Anda di halaman 1dari 110

AKU

SIAP
MENIKAH
BY PANJI RAMDANA
- Aku siap menikah -

Penulis:
Panji Ramdana

Lay Out & Desain Sampul :


Panji Ramdana

Editor :
Panji Ramdana

Diterbitkan oleh :
MDP MEDIA
Soreang, Kab. Bandung.
Dilarang !!!
Memperbanyak atau
memberikan (share),
mengirimkan ke pihak mana
pun tanpa izin dari penulis
dan penerbit.

"Jika itu terjadi? Maka semuanya


akan dipertanggungjawabkan di dunia
dan juga di akhirat, tapi insya Allah
pembaca di sini adalah pembaca
yang memahami tentang ilmu agama,
baik, amanah, dan jujur."
‫الحمد لله وكفى والصالة والسالم علىالرسول‬
‫المصطفى وعلىآله وصحبه و من‬
‫تبعهم بحسان الىيوم الدين آم بعد‬

Alhamdulillah, telah selesai proses


penyusunan buku ini atas pertolongan
dan anugerah dari Allah Azza wa Jalla.
Tidak ada kata yang layak kita ucapkan
selain bersyukur kepada Allah Azza
wa Jalla, atas segala nikmat yang telah
dikaruniakan oleh-Nya kepada kita
semua yang ada di sini.
Alasan
Menikah.
Sebuah alasan.

Capek, bosan, kesal.


Atas serangan pertanyaan mereka.
Akhirnya sempat aku ingin menyerah.

“Nikah sama siapa aja deh ah, bebas!”

Iya, aku ingin menikah alasannya


karena sudah kebanyakan ditanya.
Tanpa memikirkan apakah akunya
sudah siap untuk menikah?
Cukupkah modal nekat?

Layaknya orang yang sudah menikah


punya anak 3 lalu ingin keluar dari tempat
kerjanya, alasannya karena gaji yang
didapatnya tidak jauh berbeda dari teman
kerjanya yang baru masuk satu tahunan.

Di pikirannya, ”Tidak adil! Pilih kasih!”


”Padahal aku sudah bekerja 10 tahun!”

Yang aku tulis ini kisah nyata.


Bahwa memanglah ada orang-orang yang
nekat untuk melakukan sesuatu hanya
karena alasan yang bagi banyak orang
alasan itu bukanlah alasan yang benar.
Kini dia bagaimana keadaannya?
Belum juga kunjung bekerja.
Dan tak bisa kembali ke yang dahulu.

Bekerja saja sudah seperti itu.


Tidak mudah mendapatkan yang baru.
Dan sulit bahkan tidak bisa kembali
ke tempat kerja yang dahulu.

Bagaimana dengan pernikahan?

Begitulah aku memaknai pernikahan.

Perjanjian yang tak mudah berpindah.


Dan tidak mudah kembali pula.

Hingga akhirnya, janganlah kata sesal


muncul hanya diakibatkan alasan yang
tak jelas untuk sebuah pernikahan.
Sebuah kendaraan

Seperti halnya uang.


Harusnya uang itu bukan dijadikan tujuan.
Misalnya ada orang yang bekerja dengan
tujuannya untuk mendapatkan uang.

Sebenarnya tujuan dari bekerja itu bukanlah


uang, melainkan sesuatu yang lebih dalam.
Dia bekerja, adalah untuk mendapatkan
uang, yang di mana uang itu adalah
kendaraan untuk menuju tujuannya.

Uang yang didapatnya lalu dibelikan


pakaian, tujuannya adalah untuk membeli
pakaian yang nanti digunakan untuk
menutupi dan menjaga tubuhnya
dari panas, dingin, dan hujan.
Begitu pun yang membeli makanan,
agar perutnya tidak lagi merasa lapar,
supaya jadi ada energi, dan bertahan hidup.

Begitu pun yang membeli rumah, mobil,


motor, sepatu, dan lain-lain, yang pasti
ada tujuan sebenarnya di dalam.

Uang, hanyalah kendaraan, untuk menuju


tujuan yang kita inginkan dan butuhkan.

Pernikahan pun sama, jangan jadikan


menikah sebagai tujuan, tapi jadikanlah
sebagai kendaraan untuk menuju tujuan.

Tujuan pernikahan apa?


Adalah untuk menuju surga Allah.
“Pernikahan adalah sebuah kendaraan
yang dapat memudahkan kita
untuk menuju surga Allah.”
Aku
Siap
Menikah
Setelah ingin menikah.

D
i ebook seri aku menikah jilid
pertama yang berjudul Aku Ingin
Menikah, kita sudah mengetahui
bahwa untuk menikah tidak cukup hanya
dengan perasaan sekadar ingin saja.

Maka selanjutnya adalah dengan


mempersiapkan segala sesuatunya, agar
kelak Allah melihat kita sudah pantas
untuk melangsungkan pernikahan. Dan
pertanyaanya sekarang adalah,

“Apakah kamu sudah siap menikah?”


