Anda di halaman 1dari 79

PERILAKU BULLYING PADA REMAJA DAN

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

NS. ARIEF BUDIMAN, M.KEP


NS. FITROH ASRIYADI, M.KEP

PENERBIT CV. PENA PERSADA

i
PERILAKU BULLYING PADA REMAJA DAN
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

Penulis:
Ns. Arief Budiman, M.Kep
Ns. Fitroh Asriyadi,
M.Kep

ISBN : 978-623-315-902-9

Editor:
Fitriani Dwi Ramadhani

Design Cover :
Retnani Nur Brilliant

Layout :
Dita Nurul Aviqoh

Penerbit CV. Pena Persada


Redaksi :
Jl. Gerilya No. 292 Purwokerto Selatan, Kab. Banyumas
Jawa Tengah
Email : penerbit.penapersada@gmail.com
Website : penapersada.com Phone : (0281)
7771388
Anggota IKAPI

All right reserved


Cetakan pertama : 2021

Hak Cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang


memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk apapun

ii
tanpa izin penerbit

iii
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa,


karena atas berkat dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan
buku ini. Penulisan buku merupakan buah karya dari pemikiran
penulis yang diberi judul “Faktor-Faktor Yang Berhubungan
Dengan Perilaku Bullying Pada Remaja”. Saya menyadari bahwa
tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak sangatlah sulit
bagi saya untuk menyelesaikan karya ini. Oleh karena itu, saya
mengucapkan banyak terima kasih pada semua pihak yang telah
membantu penyusunan buku ini. Sehingga buku ini bisa hadir di
hadapan pembaca.
Kajian dalam buku ini bertujuan untuk mengetahui dan
menunjukkan pada distribusi frekuensi pengaruh faktor
kepercayaan diri menunjukkan bahwa responden yang pernah atau
yang sedang menerima perilaku bullying sebagian besar berusia
14 tahun sebanyak 45 responden dengan presentase 24,9 % pada
kategori sangat rendah. Sedangkan pada distribusi frekuensi
perilaku bullying menunjukkan mayoritas usia berada pada usia
14 tahun sebanyak 49 responden dengan presentase 27,1% pada
kategori rendah. Selanjutnya dari penelitian yang telah dilakukan
pada siswa dan siswi di SMP Negeri 5 Samarinda, menunjukkan
jumlah siswa laki-laki sebanyak 79 orang (43,9 %) dan siswa
perempuan sebanyak 102 orang (56,4%).
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
kepada kedua orang tuaku tercinta, Bapak H. Abdul Jalal dan Ibu
Hj. Supiah, kemudian kepada tim peneliti Savitri Iska, Sari, Riski
Novilia, Redi Oktavianur, Ns. Fitroh Asriyadi, M. Kep juga kepada
istri dan anakku tercinta Dwi Pratiwi Amd.Kep dan Aurora
Elmeira Budiman sehingga penulis dapat menapakki kehidupan
ini dengan penuh hikmah serta dukungan. Semoga kebaikan dan
kasih sayang terbalaskan dengan surga-Nya. Amin.

iv
Penulis menyadari bahwa buku ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun
sangat dibutuhkan guna penyempurnaan buku ini. Akhir kata saya
berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala
kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga buku ini akan
membawa manfaat bagi pengembangan ilmu di bidang kesehatan.

v
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................iii
DAFTAR ISI.........................................................................................................v
BAB 1 FENOMENA PERILAKU BULLYING...........................................1
A. Perilaku Bullying Pada Remaja.................................................... 1
BAB 2 MASA PUBERTAS FAKTOR BULLYING....................................6
A. Konsep Remaja......................................................................................... 6
B. Konsep Perilaku................................................................................. 7
C. Konsep Bullying................................................................................. 9
D. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Bullying.................12
E. Penelitian Terkait................................................................................. 23
F. Kerangka Teori...................................................................................... 25
G. Kerangka Konsep............................................................................ 26
H. Hipotesis................................................................................................... 26
BAB 3 METODE ANALISIS BULLYING.......................................................28
A. Deskripsi Faktor Bullying............................................................28
B. Populasi Dan Sampel.....................................................................28
C. Waktu dan Tempat Penelitian........................................................31
D. Definisi Operasional......................................................................31
E. Variabel Penelitian...............................................................................33
F. Instrument Penelitian........................................................................33
G. Validitas dan Reliabilitas.............................................................37
H. Teknik Pengumpulan Data.........................................................41
I. Teknik Analisa Data............................................................................42
J. Analisis Uniariat dan Bivariat.........................................................43
K. Etika Penelitian.....................................................................................44
L. Jalannya Penelitian..............................................................................46
M. Jadwal Penelitian..................................................................................47

vi
BAB 4 HASIL ANALISIS FAKTOR BULLYING....................................48
A. Hasil Kajian........................................................................................ 48
B. Hasil Univariat................................................................................. 49
C. Diskusi Dalam Kajian.................................................................... 53
BAB 5 PENUTUP................................................................................................65

vi
BAB 1
FENOMENA PERILAKU BULLYING

A. Perilaku Bullying Pada Remaja


Fenomena perilaku bullying merupakan bagian dari
kenakalan remaja yang sering di ketahui terjadi pada masa -
masa remaja, dikarenakan masa ini remaja memiliki
egosentrisme yang tinggi. Masa remaja merupakan suatu fase
perkembangan antara masa kanak - kanak dan masa dewasa,
usia peserta didik / remaja sekitar 12-18 tahun. Usia rentan
menjadi korban bullying menurut Sejiwa (2008) adalah usia
remaja yaitu sekitar 13-18 tahun, dimana dalam periode tersebut
dianggap sebagai masa yang sangat penting dalam kehidupan
seseorang khususnya dalam pembentukan kepribadian.
Sehingga sebelum memasuki usia remaja, seorang anak harus
dibekali pengetahuan serta pemahaman terkait bahaya tindakan
bullying pada usia sekolah dasar.
Bullying sendiri paling banyak terjadi pada siswa Sekolah
Menengah Pertama (SMP) yakni siswa usia 13 hingga 14 tahun.
Anak usia 12-17 tahun dilaporkan 84 % nya mengalami bullying
(Tribunjogja, 2017). Hal ini juga ditegaskan oleh Liu dan Grave
(2011) bullying dapat terjadi pada semua tingkat usia, tetapi
mulai meningkat pada akhir sekolah dasar, puncak di sekolah
menengah, dan umumnya menurun di sekolah tinggi.
Pada masa Sekolah Menengah Pertama (SMP), remaja
memiliki perkembangan emosi, sosial, fisik dan psikis. Remaja
juga merupakan tahapan perkembangan yang harus dilewati
dengan berbagai kesulitan. Pada masa ini juga, kondisi psikis
remaja sangat labil. Karena masa ini merupakan fase pencarian
jati diri. Biasanya mereka selalu ingin tahu dan mencoba
sesuatu yang baru dilihat atau diketahui dari lingkungan
sekitarnya, mulai lingkungan keluarga, sekolah, teman
sepermainan dan masyarakat (Trevi, 2010).

1
Bullying merupakan tindakan kekerasan secara fisik
maupun verbal, dimana si pelaku merendahkan dan
mengintimidasi korban agar tak bisa melawan, pelaku bullying
mencari kesenangan yang tak bisa didapatkannya dan
melampiaskan nya dengan membuat orang lain menderita.
Dampak bullying akan menghambat anak dalam
mengaktualisasi dirinya karena perilaku bullying tidak akan
memberi rasa aman dan nyaman, dan akan membuat para
korban bullying merasa takut dan terintimidasi, rendah diri,
tak berharga, sulit berkonsentrasi dalam belajar, serta tidak
mampu untuk bersosialisasi dengan lingkungannya (Sejiwa,
2008). Secara garis besar faktor yang berhubungan perilaku
bullying menurut Tumon (2014) dan Usman (2013) yaitu faktor
keluarga, faktor kepercayaan diri dan teman sebay. Keluarga
yang mengalami masalah dalam keluarga seperti broken home
atau kurangnya dukungan dalam keluarga dapat berdampak
buruk terutama bagi anak seperti, kurangnya perhatian
membuat anak cenderung kurang rasa percaya diri sehingga
anak lebih sering menghabiskan waktu bersama teman-
temannya diluar. Teman sebaya mempengaruhi bullying
karena anak lebih banyak menghabiskan waktu diluar bersama
teman-temannya disekolah dan cenderung mengikuti apa yang
dilakukan oleh teman sekelompoknya (Saifullah, 2016).
Salah satu fenomena yang menyita perhatian di dunia
pendidikan zaman sekarang adalah kekerasan di sekolah, baik
yang dilakukan oleh guru terhadap siswa, maupun oleh siswa
terhadap siswa lainnya. Maraknya aksi tawuran dan kekerasan
(bullying) yang dilakukan oleh siswa di sekolah yang semakin
banyak menghiasi deretan berita di halaman media cetak
maupun elektronika menjadi bukti telah tercabutnya nilai-nilai
kemanusiaan. (Wiyani, 2012).
Indonesia saat ini menduduki peringkat kedua terbesar
setelah Jepang pada kasus bullying atau kekerasan terhadap
anak di sekolah (Indra, 2015). Data Global School-based
Student Health Survey (GSHS) menunjukkan bahwa grafik
kasus bullying di Indonesia mengalami peningkatan sejak
tahun 2007,

2
sekitar 40% murid berusia 13-15 tahun di Indonesia melaporkan
telah diserang secara fisik selama 12 bulan terakhir di sekolah
mereka. Laporan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
terbaru tahun 2013 menunjukkan bahwa terdapat 1.051 anak
menjadi korban kekerasan di Indonesia dan 70% anak-anak usia
8 - 12 pernah menjadi pelaku kekerasan atau bullying di sekolah.
KPAI menemukan bahwa anak mengalami bullying di
lingkungan sekolah sebesar (87.6%). Dari angka (87.6%) tersebut,
(29.9%) bullying dilakukan oleh guru, (42.1%) dilakukan oleh
teman sekelas, dan (28.0%) dilakukan oleh teman kelas lain
(Prima, 2012). Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
tahun 2014 mencatat bahwa dari total pengaduan bullying,
yang terjadi di bidang pendidikan sebanyak 1.480 kasus.
Bullying yang disebut KPAI sebagai bentuk kekerasan di
sekolah, mengalahkan tawuran pelajar, diskriminasi pendidikan
ataupun
aduan pungutan liar (Republika, 2014).
Upaya pemerintah dalam menanggulangi kasus bullying
pemerintah sudah menerbitkan Undang-Undang Nomor 35
tahun 2014 tentang perubahan pertama atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Kementerian
Pemberdayaan Perlindungan Perempuan dan Perlindungan
anak (PPPA) juga sudah berkoordinasi dengan kepolisian dan
kejaksaan agar hukuman pelaku kekerasan terhadap anak disa
diberikan sebarat-beratnya. Hukuman berat berat itu sesuai
tindakan pelaku, sehingga diharapkan menimbulkan efek jera
bagi pelaku kekerasan (Berita Satu, 2016).
Semua pihak baik di lingkungan keluarga, masyarakat
dan sekolah. Salah satu yang dilakukan United Nations
Children’s Fund (UNICEF) Pusat selama dua atau tiga tahun ini
adalah mengembangkan riset aksi program model pencegahan
bullying di sekolah pada dua daerah, yaitu Provinsi Sulawesi
Selatan dan Provinsi Jawa Tengah. Metode pendekatan yang
digunakan bernama roots, yaitu model pendekatan program
global pencegahan kekerasan di kalangan teman sebaya yang
berfokus pada upaya membangun iklim yang aman di sekolah
dengan mengaktivasi peran siswa sebagai agen berpengaruh

3
atau agen perubahan. Program tersebut diharapkan dapat
menghasilkan model pengembangan upaya pencegahan
perlindungan anak yang mampu bekerja secara holistik dan
komprehensif, apabila sudah berjalan dengan baik akan
direplikasi didaerah lain (Portal Resmi Provinsi Jawa Tengah,
2018).
Kalimantan Timur sebagai salah satu provinsi di
Indonesia berdasarkan laporan Badan Pemberdayaan
Perempuan dan Keluarga Berencana (BPPKB) Provinsi
menunjukkan bahwa terdapat 457 kasus pelecehan seksual
dan kekerasan pada anak, dan diantaranya juga terdapat kasus
bullying atau intimidasi, sepanjang tahun 2015 lalu. Penelitian
yang dilakukan oleh Amrina (2014) menjelaskan bahwa 23%
siswa SMPN 31 Samarinda memiliki tingkat bullying tinggi,
39% tingkat bullying sedang.
Penelitian Akbar (2013) pada kasus bullying yang sama
terjadi di SMPN 5 Samarinda, para pelakunya banyak dilakukan
oleh siswa laki- laki dan sebagian dilakukan oleh siswa
perempuan. hal ini senada dengan penelitian yang dilakukan
oleh Adilla (2009) dalam jurnalnya yang menyimpulkan bahwa
pelajar laki-laki lebih sering menggunakan tindakan bullying
terhadap pelajar lain baik secara langsung maupun tidak
langsung dibandingkan dengan pelajar perempuan. Dari
beberapa bentuk perilaku bullying yang dilakukan antarsiswa di
SMP N
5 Samarinda, yang paling sering terjadi ialah penghinaan
terhadap perilaku maupun fisik dari korbannya dan sedikit
sekali perlakuan kekerasan yang diberikan kepada korbannya
berupa kekerasan fisik.
Berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan
oleh peneliti di SMP 5 Samarinda, dilakukan wawancara
terhadap Guru BK dan mengatakan di dapatkan 4 siswa yang
sering mengganggu teman maupun kakak kelas, kejadian baru-
baru ini terjadi pada saat olahraga salah satu siswa suka
menjegal temannya saat berlari. Salah satu Alumni SMP Negeri
5 Samarinda juga mengatakan ia bersama teman sekelompok

4
(geng) pernah menjadi pelaku bully terhadap adik kelas seperti
memalak dan mengejek. Bullying merupakan tindakan
agresivitas antar siswa yang memiliki dampak paling negatif
bagi korbannya. Oleh karena itu sekiranya mulai dari sekarang
dan untuk seterusnya masyarakat dapat menyadari bahwa
dengan membiarkan atau menerima perilaku bullying pada
lingkungan sosial, berarti memberikan bullies power kepada
pelaku bullying itu sendiri dan menciptakan interaksi sosial
yang tidak sehat serta meningkatkan budaya kekerasan.
Terutama lingkungan sekolah diharapkan dapat
menerapkan peraturan yang ada secara tegas dan konsisten
kepada setiap siswa-siswi di sekolah serta melakukan
pengawasan yang serius. Kemudian sekolah juga berupaya
untuk mengoptimalkan fungsi unit BK (bimbingan konseling),
terutama agar masalah dan penanganannya terhadap korban
tindakan perilaku bullying dapat ditindak lanjuti secara tepat.
Karena itu penelitian ini sangat penting untuk diteliti.
Berdasarkan fenomena diatas oleh karena itu peneliti tertarik
ingin melakukan penelitian “Faktor-faktor yang Berhubungan
dengan Perilaku Bullying pada Remaja di SMP Negeri 5
Samarinda”.

5
BAB 2
MASA PUBERTAS FAKTOR BULLYING

A. Konsep Remaja
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), remaja
(adolescence) adalah mereka yang berusia 10-19 tahun sebagai
suatu masa dimana individu berkembang dari saat pertama
kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya
(pubertas) sampai saat ia mencapai kematangan seksual.
Sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebutkan
anak muda untuk usia 15-24 tahun. Ini kemudian disatukan
dalam terminologi kaum muda (young people) yang mencakup
usia 10- 24 tahun (WHO, 2013).
Menurut Santrock (2011) masa remaja adalah suatu
periode transisi dalam rentang kehidupan manusia, yang
menjembatani masa kanak-kanak dengan masa dewasa.
Menurut Hurlock (2015) awal masa remaja berlangsung kira-kira
dari 13 tahun sampai 16 tahun atau 17 tahun, dan akhir masa
remaja bermula dari usia 16 atau 17 tahun sampai 18 tahun, yaitu
usia matang secara hukum. Adapun ciri-ciri masa remaja yang
membedakan dengan periode sebelum dan sesudahnya, yaitu
masa remaja sebagai periode yang penting, periode peralihan,
periode perubahan, usia bermasalah, remaja sebagai masa
mencari identitas, usia yang menimbulkan ketakutan, masa
yang tidak realistis, dan masa remaja sebagai ambang masa
dewasa.
Salah satu ciri menyebutkan bahwa remaja adalah usia
bermasalah, dimana masalah masa remaja sering menjadi
masalah yang sulit diatasi baik oleh anak laki-laki maupun
anak perempuan. Ada dua alasan bagi kesulitan itu. Pertama,
sepanjang masa kanak-kanak sebagian masalah anak-anak
diselesaikan oleh orang tua dan guru-guru, sehingga
kebanyakan remaja tidak berpengalaman dalam mengatasi
masalah itu. Kedua, karena para remaja merasa mandiri
sehingga ingin mengatasi masalahnya sendiri dan menolak
bantuan orang tua dan guru-guru (Hurlock, 2015).

