Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENGAYAAN

MODUL 3
SISTEM REPORODUKSI

Disusun Oleh :
Kelompok 4A
Tutor : dr. Dwi Anggita, M. Kes
Elsha Tiskya Azhary 110 2018 0011
Annisa Tri Srilistiany 110 2018 0002
Muh Fikri Alhas 110 2018 0010
Annisa Nur Azhari Hidayati Bujan 110 2018 0044
Qurniawati 110 2018 0056
Andi Mappangara 110 2018 0058
A. Muh Risal 110 2018 0107
Nur Aritzah 110 2018 0059
Nadila Ardyani Nahardi 110 2018 0035
Dina Astarifa 110 2018 0004
Resti 110 2018 0006
Ulfa Namirah 110 2018 0040

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2019
Pertanyaan
1. Jelaskan Fungsi komponen sistem reproduksi Pria
2. Jelaskan tahap-tahap proses Spermatogenesis (pembentukan Sperma)
(Bisa Dalam Bentuk Video / Skema)
3. Sebutkan faktor-faktor hormonal yang merangsang spermatogenesis
4. Jelaskan Fungsi komponen Sistem reproduksi Wanita
5. Jelaskan tahap-tahap proses Oogenesis (Bisa Dalam Bentuk Skema /
Video)
6. Jelaskan tahap-tahap siklus Ovarium
7. Jelaskan tahap-tahap Siklus Uterus
8. Jelasakan proses terjadinya siklus Menstruasi
9. Jelaskan Fisiologi Kehamilan
10. Jelaskan apa terjadi pada perubahan proses menoupause
11. Jelaskan yang terjadi pada proses fertilisasi (pembuahan)
1. Fungsi Komponen Sistem Reproduksi Pria
 Testis
-Mengeluarkan sperma oleh tubulus seminiferous
-Mengeluarkan hormon testosteron oleh sel leydig
 Epididimis
-Tempat keluar sperma dari testis

-Tempat pematangan motilitas dan fertilitas sperma

-Memekatkan dan menyimpan sperma

 Vesikula Seminalis

-Menghasilkan fruktosa untuk nutrisi sperma

-Mengeluarkan prostaglandin yang merangsang motilitas saluran


reproduksi pria wanita untuk membantu menyalurkan sperma

-Menghasilkan sebagian besar cairan semen

-Menyediakan prekursor untuk pembekuan semen

 Kelenjar prostat

-Mengeluarkan cairan basa yang menetralkan sekresi vagina yang


asam

-Memicu pembekuan semen untuk menjaga sperma tetap berada


didalam vagina saat penis dikeluarkan

 Kelenjar bulbouretra

-Mengeluarkan mukus untuk lubrikasi saat bersenggama

(Sherwood, lauralee. Fisiologi Manusia dari sel ke sistem. Edisi 8. Jakarta. EGC.
hal 782-791)
2. Siklus Spermatogenesis

Di dalam testis terkemas sekitar 250 m (800 kaki) tubulus seminiferous


penghasil sperma. Di tubulus ini terdapat dua jenis sel yang secara fungsional
penting; sel germinativum, yang sebagian besar berada dalam tahap pembentukan
sperma, dan sel sertoli yang memberi dukungan krusial bagi spermatogenesis.
Spermatogenesis adalah suatu proses kompleks ketika sel germinativum
primordial yang relative belum diferensiasi, spermatogenesis (masing-masing
mengandung komplemen 46 kromosom), berproliferasi dan diubah menjadi
spermatozoa yang sangat khusus dan motil (sperma), masing-masing mengandung
set haploid 23 kromosom yang diterima secara acak.

Pemeriksaan mikroskopik tubulus seminiferous memperlihatkan lapisan-


lapisan sel germinativum dalam suatu progresi anatomic pembentuk sperma,
dimulai dari yang paling kurang berdiferensiasi di lapisan luar dan bergerak
masuk melalui berbagai tahap pembelahan ke lumen, tempat sperma yang sangat
berdiferensiasi siap untuk keluar dari testis. Spermatogenesis memerlukan waktu
64 hari untuk pembentukan dari spermatogonium menjadi sperma matang. Setiap
saat terdapat berbagai tahapan spermatogenesis pada tubulus seminiferous yang
berbeda. Setiap hari dapat dihasilkan beberapa ratus juta sperma matang.
Spermatogenesis mencakup tiga tahap utama; proliferasi mitotic, meiosis, dan
pengemasan.

Spermatogenesis yang terletak dilapisan luar tubulis akan terus menerus


bermitosis, dengan semua sel baru yang mengandung komplemen lengkap 46
kromosom identic dengan sel induk. Proliferasi ini menghasilkan pasokan sel
germinativum baru yang terus-menerus. Setelah pembelahan miotik sebuah
spermatogonium, salah satu sel anak tetap ditepi luar tubulus sebagai
spermatogonium tak-berdiferensiasi, sehingga turunan sel germinativum tetap
terpelihara. Sel anak yang lain mulai bergerak kea rah lumen sambil menjalani
berbagai tahap yang dibutuhkan untuk membentuk sperma, yang kemudian akan
dibebaskan ke dalam lumen. Pada manusia, se; anak penghasil sperma membelah
secara miotik dua kali lagi untuk menghasilkan empat spermatosit primer identic.
Setelah pembelahan mitotic terakhir, spermatosit primer masuk ke fase istirahat
ketika kromosm-kromosom terduplikasi dan untai-untai rangkap tersebut tetap
menyatu sebagai persiapan pembelahan meiosis pertama.

