Anda di halaman 1dari 12

ANALISIS NOVEL CANTING

(KARYA ARSWENDO ATMOWILOTO)

Mata Kuliah:
Apresiasi Prosa Fiksi

Dosen Pengampu:
Muhammad Hafidz Assalam., S.S, M.A.

Disusun Oleh:
Rifky Alfarisyi Al-Ikhsan
Jesika Manalu
Luftia Alysa
Siti Zaleha
Fitri Salimah

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA


JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
MARET 2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa penyusun ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang
telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah
Tugas Analisis novel ini tepat pada waktunya.

Penyusun mengucapkan terima kasih kepada Bapak Muhammad Hafidz Assalam.,S.S,


M.A. selaku dosen pengampu mata kuliah Apresiasi Prosa Fiksi yang merupakan matakuliah
semester dua yang diselenggarakan di seluruh Program Studi Sastra Indonesia.

Karena sifatnya membantu, maka seyogyanya mahasiswa/i yang lain dapat melengkapi
makalah ini dengan bahan bacaan materi yang lain sehingga akan membantu dan memahami
materi yang sebelumnya telah disajikan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun
sangat kami nantikan. Semoga pembuatan makalah selanjutnya dapat lebih baik lagi.

Medan, Maret 2020

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................................2
BAB I..........................................................................................................................................................3
PENDAHULUAN......................................................................................................................................3
A. Latar Belakang..............................................................................................................................4
B. Unsur Instrinsik Karya.................................................................................................................4
G. Landasan Teori..........................................................................................................................7
BAB II........................................................................................................................................................9
PEMBAHASAN.........................................................................................................................................9
A. Sinopsis Novel Canting..................................................................................................................9
BAB III.....................................................................................................................................................10
PENUTUP................................................................................................................................................10
A. KESIMPULAN............................................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................................11
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sastra adalah pengungkapan masalah hidup, filsafat, dan ilmu jiwa. Sastra adalah
kekayaan rohani yang dapat memperkaya rohani. Sastrawan dapat dikatakan ilmu jiwa dan
filsafat yang mengungkapkan masalah hidup, kejiwaan, dan filsafat, bukan dengan teknis
akademis melainkan melaui tulisan sastra.
Novel Canting berisi tentang keluarga pengusaha batik yang membuka perusahaan batik
yang diberi nama “Canting”. Kemajuan yang sangat pesat dialami oleh perusahaan batik yang
didirikannya, hasil karya batik tulis cap Canting banyak digemari dan di kagumi oleh masyarakat
kota Solo maupun luar kota Solo. Teknologi semakin lama makin modern dan banyaknya
persaingan dari pengusaha lain. Kesuksesan batik canting lama kelamaan merosot. Selain itu
kekuatan Ibu Bei dalam mengurus batiknya dan mengurus kehidupan rumah tangganya semakin
lama semakin berkurang karena termakan usia. Canting produk mereka mulai mendapat saingan
berat dari perusahaan pabrik besar dan modern. Penjualan batik yang begitu sulit dan hasil yang
sangat kurang dan juga tidak ada satupun dari anak-anaknya yang mau meneruskan usaha batik
tersebut, dengan terpaksa Bu Bei menutup usaha batik cantingnya. Tetapi anak bungsu mereka
Subandini Dewa Putri merasa tergugah hatinya untuk mengambil alih usaha tersebut. Dia tidak
rela jika usaha keluarganya hancur begitu saja. Dia ingin membangkitkan kembali usaha
keluarganya namun terjadi perselisihan diantara mereka namun perselisihan tersebut dapat
diselesaikan oleh Raden Ngabehi.

