Anda di halaman 1dari 22

Rahasia Suami

eramuslim - Seksi. Ia sangat anggun dengan jilbab cantik menghiasi wajahnya. Dengan sapuan kosmetik
tipis, Ajeng tampil mempesona seluruh pegawai laki-laki di ruangan ini termasuk diriku. Dan yang
membuatku tambah kelimpungan, Ajeng sering mengajakku berdiskusi tentang apa saja soal agama,
pekerjaan dan lain-lain. "Mas antar ajeng ke Mall yah buat beli peralatan kantor," ajaknya manja.
Kuayunkan langkahku menuju kantor. Tepat di ujung meja, Ajeng melempar senyum manisnya serta
anggukan hormat. Aku tergagap. Kubalas anggukannya walau sedikit kaku.
Sudah sebulan ini Ajeng menjadi pegawai baru di kantorku. Orangnya sangat ramah dan cantik.
"Eh... sejak kapan aku kok memperhatikan kecantikan orang lain selain istriku," pikirku jengah. Ajeng memang
berbeda dengan teman-teman wanitaku di kantor yang berpakaian gelagapan. "Wah bahaya ini,
panah-panah setan mulai menusuk hati," batinku bingung. "Maaf jeng, tidak bisa, aku ada pengajian,"
tolakku halus. "Sebentar saja deh mas, aku butuh teman nih," rajuk Ajeng lagi. Akhirnya aku kalah dengan
rayuan manis yang disodorkan Ajeng.
Sesampainya di rumah, kulihat anak-anak tidur. Kuusap wajahku galau. Terus terang baru
pertama kali inilah jiwaku kacau. Godaan Ajeng begitu kuat menghantam relung hatiku. Dan kini aku mulai
membanding-bandingkan Ajeng dengan Dewi, istriku yang setia selama 7 tahun menemaniku dalam suka
dan duka. Ajeng selalu wangi sedangkan Dewi selalu bau masakan dan air susu. Ajeng tampil modis
sedangkan Dewi berdaster ria. "Ah... kenapa aku kok tiba-tiba usil dengan penampilan Dewi, padahal
sebelum ada Ajeng aku suka dengan bau badan Dewi."
"Terlambat lagi mas, banyak lembur yah?" tanya Dewi polos. Aku mengangguk ragu. Aku telah
berbohong. Kutatap Dewi lekat-lekat. Wajahnya teduh, aku tertunduk. "Kenapa aku ini, bukankah Dewi
lebih baik dari Ajeng. Dahulu sebelum punya anak Dewi pun wangi dan selalu tampil rapi. Dewi selalu
menyejukan hati setiap kali aku ada masalah. Dewi pun tidak pernah rewel walau gajiku kecil sehingga
Dewi harus mengurus dua anak kami tanpa pembantu. Dewi selalu siap disisiku kemanapu aku minta. Dan
yang utama, Dewi istri salihah yang taat pada Allah dan Rasul."
"Dewi... ah, aku telah tak adil padanya. Aku laki-laki yang egois, hanya memikirkan nafsuku saja.
Seharusnya jika ada bunga mawar yang menebar pesona, aku tak lantas menjadi kumbang yang
langsung menyergap. Belum tentu penampilan bunga mawar itu lebih menarik dari bunga melati yang
sederhana namun abadi". Aku me-muhasabah diriku sambil menyeruput teh manis buatan Dewi.
"Belum lagi aku membuat Dewi bahagia secara materi, sekarang aku malah mengkhianati
cintanya. Satu-satunya kebahagiaan yang dimiliki Dewi dariku."
Kuusap kembali wajahku, basahnya air wudhu menyejukan batinku. Kutatap wajah Dewi. "Kenapa
sih mas ngeliatnya kaya begitu", tanya Dewi heran. "Enggak apa-apa de' mas merasa bahagia
mempunyai istri seperti ade'. Sekarang tolong dekap mas, de,' Mas ingin sekali mendengar kamu baca
Qur'an seperti dulu kita di awal pernikahan", pintaku tulus. Kulihat ada guratan kebingungan di wajah Dewi,
tapi seperti biasa Dewi adalah istri yang salihah yang tanpa banyak tanya diturutinya permintaanku. Aku
pun tenggelam dalam alunan ayat-ayat suci Al Qur'an yang dibacakan Dewi dengan merdunya.
Hatiku lega, mulai besok suamimu akan kembali, Dewi. Suami yang akan menjaga dirinya dari panah-
panah setan. Panah seorang Ajeng, dan mungkin akan ada Ajeng-Ajeng lainnya.
Detik-Detik Menjelang Pernikahan

eramuslim - Hani (24 th) akhir-akhir ini sering resah sendiri, apa yang dilakukannya sering menjadi serba
salah, bahkan untuk hal-hal yang rutin dikerjakannya pun tak luput dari kesalahan. Hani juga jadi lebih
sensitif, ada hal kecil saja yang tak berkenan di hatinya sudah dapat membuat ia sedih dan menangis.
Tentu saja keadaan ini tidak membuat ia merasa nyaman terhadap dirinya sendiri. Usut punya usut,
ternyata Hani sebentar lagi akan menikah, tepatnya sepekan lagi.
Hani akan memasuki dunia baru, ia akan mengarungi bahtera rumah tangga. Persiapan sudah
dilakukan, tempat sudah di booking jauh-jauh hari, undangan telah disebar, segala sesuatu yang
berkaitan dengan teknis pernikahan sudah disiapkan dengan matang. Pendeknya, segala sesuatunya
sudah beres, sisanya tinggal persiapan diri yang bersangkutan saja untuk menghadapi pernikahannya.
Sebetulnya Hani merasa telah mempersiapkan dirinya menghadapi pernikahan ini, tapi tak urung
ia masih juga khawatir, apakah ia siap berbagi hidup bersama orang yang baru dikenalnya? Apakah ia
sanggup menjalankan amanah sebagai seorang istri lalu menjadi seorang ibu?
Hani teringat bahwa suatu hari ia pernah membaca sebuah buku yang di dalamnya diceritakan
kisah tentang seorang wanita yang bertanya kepada Rasulullah SAW :
"Ya Rasulullah SAW, aku adalah seorang gadis yang ingin menikah, maka beritahukanlah kepadaku,
apakah hak-hak suami terhadap istrinya agar aku dapat melaksanakannya? InsyaAllah".
Rasulullah SAW yang mulia menjawab : "Diantara hak suami atas istrinya adalah : Jika saja kaki suamimu
terluka kemudian luka itu bernanah dan mengeluarkan bau busuk, kemudian engkau membasuhnya
dengan wajahmu, maka engkau belum dianggap memenuhi semua hak suamimu. Dan kalau saja Allah
membolehkanku untuk memerintahkan manusia sujud kepada manusia lain, sungguh aku perintahkan para
istri untuk sujud kepada suaminya".
