Anda di halaman 1dari 4

Cinta Sebatas Patok Tenda

“Dengarkanlah suara hati ini


Suara hati yang ingin kudendangkan
Tak mampu untuk kusampaikan
Kan kuungkapkan lewat laguku.”
Lagu itu perlahan mengalun di music player-ku. Aku menghentikan aktivitas minum
kopiku sejenak, hanya untuk sekedar mengenang masa masa itu dengan menikmati lagu
tersebut. Kudengar jelas suaraku walaupun tidak bagus, menyanyikan lagu itu dengan begitu
tulusnya. Sejenak otakku meluncur menembus waktu. Aku menelusuri memori tentang
perkemahan beberapa bulan lalu, ketika diriku yanag sama sekali tidak peduli dengan hal-hal
berbau asmara mulai merasakan cinta untuk pertama kalinya.
Secuil kenangan mulai menemaniku. Aku tersenyum mengingat betapa dulu diriku
sangat tidak menyukai semua tentang pramuka. Senyumku semakin lebar mengingat
kenangan betapa aku begitu gigih untuk berusaha kabur setiap hari Jum’at, ketika
diadakannya ekskul pramuka disekolahku. Dan aku tersenyum sambil memejamkan mata,
merasakan cinta yang saat ini masih terpendam dalam hatiku, ketika mengingat bagaimana
praamuka yang dulunya sangat aku hindari sekarang dapat memperkenalkanku pada cinta.
28 Oktober 2019
“Namaku Cocos Crescencia, kakak-kakak sekalian bisa memanggilku apa saja.”
Ujarku dengan enggan. Aku memang selalu minder jika memperkenalkan diriku sendiri.
Sebagai seorang pramuka penegak yang masih mencari jati diri, kadang aku berfikir kenapa
orangtuaku memberi nama yang hampir sama dengan nama ilmiah kelapa. Semua penegak di
kelompokku menatap aneh dengan namaku. Yah, untungnya aku sudah biasa dengan reaksi
seperti saat ini. Kemudian mereka sepakat memanggilku “Coco”
Saat itu aku sedang mengikuti ajang Raimuna Nasional, suatu kegiatan yang benar-
benar ‘wow’ menurut teman-teman di organisasi kepramukaan yang aku ikuti. Aku sendiri
heran kenapa bisa lolos seleksi dalam kegiatan tersebut, mengingat dulunya aku sangat tidak
menyukai pramuka dan tidak mengerti apapun tantang pramuka. Berawal dari pembina di
sekolahku yang menyertakan nama ku dalam pendaftaran kegiatan tersebut dan tanpa
meminta konfirmasi dahulu. Beliau baru memberitahuku seminggu sebelum seleksi tahap
pertama. Beliau meminta kesungguhanku untuk mengikuti kegiatan tersebut, dan entah
keberuntungan apa yang menyertaiku, aku bisa lolos hingga berangkat ke Jakarta.
Aku melalui 10 hari yanag berhaarga dalam hidupku. Bagaimana aku bisa menyukai
sesuatu yang dulu sangat aku hindari, bagaimana aku mempelajari cara mencintai alam dan
seisinya, bagaimana aku dibina untuk tidak mengeluh dalam berbagai hal. Aku mengenal
solidaritas tanpa batas, aku mendapat banyak teman yang menjadi saudara dari berbagai
pulau, dan aku mendapatkan sebuah rasa yang belum pernah aku rasakan sebelumnya.
“Butuh banatuan?”
Itulah kalimat pertama yanag aku dengar darinya. Ketika aku tidak bisa melintasi
sungai karena kakiku kram, sementara aku harus mengejar ketertinggalanku dari rombongan
yang lainnya. Sepatuku sudah penuh dengan lumpur dan aku sulit untuk melangkah, aku pun
berjalan dengan terseok-seok sambil menahan rasa sakit di kakiku. Ia datang kepadaku ketika
aku terjatuh karena licin, mengakibatkan luka baru di dilututku. Aku melihat ke arahnya.
“Hem, kurasa tidak apa-apa,” ujarku berbohong. Entah mengapa aku ingin terlihat baik-baik
saja dihadapannya. Ia duduk didepanku dan memeriksa kakiku. “Kakimu kram ya? Dan
lututmu terluka.” Aku meringis ketika dia menempelkan es batu yang entah ia dapat dari
mana ke kakiku yang bengkak. Sementara ia yang tidak kukenal sedang mengobatiku, diam-
diam aku mengamati wajahnya.
Rambut yang basah karena terkena hujan, terlihat membingkai wajahnya. Kulitnya
sawo matang. Matanya berwarna hitam dan memiliki tahi lalat di mata sebelah kanannya.
