1. Letak peradaban lembah sungai Indus Saat ini lembah sungai Indus berada dalam cangkupan wilayah Pakistan dan India barat atau Punjab. Sumber sungai berasal dari dataran tinggi Tibet di sekitar Danau Mansarovar di Daerah Otonomi Tibet kemudian sungai mengalir melalui wilayah Ladakh Jammu dan Kashmir dan memasuki wilayah utara (Gilgit- Baltistan), mengalir kembali melalui Utara ke arah selatan sepanjang seluruh negeri dan bergabung ke Laut Arab di dekat kota pelabuhan Karachi di Sindh. Panjang total sungai adalah 3.180 kilometer (1.976 mil) dan merupakan sungai terpanjang di Pakistan. Sungai ini memiliki total luas pengeluaran melebihi 1.165.000 kilometer persegi (450.000 mil persegi). Diperkirakan sungai mengaliri secara tahunan terdiri dari sekitar 207 kilometer kubik, sehingga termasuk sebagai dua puluh satu sungai terbesar di dunia dalam hal pengairan tahunan. Dimulai pada ketinggian dunia dengan gletser, sungai yang mengairi hutan, dataran dan pedesaan yang kering dan gersang bersama dengan sungai-sungai Chenab, Ravi, Sutlej, Jhelum, Beas dan dua anak sungai dari perbatasan barat daya dan Afghanistan kemudian membentuk aliran Sapta Sindhu (Tujuh Sungai) pada delta di Pakistan.
2. Hasil peradaban Lembah sungai Indus:
a. Tata kota Dikutip dari modul Sejarah Kelas X oleh Suciati (2020:9), komunitas awal pembentuk peradaban Sungai Indus mulai mengembangkan pusat-pusat kota besar, sekitar tahun 2600 sebelum masehi. Kota-kota besar di peradaban kuno tersebut seperti Harappa, Generiwala, Mohenjo-Daro, Dholvira, Kalibangan, Rakhigarkhi, Rupar, dan Loothal (sekarang India). Hasil dari penggalian di wilayah bekas kota-kota kuno itu menunjukan tata perencanaan letak kota yang rapi, pemerintahan yang mengutamakan kesehatan masyarakat, dan adanya banyak fasilitas untuk ritual keagamaan. Perencanaan kota yang rapi terlihat dari arsitektur tata bangunan, seperti adanya pusat galangan kapal, lumbung, gudang panggung, waduk, dan dinding-dinding pagar kota. Sistem sanitasi kota juga sudah tertata dengan baik. Ada pula bukti bahwa saat itu teknik hidrolik untuk mendapatkan air sumur sudah digunakan di beberapa kota seperti Harappa, Mohenjo-Daro, dan Rakhigarkhi. Selain itu, sarana sanitasi juga sudah menggunakan teknik seperti yang digunakan di model toilet siram. Sisa-sisa dari pembuangan kemudian dialirkan melalui pipa menuju selokan pembuangan. Sebagian rumah masyarakat Lembah Sungai Indus pun sudah dilengkapi dengan sumur sendiri. Dibandingkan kota-kota kuno Timur Tengah, kota-kota dari peradaban Lembah Sungai Indus bisa dibilang lebih maju dalam hal penataan sistem pembuangan dan drainase. Dikutip dari artikel "Green History Dalam Buku Teks Sejarah" oleh Hena Gian Hermana yang terbit dalam Jurnal Historia terbitan UPI Bandung (Vol 2, No 1, 2018), bukti adanya penataan kota yang teratur jelas terlihat pada peninggalan sisa-sisa kota Mohenjo-Daro dan Harappa. Jalan-jalan di dua kota tersebut sudah rapi dan lurus dengan lebar rerata sekitar 10 meter. Selain itu, terdapat trotoar di samping kanan maupun kiri jalan dengan lebar setengah meter. Ada juga fasilitas pemandian besar di dekat lumbung atau balai. Terdapat tangga untuk turun ke arah kolam berlapis bata di dalam lapangan berderet tiang. Sarana pemandian umum dilapisi tar alami di sisi dan tengah kolam untuk menghindari kebocoran. Pemandian umum berukuran 12 m x 17 m memiliki kedalaman 2,4 m diperkirakan sebagai sarana upacara keagamaan. b. Mata Pencaharian Mata pencaharian penduduk telah dapat diidentifikasi. Pertanian memainkan peran yang penting. Gandum dan katun ditanam dalam skala besar mata pencaharian lain dalam masyarakat adalah pembuat barang pecah belah, penenun, tukang pembuat hiasan dinding, dan pemotong