6
Berbagai masalah yang dihadapi oleh remaja salah
satunya adalah kasus kekerasan atau agresivitas baik oleh guru
terhadap siswa, maupun antar sesama siswa sendiri.
Kekerasan yang ditemui tersebut tak hanya secara fisik namun
juga secara psikologis. Kekerasan yang dilakukan oleh pihak
yang merasa diri lebih berkuasa atas pihak yang dianggap lebih
lemah disebut dengan bullying (Magfirah & Rachmawati,
2009).
Dampak yang diakibatkan oleh tindakan ini pun sangat
luas cakupannya. Remaja yang menjadi korban bullying lebih
berisiko mengalami berbagai masalah kesehatan, baik secara
fisik maupun mental. Adapun masalah yang lebih mungkin
diderita anak-anak yang menjadi korban bullying, antara lain
munculnya berbagai masalah mental seperti depresi,
kegelisahan dan masalah tidur yang mungkin akan terbawa
hingga dewasa, keluhan kesehatan fisik, seperti sakit kepala,
sakit perut dan ketegangan otot, rasa tidak aman saat berada di
lingkungan sekolah, dan penurunan semangat belajar dan
prestasi akademis.

B. Konsep Perilaku
Perilaku adalah segenap manifestasi hayati individu
dalam berinteraksi dengan lingkungan, mulai dari perilaku
yang paling nampak sampai yang tidak tampak, dari yang
dirasakan sampai paling yang tidak dirasakan (Okviana, 2015).
Perilaku merupakan hasil daripada segala macam pengalaman
serta interaksi manusia dengan lingkunganya yang terwujud
dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan. Perilaku
merupakan respon/reaksi seorang individu terhadap stimulus
yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya (Notoatmojo,
2010). Sedangkan menurut Wawan (2011) Perilaku
merupakan suatu tindakan yang dapat diamati dan mempunyai
frekuensi spesifik, durasi dan tujuan baik disadari maupun
tidak. Perilaku adalah kumpulan berbagai faktor yang saling
berinteraksi. Jenis-jenis pengukuran perilaku ada beberapa
teknik, yaitu : Skala Likert Penggunaan skala Likert menurut
Sugiyono (2013) adalah skala Likert digunakan untuk
mengukur sikap, pendapat dan persepsi seseorang atau

7
sekelompok orang tentang fenomena sosial.

8
1. Skala Thurstone
Skala Thurstone merupakan salah satu skala sikap
yang disusun dengan memilih butir yang berbentuk skala
interval. Setiap butir memiliki kunci skor dan jika disusun,
kunci skor menghasilkan nilai yang berjarak sama. Skala
Thurstone dibuat dalam bentuk sejumlah (40-50) pernyataan
yang relevan dengan variable yang hendak diukur
kemudian sejumlah ahli (20-40) orang menilai relevansi
pernyataan itu dengan konten atau konstruk yang hendak
diukur.
Skala Thurstone meminta responden untuk memilih
pertanyaan yang ia setujui dari beberapa pernyataan yang
menyajikan pandangan yang berbeda-beda. Metode
pengukuran ini dikembangkan untuk menilai secara spesifik
terhadap objek atau subjek yang hendak diteliti (Sugiyono,
2009).
2. Skala Guttman
Perilaku dapat diukur dengan menggunakan teknik
skala Guttman. Skala ini merupakan skala yang bersifat
tegas dan konsisten dengan memberikan jawaban yang
tegas seperti jawaban dari pertanyaan/pernyataan: ya dan
tidak, positif dan negatif, setuju dan tidak setuju, benar dan
salah. Skala guttman ini pada umumnya dibuat seperti
cheklist dengan interpretasi penilaian, apabila skor benar
nilainya 1 dan apabila salah nilainya 0 dan analisanya dapat
dilakukan seperti skala likert (Aziz, 2007).
3. Skala Semantic Defferential
Semantic differential adalah salah satu bentuk
instrumen pengukuran yang berbentuk skala, yang
dikembangkan oleh Osgood, Suci, dan Tannenbaum (1984).
Instrumen ini juga digunakan untuk mengukur reaksi
terhadap stimulus, kata-kata, dan konsep-konsep dan dapat
disesuaikan untuk orang dewasa atau anak-anak dari budaya
manapun juga. Skala ini juga di gunakan untuk mengukur
sikap, hanya bentuknya tidak pilihan ganda maupun
checklist, tetapi tersusun dalam satu garis kontinum yang
jawaban “sangat positifnya” terletak di bagian kanan garis,

9
dan jawaban yang “sangat negatif” terletak di bagian kiri
garis, atau sebaliknya. Data yang di peroleh adalah daya
interval, dan biasanya skala ini di gunakan untuk mengukur
sikap/karakteristik tertentu yang di punyai oleh seseorang
(Heise, 2006)
4. Skala Rating
Skala rating adalah data mentah yang diperoleh
berupa angka kemudian ditafsirkan dalam pengertian
kualitatif. Dalam skala model rating scale, responden tidak
akan menjawab salah satu dari jawaban kualitatif yang telah
disediakan, tapi menjawab salah satu jawaban kuantitatif
yang telah disediakan. Oleh karena itu, rating scale ini lebih
fleksibel, tidak terbatas pengukuran sikap saja tetapi bisa juga
mengukur persepsi responden terhadap fenomena
(Sugiyono, 2009).

C. Konsep Bullying
1. Pengertian Bullying
Bullying adalah perilaku agresif yang dapat terjadi di
kalangan anak terutama anak usia sekolah dan melibatkan
ketidakseimbangan kekuatan yang berpotensi untuk
dilakukan secara berulang- ulang (Control Disease Center:
National Center for Injury Prevention and Control, 2014).
Bullying merupakan bentuk agresivitas yang dilakukan oleh
satu individu maupun secara berkelompok terhadap
individu atau kelompok lain dengan tujuan untuk
mendominasi (dominate), menyakiti (hurt), atau
mengasingkan pihak lain (exclude another) (Praningtyas,
2010). Bullying adalah perilaku agresif yang dilakukan oleh
seseorang atau kelompok terhadap orang-orang atau
kelompok lain yang dilakukan secara berulang-ulang
dengan cara menyakiti secara fisik maupun mental
(Prasetyo, 2011). Kata bullying berasal dari bahasa Inggris,
yaitu dari kata bull yang berarti banteng yang senang
merunduk kesana kemari. Dalam bahasa Indonesia, secara
etimologi kata bully berarti penggertak, orang yang
mengganggu orang lemah. Kemudian, Olweus juga
mengatakan hal yang serupa bahwa

10
bullying merupakan perilaku negatif yang mengakibatkan
seseorang ada dalam keadaan tidak nyaman/terluka dan
biasanya terjadi berulang-ulang. (Wiyani, 2012).
Definisi bullying sendiri, menurut Komisi Nasional
Perlindungan Anak adalah kekerasan fisik dan psikologis
berjangka panjang yang dapat dilakukan seseorang atau
kelompok terhadap seseorang yang tidak mampu
mempertahankan diri (Tiga Ananda, 2015). Dapat
dikatakan pula bullying adalah tindakan yang dilakukan
seseorang secara sengaja membuat orang lain takut atau
terancam sehingga menyebabkan korban merasa takut,
terancam, atau setidak-tidaknya tidak bahagia (Saifullah,
2016).
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa
bullying merupakan suatu tindakan kekerasan baik secara
fisik maupun mental yang dilakukan oleh individu maupun
secara berkelompok yang dapat menyebabkan trauma secara
fisik maupun mental. Biasanya bully yang sering terjadi
adalah seperti mengejek dan memalak dikalangan anak usia
sekolah.
2. Bentuk – Bentuk Bullying
Menurut Wiyani (2012) disebutkan bahwa terdapat
empat bentuk bullying, yaitu:
a. Lisan, misalnya memberi julukan, menggoda, mengejek,
menghina, mengancam.
b. Fisik, misalnya memukul, menendang, menyelengkat.
c. Sosial, misalnya mengabaikan, tidak mengajak berteman,
memberi isyarat yang tidak sopan.
d. Psikologis, misalnya menyebarkan desas-desus, ‘dirty
looks’ (pandangan yang menunjukkan rasa tidak senang,
kebencian atau kemarahan), menyembunyikan atau
merusak barang, pesan jahat lewat SMS dan email,
penggunaan ponsel kamera yang tidak patut.

11
Menurut Bauman (2008), tipe-tipe bullying adalah
sebagai berikut :
a. Overt bullying (Intimidasi terbuka), meliputi bullying
secara fisik dan secara verbal, misalnya dengan
mendorong hingga jatuh, memukul, mendorong dengan
kasar, memberi julukan nama, mengancam dan
mengejek dengan tujuan untuk menyakiti.
b. Indirect bullying (Intimidasi tidak langsung) meliputi
agresi relasional, dimana bahaya yang ditimbulkan oleh
pelaku bullying dengan cara menghancurkan hubungan-
hubungan yang dimiliki oleh korban, termasuk upaya
pengucilan, menyebarkan gosip, dan meminta pujian
atau suatu tindakan tertentu dari kompensasi
persahabatan. Bullying dengan cara tidak langsung
sering dianggap tidak terlalu berbahaya jika
dibandingkan dengan bullying secara fisik, dimaknakan
sebagai cara bergurau antar teman saja. Padahal
hubungan bullying lebih kuat terkait dengan distress
emosional daripada bullying secara fisik. Bullying secara
fisik akan semakin berkurang ketika siswa menjadi lebih
dewasa tetapi bullying yang sifatnya merusak hubungan
akan terus terjadi hingga usia dewasa.
3. Cyberbullying (Intimidasi melalui dunia maya), seiring
dengan perkembangan dibidang teknologi, siswa memiliki
media baru untuk melakukan bullying, yaitu melalui sms,
telepon maupun internet. Cyberbullying melibatkan
penggunaan teknologi informasi dan komunikasi, seperti e-
mail, telepon seluler dan peger, sms, website pribadi yang
menghancurkan reputasi seseorang, survei di website pribadi
yang merusak reputasi orang lain, yang dimaksudkan
adalah untuk mendukung perilaku menyerang seseorang
atau sekelompok orang, yang ditujukan untuk menyakiti
orang lain, secara berulang- ulang kali.

12
4. Dampak – Dampak Bullying
Menurut Wiyani (2012) dampak yang dialami korban
bullying adalah mengalami berbagai macam gangguan yang
meliputi kesejahteraan psikologis yang rendah (Low
Psicological Wellbeing) di mana korban akan merasa tidak
nyaman, takut, rendah diri, serta tidak berharga, penyesuaian
sosial yang buruk dimana korban merasa takut ke sekolah
bahkan tidak mau sekolah, menarik diri dari pergaulan,
prestasi akademik yang menurun karena mengalami
kesulitan berkonsentrasi dalam belajar, bahkan berkeinginan
untuk bunuh diri dari pada harus menghadapi tekanan-
tekanan berupa hinaan dan hukuman.
Menurut Priyatna (2010) dampak dari bullying yaitu
depresi, cemas, selalu khawatir pada masalah keselamatan,
menjadi pemurung, agresi, timbul isu-isu akademik, tampak
rendah diri dan menjadi pemalu, menarik diri dari pergaulan
dan penyalahgunaan substansi (obat atau alkohol). Menurut
Dwipayanti dan Komang (2014) anak sebagai korban
bullying akan mengalami gangguan psikologis dan fisik,
lebih sering mengalami kesepian, dan mengalami kesulitan
dalam mendapatkan teman, sedangkan anak sebagai pelaku
bullying cenderung memiliki nilai yang rendah. Menurut
penelitian Duke University yang diterbitkan 12 Mei 2014
dalam Proceedings of the National Academy of Sciences
dampak bullying di masa kanak- kanak dapat berbekas
seumur hidup, baik bagi korban maupun pelaku bullying itu
sendiri, begitu pula pada kaum dewasa muda yang
menunjukkan dampak jangka panjang akibat tindakan
bullying. Namun, pelaku bullying didapatkan lebih sehat
dibandingkan dengan korban bullying (Liputan6, 2014).

D. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Bullying


Menurut Tumon (2014) dan Usman (2013) faktor yang dapat
mempengaruhi Bullying adalah :
1. Faktor Keluarga
Keluarga adalah kelompok orang yang ada hubungan
darah atau perkawinan. Orang-orang yang termasuk

13
keluarga adalah ibu, bapak, dan anak-anaknya. Ini disebut
keluarga batih (nuclear family). Keluarga yang diperluas
(extended family) mencakup semua orang dari suatu
keturunan dari kakek dan nenek yang sama, termasuk
keturunan suami dan isteri. Keluarga mempunyai fungsi
untuk berkembang biak, mensosialisasi, mendidik anak, dan
menolong serta melindungi yang lemah, khususnya orang
tua yang telah lanjut usia (Setiono, 2011).
Dukungan sosial diartikan sebagai sumber emosi,
informasi atau pendampingan yang diberikan oleh orang-
orang di sekitar individu untuk menghadapi setiap
permasalahan dan krisis yang terjadi sehari-hari dalam
kehidupan (Kail dan Cavanaugh, 2000). Taylor (2009) juga
mendefinisikan dukungan sosial sebagai informasi dari
orang lain bahwa ia dicintai dan diperhatikan, memiliki
harga diri dan bernilai, serta merupakan bagian dari
jaringan komunikasi dan kewajiban bersama. Hal yang
senada diungkapkan oleh Kenrick, Neuberg, dan Cialdini,
(2010) bahwa dukungan sosial adalah dukungan emosi,
materi atau informasi yang disediakan orang lain dan
bertujuan untuk membantu seseorang. Menurut Baron dan
Byrne (2009), dukungan sosial adalah kenyamanan fisik
dan psikologis yang disediakan oleh teman dan anggota
keluarga. Dukungan keluarga merupakan bagian dari
dukungan sosial karena salah satu sumber dukungan sosial
adalah keluarga (Dalton, Elias, dan Wandersman, 2007).
Dukungan keluarga menurut Friedman (2010) adalah
sebuah proses yang terjadi sepanjang masa kehidupan, sifat
dan jenis dukungan berbeda dalam berbagai tahap-tahap
siklus kehidupan. Dukungan keluarga dapat berupa
dukungan sosial internal, seperti dukungan dari suami, istri
atau dukungan dari saudara kandung dan dapat juga berupa
dukungan keluarga eksternal bagi keluarga inti. Dukungan
keluarga membuat keluarga mampu berfungsi dengan
berbagai kepandaian dan akal. Sebagai akibatnya, hal ini
meningkatkan kesehatan dan adaptasi keluarga (Friedman,

