Anda di halaman 1dari 5

Dear Mahasiswa, Mari Kita Bercerita!

Oleh: Ramadhanur Putra

Kadang, kehidupan memang berjalan tanpa kompromi. Ia terus melaju beriringan dengan
segala masalah-masalah yang kita temui. Tidak bisa sedetikpun kita hentikan geraknya,
bahkan barang sejenak untuk sekedar menghela nafas. Belum satu masalah selesai, datang
masalah lain mengintai. Hidup begitu dinamis dan kompleks. Bersengkarut dan tak semua
yang mampu mengurai benang kusutnya.
Kadang, rumah tidak lagi menjadi tempat pulang yang ramah untuk layak dihuni. Sekolah
dan kampus tidak lagi menjadi almamater (ibu susuan) yang mampu menenangkan tangisan.
Teman-teman dan pergaulan tidak lagi menjadi lingkungan yang mampu untuk saling
mengingatkan dan bercerita tentang cita-cita ataupun kehidupan. Lalu, dengan pikiran
pendek, kita beranggapan bahwa hidup ini sudah tidak layak lagi untuk dilanjutkan. Agaknya,
ketika hidup itu terhenti, dunia akan berjalan lebih baik. Ketika hidup itu terhenti, semua
masalah akan selesai begitu saja.
Sebagian banyak diantara kita, berusaha menghilangkan kejenuhan dan pikiran sumuk
dengan berwisata atau pergi ke tempat-tempat sunyi yang kita bayangkan dapat menenangkan
pikiran. Healing, begitu kita menyebutnya. Tapi kita lupa, bahwa healing butuh uang, butuh
bensin, butuh logistik. Akhirnya, kita kembali berfikir bagaimana caranya mengumpulkan
semua itu. Kecuali, kita punya orang tua yang siap memberikan apa saja yang kita minta.
Sebagian banyak diantara kita, menghindari kecapean fisik dan mental dengan berselancar di
teknologi berbentuk persegi yang kita sebut hape. Ada yang memilih untuk main game,
dengan harapan dapat merasakan bagaimana senangnya hati ketika kita memenangkan sebuah
permainan. Akan tetapi, main game kerapkali kita akhiri dengan umpatan dan sumpah
serapah karena tidak menerima kekalahan.
Sebagian banyak diantara kita, scroll instagram atau tik tok. Berselancar di dunia maya,
mencari hiburan lewat video-video pendek yang jenaka. Orang mandi lumpur, kita tertawa.
Orang muntah-muntah sehabis melalap tumpukan cabai kita ketawa. Lalu, ketika kita temui
headline berita harian: perampokan, pemerkosaan, pembunuhan, kita terdiam. Otak kita
dipenuhi informasi yang mencemaskan.
Sebagian banyak diantara kita, berekspresi dengan unggahan yang berisi harapan ribuan like
dari jari followers untuk mendapat afirmasi positif terhadap diri sendiri. Akan tetapi, kita
tidak pernah menduga dari ribuan followers itu ada yang tidak suka. Ada yang berkomentar
negatif, ada yang menyebut kita narsis, norak, sok-sok-an, lebay, alay, dan komentar lainnya.
Akhirnya, unggahan itu kita hapus karena tidak tahan dengan apa yang orang pikirkan
tentang kita. Ya, minimal unggahan itu kita arsipkan.
Begitulah kondisi kehidupan kita hari ini, anak muda yang diprediksi akan menjadi aktor
dalam menyambut bonus demografi. Indonesia emas 2045. Anak muda yang digaung-
gaungkan menjadi pelopor perubahan masa depan itu, kini terjebak dalam lingkaran setan
kehidupan. Roda maut yang cepat atau lambat akan mengantarkan kita pada keputusasaan.
Kita berusaha menyelesaikan satu masalah dengan membuat masalah yang baru. Kira-kira
itulah alur hidup yang sedang kita jalani.
Lalu, kemana lagi kita akan pergi dan bagaimana cara kita melewati semua ini?
Agaknya, tidak ada jalan lain selain menjalaninya. Menerima semua kenyataan garis hidup
yang telah dituliskan. Kita tidak perlu lari menjauhinya atau menolak kedatangannya.
Sebagaimana kita terlahir sendiri, maka masalah kehidupan harus diselesaikan dari diri
sendiri dan sejak dalam pikiran sendiri. Menerima semua takdir yang datang menghampiri
dengan senang hati. Lalu, bersiaplah untuk menyambut keajabian-keajabian yang datang dari
pintu mana saja dan arah yang tidak pernah kita duga-duga.
