Anda di halaman 1dari 4

Awal Hancurnya Harapanku

Tidak seperti biasanya, suasana pagi waktu itu benar-benar berbeda.


Matahari seperti enggan untuk memancarkan cahayanya. Beberapa
kali kulirik jam putih yang melingkar di pergelangan tanganku, untuk
sekedar memastikan bahwa hari tidak sepagi yang kukira. Ternyata
benar, jam sudah menunjukan pukul 7 tepat.

Taksi yang ku tumpangi terus melaju, menembus ratusan butir embun


yang berguguran secara bergilir. Sesekali aku mencuri waktu untuk
menghela nafas, mencoba mengusir rasa gelisah yang sedari tadi
bersarang di benakku. Ah, waktu terasa berjalan sangat lambat,
desahku dalam hati.

Selang beberapa menit kemudian taksi yang kutumpangi sudah


berhenti tepat di depan gerbang sekolahku. Satu persatu penumpang
yang berseragam sama seperti ku mulai beranjak turun dari taksi,
hanya aku saja yang terlihat santai duduk di tempat. Sengaja ku
bersabar dan memilih turun paling akhir untuk menghindar dari
adegan berdesak desakkan. Puluhan detik telah terlewati, semua
orang telah turun kecuali aku dan dua orang lain yang sepertinya adik
kelasku. Aku menatap heran ke arah mereka.

'Silahkan turun duluan kak!' ucap salah satu dari mereka. Sekilas
kulihat mereka berdua tersenyum hangat ke arahku.

Aku pun membalas senyuman mereka dan segera beranjak turun dari
taksi. Tidak lupa pula ku ucapkan terimakasih kepada mereka. Adik
kelas yang baik, fikirku.

Usai membayar ongkos taksi aku berjalan melewati gerbang,


melangkah perlahan menuju kelas yang jaraknya lumayan jauh dari
gerbang sekolah. Entah kenapa hari itu aku benar-benar kehilangan
semangat. Setelah sekian lama berjalan tanpa ekpresi akhirnya aku
sampai di depan kelas ku (IX F), tapi belum sempat aku masuk ke
dalam kelas, seseorang berteriak memanggil nama ku.
Refleks aku langsung menoleh ke asal suara.
Tampak orang itu berjalan menghampiriku.
'Ada apa?' tanyaku.
Belum sempat aku mendapatkan jawaban, dengan sigap orang itu
menarik tanganku dan menyeretku mengikutinya hingga kami berhenti
di depan kelasnya ( IX D).
'kamu siapa? pake narik-narik segala?' tanyaku beruntun. Tak
kusangka ternyata orang itu adalah icha teman sebangku semasa di
taman kanak-kanak
Icha hanya diam, dan berlalu masuk mendahului ku ke dalam ruang
kelasnya. Karena merasa penasaran akan sikap orang yang aku sendiri
tidak kenal siapa orang itu, aku pun turut masuk ke dalam ruangan
dan mengekor di belakang icha.

Di dalam ruangan, keempat sahabat ku yang lain ternyata sudah


berkumpul di sana. Jujur saja, dari awal kaki ku melangkah masuk,
seketika perasaan ku mulai berubah. Entah kenapa aku merasa akan
terjadi sesuatu yang pastinya tidak aku inginkan.

Dengan ragu, aku melangkah mendekati kelima sahabatku yang duduk


di barisan bangku paling belakang.

'Hai Dina, tumben telat?' sapa nita. Dari nada suaranya saja aku sudah
dapat memastikan kalau memang ada sesuatu yang sudah terjadi.
'Telat bangun, hehe. Ngapain kalian pagi-pagi sudah ngumpul disini?'
tanyaku mencoba mencari tahu.
'Din, udah buka facebook pagi ini?' tanya eny dan Ieya hampir
bersamaan.
Aku hanya menggeleng pelan. Kebingungan ku mulai mecuat
kepermukaan.
'Buka sekarang!!' perintah Ainah sambil menyerahkan handphonenya
kepadaku.
'Aku bawa Hp kho,' tolakku pelan.

Tanpa menunggu lama aku segera membuka akun facebook ku. Entah
karena apa, saat itu tanganku berubah menjadi lemas dan Hp ku pun
tanpa sadar terlepas dari tanganku. Duuppp, hatiku mulai merasa
terusik.
Icha yang melihat ponsel ku jatuh, segera mengambilnya. Aku hanya
diam sambil memperhatikan icha mengotak atik ponselku dengan
didampingi Ainah dan Ieya.
'Yap, sudah kuduga. Bukan cuma kita, tapi Dina juga..' ucap icha
setelah sekian menit terlewati.
Semua mata memandang ke arahku, bukan tatapan dingin yang
kudapat, melainkan tatapan kekecewaan mereka.
Aku mengernyitkan dahi. Apa yang terjadi?
'Ada apa?' tanyaku dan segera mengambil kembali ponselku dari
tangan icha.
'Kita hancur Din,' Eny akhirnya membuka suara.