B. Unsur Instrinsik Karya

 Tema : kehidupan keluarga besar priayi Jawa dengan persoalan-persoalan keluarga yang
begitu kompleks dan sikap hidup manusia dalam menghadapi kenyataan hidup dengan
zaman yang berubah-ubah.
 Tokoh dan Penokohan :
Raden Ngabehi
Pak Bei digambarkan sebagai sosok yang tampan, berhidung mancung, dan selalu
tampil gagah. Dengan pakaian Jawa sempurna, Pak Bei terlihat gagah dan tampan serta
ramah menerima tamu- tamu dengan berjabat tangan. Banyak tamu yang kagum dengan
penampilan Pak Bei yang terlihat gagah dan berwibawa.
Pak Bei digambarkan sebagai sosok yang bijaksana dan mempunyai prinsip. Ia mau
melakukan sesuatu karena mau dan karena itu harus dilakukan. Pak Bei mempunyai
pangkat tinggi dan berpengaruh di pemerintahan. Pak Bei mempunyai peranan yang
penting dalam pemerintahan, tetapi ia tidak mau menyalahgunakan kekuasaan yang
dimilikinya.
Pak Bei dilukiskan sebagai priayi yang mengabdi pada keraton. Ia adalah anak sulung
dari tiga bersaudara sehingga ia tinggal di Ndalem Ngabean Sestrokusuman. 
Tuginem
Bu Bei digambarkan sebagai wanita yang gesit, beralis tebal, dan berkulit kuning.
Wajah Bu Bei selalu tampak bercahaya, cahaya kebahagiaan. Selain itu, untuk usia 32
tahun, Bu Bei selalu menampakkan kegesitannya baik di rumah maupun di pasar. Untuk
usianya yang 32 tahun, Bu Bei masih menampakkan kegesitan yang luar biasa, dan yang
paling luar biasa adalah wajahnya yang selalu tampak bercahaya. Rasanya tak ada
masalah yang tak bisa dihadapi serta diselesaikan dengan baik dan memuaskan.
Bu Bei sangat patuh dan setia pada suaminya. Bu Bei selalu berusaha untuk
menyenangkan suaminya. Menyiapkan semua keperluan suaminya dan berusaha untuk
tidak membuat kesalahan. Bu Bei pun tahu apa yang tidak disukai oleh Pak Bei. Pernah
Pak Bei berangkat ke Yogyakarta, diantarkan oleh sopirnya. Bu Bei menyediakan segala
perlengkapan yang dibutuhkan.
Subandini Dewaputri Sestrokusuma
Ni suka berbicara sembrono dan senang bercanda. Selain itu, Ni juga merasa paling
dekat dan dapat terbuka dengan ayahnya. Akan tetapi, ketika telah berhadapan dengan
ayahnya, Ni tidak dapat berbicara apa-apa. Ia hanya dapat mengatakan iya, iya, dan iya
meskipun sebelumnya telah menyiapkan jawaban dan menghafalkannya, ia tetap tidak
dapat mengeluarkannya, keberaniannya hilang begitu saja. 
Tokoh Ni merupakan tokoh sentral. Dikatakan tokoh sentral karena tokoh Ni
merupakan tokoh yang menentukan gerak cerita selain tokoh Pak Bei. Sejak dalam
kandungan Ni sudah menjadi pusat cerita. Setelah Ni dewasa dan mengambil alih usaha
pembatikan keluarga, Ni juga menjadi pusat perputaran cerita.