“Masih sakit dibuat jalan?.” Tanyanya ketika selesai mengobatiku. Aku mencoba berdiri dan
rasa sakitnya memang berkurang. “Kau tertinggal gara-gara aku,” ucapku merasa bersalah.
Dia tersenyum. “Ingat dasadharma nomor 5? Rela menolong dan tabah.” Katanya. “Selama
aku bisa menolong, akan kulakukan.” Aku terkesima dengan kemampuan berkata-katanya.
“Terima kasih,” ucapku tulus. “Sama-sama,” katanya. Lalu ia menjulurkan tangannya ke
arahku, “Fazaira Ganendra,” ujarnya memperkenalkan diri. Aku membalas uluran tangannya.
“Cocos Crescencia.” Ia mengangkat alisnya, untuk pertama kalianya aku melihat reaksi
positif dari orang lain tentang namaku. “Bagus sekali.” Aku menghembuskan napasku. Aku
senang mendengar pujian itu. “Terima kasih. Kau bisa memanggilku apa saja.” “Cia,”
panggilnya. Aku menoleh, dan untuk pertama kalinya aku menyukai nama panggilan dari
seseorang. Terdengar sangat lucu dan tidak begitu buruk. “Aku suka nama panggilan itu,
Faza,” kataku, sembari memberi nama panggilan untuknya. “Aku menyukainya,” ucapnya.
Malam itu aku tidak bisa terlelap. Di luar dingin, dingin itu masuk kedalam tendaku.
Sudah 3 hari aku berada di perkemahan ini, berbagai kegiatan sudah aku lalui. Kadang,
moment satu tim dengan Faza membuatku lebih semangat dalam menjalani kegiatan tersebut.
Entah mengapa, aku suka jika ia berada di dekatku. Aku berjalan dibawah bintang-bintang,
menginjak rumput basah khas bumi perkemahan. Kulihat ada nyala api dari kejauhan,
membuatku untuk melangkah ke arahnya guna mencari kehangatan. Ketika aku mendekat,
aku mendapati sosok lelaki yang kukenal sedang duduk sendirian disana. Aku
memanggilnya, dan ia\pun menoleh. “Sedang apa malam-malam begini, Cia?” tanyanya
ketika menyadari bahwa aku yang memanggilnya. Aku menghampirinya, memandang ke
arah api unggun tersebut. “Aku mencari kehangatan,” jawabku dramatis. Faza menggeser
duduknya, memberikanku ruang untuk duduk di batang pohon besar yang telah tumbang itu,
disampingnya. Aku mendekatkan badanku ke arah sumber kehangatan itu, menggosokkan
tanganku dan menempelkannya ke pipi. “Api itu, ketika kecil membawa kedamaian... namun
jika besar ia membawa celaka,” ujarnya berfilosofi. “Sama seperti cinta. Jika terlalu cinta
membawa rasa sakit.. rindu yang berkepanjangan. Depresi akut dan hampa yang kekal,” aku
tidak tahu mendapat kata-kata dari mana hingga bisa berkata seperti itu. Faza menoleh
kearahku lalu tersenyum, dan bertanya menggoda “ciee.. lagi jatuh cinta ya?” Wajahku
memerah, entah karena hangat yang menerpaku atau karena ucapannya barusan. “Aku tidak
tau, apa itu cinta.” “Mungkin aku bisa mengajarkannya oadamu,” ucap Faza, membuat
wajahku semakin memerah.
“Berawal dari perkemahan ini
Rasa itu pun hadir di hatiku
Menghiasi relung sukmaku
Cinta bersemi di bumi perkemahan”
2 November 2019, usiaku genap tujuh belas tahun. Katanya, usia tjuuh belas adalah
ketika kau menjalani masa-masa termanis dalam hidupmu. Masa ketika kau mengenal yang
belum kau kenal, masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Katanya, usia tujuh belas
adalah yang paling istimewa, karenanya tak sedikit remaja diluar sana yang berkecukupan
merayakan secara besar-besaran. Tujuh belas tahunku kurayakan di bumi perkemahan ini,
bersama sahabat-sahabat baruku. Mereka memberiku perayaan ulang tahun yang sangat
berkesan, dalam satu hari itu aku merasa sangat apes, semua yang kulakukan salah, panitia
pun juga ikut-ikutan mengerjaiku, sampai aku bingung apa yang sudah kulakukan hingga
mereka memperlakukanku seperti itu. Aku menangis di jalan ketika mengetahui Faza juga
menyalahkanku hari itu, ia tidak membelaku, seperti yang kuharapkan. Aku menangis,