Hani ingat, ketika itu ia sampai bergidik membacanya. Ia juga teringat akan pembahasan
tentang istri sholihah dalam kajian yang sering diikutinya, sehingga membuatnya terus menerus berfikir,
apakah ia mampu menjadi istri sholihah? Hani memang punya tekad kuat untuk menjadi istri sholihat. Ia
ingin pernikahannya menjadi ladang amal sholih baginya, dan untuk itu ia akan mengerahkan seluruh
kemampuannya.
Sebenarnya Hani tak perlu sampai khawatir begitu, sebab rasanya kita semua, baik yang belum
menikah atau bahkan yang sudah menikah bertahun-tahun masih harus terus belajar dan berproses
menjadi istri yang sholihah, dan proses itu tidak akan pernah berhenti selama kita masih menjadi seorang
istri. Memang sangat jauh lebih baik proses untuk menjadi istri yang sholeha dimulai jauh-jauh hari sebelum
Allah SWT memberikan jodoh kepada kita.
Lalu ketika hari pernikahan sudah diambang pintu, apa yang seharusnya dilakukan...?
Pertama
Lebih intensif mendekatkan diri kepada Allah SWT, dibandingkan waktu-waktu sebelumnya.
Menikah adalah keputusan penting dalam kehidupan manusia. Siapapun tentunya tidak ingin
salah dalam mengambil keputusan, apalagi keputusan itu menyangkut hal penting dalam hidupnya yaitu:
"Pernikahan"
Nah detik-detik menjelang "hari H" itu intensiflah bermunajat kepada Allah SWT, memohon
kepada-Nya agar keputusan yang telah kita ambil itu benar-benar mendapat taufiq (persetujuan) serta
ridho-Nya dan pernikahan ini menjadi keputusan terbaik dalam hidup kita. Juga memohon bimbingan
kekuatan, kemudahan dalam menjalani hidup berumah tangga, sehingga menjadi rumah tangga yang
sakinah,mawaddah wa rahmah hingga akhir zaman.
Kedua
Berusaha untuk ikhlas dan senantiasa menjaga keikhlasan dalam kondisi apapun.
Ikhlas dalam konteks akan membangun rumah tangga adalah berusaha ikhlas menerima calon
pasangan kita apa adanya, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Ingat, kita akan menikahi
manusia, bukan malaikat. Betapapun tinggi tingkat ketaatan seseorang dalam beragama, bukan berarti
dapat mengubahnya menjadi malaikat yang tak pernah berbuat salah. Siap menikah berarti siap untuk
terus menjaga keikhlasan dalam menjalani semua kewajiban, konsekwensi, dinamika dan gelombang
dalam berumah tangga. Sehingga dalam menghadapi kondisi seberat apapun nantinya, sikap kita
adalah melakukan perenungan kembali tentang niat awal kita menikah. Apa sih niat saya menikahi dia?
Kenapa sih saya mau menikahi dia? Dengan demikian kita senantiasa diingatkan bahwa ada
yang harus selalu dijaga dalam pernikahan ini. Ia adalah keikhlasan itu sendiri. Dalam kerangka ini,
insyaAllah pernikahan akan menjadi ibadah di sisi-Nya.
Ketiga
Menjaga kebersihan hati dan menghiasinya dengan adab-adab syar'i.
Ingat, sebelum prosesi aqad nikah dilangsungkan, status kita terhadap calon pasangan adalah
non-mahram, yang berarti adab berinteraksi dengan calon pasangan adalah sebagai mana adab
berinteraksi antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram.
Hal itu sangat penting disadari untuk menjaga kebersihan hati agar tidak tergoda untuk
melakukan hal-hal yang dilarang oleh syar'i. Berkomunikasi dan berinteraksi tentu saja boleh, tidak mungkin
orang yang akan menikah tidak berkomunikasi dan berinteraksi dengan calon pasangannya. Tapi
berusahalah sedapat mungkin berkomunikasi dan berinteraksi sesuai dengan adab yang diperbolehkan
syariat. Misalnya, musyawarah tentang persiapan menikah dilakukan di rumah, bersama oang tua kita,
atau dapat dilakukan di rumah orang yang kita percaya, tentu saja dengan didampingi oleh tuan
rumahnya. Hindari berkhalwat berdua dengan calon pasangan, ingat "tidaklah seorang laki-laki dan
perempuan berkhalwat melainkan ketiganya adalah syaitan". (Al-Hadits). Hindari juga sms, telephon, email
mesra dan lain-lain yang sejenis, yang kesemuanya dapat membuat hati kita menjadi kotor, berangan-
angan dan jatuh dalam dosa.
Jika kita menginginkan pernikahan yang akan kita jalani mendapatkan taufiq, inayah, berkah dan
ridho Allah SWT, kita harus mengusahakan agar segala persiapan sedapat mungkin "bersih" sejal awal
prosesnya. Mudah-mudahan tiga hal ini dapat membantu kita lebih pandai menata dan menjaga hati,
sehingga detik-detik menjelang pernikahan tidak perlu lagi menjadi detik-detik yang membuat resah dan
gelisah, tetapi sebaliknya menjadi detik-detik yang penuh keindahan dan kemanisan munajat kepada
Allah SWT, yang membuka dan menjadikan semua jalan menjadi mudah dan terang. Amin.
Kemudian dapatlah setelah itu kita dengan keyakinan kepada Allah SWT, berkata kepada calon suami
kita : "wahai calon suamiku, marilah kita naiki bahtera ini, mari kita kembangkan layarnya bersama-sama,
kita hadapi gelombangnya tanpa rasa gentar. Semoga Allah SWT bersama kita. (Kado untuk adik-adik
yang akan menikah)
Agar Bisa Lebih Menghargai

eramuslim - Dulu, saya sering sekali mengeluh karena belum menikah. Saya selalu merasa ingin memiliki
seorang suami yang dengan kekuatannya akan menutupi kelemahan saya, yang dengan ketelitiannya
akan menutupi kecerobohan saya, yang dengan kelebihannya akan menutupi kekurangan saya.
Saat saya harus bercapek-capek naik ke lantai atas rumah saya membawa dua sampai tiga
ember pakaian yang telah dicuci untuk dijemur, kadang-kadang saya mengeluh, "Senangnya kalau punya
suami, nggak usah ngangkat-ngangkat ember kayak begini".
Saat saya harus pergi belanja ke pasar dan pulang kelelahan membawa belanjaan yang berat,
saya juga mengeluh "Bahagianya punya suami, nggak mesti jalan sendirian. Nggak perlu bawa-bawa
belanjaan berat kayak begini lagi."
Saat suatu hari saya mencoba meluruskan cantelan tas yang terbuat dari besi dengan
menggunakan tang, saya pun mengeluh, "Kalo punya suami... nggak harus megang-megang tang kayak
gini nih, tangan pake lecet segala lagi."
Saat saya mencoba mengganti lampu yang mati dengan yang baru, sekali lagi saya mengeluh,
"Wah, enaknya punya suami, nggak mesti naik-naik tangga kayak begini benerin lampu, pake kena setrum
lagi..."