14
2010). Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan
bahwa dukungan keluarga adalah dukungan yang diterima
oleh individu berupa dukungan emosi, informasi, penilaian
dan dukungan instrumental berupa bantuan praktis dan
konkrit sehingga membuatnya merasa nyaman secara fisik
dan psikologis. Dukungan keluarga dalam penelitian ini
berasal dari orangtua dan saudara.
Friedman (2010) mengemukakan empat jenis
dukungan keluarga, yaitu dukungan emosional,
instrumental, informasional, dan penilaian.
a. Dukungan Emosional (Emotional or Esteem Support)
Jenis dukungan emosi mencakup ungkapan
simpati, empati, cinta, kepercayaan, penghargaan,
kepedulian dan pandangan positif dan
semangat/dorongan terhadap orang yang bersangkutan.
Dukungan emosional ini memberikan rasa nyaman dan
jaminan/kepastian akan perasaan disayang dan dimiliki
saat ada tekanan hidup. Keluarga sebagai tempat yang
aman, damai untuk beristirahat dan membantu anggota
keluarga dalam penguasaan emosi. Saat remaja
menghadapi persoalan tidak merasakan sendirian dalam
menanggung beban, tetapi masih ada orang lain yang
mau mendengar keluhan serta membantu dalam
menghadapi solusi. Keluarga sebagai tempat yang aman
dan damai untuk istrahat dan pemulihan serta
membantu penguasaan terhadap emosi bagi remaja.
b. Dukungan Instrumental (Tangible or Instrumental
Support)
Jenis dukungan mencakup bantuan yang diberikan
secara langsung atau nyata terhadap persoalan yang
dihadapi. Bantuan yang diberikan keluarga dapat berupa
bantuan praktis dan konkrit. Bantuan konkrit misalnya
memenuhi kebutuhan ekonomi (uang) seperti uang
jajan, atau menghibur saat individu mengalami stres,
menyediakan obat saat remaja sakit. Bantuan praktis
seperti memberikan waktu bagi remaja agar dapat

15
beristirahat setelah lelah melakukan aktifitas di luar
rumah.
c. Dukungan Informasional (Informational Support)
Jenis dukungan mencakup pemberian nasehat,
pengarahan, ide, petunjuk, saran, atau umpan balik
mengenai bagaimana orang melakukan sesuatu dan
mengatasi persoalan yang dihadapi. Dukungan ini dapat
dilakukan dengan memberi informasi yang dibutuhkan
oleh seseorang. Keluarga dianggap mampu menjadi
sumber dan penyebar informasi bagi anggota keluarga.
d. Dukungan Penilaian (Appraisal Support)
Dukungan ini akan memberikan rasa keanggotaan
sebagai anggota keluarga (identitas keluarga),
membimbing dan memberikan solusi saat menghadapi
masalah. Penilaian adalah bentuk penghargaan yang
diberikan keluarga kepada remaja berdasarkan kondisi
sebenarnya. Penilaian ini bisa positif dan negatif.
Dukungan keluarga yang sangat membantu adalah
penilaian positif.
Untuk pengukuran Keluarga hasil penelitian Sari
(2013), dukungan Keluarga berpengaruh positif apabila
anak mendapat dukungan penuh dari keluarga sehingga
anak merasa aman dan anak yang berada dilingkungan
yang memberikan rasa aman akan membuat anak
berperilaku positif, menjadi percaya diri, dan mampu
beradaptasi dengan lingkungan, menghargai diri sendiri
dan orang lain, serta mampu berpikir jernih (papalia,
olds dan feldman, 2009). Dukungan keluarga
berpengaruh negatif apabila anak tidak mendapatkan
dukungan dari keluarga, tidak memberikan bimbingan
yang cukup mengenai berperilaku positif kepada anak
(Hidayati, 2012), anak yang tidak mendapatkan
dukungan keluarga sehingga anak merasa tidak di
perhatikan, bernilai,dan di sayangi ( Sarafino dan Smith,
2011), kurang perhatian dan kasih saying yang
didapatkan anak dalam keluarga maka anak mencari
sumber kasih saying dan perhatian dari

16
pihak lain, salah satunya dengan melakukan kenakalan
di luar rumah (Coloroso, 2008)
2. Faktor Kepercayaan Diri
Kepercayaan diri adalah salah satu sifat kepribadian
yang sangat menentukan dalam kehidupan seseorang.
Menurut Taylor (2011) rasa percaya diri merupakan
keyakinan seseorang akan kemampuan yang dimiliki setiap
individu atau seseorang untuk menampilkan perilaku
tertentu atau untuk mencapai target tertentu. Tipe
kepribadian yang pasif atau pemalu memiliki kecenderungan
menjadi korban bullying. Anak-anak yang menjadi korban
pembullyan cenderung takut, cemas, dan memiliki
kepercayaan diri yang sedikit lebih rendah dari pada anak-
anak yang tidak di bully. Untuk pengukuran tingkat
kepercayaan diri, kepercayaan diri rendah cenderung
menjadi korban bully karena merasa bersikap tidak memiliki
keinginan atau tujuan, kurang terbuka atau tidak mampu
menyampaikan sesuatu, mudah frustasi, kurang termotivasi
untuk maju, canggung dalam menghadapi orang, sering
memiliki harapan yang tidak realistis dan terlalu sensitif.
Sedangkan kepercayaan diri tinggi atau bagus memiliki
perasaan positif terhadap dirinya, memiliki keyakinan yang
kuat atas dirinya dan memiliki pengetahuan yang akurat
terhadap kemampuan yang dimiliki sehingga rendah untuk
menjadi korban bullying (Olweus dalam Aluedse, 2016).
Maslow menyatakan. bahwa percaya diri merupakan
modal dasar yang dimiliki individu untuk pengembangan
aktualitas diri. Dengan percaya diri orang akan mampu
mengenal dan memahami diri sendiri. Sementara itu,
kurangnya percaya diri akan menghambat pengembangan
potensi diri. Jadi orang yang kurang percaya diri akan
menjadi seseorang yang pesimis dalam menghadapi
tantangan, takut dan ragu-ragu untuk menyampaikan
gagasan, serta bimbang dalam menentukan pilihan dan
sering membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa percaya diri dapat

17
diartikan sebagai suatu kepercayaan akan kemampuan
sendiri yang memadai dan menyadari kemampuan yang
dimiliki dapat dimanfaatkan secara tepat.
Kepercayaan diri seseorang terdiri dari beberapa
faktor yaitu konsep diri, harga diri, kondisi fisik,
pengalaman hidup, dan lingkungan (Widjaja, 2016).
a. Konsep Diri
Konsep diri merupakan faktor internal yang
terjadi pada individu yang dapat menyebabkan perilaku
bullying yang terjadi didalam lingkungan pendidikan.
Seseorang yang melakukan bullying memiliki sifat yang
suka mendominasi, suka memanfaatkan orang lain untuk
mendapatkan keinginan pribadi, sulit melihat situasi
dari titik pandang orang lain, hanya peduli pada
keinginan dan kesenangan sendiri, serta haus akan
perhatian (Coloroso, 2007 dalam Fitria, 2014).
Konsep diri merupakan sebuah gambaran tentang
individu mengenai dirinya sendiri sesuai yang terbentuk
melalui interaksi dengan lingkungannya. Konsep diri
merupakan bagaimana cara “kita” memandang diri
sendiri serta bagaimana cara “kita” menjadi individu
sesuai dengan yang diinginkan. Konsep diri adalah salah
satu aspek dalam perkembangan psikologi siswa.
Konsep diri merupakan salah satu variabel yang penting
dalam menentukan proses pendidikan.
Konsep diri terbagi menjadi 2, yaitu konsep diri
positif dan negatif. Konsep diri secara positif merupakan
seseorang yang mampu mengenali dan menerima
dirinya sendiri apa adanya, cenderung memiliki sifat
rendah hati dan memiliki harapan yang realistis dan
harga diri yang tinggi. Individu yang membayangkan
dirinya sukses cenderung mendeskripsikan dirinya
dengan gambaran diri yang positif, sementara individu
dengan membayangkan pengalaman gagal lebih banyak
menggambarkan dirinya secara negative (Nurius dan
Markus, 2006 dalam Sartana dan Helmi, 2014).
Seseorang

18
dapat dikatakan memiliki konsep diri negatif jika dia
menyakiti dan memandang dirinya sebagai orang yang
lemah, tidak berdaya, tidak kompeten, tidak menarik,
cenderung bersikap pesimistik terhadap kesempatan
yang ada seperti perilaku bullying yang sudah dijelaskan
di atas. Dengan konsep diri negative, remaja akan mudah
menyerah, selalu menyalahkan dirinya maupun orang
lain jika mengalami kegagalan. Sedangkan seseorang
dengan konsep diri positif akan terlihat lebih penuh
percaya diri dan selalu bersikap positif terhadap segala
sesuatu bahkan terhadap kegagalan yang ditemuinya
akan dianggap sebagai pelajaran berharga untuk
melangkah ke arah yang lebih baik (Rini, 2002 dalam
Fikriyah dan Fatimatul, 2009). Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Fitrian Saifullah di SMP Negeri 16
Samarinda, menunjukkan korelasi negatif dengan nilai
koefisiennya sebesar -0.322. Artinya adalah semakin
tinggi konsep diri maka semakin rendah bullying
demikian sebaliknya, semakin rendah konsep diri maka
semakin tinggi bullying.
Peran konsep diri cukup besar dalam menentukan
perilaku siswa di dalam sekolah, karena setiap siswa
memiliki konsep diri yang berbeda. Lemahnya konsep
diri pada diri siswa juga mengakibatkan kurang dapat
mengontrol emosinya dan cenderung emosi tersebut
merupakan emosi yang negatif seperti perilaku bullying.
b. Harga Diri
Salah satu perkembangan psikologis yang dialami
oleh remaja yaitu perkembangan sosio-emosi yang salah
satunya adalah harga diri, yang merupakan keseluruhan
cara yang digunakan untuk mengevaluasi diri kita,
dimana harga diri merupakan perbandingan antara
ideal- self dengan real-self (Santrock, 2013). Baron &
Byrne (2012) juga berpendapat bahwa harga diri adalah
evaluasi diri yang dibuat oleh setiap individu, sikap
orang

19
terhadap dirinya sendiri dalam rentang dimensi positif
sampai negatif.
Baron & Byrne (2012) menegaskan harga diri 11 12
merujuk pada sikap seseorang terhadap dirinya sendiri,
mulai dari sangat negatif sampai sangat positif, individu
yang ditampilkan terlihat memiliki sikap negatif
terhadap dirinya sendiri. Harga diri yang tinggi berarti
seorang individu menyukai dirinya sendiri, evaluasi
positif ini sebagian berdasarkan opini orang lain dan
sebagian berdasarkan dari pengalaman spesifik. Sikap
terhadap diri sendiri dimulai dengan interaksi paling
awal antara bayi dengan ibunya atau pengasuh lain,
selain itu perbedaan budaya juga mempengaruhi apa
yang penting bagi harga diri seseorang.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ceilindri dan
Budiani menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara harga diri dan konformitas dengan
perilaku bullying secara bersama-sama. Sebesar 30,1%
variasi pada perilaku bullying dipengaruhi oleh harga
diri dan konformitas, sisanya sebesar 69,9% disebabkan
oleh variabel lain yang tidak diukur dalam penelitianya.
c. Kondisi Fisik
Salah satu tugas perkembangan remaja adalah
menerima keadaan fisik dan menggunakan tubuhnya
secara lebih efektif. Adanya perubahan pada
bentuk dan fungsi tubuh dapat mengakibatkan masalah
pada konsep diri remaja (Muhith, 2015). Banyak faktor
yang dapat mempengaruhi kepercayaan diri seseorang,
salah satunya adalah penampilan fisik. Penampilan fisik
sangat erat hubungannya dengan gambaran dan
persepsi individu terhadap bentuk tubuhnya. Gambaran
dan persepsi inilahyang disebut body image.
Bodyimage merupakan gambaran mengenai
tubuh yang terbentuk dalam pikiran seseorang, atau
dengan kata lain gambaran tubuh menurut dirinya
sendiri (Schilder, 2002 dalam Grogan, 2008).

20
Menurut Surya (2009) bahwa seorang akan percaya
diri ketika orang tersebut menyadari bentuk tubuhnya
yang sangat ideal dan orang tersebut merasa puas
melihat bentuk tubuhnya, maka body image yang
terbentuk pun menjadi positif. Sebaliknya, jika seseorang
memandang tubuhnya tidak ideal seperti wajahnya
kurang menarik, badannya terlalu gemuk atau terlalu
kurus dan sebagainya, maka orang tersebut menjadi
sibuk memikirkan kondisi fisiknya, sehingga body image
yang terbentuk menjadi negatif dan dapat dikatakan
orang tersebut tidak memiliki kepercayaan diri.
d. Pengalaman Hidup
Bullying dapat menimbulkan efek yang serius/
negatif terhadap kesehatan mental dan kesejahteraan
anak (CDC, 2014; Tsitsika et al, 2014). Dampak negatif dari
bullying pada anak yang menjadi pelaku atau korban
terdiri atas depresi, kecemasan, penyalahgunaan zat,
fungsi sosial rendah, rendahnya prestasi akademik dan
kurang perhatian. Orang yang sering melakukan bullying
dan menjadi korban mempunyai risiko untuk bunuh diri
(CDC, 2014).
Bullying merupakan fenomena yang umum dan
masalah yang universal pada anak usia sekolah (Tsitka
et al, 2014). Prevalensi perilaku bullying pada anak di
Kanada adalah sekitar 9% - 21%. Suatu penelitian yang
meneliti tentang perilaku anak perempuan dan laki-laki
usia 12-17 tahun pada 5 negara: Cambodia, Indonesia,
Nepal, Pakistan dan Vietnam, didapatkan hasil bahwa
71% anak, baik laki-laki/perempuan mempunyai
pengalaman kekerasan dalam 6 bulan terakhir di
sekolah (ICRW, 2014).
e. Lingkungan
Kondisi lingkungan sosial juga dapat menjadi
penyebab timbulnya perilaku bullying. Salah satu faktor
lingkungan sosial yang dapat menyebabkan tindakan
perilaku bullying adalah kemiskinan. Mereka yang hidup

21
dalam kemiskinan akan berbuat apa saja demi
memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga tidak heran
jika di lingkungan sekolah sering terjadi pemalakan
antar siswanya. Selain itu, perilaku serta akhlak anak-
anak juga dipengaruhi dari faktor lingkungan di luar
sekolah. Baik itu faktor dari lingkungan keluarga
maupun faktor dari lingkungan sekitarnya atau
lingkungan masyarakat sekitarnya.
Menurut Ki Hajar Dewantara (Siswoyo dkk, 2007),
ada tiga lingkungan pendidikan yang memiliki peranan
besar terhadap perilaku serta kepribadian anak yang
dikenal dengan “Tripusat Pendidikan”. Tripusat
pendidikan meliputi: 1) Pendidikan di lingkungan
keluarga, 2) Pendidikan di lingkungan sekolah, dan 3)
Pendidikan di lingkungan masyarakat. Lingkungan
memiliki peran penting dalam mewujudkan kepribadian
anak, khususnya lingkungan keluarga. Keluarga
merupakan lingkungan sosial pertama yang dikenal oleh
anak. Peran lingkungan keluarga dalam mewujudkan
kepribadian seseorang, baik lingkungan pra kelahiran
maupun pasca kelahiran adalah masalah yang tidak bisa
dipungkiri khususnya lingkungan keluarga. Lingkungan
keluarga adalah sebuah basis awal kehidupan bagi setiap
manusia. Pentingnya pengaruh keluarga dalam
pendidikan anak dalam beberapa masalah seperti budaya,
norma, emosional dan sebagainya.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Aprilia
Eunike dkk, menunjukkan bahwa terdapat hubungan
antara bullying dengan kepercayaan diri kepercayan diri
pada remaja di SMP Negeri 10 Manado dengan melihat
nilai pearson chi square p 0,000 (p ≤ 0,05). Sama halnya
dengan Sejiwa (2008) yang mengatakan kurangnya rasa
percaya diri merupakan dampak bila seseorang
mendapatkan perilaku bullying dari temannya.

