Anda di halaman 1dari 7

Antara Kita dan Tragedi

Pagi itu bulan Juli 1964, remaja bertubuh kurus bangun dari tidurnya,
seperti biasa ia menjalani hidup sebagai koki. Walau hanya koki di warung kopi
(warkop). Warung kopi tersebut terletak dekat Menteng.

Namanya adalah Aryo, pria kelahiran Surabaya. Usianya sekitar 21 tahun.


Hidupnya sendirian di rumah bekas peninggalan orang tuanya yang telah lama
meninggal. Ia terbiasa bangun pukul enam pagi, setelah bangun ia langsung
mandi dan bersiap membuka warkop yang ia jaga.

Warkop tersebut merupakan milik pamannya yang bertubuh gempal.


Namanya Hendro. Pamannya punya kelakuan aneh. Setiap hari tidak pernah
luput meneriakkan “hidup PKI!” jika sedang bosan di jalan atau di manapun.
Syaratnya adalah kebosanan. Seperti yang terjadi dua hari lalu di mana Aryo dan
pamannya sedang berjalan di trotoar ibu kota menuju pasar untuk membeli
kebutuhan warkopnya. Mereka berdua tidak berbicara sepanjang jalan namun
tiba-tiba pamannya berteriak.

“Hidup PKI! bangkitlah komunis! Aku cinta Aidit!” Teriak pamannya tiba-tiba.
Sementara, Aryo hanya memasang muka aneh keheranan melihat tingkah tolol
pamannya tersebut.

Pamannya merupakan simpatisan Partai Komunis Indonesia yang


sebetulnya tidak mengerti komunis. Ia menjadi simpatisan PKI hanya karena PKI
terlihat membela rakyat kecil yang tertindas. Sejak saat itu ia mulai mengagumi
sosok D.N Aidit. Tidak tanggung-tangung, saking simpatinya dengan PKI, warkop
miliknya penuh dengan warna merah dengan gambar lambang PKI.

Fanatisme berlebihan pamannya membuat Aryo kesal. Sesekali terlintas


dalam benaknya untuk memukul dada pamannya, walau hal tersebut hanya
melintas dalam pikirannya. Menurut Aryo hal tersebut adalah revolusi dalam
pikiran. Sama seperti revolusi yang juga sering dipekikkan orang-orang partai
tersebut. “Revolusi!”

Setelah sampai di warkop, Aryo langsung bersiap jika ada pembeli yang
memesan kopi. Kadang ada  pula yang memesan mie instan. Kebanyakan
pembeli warkop tersebut merupakan teman dari pamannya yang juga
merupakan simpatisan dari PKI.

Tak lama setelah warkop tersebut buka, datang seorang yang selalu
mampir di warkop tersebut, ia adalah bang Ton. Bang Ton merupkan salah satu
simpatisan PKI, ia juga salah satu teman Hendro.

“Hey ceking, berikan aku kopi yang segar” seperti biasa, satu gelas kopi dipesan
bang Ton dengan sapaan khusus untuk Aryo menggunakan nada bataknya.

“Siap bang Ton, gimana masih betah jadi pendukung PKI? Gamau masuk
Masyumi?,” kelakar Aryo sambil tersenyum.

“Hey bodoh aku ini Katolik,” sanggah bang Ton.

Bang Ton sebenarnya tukang parkir, tapi tukang parkir yang dianggap
terhormat oleh masyarakat sekitar. Sebab, walaupun ia tukang parkir ia juga
menjadi guru SD di kampungnya. Bang Ton sudah menjadi simpatisan PKI sejak
tiga tahun yang lalu. Karena teman-temannya gabung ke dalam PKI, ia pun
bergabung dengan PKI. Hitung-hitung solidaritas antar teman katanya.

Bang Ton adalah salah satunya, yang kebetulan datang pagi ini. Hari-hari
Aryo dipenuhi dengan obrolan-obrolan para simpatisan di PKI. Namun Aryo
sama sekali tidak tertarik pada hal tersebut, ia tidak pernah merasa tertarik
dengan hal-hal yang berbau politik. Ia lebih suka hidup seperti sekarang .Hanya
menjadi koki warung kopi. Walau digaji seikhlasnya. Harga saudara.