Biasanya saya suka menimpali diri saya sendiri, "Emangnya suami tukang ngangkatin ember?!"
atau "Emangnya suami tukang benerin lampu?!", "Emangnya suami apaan?!"
Tapi itu dulu... hingga suatu hari saya bertemu dengan kakak sepupu saya beberapa waktu lalu.
***
Dia seorang wanita karir, dan saya tidak menyangka akan mendapatkan pelajaran berharga
darinya.
Sepupu saya itu bercerita bahwa ia harus bekerja dari pagi sampai sore hari. Sebenarnya
mungkin tidak terlalu banyak yang dia kerjakan di kantor. Hanya saja dia harus datang sebelum bosnya
datang dan pulang setelah bosnya pulang. Jarak antara rumah kosnya dengan kantornya yang cukup
jauh, ditambah dengan kemacetan di jalan, sangat menyita banyak waktunya.
"Melelahkan! Kalau saat ini kakak udah punya suami dan punya anak..." katanya, "wah, susah banget deh
jadi wanita karir, jadi istri, trus jadi ibu pula pada saat yang bersamaan."
Itulah yang membuatnya mengambil keputusan bila ia menikah nanti ia akan melepaskan
pekerjaannya. Ia meragukan dirinya bisa menyiapkan sarapan untuk suaminya sebelum berangkat
bekerja sementara ia sendiri harus bersiap untuk pergi bekerja juga, menyediakan makan malam untuk
suaminya sebelum pulang kantor padahal ia sendiri mungkin masih keletihan karena baru pulang dari
kantor, itu pun kalau dia sudah pulang. Sulit baginya membayangkan bagaimana ia akan menjalankan
perannya sebagai istri di rumah bila ia tetap mempertahankan pekerjaannya yang melelahkan itu.
Mungkin tidak banyak wanita di zaman ini yang sependapat dengannya. Karena saya lihat di
luar sana banyak wanita yang telah bekerja kemudian menikah tetapi tetap mempertahankan
pekerjaanya. Dan (tampaknya) mereka baik-baik saja.
Mendengar keluh-kesahnya, saya tidak merasa lebih beruntung karena pekerjaan saya di rumah
lebih ringan dibandingkan pekerjaanya. Ingin rasanya waktu itu saya meyakinkan kakak sepupu saya itu
bahwa pekerjaan di rumah juga tidak kalah melelahkan dengan menjadi seorang wanita karir seperti dia.
Namun belum sempat saya bercerita,
"Tapi... ada hikmahnya juga kakak ngerasain capek-capek kerja kayak gini..." katanya, "pergi
pagi, pulang malem, sibuk di kantor, dan capek di jalan..."
Dia memandang saya dengan mata yang menerawang. Sementara saya mencoba mengerti
hikmah apa sebenarnya yang dia maksud.
"Ternyata... begini toh rasanya bekerja keras, bersusah payah mencari uang buat makan. Ternyata nggak
gampang! Kakak jadi bisa lebih menghargai suami kakak nanti yang nyari nafkah buat kakak..." katanya
mengakhiri perbincangan hari itu.
Kata-kata itulah yang membuat saya berhenti mengeluhkan pekerjaan-pekerjaan yang saya
lakukan di rumah dan berhenti berandai-andai kalau saya punya suami maka pekerjaan saya akan lebih
ringan.
Yah, saya jadi menyadari bahwa pekerjaan suami itu jauh lebih berat dari sekadar mengangkat
ember atau membawa belanjaan sehingga saya harus lebih menghargai jerih payahnya dan rela
ngangkat-ngangkat sendiri. Tanggung jawabnya lebih besar dari sekadar menjaga saya dari setruman
listrik atau melindungi tangan saya supaya nggak lecet sehingga saya harus lebih menghormatinya dan
lebih berhati-hati menjaga diri saya sendiri.
Tapi... saya rasa walaupun setiap wanita sanggup dan rela melakukan itu semua sendiri,
sepertinya seorang suami tidak akan rela. Sehingga dialah yang akan melakukannya untuk isterinya. Dan
pada saat itulah sang istri tahu apa yang harus ia lakukan untuk suaminya.
Sekarang, saya menikmati melakukan semua pekerjaan saya di rumah. Saya hayati bagaimana
pun beratnya pekerjaan itu, bagaimana pun susahnya pekerjaan itu. Supaya suatu saat nanti saya akan
lebih menghargai seseorang yang akan melakukan semua itu untuk saya.
Waktu untuk Bermanja

Setiap aku pulang kantor, si kecilku, Akna, punya cara tersendiri untuk menarik perhatianku agar,
paling tidak, segera menyapanya terlebih dulu sebelum aku melakukan hal-hal lain. Misalnya ia akan
menatapku dengan tatapan lucu khas seorang bayi atau ia akan buru-buru berlari menghampiriku sambil
mulut mungilnya berkata dengan gaya lucu, “Buuu…bubu…”. Tentu saja aku jadi tak tega untuk
melewatkannya sejenak, bahkan untuk lebih dulu menyapa mamaku yang menjaganya setiap aku ke
kantor.
Bahkan bayi tujuh belas bulanku itu tampaknya sudah mengerti sekali kalau aku hanya punya
‘waktu terbatas’ untuknya. Setiap pagi sebelum aku berangkat atau saat aku sedang libur, ia akan
dengan maksimal menggunakannya untuk menarik perhatianku dengan kemanjaan dan gaya bayinya
yang lucu dan menggemaskan. Tak jarang, bila ia sedang kelewat manja dan nyaris tak mau ditinggal
sedikitpun meski hanya untuk sekedar mencuci piring di dapur (maklumlah kami tak punya pembantu), ia
akan menangis menjerit-jerit hanya untuk ‘urusan sepele’ seperti itu. Tentu saja ini cukup menjengkelkan
bagiku yang kadang menjadi sedikit marah padanya.
Tapi segera aku beristighfar manakala aku melihat wajahnya yang polos dan sikap pemaafnya.
Terkadang ia balas marah padaku, tapi lebih sering ia ‘memaafkanku’ dengan gayanya yang sangat
bayi pula. Biasanya ia akan menatapku lekat dan mengusapkan tangan-tangan mungilnya di wajahku
lalu mengeluarkan kekeh lucunya, “Hehe…hehe…” atau sapaan khasnya, “Ngg…giiingg…” atau bahkan ia
seakan minta maaf dengan lucu, “Mbuuu…aaapp…appp,” Siapa yang tega untuk terus bete padanya?
Maka jadilah aku minta maaf padanya dan memeluknya erat-erat. Bahkan malamnya pun, jika tidur, Akna
sering sekali memeluk tangaku erat-erat.
Anak kita memiliki pertalian jiwa dan darah dengan kita. Maka ia adalah bagian dari hidup kita.
Ia butuh senantiasa dekat dengan kita, bahkan hingga saat ia dewasa kelak. Ia butuh menyatukan hati
dan perasaannya dengan kita. Itulah sebabnya ia meminta sedikit saja waktu dari kita untuk tempatnya
bermanja.
