Anda di halaman 1dari 4

Kopi dan cinta yang Tak

Pernah Mati
AGUS NOOR

KEBEBASAN selalu layak dirayakan. Maka selepas keluar penjara, yang


diinginkan ialah mengunjungi kedai kopi ini. Kebahagiaan akan semakin lengkap bila
dinikmati dengan secangkir kopi. Hanya di kedai kopi ini ia bisa menikmati kopi terbaik
yang disajikan dengan cara paling baik.

Ada orang-orang yang bersikeras mempertahankan kenangan, dan kedai kopi ini seolah
diperuntukkan bagi orang-orang seperti itu. Nyaris tak ada yang berubah. Meja kursi
kayu hanya terlihat makin gelap dan tua. Yang dulu tak ada hanya poster bergambar
siluet wajah lelaki berkumis tebal, yang terpasang dekat jendela. Ada tulisan bawah
poster itu, seperti larik puisi. Pada kopi ada revolusi, juga cinta yang tak pernah mati. Ia
tersenyum. Sejarah memang aneh: dulu lelaki itu pembangkang, kini dianggap pejuang.

Beberapa orang di kedai kopi langsung menatap tajam saat ia masuk. Ia mengenali
beberapa dari mereka, para pembangkang yang sejak dulu memang selalu berkumpul di
kedai kopi ini. Ia tetap tenang. Apa pun bisa terjadi. Mungkin seseorang akan
menyerangnya. Sepuluh tahun dalam penjara membuat kewaspadaannya makin terasah.
Ia meraba pistol di balik jaket. Sekadar berjaga. Kita harus selalu berhati-hati
menghadapi kebencian, batinnya, saat menatap anak muda penyaji kopi yang terus
memandanginya. Mata itu mengingatkan pada mata laki-laki yang dulu dibunuhnya.
Umur anak muda itu baru 11 tahun saat bapaknya mati. Kini terlihat seperti banteng
muda yang siap meluapkan dendamnya. Pemuda itu mengangguk pelan saat ia memesan.

Panas udara siang membuat aroma kopi terasa semakin kental. Tak akan pernah
dilupakannya harum kopi yang menenteramkan ini, seolah aroma itu dicuri dari surga.
Ketika ditugaskan ke kota ini, komandannya memberi tahu, agar tak melewatkan kedai
kopi ini dari ‘daftar yang harus dikunjungi’: Kedai kopi yang menyediakan kopi terbaik.
Kedai kopi yang bukan saja istimewa, tetapi juga berbahaya.

Bertahun lalu, ia dikirim ke kota ini untuk menghabisi seorang pembangkang yang
dianggap berbahaya bagi negara. Saat itu demonstrasi nyaris meledak setiap hari. Kota ini
menjadi kota yang selalu rusuh oleh gagasan gila perihal kemerdekaan. Para perusuh itu,
begitu tentara menyebut, tak hanya bergerak di hutan-hutan, tetapi juga menyusup ke
kota, menyerang pos keamanan atau menyergap pasukan patroli keamanan. Tentara
melakukan pembersihan. Puluhan orang ditangkap, diculik dan tak pernah kembali. Ada
peristiwa yang tak akan pernah dilupakan oleh penduduk kota ini, ketika suatu hari
tentara mengeksekusi delapan anak muda di perempatan pusat kota. Mereka diseret,
dibariskan satu per satu, kemudian ditembak tepat di kepala. Kekejian seperti itu
terkadang diperlukan untuk menciptakan ketakutan. Tapi siapa yang bisa membunuh
gagasan? Kepala bisa ditembak sampai pecah, tetapi gagasan akan terus hidup dalam
kepala banyak orang. Peristiwa itu mendapat protes keras, dan makin memicu
perlawanan. Amnesty International menekan pemerintah pusat. Saat operasi militer
dianggap tak lagi efektif, ia pun dikirim.

Sebagai agen intelijen terlatih ia pun dengan cepat mengetahui, bagi orang-orang di kota
ini kedai kopi bukan sekadar tempat untuk menikmati kopi. Hampir di setiap jalan di kota
ini selalu ada kedai kopi. Rasanya tak ada penduduk kota ini yang tak menyukai kopi. Di
kedai kopi waktu seperti berhenti. Orang bisa sepanjang hari duduk di kedai kopi untuk
berkumpul, berbual atau menyendiri, mempercakapkan hal-hal rahasia, kasak-kusuk
perlawanan, juga tempat paling tepat untuk menyelesaikan masalah. Pertengkaran bisa
diselesaikan dengan secangkir kopi. Semua informasi di kota ini akan dengan mudah
didapatkan di kedai kopi.