Selama meiosis, setiap spermatosit primer membentuk dua spermatisid


sekunder akibat pembelahan meiosis kedua. Setelah tahap spermatogenesis ini
tidak terjadi pembelahan lebih lanjut. Setiap spermatid mengalami remodeling
menjadi spematozo. Karena setiap spermatogonium secara miotis menghasilkan
empat spermatosit primer dan setiap spermatid primer menghasillkan empat
spermatid, rangkaian spermatogenik pada manusia secara teoritis menghasilkan 26
spermatozoa setiap kali spermatogonium memlai proses ini. Namun, biasanya
sebagian sel lenyap di berbagai tahap seingga efisiensi produk jarang setinggi ini.

(Sherwood,lauralee. 2014. Fisiologi manusia dari sel ke sistem Edisi 8.


Jakarta:EGC)
3. Faktor-Faktor Hormonal Yang Mempengaruhi Spermatogenesis

Testis dikontrol oleh dua hormon gonadotropik yang dikeluarkan oleh


hipoffsis anrerior, luteinizing hormone (LH) dan folicel stimulating hormone (F
SH), yan g dinamai berdasarkan fungsinya pada wanita. LH dan FSH bekerja pada
komponen-komponen testis yang berbeda. LH bekerja pada sel Leydig
(interstisial) untuk mengarur sekresi testosteron sehingga nama alternatifnya pada
pria adalah interstitial cell-stimulating hormone (ICSH).
FSH bekerja pada tubulus seminiferus, khususnya sel Sertoli, untuk
meningkatkan spermatogenesis. (Tidak ada nama alrernatif untuk FSH pada pria).
Sekresi LH dan FSH dari hipofisis anterior dirangsang oleh satu hormon
hipotalamus, gonadonopin-releasing hormone (GnRH). Meskipun GnRH
merangsang sekresi LH dan FSH namun konsentrasi kedua hormon gonadotropin
ini dalam darah tidak selalu paralel satu sama lain karena terdapat dua faktor
regulatorik lain di Iuar GnRH -testlst€ron dan inhibin mempengaruhi secara
berbeda laju sekresi LH dan FSH. Testosteron, produk stimulasi LH pada sei
Leydig, bekerja secara umpan balik negatif untuk menghambat sekresi LH melalui
dua jalan.
Efek umpan balik negatif predominan testosteron adalah mengurangi
pelepasan GnRH dengan bekerja pada hipotalamus sehingga secara tak langsung
mengurangi pengeluaran FSH dan LH oleh hipofisis anterior. Selain itu,
testosteron bekerja secara langsung pada hipofisis anterior untuk menurunkan
responsivitas sel sekretorik LH terhadap GnRH. Efek yang terakhir ini
menjelaskan mengapa efek inhibisi restosteron terhadap sekresi LH lebih besar
daripada terhadap sekresi FSH.
Sinyal inhibisi dari testis yang secara spesifik ditujukan untuk mengontrol
sekresi FSH adalah hormon peptida inhibin, yang dikeluarkan oleh sel Sertoli.
Inhibin b&er|" secara langsung pada hipofisis anterior untuk menghambat sekresi
FSH. Inhibisi umpan balik FSH oleh produk sel Sertoli ini merupakan hal yang
sesuai karena FSH merangsang spermarogenesis dengan bekerja pada sel Sertoli.
Baik testosteron maupun FSH berperan penting dalam mengontrol
spermarogenesis, masing-masing menimbulkan efek dengan bekerja pada sei
Sertoli. Testosteron esensial bagi mitosis dan meiosis sel-sel germinativum
sementara FSH diperlukan untuk remodeling spermatid Konsenrrasi testosteron
jauh lebih tinggi di testis daripada di darah karena cukup banyak dari hormon
yang diproduksi lokal oleh sel Sertoli ini ditahan di dalam cairan intratubulus
dalam bentuk kompleks dengan protein pengikat androgen yang dikeluarkan oleh
sel Sertoli. Hanya dengan konsentrasi testosteron testis yang tinggi ini produksi
sperma dapat dipertahankan.
Fungsi dari sel Sertoli adalah sebagai berikut :
1. Taut erar antara sel-sel Sertoli yang berdekatan membentuk sawar darah-
testis yang mencegah bahan-bahan di dalam darah melewati celah antarsel
untuk masuk ke lumen tubulus seminiferus. Berkat sawar ini maka hanya
molekul tertentu yang dapat melewati sel Sertoli dan mencapai cairan
intratubulus. Karena itu, komposisi cairan intratubulus cukup berbeda dari
komposisi darah. Komposisi unik cairan yang membasahi sel-sel
germinatimm ini sangat penting b"gt tahap-tahap akhir pembentukan
sperma. Sawar darah-tesris juga mencegah sel penghasil antibodi di CES
mencapai pabrik sperma di tubulus ini sehingga tidak terbentuk antibodi
terhadap spermatozoa.
2. Karena sel-sel sperma tidak memiliki akses langsung ke nutrien-nutrien
dalam darah maka sel Sertoli-lah yang memberi mereka nutrien.
3. Sel Sertoli memiliki fungsi fagositik yang pendng. Sel ini menelan
sitoplasma yang dikeluarkan dari spermatid selama proses remodeling, dan
menghancurkan sel germinativum cacat yang gagal menyelesaikan semua
tahap spermatogenesis.
4. Sel Sertoli mengeluarkan cairan tubulus seminiferus ke dalam lumen, yang
"menggelontor" sperma dari tubulus ke dalam epididimis untuk disimpan
dan diproses lebih Ianjut.
5. Salah satu komponen penting sekresi sel Sertoli adalah protein pengikat
androgen. Seperti yang diisyaratkan oleh namanya, protein ini mengikat
androgen (yaitu, testosteron) sehingga kadar hormon ini di dalam lumen
tubulus seminiferus tetap tinggi..Konsentrasi testosreron di dalam cairan
tubulus seminiferus adalah 100 kali dibandingkan konsentrasinya di darah.
Konsentrasi testosteron lokal yang tinggi ini esensial unruk
mempertahankan produksi sperma. Protein pengikat androgen diperlukan
untuk menahan restosteron dalam lumen, karena hormon steroid ini larut
lemak dan dapat dengan mudah berdifusi menembus membran plasma dan
meninggalkan lumen.
6. Sel Sertoli adalah tempat kerja untuk kontrol spermatogenesis oleh
testosteron dan FSH. Sel Sertoli itu sendiri mengeluarkan hormon lain,
inhibin, yang bekerja secara umpan balik negatif untuk mengatur sekresi .
(Sherwood. Lauralee. 2014. Fisiologi dari sel ke sistem.Edisi 6. Jakarta. EG)
4. Fungsi komponen sistem reproduksi wanita