C. Sudut Pandang
Sudut pandang yang digunakan pengarang dalam novel ini adalah sudut pandang orang
ketiga. Narator (pencerita) tidak terlibat langsung dalam peristiwa.
D. Latar
Tempat
Latar Tempat Latar tempat dalam novel Canting berada di kota Surakarta dan sekitarnya.
Latar tempat novel ini berpusat di Ndalem Ngabean Sestrokusuman. Adapun latar tempat
dalam novel Canting sebagai berikut.
1. Ndalem Ngabean Sestrokusuman. Ndalem Ngabean Sestrokusuman, yaitu rumah
kediaman Raden Ngabehi Sestrokusuma. Seluruh keluarga Pak Bei tinggal di rumah
ini. Selain itu, beberapa buruh batik serta anak mereka tinggal di kamar yang
berderet-deret di bagian belakang bangunan utama atau yang biasa disebut kebon.
2. Taman Ronggowarsito. Taman Ronggowarsito merupakan tempat pertemuan kerabat
keraton untuk membicarakan dan mengembangkan Kebudayaan Jawa. Pak Bei yang
mempelopori pertemuan di tepi Njurug. Tepi Bengawan Solo yang redup itu disulap
menjadi tempat pertemuan yang hidup. Pertemuan ini dilakukan setiap hari Jumat
Kliwon. “Marilah kita mengadakan secara sederhana. Saya mengusulkan agar kita
mengadakan pertemuan Jumat-Kliwonan di Taman Ronggowarsito di Njurug saja.
Lebih sederhana, di atas tikar. Kita bisa memberi bantuan kepada masyarakat kecil
sekeliling yang menjual teh, menjual makanan kecil, yang ngamen ….” Canting hal
19
3. Pasar Klewer. Pasar Klewer adalah tempat Bu Bei menjual batik cap Canting. Bu Bei
menjadi wanita karier di Pasar Klewer. “Pasar Klewer terletak di sebelah barat
Keraton Surakarta. Diperlukan waktu tidak lebih dari dua puluh menit untuk
mengitari dinding benteng Keraton yang luar biasa tebal dan melingkar. Di mulut
gerbang, membelok ke kiri-masih menelusuri pinggiran dinding benteng, sampailah
ke Pasar Klewer” Canting, Hal 39.
4. Latar tempat juga berada di Semarang dan Surabaya. Semarang merupakan tempat Ni
kuliah, sedangkan Surabaya merupakan tempat tinggal Wening Dewamurti dan
keluarganya.
E. Alur
a. Tahap Penyituasian Situation. Tahap ini dilukiskan keadaan Ndalem Ngabean
Sestrokusuman dengan 112 buruh batik yang bekerja di pembatikan cap Canting.
Dilukiskan pula kegiatan sehari-hari di Ndalem Ngabean Sestrokusuman. Selain itu,
dilukiskan pula sosok Pak Bei dan Bu Bei secara fisiologis. “Tak pernah halaman
samping pendapa yang begitu luas sunyi dari anak-anak kecil bermain atau bunyi sapu
lidi membersihkan. Tak pernah bagian gandhok, di samping ruang utama yang membujur
ke belakang jauh sekali, begitu kosong dari tarikan napas. Di gandhok itu, biasanya ada
112 buruh batik, sepuluh di antaranya tukang cap, yang bekerja sejak pagi hari sampai
sore hari. Diseling istirahat yang tak lama, lalu dilanjutkan sekitar separonya yang
bekerja lembur” Canting, hal 5.
b. Tahap Pemunculan Konflik Generating Circumstances. Pemunculan konflik terlihat
ketika Bu Bei mengandung. Masalahnya bukan sekadar perbedaan usia dengan Wening
Dewamurti yang selama ini dianggap si bungsu karena sudah berusia sebelas tahun, tetapi
lebih daripada itu. Kandungan Bu Bei diragukan oleh Pak Bei sebagai buah benihnya.
Tak ada pembicaraan apa-apa di antara 112 buruh batik dengan anak- anaknya. Dengan
mereka sendiri. Tapi rasanya semua mengetahui ada sesuatu yang sangat tidak enak.
Mereka bisa dengan mudah menduga ketika Bu Bei seminggu belakangan ini
mengatakan masuk angin dan muntah-muntah. Dan kemudian terdengar pula bahwa
secara resmi Bu Bei mengandung lagi. Masalahnya bukan sekadar perbedaan usia dengan
Wening Dewamurti yang selama ini dianggap si bungsu karena sudah berusia sebelas
tahun, tetapi lebih daripada itu. Lebih daripada itu yang berarti “Pak Bei kurang enak