22
3. Faktor Teman Sebaya
Menurut Santrock (2013) dan Kawi (2010) teman
sebaya adalah hubungan individu dua orang atau lebih pada
anak-anak atau remaja dengan tingkat usia yang sama serta
melibatkan keakraban yang relatif besar dalam
kelompoknya. Pengertian lain menurut Santosa kelompok
sebaya dapat diartikan sebagai sekumpulan orang
seumuran yang mempunyai perasaan serta kesenangan
yang relatif sama. Kelompok teman sebaya atau peer group
itu sendiri biasanya terbentuk di lingkungan terdekat
remaja seperti di sekolah. Peer group terbentuk karena
adanya kesamaan tujuan atau ideologi antar sesama siswa
yang tergabung ke dalam suatu kelompok tersebut. Selain
itu peer group terbentuk karena adanya kebutuhan remaja,
sebagai wadah untuk menunjukkan eksistensi diri. Faktor
pembentuk peer group pada kalangan remaja juga di
sebabkan oleh kebutuhan sosialnya, yang paling menonjol
antara lain kebutuhan untuk dikenal dan kebutuhan untuk
berkelompok (Santosa, 2009).
Kelompok teman sebaya (geng) yang memiliki
masalah di sekolah akan memberikan dampak yang buruk
bagi teman-teman lainnya seperti berperilaku dan berkata
kasar terhadap guru atau sesama teman dan membolos
(Usman, 2013). Pengaruh kelompok teman sebaya atau peer
group yang kuat pada remaja dapat ditunjukkan dari hasil
penelitian Pratiwi S (2008) tentang faktor- faktor yang
mempengaruhi perilaku menyimpang pada remaja
khususnya siswa di sekolah, bahwa faktor yang paling kuat
dalam masalah perilaku menyimpang siswa adalah peer
group dari siswa tersebut yang juga melakukan perilaku
menyimpang. Hasil penelitian Healy dan Browner
menemukan bahwa 67% dari 3000 anak nakal di Chicago
ternyata mendapat pengaruh dari teman sebayanya. Dampak
negatif peer group bagi remaja bermacam- macam
diantaranya perilaku menyimpang seperti merokok,
penggunaan kata-kata kasar, perkelahian pelajar, dan

23
perilaku bullying kepada sesama pelajar di sekolah. Bullying
termasuk pada tindakan juvenile deliquency. Juvenile
deliquency dapat diartikan sebagai tindakan seorang anak
yang berada pada fase-fase usia remaja yang melakukan
pelanggaran terhadap norma-norma hukum, sosial, susilaan
agama (Sudarsono, 2008).

Untuk pengukuran teman sebaya, teman sebaya


berpengaruh positif apabila teman dapat membentuk
kepribadian yang baik pada temannya sehingga terjauh dari
perilaku bullying, teman sebaya berpengaruh negatif
apabila dapat berdampak pada perilaku agresif (bullying)
dan cenderung melakukan kekerasan kepada orang lain
karena pengaruh dari teman sebayanya (Mustikaningsih,
2015). Hasil penelitian Saifullah (2016) menemukan bahwa
perilaku bullying dipengaruhi oleh teman sebaya karena
keinginan untuk diakui kelompok dan ikut-ikut teman yang
berperilaku negatif.
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, kasus
bullying yang dilakukan siswa di sekolah sedikit banyaknya
mendapat pengaruh dari kelompok teman sebaya (peer
group) nya. Artinya peran peer group memang cukup besar
dalam menentukan perilaku siswa di sekolah karena siswa
tersebut memiliki keterikatan kuat dengan peer group nya
yang merupakan kelompok untuk menunjukkan eksistensi
dan aktualisasi dirinya sebagai remaja yang sedang mencari
jati diri. Lemahnya emosi pada remaja juga menyebabkan
remaja kurang dapat mengontrol sebaiknya perilaku mana
yang baik dan tidak baik.

E. Penelitian Terkait
1. Penelitian dari Hestina, Yusmansyah dan Mayasari (2017)
meneliti tentang : Hubungan Antara Pola Asuh Orangtua
Dengan Kecenderungan Bullying Siswa di SMP Negeri 8
Bandar Lampung. Metode yang digunakan pada penelitian
ini adalah deskriptif korelasi. Sampel penelitian sebanyak 125
siswa kelas VIII SMP Negeri 8 Bandar Lampung. Teknik

24
pengumpulan data menggunakan angket pola asuh orang
tua dan kecenderungan bullying. Teknik analisis data
menggunakan korelasi product moment. Hasil penelitian
menunjukkan 1) ada hubungan yang erat dan signifikan
antara pola asuh orang tua otoriter dengan kecenderungan
bullying dengan n= 61 diperoleh Rhit 0,274> Rtab 0,248, 2)
tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pola asuh
orang tua demokratis dengan n= 32 diperoleh Rhit 0,046 <
Rtab 0,286, 3) tidak terdapat hubungan yang signifikan antara
pola asuh orang tua permisif dengan kecenderungan
bullying dengan n= 30 diperoleh Rhit 0,132 < Rtab 0,296.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah ada hubungan yang
signifikan antara pola asuh orang tua otoriter dengan
kecenderungan bullying pada siswa kelas VIII SMP Negeri 8
Bandar Lampung Tahun Ajaran 2016/2017.
2. Penelitian dari Tawalujan, Kundre dan Rompas (2018) yang
meneliti tentang : HUBUNGAN BULLYING DENGAN
KEPERCAYAAN DIRI PADA REMAJA DI SMP NEGERI 10
MANADO. Metode penelitian ini adalah Metode penelitian
ini menggunakan desain deskriptif analitik dengan
pendekatan cross sectional. Sampel dalam penelitian ini
berjumlah 54 responden siswa SMP Negeri 10 Manado
dengan menggunakan teknik total sampling. Instrumen
yang digunakan adalah kuesioner. Hasil penelitian dengan
menggunakan uji statistik chi square diperoleh nilai (p
value
= 0,000 < 0,05). Jadi kesimpulannya ialah ada hubungan
antara bullying dengan kepercayaan diri pada remaja di
SMP Negeri 10 Manado.
3. Penelitian dari Dewi (2015) yang meneliti tentang : Pengaruh
Konformitas Teman Sebaya terhadap Perilaku Bullying pada
Siswa SMA Negeri 1 Depok Yogyakarta. Jenis penelitian ini
adalah kuantitatif korelasi. Sampel penelitian berjumlah
191 siswa. Alat pengumpulan data berupa skala
konformitas teman sebaya dan skala perilaku bullying. Hasil
penelitian menunjukkan: (1) konformitas teman sebaya
memiliki kategori sangat tinggi sebesar 8,90%, kategori

25
tinggi sebesar

26
37,70%, kategori sedang sebesar 38,70%, kategori rendah
sebesar 13,60%, dan kategori sangat rendah sebesar 1,0%; (2)
perilaku bullying memiliki kategori sangat tinggi sebesar
3,10%, kategori tinggi sebesar 3,10%, kategori sedang sebesar
22,00%, kategori rendah sebesar 49,20%, dan kategori sangat
rendah sebesar 22,50%. (3) ada pengaruh positif dan
signifikan variabel konformitas teman sebaya dan perilaku
bullying dengan nilai p (0,000) < 0,05. Dengan demikian,
variabel perilaku bullying dapat dipengaruhi oleh
konfomitas teman sebaya.

F. Kerangka Teori

Gambar 1.1 Kerangka Teori

27
G. Kerangka Konsep
Kerangka konsep penelitian pada dasarnya adalah
kerangka hubungan antara konsep – konsep yang ingin damati
atau diukur melalui penelitian – penelitian yang akan
dilakukan (Notoatmodjo, 2012).

Gambar 1.2 Kerangka Konsep

VARIABEL INDEPENDEN
Faktor Keluarga Kepercayaan Diri Teman Sebaya
VARIABEL

Perilaku Bullying

Jenis KelaminFaktorSekolah Tipe Kepribadian


Kondisi Lingkungan Sosial

Tayangan TV/Media Cetak

Keterangan :

H. Hipotesis
Hipotesis adalah suatu jawaban sementara dan
penelitian patokan dugaan, dalil sementara yang sebenarnya
akan dibuktikan dalam penelitian (Arikunto, 2010).
Berdasarkan bentuk rumusannya, hipotesis digolongkan
menjadi dua yakni hipotesa alternative (Ha) yang menyatakan
ada hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat,
dah hipotesa nol

28
(Ho) yang menyatakan tidak ada hubungan antara variabel
bebas dengan variabel terikat.
Berdasarkan kerangka konsep yang telah diajukan diatas,
maka hipotesis penelitian ini adalah :
1. Hipotesa Alternatif (Ha)
a. Ada hubungan antara faktor keluarga dengan perilaku
bullying pada remaja di SMP Negeri 5 Samarinda.
b. Ada hubungan antara faktor kepercayaan diri dengan
perilaku bullying pada remaja di SMP Negeri 5
Samarinda.
c. Ada hubungan antara faktor teman sebaya dengan
perilaku bullying pada remaja di SMP Negeri 5
Samarinda.
2. Hipotesa Nol (Ho)
a. Tidak ada hubungan antara faktor keluarga dengan
perilaku bullying pada remaja di SMP Negeri 5
Samarinda.
b. Tidak ada hubungan antara faktor kepercayaan diri
dengan perilaku bullying pada remaja di SMP Negeri 5
Samarinda.
c. Tidak ada hubungan antara faktor teman sebaya dengan
perilaku bullying pada remaja di SMP Negeri 5
Samarinda.

29
BAB 3
METODE ANALISIS BULLYING

A. Deskripsi Faktor Bullying


Rancangan penelitian adalah suatu strategi penelitian
dalam mengidentifikasi permasalahan sebelum perencanaan
akhir pengumpulan data dan mengidentifikasi struktur
penelitian yang akan dilakukan (Nursalam, 2011).
Jenis penelitian ini adalah kuantitatif korelasi dengan
menggunakan metode penelitian deskriptif korelasi dengan
pendekatan cross sectional. Penelitian deskriptif adalah
penelitian yang dimaksudkan untuk meneliti keadaan, kondisi,
situasi, peristiwa, kegiatan atau hal lain-lain yang sudah
disebutkan, yang hasilnya didapatkan dalam bentuk laporan
penelitian (Arikunto, 2010).
Penelitian korelasi atau penelitian korelasional adalah
penelitian yang dilakukan peneliti untuk mengetahui tingkat
hubungan antara dua variabel atau lebih, tanpa melakukan
perubahan, tambahan atau manipulasi terhadap data yang
memang sudah ada (Arikunto, 2010).
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan cross
sectional yaitu jenis penelitian yang menekankan waktu
pengukuran/observasi data variabel independent dan data
variabel dependent hanya satu kali pada saat itu (Nursalam,
2011). Didalam penelitian ini menggambarkan tentang faktor-
faktor yang berhubungan dengan perilaku bullying pada
remaja di SMP Negeri 05 Samarinda.

B. Populasi Dan Sampel


1. Populasi
Populasi merupakan keseluruhan subjek yang
diperlukan dalam suatu penelitian (Arikunto, 2010). Populasi
dalam penelitian ini yaitu seluruh siswa dan siswi SMP
Negeri 5 Samarinda tahun ajaran 2019/2020 yang berjumlah
340 siswa yang terdiri dari kelas VIII, sedangkan kelas VII
tidak masuk populasi karena masih menyesuaikan dengan

30
lingkungan sekolah yang baru dan kelas IX tingkat
kenakalannya lebih rendah dibanding kelas VIII menurut
salah satu guru BK di SMP tersebut.

Tabel 3.1 Perincian Populasi


Tingkat Kelas Nama Kelas Jumlah Siswa
VIII VIII A 34
VIII B 34
VIII C 34
VIII D 34
VIII E 34
VIII F 34
VIII G 34
VIII H 34
VIII I 34
VIII J 34
Jumlah 340

2. Sampel
Sampel adalah gambaran dari jumlah dan karateristik
yang dimiliki oleh populasi. Bila populasi besar dan peneliti
tidak mungkin mempelajari semua yang ada pada populasi,
karena keterbatasan dana, tenaga dan waktu, maka peneliti
dapat menggunakan sampel yang diambil dari populasi itu.
Maka yang dipelajari dari sampel, kesimpulannya akan
diberlakukan untuk populasi. Untuk itu sampel yang
diambil dari populasi harus betul-betul representative
(mewakili) (Sugiyono, 2010).
Teknik pengambilan sampel yang digunakan peneliti
adalah Simple Random Sampling. Simple Random Sampling
merupakan teknik pengambilan sampel yang langsung
dilakukan pada unit sampling (Margono, 2010). Teknik
simple random sampling memungkinkan setiap unit
sampling sebagai unsur populasi memperoleh peluang yang
sama untuk menjadi sampel. Penentuan ukuran sampel
dalam penelitian ini menggunakan tabel penentuan jumlah
sampel Krecjie dan Morgan dengan taraf kesalahan 5%.

31
Tabel 3.2 Tabel Krecjie dan Morgan

Berdasarkan table Krecjie dan Morgan diatas, sampel


dalam penelitian ini adalah 181 siswa dari 340 siswa. Sampel
dalam ini adalah siswa dan siswi kelas VIII yang berjumlah
181 orang dan yang memenuhi syarat kriteria sebagai
berikut:
a. Kriteria Inklusi
1) Siswa dan siswi kelas VIII
2) Bersedia menjadi responden
b. Kriteria Eksklusi
1) Siswa dan siswi yang tidak hadir saat penelitian
2) Siswa dan siswi kelas VII dan IX
3) Siswa dan siswi yang bertempat tinggal di kos atau
yang tidak tinggal bersama orang tua
4) Siswa dan siswi yatim piatu

32
Tabel 3.3 Sebaran Sampel
Jumlah
No Kelas Siswa
1. VIII A 19
2. VIII B 18
3. VIII C 18
4. VIII D 18
5. VIII E 18
6. VIII F 18
7. VIII G 18
8. VIII H 18
9. VIII I 18
10. VIII J 18
Jumlah 181

C. Waktu dan Tempat Penelitian


1. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian adalah tempat atau objek untuk diadakan
suatu penelitian. Penelitian ini akan dilaksanakan di SMP
Negeri 5 Kelurahan Air Putih Kecamatan Samrinda Ulu,
Kota Samarinda.
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini direncanakan akan dilaksanakan mulai bulan
Oktober 2019, dimulai dari kegiatan persiapan sampai
pelaksanaan tindakan dan analisis data.

D. Definisi Operasional
Definisi operasional adalah merupakan kontruksi
dengan kata-kata yang menggambarkan perilaku atau gejala
yang diamati, dapat diuji kebenarannya oleh orang lain
(Sugiyono, 2014). Definisi operasional dalam penelitian ini
diuraikan seperti pada tabel berikut ini.

Tabel 3.4 Definisi Operasional


Variabel Definisi
No Cara Ukur HasilUkur Skala
Penelitian Operasional
1. Independent Keluarga Kuisioner Hasil ukur di
(bebas) memberi yang berisi 42 Kategorikan
Ordinal
dukungan menjadi 2
yang yaitu:

33
mempengaruhi 1.Positif
sikap perilaku Apabila Jika
bullying pada Skor >
siswa di mean/median,
sekolah 2.Negatif apaila
jika skor < mean
median
Kepercayaan Kondisi Kuisioner Hasilukur
Diri keyakinan yang yang berisi 34 dikategorikan
dimiliki menjadi 4
individu yaitu:
terhadap 1.Sangat tinggi
kemampuan jika skor >115,5
diri untuk 2.Tinggi jika
mengetahui skor 109,17-
permasalahan 114,5 Ordinal
3. sedang jika
skor 102,83-
109,17
4. rendah jika
skor 96,5-102,83
5. Sangat
Rendah jika
skor ≤ 96,5
Teman Kumpulan Kuisioner Hasil ukur di
sebaya aktivitas yang yang berisi 24 kategorikan
mendominasi pernyataan dengan
dan dapat dengan skala frekuensi
mempengaruhi likert kategorisasi
terjadinya 1. Sangat tinggi
perilaku jika skor >
bullying pada 68,25
siswa di 2.Tinggi jika Odinal
sekolah skor 57,75-69,25
3.Sedang jika
skor 47,25-57,75
4.Rendah jika
skor 36,75-47,25
5.Sangat
Rendah jika
skor ≤ 36,75
2 Dependent Perilaku agresif Kuisioner Hasil ukur
(terikat) yang dilakukan yang berisi 34 dikategorikan
oleh seorang dengan
Ordinal
siswa atau frekuensi
kelompok kategorisasi:
siswa dengan 1.Sangat tinggi

34
menyakiti jika skor >
secara fisik 97,50
maupun 2. Tinggi jika
mental secara skor 82,50-97,50
berulang-ulang 3. Sedang jika
skor 82,50-97,50
4. Rendah jika
skor 52,50-67,50
5. Sangat
Rendah jika
skor ≤ 52,50

E. Variabel Penelitian
Variabel penelitian adalah suatu atribut atau sifat atau
nilai dari orang, obyek atau kegiatan yang mempunyai variasi
tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan
kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2014).
Variabel dalam penelitian ini meliputi:
1. Variabel bebas/ Independent
Variabel Independent (bebas) adalah merupakan
variable yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab
perubahannya atau timbulnya variabel dependent (terikat)
(Sugiyono,2014). Dalam penelitian ini yang merupakan
variable bebas adalah faktor-faktor yang berhubungan
dengan perilaku bullying yaitu faktor keluarga, faktor
kepercayaan diri, faktor teman sebaya.
2. Variabel terikat/ Dependent
Variabel dependent (terikat) adalah variabel yang
dipengaruhi atau yang menjadi akibat, karena adanya
variabel bebas (Sugiyono, 2014). Dalam penelitian ini yang
merupakan variable terikat adalah perilaku bullying.