Saya sedikit ingin bercerita, tentang pengalaman sekolah di pondok pesantren. Enam tahun
lamanya saya mendekam dalam ‘penjara suci’. Dan selama enam tahun di dalam pesantren,
apakah anda berfikir saya menjadi santri yang benar-benar melewati hari dengan berbahagia?
Tentu tidak ferguso! Saya sangat tidak betah dan ingin cepat lepas dari kekangan yang sangat
mengikat dengan peraturannya yang berjilid-jilid.
Hari-hari saya lalui dengan membuat ulah. Saya merokok, saya pacaran, saya tidur dikelas,
saya bolos sekolah, dan tidak lupa untuk kabur dari asrama. Semua ulah yang saya buat
berujung dengan hukuman yang akan saya dapatkan. Dan tidak sekali dua kali orang tua saya
disuruh menghadap kepala sekolah. Jika kepala sekolah sudah tidak tahan, saya yang
dipulangkan. Di skorsing, dan itu pernah saya lalui.
Ketika itu, saya sudah tiga tahun menempuh hidup di pesantren. Kejenuhan saya sudah
memuncak. Saya minta pindah pada orang tua. Membujuk dan merayu ayah ibu. Saya
berjanji, jika saya diberi kesempatan untuk menempuh pendidikan di sekolah umum. Saya
akan mengukir prestasi sesuai minat dan bakat yang saya punya. Akan tetapi, bukannya
mendapatkan jawaban yang saya inginkan, saya malah mendapat ancaman dari sang Ayah.
“Jika kamu memang ingin sekolah di SMA. Silahkan kamu cari uang sendiri, itu ada kerbau
dan sepetak sawah yang siap untuk kamu kantongi.” Kata Ayah.
Mendengar ancaman itu, mana saya mau. Bagi saya kala itu, hidup menjadi anak petani saja
sudah melelahkan. Apalagi menjadi petani beneran diusia saya yang waktu itu masih belasan
tahun. Karena tidak bisa lagi berkompromi, akhirnya saya harus tetap melanjutkan sekolah di
pesantren. Menambah waktu ‘kuruangan’ tiga tahun lagi. Tahun pertama di tingkatan Aliyah,
atau tahun keempat di pesantren. Saya lalui dengan tabiat yang sama seperti sebelumnya.
Tidak ada sedikitpun motivasi untuk belajar.
Sampai akhirnya, dua tahun terakhir mondok. Saya benar-benar mengerti dan bersyukur
kenapa ayah memaksa saya harus menuntaskan pendidikan di sana. Saya menemukan hal-hal
baru yang saya pikir tidak akan saya dapatkan jika saya menempuh pendidikan SMA kala itu.
Saya belajar untuk memimpin orang lain. Saya belajar banyak hal tentang kehidupan dan
bagaimana arti dari kebersamaan. Sungguh pengalaman luar biasa yang tidak akan pernah
saya temui jika tidak di sana.
Ini juga ada cerita, pada akhir tahun 2018 saya dan teman-teman pesantren mengikuti salah
satu kegiatan di Cibubur. Kegiatan kami berlangsung selama satu minggu. Waktu itu, kami
serombongan menggunakan bus sebagai transportasi dari sekolah ke lokasi acara.
Bukittinggi-Cibubur, Cibubur-Bukitting Artinya kami harus menyebrangi selat sunda yang
memisahkan pulau Sumatera dan Jawa untuk pergi dan pulang kegiatan. Dan ini adalah cerita
saat kami telah selesai mengikuti kegiatan disana.
Singkat cerita, bus yang digunakan sekolah terlambat menjemput kami. Jakarta kala itu
macet, akhirnya bus datang tidak tepat waktu. Artinya, jadwal penyeberangan harus tertunda.
Setelah itu, dari Cibubur ke Merak kendala macet juga ditemui. Jadwal yang sebelumnya
telah diundur, terpaksa diundur lagi. Penyerangan yang direncanakan jam 3 sore, harus
diundur ke jam 6 sore, dan terundur lagi.
Kala itu, semua penghuni bus tampil dengan wajah masamnya. Tidak ada satupun yang tidak
jengkel dengan kondisi itu. Setiap kami mengomel-ngomel karena macetnya jalanan Jakarta,
tertundanya penyebrangan, dan tentunya perjalanan yang akan semakin lama kami tempuh
untuk menuju kampung halaman. Barulah, setelah melewati panjangnya jalanan macet
Jakarta beserta menumpuknya antrian di Merak, kami dapat menyebrang keesokan harinya,
pukul 6 pagi.