badan” Canting, hal 7. Baru kemudian Pak Bei berdehem kecil. “Saya tidak bisa bicara
sekarang ini. Mengenai anak yang kamu kandung, saya tak tahu. Kalau nanti besarnya
jadi buruh batik, ia memang anak buruh batik. Memang darah buruh batik yang mengalir,
bukan darah Sestrokusuman” Canting, hal 10. Alur berjalan maju, dilukiskan kegiatan
Pak Bei setiap malam Jumat Kliwon yang melakukan pertemuan dengan kerabat keraton.
Kemudian alur berjalan mundur, Pak Bei ingat masa lalunya ketika masih kecil yang
sedang bermain dengan teman-temannya. Kemudian alur berjalan normal, dilukiskan
aktivitas Bu Bei sehari-hari, di rumah ataupun di pasar. Setelah itu, alur berjalan mundur,
dilukiskan pernikahan Pak Bei dengan Bu Bei serta ketika anak pertamanya lahir. Alur
semakin berjalan mundur, semakin menampakkan masa lalu Bu Bei ketika masih
berumur 14 tahun dan berlanjut masa lahirnya anak pertama sampai kelima. Alur berjalan
maju, dilukiskan anak keenam lahir. Bayi yang diragukan oleh Pak Bei sebagai darah
keturunannya lahir dengan keadaan fisik yang berbeda dengan anak-anak Pak Bei yang
lain. Pak Bei juga tidak menyiapkan nama seperti lima anaknya yang dulu. Bayi dengan
pipi tembam, tidak mempunyai rambut, dan menangis keras sekali seolah memecahkan
ruangan, tendangannya sangat kuat. Bayi yang hitam, kurus, dan tampak sangat panjang
kakinya. Canting, hal 86
c. Tahap Penanjakan Konflik Rising Action. Tahap penanjakan konflik terlihat ketika Ni
telah dewasa. Ni merasa terpanggil untuk melanjutkan usaha pembatikan ibunya.
Keinginan Ni ini muncul setelah mendengar usulan dari saudara-saudaranya yang
berkeinginan meminta Bu Bei untuk tidak mengurusi pembatikan lagi. Keinginan Ni ini
disampaikan pada acara ulang tahun Pak Bei yang ke-64. Padahal Ni sudah
merencanakan. Sejak pertama kali mendengar gagasan bahwa Bu Bei diminta untuk tidak
mengurusi pembatikan lagi, Ni merasa terpanggil untuk bertindak. Mengambil alih
perusahaan batik Canting, hal 199. Bagaikan tertusuk telak di jantungnya ketika Bu Bei
mendengar perkataan Ni yang ingin menjadi juragan batik dan meneruskan usaha
pembatikan keluarga. Dulu Pak Bei pernah menyangsikan akan darah yang mengalir di
tubuh Ni. Kini setelah dewasa, Ni malah berkeinginan menjadi juragan batik. “Saya ingin
tinggal di sini, Rama. Di rumah ini.” “Tentu saja boleh. Rumah ini juga rumahmu. Tapi
apa rencanamu?” “Saya ingin jadi juragan batik, Rama.” … Jadi juragan batik? Tidak
adakah yang lebih mengerikan daripada keinginan menjadi juragan batik? Kalau telinga
yang lain hanya menangkap sesuatu yang aneh dan ganjil, Bu Bei merasa seperti tertusuk
telak di jantung hatinya. Ketakutan lama tiba-tiba mengembang kembali. Sesuatu yang
paling tidak ingin didengar. Ni berurusan dengan batik. Neraka yang paling buruk bisa
terjadi Pak Bei dulu pernah menyangsikan apakah Ni putri kandungnya atau bukan. Ada
semacam keraguan. Dan Pak Bei mengatakan kalau Ni jadi pembatik, itu berarti ia
berasal dari darah pembatik. Dari buruh batik Canting, hal 197-198.
d. Tahap Klimaks. Tahap ini dilukiskan dengan meninggalnya Bu Bei. Tidak lama setelah
mendengar perkataan Ni yang berkeinginan melanjutkan usaha pembatikan keluarga, Bu
Bei jatuh pingsan. Wahyu, Bayu, dan istrinya memeriksa Bu Bei dan memberikan
kesimpulan yang sama, yaitu Bu Bei harus mendapatkan perawatan khusus. Oleh karena
itu, malam itu juga Bu Bei dibawa ke rumah sakit. Namun akhirnya, nyawa Bu Bei tidak
tertolong lagi.
F. Amanat
Amanat yang terdapat pada novel ini bahwa kita jangan pernah takut untuk bersaing
dengan orang-orang. Dan juga, dari sini kita juga dapat mengambil pelajaran jika kita
harus pintar beradaptasi dengan zaman, karena zaman semakin lama semakin berbeda.