batu. Kemajuan teknik ditunjukkan oleh roda untuk membuat barang pecah belah, pembakaran batu-batu, pencetakan dan pengolahan logam. Sistem perekonomian masyarakat lembah Sungai Indus sangat bergantung pada pengolahan lahan pertanian di sekitar sungai. Di kawasan ini, petani menanam padi, gandum, sayuran, buah-buahan, dan kapas. Selain itu mereka juga beternak sapi, kerbau, domba, dan babi. Selain pertanian dan peternakan, perdagangan juga merupakan aspek perekonomian penting bagi masyarakat lembah Sungai Indus. Kelebihan hasil pertanian membuat mereka dapat melakukan perdagangan dengan bangsa lain terutama dengan penduduk Mesopotamia. Barang dagangan yang diperjual-belikan masyarakat lembah Sungai Indus adalah barang-barang dari perunggu dan tembaga, bejana dari perak dan emas, serta perhiasan dari kulit dan gading. Materai-materai yang dite mukan itu berkaitan dengan dunia perdagangan. Rakyat lembah Indus tidak hanya berdagang dengan bagian lain wilayah India, tetapi juga dengan negara-negara Asia lain seperti Bangsa Sumeria. Dri perdagangan itu, didatangkan timah, tembaga, dan batu mulia dari luar India. c. Seni Kerajinan Adanya gambar-Gambar dalam materai menunjukkan seni yang tinggi.Di Harappa ditemukan potongan-potongan bat yang dipahat.Masyarakat lembah Sungai Indus dapat membuat galangan kapal, macam-macam ukiran, stempel, tembikar, perhiasan emas, dan arca. Semua barang itu dibuat dengan perencanaan yang detail. Beberapa benda yang ditemukan di tempat penggalian sisa-sisa peradaban Lembah Sungai Indus, di antaranya ialah arca wanita menari yang terbuat dari bahan emas, patung-patung hewan (sapi, burung, monyet, dan anjing), berbagai macam stempel, hingga patung setengah sapi-zebra yang megah. Patung sapi-zebra itu diperkirakan digunakan untuk acara keagamaan. d. Sistem Kepercayaan Sama halnya dengan sistem kepercayaan bangsa Mesir dan Mesopotamia, tumbuh dan berkembangnya sistem kepercayaan masyarakat lembah Sungai Indus selalu berkaitan dengan lingkungan geografis tempat tinggalnya. Kebudayaan agraris yang dikembangkan masyarakat lembah Sungai Indus telah melandasi kepercayaan yang mereka anut. Untuk itu, masyarakat lembah Sungai Indus sangat mengagungkan dan memuja akan kesuburan. Hal ini terbukti dengan ditemukannya sejenis patung “Dewi Ibu” yang terbuat dari tanah liat. Patung dewi Ibu dipercayai sebagai perwujudan dari dewi kesuburan. Masyarakat lembah Sungai Indus juga menyembah manusia berwajah tiga dan binatang yang banyak ditemukan dalam cap stempel. Diduga cap stempel manusia berkepala tiga ini adalah dewa utama mereka yang pada perkembangan selanjutnya menjadi Dewa Syiwa dalam agama Hindu. e. Warisan budaya yang diitemukan – Artefak berupa terracota. Artefak ini merupakan lempeng-lempeng tanah berbentuk segi empat dan memiliki gambar hewan seperti gajah, sapi, harimau, badak, dan gambar pepohonan seperti beringin. Penemuan terracota tersebut menandakan masyarakat Mohenjo Daro-Harappa telah mengenal kepercayaan dengan menyembah benda, binatang, atau pohon. – Patung gadis menari. Patung tersebut diperkirakan berusia sekitar 4500 tahun yang ditemukan pada 1926. Patung gadis menari terbuat dari patung perunggu yang memiliki panjang sekitar 10,8 cm. – Patung “Raja Pendeta” merupakan patung yang ditemukan pada 1927 yang merupakan patung lelaki duduk dengan tinggi 17,5 cm. Patung ini memiliki janggut dengan hiasan pita pada rambutnya, lilitan lengan, dan mantel berhias. – Periuk, piring, dan cangkir yang terbuat dari tembikar. – Alat-alat pertanian seperti cangkul dan kapak. – Alat perhiasan berupa gelang, kalung, dan ikat pinggang yang terbuat dari tembaga atau emas. Hal ini menandakan masyarakat Mohendjo Daro-Harappa telah mengenal kebudayaan batu dan logam.