Hari ini adalah hari keberuntungannya, di mana dadanya merasa ingin


meledak ketika ia melihat anak dari pimpinan PKI Jakarta Timur berkunjung ke
warkop tersebut bersama bapaknya. Wanita tersebut berambut pirang sebahu
dan berkulit putih layaknya Chelsea Islan di abad 21. Namanya adalah Siska, ini
adalah pertama kalinya ia menginjakkan kakinya di warkop tersebut.

Tiap hari, rasanya sama saja. Terkecuali hari ini. Meskipun sama-sama
diisi oleh pekikan “hidup PKI”. Ia seakan melihat bunga yang tumbuh di antara
kotoran-kotoran sapi. Perumpamaan yang tiba-tiba terlintas dikepalanya.

Ada gairah yang menghujaninya. Ketertarikan dengan wanita. Namun ia


tidak langsung menunjukkan ketertarikannya kepada Siska. Seolah pria gagah
yang disukai banyak wanita, ia menjual mahal dirinya.

“Mas, aku minta mie instan satu ya,” pinta Siska kepada Aryo.

“Oh iya Mbak, ditunggu aja ya,” Aryo berkata menunduk tanpa sedikitpun
melihat tubuh Siska.

“Ini Mbak mienya,” Aryo menyodorkan mie instan tersebut.

Tak berapa lama setelah mie tersebut habis, ayahnya mengajak Siska
untuk pulang dan meninggalkan warkop tersebut.

Namun, setelah itu, serasa sial dialami. Siska tak kunjung datang kembali
ke warkop tersebut selama beberapa pekan. Hidupnya bagai tak ada arah, ia
hanya bertemu bang Ton di warkop dan kembali bertemu teriakan “hidup PKI”,
hidupnya serasa lebih buruk daripada sebelum ia kenal Siska, dahulu ia hanya
mendengar pekikan “hidup PKI”, namun kini penderitaan tersebut kian
bertambah ketika Siska tak kunjung datang.

Akhirnya setelah menunggu beberapa pekan dengan kerinduan yang


begitu dalam, Aryo dapat kembali bertemu dengan Siska. Pertemuan tersebut
tidak disengaja dan pertemuan tersebutlah yang akan menentukan jalan
hidupnya.

Pada waktu itu Aryo sedang berjalan-jalan mencari angin karena hari itu
adalah hari liburnya. Tapi tak disangka, ia bertemu Siska di perempatan jalan
Menteng. Siska langsung melambaikan tangan ke arah Aryo.
Setelah basa-basi, ternyata Siska ingin pergi menjemput ayahnya yang
menghadiri pertemuan simpatisan-simpatisan PKI. Katanya, ada di daerah
Pegangsaan. Tapi, Siska tidak mengetahui tempat tersebut.

Beruntungnya Aryo, karena ia mengetahui tempat tersebut. Kebetulan


pula pamannya pun sedang berada di sana. Aryo langsung menawarkan Siska
untuk mengantarnya ke tempat tersebut dan tanpa berpikir dua kali Siska pun
langsung mengiyakannya.

Mereka berangkat dengan kendaraan umum. Aryo dan Siska memandang


megahnya ibu kota pada masa itu. Di dalam kendaraan umum tersebut akhirnya
mereka berbincang banyak hal. Salah satu yang menyatukan mereka, yaitu
sama-sama tidak menyukai aktivitas yang berbau politik. Karena politik hanya
berisi pertikaian. Ternyata mereka berdua merasa cocok dan benih-benih cinta
pun merasuk ke tubuh Siska.

Akibat pertemuan yang tidak lama bagi Aryo, membuat  mereka jadi
sering bertemu. Siska sering mengunjungi warkop dan mereka pun sering
berkeliling Ibukota. Tak terasa mereka telah menjalin kedekatan selama satu
tahun.

Sial kembali bagi Aryo. Kedekatan mereka dihancurkan oleh peristiwa


berdarah yang tak ada habisnya.

Setelah malam itu, 30 September 1965 para jendral Angkatan Darat


dibunuh oleh pasukan Tjakrabirawa, dan berita mengenai hal tersebut baru
diketahui Aryo keesokan harinya. Aryo sendiri tidak mengenal jendral-jendral
yang dibunuh tersebut. Karena ia tidak pernah peduli akan hal yang berbau
politik Indonesia.

Setelah kejadian berdarah itu, Aryo menjalani hari-harinya dengan biasa.


Ia membuka warkopnya pada pagi hari dan bersiap menunggu pembeli.
Anehnya setelah beberapa minggu berlalu, orang-orang semakin jarang
berkunjung ke warkopnya. Ia pun belum bertemu pamannya dari beberapa hari
lalu. Akhirnya, ia memutuskan untuk berkunjung ke rumah pamannya yang
tidak jauh dari warkopnya.

