Pagi itu bulan Juli 1964, remaja bertubuh kurus bangun dari tidurnya,
seperti biasa ia menjalani hidup sebagai koki. Walau hanya koki di warung kopi
(warkop). Warung kopi tersebut terletak dekat Menteng.
“Hidup PKI! bangkitlah komunis! Aku cinta Aidit!” Teriak pamannya tiba-tiba.
Sementara, Aryo hanya memasang muka aneh keheranan melihat tingkah tolol
pamannya tersebut.
Setelah sampai di warkop, Aryo langsung bersiap jika ada pembeli yang
memesan kopi. Kadang ada pula yang memesan mie instan. Kebanyakan
pembeli warkop tersebut merupakan teman dari pamannya yang juga
merupakan simpatisan dari PKI.
Tak lama setelah warkop tersebut buka, datang seorang yang selalu
mampir di warkop tersebut, ia adalah bang Ton. Bang Ton merupkan salah satu
simpatisan PKI, ia juga salah satu teman Hendro.
“Hey ceking, berikan aku kopi yang segar” seperti biasa, satu gelas kopi dipesan
bang Ton dengan sapaan khusus untuk Aryo menggunakan nada bataknya.
“Siap bang Ton, gimana masih betah jadi pendukung PKI? Gamau masuk
Masyumi?,” kelakar Aryo sambil tersenyum.
Bang Ton sebenarnya tukang parkir, tapi tukang parkir yang dianggap
terhormat oleh masyarakat sekitar. Sebab, walaupun ia tukang parkir ia juga
menjadi guru SD di kampungnya. Bang Ton sudah menjadi simpatisan PKI sejak
tiga tahun yang lalu. Karena teman-temannya gabung ke dalam PKI, ia pun
bergabung dengan PKI. Hitung-hitung solidaritas antar teman katanya.
Bang Ton adalah salah satunya, yang kebetulan datang pagi ini. Hari-hari
Aryo dipenuhi dengan obrolan-obrolan para simpatisan di PKI. Namun Aryo
sama sekali tidak tertarik pada hal tersebut, ia tidak pernah merasa tertarik
dengan hal-hal yang berbau politik. Ia lebih suka hidup seperti sekarang .Hanya
menjadi koki warung kopi. Walau digaji seikhlasnya. Harga saudara.
Tiap hari, rasanya sama saja. Terkecuali hari ini. Meskipun sama-sama
diisi oleh pekikan “hidup PKI”. Ia seakan melihat bunga yang tumbuh di antara
kotoran-kotoran sapi. Perumpamaan yang tiba-tiba terlintas dikepalanya.
“Mas, aku minta mie instan satu ya,” pinta Siska kepada Aryo.
“Oh iya Mbak, ditunggu aja ya,” Aryo berkata menunduk tanpa sedikitpun
melihat tubuh Siska.
Tak berapa lama setelah mie tersebut habis, ayahnya mengajak Siska
untuk pulang dan meninggalkan warkop tersebut.
Namun, setelah itu, serasa sial dialami. Siska tak kunjung datang kembali
ke warkop tersebut selama beberapa pekan. Hidupnya bagai tak ada arah, ia
hanya bertemu bang Ton di warkop dan kembali bertemu teriakan “hidup PKI”,
hidupnya serasa lebih buruk daripada sebelum ia kenal Siska, dahulu ia hanya
mendengar pekikan “hidup PKI”, namun kini penderitaan tersebut kian
bertambah ketika Siska tak kunjung datang.
Pada waktu itu Aryo sedang berjalan-jalan mencari angin karena hari itu
adalah hari liburnya. Tapi tak disangka, ia bertemu Siska di perempatan jalan
Menteng. Siska langsung melambaikan tangan ke arah Aryo.
Setelah basa-basi, ternyata Siska ingin pergi menjemput ayahnya yang
menghadiri pertemuan simpatisan-simpatisan PKI. Katanya, ada di daerah
Pegangsaan. Tapi, Siska tidak mengetahui tempat tersebut.
Akibat pertemuan yang tidak lama bagi Aryo, membuat mereka jadi
sering bertemu. Siska sering mengunjungi warkop dan mereka pun sering
berkeliling Ibukota. Tak terasa mereka telah menjalin kedekatan selama satu
tahun.
“Tutup warkop kita dan kamu bersiap untuk pergi dari kota ini,” kata pamannya
dengan nada terengah engah.
“Iya saya kenal. Kan dia paman saya,” jawab Aryo dengan tegas.
Udin dan Joko pun terlihat berbisik di depan Aryo, tiba-tiba Joko
mengambil balok kayu dan langsung menghantam punggung Aryo. Aryo terlihat
kesakitan dan bingung kenapa ia dipukul.
“Sekali lagi kamu bohong, balok ini akan saya pukul ke kepala kamu!” Bentak
Joko.
Hilang sudah wajah bersahabat mereka. Tapi lagi-lagi Aryo tetap kukuh
dengan jawabannya bahwa ia bukanlah PKI dan ia tidak tau apa-apa mengenai
pembunuhan jendral itu.
Udin pun menjelaskan bahwa pamannya dan bang Ton telah mati karena
tidak mau mengakui bahwa mereka terlibat dalam pembunuhan para jendral.
Hal itu membuat Aryo sangat kesal lantaran ia sangat mengetahui bahwa
mereka berdua tidak tau apa-apa.
Aryo pun masih ditanyai hal yang sama apakah ia PKI atau bukan. Dan
jawaban Aryo pun tetap sama ia bukanlah PKI.