Dan anda tau, Apa yang saya syukuri setelah melewati macet panjang untuk menyebrangi
selat sunda? Adalah tidak taunya kami tentang tsunami yang terjadi di Banten malam itu. Ya,
jadwal penyebarangan kami pada pagi hari itu adalah pasca terjadinya tsunami Banten yang
menewaskan bass band dari Seventeen. Kendatipun tsunami tidak melanda pelabuhan Merak,
tapi gelombang ombak saat kami menyeberang selat Sunda sangat kuat. Syukurnya, kami tau
berita tsunami itu setelah menyeberangi selat Sunda. Kami disibukkan oleh Tuhan dengan
omelan dan kejengkelan macet Jakarta, sehingga kami tidak tau bahwa ada tsunami malam
itu.
Satu lagi pengalaman yang sampai hari ini masih saya syukuri adalah tentang lika-liku
perjuangan kuliah. Sewaktu masih sekolah, saya sangat ingin melanjutkan studi ke jenjang
perguruan tinggi. Saya telah menentukan pilihan, saya ingin berkuliah di Kampus Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta dan mengambil Program Studi Hukum. Saat itu, saya harus
memastikan juga, bahwa kuliah yang akan saya tempuh harus lewat jalur beasiswa. Sebab,
saya sadar bahwa orang tua tidak punya cukup rezeki untuk membiayai perkuliahan anaknya
ini.
Singkat cerita, saya siapkan semua berkas-berkas yang dibutuhkan. Saya hilir mudik mencari
rekomendasi dari tokoh-tokoh Muhammadiyah untuk syarat beasiswa. Saya belajar dan
hampir tidak melupakan satupun bentuk persiapan. Bahkan, tidak ingin sendiri dalam
berjuang, saya membantu teman-teman yang juga punya keingingan kuliah disana untuk
melengkapi berkas-berkas persyaratan administrasinya.
Satu persatu persyaratan telah kami kumpulkan. Alur demi alur pendaftaran telah kami lalui.
Mulai dari seleksi berkas, seleksi wawancara, dan seleksi baca al-qur’an. Lalu, tibalah hari
yang ditunggu-tunggu. Hari dimana jerih payah dan hasil perjuangan kami akan diumumkan.
Dan anda tau? Saya terpukul melihat hasil seleksi beasiswa yang diumumkan. Sebab, tidak
ada nama saya disana. Malah, nama teman-teman saya yang terpampang jelas dalam kertas
pengumuman. Saya putus asa, sepertinya kuliah adalah mimpi yang harus saya kubur dalam-
dalam.
Hari itu menjadi hari pembuka dari hari dimana saya sudah tidak bersemangat untuk
berjuang. Ya saya tetap mendaftar kuliah, tapi tidak ada lagi beasiswa yang saya cita-citakan.
Saya sudah berfikir, jikapun saya lolos di perguruan tinggi yang lain, tapi tidak dengan
beasiswa. Ya sama aja. Saya lebih baik merawat seekor kerbau dirumah. Menyarikannya
rumput kala pagi datang dan membawanya ke parit ketika sore menjelang.
Dan siapa sangka, beberapa minggu setelah itu. Saya ditelpon oleh pihak kampus. Mereka
menawarkan saya beasiswa untuk dapat berkuliah disana. Dan kali ini, beasiswa yang
ditawarkan itu lebih dari ekspektasi saya, lebih dari beasiswa yang ingin saya dapatkan
sebelumnya. Kendatipun, syarat dan ketentuan berlaku. Saya tidak bisa memilih Program
Studi yang saya minati, saya diperkenankan untuk memilih jurusan yang ada di fakultas lain.
Walaupun saya diawal saya tidak punya ketertarikan akan jurusan itu. Akhirnya saya hari ini
benar-benar bersyukur dituntun Tuhan dengan takdir seperti ini.
Jika boleh saya menghubungkan tiga pengalaman yang saya lalui tadi, setidaknya ada titik
yang saling berhubungan dalam tiga pengalaman itu. Kalau kata Steve Jobs si penemu Apple
itu, ada titik yang berhubungan jika kita tarik benang merahnya dalam kehidupan kita ini, -
connecting the dots. Bahwa tidak semua hal yang kita sukai dan inginkan itu baik bagi kita.
Bisa jadi, kita mencintai sesuatu tapi itu buruk untuk kita dan kita membenci sesuatu tapi itu
baik untuk kita. Dan itulah takdir dengan segala hikmahnya yang tidak akan pernah bisa kita
tebak.
