Anda di halaman 1dari 5

LELAH MENGADU

Kepada siapa aku mengadu..


Melihatmu merampas lembaran hidup, katamu..
Melihatmu menenteng koper bertuliskan penguasa
Perih tak menentu di hati ini
Padahal langit kita sama..

Tak ada yang lebih hebat dan kuat


Tapi..kekuasaan menjadi senjata ampuhmu!
Sangar bengismu tak lebih dari sebuah pancingan
Yang bertahta atas dukungan palsu.
Murkamu menandingi skenario Pilatus!
Air tangannya kau simpan, bahwa kau ikut munafik..
Entah dunia sudah lelah menegurmu
Kau tetap saja jatuh

Aku Mohon

Memanggil namamu
Tak kudengar suaramu
Lembayung nafas cintamu
Tak terpatri dalam jiwaku
Mengalun sendu pilu
Meneriaki dengan pelan: ya sudahlah

Tinta kesabaranku telah habis


Tak berbekas dalam lembaran asa
Terurai menorah duka
Usangnya jiwaku turut mendukung

Pun telaga harapan jadi kering


Ditimba emosi egoisme
Nadir terbang dibawa angin
Tak kuasa aku menahannnya
Tak kuat aku mengenggamnya
(sembari hati memohon)

Sempat Berlari

Berlari
Mengangkat muka menatap asa
Menyernitkan dahi tanda tak siap
Tegang berusaha tergaris sudah
Mengucuri wajah elok
Dalam sebuah harapan

Berlari.
Tapak-tapak tak berbentuk cepat
Menyisahkan naluri bertahan
Tegar kuat mendaki
Saat tak mampu lagi

Berlari
Kian beringas mencari takdir
Untaian nafsu bertaburan
Menginjakmengisi pelan penuh tanya
Inikah arti hidup??
Dimakan gelora nafsu yang kian kilat

Rasa Tidur

Terus merayu mata yang sudah lemah


Yang menutup kelopak
Seiring berpindah alam
Meretas bangkit dan bangun

Membakar kemelut hati


Bertahan namun tak sanngup
Terjerat godaannya yang selalu membelai
Membawa jiwa ke alam sana

Untuk Tetap Hidup

Mengejar tujuan jauh disana


Menunggu kami tetap tiba dan sampai
Beragam jiwa melantunkan nada
Gembira bahwa kami pun bisa

Bentara hidup kian terasa


Mengalun begitu cepat yang merekah
Pun membahana dalam syair ria
Melawan nikmat yang hanya sesaat ada

Inilah kami..tetap berdiri di dalam


Bersembunyi namun tetap dihormati
Terlepas dan dicintai dunia!

Duka di Ufuk Senja

Terkenang pada masa lampau


Hidup yang tampak galau
Yang sempat layu
Dosa insan yang bau
Kau didera tuk menghalau
Palang hina tempatmu

Arek-arek itu mengelilingi-Nya


Menuntun berdandankan kebejatan
Kelaliman mengitarinya dengan mesra
Saat dunia ingin menangis peluh
Teriring kembang flamboyan pun gugur
Derai mata yang tak malu datang
Menatap tubuh rapuh dibalut selempengan kotoran
Melepuh di sekujur tubuh
Terpampang kisah penuh pilu
Tragis memang
Melalang duka kian kuat
Pun mulut tak berhenti berucap
Salibkan Dia Salibkan Dia!!
Mengantar amukan dunia yang penuh makian

Kerikil tajam menjadi saksi tanya


Cadas pun ikut bergeming
Tak perlu hidup yang baik
Raja siang tak lagi kuat bersinar
Ingin menyembah-Nya pula
Dihadapan singgasana duka

Golgota
Ronamu berbekas merah kemilauan
Bercampur dengan debu mengepul
Meletup meracik nada emosi
Berbekas pada tapak-tapak bengis
Melantunkan pada puncak nyanyian dosa
Memeluk tubuh bersimbah darah mendidih
Mengelas niat yang tak luntur
Yang menjerit atas kelaliman penguasa
Tertetak pada bulu paku yang enggan bercerita

Bilur pun mulai merengek


Menuntut perak itu
Naif tirai kepalsuan yang terbuka
Serak suara menggoda tawa..
Membingkis cemoohan..
Terpekur dalam ketakberdayaan

Saat awan kumulus mengawal pergi


Lolongan bertaubat benci pun bersahut-sahut
Saat raga lemah tak kuat melawan
Saat perih mulai menangis
Dengan hati tersayat teriris
Pada jiwa yang berlagak sadis
Bermuka iblis
Riuh pun tak mau menepi
Pada tempat yang sepi
Muslihat datang menanti
Untuk sebuah kematian suri
Meski sang waktu tak mau berhenti
Yang terurai pada bayang semu..

Bergurau pada cinta lama yang pernah pudar


Bertahan dalam kubangan olokan
Dijarah oleh maut
Terekam jejak pahit yang tak mau hilang
Basi menghimpit bumi
Menelanjang rupa-Mu
Melucuti cinta-Mu
Didekap perak berumur muda
Bukan sekedar mengemis cinta
Bukan menggenggam mawar pada seutas harapan
Yang enggan bertanya ..
Cinta yang bersemi, bermekaran
Menetas kesejukan berirama kasih
Mengisi kekeringan dengan air suka
Mengalun syahdu
Tuk tebus yang tak tahu diri
Cinta tak seperti embun yang melekat pada dinding jendela
Yang menguap terkena bias mentari
Palang hina tertancap sudah
Menjulang nyata atas bukit kala
Memberi aura simfoni pada pelupuk senja
Seraya merekah pada Kuasa-Nya
Terbingkai dalam memori CINTA
CamkanlahIngatlahTentang AKU!

Dia Ada

Tuhan
Sudikah engkau mengecup keningku
Saat aku masih punya setitik keringat
Biar kutahu Engkau masih mencintaiku

Debu yang Berbicara

Dari debu yang melekat ini..


Sudah kotor tubuhkumenjijikkan!
Meramu senyum benci yang ikut tertawa
Mencampakkan raga layu ini
Dari debu yang melekat ini
Yang kau taburkan dengan mesra
Mengatakan aku layak mati
Yang kau berikan dengan cuma-cuma
Meski aku menolaknya

Dari debu yang melekat ini


Mengawali terakan hidup
Menemani lolongan yang merayap jauh
Mengintip diriku yang berharap kaku
Jangan memangsaku lagi!!

Dari debu yang melekat ini..


Melihatmu puas ratapanku kini
Ranyum membusuk hatimu yang kulihat
Akhiri hidupku saja!!

Anda mungkin juga menyukai