Anda di halaman 1dari 3

Tugas Prof.

Gatot

-Ilmu Penyakit Dalam - dr. Annisa Oktoviani -

Review LOOK OF SILENCE

Adi memiliki seorang kakak bernama Ramli yang menjadi korban pada pembantaian PKI
tahun 1965-1966 di sebuah desa, Sumatera Utara. Adi harus menerima kenyataan dirinya
dicap sebagai keluarga komunis setelah Ramli dieksekusi dengan tuduhan simpatisan Partai
Komunis Indonesia. Dibantu oleh Oppenheimer, Adi mengetuk satu persatu pintu rumah para
pembunuh kakaknya itu guna menemukan jawaban atas kegelisahaan dirinya selama ini.
Keputusan Adi untuk bertemu langsung dengan para ‘pahlawan’ yang telah membunuh
kakaknya ini merupakan pemecah kesenyapan diantara jutaan keluarga korban. Selama ini
para korban kekejaman peristiwa 1965 tak berani membuka suara dan lebih memilih munutup
rapat-rapat trauma masa lalunya.

Adi dalam salah satu adegan di Senyap disuguhkan tayangan rekaman


wawancara Oppenheimer dengan para pembunuh yang menganggap dirinya sebagai
pahlawan. Diam dan termenung, saat Adi menyaksikan bagaimana para penjagal itu dengan
bangga dan penuh tawa bercerita kepada Oppenheimer cara mereka menyiksa dan membunuh
korban.

“Semua duduk di truk mereka mengerang kesakitan, dengan kondisi wajah tertutup dan
tangan diikat”, tutur pria yang lebih pantas dipanggil kakek itu memperagakan bagaimana
caranya membunuh korban.

Adi serius menyaksikan di depan televisi tayangan wawancara itu meski perlahan raut
mukanya memendam rasa sedih. Matanya yang mulai berkaca-kaca kecewa dengan jawaban
para pembunuh kakaknya itu.

“Mungkin semua itu terjadi karena penyesalan yang begitu dalam atas pembunuhan yang dia
lakukan pada waktu itu. Karena rasa penyesalan dan kesalahan yang begitu besar, saat
mereka memperagakan pembunuhan tersebut seperti mati rasa,” ujar Adi.

Film berdurasi 98 menit ini juga menyuguhkan pergolakan batin antara Adi, kedua orang
tuanya dan para pembunuh. Hidup berdampingan dengan orang yang paling dibenci tak
mungkin dilupakan begitu saja oleh Adi dan keluarga. Apalagi para jagal itu masih berkuasa
dan tidak sedikitpun memiliki rasa penyesalan atas perbuatannya.

“Rasanya ya nggak enak, aku benci setengah mati. Sekarang (mereka) bisa hidup enak. Nanti
di akhirat korban akan menuntut. Balasannya akan lebih buruk dari kelakuan (mereka) saat
ini”, jawab ibunda Adi sambil memendam kemarahan.
Kesenyapan itupun kini menagih bunyi. Diamnya korban-korban peristiwa 1965 kini dersulut
lagi oleh kisah seorang adik dari kakak yang dituduh terlibat partai terlarang hingga saat ini,
Adi.

Selamat dari Eksekusi

Pria paruh baya dengan peci hitam di kepala sembari mengenakan jaket berjalan menuju
tempat pembantaian Ramli. Ditemani Adi, pria yang berhasil lolos saat proses dieksekusi di
Sungai Ular itu menunjukan lokasi dimana Ramli disiksa.

“Ramli menjerit minta tolong, semua orang akan dimatikan” tutur pria paruh baya itu kepada
Adi.

Lolos dan melarikan diri ke perkebunan sawit. Pria paruh baya itu menjadi saksi hidup yang
bercerita bagaimana kejinya perlakuan para pembunuh terhadap dirinya dan Ramli. Ia pun
sebenarnya telah menutup rapat-rapat peristiwa tersebut. Ikhlas dan tidak mau mencari
masalah lagi bahkan untuk sekedar membicarakannya dengan Adi.

Sisa-sisa arogansi si pasukan pembunuh tingkat desa

Ucapan salam mengawali perjumpaan Adi dengan kakek bernama Inong. Dengan kupluk
warna hijau kecoklatan, Inong duduk di kursi plastik merah jambu sambil melihat Adi tengah
mempersiapkan alat tes kacamata yang akan ia kenakan. Tak berapa lama kemudian Adi
memulai pekerjaannya. Ia menanyakan kepada Inong bagaimana penglihatannya
setelah beberapa lensa yang telah dicoba. Percakapan pun mulai dengan pertanyaan lantang
dari Adi, “Orang kampung sini takut sama bapak?”.

“Di sini banyak orang BTI (Barisan Tani Indonesia) dan Gerwani (Gerakan Wanita
Indonesia), tapi mereka sadar percuma melawan saya. Sebab saya ikut organisasi massa.
Walaupun 75% orang sini adalah BTI mereka tak berani”, jawab Inong.

Inong kakek yang kini pandangan matanya tak setajam dahulu adalah salah satu pasukan
pembunuh tingkat desa. Tak sedikit orang yang dianggap sebagai kaki tangan komunis mati
ditangannya. Inong percaya jika dengan meminum darah korban yang ia bunuh membuatnya
tidak bisa gila. Menurutnya banyak para pembunuh sepertinya yang kini menjadi gila
lantaran tak sempat mencicipi darah dari para korban.

Beberapa kali Adi mencoba mengulik lebih dalam masa lalu kakek yang memelihara seekor
monyet di rumahnya itu. Inong merasa tersudut dengan pertanyaan Adi perlahan mulai naik
darah dan memotong pembicaraan.

“Ini saudara bertanya terlalu dalam, saya nggak suka itu. Kalau sekiranya mau dibatalkan ya
batalkan saja ini”, kata Inong dengan nada tinggi.
Inong sangat marah dan meminta Oppenheimer yang merekamnya berhenti menyudahi
pertemuan itu. Wajahnya seolah menyiratkan rasa ketakutan dan tak ingin kembali mengingat
apa yang telah ia lakukan di masa lalu. Entah apa yang ada di dalam hati Inong. Apakah
kemarahannya itu bukti bahwa dirinya merasa berdosa pada masa lalunya?.

Kesimpulan

The Look of Silence berhasil menghadirkan secuil fakta yang selama ini Senyap berpuluh-
puluh tahun. Selama ini kita khususnya generasi muda hanya dicekoki oleh film G30S PKI
yang syarat akan propaganda penguasa saat itu. Bunyi yang terakhir kali terdengar pada tahun
1965 kini kembali terdengar melalui karya Oppenheimer. Tak ada satupun pembunuh yang
menyesal. Mereka para pembunuh masih percaya bahwa apa yang mereka lalukan adalah aksi
bela negara. Bernarkah politik menjadi jalan kebenaran untuk menghilangkan nyawa
seseorang?. Tanpa proses peradilan, tanpa pembelaan, dan tanpa perlindungan dari negara.

Memaafkan mungkin bukanlah kata-kata yang tepat untuk Adi jika tak ada penyesalan
sedikitpun dari para pelaku. Siapa yang harus dimaafkan? Tak ada yang meminta maaf dan
tak ada yang harus dimaafkan.

Bunyi senyap yang kini terdengar kembali telah menagih. Apakah bunyi itu mau didengar
oleh penguasa? atau hanya berhenti disini dan menjadi Senyap kembali.

Anda mungkin juga menyukai