Itu adalah pengalaman pribadi yang selalu saya ingat-ingat sampai hari ini ketika saya
merasakan titik terendah dalam kehidupan. Pengalaman yang membuat saya yakin bahwa
Tuhan selalu menyiapkan skenario kehidupan yang tidak pernah gagal. Bukankah cobaan
yang datang pada kita sesuai dengan takaran yang telah ditentukan oleh Tuhan? Bukankah
masalah yang kita temui adalah bentuk kepercayaan Tuhan pada kita bahwa hanya kita yang
mampu menghadapinya? Sebab, seberat apapun masalah yang kita hadapi, pasti Tuhan juga
menyiapkan solusi yang bisa kita selesaikan.
Jika kita merasa gagal dalam percintaan, hubungan toxic yang bekepanjangan, ditinggal tanpa
alasan. Lalu kita menderita patah hati yang mendalam. Susah tidur dan tidak mau makan.
Mengurung diri dalam kamar tanpa berkesudahan. Maka, belajarlah untuk mencintai
penderitaan dan takdir yang sedang kita hadapi, amor fati kata filsuf Jerman Friedrich W
Nietzsche. Mencintai diri sendiri, keluarga, sahabat, dan bahkan benda-benda yang kita sukai.
Maka, kita akan mengerti bahwa cinta bukan hanya perihal lawan jenis semata.
Jika kita merasa gagal dalam berbisnis, dulu ada seorang pedagang yang terdampar di pesisir
pantai Athena. Ia menyebarangi laut Mediterania dengan kapal yang diisi barang dagangan
mahal dan langka. Ia harus menelan kenyataan saat kapal dan barang dagangannya ditelan
lautan. Ia jatuh miskin dan menelangsa di daerah asing. Dari sanalah ia mulai mengembara
dan menemukan ‘harta karun’ yang tidak pernah ia duga. Ia adalah seorang filsuf pendiri
Mazhab Stoa yang hari ini ramai kita pelajari untuk menenangkan pikiran. Namanya adalah
Zeno dari Elea.
Jika kita merasa gagal dalam pendidikan, dulu ada seorang bodoh yang tidak mampu
sedikitpun menyerap pengetahuan. Ada seorang bodoh yang diusir oleh gurunya dari sekolah
ketika dia tidak mampu menyeimbangi kepintaran temannya. Sampai akhirnya, ia melihat
batu yang dilubangi oleh air setetes demi setetes. Dari sanalah ia belajar, bahwa ketekunan
mampu menguatkan semangat belajar. Ia adalah seorang ulama hadits yang terkenal
dikemudian hari, namanya adalah Ibnu Hajar al-Asqalani.
Lalu, jika kita merasa gagal dalam kehidupan berkeluarga. Maka Nabi Muhammad saja, yang
dinobatkan oleh Michael H. Hart sebagai manusia paling berpengaruh di dunia pernah
mengalami masalah keluarga. Ia pernah ditimpa kemalangan yang beruntun, ditinggal mati
oleh paman dan istrinya yang selalu memberikan support dalam dakwahnya. Bahkan, ia tidak
bisa mengajak seluruh keluarganya untuk memeluk islam semasa hidupnya.
Begitulah kawan, saya kira tidak ada salahnya kita adu nasib. Yakinlah, bahwa semua
masalah yang kita hadapi hari ini, itu juga pernah dilewati oleh orang-orang sebelum kita.
Yakinlah, bahwa masalah yang kita hadapi hari ini, belum seberat masalah yang orang lain
pikul disana.
Ketika kita berada pada titik terendah dalam kehidupan, cobalah barang sejenak untuk
menghubungkan titik-titik apa yang mengantarkan kita hingga masih bertahan sampai saat
ini. Ketika kita berada dalam kondisi tidak baik-baik saja, cobalah untuk mengingat lagi
cerita menyenangkan masa lalu dan mereka yang pernah tertawa bersama kita menikmati
dunia. Ketika kita dalam kondisi yang berlarut-larut dalam masalah, cobalah barang sejenak
ntuk melihat kebawah, pergi ke sudut-sudut kota yang dihuni olah mereka kelas kaum
rendah, lihat para pengemis dan pengamen di lampu merah, pemulung yang memunguti
sampah di trotoar jalan, dan masih banyak lagi derita orang lain selain yang kita hadapi. Dan
lihatlah, mereka semua tetap memilih untuk bertahan hidup!

Anda mungkin juga menyukai