Bagi kita yang terbiasa sibuk dan bekerja sepanjang minggu, mungkin sering menggunakan
ungkapan ‘apologia’, yang penting kualitas dan bukan kuantitas. Atau kita lebih percaya dengan pola
asuh ‘remote parenting’. Akupun tadinya demikian. Tetapi sikap Akna yang pemaaf justru mengajarkanku
sesuatu.
Bahwa kualitas nyaris tak bisa diwujudkan jika kuantitas yang ada pun tidak termanfaatkan secara
optimal. Mana ada kualitas jika kita pulang ke rumah dalam keadaan capek dan masih harus
mengerjakan sederet tugas rumah tangga lain, seperti memasak untuk makan malam, cuci piring, bebenah,
dan hingga tetek bengek lain, yang membuat si kecil menjadi prioritas nomor sekian setelah tugas-tugas
tersebut? Bahwa remote parenting nyaris tak berbunyi apapun kecuali jika sebelumnya antara anak dan
ibu telah terjalin ikatan yang cukup erat dalam rentang waktu yang bisa mereka lalui berdua. Dan, bahwa
si kecil selalu bersangka baik pada setiap jenak kesibukan ibundanya tercinta, bahkan meskipun kesibukan
itu membuatnya ‘dekat di mata tapi jauh di hati’ dengan sang ibunda. Si kecil yang polos itu tak bisa
mendendam meski untuk sebuah haknya yang paling asasi yang telah terampas secara tidak sengaja
oleh kesibukan ibu memasak, misalnya.
Bukan berarti kita hanya harus melewatkan waktu bersama si kecil sementara yang lain
terabaikan, tapi mungkin, cara pemanfaatannya yang harus dialokasikan sedemikian rupa sehingga tidak
ada satupun yang terbengkalai. Masalahnya jika ini berkaitan dengan hak anak yang terampas, bukan
mustahil suatu saat di masa depan ia akan tumbuh menjadi pribadi yang ‘tidak paripurna’
kematangannya. Atau bisa jadi ia akan melampiaskan ‘dendam masa kecilnya’ kepada anaknya kelak
secara berlebihan. Anak kita adalah sebuah wajah bersih tentang masa depan sebuah kualitas makro.
Maka kitapun sangat punya andil mahapenting untuk turut mengisi kepribadiannya.
Saya jadi ingat tulisan Darmanto Jatman dalam bukunya “Terima Kasih Indonesia” yang disusun
bersama dengan Adriani S Soemantri. Ia berkata dalam salah satu tulisannya di buku tersebut, pendidikan
anak kita laksana sebuah mosaik. Kita hanya merekatkan sepotong, nanti lingkungan yang akan
membantu merekatkan yang lainnya pula hingga jadi sebuah mosaik yang indah.
Dan saya rasa meletakkan potongan-potongan mosaik ini perlu dilakukan secermat dan sehati-
hati mungkin, karena begitu banyak unsur yang terkait di dalamnya. Demikian pula, kitalah yang akan
sangat menentukan, potongan mosaik yang mana lagikah yang cocok bagi jiwa anak kita agar sempurna
ia menjadi sebuah lukisan mosaik yang elok.
Maka waktu untuk anak kita bermanja adalah juga saat yang tepat untuk merekatkan potongan
mosaik itu agar kelak menjadilah ia generasi Robbani yang cerdas, shalih, berdaya guna, sehat, dan
matang. Saya rasa, betapa menyesalnya saya atas waktu-waktu yang telah terlalui begitu saja dengan
amarah saya untuk si kecil Akna. Maafkan mbubu ya, nak, yang tak mengerti bahwa sebenarnya kamu
sedang meminta pada mbubu, “Mbubu, maukah mbu sedikit saja menolongku untuk merekatkan sepotong
saja mosaik dalam hidupku. Agar kelak aku benar-benar bisa membanggakan bagi bubu dan ayah?”
Pangeran

Bila ragu yang bertalu


Maka temukan 'pasti' dalam khusyumu

eramuslim - Semasa kecil dulu, setiap malamnya ibu gemar sekali bercerita. Dongengnya dengan mudah
menghantarkan saya jatuh ke ujung lelap. Dari dongengnya, kemudian saya berkenalan dengan
pangeran. Cerita ibu tentang pangeran memang banyak, tapi ketika itu satu yang saya simpulkan
tentang pangeran. Pangeran adalah sosok yang baik hati, gagah, putra seorang raja dengan berlimpah
kekayaan dan punya kereta bertahta emas yang di tarik oleh banyak kuda sembrani. Pangeran adalah
sosok sempurna yang sangat diidamkan, hingga sewaktu kecil itu saya berangan-angan menjadi putri
jelita yang dijemput kereta istimewa menuju istana gemerlap di atas bukit. Tentu sangat menyenangkan.
Aih.
Sampai sekarang pun saya masih bermimpi dijemput pangeran. Namun kali ini, pangeran yang
saya maksud bukan sosok sempurna yang mempunyai kereta kencana, tapi seorang manusia biasa
dengan segala kekurangan manusiawi dan kelebihannya. Pangeran yang kepalanya tidak bermahkota,
tapi keningnya sering menjumpai tanah dalam rangka bersujud kepada Sang Pencipta. Pangeran yang
wajahnya tidak perlu tampan, tapi selalu teduh karena terbiasa menjaga wudhu dalam setiap waktunya.
Pangeran yang begitu gagah menafkahi keluarga dengan rezeki yang halal meski harus bermandi peluh.
Pangeran yang mempunyai cita-cita tamasya ke surga dan mengajak istrinya turut serta. Pangeran yang
'cakep' akhlak dan agamanya. Titik.
Ah, meski kualitas diri saya sedemikian amburadul, tapi betapa saya menginginkan pangeran
yang demikian. Pangeran yang Allah jodohkan untuk bersama melayarkan bahtera, seorang pendamping
hidup yang akan saling meneguhkan langkah dan mengokohkah kedekatan kepada Allah Yang Maha
Tinggi. Pangeran yang piawai menjadi nahkoda ketika berpesiar bersama.
***
Siang itu ia datang. Saya melihatnya sejenak dari dalam rumah. Suara cempreng keponakan
terdengar nyaring "bi tamunya sudah datang". Saya merapikan jilbab dan bergegas memakai kaos kaki.
Tak ada yang luar biasa. Toh ia hanya seseorang. Tak ada acara memakai pakaian bagus. Tak ada
acara menyuguhkan penganan. Hanya segelas air putih dan itu saya bawa tanpa nampan.
Ya, siang itu ia datang. Bersilaturahmi lebih tepatnya. Bahkan saya iseng melabeli pertemuan itu
dengan "jumpa penggemar". Tulisan saya di Eramuslim membawanya datang ke rumah. Ingin tahu saja
seperti apa saya, karena menurutnya tulisan saya menyentuh hatinya. Itu katanya. Maka ia pun
menuliskan 3 email prolog sebagai perkenalan. Tak ada yang nyeleneh dalam emailnya. Dan saya pun
berkenan memberikan alamat rumah ketika ia meminta izin untuk bersilaturahmi secara langsung.