Yahh, akhirnya aku mengerti maksud dari semua ini. Ku amati layar hp
ku dengan seksama seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja
aku lihat.
'Kita sudah tidak berteman dengannya di facebook. Kemungkinan kita
semua di blokir, karena satupun dari kita tidak ada yang bisa melihat
profilnya. Sepertinya dia benar-benar marah,' jelas Ainah.
'Tapi apa salah kita? Gak bisa dong dia seenaknya memutuskan tali
persahabatan secara sepihak begini,' Icha mulai tampak emosi.
Aku hanya diam dalam tundukanku. Hati kecilku merintih, berharap ini
tidak benar-benar terjadi.

Eni dan Nita mendekat ke arahku, sekilas kulihat mereka berusaha


menahan tangis sedang yang lain hanya larut dalam tundukan
kekecewaan masing-masing. Aku pun mencoba menenangkan eny dan
nita.
'Kita kehilangan satu sahabat lagi' kata nita di sela isaknya. Ya, dia
menangis.
'Kenapa terjadi lagi? Padahal persahabatan kita baru terjalin beberapa
bulan,' Eny turut larut dalam tangisnya.
'Sudah, jangan kaya gini lagi! Kita harus bisa tunjukkan ke dia kalau
kita masih bisa menjalin persahabatan tanpa dia,' kata ku mencoba
menenangkan mereka. Aku berusaha tetap tenang meski sebenarnya
akupun ingin sekali menangis.
'Iya Dina benar. Kita ini tidak lemah, memangnya siapa dia? Ini hidup
kita, yang boleh menentukan ya kita juga, bukan dia,' kata ieya dalam
emosinya.
Aku memandangi wajah mereka satu persatu. Yah, aku tau mereka
pasti kecewa sekali dengan semua ini. Bukan cuma mereka, aku juga
sangat kecewa.
'Sudah-sudah, tidak perlu emosi. kita hanya perlu bersikap seolah-olah
tidak terjadi apa-apa. Dan anggap saja dia tidak kita kenal,' kata ku
lagi, mencoba meredakan emosi ieya.

Satu persatu sahabatku mengiyakan kata-kataku. Dan detik itu pula,


kami semua sepakat akan memulai kembali semuanya dan bersikap
seolah-olah tidak ada kata perpisahan dalam sejarah persahabatan
kami.

Bel tanda jam pelajaran akan dimulai sudah dibunyikan. Aku pun
melangkah kembali ke kelas ku. Baru satu langkah kakiku masuk ke
dalam kelas, aku melihat tas nya sudah tidak ada di samping mejaku.
Baguslah kalau dia pindah duduk, bisik hatiku.
Gelak tawa teman-temanku yang duduk di barisan belakang
membuatku membalikkan badan, menoleh ke arah mereka. Kudapati
dirinya sedang berbaur dengan teman-teman yang lain. Kutatap tajam
wajahnya, sepertinya tidak ada rasa bersalah sedikitpun di sana.
Sebenarnya kau anggap apa kami ini?

'Berarti jadi kan hari ini kita ke rumah kamu Mir?'


'Iyaa dong. Rumah ku selalu terbuka untuk kalian.'

Percakapan demi percakapan terlontar dari mulut mereka. Tidak


jarang kata-kata mereka disengajakan untuk menyindir ku. Ya, aku
tau mir (seseorang yang dulunya menjadi sahabatku) kami bukan
orang kaya seperti kamu, tapi jangan fikir kamu bisa menindasku dan
sahabatku dengan seenaknya, maki ku dalam hati.

Berminggu-mingggu aku merasakan berubahnya sikap dari teman-


teman sekelasku. Baru sekarang aku menyadari, kalau status sosial
ternyata bisa mengubah segalanya. Semua orang berpihak padanya
dan menganggap kami lah yang salah.

Kami (aku, eny, nita, ieya, icha, ainah, ana dan mira) baru beberapa
bulan sepakat untuk membangun persahabatan. Tapi ternyata tidak
cukup hanya dengan kebersamaan agar persahabatan itu masih bisa
terjaga. Ketidakbisaan kami dalam mengendalikan ego, ternyata
mampu menghancurkan ikatan kami.

Tapi aku sadar, tidak ada gunanya menyesali apa yang telah terjadi.
Hidup masih berjalan dan tidak akan berhenti hanya karena masalah
seperti ini. Meski membutuhkan waktu yang tidak sedikit, aku yakin
aku dan sahabatku yang lain pasti bisa bangkit lagi. Mencoba
melupakan yang lalu dan memaafkan segala kesalahannya yang telah
membuat kami semua kecewa. Meskipun terkadang aku kembali
teringat kenangan yang menyakitkan itu, aku hanya menganggapnya
sebagai klimaks dalam cerita ku.

Aku dan yang lain mulai mencoba melepas semuanya dan memulai
yang baru. Semuanya serba baru. Dan yang terpenting kami akan
selalu mencoba untuk menerapkan rasa saling mengerti satu sama lain
agar persahabatan kami tidak lagi mengalami
perpecahan.

Nama:Ayub Avicenna Hanafi


Kls:Ix 10
Absensi:1

Anda mungkin juga menyukai