“Atau, masih sekadar ingin saja?”
Kalau kita melihat teman-teman yang
sudah menikah, apa pandanganmu
terhadapnya? Atau mungkin maksudnya
menurutmu mereka bahagia atau tidak?

Jangan menilai orang yang kamu


temui di media sosial saja ya, tapi yang
dinilai itu yang benar-benar kamu sering
bertemu, bahkan bertukar cerita.

Coba, ingat-ingat, bagaimana rumah


tangga mereka? Membahagiakan? Atau
sebaliknya? Aku yakin pasti jawabannya
berbeda-beda. Tapi yang ingin aku
pastikan lagi adalah … “Apakah kamu siap
jika rumah tanggamu nanti seperti itu?”
Baik, kalau kamu menjawab siap
karena yang kamu lihat adalah rumah
tangga yang baik, coba kamu ingat-ingat
lagi, apakah ada salah satu dari temanmu
yang rumah tangganya kurang baik?

Sesederhana seperti cerita di atas,


suaminya keluar dari tempat kerja karena
gajinya tidak jauh berbeda dengan tempat
yang pertama, sampai-sampai istrinya
berpikir apakah harus dia yang bekerja?

Kesimpulan dari cerita di atas adalah


apakah kita siap jika dipertemukan
dengan suami yang kelak nanti ada
permasalahan dari segi nansialnya?
fi
Masalah itu mungkin tidak datang di
awal-awal pernikahan, tapi bisa jadi nanti
setelah punya anak, atau lima tahun
berjalan mungkin, siapkah kamu?

Jujur, mengapa aku sampaikan di awal


hal yang seperti ini, karena aku sudah
banyak melihat rumah tangga yang masih
muda-muda namun bergelut dengan
masalah-masalah nansial seperti ini.

Ingin menyalahkan suaminya tapi


memang seperti itu pikirannya, karena
banyak hal yang jadi penyebabnya, dari
latar belakangnya, disiplin ilmunya, skill
atau kemampuannya, hingga keimanan.
fi
Ingin juga menyalahkan istrinya tapi
siapa juga yang kuat jika harus melihat
suaminya malas-malasan tanpa ikhtiar
yang optimal untuk mencari rezeki. Jadi
serba salah bukan? Lalu untuk apa aku
membicarakan hal ini di awal?

Aku ingin memberitahukan bahwa


pernikahan akan penuh dengan masalah
dan ujian yang siapa saja bisa kena, dan
tidak ada yang bisa menolak ujian itu
untuk datang kepadanya.

Sehingga, jangan sampai juga kita


berpikir kalau kita akan kebal dengan
ujian-ujian itu, janganlah takabur kalau
diri ini akan terhindar dari segala ujian-
ujian baik yang kecil sampai yang sangat
besar sekali pun.
Tidak ada jaminan kalau kita tidak
akan pernah merasakannya.

Setelah kita mengetahui beberapa


kemungkinannya, inilah yang paling
penting, yaitu dengan mempersiapkan
mental dan keimanan kita kalau-kalau
nanti terjadi hal yang demikian.

Sama seperti pergi ke medan perang


yang jika kita tidak membawa bekal dan
perlatan yang cukup dan tepat, tidak tahu
musuh yang sedang dilawan, tidak tahu
strategi apa yang harus digunakan, maka
kekalahan tinggal menunggu waktu saja.
Nekat saja tidak cukup.

Main hajar juga bukan alasan bagus.

Perlu mental yang siap.

Ilmu yang siap.

Dan iman yang siap.

Dan sekaranglah waktu untuk yang


tepat untuk mempersiapkannya.
Bukan untuk menakut-nakutimu.

Tak ada maksud untuk menakut-nakutimu,


aku hanya ingin memberikan gambaran
besar dari sekolah yang paling lama akan
kita jalani nanti, yang selayaknya sekolah,
ada ujian-ujian, ada pembelajaran, ada yang
mengajarnya, yang diajarnya, siapa kepala
sekolahnya, siapa gurunya, siapa muridnya.

Karena mempertahankan sesuatu itu


jauh lebih sulit daripada memulainya.

Aku tidak ingin kamu menyerah.


Aku tidak ingin kamu kalah.
Siap
Taat
Kepada
Suami.
Jika suamimu shalih.

Ketika ingin menikah, banyak yang


ingin menikah bersama pria yang shalih.
Yang dapat membimbingnya menuju surga.
Rasanya untuk taat pun akan mudah.

Lalu bagaimana jika suaminya tidak shalih?


Masihkah perlu untuk diri ini taat?

Ups, mungkin ada yang kamu belum tahu.


Bukan hanya taat kepada suami yang tidak
shalih saja yang sulit untuk dilakukan.

Tapi taat kepada suami yang shalih juga


sebenarnya sulit untuk dilakukan, kenapa?
Nanti kita akan bahas lebih dalam lagi.
Taat kepada suami
bukan perkara mudah.