Dan siang itu ia datang. Tak ada yang istimewa dalam obrolan kami. Percakapan sangat
standar. Bekerja di mana, lulusan mana, hobi, aktivitas, bahkan mempersoalkan situasi politik menjelang
pemilu. Yang luar biasa adalah ketika ia pamit pulang dan dengan serius meminta saya berkenalan
dengan ibunya. Saat itu saya menolaknya spontan. Untuk apa coba.
Maka saya pun mengerti permintaan seriusnya, ketika beberapa hari setelah itu ia menelpon
dan mengutarakan "Saya punya feeling, kamu adalah jodoh yang Allah pilihkan untuk saya. Dan
biasanya feeling saya benar". Tertawa lepas, itu reaksi saya. Ah ada-ada saja. Dan saya pun
menolaknya dengan alasan yang saat itu bisa diterimanya. Ya, saya punya alasan untuk menolaknya.
Komunikasi putus.
***
Waktu berlari tak kenal henti. Ribuan menit dan detik berhambur tanpa ampun. Suatu hari saya
pulang ke rumah. Ibu sakit. Siang itu, setelah membayarkan rekening telepon, saya mampir ke warnet untuk
sebuah keperluan. Dan tiba-tiba saja ia menyapa saya ketika online. Ia bertanya apakah saya telah
menikah. Beberapa hari kemudian dia menelpon dan mengulang kembali tawaran saat itu setelah tahu
saya belum menikah. Saya tidak mempunyai alasan kali ini. Saya meminta waktu.
Dalam bis yang membawa saya pulang ke Jakarta, bimbang itu semakin berdenyar. Resah hati
ini berbisik "Rabbii... diakah pangeran itu yang kan membantu hamba melabuhkan cinta ini pada
kesejatian-Mu, diakah orangnya yang kelak meneguhkan langkah dan mengokohkan rengkuh kayuh
pada biduk yang kan terarungi menuju tepian hakiki bernama surga?". Masih dalam diam, pesan ibu
terngiang kembali, ketika suatu saat ia menyampaikan persyaratan yang harus dipenuhi oleh semua
menantunya "Nak, sanggupkah ia tidak meninggalkan shalat". Dan sayapun berkernyit ragu, apakah dia
sanggup melakukannya.
***
Keraguan. Dengan satu ini, kemudian saya berkelahi. Setan begitu pintar mencari banyak celah
hingga keraguan itu terus menjulang. Bagaimana jika ia dzalim, bagaimana jika ia tidak bisa menjadi
qawwam yang baik, bagaimana jika keluarganya tidak menerima saya sebagaimana mestinya,
bagaimana jika kelak ia menghalalkan segala cara dalam menafkahi keluarga dan banyak lagi
'bagaimana' yang kadang membuat hati ini ciut dan surut. "Bila ragu yang bertalu, temukan pasti dalam
khusyumu" itu isi sms teman ketika saya mengurai keraguan itu padanya.
Dan memang, kepada siapa lagi saya harus bergantung dan memasrahkan diri selain kepada
Allah yang menggenggam kekuasaan atas setiap perkara di setiap jengkal semesta. Pangeran adalah
urusan-Nya yang ghaib. Tak ada satu kepala manusia pun di dunia yang perkasa mengatur jodoh anak
adam. Bukankah Allah berjanji, wanita baik-baik untuk lelaki baik-baik dan sebaliknya. Dalam keheningan
sepertiga malam terakhir, selanjutnya ragu itu saya tumpah ruahkan dalam sujud-sujud panjang. Kepada-
NYA, satu yang saya pinta "Allahu Rabbii, jika ia adalah pangeran yang terbaik untuk kehidupan hamba,
agama hamba dan akhirat hamba kelak, maka anugerahkan ia untuk hamba, dan juga mudahkan untuk
kami jalannya, Allahumma Amin."
***
Lima hari menjelang Ramadhan, akhirnya saya "dijemput pangeran", Allah mempertemukan kami
dalam sebuah ikatan pernikahan. Dengannya. Alhamdulillah, sebuah karunia tak berhingga.
Menjadikan Cemburu Sebagai Energi Positif

eramuslim - Setiap manusia berakal pasti memiliki rasa cemburu. Ini adalah anugerah fitriah dari Allah.
Sebagai anugerah, cemburu memiliki potensi sebagai kekuatan pengendali dan pendorong, sekaligus
sebagai kekuatan yang dapat merusak. Kita bisa melihat seorang anak yang cemburu sewaktu hadirnya
sang adik dalam kehidupannya. Sudah sewajarnya, perhatian orang tua akan terbagi, terhadap si kakak
dan kepada si adik. Si kakak yang biasanya mendapat curahan penuh kasih sayang orang tuanya, harus
dengan "terpaksa" memberikan bagian kasih sayang itu kepada adiknya. Karenanya, tak jarang kita
menemukan seorang yang anak yang tiba-tiba saja ngambek sewaktu adiknya lahir atau dia berbuat
ulah sebagai sebuah aksi agar ia tetap mendapatkan perhatian.
Rasa cemburu pun acapkali membuat seseorang berubah menjadi sosok yang selalu curiga,
senantiasa berprasangka buruk. Tak jarang, kecemburuan mengakibatkan keretakan hubungan suami istri
yang berujung pada perceraian. Misalnya, seorang istri atau suami mencemburui pasangannya karena
ada indikasi pasangannya itu memiliki ketertarikan terhadap wanita atau pria lain.
Di tempat kerja pun demikian. Bila ada seorang karyawan dipromosikan jabatannya, tak jarang
ini menimbulkan kecemburuan bagi karyawan-karyawan lainnya. Seorang pedagang yang tempat
dagangannya selalu dikunjungi pembeli dan laris barang dagangannya, juga akan mengakibatkan
pedagang lainnya cemburu.
Bagaimana bila hal ini terjadi pada diri kita? Sudah menjadi sebuah keharusan bagi seorang
muslim untuk mampu mengendalikan rasa itu dan dapat mengubahnya menjadi energi positif yang
membuat kita dapat berpikir positif. Bukankah Rasulullah saw. pernah bersabda,
"Aku mengagumi seorang muslim karena selalu ada kebaikan dalam setiap urusannya. Jika ia
mendapatkan kesenangan, ia bersyukur (kepada Allah) sehingga di dalamnya ada kebaikan. Jika
ditimpa musibah, ia berserah diri (dan menjalankannya dengan sabar) bahwa di dalamnya ada kebaikan
pula." (HR Muslim)
Seharusnya, seorang muslim dapat melihat adanya kebaikan di balik setiap peristiwa yang
dialaminya. Dia senantiasa berpikir positif dan berprasangka baik kepada Allah bahwa ada hikmah di
balik peristiwa yang menimpanya.