F. Instrument Penelitian
Instrumen penelitian adalah alat yang digunakan untuk
pengumpulan data (Notoatmodjo, 2012). Pentingnya kuesioner
sebagai alat pengumpul data adalah untuk memperoleh suatu
data yang sesuai dengan tujuan penelitian tersebut. Kuesioner
adalah daftar pertanyaan yang sudah tersusun dengan baik,
sudah matang, di mana responden tinggal memberikan
jawaban

35
36
atau dengan memberikan tanda-tanda tertentu (Notoatmodjo,
2012).
Adapun instrumen dalam penelitian ini adalah :
1. Instrumen A
Instrumen A berupa kuesioner untuk pengumpulan data
demografi, yang berisikan responden yaitu nama umur, dan
kelas.
2. Instrumen B
Instrumen B berupa kuesioner tentang keluarga, kepercayaan
diri, dan teman sebaya.
a. Keluarga
Kuisioner terdiri dari 42 pernyataan yang terbagi lagi
menjadi 22 pertanyaan favorable (1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10,
16, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 30, 35, 38, 39) dan 20
pernyataan unfavorable (11, 12, 13, 14, 15, 17, 18, 26, 27,
28, 29, 31, 32, 33, 34, 36, 37, 40, 41, 42).

Tabel 3.4 Kisi – kisi Instrumen Keluarga

No Item
No Indikator
Favorable Unfavorable Jumlah

1 Mengajar
tentang 12,13,31,
1,6,7,8,20 9
bahaya 32
kekerasan
2. Terpenuhi
2,16 11,42 4
kebutuhan
3. Saling
3,4,5 3
menghargai
4. Keterbukaan 9,10,21,
28,29,40,41 11
dalam 22,
5. keluarga 30,38,39

b. Kepercayaan Diri
Kuesioner terdiri dari 34 pernyataan yang terbagi lagi
menjadi 20 pernyataan favorable (1, 2, 3, 5, 6, 9, 10 ,13, 14,
16, 17, 21, 23, 25, 26, 27, 29, 30, 32, 33) dan 14 pernyataan
unfavorable (4, 7, 8, 11, 12, 15, 18, 19, 20, 22, 24, 28, 31,34).

37
Tabel 3.5 Kisi – kisi Instrumen Kepercayaan Diri
No Item
No Indikator Unfavorable Jumlah
Favorable
Selalu
1 Bersikap 1,2,3,5 4 5
Optimis
Yakin Dalam
Mengerjakan 6 7,8 3
Sesuatu
Tidak
Bergantung
Dengan Orang 9,10 11,12 4
Lain
2. Selalu
Mengambil 13,14 15 3
Keputusan
Sendiri
Yakin Terhadap
Keputusan
Yang Telah 16,17 18,19 4
Diambil

c. Teman Sebaya
Kuesioner terdiri dari 24 pernyataan yang terbagi lagi
menjadi 13 pernyataan favorable (1, 2, 6, 7, 10, 11, 14, 15,
18, 19, 20, 21, 22) dan 11 pernyataan unfavorable (3, 4, 5,
8,9, 12, 13, 16, 17, 23, 24).

Tabel 3.6 Kisi-kisi Instrumen Teman Sebaya


No. Indikator No Item Unfavorable Jumlah
Favorable
Penyesuaian
1. 1, 2 3, 4, 5 5
Diri
Perhatian
6, 7
Terhadap 8, 9 4
Kelompok
2. Kepercayaan 10, 11 12, 13 4
Persamaan
14, 15 16, 17 4
Pendapat
3. Mengikuti 18, 19, 20 23, 24 7

38
Nilai dan
Norma 21, 22
Kelompok
Jumlah 13 11 24

2. Instrumen C
Instrumen C berupa kuesioner tentang perilaku bullying
yang terdiri dari 34 pernyataan yang terbagi lagi menjadi
22 pernyataan favorabel (1, 3, 5, 7, 8, 9, 12, 13, 14, 15, 17, 18,
20,
22, 23, 24, 26, 28, 29, 30, 32, 33) dan 12 pernyataan unfavorabel
( 2, 4, 6, 10, 11, 16, 19, 21, 25, 27, 31, 34).

Tabel 3.7 Kisi – kisi Instrumen Perilaku Bullying


No. Indikator No Item Unfavorable Jumlah
Favorable
1. Memukul 1 2 2
Mengambil
Uang/Barang 3 4 2
Secara Paksa
Melempar
Dengan 5 6 2
Barang
Menjegal
7 1
Kaki
2 Memaki 8,9 10 3
Menghina 12,13 11 3
Memberikan/
Memanggil
Nama yang
14,15 16 3
tidak sesuai
dengan nama
aslinya
Meneriaki
dan 17,18 19 3
Menyoraki
Menyebar
gosip atau 20 21 2
fitnah

39
Mempermalu
kan di depan 22,23,24 25 4
Umum
Menuduh 26 27 2
3 Memandang
28,29 2
Sinis
Mengucilkan 30 31 2
Melakukan
teror atau 32,33 34 3
mengerjai
Jumlah 22 12 34

G. Validitas dan Reliabilitas


1. Uji Validitas
Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan
tingkat-tingkat kevalidan atau kesahihan suatu instrumen.
Suatu instrumen yang valid mempunyai validitas tinggi.
Sebaliknya, instrumen yang kurang valid berarti memiliki
validitas rendah (Arikunto, 2010).
a. Kuisioner keluarga
Kuisioner ini di ambil dari kuisioner Paskha
Yohana (2015) dan di ubah berdasarkan variabel yang
bersangkutan. Belum di lakukan uji validitas.
Pengujian validitas dilakukan dari hasil
pengumpulan data yang tujuan dilakukan validitas
adalah untuk meminalisir terjadinya subjektivitas data
(Donsu, 2017.) jumlah responden yang digunakan untuk
uji validitas kuesioner minimal 30 responden, jumlah
tersebut merupakan distribusi nilai hasil yang mendekati
normal (Noor, 2017). Rumus yang digunakan sebagai
berikut

Rumus pearson product moment 𝑟ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔∶


𝐍 ∑ 𝐗𝐘 − (∑𝐱)(∑𝐲)
√{𝐍∑𝐗𝟐 − (∑𝐗)𝟐}{ 𝐍𝐘𝟐 − (∑𝐘)𝟐 }

Jika nilai sig (2-tailed) < 0.05 dan pearson


correlation bernilai positif maka item soal kuesioner

40
tersebut valid, jika nilai sig (2-tailed) < 0,05 pearson
correlation bernilai negatif maka kuesioner tersebut tidak
valid, jika nilai sig (2-tailed) > 0,05 maka item soal
keusioner tersebut tidak valid.
Pada penelitian ini uji validitas dilakukan pada
instrumen B, yaitu terkait pengaruh keluarga terhadap
perilaku bullying yang akan dilakukan di SMPN 4
Samarinda. Alasan dilaksanakanya disana dikarenakan
sama-sama SMP Negeri.
b. Kuesioner Kepercayaan Diri
Uji validitas kuesioner kepercayaan diri dilakukan
oleh Ambarini Widjaya dengan menggunakan pengujian
validitas konstrak karena menurut Sugiyono (2016) untuk
instrumen yang digunakan untuk mengukur sikap cukup
memenuhi validitas konstrak. Untuk menguji validitas
konstrak dapat digunakan pendapat dari ahli (judgement
expert), setelah itu diteruskan dengan uji coba
instrumen yang dicobakan pada sampel dari populasi
yang berjumlah sekitar 30 orang.
Setelah data ditabulasikan maka pengujian
validitas kontruksi dilakukan dengan analisis faktor, yaitu
dengan mengkorelasikan antar skor item instrumen
dalam suatu faktor, dan mengkorelasikan skor faktor
dengan skor total. Bila korelasi tiap faktor tersebut
positif dan besarnya > 0,3 maka faktor tersebut
merupakan konstruk yang kuat dan instrumen tersebut
memiliki validitas konstruksi yang baik.
Untuk mengetahui setiap butir pada instrumen
valid atau tidak, dapat diketahui dengan cara
mengkorelasikan antara skor butir dengan skor total (Y).
Bila harga korelasi < 0,3 maka dapat disimpulkan bahwa
butir tidak valid, sehingga harus diperbaiki atau dibuang.
Hasil uji validitas variabel percaya diri yang berjumlah
42 butir pernyataan menunjukkan 8 butir pernyataan
yang dinyatakan gugur atau tidak valid. Butir
pernyataan

41
tersebut terdapat pada nomor 1, 5, 9, 17, 27, 30, 38, dan 42.
Sedangkan 34 pernyataan sisanya dinyatakan valid.
c. Kuesioner Teman Sebaya
Uji validitas kuesioner konformitas teman sebaya
dilakukan oleh Cintia Kusuma Dewi dengan
menggunakan validitas isi yang kemudian ditelaah oleh
ahli (expert judgment). Perhitungan uji validitas isi pada
instrument kuesioner konformitas teman sebaya dengan
dua expert menggunakan rumus tabel gregory mendapat
hasil 1,00 ≥ 0,7. Berdasarkan hasil uji validitas isi dapat
diartikan bahwa instrumen kuesioner konformitas
teman sebaya sejumlah 24 item.
d. Kuesioner Perilaku Bullying
Uji validitas kuesioner perilaku bullying dilakukan
oleh Cintia Kusuma Dewi dengan menggunakan validitas
isi yang kemudian ditelaah oleh ahli (expert judgment).
Perhitungan uji validitas isi pada instrument perilaku
bullying dengan dua expert menggunakan rumus tabel
gregory mendapat hasil 1,00 ≥ 0,7. Berdasarkan hasil uji
validitas isi dapat diartikan bahwa instrumen skala skala
perilaku bullying sejumlah 34 item dapat dikatan valid.

2. Uji Reliabilitas
Reliabilitas adalah kesamaan hasil pengukuran atau
pengalaman bila fakta atau kenyataan hidup diukur berkali-
kali dalam waktu yang berlainan (Nursalam, 2008). Hal ini
berarti menunjukan sejauh mana hasil pengukuran itu tetap
konsisten, bila dilakukan pengkuran data dua kali atau lebih
terhadap gejala yang sama dengan memaka alat ukur yang
sama (Notoadmojho, 2012) reabilitas dapat menunjukan pada
suatu pengertian bahwa suatu instrumen untuk bisa
dipercaya sebagai alat pengumpulan data (Riyanto,2011).
a. Kuisioner keluarga
Kuisioner ini di ambil dari kuisioner Paskha
Yohana (2015) dan di ubah berdasarkan variabel yang
bersangkutan. Belum di lakukan uji reabilitas. Adapun
cara yang digunakan untuk menguji realibilitas
kuesioner
42
dalam penelitian ini, yaitu menggunakan rumus alpha
cronbach. Rumus tersebut digunakan untuk menguji
realibilitasinstrumen berupa kuesioner berbentuk angket
(Donsu, 2017).

Keterangan :
𝑟 ∶ koefisien realibility pertanyaan
𝑘 ∶ Banyaknya butir soal
∑𝜎2: total varians butir
𝜎2 : total varians

Apabila hasil kuesioner alpha lebih besar dari


taraf signifikasi 60% atau 0,6 maka kuesioner tersebut
reliabel. Apabila hasil kuesioner alpha lebih kecil dari
taraf signifikasi 60% atau 0,6 maka kuesioner tersebut
tidak reliabel. Untuk kuesioner keluarga akan dilakukan
uji reliabilitas ke responden menggunakan SPSS versi 22.
b. Kuesioner Kepercayaan Diri
Dalam pengujian reliabilitas kuesioner
kepercayaan diri, peneliti menggunakan uji realiabilitas
dengan internal consistency, pengujian reliabilitas ini
dilakukan dengan cara mecobakan instrument sekali
saja. Untuk menganalisis uji coba, menggunakan teknik
Alpha Cronbach dengan bantuan SPSS For Windows Seri
24.00. Hasil Uji Reliabilitas menggunakan bantuan
SPSS versi
22.00 for windows Hasil uji reliabilitas bahwa variabel
percaya diri sebesar 0,702 (kuat) dan dinyatakan reliable
sehingga memenuhi persyaratan untuk digunakan dalam
penelitian.
c. Kuesioner Teman Sebaya
Pengujian reliabilitas kuesioner konformitas
teman sebaya menggunakan rumus Alpha Cronbac. Bila
nilai alpha cronbach ≥ konstanta (0,6), maka pertanyaan
reliable, bila nilai alpha cronbach ≤ konstanta (0,6),
maka pernyataan tidak reliable.

43
Setelah dilakukan uji reliabilitas instrumen
dengan menggunakan program SPSS For Windows Seri
17.0, didapat koefisien Alpha Cronbach, yakni sebesar
0,909 untuk konformitas teman sebaya. Dengan
demikian instrumen kuesioner konformitas teman
sebaya dapat dikatakan reliabel, karena memiliki
koefisien lebih dari 0,6.
d. Kuesioner Perilaku Bullying
Pengujian reliabilitas kuesioner perilaku bullying
ini menggunakan rumus Alpha Cronbac. Bila nilai alpha
cronbach ≥ konstanta (0,6), maka pertanyaan reliable, bila
nilai alpha cronbach ≤ konstanta (0,6), maka pernyataan
tidak reliable. Setelah dilakukan uji reliabilitas
instrumen dengan menggunakan program SPSS For
Windows Seri 17.0, didapat koefisien Alpha Cronbach,
yakni sebesar 0,935 untuk perilaku bullying. Dengan
demikian instrumen kuesioner perilaku bullying dapat
dikatakan reliabel, karena memiliki koefisien lebih dari
0,6.

H. Teknik Pengumpulan Data


Pengumpulan data adalah suatu proses pendekatan
kepada subjek dan proses pengumpulan karakteristik subjek
yang diperlukan dalam suatu penelitian. (Nursalam, 2011). Data
adalah komponen terpenting sebagai penentu terhadap berhasil
atau tidaknya suatu penelitian. Oleh sebab itu teknik
pengumpulan data harus dilakukan dengan teliti dan secermat
mungkin. Metode dalam pengumpulan data ini meliputi data
primer dan data sekunder:
1. Data Primer
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan sebuah
form yang berisikan pertanyaan-pertanyaan yang telah
ditentukan yang dapat digunakan untuk mengumpulkan
informasi (data). Sebagai sebuah metode pengumpulan
data, kuesioner dapat dilakukan melalui face to face
interview, telephone, mail, email, dan website (Mazhindu
dan Scott, 2005 dalam Swarjana, 2015). Dalam metode
kuesioner juga terdapat self-completed questionnaire

44
yaitu metode

45
pengumpulan data dimana responden mengisi sendiri
kuesioner yang diberikan.
2. Data Sekunder
Data dalam penelitian ini yang meliputi jumlah
siswa/ siswi dan jumlah kelas didapatkan melalui arsip dari
Tata Usaha di SMP Negeri 5 Samarinda.

I. Teknik Analisa Data


Menurut Notoamodjo (2010), memberikan tanda pada data yang
telah lengkap dengan langkah sebagai berikut:
1. Editing (pemeriksaaan data)
Pengecekan kembali data yang sudah terkumpul, apakah
sudah sesuai dengan yang diharapkan atau tidak. Dalam
melakukan editing ada beberapa hal yang harus diperhatikan
yakni : memeriksa kelengkapan data, memeriksa
keseragaman data.
2. Coding (pemberian kode)
Data yang telah terkumpul diberikan kode dalam bentuk
angka sehingga memudahkan dalam proses pengelolaan
data pada soal yang dianggap benar maka berikan kode
angka satu (1) dan jawaban yang salah diberi kode angka
Nol (0).
3. Entri (Masukan data)
Mengisi kolom-kolom atau kotak-kotak lembar kode atau
kartu kode yang sesuai dengan jawaban masing-masing.
4. Cleaning (Pembersih data)
Apabila semua data dari responden selesai dimasukan
kemudian dilakukan pengecekan kembali untuk melihat
kemungkinan adanya kesalahan kode, ketidak lengkapan,
kemudida dilakukan koreksi.
5. Tabulating (pemasukan data dalam tabel)
Data yang telah lengkap dihitung sesuai dengan variabel
yang dibutuhkan kemudian data dimasukan kedalam
distribusi frekuensi.