Ovarium melakukan fungsi ganda yaitu menghasilkan ovum (oogenesis)


dan mengeluarkan hormon seks wanita , esterogen dan progesteron hormon-
hormon ini bekerja sama untuk mendorong fertilasi ovum dan memperlancarkan
sistem reproduksi wanita untuk kehamilan . esterogen pada wanita berperan dalam
pematangan dan pemeliharaan keseluruhan sistem reproduksi warna dan
membentuk kontraktil sekunder seks wanita. Kerja esterogen penting pada proses-
proses prokosepsi . esterogen bagi pematangan dan pelepasan ovum terdapat
sperma dari vagina ke tempat pembuahan ovum . selain itu, berperan dalam
perkembangan payudara untuk persiapan menyususi. Progesteron hormon
kehamilan penting dalam mempersiapkan lingkungan yang sesuai untuk
memelihara embrio dan kemudian janin serta berperan dalam kemampuan
payudara untu menyusui.

(Sherwood. Lauralee. 2014. Fisiologi dari sel ke sistem.Edisi 6. Jakarta. EGC)

5. Proses Oogenesis
Seperti halnya pembentukan empat spermatid haploid oleh setiap
spermatosit primer, setiap oosit primer (jika badan polar pertama tidak mengalami
degenerasi sebelum menuntaskan pembelahan meiotik keduanya) juga
menghasilkan empat sel anak haploid. Dalam oogenesis, dari keempat sel anak
hanyasatu yang ditakdirkan menjadi or'um yang menerima sitoplasma.

Distribusi sitoplasma yang ddak merata ini penting karena ovum, selain
menyumbang separuh gen, juga menyediakan semua komponen sitoplasma yang
dibutuhkan untuk menunjang perkembangan awal ovum yang telah dibuahi.
Ovum yang besar dan relatif belum berdiferensiasi ini mengandung banyak
nutrien, organel, serta protein struktural dan enzimatik.

Ketiga sel anak lainnya yang kekurangan sitoplasma, atau badan polar,
cepat berdegenerasi dan kromosomnya menjadi tersia-siakan. Perkembangan
oogonia (terdapat sebelum lahir) menjadi ovum matang memerlukan wakru antara
11 tahun (permulaan ovulasi pada awal pubenas) hingga 50 tahun (akhir omlasi
pada permulaan menopause). Panjang sebenarnya dari tahap-tahap aktif meiosis
pada pria dan wanita sama, tetapi pada wanita sel telur mengalami penghentian
meiotik untuk waktu yang berbeda-beda.

(Sherwood. Lauralee. 2014. Fisiologi dari sel ke sistem. Edisi 6. Jakarta. EGC)

6. Siklus Ovarium

Siklus Ovarium terdiri dari (3) tahapan yaitu :