Karena itu pula, seorang muslim harus dapat menjadikan rasa cemburu itu sebagai alat untuk
dapat memperbaiki sikap atau mengoreksi diri terhadap sikap yang selama ini terjadi. Misalnya, seorang
istri atau suami, apakah penampilan atau pelayanannya selama ini memuaskan atau tidak terhadap
pasangan hidupnya. Apakah ada sesuatu yang kurang disukai olehnya dalam diri kita atau tidak. Bagi
pedagang, apakah ia telah memberikan pelayanan terbaik bagi pelanggannya. Apakah ia senantiasa
dalam keadaan gembira dalam melayani setiap pembeli.
Dengan sikap ini, ia senantiasa akan memperbaiki kualitas hidupnya dan senantiasa memberikan
pelayanan yang terbaik. Akhirnya, tidak perlu lagi terjadi perseteruan atau pertengkaran yang hebat
antara suami istri. Cukuplah diskusi dengan landasan kasih sayang yang menaungi hubungan mereka. Tak
perlu lagi terjadi kecemburuan yang mengakibatkan saling menjatuhkan di antara karyawan.
Marilah berbuat yang terbaik di ladang amal kita masing-masing.
Romantis di Mata Laki-Laki

eramuslim - Membicarakan masalah persepsi romantis bagi laki-laki rasanya seperti membahas sesuatu
yang akan membuat orang tersipu-sipu malu.
Persepsi laki-laki dan wanita tentang romantisme ternyata tidak selalu sama. Bagi laki-laki,
romantisme orientasinya adalah tujuan, jadi harus nyata, bukan simbol. Hal ini dibuktikan dengan romantis
bagi suami memerlukan kedekatan istri secara fisik. Bagi laki-laki kartu ucapan bertuliskan "I miss you"
mungkin kurang romantis. Begitu pula jika ada pihak ketiga yang ikut nimbrung dalam suatu momen
romantis (maksudnya anak). Lain halnya dengan wanita. Wanita mengasosiasikan romantisme dengan hal-
hal yang berorientasi kepada hubungan yang serasi, penuh cinta kasih, tidak selalu fisik. Itulah sebabnya
seorang wanita menganggap pemberian bunga, puisi dan rayuan sebagai perilaku romantis.
Kebutuhan akan romantisme sebenarnya ada pada pihak wanita. Wanita memerlukan semua
ritual romantis yang mampu dilakukan laki-laki. Ini merupakan penjelasan mengapa novel-novel percintaan
dan sinetron berbumbu romantisme selalu laris. Singkatnya kalau para wanita itu memiliki para suami yang
romantis, buat apa mereka berangan-angan mencari romantisme lewat novel dan sinetron?
Namun bukan berarti laki-laki tidak butuh romantisme. Karena masalahnya adalah biasanya untuk
urusan romantisme, suami melakukan sesuatu atau memberikan sesuatu kepada istri. Padahal tidak semua
laki-laki memiliki sense of romance yang sama dengan istrinya. Sehingga kemesraan dan kebahagiaan
yang diharapkan sebagai tujuan dari ritual romantis itu tidak selalu tercapai.
Jika wanita merasa romantis maka ia akan merasa dicintai dan dipuja. Sedangkan jika laki-laki
merasa romantis maka ia akan merasa dicintai dan gairahnya akan bangkit.
Seorang suami yang merasa mendapatkan perlakuan yang nyaman dari istrinya akan merasa
lebih bahagia dan romantis. Ketika suami melakukan hal-hal kecil untuk istri, ucapan terimakasih dan wajah
yang gembira akan menjadi kebahagiaan yang manis bagi suami. Penghargaan istri terhadap hal-hal
yang dilakukan suami merupakan hal yang romantis bagi suami.
Ketika seorang istri menyatakan rasa puas dan bahagia atas semua yang dilakukan suami, maka
suami akan merasa sebagai seorang pahlawan yang menang perang. Ia akan merasa bahagia, romantis
dan gagah perkasa dalam waktu yang bersamaan.
Laki-laki memerlukan waktu-waktu tertentu untuk berkumpul dengan sesama laki-laki. Pada saat-
saat seperti ini laki-laki akan merasa nyaman jika istrinya memberikan kepercayaan penuh dan tidak usil
dengan kehidupan sosial bersama teman-temannya. Setelah beberapa saat berada dalam lingkungan
maskulin, para suami akan lebih merindukan istri.
Sebagaimana wanita, para laki-laki pun perlu merasa romantisme mereka dimanjakan oleh para
istri. Seorang istri sebaiknya menyambut isyarat-isyarat gairah suami dengan baik. Jangan sampai ada
kesan enggan apalagi jual mahal. Penolakan sama sekali tidak romantis buat laki-laki.
Terlepas dari semua teori tentang romantisme. Romantis adalah sesuatu yang dapat dirasakan
dan dinikmati bersama. Baik bentuknya merupakan kontak fisik maupun batin. Adapun Rasulullah SAW yang
memanggil Aisyah dengan panggilan sayang Humairo (Yang berpipi kemerah-merahan). Rasul juga
mandi bersama Aisyah dan saling berebut gayung dengan mesra. Bahkan Rasulullah SAW begitu
melankolis sehingga selalu terkenang-kenang akan Khadijah almarhumah sehingga kerap mengirim
hadiah kepada sahabat-sahabat Khadijah semasa hidup. Sense of romance Rasulullah sangat tinggi,
beliau selalu memperlakukan para wanita dengan perlakuan terbaik.
Untukmu Yang Selalu Setia

eramuslim - Hari itu di pemakaman, siang begitu terik dan menyengat. Para pelayat yang kebanyakan
berbaju hitam memadati lokasi pemakaman. Di antara begitu banyak orang, wanita cantik itu berdiri
mengenakan pakaian dan kerudung berwarna putih, ekspresi tenang terlihat di raut wajah yang tersaput
kesedihan.
Pada saat penguburan berlangsung, sebelum jenazah dimasukkan ke liang lahat, wanita itu
mendekati jenazah yang terbungkus kain kafan kemudian mencium bagian kening jenazah dan
membisikkan kata-kata tak terdengar dengan perasaan dan suasana yang sulit kulukiskan. Aku melihat
keharuan di antara para pelayat menyaksikan adegan itu.
Wanita itu adalah istri dari laki-laki yang pada hari itu dikubur. Setelah acara penguburan selesai
satu persatu pelayat mengucapkan kalimat duka cita kepada wanita tersebut yang menyambut ucapan
itu dengan senyuman manis dan kesedihan yang telah hilang dari wajahnya, seolah-olah pada saat
yang seharusnya menyedihkan itu dia merasa bahagia.
Kudekati wanita itu.
"Kak, yang sabar ya, insya Allah abang diterima dengan baik di sisi-Nya," ujarku perlahan. Dia
menatapku dengan senyuman tanpa kata-kata. Rasa penasaran menyeruak dalam hatiku melihat
ekspresinya. Tapi perasaan itu tidak kuungkapkan.