46
J. Analisis Uniariat dan Bivariat
1. Analisis Univariat
Tujuan Analisis ini adalah untuk menjelasakan atau
mendeskripsikan karakteristik masing-masing variable
yang diteliti. Bentuk tergantung pada jenis datanya
(Notoatmojo, 2010). Data ini merupakan data primer yang
dikumpulkan melalui pengisisan kuesioner yang
rencananya dilakukan terhadap 181 responden. Data
univariat ini terdiri atas kuesioner faktor keluarga,
kepercayaan diri dan teman sebaya. Setiap variabel
independen dan variabel dependen pada penelitian ini
dianalisis dengan distribusi frekuensi untuk memberikan
gambaran persentase terhadap total skor jawaban masing-
masing responden.
2. Analisis Bivariat
Apabila telah dilakukan analisa univariat tersebut
diatas, hasilnya akan diketahui karakteristik atau distribusi
setiap variabel dan dapat dilanjutkan analisa bivariate.
Analisis bivariate dilakukan untuk melihat hubungan antara
variabel bebas yaitu faktor-faktor yang berhubungan
dengan perilaku bullying yaitu faktor keluarga, faktor
kepercayaan diri, dan faktor teman sebaya terhadap
variabel terikat yaitu perilaku bullying. Analisa bivariat
yang dilakukan terhadap dua variabel yang diduga
berhubungan dan berkorelasi yang dibuat dalam bentuk
distribusi untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara
variabel dalam penelitian ini variabel bebas/ independen
faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku bullying
dan variabel terikat/ dependent perilaku bullying.
Dapat diketahui ada atau tidaknya hubungan yang
bermakna secara statistik dengan menggunakan program
computer dan derajat kemaknaan 95% (Riyanto, 2010).
Metode Korelasi Rank Spearman adalah ukuran
asosiasi yang menuntut kedua variabel diukur sekurang-
kurangnya dalam skala ordinal sehingga objek-objek atau
individu-individu yang dipelajari dapat di ranking dalam
dua rangkaian berurut. Jadi metode korelasi rank spearman

47
adalah metode yang bekerja untuk skala data ordinal atau
rangking dan bebas distribusi. Nilai korelasi rank spearman
berada diantara -1 s/d 1. Bila nilai = 0, berarti tidak ada
korelasi atau tidak ada hubungannya antara variabel
independen dan dependen. Nilai = +1 berarti terdapat
hubungan yang positif antara variabel independen dan
dependen. Nilai = -1 berarti terdapat hubungan yang negatif
antara variabel independen dan dependen.

Tabel 3.8 Makna Nilai Korelasi Rank Spearman

Nilai Makna
0,00 – 0,19 Sangat Lemah
0,20 – 0,39 Lemah
0,40 – 0,59 Sedang
0,60 – 0,79 Kuat
0,80 – 1,00 Sangat Kuat

K. Etika Penelitian
Masalah etika penelitian keperawatan merupakan
masalah yang sangat penting, mengingat penelitan
keperawatan berhubungan dengan manusia, maka segi etika
penelitian harus dipertahatikan (Hidayat, 2008). Adapun
prinsip etika penelitian menurut Milton (1999 dalam Bondan
Palestina dan salam Notoatmodjo, 2012) yang meliputi:
1. Menghargai harkat dan martabat manusia (respect for human
dignity). Subyek yang bersedia diteliti, diberikan lembaran
persetujuan menjadi responden dengan terlebih dahulu
diberi kesempatan membaca isi lembar tersebut,
selanjutnya harus menandatangani sebagi bukti kesediaan
menjadi subyek penelitan. Jika subyek menolak untuk
diteliti maka peneliti tidak akan memaksa dan akan tetap
menghormati hak subyek. Sebagian ungkapan, penelitian
menghormati harkat dan martabat subyek penelitian,
peneliti sebaiknya mencantumkan formulir persetujuan
subyek (Informed concent) yang mencakup:

48
a. Penjelasan manfaat penelitian
b. Penjelasan kemungkinan resiko dan ketidaknyamanan
yang akan ditimbulkan.
c. Penjelasan manfaat yang akan didapatkan.
d. Persetujuan subyek dapat menjawab setiap pertanyaan
yang akan diajukan subyek berkaitan dengan prosedur
penelitian yang akan dilakukan.
e. Persetujuan subyek dapat mengundurkan diri sebagian
obyek penelitian kapan saja.
f. Jaminan anominitas dan kerahasiaan terhadap identitas
dan informasi yang diberikan oleh reponden.

2. Menghormati privasi dan kerahasiaan subyek penelitian


(respect for privacy and confidentiality). Untuk menjaga
kerahasiaan subyek, responden tidak perlu mencantumkan
nama dalam kuesioner. Pada lembar pengumpulan data
peneliti hanya menuliskan atau memberi kode
pengumpulan data peneliti hanya menuliskan atau atau
memberi kode tertentu pada setiap lembaran. Kerahasiaan
responden dijamin oleh peneliti.
3. Keadilan dan inklusivitas /keterbukaan (respect for justice an
inclusiveness). Lingkungan penelitian perlu dikondisikan
sehnigga memenuhi prinsip keterbukaan, yakni dengan
menjelaskan prosedur penelitian. Serta menjamin bahwa
semau subyek penelitian memperoleh perlakuan dan
keuntungan yang sama, tanpa ada perbedaan jender, agama,
etnis, dan sebagainya.
4. Memperhitungkan manfaat dan kerugian yang ditimbulkan
(blancing harms and benefits). Apabila infomasi yang
diberikan membawa dampak terhadap keamanan atau
keselamatan bagi subyek maka peneliti dapat mencegah atau
paling tidak mengurangi kerugian yang akan ditimbulkan.

49
L. Jalannya Penelitian
Rencana jalannya penelitian yang akan dilaksanakan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Tahap Persiapan
Peneliti mempersiapkan kuesioner penelitian yang
telah disusun oleh peneliti. Kemudian peneliti mengajukan
surat izin uji validitas instrumen penelitian dan surat izin
penelitian kepada institusi Universitas Muhammadiyah
Kalimantan Timur, setelah mendapatkan izin dari institusi
perguruan tinggi peneliti mengurus perizinan di tempat
penelitian yang akan dilakukan. Setelah mendapatkan izin
ditempat penelitian kemudian peneliti meminta kesediaan
responden atas partisipasinya dalam penelitian yang
dilakukan. Peneliti melakukan uji coba kuesioner atau uji
validitas kepada responden yang tidak termasuk sebagai
sampel dalam pelaksanaan penelitian. Setelah melakukan
uji validitas dan mendapatkan instrumen yang valid peneliti
melakukan pemilihan responden yang sesuai dengan
kriteria yang telah ditetapkan dalam kriteria inklusi dan
kriteria eksklusi di SMP Negeri 5 Samarinda.
2. Pelaksanaan Penelitian
Peneliti memberikan kuesioner kepada siswa dan
siswi di SMP Negeri 5 Samarinda yang hadir saat penelitian
berlangsung. Peneliti menjelaskan maksud dan tujuan dari
penelitian yang akan dilakukan bila responden setuju maka
menandatangani surat persetujuan untuk menjadi responden
penelitian dan kemudian mengisi kuesioner yang diberikan
oleh peneliti.
3. Penyelesaian Penelitian
Penyelesaian penelitian dilakukan dengan
pengolahan dan analisa data yang telah didapatkan dengan
bantuan komputerisasi perangkat lunak SPSS 16.0. Sebagai
kegiatan akhir dari penelitian iniadalah penyusunan
naskahpublikasi. Naskah publikasi ini akan digunakan
untuk mempublikasikan hasil penelitian secara singkat dan
jelas.

50
M. Jadwal Penelitian

No Kegiatan Apr Mei Juni Juli Agt

Pengajuan judul ✓
1.
penelitian


2 Studi pendahuluan

✓ ✓ ✓
3 Proses pembuatanproposal


4 Seminar proposal

5 Perbaikan proposal

51
BAB 4
HASIL ANALISIS FAKTOR BULLYING

A. Hasil Kajian
Data hasil penelitian diperoleh dari data penyebaran
kuesioner pada kelas VIII di SMP Negeri 5 Samarinda.
Kuesioner terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama yang
berfungsi untuk mengetahui tingkat dukungan keluarga,
kepercayaan diri dan teman sebaya pada siswa, dan bagian
kedua berfungsi untuk mengetahui tingkat perilaku bullying
pada siswa. Data akan dianalisis secara deskriptif untuk
mengetahui deskripsi data dari variabel tersebut.
Karakteristik Responden
1. Berdasarkan Usia
Tabel 4.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Usia
Usia Frekuensi Persentase

13 tahun 79 43.6%
14 tahun 95 52,5%
15 tahun 7 3,9%
Jumlah 181 100%
Sumber : Data Primer 2020

Berdasarkan tabel 4.1 menunjukan bahwa dari 181 responden


sebagian besar berumur 14 tahun sebanyak 95 orang dengan
persentase 52,5%, 13 tahun sebanyak 79 siswa dengan
persentase 43,6%, dan 15 tahun sebanyak 7 siswa dengan
persentase 3,9%.
2. Berdasarkan Jenis Kelamin

Tabel 4.2 Karakteristik Responden Berdasarkan


Jenis Kelamin
Jenis Kelamin Frekuensi Persentase

Laki-laki 79 43.6%

52
Perempuan 102 56,4%
Jumlah 181 100%
Sumber : Data Primer 2020

Berdasarkan Tabel 4.2 menunjukan bahwa dari 181


responden sebagaian besar berjenis perempuan dengan
jumlah 102 siswi dengan persentase 56,4% dan berjenis
kelamin laki-laki berjumlah 79 responden dengan persentase
43,6%.

B. Hasil Univariat
Data univariat ini terdiri atas kuesioner dukungan
keluarga, kepercayaan diri dan teman sebaya serta perilaku
bullying. Setiap variabel independen dan variabel dependen
pada penelitian ini dianalisis dengan distribusi frekuensi untuk
memberikan gambaran persentase terhadap total skor jawaban
masing- masing responden.
1. Dukungan keluarga

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Kategorisasi


Dukungan Keluarga
Kategori Frekuensi Presentase
Rendah 6 3,3 %
Sedang 68 37.6 %
Tinggi 107 59,1, %
Total 181 100 %

Berdasarkan tabel 4.3 dapat dilihat bahwa dari 181


sampel siswa kelas VIII SMP Negeri 5 Samarinda terdapat
107 orang siswa dengan persentase 59,1% memiliki kategori
dukungan keluarga tinggi, sedangkan 68 orang siswa dengan
persentase 37,6% memiliki kategori dukungan keluarga
sedang, dan 6 orang siswa dengan persentase 3,3% memiliki
kategori dukungan keluraga rendah. Dengan demikian,

53
dapat disimpulkan bahwa mayoritas siswa SMP Negeri 5
Samarinda memiliki dukungan Keluarga kategori tinggi
dengan persentase 59,1%.
2. Kepercayaan diri

Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Kategorisasi


Kepercayaan Diri
Kategori Frekuensi Presentase
Sangat Tinggi 9 5,0 %
Tinggi 6 3,3 %
Sedang 40 22,1 %
Sumber : Data Primer 2020

Berdasarkan tabel 4.4 dapat dilihat bahwa dari 181


sampel siswa kelas VIII SMP Negeri 5 Samarinda terdapat 85
orang siswa dengan presentase tertinggi yaitu 47,0 % pada
kategori kepercayaan diri sangat rendah, 41 orang siswa
dengan presentase 22,7 % pada kategori kepercayaan diri
rendah, 40 orang siswa dengan presentase 22,1 % pada
kategori kepercayaan diri sedang, 9 orang siswa dengan
presentase 5,0% pada kategori kepercayaan diri sangat tinggi,
dan 6 orang siswa dengan presentase 3,3 % pada kategori
kepercayaan diri tinggi. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa mayoritas siswa SMP Negeri 5
Samarinda memiliki pengaruh kepercayaan diri pada
kategori sangat rendah dengan presentase 47,0 %.
3. Teman sebaya

Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Pengaruh Teman Sebaya


Kategori Frekuensi Persentase
Sangat Tinggi 3 1,7 %
Tinggi 9 5%
Sedang 65 35,9 %
Rendah 66 36,5, %
Sangat Rendah 38 21 %
Total 181 100 %
Sumber : Data Primer 2020

54
Berdasarkan tabel 4.3 dapat dilihat bahwa dari 181
sampel siswa kelas VIII SMP Negeri 5 Samarinda terdapat 66
orang siswa dengan persentase paling tinggi yaitu 36,5%
memiliki kategori pengaruh teman sebaya rendah, 65 orang
siswa dengan persentase 35,9% memiliki kategori pengaruh
teman sebaya sedang, 38 orang siswa dengan persentase 21%
memiliki kategori pengaruh teman sebaya sangat rendah, 9
siswa dengan persentase 5% memiliki kategori pengaruh
teman sebaya tinggi, dan 3 siswa dengan persentase 1,7%
memiliki kategori pengaruh teman sebaya sangat tinggi.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa mayoritas
siswa SMP Negeri 5 Samarinda memiliki pengaruh teman
sebaya kategori rendah dengan persentase 36,5%.
4. Perilaku Bullying

Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Perilaku Bullying


Kategori Frekuensi Presentase
Sangat Tinggi 2 1,1 %
Tinggi 1 0,6 %
Sedang 32 17,7 %
Rendah 90 49,7 %
Sangat Rendah 56 30,9 %
Total 181 100 %
Sumber : Data Primer 2020

Berdasarkan tabel 4.6 dapat dilihat bahwa dari 181


sampel siswa kelas VIII SMP Negeri 5 Samarinda terdapat 90
orang siswa dengan persentase paling tinggi yaitu 49,7%
memiliki kategori perilaku bullying sangat tinggi, 56 orang
siswa dengan persentase 30,9% memiliki kategori perilaku
bullying sangat rendah, 32 orang siswa dengan persentase
17,7% memiliki kategori perilaku bullying sedang, 2 siswa
dengan persentase 1,1% memiliki kategori perilaku bullying
sangat tinggi, dan 1 siswa dengan persentase 0,6% memiliki
kategori perilaku bullying tinggi. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa mayoritas siswa SMP Negeri 5
Samarinda memiliki perilaku bullying kategori rendah
dengan persentase 49,7%.