1. Fase Follikuler
Pada awal siklus, kadar FSH dan LH relatif tinggi dan hormon ini
akan merangsang pertumbuhan 10–20 folikel namun hanya 1 folikel yang
‘dominan’ yang menjadi matang dan sisanya akan mengalami atresia.
Kadar FSH dan LH yang relatif tinggi dipicu oleh penurunan kadar
estrogen dan progesteron pada akhir fase sebelumnya. Selama dan segera
setelah haid, kadar estrogen relatif rendah namun dengan pertumbuhan
folikel kadarnya akan segera meningkat. 
Dengan bertambahnya ukuran folikel, terjadi akumulasi cairan
diantara sel granulosa dan menyebabkan terbentuknya anthrum, sehingga
folikel primer berubah bentuk menjadi folikel d’graaf, disini oosit
menempati posisi excenteric dan dikelilingi oleh 2 – 3 lapisan sel
granulosa dan disebut sebagai cumulus oophorus. Dengan semakin
matangnya folikel, kadar estrogen menjadi semakin bertambah (terutama
dari jenis estradiol) dan mencapai puncaknya 18 jam sebelum ovulasi.
Dengan semakin meningkatnya kadar estrogen, produksi FSH dan LH
menurun ( umpan balik negatif ) untuk mencegah hiperstimulasi ovarium
dan maturasi folikel lainnya. 
2.  Fase Ovulasi
Ovulasi adalah keluarnya sel telur dan follikel de Graaf pecah.
Ovulasi terjadi dengan pembesaran folikel yang cepat dan diikuti protrusi
permukaan kortek ovarium dan pecahnya folikel menyebabkan keluarnya
oosit dan cumulus oophorus yang melekat dengannya. Pada sejumlah
wanita Kadang-kadang proses ovulasi ini menimbulkan rasa sakit sekitar
fossa iliaka yang dikenal dengan nama ‘mittelschmerz’. Peningkatan kadar
estradiol pada akhir midcycle diperkirakan akibat LH surge dan penurunan
kadar FSH akan menyebabkan – peristiwa umpan balik positif.  Sesaat
sebelum ovulasi terjadi penurunan kadar estradiol secara tiba-tiba dan
peningkatan produksi progesteron. Korpus luteum graviditatum setelah
terjadi ovulasi maka sel telur masuk kedalam tuba dan diangkut ke kavum
uteri. Hal ini terjadi pada saat ovulasi ujung ampula tuba menutup
permukaan ovarium. Selanjutnya sel telur digerakkan oleh peristaltik dan
rambut getar dari sel-sel selaput lendir tuba ke arah kavum uteri, kalau
tidak terjadi kehamilan maka sel telur akan mati dan jika terjadi kehamilan
terjadilah pertemuan dari sel telur dan sel sperma dalam ampula tuba. Sel
telur yang telah dibuahi itu berjalan ke kavum uteri menanamkan diri
dalam endometrium.
3. Fase Luteal
Sel granulosa yang mengelilingi sel telur yang telah bebas disebut
corona radiata. Setelah ovulasi, sel-sel granulosa dari dinding follikel
mengalami perubahan dan mengandung zat warna kuning disebut lutein.
Dengan demikian sisa follikel yang yang berubah menjadi butir kuning
disebut korpus luteum. Corpus luteum merupakan sumber utama dari
hormon steroid seksual, estrogen dan progesteron yang dikeluarkan oleh
ovarium pada fase pasca ovulasi (fase luteal). Korpus luteum bisa menjadi
korpus luteum gravidarum atau korpus luteum menstruationum yang
mempunyai masa hidup 8 hari setelah berdegenerasi dan diganti dengan
jaringan ikat yang menyerupai stroma ovarium. Korpus luteum yang
berdegenerasi disebut korpus albikan yang menyebabkan pembentukan
hormon progesteron dan estrogen berkurang malahan berhenti sama sekali.
Selama fase luteal, kadar gonadotropin tetap rendah sampai terjadi regresi
corpus luteum pada hari ke 26 – 28. Bila terjadi konsepsi dan implantasi,
corpus luteum tidak akan mengalami regresi oleh karena keberadaanya
dipertahankan oleh gonadotropin yang diproduksi oleh trofoblas. Namun,
bila tidak terjadi konsepsi dan implantasi, corpus luteum akan mengalami
regresi dan siklus haid akan mulai berlangsung kembali. Akibat penurunan
kadar hormon steroid, terjadi peningkatan kadar gonadotropin dan siklus
haid akan berlangsung kembali. Terbentuknya corpus luteum akan
menyebabkan sekresi progesteron terus meningkat dan terjadi pula
kenaikan kadar estradiol berikutnya. Sehingga endometrium lebih tebal
dan berubah menjadi desidua yang menyebabkan selama kehamilan
berlangsung tidak terjadi haid. Perubahan terhadap endometrium
dipengaruhi oleh kejadian-kejadian dalam ovarium dan kejadian dalam
ovarium dipengaruhi oleh kelenjar yang lebih tinggi kedudukannya yaitu
kelenjar hipofise.

(Sherwood. Lauralee. 2014. Fisiologi dari sel ke sistem. Edisi 6. Jakarta. EGC)
7. Siklus Uterus

Fluktuasi kadar estrogen dan progesteron dalam darah selama siklus


ovarium menimbulkan perubahan mencolok di uterus, menghasilkan siklus haid,
atau siklus uterus. Karena mencerminkan perubahan hormon selama siklus
ovarium, daur haid berlangsung rerata 28 hari, seperti halnya siklus ovarium,
meskipun bahkan pada orang normal dapat terjadi variasi yang cukup bermakna.
Manifestasi nyata perubahan siklik di uterus adalah perdarahan haid sildis (yaitu
sekali sebulan). Narnun, perubahan yang relatif kurang jelas berlangsung
sepanjang siklus, sewaktu uterus bersiap untuk seandainya ovum yang dibebaskan
dibuahi, kemudian dibersihkan total dari lapisan dalarnnya (haid) jika implantasi
tidak terjadi,hanya untuk memulihkan dirinya dan kembali bersiap untuk ovum
yang akan dibebaskan pada siklus berikutnya.

1. Fase haid
Fase haid adalah fase yang paling jelas, ditandai oleh pengeluaran
darah dan sisa endometrium dari vagina. Berdasarkan konvensi, hari
pertama haid dianggap sebagai permulaan siklus baru. Saat ini bersamaan
dengan pengakhiran fase luteal ovarium dan dimulainya fase folikular.
Sewaktu korpus luteum berdegenerasi karena tidak terjadi fertilisasi dan
implantasi ovum yang dibebaskan selama siklus sebelumnya, kadar
progesteron dan estrogen darah turun tajam. Karena efek akhir progesteron
dan estrogen adalah mempersiapkan endometrium untuk implantasi ovum
yang dibuahi, terhentinya sekresi hormon steroid ini menyebabkan lapisan
dalam uterus yang kaya vaskular dan nutrient ini kehilangan hormon-
hormon penunjangnya. Turunnya kadar hormon ovarium juga merangsang
pembebasan suatu prostaglandin uterus yang menyebabkan vasokonstriksi
pembuluh-pembuluh endometrium, menghambat aliran darah ke
endometrium. Penurunan penyaluran O2 yang terjadi kemudian
menyebabkan kematian endometrium, termasuk pembuluh darahnya.
Perdarahan yang terjadi melalui kerusakan pembuluh darah ini membilas
jaringan endometrium ke dalam lumen uterus. Sebagian besar lapisan
dalam uterus terlepas selama haid kecuali sebuah lapisan tipis, dalam
berupa sel epitel dan kelenjar, yang menjadi asal regenerasi endometrium.
Prostaglandin uterus yang sama juga merangsang kontraksi ringan ritmik
miometrium uterus. Kontraksi ini membantu mengeluarkan darah dan sisa
endometrium dari rongga uterus keluar melalui vagina sebagai darah haid.