G. Landasan Teori
 Antropologi Sastra
Konsep antropologi sastra dapat dirunut dari kata antropologi dan sastra. Kedua ilmu itu
memiliki makna tersendiri. Masing-masing sebenarnya merupakan sebuah disiplin keilmuan
humanistis. Yang menjadi bahan penelitian antropologi sastra adalah sikap dan perilaku manusia
lewat fakta-fakta sastra dan budaya. Terlebih lagi jika pembaca mendalami sastra ajaran (niti),
tentu dapat menyelami budayanya. Membatasi sastra memang tidak mudah. Pandangan klasik
memang selalu mengajak agar pembaca mendefinisikan sastra sebagai ekspresi ajaran budaya
leluhur. Definisi klasik ini rasanya memang perlu dipugar, dilakukan redefinisi.
Antropologi adalah penelitian terhadap manusia (Keesing, 1999:2). Yang dimaksud dengan
manusia adalah sikap dan perilakunya. Menurut Haviland (1984:7) antropologi adalah penelitian
tentang umat manusia yang berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat bagi manusia
untuk menuntun perilaku dan untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang
keanekaragaman budaya. Pendapat ini memang masih tergolong klasik sebab awalnya
antropologi memang sering membuat generalisasi.
Antropologi sastra berupaya meneliti sikap dan perilaku yang muncul sebagai budaya dalam
karya sastra. Manusia sering bersikap dan bertindak dengan tata krama. Tata krama memuat tata
susila dan unggah-ungguh bahasa yang menjadi ciri sebuah peradaban. Sastra sering
menyuarakan tata krama dalam interaksi budaya satu sama lain yang penuh simbol. Dalam
konteks antropologi sastra, sastra adalah karya yang merefleksikan budaya tertentu. Secara
umum, antropologi diartikan sebagai suatu pengetahuan atau penelitian terhadap sikap dan
perilaku manusia.
Sebagai ilmu, antropologi jelas sudah tua umurnya. Antropologi yang bercirikan meneliti
bangsa primitif kini telah berubah. Antropologi pun belakangan tidak hanya mempelajari
manusia secara nyata, tetapi juga membaca sastra. Sastra adalah karya tentang sikap dan perilaku
manusia secara simbolis. Sastra dan antropologi selalu dekat. Keduanya dapat bersimbiosis
dalam mempelajari manusia lewat ekspresi budaya. Sastra banyak menyajikan fakta-fakta
imajinatif. Antropologi yang bergerak dalam fakta imajinatif dapat disebut antropologi sastra.
Interdisiplin ini memang tidak dikenal di Jurusan Antropologi, tetapi mewarnai penelitian di
Jurusan Sastra.
Konsep penting antropologi sastra adalah seperti yang dinyatakan Benson (1993:250) tentang
anthropological poetry, artinya wawasan antropologis terhadap cipta puisi. Biarpun dia belum
menyebutkan istilah antropologi sastra, melainkan istilah antropologi puisi, jelas cukup beralasan
kalau ilmu itu dipelajari lewat antropologi sastra. Antropologi sastra tampaknya merupakan
pengembangan anthropology experience yang digagas Turner dan Bruner (Benson, 1993:46).
Pandangan ini tampaknya terusik oleh gagasan etnografi fiksi yang berkembang di era
posmodernisme. Jagat posmodernisme sastra dan antropologi telah berlari jauh ke depan. Sastra
bukan hanya sebuah artefak yang penuh estetika, melainkan juga memuat sebuah budaya yang
berisi etika.
Antropologi sastra dalam pandangan Poyatos (1988:331-335) adalah ilmu yang mempelajari
sastra berdasarkan penelitian antarbudaya. Penelitian budaya dalam sastra tentu diyakini sebagai
sebuah refleksi kehidupan. Memang harus diakui bahwa penelitian yang dimaksud itu sering
berkembang pesat menjadi tiga arah, yaitu (1) penelitian terhadap budaya sastrawan yang disebut
antropologi pengarang, ditelaah sisi antropologisnya dengan mewawancarai dan mengamati
kehidupan budaya pengarang; (2) penelitian teks sastra yang meneliti refleksi sastra sebagai
pantulan budaya; (3) penelitian terhadap antropologi pembaca yang secara reseptif memiliki
andil penting dalam pemaknaan sastra.
 Hubungan Sastra dengan Antropologi
Ada beberapa alasan penting yang menyebabkan kedekatan antara antropologi dan sastra,
yaitu (1) keduanya sama-sama memperhatikan aspek manusia dengan seluruh perilakunya; (2)
manusia adalah makhluk yang berbudaya, memiliki daya cipta rasa kritis untuk mengubah
hidupnya; (3) antropologi dan sastra tidak alergi pada fenomena imajinatif kehidupan manusia
yang sering lebih indah dari warna aslinya; (4) banyak wacana lisan dan sastra lisan yang
menarik minat para antropolog dan ahli sastra; (5) banyak interdisiplin yang mengitari bidang
sastra dan budaya hingga menantang munculnya antropologi sastra. Lima alasan utama ini
menandai bahwa adat istiadat, tradisi, seremonial, mitos, dan sejenisnya banyak menarik
perhatian sastrawan.
Banyak hal yang sebenarnya realitas, tetapi dipoles dengan imajinatif. Maksudnya, antropolog
ini banyak menulis etnografi yang mirip karya sastra. Begitu pula kalau membaca sastra-sastra
etnis, di dalamnya banyak ditawarkan warna lokal. Banyak warna budaya yang menjadi wilayah
penggarapan proses kreatif sastra. Itulah sebabnya, kalau kita mau merenungkan, tampak bahwa
antropologi dan sastra itu batasnya amat tipis.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sinopsis Novel Canting