55
5. Hasil Analisis Hubungan Keluarga, Kepercayaan Diri dan
Teman Sebaya dengan Perilaku Bullying

Tabel 4.7 Hasil Korelasi Rank Spearman

Sig. Correlation
No Variabel Arah N
(2tailed) Coefficient
1 Keluarga 0.002, -0,230. (-) 181
Kepercayaan
2
Diri
0,000 0,360 (-) 181
Teman
3 0,000 0,509 (+) 181
Sebaya
Sumber : Data Primer 2020

Berdasarkan tabel 4.7, diketahui nilai signifikansi atau


Sig. (2 talled) variabel keluarga sebesar 0.002, dimana jika
nilai ˂0,05 berarti terdapat hubungan. Maka artinya terdapat
hubungan yang signifikan (berarti) antara variabel keluarga
dengan perilaku bullying. Dari tabel diatas juga diperoleh
angka koefisien korelasi sebesar -0,230. Artinya tingkat
kekuatan hubungan (korelasi) antara variabel keluarga
dengan perilaku bullying adalah sebesar -0,230 atau lemah.
Angk.a koefisien korelasi pada hasil diatas bernilai negatif
yaitu -0,230, sehingga hubungan kedua variabel tersebut
bersifat tidak searah (jenis hubungan tidak searah), dengan
demikian dapat diartikan bahwa semakin tinggi pengaruh
keluarga maka semakin rendah perilaku bullying.
Selanjutnya nilai signifikansi atau Sig. (2 tailed)
variabel keercayaan diri sebesar 0,000, dimana jika nilai
p=˂ 0,05 berarti terdapat hubungan. Maka artinya terdapat
hubungan yang signifikan (berarti) antara variabel
kepercayaan diri dengan perilaku bullying. Dari tabel diatas
juga diperoleh angka koefisien korelasi sebesar -0,360.
Artinya tingkat kekuatan hubungan (korelasi) antara variabel
faktor kepercayaan diri dengan perilaku bullying adalah
sebesar -0,360 atau lemah. Angka koefisien korelasi pada
hasil diatas bernilai negatif yaitu -0,360, sehingga hubungan

56
kedua variabel tersebut bersifat tidak searah (jenis hubungan
tidak searah), dengan demikian dapat diartikan bahwa
semakin tinggi kepercayaan diri maka semakin rendah
mendapatkan perilaku bullying.
Variabel teman sebaya didapatkan nilai signifikansi
atau Sig. (2 talled) sebesar 0,000, dimana jika nilai ˂0,05
berarti terdapat hubungan. Maka artinya terdapat
hubungan yang signifikan (berarti) antara variabel teman
sebaya dengan perilaku bullying. Dari tabel diatas juga
diperoleh angka koefisien korelasi sebesar 0,509. Artinya
tingkat kekuatan hubungan (korelasi) antara variabel
teman sebaya dengan perilaku bullying adalah sebesar
0,509 atau sedang. Angka koefisien korelasi pada hasil
diatas bernilai positif yaitu 0,509, sehingga hubungan kedua
variabel tersebut bersifat searah (jenis hubungan searah),
dengan demikian dapat diartikan bahwa semakin tinggi
pengaruh teman sebaya maka semakin tinggi perilaku
bullying, begitu juga sebaliknya semakin rendah pengaruh
teman sebaya maka semakin rendah perilaku bullying.
Dapat disimpulkan bahwa dari ketiga variabel yaitu
keluarga, kepercayaan diri dan teman sebaya yang memiliki
korelasi paling tinggi yaitu faktor teman sebaya dengan
kekuatan korelasi 0,509 (sedang) selanjutnya diikuti oleh
kepercayaan diri -0,360 (lemah) selanjutnya yaitu faktor
keluarga -0,230 (lemah).

C. Diskusi Dalam Kajian


1. Dukungan Keluarga
Berdasarkan hasil dari penelitian yang telah dilakukan
pada 181 responden siswa kelas VIII SMP Negeri 5
Samarinda terdapat 107 responden siswa dengan persentase
59,1% memiliki kategori dukungan keluarga tinggi,
sedangkan 68 responden siswa dengan persentase 37,6%
memiliki kategori dukungan keluarga sedang, dan 6
responden siswa dengan persentase 3,3% memiliki kategori
dukungan keluraga rendah. Dengan demikian, dapat

57
disimpulkan bahwa mayoritas siswa SMP Negeri 5
Samarinda memiliki dukungan Keluarga kategori tinggi.
dapat dilihat banyak siswa yang berangkat dan pulang
sekolah di antar dan di jemput oleh orang tuanya, dan siswa
kebanyakan mengikuti kegiatan ekstrakurikuler yang
membutuhkan biaya tambahan untuk sekolah. Hal ini sesuai
dengan penelitian Nobelina Adicondro & Alfi Purnamasari
(2011) yang berjudul “Efikasi Diri, Dukungan Sosial Keluarga
dan Self Regulated Learning Pada Siswa Kelas VIII” dimana
pada penelitian tersebut Mayoritas responden memiliki
dukungan keluarga tinggi dengan responden berjumlah 62
responden dan didapatkan hasil yang memiliki dukungan
keluarga tinggi sebanyak 29 (46,77%), Cohen (dalam
Rahmawati, 2011), menyebutkan bahwa hubungan dekat
seperti anggota keluarga dan teman-teman dekat lebih
memugkinkan untuk memberikan dukungan. Hal ini
dikarenakan adanya tanggung jawab untuk mendukung,
perhatian yang lebih besar dan adanya harapan timbal
balik. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa keintiman
hubungan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh
terhadap adanya dukungan kieluiarga inti. Kieluarga yang
berfungsi memiliki kompetensi yang baik pada pengasuhan
remaja (Angley, Divney, Magriples, & Kershaw, 2014).
Anggota kelua.rga terutama orang tua mampu memberikan
perlakuan pada anak sesuai dengan usia dan tahap
perkembanganny siswa yang mendapatkan dukungan sosial
keluarga yang tinggi maka akan banyak mendapat.kan
dukungan emosional, penghargaan, instrumental, dan info
rma.tif dari keluarga. Apabila dukungan emosional tinggi,
individu akan mendapatkian motivasi yang tinggi dari
anggota keluarga. Apabila penghargaan untuk individu
tersebut besar, maka akan mendapatkan pujian. Apabila
individu memperoleh instrument, akan mendapatkan
fasilitas yang memadai dari keluarga. Apabila individu
miemperoleh informatif yang banyak, akan memperoleh
nasihat sehingga individu tersebut menjadi lebih percaya diri

58
dan mengetahui yang lebih baik tentang apa yang baik
maupun hal yang salah.
2. Kepercayaan Diri
Pada faktor kepercayaan diri berdasarkan usia
menunjukkan bahwa responden yang pernah atau yang
sedang menerima perilaku bullying sebagian besar berusia 14
tahun sebanyak 45 responden dengan presentase 24,9 % pada
kategori sangat rendah. Peneliti berasumsi hal tersebut dapat
terjadi karena pada usia remaja, belum memiliki konsep diri
yang matang. Konsep diri yang positif penting bagi remaja
karena hal itu akan berpengaruh pada kepercayaan diri
yang tinggi pada remaja.
Hal tersebut juga sejalan dengan penelitian Nurika
(2015) yang menyatakan bahwa ada hubungan positif yang
sangat signifikan antara konsep diri dengan kepercayaan
diri padasiswa SMPN 04 Tambun Selatan, Bekasi dan SMAN
3 Bekasi, dengan 9 rxy sebesar 0,480 dengan p < 0,01.
Artinya bahwa semakin tinggi konsep diri maka semakin
tinggi kepercayaan diri pada siswa SMPN 04 Tambun
Selatan, Bekasi dan SMAN 3 Bekasi, dan sebaliknya semakin
rendah konsep diri maka semakin rendah pula kepercayaan
diri. Ghufron dan Risnawita (2011) menyatakan bahwa
konsep diri mempengaruhi terbentuknya kepercayaan diri
pada individu. Terbentuknya kepercayaan diri pada diri
seseorang diawali dengan perkembangan konsep diri dalam
diri seseorang. Seseorang yang memiliki konsep diri positif
akan mampu menjadi individu yang optimis, bertanggung
jawab dan memiliki kepercayaan diri yang tinggi.
Berdasarkan hasil dari penelitian yang telah
dilakukan pada siswa dan siswi di SMP Negeri 5 Samarinda,
menunjukkan laki-laki berjumlah 79 responden dengan
presentase 43,6% dan perempuan 102 responden dengan
presentase 56,4 %. Pada faktor kepercayaan diri berdasarkan
jenis kelamin menunjukkan bahwa responden yang pernah
atau yang sedang menerima perilaku bullying sebagian besar

59
berjenis kelamin perempuan dengan jumlah 52 responden
dengan presentase 28,7 % pada kategori sangat rendah.
Hasil tersebut didukung oleh penelitian yang
dilakukan oleh Sharma & Sahu (2013) terhadap 25 sekolah
yang ada di 5 negara, menyebutkan bahwa jenis kelamin
sangat mempengaruhi tingkat percaya diri individu. Secara
spesifik penelitian ini menyebutkan bahwa jenis kelamin laki-
laki tingkat kepercayaan dirinya lebih tinggi dibanding
perempuan. Temuan di atas sesuai dengan teori Hurlock
(2003, dalam Nurika 2015) bahwa terdapat perbedaan tingkat
kepercayaan diri menurut jenis kelamin. Dijelaskan lebih
lanjut bahwa jenis kelamin terkait dengan peran yang akan
dibawakan, sehingga laki-laki cenderung merasa lebih 10
percaya diri karena sejak awal masa kanak-kanak sudah
disadarkan bahwa peran pria memberi martabat yang lebih
terhormat daripada peran wanita, sebaliknya perempuan
dianggap lemah dan banyak peraturan yang harus dipatuhi
3. Teman Sebaya
Berdasarkan hasil penelitian dari 181 responden
sebagian besar memiliki tingkat pengaruh teman sebaya
rendah sebanyak 66 siswa dengan persentase 36,5%. Hal
tersebut menunjukan bahwa sebagian besar siswa SMP
Negeri 5 Samarinda memiliki tingkat pengaruh teman sebaya
kategori rendah.
Peneliti berasumsi pengaruh teman sebaya kategori
rendah di SMP Negeri 5 Samarinda karena pengawasan dari
para guru dan sekolah memiliki kedisplinan yang baik,
sehingga peran kelompok teman sebaya untuk melakukan
hal negatif selalu dalam pengawasan. Sehingga mereka tidak
membentuk suatu kelompok pertemanan yang khusus dan
dapat berteman dengan siapa saja disekolah. Peneliti juga
berasumsi bahwa faktor lingkungan sekolah yang baik serta
menjunjung tinggi nilai-nilai agama sangat berperan
penting dalam pembentukan karakter siswa.
Penelitian Chairunnissa (2010) juga mendukung
penelitian ini yang menemukan bahwa peran kelompok

60
teman sebaya termasuk dalam kategori rendah. Ia
menyebutkan bahwa pembentukan sikap, tingkah laku, dan
perilaku sosial remaja banyak ditentukan oleh pengaruh
lingkungan ataupun teman sebaya. Hal tersebut sesuai
dengan teori Hurlock (2012) faktor lingkungan yang sangat
menjunjung tinggi nilai-nilai agama akan mempengaruhi
perilaku remaja terhadap temannya dan begitu juga
sebaliknya, remaja akan lebih menjaga diri dari pengaruh
temannya.
4. Perilaku Bullying
Berdasarkan hasil penelitian dari 181 responden
sebagian besar memiliki tingkat perilaku bullying rendah
sebanyak 90 siswa dengan persentase 49,7%. Hal tersebut
menunjukan bahwa sebagian besar siswa SMP Negeri 5
Samarinda memiliki tingkat perilaku bullying kategori
rendah.
Peneliti berasumsi perilaku bullying kategori rendah
di SMP Negeri 5 Samarinda karena rasa saling menghargai
antar siswa masih tinggi, hubungan siswa dan guru baik,
serta lingkungan sekolah yang baik, sehingga jika
lingkungan sekolah baik perilaku bullying akan semakin
rendah.
Menurut Monrad et al (2008, dalam Putri dkk ,2015)
bahwa lingkungan sekolah yang bersih, manajemen atau
perilaku yang baik yang tercipta di dalam maupun di luar
kelas serta hubungan interpersonal antara guru dan siswa
yang baik akan menciptakan suasana sekolah yang baik.
Menurut Hoffman et al (2009), dalam Putri dkk,
2015) bahwa dengan lingkungan belajar yang optimal akan
menghasilkan manfaat dalam hubungannya terhadap
perkembangan karakter, akademik, dan kecerdasan
emosional, semakin baik lingkungan sekolah maka
cenderung perilaku bullying akan semakin rendah terjadi.
5. Hubungan Faktor Keluarga Dengan Perilaku Bullying
Berdasarkian hasil analisis data yang telah
dipaparkan

61
di atas, dapat disimpulkan bahwa Ho (Tidak ada hubungan
antara dukungan keluarga dengan perilaku bullying pada

62
remaja di SMP Negeri 5 Samarinda) ditolak dan Ha (Ada
hubungan antara dukungan keluarga dengan perilaku
bullying pada remaja di SMP Negeri 5 Samarinda) diterima.
Dengan didapati hubungan signifikan yang lemah dan
tidak searah antara dukungan keluarga dengan perilaku
bullying, pengaruh keluarga dengan perilaku bullying
dengan tingkat signifikansi sebesar 0,002 (p< 0,05), serta
memiliki koefisien korelasi sebesar -0,230 atau lemah dan
bernilai negatif. Hal ini dapat dimaknai bahwa semakin
tinggi dukungan keluarga maka semakin rendah perilaku
bullying, begitupun sebaliknya semakin rendah pengaruh
keluarga maka semakin tinggi perilaku bullying. Siswa yang
memiliki dukungan dari keluarga yangi tinggi terutama dari
orang tua cenderung lebih sedikit terlibat dalam perilaku
bullying, baik sebagai pelaku maupun sebagai korban. Yang
dimana sesuai yang didapatkan dari guru BK bahwa siswa
yang melakukan bullying hanya sedikit dan kebanyakan
melakukan kenakalan seperti mengejek teman dan siswa
memiliki banyak kegiatan ekstrakurikuler dimana siswa
lebih berfokus dalam melakkuan kegiatan- kegiatan yang
positif. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Anita Sari
(2013) yang berjudul “Deskripsi Tentang Bullying pada
Remaja di SMP Setia budhi semarang berdasarkan
Dukungan Keluarga”, dimana menunjukan anak yang
mendapatkan dukungan keluarga memiliki tingkat
kecenderungan bullying lebih rendah dibandingakan
dengan anaki yang tidak mendapatkan dukungan orang tua.
Dimana dalam keluarga yang kurang harmonis dan jarang
terjadi pertengkaran antara kedua orang tua serta kepada
anaki- anaknya, akian menjadikian anak terbiasa
dengan tindaikan-tindakan yang dilakiukan oleh orang
tiuanya kepada teman- temannya. Hal ini seperti yang
diungkapkan oleh Novianti (2008 dalam Anita Sari. 2013).
rumah tangga yang di penuhi kekerasan atau bullying yang
dilakukan antara orang tua atau pada anak- anaknya jelas
berdampak pada anak - anak ketika beranjak remaja,
mereka belajar

63
bullying adalah bagian dari dirinya sehingga hal yang wajar
bagi dirinya melakukan bullying juga. Hal ini dipertrgas
oleh pendapat Furhman (2009 dalam Anita Sari. 2013).
Orang tua menjadi salah satu prediktor anak terlibat
dalam tindakan bullying (Kokkinos, 2013). Hasil penelitian
ini juga sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Gao, Yu, & Ng, (2013) yang menyatiakan bahwa
fungsionalitas keluarga memiliki hubungan dengan perilaku
menyimpang. Kurangnya keharmonisan anggota keluarga
dan perhatian dari orang tua menjadi prediktor perilaku
bullying, begitu juga sebaliknya. Keluarga yang berfungsi
adalah keluarga yang mampu untuk memiberikan kontrol
sosial (Gao et al., 2013). yang juga didukung teorim yang
menyebutkan bahwa perilaku bullying dipengaruhi oleh
faktor personal yang salah satunya yaitu pola asuh orang tua.
Pola asuh orang tua berpengaruh dalam membentuk
kepribadian dan perilaku seorang anak (Anderson and
Groves, 2013). Jenis pola asuh yang di pakai orang tua kepada
anaknya dipengaruhi beberapa faktor, salah satunya faktor
pendidikian orang tua (Hurlock, 2011). yang dimana semakin
tinggi pendidikan orang tua akan cenderung menerapkan
pola asuh yang demokratis kepada anaknya.
Anak remaja yang terlibat perilaku bullying dan
kurang mampu untuk mengatasi masalah tersebut dengan
mandiri akan mudah meras putus asa dan memilih
mengguanakan cara lain yang lebih singkat dalam
memecahkan masalah tersebut, yang pada akhir membuat
emosi anak tersebut labil, tidak peka dengan orang lain, dan
memiliki perasaan rendah diri sehingga anak akan
membutuhkan pengakuan atas dirinya. Yang juga dapat
mempengaruhi perilaku anak ialah lingkungan sekitar yang
dapat mempengaruhi keseharian anak tersebut misalnya
seperti sekolah yang tidak relavan maupun kondisi kelas
yang monoton sehingga anak akan lebih senang melakukian
kegiatan di luar sekolah yang dapat memciu tindakan
bullying. Dan faktor lingkuangan seperti rumah yang sempit

64
kumuh dan anggota lingkiungan sekitar yang berperilaku
buruk (premian, dan penggunan Narkoba dan rokok). yang
dapat membuat anak merasa bahwa hal-hal tersebut biasa.
6. Hubungan Kepercayaan Diri Dengan Perilaku Bullying
Berdasarkan dari hasil penelitian didapatkan
hubungan signifikan yang tidak searah antara faktor
kepercayaan diri dengan perilaku bullying dengan tingkat
signifikansi sebesar 0,000 (p< 0,05), serta memiliki koefisien
korelasi sebesar -0,360 atau lemah dan bernilai negatif.
Artinya tingkat kekuatan hubungan (korelasi) antara variabel
faktor kepercayaan diri dengan perilaku bullying adalah
sebesar -0,360 atau lemah. Angka koefisien korelasi pada
hasil diatas bernilai negatif yaitu -0,360, sehingga hubungan
kedua variabel tersebut bersifat tidak searah (jenis hubungan
tidak searah), dengan demikian dapat diartikan bahwa
semakin tinggi kepercayaan diri maka semakin rendah
mendapatkan perilaku bullying.
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan hasil bahwa
terdapat 2 responden (1,1 %) yang sedang atau pernah
menerima perilaku bullying memiliki tingkat kepercayaan
diri yang sangat rendah dan perilaku bullying sangat tinggi.
1 responden (0,6 %) memiliki tingkat kepercayaan diri yang
sangat rendah dan perilaku bullying tinggi. Hal ini sesuai
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Tawalujan,
Kundre dan Rompas (2018) dengan judul “Hubungan
Bullying dengan Kepercayaan Diri pada Remaja di SMP N 10
Manado” dimana hal tersebut bisa terjadi karena siswa dan
siswi tersebut pernah atau bahkan sering menerima
bullying dari teman-temannya dan belum bisa
mengungkapkan perasaan yang mereka alami. Korban
bullying juga berperan dalam memelihara situasi bullying
dengan bersikap diam dan lebih memilih memendam
perasaannya, karena korban berfikir jika melaporkan
kepada guru, guru akan menegur pelaku bullying. Jika hal
itu terjadi, pelaku akan kembali mencari dan menghadang
korban (Sejiwa 2008, dalam Tawalujan 2018).