3. Pendukung peradaban lembah Sungai Indus
Bangsa Arya dulu menguasai seluruh daratan sungai Indus dan Gangga yang kemudian daerah ini dinamakan Aryavarta atau Tanah orang kaya. Tentunya sebelum bangsa Arya masuk dan menguasai daerah ini, Bangsa Dravida sudah dahulu menguasainya yang tinggal di kota Mohenjo-Daro dan Harappa. Bangsa Dravida membawa kemakmuran dalam segi keagamaan yang tentunya ini juga merupakan hasil percampuran antara Bangsa Dravida dan Arya, sebelum Bangsa Arya menguasai daerah lembah sungai Indus mererka menganut kepercayaan yang bernama Polyteisme yang berarti memuja banyak Dewa dengan Bangsa Dravida yang masih memuja para roh nenek moyang mereka sehingga terbentuklah agama Hindu yang terus berkembang hingga kini di daeerah india yang merupakan hasil percampuran antara kebudayaan dan kepercayaan Bangsa Dravida dan Arya. 4. Penyebab keruntuhan lembah sungai Indus Keruntuhan peradaban ini diduga disebabkan oleh perubahan iklim. Perubahan iklim pada masa itu menyebabkan zaman es kecil yang mengakibatkan musim kemarau menjadi lebih kering yang berdampak negatif terhadap pertanian. Hal inilah yang membuat masyarakat peradaban tersebut pindah ke desa-desa kecil di kaki bukit Himalaya. Selain itu pada saat yang sama datang peradaban Indo-Arya dengan membawa peralatan yang lebih canggih. Bangsa Indo-Arya ini ditengarai menyerang masyarakat Lembah Sungai Indus karena di sekitar bekas kota ditemukan sisa kerangka yang seolah-olah menunjukkan bukti kuat adanya penyerbuan. Dugaan lainnya dari keruntuhan peradaban ini adalah disebabkan oleh banjir karena kota ini tampaknya begitu padat penduduk dan banjir telah terjadi berulang kali,namun sayangnya bukti ini dirasa kurang kuat karena tidak seluruh kota hancur oleh banjir. Dugaan lainnya adalah karena perkembangan sosial budaya dari pertanian ke bidang lainnya sehingga kota ini kemudian ditinggalkan.
B. Peradaban Lembah Sungai Gangga
1. Letak Peradaban lembah Sungai Gangga Lembah Sungai Gangga terletak antara Pegunungan Hima laya, dan Pegunungan Windya. Sampai sekarang, di wilayah ini belum ditemukan sisa-sisa peninggalan peradaban pada masa prasejarah. Peradabannya mulai berkembang sejak masuknya bangsa Arya ke India dengan terbentuknya budaya Hindu. 2. Hasil Peradaban Sungai Gangga a. Sistem social Sistem kasta menjadi ciri khas dari sistem masyarakat lembah Sungai Gangga. Di dalam sistem tersebut terdapat 4 strata, pertama adalah golongan pendeta; kedua, golongan ksatria; ketiga, golongan waisya dan keempat, golongan sudra. Golongan Ksatria memegang kekuasaan politis, tetapi para pendeta mempunyai kekuasaan tersendiri di dalam masyarakat. Kurban-kurban dan persembahan adalah bagian dari kegiatan sehari-hari kaum Arya. Dibalut bersama dengan budaya dari bangsa Harrapa, dan suku-suku pribumi lain, praktik- praktik bangsa Arya menjadi inti dari kebanyakan bentuk praktik keagamaan Hindu yang dikenal hinga sekarang. Para pendeta (Brahmana) yang melaksanakan upacara kurban adalah bangsawan pertama dalam lapisan masyarakat India, dan mereka terus memegang pengaruhnya dalam ke-16 mahajanpa. Seperti ksatria yang memerintah, para pendeta juga mempunyai marga sendiri, sehingga orang yang terlahir dalam keluarga pendeta berarti termasuk golongan brahmana dan berhak mewarisi hak istimewa dalam kurban. Pembagian masyarakat ke dalam sistem kasta, menjadi salah satu ciri khas dari sistem masyarakat lembah Sungai Gangga. Di sistem ini kaum Brahmana mempunyai kekuasaan utuh, hal ini berbeda dengan kekuasaan pendeta di luar peradaban India. Pada zaman 16 kerajaan tersebut, seorang laki-laki yang tidak lahir dengan marga ksatriya masih bisa menjadi raja, apabila para pendeta melaksanakan ritual untuk melimpahkan berkat kuasaan