dir,” jawab Ghina
bingung
“Gin, sebenernya Leo masih ada rasa sama lo. Dia
mau ketemu lo,” ucap Dira
“Please dir gue ga bisa, gue ga mau. Percuma,
semua udah telat. Dulu dia yang tiba-tiba ilang gitu aja,

513
gue ga mau nantinya kayak gitu lagi ” jawab Ghina
kecewa
“Gue ngerti kok, apa salahnya kalo lo berdua
bicarain baik-baik?” tanya Dira
“Gue lebih pilih Rio dir daripada Leo, Rio ga
pernah marah-marah sama gue dan dia juga perhatian,”
jelas Ghina
“Menurut gue, Riopun ga sebaik itu gin. Saran gue
lo sama Bimo aja,” jawab Dira
“Bimo itu sahabat gue dir,” jawab Ghina
Beberapa saat kemudian, dokter keluar dari kamar
inap Bimo.
“Gimana dok?” tanya Ghina
“Alhamdulillah udah sadar. Kalau keadaannya
sudah membaik, kemungkinan besok pasien sudah bisa
pulang. Saya permisi,” jawab dokter
“Terima kasih dok,” jawab Ghina dan Dira
Ghina segera menemui Bimo.
“Bimm,” ucap Ghina seraya memeluk Bimo
“Kok lu disini? Bukannya lu lagi…” jawab Bimo
yang langsung dipotong oleh Ghina
“Sstt, ga usah pikirin itu. Yang penting lo ga
papa,” jawab Ghina

514
“Gue ga kenapa-napa, sehat-sehat aja,” jawab
Bimo
“Lo tuh lagi sakit, udah deh. Lo minta apa biar gue
beliin,” tanya Ghina
“Hmm apa ya, gue mau jalan-jalan aja deh,” jawab
Bimo
“Ok, tapi besok kalo lo udah keluar,” jawab Ghina
setuju
“Ok,” jawab Bimo
“Sekarang lo makan dulu, nanti langsung
istirahat,” ucap Ghina
“Siap,” jawab Bimo
Keesokan harinya, Bimo sudah dapat pulang ke
rumah, namun sesuai janjinya bahwa Bimo akan jalan-
jalan bersama Ghina.
“Tante, aku nemenin Bimo jalan-jalan dulu ya, dia
minta jalan-jalan ni,” ucap Ghina kepada Bu Nila
“Iya, hati-hati ya gin, bim,” jawab Bu Nila
“Lo mau kemana?” tanya Ghina
“Muter-muter taman aja ya,” jawab Bimo
“Yaudah biar gue yang bawa mobilnya aja,” ucap
Ghina
“Beneran?” tanya Bimo
“Iya,” jawab Ghina

515
Diperjalanan, mereka membicarakan mengenai
kesehatan Bimo dan bercengkrama tentang Bimo yang
beberapa hari pergi keluar kota. Tiba-tiba Ghina
menghentikan mobilnya.
“Kenapa gin? Lo baik-baik aja kan?” tanya Bimo
Ghina tetap diam, matanya menuju ke sudut luar
mobil. Bimo berusaha mengikuti arah mata Ghina
memandang.
“Itu Rio?” tanya Bimo
“Iya,” jawab Ghina dengan raut wajah sedih
“Ngapain dia berduaan sama cewe lain?” tanya
Bimo heran
“Gue ga tau,” jawab Ghina yang berusaha
menghindarkan pandangan itu
“Gue pernah bilang hal ini ke lo, waktu itu lo ga
percaya dan sekarang lo baru tau sendiri gimana Rio
sebenarnya,” jelas Bimo
Ghina mulai mengeluarkan air matanya, setetes
demi setetes keluar dari matanya. Membuat Bimo tidak
tega melihatnya.
“Udah gin, yang udah, udah. Lupain dia, jangan
kayak gini terus,” ucap Bimo sembari menenangkan Ghina
“Maafin gue ya bim. Gue sempet ga percaya sama
lo. Bahkan gue juga marah dan males ngomong sama lo,”
jawab Ghina dengan tersedu

516
“Iya gin, niat gue baik kok, demi kebaikan lo.
Sekarang tenangin diri lo ya, ada gue disini yang siap jadi
temen curhat lo atau apapun yang lo butuhin,” jawab Bimo
Ghina dan Bimo tidak lagi saling menjauh, tidak
ada satupun rahasia diantara mereka. Merekapun saling
menjaga satu sama lain. Kini, lembaran yang telah kusam
dan terbagi menjadi bagian-bagian kecil mulai tersusun
dan siap untuk mengisi lembaran selanjutnya.

517

Anda mungkin juga menyukai