65
Peneliti juga berasumsi jika dilihat dari item
pernyataan pada kuesioner perilaku bullying, tingkat
bullying yang paling tinggi terjadi pada poin “Saya hobi
sekali memberi nama julukan terhadap teman”. Menurut
Wiyani (2012), salah satu bentuk bullying yaitu secara lisan,
misalnya seperti memberi nama julukan, menggoda,
mengejek, menghina bahkan mengancam. Seperti contoh
bentuk bullying secara lisan yaitu menghina bentuk fisik
(Body Image). Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian
Putri (2015) dengan judul “Hubungan Antara Body Image
dengan Kepercayaan Diri Mahasiswi yang Mengalami
Obesitas” yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan
yang positif antara kepercayaan diri dengan body image.
Dimana semakin rendah body image, maka semakin rendah
kepercayaan diri yang dapat menyebabkan terjadinya
perilaku bullying.
Berdasarkan dari hasil tabel 4.10 diatas, terdapat
kekuatan hubungan antara perilaku bullying dengan faktor
kepercayaan diri yang lemah dan bernilai negatif. Namun,
mayoritas responden berada pada tingkat perilaku bullying
rendah dan tingkat kepercayaan diri sangat rendah. Peneliti
berasumsi jika dilihat dari item pernyataan pada kuesioner
kepercayaan diri bahwa penyebab kepercayaan diri rendah
bukan hanya dari perilaku bullying, tetapi dari poin
pernyataan “Saya sering takut ketika disuruh berpendapat
didepan”. Menurut Rakhmat (2009, dalam Wahyuni 2014)
seseorang yang merasa rendah diri dan kurang pecaya diri,
ia akan mengalami kesulitan untuk mengungkapkan
gagasannya melalui komunikasi langsung pada orang lain
dan menghindar untuk berbicara didepan umum dan orang
banyak, karena takut pendapat yang ia sampaikan akan
disalahkan oleh orang lain. Philips (dalam Ririn dkk, 2013)
menyebutkan kecemasan berbicara didepan umum
(Reticence), yaitu ketidakmampuan individu untuk
mengembangkan percakapan yang bukan disebabkan oleh
kurangnya pengetahuan akan tetapi karena adanya

66
ketidakmampuan dalam menyampaikan pesan atau
pendapat secara sempurna. Hal tersebut sesuai dengan
hasil penelitian Wahyuni (2014) dengan judul “Hubungan
Antara Kepercayaan Diri dengan Kecemasan Berbicara di
Depan Umum Pada Mahasisa Psikologi” yang menunjukkan
hasil bahwa terdapat bubungan yang negatif antara
kepercayaan diri dengan kecemasan berbicara di depan
umum. Dimana, hal ini berate semakin tinggi kepercayaan
diri maka semakin rendah kecemasan berbicara didepan
umum.
Dari penjelasan berdasarkan hasil dari penelitian ini,
sehingga peneliti menyimpulkan bahwa perilaku bully
terjadi bukan hanya dari kurang percaya diri namun dapat
disebabkan oleh faktor lain seperti body image. Begitu juga
sebaliknya, kepercayaan diri yang rendah tidak selalu di
sebabkan oleh perilaku bully namun dari faktor lain seperti
berpendapat didepan umum.
7. Hubungan Faktor Teman Sebaya Dengan Perilaku Bullying
Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat
hubungan signifikan yang sedang dan searah antara teman
sebaya dengan perilaku bullying dengan tingkat signifikansi
sebesar 0,000 (p< 0,05), serta memiliki koefisien korelasi
sebesar 0,509 atau sedang dan bernilai positif. Hal ini dapat
dimaknai bahwa semakin tinggi pengaruh teman sebaya
maka semakin tinggi perilaku bullying, begitupun
sebaliknya semakin rendah pengaruh teman sebaya maka
semakin rendah perilaku bullying.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian dilakukan oleh
Febriyani & Indrawati (2016) menunjukkan bahwa terdapat
hubungan positif yang sangat signifikan antara teman
sebaya dengan perilaku bullying pada anak. Semakin kuat
pengaruh teman sebaya maka semakin tinggi tingkat
perilaku bullying, demikian pula sebaliknya semakin rendah
pengaruh teman sebaya maka semakin rendah pula
perilaku bullying. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan
penelitian yang dilakukan Ramadhanti (2017) menunjukan
bahwa terdapat hubungan

67
yang positif dalam kategori sedang antara peran kelompok
teman sebaya dengan perilaku bullying.
Menurut Hurlock (2012) pada saat remaja mereka
dapat menilai teman-temannya dengan lebih baik, sehingga
penyesuaian diri dalam situasi sosial bertambah baik dan
pertengkaran semakin berkurang. Selain itu kelompok pada
masa kanak-kanak berangsur-angsur pada masa puber dan
awal masa remaja ketika minat individu beralih dari kegiatan
bermain yang melelahkan menjadi minat pada kegiatan-
kegiatan sosial yang lebih formal dan kurang melelahkan.
Selain itu juga kelompok yang terlalu banyak anggota
cenderung bubar pada akhir masa remaja dan digantingkan
dengan kelompok-kelompok kecil yang hubungannya tidak
terlampau akrab.
Sejiwa (2008 dalam Dewi, 2015) menyebutkan
beberapa penyebab seseorang melakukan bullying, salah
satunya adalah pelaku melakukan bullying supaya memiliki
pengikut dan kelompok sendiri, sekedar mengulangi apa
yang pernah dilihat dan dialami sendiri, sebuah tradisi dalam
suatu lingkungan. Perilaku bullying banyak dijumpai dalam
interaksi remaja dengan teman sebayanya karena remaja
lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah bersama
dengan teman-teman sebaya sebagai kelompok. Oleh
karena itu pengaruh teman sebaya pada sikap, minat,
penampilan, pembicaraan, dan perilaku lebih besar
daripada pengaruh yang diberikan keluarga.
Menurut Latief (2015) pergaulan teman sebaya dapat
mempengaruhi perilaku baik positif maupun negatif. Teman
sebaya sebagai komunitas kecil setelah keluarga memiliki
tanggung jawab yang cukup besar dalam pembentukan
watak dan perilaku yang mengacu pada pembentukan
kepribadian seseorang. Tidak jarang seorang remaja akan
lebih percaya terhadap informasi yang disampaikan oleh
temannya daripada informasi yang disampaikan oleh orang
tuanya.

68
Menurut Hanifah (2015) teman sebaya dapat saling
mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya dengan
cara mendiskusikan atau memperdebatkan hal-hal yang
belum disepakati sebelumnya. Artinya, siswa yang kurang
memiliki keyakinan dalam menunjukan perilaku bully, akan
diyakinkan oleh teman peer group nya melalui diskusi dan
perdebatan yang pada akhirnya membuat siswa menunjukan
perilaku bully. Teman sekolah merupakan peer yang
disgnifikan bagi remaja karena sebagian besar waktu
dihabiskan di sekolah bersama teman-teman sekolah. Pada
siswa perilaku bully umumnya terjadi karena pengaruh
teman kelompok (peer group).
Berdasarkan uraian diatas peneliti berasumsi bahwa
kelompok teman sebaya atau yang sering disebut geng
melakukan tindakan bullying maka individu tersebut secara
tidak langsung akan memperhatikan perilaku bullying yang
dilakukan kelompok tersebut. Ketika mereka melihat teman
sebayanya melakukan perilaku tertentu seperti bullying
mereka akan mungkin melakukan hal yang sama seperti
yang dilakukan teman sebayanya dengan alasan
menghindari penolakan, demi memenuhi harapan
kelompok, karena melihat adanya daya tarik kelompok dan
memiliki kepercayaan tertentu terhadap teman sebaya.
Oleh karena itu pengaruh teman sebaya memiliki
pengaruh penting dalam terbentuknya perilaku bullying.
Artinya semakin tinggi pengaruh teman sebaya maka
semakin tinggi juga perilaku bullying, begitu juga sebaliknya
semakin rendah pengaruh teman sebaya maka semakin
rendah juga perilaku bullying. Namun meskipun peran
teman sebaya baik namun jika anak mendapatkan pola asuh
yang tidak baik, lingkungan sekolah mendukung perilaku
bullying, dan anak sering melihat tontonan kekerasan di
televisi maka perilaku bully akan tetap tinggi.

69
BAB 5 PENUTUP

1. Berdasarkan hasil kategorisasi konformitas keluarga pada siswa


kelas VIII SMP Negeri 5 Samarinda terdapat 107 siswa dengan
persentase paling tinggi yaitu 59,1% memiliki kategori pengaruh
keluarga tinggi, 68 siswa dengan persentase 37,6% memiliki
kategori pengaruh keluarga sedang, dan 6 siswa dengan
persentase 3,3% memiliki kategori dukungan keluarga rendah.
Dengan demikiian, dapat disimpulkan bahwa mayoritas siswa
SMP Negeri 5 Samarinda memiliki dukungan keluarga kategori
tinggi dengan persentase 59,1%.
2. Berdasarkan hasil dari penelitian yang telah dilakukan pada
siswa dan siswi di SMP Negeri 5 Samarinda, menunjukkan pada
distribusi frekuensi pengaruh faktor kepercayaan diri
menunjukkan bahwa responden yang pernah atau yang sedang
menerima perilaku bullying sebagian besar berusia 14 tahun
sebanyak 45 responden dengan presentase 24,9 % pada kategori
sangat rendah. Sedangkan pada distribusi frekuensi perilaku
bullying menunjukkan mayoritas usia berada pada usia 14 tahun
sebanyak 49 responden dengan presentase 27,1% pada kategori
rendah. Selanjutnya dari penelitian yang telah dilakukan pada
siswa dan siswi di SMP Negeri 5 Samarinda, menunjukkan
jumlah siswa laki-laki sebanyak 79 orang (43,9 %) dan siswa
perempuan sebanyak 102 orang (56,4%). Pada distribusi
frekuensi pengaruh faktor kepercayaan diri menunjukkan
bahwa responden yang pernah atau yang sedang menerima
perilaku bullying sebagian besar terjadi pada siswi perempuan
yaitu sebanyak 52 responden dengan presentase 28,7 % pada
kategori sangat rendah. Sedangkan pada distribusi frekuensi
perilaku bullying menunjukkan sebagian besar terjadi pada
siswi perempuan yaitu sebanyak 46 responden dengan
presentase 25,4 % pada kategori rendah.

70
3. Berdasarkan hasil kategorisasi pengaruh teman sebaya
menunjukan bahwa tingkat pengaruh teman sebaya pada siswa
kelas VIII SMP Negeri 5 Samarinda terdapat 66 orang siswa
dengan persentase paling tinggi yaitu 36,5% memiliki kategori
pengaruh teman sebaya rendah, 65 orang siswa dengan
persentase 35,9% memiliki kategori pengaruh teman sebaya
sedang, 38 orang siswa dengan persentase 21% memiliki
kategori pengaruh teman sebaya sangat rendah, 9 siswa dengan
persentase 5% memiliki kategori pengaruh teman sebaya tinggi,
dan 3 siswa dengan persentase 1,7% memiliki kategori pengaruh
teman sebaya sangat tinggi. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa mayoritas siswa SMP Negeri 5 Samarinda
memiliki pengaruh teman sebaya kategori rendah dengan
persentase 36,5%.
4. Berdasarkan hasil kategorisasi perilaku bullying menunjukan
bahwa tingkat perilaku bullying pada siswa kelas VIII SMP
Negeri 5 Samarinda terdapat 90 orang siswa dengan persentase
paling tinggi yaitu 49,7 memiliki kategori perilaku bullying
sangat tinggi, 56 orang siswa dengan persentase 30,9% memiliki
kategori perilaku bullying sangat rendah, 33 orang siswa dengan
persentase 17,7% memiliki kategori perilaku bullying sedang, 2
siswa dengan persentase 1,1% memiliki kategori perilaku
bullying sangat tinggi, dan 1 siswa dengan persentase 0,6%
memiliki kategori perilaku bullying tinggi. Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa mayoritas siswa SMP Negeri 5
Samarinda memiliki perilaku bullying kategori rendah dengan
persentase 49,7%
5. Terdapat hubungan dukungan keluarga dengan perilaku
bullying dengan tingkat signifikansi sebesar 0,002 (p< 0,05).
sehinggadapat disimpulkan bahwa Ho (Tidak ada hubungan
antara dukungan keluarga dengan perilaku bullying pada
remaja di SMP Negeri 5 Samarinda) ditolak dan Ha (Ada
hubungan antara dukungan keluarga dengan perilaku bullying
pada remaja di SMP Negeri 5 Samarinda) diterima. Didapati
juga angka koefisien korelasi sebesar - 0,230 antara variabel
keluarga dengan perilaku bullying yang diartikan tingkat
kekuatan

71
korelasi (hubungan) antara variabel tersebut Lemah dengan niali
- 0,230. angka kofisien korelasi bernilai negatif sehingga
hubungan kedua variabel tersebut bersifat tidak searah, yang
dapat diartikan sem akin tinggi dukungan keluarga keluarga
maka semakin rendah perilaku bullying.
4. Terdapat hubungan signifikan yang tidak searah antara faktor
kepercayaan diri dengan perilaku bullying dengan tingkat
signifikansi sebesar 0,000 (p< 0,05), serta memiliki koefisien
korelasi sebesar -0,360 atau lemah dan bernilai negatif. Artinya
tingkat kekuatan hubungan (korelasi) antara variabel faktor
kepercayaan diri dengan perilaku bullying adalah sebesar -0,360
atau lemah. Dengan demikian dapat diartikan bahwa semakin
tinggi kepercayaan diri maka semakin rendah mendapatkan
perilaku bullying.
5. Terdapat hubungan pengaruh teman sebaya dengan perilaku
bullying dengan tingkat signifikansi sebesar 0,000 (p< 0,05), serta
memiliki koefisien korelasi sebesar 0,509 atau sedang dan
bernilai positif. Hal ini dapat dimaknai bahwa semakin tinggi
pengaruh teman sebaya maka semakin tinggi perilaku bullying,
begitupun sebaliknya semakin rendah pengaruh teman sebaya
maka semakin rendah perilaku bullying.
6. Dari ketiga variabel yaitu keluarga, kepercayaan diri dan teman
sebaya yang memiliki korelasi paling tinggi yaitu faktor teman
sebaya dengan kekuatan korelasi 0,509 (sedang) selanjutnya
diikuti oleh kepercayaan diri - 0,360 (lemah) selanjutnya yaitu
faktor keluarga -0,230 (lemah)

72

Anda mungkin juga menyukai