Beberapa hari setelah pemakaman itu, aku datang ke rumah wanita itu. Kudapati ia sedang
mengurus kembang mawar putih seperti apa yang sering dilakukannya. Kusapa dia dengan wajar,
"Assalaamu'alaikum, sedang sibuk kak?" tanyaku
"Wa'alaikusallam... Oh adik, ayo duduk dulu," jawabnya seraya membereskan perlengkapan tanaman.
"Saya mengganggu kak?" tanyaku lagi,
"Kenapa harus mengganggu dik, ini kakak sedang menyiapkan bunga untuk dzikir nanti malam," jawabnya.
Sesaat setelah jawaban terakhir suasana hening terjadi di antara kami. Dengan hati-hati kuajukan
perasaan yang selama beberapa hari mengganjal di hatiku. "Kak, apakah kakak tidak merasa sedih
dengan kepergian abang?" tanyaku.
Dia menatapku dan berkata, "Kenapa adik bertanya seperti itu?"
Aku tidak segera menjawab karena takut dia tersinggung, dan, "Karena kakak justru terlihat
bahagia menurut adik, kakak tersenyum pada saat pemakaman dan bahkan tidak mencucurkan airmata
pada saat kepergian abang," ujarku.
Dia menatapku lagi dan menghela nafas panjang. "Apakah kesedihan selalu berwujud air mata?"
Sebuah pertanyaan yang tidak sanggup kujawab. Kemudian dia meneruskan kembali perkataanya. "Kami
telah bersama sekian lama, sebagai seorang wanita aku sangat kehilangan laki-laki yang kucintai, tapi
aku juga seorang istri yang memiliki kewajiban terhadap seorang suami. Dan kegoisanku sebagai seorang
wanita harus hilang ketika berhadapan dengan tugasku sebagai seorang istri," katanya tenang.
"Maksud kakak?" aku tambah penasaran.
"Sebuah kesedihan tidak harus berwujud air mata, kadang kesedihan juga berwujud senyum dan tawa.
Kakak sedih sebagai seorang wanita tapi bahagia sebagai seorang istri. Abang adalah seorang laki-laki
yang baik, yang tidak hanya selalu memberikan pujian dan rayuan tapi juga teguran. Dia selalu mendidik
kakak sepanjang hidupnya. Abang mengajarkan kakak banyak hal. Dulu abang selalu mengatakan
sayang pada kakak setiap hari bahkan dalam keadaan kami tengah bertengkar. Kadang ketika kami
tidak saling menyapa karena marah, abang menyelipkan kata sayang pada kakak di pakaian yang
kakak gunakan. Ketika kakak bertanya kenapa? abang menjawab, karena abang tidak ingin kakak tidak
mengetahui bahwa abang menyayangi kakak dalam kondisi apapun, abang ingin kakak tau bahwa ia
menyayangi kakak. Jawaban itu masih kakak ingat sampai sekarang. Wanita mana yang tidak sedih
kehilangan laki-laki yang begitu menyayanginya? Tapi ..."
Dia menghentikan kata-katanya.
"Tapi apa kak?" kejarku.
" Tapi sebagai seorang istri, kakak tidak boleh menangis," katanya tersenyum.
"Kenapa?" tanyaku tidak sabar. Perlahan kulihat matanya menerawang.
"Sebagai seorang istri, kakak tidak ingin abang pergi dengan melihat kakak sedih, sepanjang hidupnya
dia bukan hanya laki-laki tapi juga seorang suami dan guru bagi kakak. Dia tidak melarang kakak
bersedih, tapi dia selalu melarang kakak meratap, kata abang, Allah tidak suka melihat hamba yang
cengeng, dunia ini hanya sementara dan untuk apa ditangisi."
Wanita itu melanjutkan, "pada satu malam setelah kami sholat malam berjamaah, abang
menangis, tangis yang tidak pernah kakak lupakan, abang berkata pada kakak bahwa jika suatu saat di
antara kami meninggal lebih dahulu, masing-masing tidak boleh menangis, karena siapa pun yang pergi
akan merasa tidak tenang dan sedih, sebagai seorang istri, kakak wajib menuruti kata-kata abang."
"Pemakaman bukanlah akhir dari kehidupan tapi adalah awal dari perjalanan, kematian adalah pintu
gerbang dari keabadian. Saat di dunia ini kakak mencintai abang dan kita selalu ingin berada bersama
dengan orang yang kita cintai, abang adalah orang baik. Dalam perjalanan waktu abang lah yang
pertama kali dicintai Allah dan diminta untuk menemui-Nya, abang selalu mengatakan bahwa baginya
Allah SWT adalah sang Kekasih dan abang selalu mengajarkan kakak untuk mencintai-Nya. Saat seorang
Kekasih memanggil apakah kita harus bersedih? Abang bahagia dengan kepergiannya. Dalam
syahadatnya abang tersenyum dan sungguh egois jika kakak sedih melihat abang bahagia,"
sambungnya.
Tanpa memberikan kesempatan untuk aku berkata, serangkaian kata terus mengalir dari wanita
itu, "Kakak bahagia melihat abang bahagia dan kakak ingin pada saat terakhir kakak melihat abang,
kakak ingin abang tau bahwa baik abang di dunia maupun di akhirat kakak mencintainya dan berterima
kasih pada abang karena abang telah meninggalkan sebuah harta yang sangat berharga untuk kakak
yaitu cinta pada Allah SWT. Dulu abang pernah mengatakan pada kakak jika kita tidak bisa bersama di
dunia ini kakak tidak perlu bersedih karena sebagai suami istri, kakak dan abang akan bertemu dan
bersama di akhirat nanti bahkan di surga selama kami masih berada dalam jalan Allah. Dan abang telah
memulai perjalanannya dengan baik, doakanlah kakak ya dik semoga kakak bisa memulai perjalanan itu
dengan baik pula. Kakak sayang abang dan kakak ingin bertemu abang lagi."
Kali ini kulihat kakak tersenyum dan dalam keheningan taman aku tak mampu berkata-kata lagi.
Berjuang Keras untuk Satu Isteri

eramuslim - Saya teringat sebuah dialog dengan "Sang Direktur" di salah satu instansi, dia memiliki posisi
yang cukup strategis, dan cukup basah kata kebanyakan orang. Kami bersilaturahim ke rumah beliau dan
isterinya, obrolan pun mengalir hangat dan sangat penuh kekeluargaan.
"Sudah makan malam belum nih, aku siapkan ya?" ujar sang isteri.
"Tidak usah Bu, 15 menit yang lalu kami barusan makan malam di Warung Lawu!" balasku.
"Ah, Warung Lawu! Kok mau sih makan di restauran itu?" tanyanya gemas.
"Memangnya kenapa bu, haram?" tanyaku penasaran.
"Kita sih ibu-ibu di sini udah pada boikot itu restauran, karena yang punya itu restauran 'doyan isteri
banyak'! Wah enggak bakalan deh makan di situ lagi!" Sambil tertawa renyah dan Sang Direktur
mengiyakan isterinya dengan tersenyum manis.