Kontraksi uterus yang terlalu kuat akibat produksi berlebihan


prostaglandin menyebabkan dismenore (kram haid) yang dialami oleh
sebagian wanita. Pengeluaran darah rerata selama satu kali haid adalah 50
hingga 150 mL. Darah yang merembes pelan melalui endometrium yang
berdegenerasi membeku di dalam rongga uterus, kemudian diproses oleh
fibrinolisin, suatu pelarut di dalam uterus dan bekuan tersebut telah larut
sebelum keluar vagina. Namun, jika darah mengalir deras melalui
pembuluh yang rusak, darah menjadi kurang terpajan ke fibrinolisin
sehingga jika darah haid banyak, dapat terlihat bekuan darah. Selain darah
dan sisa endometrium, darah haid mengandung banyak leukosit. Sel-sel
darah putih ini berperan penting dalam mencegah infeksi pada
endometrium yang "terbuka" ini. Haid biasanya berlangsung selama lima
hingga tujuh hari setelah degenerasi korpus luteum, bersamaan dengan
bagian awal fase folikular ovarium.

Penghentian efek progesteron dan estrogen pada degenerasi korpus luteum


menyebabkan terkelupasnya endometrium (haid) dan terbentuknya folikel-
folikel baru di ovarium di bawah pengaruh hormon gonadotropik yang
kadarnya meningkat. Turunnya sekresi hormon gonad menghilangkan
pengaruh inhibitorik dar hipotalamus dan hipofisis anterior sehingga
sekresi FSH dan LH meningkat dan fase folikular baru dapat dimulai.
Setelah lima hingga hingga tujuh hari di bawah pengaruh FSH dan LH,
folikelfolikel yang baru berkembang telah menghasilkan cukup estrogen
untuk mendorong perbaikan dan pertumbuhan endometrium.
2. Fase proliferatif
Dengan demikian, darah haid berhenti, dan fase proliferatifsiklus
dimulai bersamaan dengan bagian terakhir fase folikular ovarium ketika
endometrium mulai memperbaiki diri dan berproliferasi di bawah
pengaruh estrogen dari folikel-folikel yang baru berkembang. Saat aliran
darah haid berhenti, yang tersisa adalah lapisan endometrium tipis dengan
ketebalan kurang dari 1 mm. Estrogen merangsang proliferasi sel epitel,
kelenjar, dan pembuluh darah di endometrium, meningkatkan ketebalan
lapisan ini menjadi 3 hingga 5 mm. Fase proliferatif yang didominasi oleh
estro-gen ini berlangsung dari akhir haid hingga ovulasi. Kadar puncak
estrogen memicu lonjakan LH yang menjadi penyebab ovulasi.
3. Fase sekretorik, atau progestasional
Setelah ovulasi, ketika terbentuk korpus luteum baru), uterus
masuk ke fase sekretorik, atau progestasional yang bersamaan waktunya
dengan fase luteal ovarium. Korpus luteum mengeluarkan sejumlah besar
progesteron dan estrogen. Progesteron mengubah endometrium tebal yang
telah dipersiapkan oleh estrogen menjadi jaringan kaya vaskular dan
glikogen. Periode ini disebut fase sekretorik karena kelenjar endometrium
aktif mengeluarkan glikogen ke dalam uterus untuk makanan awal embrio
yang sedang berkembang sebelum implantasinya, atau fase progestasional
("sebelum kehamilan") yang merujuk kepada lapisan subur endometrium
yang mampu menopang kehidupan awal mudigah setelah berimplantasi.
Jika pembuahan dan implantasi tidak terjadi, korpus luteum berdegenerasi
dan fase folikular dan fase haid baru dimulai kembali. Berbagai faktor
dapat memengaruhi keseimbangan aksis sumbu hipotalamus-hipofisis-
ovarium-organ target perifer sehingga menyebabkan ketidakteraturan
menstruasi dan masalah fertilitas. Di antara masalah ini adalah kelaparan
(contoh masalahnya adalah anoreksia nervosa; lihat h. 675), stres, dan
olahraga berat.

(Sherwood. Lauralee. 2014. Fisiologi dari sel ke sistem. Edisi 6. Jakarta. EGC)
8. Proses Menstruasi

Menstruasi adalah perdarahan periodik dari rahim yang dimulai sekitar 14


hari setelah ovulasi secara berkala akibat terlepasnya lapisan endometrium uterus
(Bobak, 2004).Kondisi ini terjadi karena tidak ada pembuahan sel telur oleh
sperma, sehingga lapisan dinding rahim (endometrium) yang sudah menebal
untuk persiapan kehamilan menjadi luruh. Jika seorang wanita tidak mengalami
kehamilan, maka siklus menstruasi akan terjadi setiap bulannya. Umumnya siklus
menstruasi pada wanita yang normal adalah 28-35 hari dan lama haid antara 3-7
hari. Siklus menstruasi pada wanita dikatakan tidak normal jika siklus haidnya
kurang dari 21 hari atau lebih dari 40 hari .Menurut Proverawati danMisaroh
(2009) siklusmenstruasi merupakan waktu sejak hari pertama menstruasi sampai
datangnya menstruasi periode berikutnya, sedangkan panjang siklus menstruasi
adalah jarak antara tanggal mulainya menstruasi yang lalu dan mulainya
menstruasi berikutnya.