Dari informasi yang dimiliki ia mengenali lelaki yang mesti dihabisi. Yang dianggap
musuh negara paling berbahaya ternyata bukan seorang berperawakan kekar, yang hidup
berpindah-pindah dalam hutan memimpin gerilyawan, dan karena itu tentara tak pernah
berhasil menangkapnya. Orang yang dicarinya itu hanya bertubuh kecil, nyaris kurus,
berkulit gelap, rambut agak ikal. Ia terlihat keras, tetapi selalu berbicara dengan intonasi
santun. Jadi inilah orang yang selalu menghasut anak-anak muda untuk melakukan
perlawanan dan menuntut kemerdekaan. Dia hanya penyaji kopi.
***

ANAK muda penyaji kopi itu telah berdiri di dekatnya, menyodorkan secangkir kopi
yang sedikit bergetar ketika diletakkan di meja. Ia tahu anak muda itu gugup, tetapi
berusaha mengendalikan emosinya.

“Ini kopi terbaik yang kusajikan untukmu yang di dalamnya tersimpan rahasia, yang
hanya bisa kau ketahui setelah kau meminumnya.” Anak muda itu menatapnya. “Tapi
aku tak yakin, apakah kamu berani meminumnya habis.”

Di luar, jalanan ramai lalu lalang kendaraan. Klakson angkot, knalpot sepeda motor
meraung kencang. Lagu dangdut terdengar dari kedai kopi seberang jalan. Tapi ia
merasakan suasana begitu sunyi di kedai ini. Semua orang dalam kedai terdiam dan
memandang ke arahnya, seolah berharap terjadi perkelahian seru.

“Duduklah,” akhirnya ia berkata. “Seperti yang selalu dikatakan orang-orang di kota ini,
mari kita selesaikan semuanya dengan secangkir kopi.”

“Seperti ketika kamu menghabisi ayah aku!”

Terdengar kursi kayu digeser, dan anak muda itu duduk. Lagu dangdut masih
terdengar dari kedai seberang: Tuduhlah aku, sepuas hatiiimuuuu, atau bila kau perlu
bunuhlah akuuuu…
“Kau pasti membenciku.” Ia mengisap rokok dalam-dalam.

“Untuk apa membenci seorang pengecut. Pengecut lebih pantas dikasihani.”

“Kalau kukatakan aku bukan pembunuh ayahmu, pasti kau tak percaya. Tapi
baiklah, bila aku memang kau anggap pembunuh ayahmu, kau pasti tahu
kenapa ayahmu harus dibunuh.”
“Selalu tersedia cukup banyak alasan untuk menjadi pembunuh. Hanya pengecut
yang membunuh dengan cara-cara licik.”

“Jangan terlalu percaya pada apa yang diberitakan koran-koran. Asal kau tahu,
aku mengagumi ayahmu. Kematian ayahmu bukan tanggung jawabku. Itu
tanggung jawab negara.”

“Yang pertama-tama dilakukan para pengecut memang selalu mencari


pembenaran. Itu sebabnya para pengecut selalu selamat.”

Ia kembali menyalakan sebatang rokok. Padahal rokok di asbak masih panjang.


Ia ingin meminum kopi di cangkir itu pelan, tapi seperti ada yang menahannya,
insting yang mengharuskannya bersikap hati-hati dalam situasi seperti ini. Jari-
jarinya berkedut, hal yang selalu terjadi bila ia merasa cemas, hingga rokok di
jarinya nyaris lepas. “Aku telah menghabiskan sepuluh tahun dalam penjara
untuk sesuatu yang dituduhkan padaku yang sebenarnya tak pernah kulakukan.”

“Pengecut tak akan pernah berani mengakui kejahatan yang dilakukan!”

“Aku sendiri hanya orang yang dikorbankan untuk menutupi kesalahan orang
lain. Salah alamat bila kau mendendam kepadaku.”

“Ini bukan soal dendam. Ini soal keadilan,” tatapan anak muda itu makin tajam.
“Kamu memang sudah dihukum. Dan aku yakin, sepanjang hidupmu, kamu akan
terus dihukum oleh kepengecutan dan ketakutanmu. Tapi itu bukan alasan
bagiku untuk berhenti menuntut keadilan

Anda mungkin juga menyukai