Tak disangka dialog semakin hangat dan mengalir ke sisi perilaku umum para pejabat di instansi
Sang Direktur berkantor, dimana terdengar, banyak dari pekerja ataupun pejabat yang melakukan
hubungan tak wajar. Mereka dengan mudahnya menyebut si fulan ini, si fulan itu punya simpanan di sana-
sini di luar nikah, entah dengan wanita tuna susila, dengan karyawatinya atau pun rekan selingkuhan. Isteri
sang direktur itu sangat antusias menceritakan kasus "mereka", dan ibarat nara sumber lah sang isteri
tersebut, sambil diikuti tawa dan senyum dari suaminya layaknya suami setia di samping isterinya. Di sisi lain
hatiku menolak melanjutkan pembicaraan semacam ini, "tidak ada manfaatnya dan hatiku gerah,"
gumamku.
"Kalau saya gimana, ibu yakin enggak?" Tanya Sang Direktur kepada istrinya.
"Kalau saya sih yakin sekali suamiku tak begitu loh. Bapak sudah berkali-kali ikrar untuk enggak kayak gitu
kan". sambil mereka berdua saling berpegang tangan mesra, begitu pun sambutan suaminya dengan
senyuman.
Beberapa minggu menjelang, aku bertemu dengan seorang rekan usaha. Sewaktu kami sedang
asyik ngobrol, tiba tiba rekanku itu menerima telepon,
"Pak Fulan, apa kabar ...?" Jawabnya, dan berlanjut dengan obrolan urusan pekerjaan.
Di akhir pembicaraan, di seberang telepon terdengar, "mas, tolong dikirimkan 'yang biasa' ke hotel ini,
rang saya di ...., sekarang ya! lagi lelah dan tegangan tinggi nih! Saya enggak kuat nahannya. Ya sekitar
jam 11 malam deh, aku tunggu ya ...? Pintanya".
"Siap Pak, beres semuanya." ujar rekanku sambil menutup pembicaraan teleponnya.
Aku merasa kenal dengan sebutan nama yang menelepon rekanku itu, tak sabar aku bertanya, "itu pak
Fulan si Sang Direktur?" tanyaku.
"Betul, dia memang selalu minta gituan kalau sedang di sini, gue nih yang jadi repot nyariin 'yang Biasa'
nya," ujar rekanku.
Terbayang olehku bagaimana wajah isterinya yang begitu sangat yakin atas kesetiaan Sang
Direktur. Tak di sangka bahwa "Sang Direktur" termasuk salah satu pelaku dari pergaulan ilegal. Aku segera
tutup masalahnya, dan berlalu dari rekanku tadi.
Lain lagi cerita klien bisnisku yang lain. Dan aku yakin dengan mata kepalaku sendiri, dia selalu
berujar kepada ku pada dua atau tiga kali kunjungan ke luar kota atau pun ke luar negeri bilamana
bersama dengannya, "Aduh gue tak tahan nih, gue harus nyari nih. Gue pusing kalau di luar kota gini, mau
bertualang ah! Mungkin orang jepang, asyik kali ya, beda rasanya nih, atau mungkin orang Itali asyik ya,"
begitu seterusnya. Dan itu selalu ia realisasikan pada penghujung malamnya, kutahu setelah dia bercerita
pada keesokan paginya.
Hatiku perih bilamana mendengar itu, dan sesekali kuucapkan Astagfirullah, Ya Allah tolong
jagalah jiwa ini dari godaan seperti itu..., karena kuakui celotehan tersebut bilamana tidak kita waspadai
akan bisa menyeretku ke arah tersebut. Dan aku berjuang keras untuk itu.
Kuakui kondisi tersebut menjadi suatu pembicaraan umum di kalangan para pebisnis atau
eksekutif di kota ini. Bukan saja hal itu terjadi di kantor Sang Direktur atau rekanku saja, tetapi banyak cerita
pula yang terjadi di perkantoran lainnya. Dunia semakin aneh, gumamku. Tapi aku masih optimis bahwa
kejadian seperti di atas belum menjadi mayoritas perilaku para eksekutif di negeri ini, kuharap ...
Jadi siapa yang seharusnya kita benci dan boikot? Warung Lawu dengan beberapa isterinya,
yang meraihnya dengan cara yang halal, atau lelaki seperti Sang Direktur atau rekanku tersebut?
Akhirnya aku mencoba menelaah apa yang terjadi. Aku buka Alquran dan beberapa buku
literatur, akhirnya kudapat sebuah jawaban, sesungguhnya Allah paling mengetahui karakter ciptaan-Nya,
prinsipnya kaum adam itu mempunyai potensi dan hasrat yang kuat untuk pemenuhan psikologis terhadap
wanita. Mereka juga butuh kasih sayang lebih dari kaum hawa. Terlebih itu kaum adam memiliki energi
yang sangat kuat untuk menyalurkan kebutuhan biologisnya terhadap wanita. Semakin banyak semakin
indah, itulah syahwat kaum adam berbicara. Nah, permasalahannya adalah bagaimana caranya untuk
melampiaskan kebutuhan tersebut.
Hanya ada dua pilihan yang baik pikirku saat ini. Pertama, poligami yang halal, syariat
memperbolehkan hingga memiliki empat isteri, tetapi ada dampak sosial yang saat ini masih menjadi
kendala dan masih diributkan. Apalagi yang mempermasalahkan kebanyakan dari kaum hawa. Dan
pilihan kedua, adalah berjuang keras untuk tetap beristeri satu , dengan alasan khawatir tidak adil,
dampak sosial yang berat, atau hal lainnya.
Semua pilihan di atas pastilah tetap membutuhkan perjuangan. Bagi yang memilih poligami, dia
harus berjuang untuk membahagiakan isteri-isterinya, menghadapi tantangan dampak sosialnya, harus
berlaku adil, memperkuat ekonominya, memperkokoh silaturahim antar keluarga besar, dan itu semua
butuh kerja keras dan berjuang pula. Selain itu memastikan bahwa poligami bukanlah menjadi
penghalang perjuangan amal soleh tetapi justru menjadi penyokong gerakan amal solehnya.
Begitupun untuk alternatif kedua, yang berjuang keras untuk tetap beristeri satu. Hal ini pun butuh
perjuangan yang tidak ringan, untuk menahan potensi kebutuhan psikologis maupun biologisnya untuk
isteri lebih dari satu. Perjuangan untuk menekan keinginan hatinya, selalu menjaga dan mempertahankan
kesetiaan, menutup celah godaan, dan menekan potensi kesenangan yang dihalalkan. Berjuang untuk
membahagiakan seorang isteri dan anak-anaknya, dan banyak perjuangan lainnya yang tak bisa
diutarakan di sini.
Nah, buat para kaum hawa yang memiliki suami seperti alternatif yang kedua ini, dan saya yakin
makhluk seperti ini masih banyak tersebar di bumi ini, bersyukurlah. Hargailah suamimu, sayangi dan
dukunglah suamimu sepenuh hati, hormati dia atas perjuangan kerasnya untuk memilih hanya seorang isteri
di hatinya.

Anda mungkin juga menyukai