Fase Siklus Menstruasi :

1) Siklus Endomentrium
 Fase menstruasi

Fase ini wanita dikatakan produktif. Oleh karena itu fase menstruasi selalu
dinanti oleh para wanita, walaupun kedatangannya membuat para wanita merasa
tidak nyaman untuk beraktifitas. Biasanya ketidak nyamanan ini terjadi hanya 1-2
hari, dimana pada awal haid pendarahan yang keluar lebih banyak dan gumpalan
darah lebih sering keluar.Pada fase menstruasi, endometrium terlepas dari dinding
uterus dengan disertai pendarahan. Rata-rata fase ini berlangsung selama lima hari
(rentang 3-6 hari). Pada awal fase menstruasi kadar estrogen, progesteron, LH
(Lutenizing Hormon)menurun atau pada kadar terendahnya, sedangkan siklus dan
kadar FSH (Folikel Stimulating Hormon) baru mulai meningkat
 Fase proliferasi

Pada fase ini ovarium sedang melakukan proses pembentukan dan


pematangan ovum. Fase proliferasi merupakan periode pertumbuhan cepat yang
berlangsung sejak sekitar hari ke-5 sampai hari ke-14 dari siklus haid. Permukaan
endometriumsecara lengkap kembali normal sekitar empat hari atau menjelang
perdarahan berhenti. Dalam fase ini endometrium tumbuh menjadi tebal ± 3,5 mm
atau sekitar 8-10 kali lipat dari semula, yang akan berakhir saat ovulasi. Pada fase
proliferasi terjadi peningkatan kadar hormon estrogen, karena fase ini tergantung
pada stimulasi estrogenyang berasal dari folikel ovarium.

 Fase sekresi/luteal

Fase sekresi berlangsung sejak hari ovulasisampai sekitar tiga hari


sebelum periode menstruasi berikutnya. Pada akhir fase sekresi, endometrium
sekretorius yang matang dengan sempurna mencapai ketebalan seperti beludru
yang tebal dan halus. Endometrium menjadi kaya dengan darah dan sekresi
kelenjar. Umumnya pada fase pasca ovulasi wanita akan lebih sensitif. Sebab pada
fase ini hormon reproduksi (FSH, LH, estrogen dan progesteron)mengalami
peningkatan. Jadi pada fase ini wanita mengalami yang namanya Pre Menstrual
Syndrome (PMS). Beberapa hari kemudian setelah gejala PMS maka lapisan
dinding rahim akan luruh kembali.

 Fase iskemi/premenstrual

Apabila tidak terjadi pembuahan dan implantasi, korpus Luteum yang


mensekresi estrogen dan progesterone menyusut. Seiring penyusutan kadar
estrogen dan progesterone yang cepat, arteri spiral menjadi spasme, sehingga
suplai darah ke endometrium fungsional terhenti dan terjadi nekrosis. Lapisan
fungsional terpisah dari lapisan basal dan perdarahan menstruasi dimulai.

2) Siklus Ovarium

Ovulasi merupakan peningkatan kadar estrogen yang menghambat


pengeluaran FSH, kemudian kelenjar hipofisis mengeluarkan LH (lutenizing
hormon).Peningkatan kadar LH merangsang pelepasan oosit sekunder dari folikel.
Sebelum ovulasi, satu sampai 30 folikel mulai matur didalam ovarium dibawah
pengaruh FSH dan estrogen. Lonjakan LH sebelum terjadi ovulasi. mempengaruhi
folikel yang terpilih. Di dalam folikel yang terpilih, oosit matur (folikel de Graaf)
terjadi ovulasi, sisa folikel yang kosong di dalam ovarium berformasi menjadi
korpus luteum. Korpus luteum mencapai puncak aktivitas fungsional pada 8 hari
setelah ovulasi, dan mensekresi hormon estrogen dan progesteron. Apabila tidak
terjadi implantasi, korpus luteum berkurang dan kadar hormon progesterone
menurun. Sehingga lapisan fungsional endometrium tidak dapat bertahan dan
akhirnya luruh .

( Sherwood. Lauralee. 2014. Fisiologi dari sel ke sistem. Edisi 6. Jakarta. EGC)

9. Fisiologi Kehamilan
Kehamilan akan memicu perubahan baik secara anatomis, fisiologis,
maupun biokimia. Adanya perubahan tersebut akan sangat mempengaruhi
kebutuhan gizi ibu hamil yang bertujuan untuk memaksimalkan
pertumbuhan dan perkembangan janin. Berikut ini beberapa perubahan
yang terjadi pada ibu hamil yang secara langsung ataupun tidak langsung
akan mempengaruhi kebutuhan gizi ibu:
a. Sistem Endrokin
Plasenta menghasilkan berbagai hormon yang sangat penting untuk
kesinambungan kehamilan itu sendiri. Hormon yang dihasilkan terdiri dari human
chorionic gonadotropin (hCG), human plasental lactogen (hPL), human chorionic
thyroptropin, estrogen, progesteron. Peningkatan produksi estrogen akan
mempengaruhi pembesaran uterus, buah dada, dan organ genital, retensi cairan
yang menyebabkan pertambahan natrium, perubahan deposisi lemak, relaksasi
persendian, penurunan produksi HCl dan pepsin lambung serta berpengaruh pada
fungsi kelenjar tiroid serta mengganggu metabolisme asam folat. Hormon
progesteron akan memacu pertumbuhan endometrium, penumpukan sel lemak,
retensi natrium, menurunkan motilitas saluran cerna dan tonus otot dan
menurunkan kontraksi rahim. Kelenjar endokrin seperti kelenjar hipofise dan
tiroid membesar sedikit, basal metabolism meningkat. Paratiroid membesar
sehingga akan meningkatkan kebutuhan kalsium dan vitamin D.