Raden Ngabei Sastrokumo merupakan seorang pengusaha batik tulis yang terkenal terutama
di kota Solo. Kota Solo memang merupakan kota yang terkenal dengan batiknya. Raden Ngabei
Sestrokusumo adalah seorang keturunan keraton, kaya serta dihormati dan disegani oleh semua
orang. Dia jatuh cinta pada salah satu buruh pabriknya yang bernama Tuginem. Karena status
ekonomi dan sosial yang berbeda, hubungan Raden Ngabei dan Tuginem tidak direstui keluarga
besar Raden Ngabei Sestrokusumo. Dia sangat mencintai Tuginem. Meskipun tanpa persetujuan
keluarga, kehidupan rumah tangga Raden Ngabei dan Tuginem sangat harmonis, rukun,
bahagian dan dikaruniai enam anak. Karena dilahirkan di keluarga pengusaha batik dan
pengalaman Tuginem yang didapatnya saat ia masih menjadi buruh di perusahaan batik,
akhirnya mereka membuka usaha sendiri batik tulis yang diberi nama “Canting” setelah menikah
dengan Raden Ngabei, Tuginem dipanggil dengan nama ibu Bei.
Usaha canting yang didirikan ternyata mengalami kemajuan yang pesat, hasil karya batik
tulisnya banyak digemari dan di kagumi oleh masyarakat kota Solo bahkan luar kota Solo. Ibu
Bei dibantu oleh beberapa karyawan yang dapat dipercaya. Oleh Raden Ngabei dan Tuginem
batik canting yang diproduksi dari perusahaan mereka dipasarkan di pasar Klewer dan dengan
anak buahnya sendiri Bu Bei mengelola atau menekuni langsung usaha mereka. Walaupun Bu
Bei adalah seorang wanita karier, ia tidak melupakan kewajibannya sebagai ibu rumah tangga.
Di rumah Bu Bei melayani suaminya dengan penuh cinta dan kasih sayang. Membuatkan kopi,
menyiapkan air hangat untuk mandi, menyiapkan makanan, setiap hari itulah tugas Bu Bei dalam
melayani suaminya setiap hari. Keenam anaknya juga tumbuh menjadi anak yang
membanggakan. Dengan usahanya itu Bu Bei dapat menyekolahkan anak-anaknya dengan baik.
Anak yang sulung Wahyu Dewabrata menjadi dokter, Lintang Dewanti menjadi istri Kolonel,
Bayu Dewasunu menjadi dokter gigi, Ismaya Dewakusuma menjadi Insinyur, Wening
Dewamurti menjadi dokter yang kemudian menjadi kontraktor yang sukses, serta si bungsu
Subandini Dewa Putri menjadi Sarjana Farmasi. Teknologi semakin lama makin modern dan
banyaknya persaingan dari pengusaha lain. Kesuksesan batik canting lama kelamaan merosot.
Selain itu kekuatan Ibu Bei dalam mengurus batiknya dan mengurus kehidupan rumah tangganya
semakin lama semakin berkurang karena termakan usia. Canting produk mereka mulai mendapat
saingan berat dari perusahaan pabrik besar dan modern. Penjualan batik yang begitu sulit dan
hasil yang sangat kurang dan juga tidak ada satupun dari anak-anaknya yang mau meneruskan
usaha batik tersebut, dengan terpaksa Bu Bei menutup usaha batik cantingnya. Tetapi anak
bungsu mereka Subandini Dewa Putri merasa tergugah hatinya untuk mengambil alih usaha
tersebut. Dia tidak rela jika usaha keluarganya hancur begitu saja. Dia ingin membangkitkan
kembali usaha keluarganya namun terjadi perselisihan diantara mereka namun perselisihan
tersebut dapat diselesaikan oleh Raden Ngabei. Tidak lama kemudian Bu Bei meninggal.

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Muatan filosofi yang kuat yang terkandung didalam novel ini. Penggambaran masing-masing
tokoh dengan sifat baik dan buruknya, membuat novel ini sangat humanis, manusiawi.
Didalamnya dikisahkan jika batik semakin lama berkembang, baik itu secara tahap pembuatan,
atau lainnya.
DAFTAR PUSTAKA

Atmowiloto, Arswendo. (1986) Canting. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Anda mungkin juga menyukai