mogok makan dan berdiam diri di dalam tenda. Aku memohon kepada panitia agar boleh
diizinkan pulang lebih awal, tetapi bukannya mengizinkanku, mereka malah semakin
mengerjaiku.
Aku menyadari bahwa mereka tidak benar-benah jahat kepadaku, ketika malam
harinya saat pesta api unggun, aku mendengar namaku dipanggil untuk meninggalkan barisan
dan maju ke tengah lapangan. Aku berjalan dengan pasrah. Ketika aku sudah berada di depan
aku melihat pemateri tua membawa sebuah kotak dan berjalan kearahku, dan ketika ku lihat
isinya sebuah kue tart yang diatasnya terdapat lilin berangka tsatu dan tujuh. Seketika itu juga
semua orang yang berada di bumi perkemahan menyanyikan lagu Selamat Ulang Tahun
untukku. Aku menangis lagi untuk kesekian kalinya di hari ke enam pelaksanaan Raimuna
Nasional itu, tapi ini adalah tangis bahagia terlalu terharu untuk membendung air mataku.
Setelah acara tersebut, pada tengah malamnya Faza memberikan gantungan kunci
bergambar seorang wanita memakai baju pramuka lengkap dan dibawahnya terdapat nama
panggilanku darinya “CIA”.
“Kenapa kau diberi nama seperti nama kelapa? Karena orang tuamu ingin kamu menjadi
seperti kelapa. Yang bermanfaat dari ujung akar sampai ujung daunnya. Mereka ingin kau
bisa tumbuh dan berkembang dimana saja, makanya kamu harus tumbuh dengan baik. Jangan
pernah menyesal dengan namamu itu, Cocos Crescencio.” Aku tertengun. Fazaira Ganendra,
orang yang belum lama kukenal, mampu menjelaskan alasan dibalik nama tersebut.
“Oh mungkinkah rasa cinta ini
Akan abadi untuk selamanya
Rasa ini semakin membelenggu
Cinta lokasi di bumi perkemahan.”
Empat hari setelah ulang tahunku, aku masih menikmati malam terakhirku di bumi
perkemahan ini. Masih bersama api unggun kecil yang menemani kami seperti malam-malam
sebelumnya. Masih bersama batang pohon tua, dan masih bersama Fazaira Ganendra, yang
kini kusadari, stelah 8 bulan berlalu, telah menjadi cinta pertama ku. Sejak malam ketiga itu,
aku dan Faza selalu menghabiskan malam berdu bersama api unggun kecil itu. Aku suka cara
Faza mendengarkan ceritaku. Aku suka cara Faza menatap mataku. Aku juga suka saat Faza
tertawa lepas karena leluconku. Tanpa kusadari, aku suka Faza.
“Tempo hari kau berkata akan mengajariku tentang cinta,” tanpa ragu aku
menanyakan hal itu ke Faza
“Kupikir setelah malam-malam yang kita lewati bersama, kau sudah mengenal apa itu
cinta,”
“Cinta itu....”
“Ketika kau merasa ada yang kurang ketika ia tidak bersamamu. Ketika ia hilang
darimu, kau merasa hampa” Faza termenung. “Bagiku, itu definisi cinta.”
Aku menunduk, meresapi kata-katanya. Kini kusadari aku telah mencintai Faza.
“Aku juga merasakannya, Cia.” Seakan mendengar isi hatiku “Kau tidak bertepuk
sebelah tangan.”
Ia lalu mengeluarkan radio mininya, dan terdengarlah lagu yang mewakili perasaan
kami. Kami berdua menyayikan lagu itu. Sebatas Patok Tenda. Di bawah naungan
bumi perkemahan, disaksikan oleh api unggun yang seakan-akan ikut menari-nari.
“Akankah cintaku sebatas patok tenda
Tenda terbongkar sayonara cinta?

Tanpa aku sadar, aku ikut menyanyikan bait terakhir lagu itu. Cintaku pada Fazaira
Ganendra masih utuh. Sepuluh hari yang berhaarga itu, masih melekat di benakku.
Gantungan kunci darinya masih menghiasi tasku. Kopi didepanku mulai dingin, tetapi aku
tidak peduli. “Akankah cintaku sebatas patok tenda?” aku mendengar suara eseorang ikut
menyanyikan lagu yang kudengarkan. Aku menoleh dan mengenali mata bertahi lalat
disebelah kanan yang sedang menatapku itu. Fazaira Ganendra sedang disana,
memandangku, membuatku ingin memeluknya. Namun, yang kami lakukan hanya
menyanyikan bait terakhir lagu yang kami nyanyikan 8 bukan lalu.
“Tenda terbongkar, sayonara cinta.”

THE END.

Anda mungkin juga menyukai