b. Saluran pencernaan
Penambahan hormon estrogen menyebabkan sekresi air ludah bertambah
dan sifatnya menjadi lebih asam. Hal ini relatif sering menimbulkan kerusakan
gigi (berlubang) sewaktu hamil. Ibu hamil juga mengalami perubahan
metabolisme glukosa untuk menjamin kebutuhan glukosa untuk janin. Keadaan
ini berpotensi mengakibatkan terjadinya diabetes kehamilan. Human plasental
lactogen (hPL) menyebabkan terjadinya lipolisis serta meningkatkan kadar asam
lemak bebas di dalam plasma untuk penyiapan sumber energi pengganti bagi ibu.
Hormon ini juga mengganggu kerja insulin, sehingga kebutuhan insulin akan
meningkat. Ibu hamil yang tidak mampu memenuhi kebutuhan insulin yang
meningkat tersebut akan menyebabkan ibu mengalami diabetes kehamilan.
Peningkatan hormon progesteron mengakibatkan motilitas saluran cerna
berkurang dan transit makanan menjadi lebih panjang sehingga lebih banyak air
terserap sehingga terjadi sembelit atau konstipasi.

c. Ginjal dan saluran kemih


Terdapat perubahan fungsi ginjal yang diakibatkan oleh Adreno cortico
tropic hormon (ACTH), Anti diuretic hormon (ADH), kortisol, dan aldosteron.
Piala ginjal melebar sampai 60 cc, sedangkan bila tidak hamil 10 cc. Panjang dan
berat ginjal bertambah 1-1,5 cm. Glomerular filtration rate (GFR) meningkat
sampai 50%. Aliran plasma ginjal meningkat sampai 25- 50%. Peningkatan GFR
terkadang tidak dibarengi dengan kemampuan tubulus menyerap glukosa yang
tersaring sehingga mengakibatkan glukosuria. Hal ini harus dipantau untuk
mendeteksi adanya tanda awal dari diabetes kehamilan.

d. Sistem kardiovaskular
Pembesaran uterus akan menekan pembuluh darah panggul dan paha
sehingga aliran darah balik akan terganggu dan darah akan mengumpul pada
tungkai bawah, pada posisi tidur uterus akan menekan vena cava sehingga akan
mengurangi suplai darah ke atrium. Dampaknya adalah terjadi hipotensi.
Perubahan yang nampak mencolok adalah kenaikan volume plasma sampai
dengan 50% dengan diikuti peningkatan hemoglobin sampai dengan 20% yang
meningkat pada trimester II dan mencapai puncaknya pada pertengahan trimester
ke II. Kadar hemoglobin dan besi menurun oleh karena adanya hemodilusi.

e. Hati
Alkaline fosfatase serum meningkat dua kali lipat hal ini diduga akibat
penambahan isoenzim alkaline fosfotase plasenta. Kadar albumin menurun lebih
banyak dari pada globulin. Sehingga rasio albumin globulin juga menurun tajam.
Waktu pengosongan cairan empedu lebih pendek, cairan lebih kental dan
terkadang terjadi statis sehingga berisiko terjadi batu empedu

(Referensi: jurnal universitas lampung)

10. Menopause
 Definisi Menopause

Menoupase didefinisikan oleh WHO sebagai penghentian menstruasi


secara permanen akibat hilangnya aktivitas folikular ovarium. Setelah 12 bulan
amenorea berturut-turut, periode menstruasi terakhir secara retrospektif ditetapkan
sebagai saat menopause (Kuncara, 2007).

Menopause adalah berhentinya secara fisiologis siklus menstruasi yang


berkaitan dengan tingkat lanjut usia perempuan. Seorang wanita yang mengalami
menopause alamiah sama sekali tidak dapat mengetahui apakah saat menstruasi
tertentu benar-benar merupakan menstruasinya yang terakhir sampai satu tahun
berlalu (Wijayanti, 2009).

Menopause adalah suatu fase dari kehidupan wanita yang ditandai


dengan berakhirnya menstruasi dan berhentinya fungsi reproduksi, namun seorang
wanita dikatakan telah mengalami menopause setelah dia tidak mengalami
menstruasi minimal selama 12 bulan. Semakin sedikit folikel berkembang,
semakin kurang pembentukan hormon di ovarium, yaitu hormon progesteron dan
estrogen. Haid akan menjadi tidak teratur hingga akhirnya endometrium akan
kehilangan rangsangan hormon estrogen. Lambat laun haid pun berhenti yang
disebut proses menopause (Kasdu, 2002).

Menurut Prawirohardjo (2008), menopause merupakan suatu akhir


proses biologis dari siklus menstruasi yang terjadi karena penurunan hormon
estrogen yang dihasilkan ovarium. Menopause mulai pada umur yang berbeda
umumnya adalah sekitar umur 50 tahun.

Menopause adalah haid terakhir, atau saat terjadinya haid terakhir.


Diagnosis menopause dibuat setelah terdapat amenorea sekurangkurangnya satu
tahun. Berhentinya haid dapat didahului oleh siklus haid yang lebih panjang,
dengan perdarahan yang berkurang (Sastrawinata, 2004).

Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa menopause


merupakan berhentinya menstruasi yang permanen, sekurang-kurangnya satu
tahun.