Sampai di rumah pamannya, ia melihat pamannya tengah bersiap untuk


pergi meninggalkan rumahnya dan entah pergi ke mana.

“Paman mau ke mana?” Tanya Aryo dengan wajah kebingungan.

“Tutup warkop kita dan kamu bersiap untuk pergi dari kota ini,” kata pamannya
dengan nada terengah engah.

Aryo bingung dengan hal tersebut. Sampai pamannya menjelaskan bahwa


banyak simpatisan PKI yang ditangkap dan dibawa ke Jawa Tengah, Jawa Timur
dan Bali untuk di eksekusi. Mereka bilang dalang dari pembunuhan jendral-
jendral tersebut adalah PKI.

Hal tersebut membuat Aryo bingung karena apa masalah pamannya


dengan pembunuhan jendral tersebut. Bahkan pamanya saja tidak termasuk
dalam struktur PKI. Mengerti komunis saja tidak. Akhirnya pamannya
meninggalkan Aryo. Namun Aryo tetap tinggal di kota tersebut dan malah
menghawatirkan Siska.

Tanpa berkata-kata ia pun langsung menuju rumah Siska. Sesampainya di


sana, ia hanya menemukan rumah kosong yang tidak lagi berpenghuni. Padahal
ia baru menemui Siska seminggu yang lalu. Hal tersebut membuatnya semakin
takut jikalau Siska kenapa-napa. Akhirnya ia kembali ke rumahnya.

Keesokan harinya ada dua orang berpenampilan tegap berkunjung ke


rumahnya. Mereka memperkenalkan diri. Satu bernama Udin dan satunya lagi
adalah Joko. Penampilan mereka berdua terlihat ramah dan tidak membuat
Aryo curiga sama sekali. Mereka pun mengajak Aryo ke suatu tempat untuk
menanyakan beberapa hal.
Aryo ikut bersama dengan mereka menggunakan mobil jeep yang terlihat
mewah, Aryo pun dibawa ke tempat yang ia sendiri tidak tau ada di mana, ia
dibawa ke suatu rumah biasa dan diintrogasi.

“Kamu kenal dengan Hendro?” Tanya Udin.

“Iya saya kenal. Kan dia paman saya,” jawab Aryo dengan tegas.

“Oooh berarti kamu komunis juga kan?” kembali Udin bertanya.

“Bukan. Saya bukan komunis,” Aryo pun menyanggah pertanyaan tersebut.

Udin dan Joko pun terlihat berbisik di depan Aryo, tiba-tiba Joko
mengambil balok kayu dan langsung menghantam punggung Aryo. Aryo terlihat
kesakitan dan bingung kenapa ia dipukul.

“Sekali lagi kamu bohong, balok ini akan saya pukul ke kepala kamu!” Bentak
Joko.

“Kamu itu PKI kan?” Tanya Udin dengan membentak.

Hilang sudah wajah bersahabat mereka. Tapi lagi-lagi Aryo tetap kukuh
dengan jawabannya bahwa ia bukanlah PKI dan ia tidak tau apa-apa mengenai
pembunuhan jendral itu.

Udin pun menjelaskan bahwa pamannya dan bang Ton telah mati karena
tidak mau mengakui bahwa mereka terlibat dalam pembunuhan para jendral.
Hal itu membuat Aryo sangat kesal lantaran ia sangat mengetahui bahwa
mereka berdua tidak tau apa-apa.

Aryo pun masih ditanyai hal yang sama apakah ia PKI atau bukan. Dan
jawaban Aryo pun tetap sama ia bukanlah PKI.

Kekukuhanya membuat 5 kukunya telah terlepas dari jari-jarinya. Ia terus


meringis kesakitan, namun Udin dan Joko tetap tak kenal ampun dan masih saja
memukul Aryo. Seluruh tubuh Aryo sudah terlumuri oleh darahnya sendiri.
Aryo sudah sampai batasnya sebentar lagi nyawanya akan hilang oleh
penyiksaan yang tiada henti. Di ujung kematiannya, ia mengingat Siska dan
berharap Siska akan terus hidup. Aryo mati dengan pukulan balok tepat di arah
kepalanya, ia mati dalam keadaan ia tidak tau kenapa ia harus mati.

Anda mungkin juga menyukai