suci atasnya. Akan tetapi tidak seorang pun dapat mengambil tugas pendeta, kecuali keturunan langsung dari golongan brahmana. Bahkan, menurut The Laws of Manu, kaum Brahmana digam barkan sebagai raja dari semua makhluk ciptaan, yang dilahirkan untuk melindungi pembendaharaan hukum. Jika kaum brahmana merupakan golongan tertinggi dalam sistem kasta, maka kaum sudra menempati kelas terendah. Mereka pada umumnya adalah para budak dan pembantu. Mereka tidak mempunyai hak bersuara dan kekuasaan, menurut hukum boleh dibunuh atau dibuang sesuka hati para majikan. Asal kaum sudra tidak diketahui secara pasti, akan tetapi kemungkinan besar kaum sudra berasal dari orang-orang yang ditaklukan oleh mahajanapada. b. Sistem Kepercayaan Di Lembah Sungai Gangga, kebudayaan Hindu berkembang dan masyarakatnya memuja dewa-dewa. Tiga dewa yang paling terkemuka adalah Dewa Brahma (pencipta alam), Dewa Wisnu (pemelihara alam), dan Dewa Syiwa (perusak alam). Bagi penganut Hindu, Sungai Gangga dianggap sebagai tempat keramat dan suci, yang airnya dapat menyucikan diri serta menghapus dosa manusia. Di dalam agama Hindu, dikenal pula sistem kasta yang pada akhirnya menyebabkan munculnya agama Buddha yang dipelopori oleh Sidharta Gautama. c. Sistem mata pencaharian Karena subur dan didukung dengan kemajuan teknologinya mata pencahariannya adalah pertanian (gandum, padi, kapas, dan teh). d. Sistem Pemerintahan Pemerintahan yang pernah berkuasa di wilayah Lembah Sungai Gangga adalah Kerajaan Gupta. Kerajaan Gupta adalah sebuah kekaisaran India Kuno yang berdiri antara 320 M hingga 550 M. Pendirinya adalah Chandragupta I, yang pernah menjadi bagian dari Kerajaan Maurya. Kerajaan Gupta kemudian mencapai masa kejayaan ketika diperintah oleh Raja Samudragupta, cucu Chandragupta I. Di bawah kekuasaan Samudragupta, Lembah Sungai Gangga dan Lembah Sungai Indus berhasil dikuasai, sedangkan ibu kota kerajaan dipindahkan ke Ayodhia. Periode Kerajaan Gupta disebut sebagai zaman keemasan India karena banyaknya penemuan dalam bidang sains, teknologi, seni, sastra, matematika, astronomi, dan masih banyak lainnya. Dalam perkembangannya, Kerajaan Gupta mengalami kemunduran setelah wafatnya Raja Wikramaditya atau Chandragupta II. Setelah sempat berada dalam masa kegelapan, barulah pada abad ke-7 M muncul Kerajaan harsha dengan rajanya bernama Harshawardana. Raja Harsha awalnya memeluk Hindu, tetapi kemudian memeluk Buddha. Pada periode ini, tepi Sungai Gangga banyak dibangun wihara dan stupa, tempat-tempat penginapan, serta fasilitas kesehatan. 3. Pendukung peradaban lembah sungai Gangga Pendukung peradaban Lembah Sungai Gangga meninggalkan jejak yang sangat penting dalam sejarah kehidupan umat manusia. Di tempat ini muncul dua agama besar, yaitu agama Hindu dan Buddha. Agama Hindu merupakan perwujudan dari sistem kepercayaan peradaban bangsa Hindu. Kepercayaan Hindu bercorak politeisme dan mengakui tiga dewa tertinggi yang disebut Trimurti, yaitu Brahma (Dewa Pencipta), Wisnu (Dewa pemelihara/pelindung), dan Syiwa (Dewa perusak). Sementara itu, agama Buddha lahir sebagai bentuk reaksi beberapa golongan atau ajaran kaum Brahmana yang dipimpin oleh Siddarta Gautama. Siddarta Gautama adalah seorang putra mahkota Kerajaan Kapilawastu yang meninggalkan hidup penuh kemewahan dengan menempuh jalan kesederhanaan untuk mengindari penderitaan. Agama Buddha menyebar setelah Siddarta Gautama mencapai tahap menjadi Sang Buddha, yang artinya disinari. Kitab suci agama Buddha adalah Tripitaka. Dalam penyebaran selanjutnya agama Buddha menjadi dua aliran, yaitu: Buddha Mahayana dan Buddha Hinayang. Kedatangan Bangsa Arya juga mendukung peradaban ini.
Catatan:
Mohon maaf saya banyak copy paste dan mengumpulkan terlambat, Pak Wahyu.