2.1.3 Fase Klimakterium

Menurut Sastrawinata (2004), klimakterium merupakan masa peralihan


antara masa reproduksi dan masa senium. Bagian klimakterium sebelum
menopause disebut pramenopause dan bagian sesudah menopause disebut
pascamenopause. Klimakterium bukan suatu keadaan patologik, melainkan suatu
masa peralihan yang normal. Fase Klimakterium terbagi dalam beberapa fase:

 Pramenopause

Yaitu masa 4-5 tahun sebelum menopause, sekitar usia 40 tahun dengan
dimulainya siklus haid yang tidak teratur, memanjang sedikit, atau banyak, yang
kadang-kadang disertai dengan rasa nyeri. Pada wanita tertentu telah muncul
keluhan vasomotorik atau keluhan sindroma prahaid. Dari hasil analisis hormonal
dapat ditemukan kadar FSH dan estrogen yang tinggi ataunormal. Kadar FSH
yang tinggi dapat mengakibatkan terjadinya stimulasi ovarium yang berlebihan
sehingga kadang-kadang dijumpai kadar estrogen yang sangat tinggi. Keluhan
yang muncul pada fase pramenopause ini ternyata dapat terjadi baik pada keadaan
sistem hormon yang normal maupun tinggi.

 Menopause

Setelah memasuki usia menopause selalu ditemukan kadar FSH yang


tinggi (>35 mIU/ml). Pada awal menopause kadangkadang kadar estrogen rendah.
Pada wanita gemuk, kadar estrogen biasanya tinggi. Bila seorang wanita tidak
haid selama 12 bulan dan dijumpai kadar FSH >35 mIU/ml dan kadar estradiol
<30 pg/ml, maka wanita tersebut dapat dikatakan telah mengalami menopause.

 Pascamenopause

Yaitu masa 3-5 tahun setelah menopause. Pasca menopause adalah


masa setelah menopause sampai senium yang dimulai setelah 12 bulan amenorea.
Kadar FSH dan LH sangat tinggi (>35 mIU/ml) dan kadar estrodiol yang rendah
mengakibatkan endometrium menjadi atropi sehingga haid tidak mungkin terjadi
lagi. Namun, pada wanita yang gemuk masih dapat ditemukan kadar estradiol
yang tinggi. Hampir semua wanita pasca menopause umumnya telah mengalami
berbagai macam keluhan yang diakibatkan oleh rendahnya kadar estrogen.

 Senium

Yaitu masa sesudah pascamenopause, ketika telah tercapai keseimbangan


baru dalam kehidupan wanita, sehingga tidak ada lagi gangguan vegetatif maupun
psikis.

2.1.4 Fisiologi Menopause

Pada usia 40-50 tahun, siklus seksual biasanya menjadi tidak teratur,
dan ovulasi sering tidak terjadi. Sesudah beberapa bulan sampai beberapa tahun,
siklus terhenti sama sekali. Periode ketika siklus terhenti dan hormon-hormon
kelamin wanita menghilang dengan cepat sampai hampir tidak ada disebut sebagai
menopause.

Penyebab menopause adalah “matinya” (burning out) ovarium.


Sepanjang kehidupan seksual seorang wanita, kira-kira 400 folikel primordial
tumbuh menjadi folikel matang dan berovulasi, dan beratus-ratus dari ribuan
ovum berdegenerasi. Pada usia sekitar 45 tahun, hanya tinggal beberapa folikel-
folikel primordial yang akan dirangsang oleh FSH dan LH, dan produksi estrogen
dari ovarium berkurang sewaktu jumlah folikel primordial mencapai nol. Ketika
produksi estrogen turun di bawah nilai kritis, estrogen tidak lagi menghambat
produksi gonadotropin FSH dan LH.

Sebaliknya, gonadotropin FSH dan LH (terutama FSH) diproduksi


sesudah menopause dalam jumlah besar dan kontinu, tetapi ketika folikel
primordial yang tersisa menjadi atretik, produksi estrogen oleh ovarium turun
secara nyata menjadi nol (Guyton, 2011)

(http://digilib.unila.ac.id/6407/106/BAB%20II.pdf)

11. Proses Fertilisasi


Fertilisasi yaitu penyatuan gamet pria dan wanita dalam keadaan
normal terjadi di ampulla, yaitu sepertiga atas oriduktus.
1. Sperma yang akan membuahi menembus korona radiata melalui enzim-
enzim terikat membran yang terdapat dalam membran plasma. Kepala
sperma dan berikatan dengan reseptor 2p3 di zona pellucida.
2. Peningkatan sperma dengan reseptor ini memicu reaksi akrosom, yaitu
saat enzim-enzim hidrolitik pada akrosom dibebaskan ke zona pellucida.
3. Enzim-akrosomal mencerna zona pellucida membentuk jalur ke membran
plasma ovum, ketika sperma mencapai ovum membran plasma kedua sel
ini berfusi.
4. Kepala sperma dengan DNA nya memasuki sitoplasma ovum.
5. Sperma merangsang pelepasan berbagai enzim yang tersimpan di dalam
granula kortikal di ovum, yang nantinya menginaktifkan reseptor 2p3 dan
mengerakan zona pellucida sehingga meghambat terjadinya polispermia.
Hal ini dilakukan agar sperma lain yang mencapai zona pellucida tidak
dapat terikat padanya dan untuk menjaga sehingga tidak terjadi penetrasi
sperma yang lain.
6. Pelepasan G2+ ke sitosol ovum memicu pembelahan meiosis kedua sel
telur yang sekarang siap untuk bersatu dengan sperma untuk
menyelesaikan proses fertilisasi.

(Sherwood. Lauralee. 2014. Fisiologi dari sel ke sistem. Edisi 6. Jakarta. EGC)
Daftar Pustaka

Sherwood, lauralee. Fisiologi Manusia dari sel ke sistem. Edisi 8. Jakarta. EGC.
hal 782-791

Sherwood, lauralee. Fisiologi Manusia dari sel ke sistem. Edisi 6. Jakarta. EGC.

Jurnal universitas lampung

http://digilib.unila.ac.id/6407/106/BAB%20II.pdf

Anda mungkin juga menyukai