T
idak banyak perempuan yang
sebelum menikah sudah
mempersiapkan mental dan
ilmunya untuk siap taat kepada suami.
Bahkan dipikirkannya pun jarang,
mengapa? Karena dia menganggap taat itu
mudah, tidak perlu dipikirkan, dan
menganggap perihal taat ini enteng.

Aku awali dengan pernyataan,

“Taat kepada suami shalih atau pun tidak


shalih bukanlah perihal yang mudah.”
Mungkin kamu berpikir kalau taat
kepada suami shalih itu malah mudah,
dan bahkan menyenangkan, tapi, apa
benar seperti itu? Baik, aku akan berikan
gambaran besarnya seperti apa.

Sebelum masuk ke hubungan suami


istri, aku akan contohkan dahulu dengan
hubungan pertemanan.

Katakanlah kamu empat bersahabat,


di dalamnya ada satu orang yang sangat
shalih/shalihah. Ketika di mobil dalam
perjalanan untuk menuju sebuah tempat,
setiap waktu adzan berkumandang dia
harus tepat waktu untuk shalat, kalau
yang pria harus selalu di masjid, mau
tidak mau mobil itu berhenti, dan kamu
pun jadi ikut turun untuk shalat.
Pertanyaannya, apakah kamu suka
seperti itu? Apakah menyenangkan?
Tentu jika kamu satu frekuensi dengannya
pasti menyenangkan, tetapi jika tidak?
Akan membuatmu tidak nyaman.

Misalkan lagi, ketika lagi ngobrol-


ngobrol lalu ada satu temanmu yang
membawa obrolan itu ke arah
membicarakan orang lain (ghibah), dan
berlangsunglah obrolan ghibah itu, tapi
satu orang yang shalih itu malah bilang,
“Jangan ghibah yuk, mending kita obrolin
yang lain aja, gimana?”

Nah, kalau seperti ini kasusnya kamu


merasa senang atau tidak?
Yang shalih, akan merasa tindakan
yang shalih itu menyenangkan, tapi yang
tidak? Akan merasa tindakan itu malah
membuat tidak seru dan membosankan.

Dan di sinilah pertanyannya, kamu


yang mana? Apakah yang senang dan
nyaman? Atau yang tidak senang dan
tidak nyaman? Jujurlah dalam menjawab.

Masuk ke hubungan suami istri,


katakanlah kamu seorang istri yang
mendapatkan suami yang sangat shalih.

Hampir setiap malam, kamu


dibangunkan untuk shalat tahajud, setiap
harinya pun kalian membaca Al-Quran,
tak jarang suamimu pun meminta kamu
setoran ayat yang sedang kamu hafalkan.
Suamimu meminta kamu untuk tidak
lagi mengupload fotomu ke media sosial
lagi, jangan menampakan diri di medsos,
jangan memposting foto anak-anakmu,
meminta kamu juga untuk tidak
memperlihatkan nikmat-nikmat yang
sedang kamu rasakan di media sosial.

Ketika kamu bercer it a tent ang


sesuatu, lalu tanpa sengaja kamu
membicarakan aib orang lain, segera
suamimu melarangnya, padahal kamu
lagi semangat-semangatnya bercerita.

Kamu yang sebelum pernikahan


masih memakai hijab yang belum syari,
kini suamimu meminta kamu memakai
hijab syari, hijab yang benar-benar
menutup seluruh tubuhmu, dan meminta
untuk tidak berlebihan dalam berhias.
Ketika kamu datang ke perkumpulan
keluarga besarmu saat lebaran, suamimu
mengingatkanmu untuk tidak berjabat
tangan atau bersentuhan dengan sepupu
laki-lakimu, pun dengan paman yang
bukan adik kandung dari Ayah atau
Ibumu, pun dengan orang lainnnya lagi
yang lawan jenis meski usianya jauh dari
kamu, kamu tidak diperbolehkan untuk
berjabat tangan atau bersentuhan.

Sampai-sampai, suamimu melarang


kamu untuk berkumpul dengan teman-
temanmu yang jika di dalamnya ada
teman lawan jenis tanpa ada suamimu.
Suamimu harus ikut, tidak boleh tidak.

Bagaimana? Apa kamu siap? Itu baru


sebagian kecil saja, belum seluruhnya.
Sungguh, tak ada kesulitan jika
kamu dan suamimu sudah satu
pandangan, kalian akan nyaman dan
enjoy dalam menjalaninya.

Tetapi sebaliknya, akan penuh dengan


kesulitan jika kamu belum seutuhnya satu
pandangan dengan suamimu, dan di
sanalah kata taat kepada suami diuji.

Sebagai seorang istri, apa pun yang


diperintahkan suami selama itu bukan hal
yang maksiat , maka wajib untuk
menjalankannya, misalkan ketika kamu
harus ikut tinggal dengannya di luar kota
bahkan luar pulau, kamu harus
meninggalkan orangtuamu di sini,
semata-mata untuk taat kepada suamimu.
Ketika kamu ikut dengan suamimu, itu
berarti kamu sudah meninggalkan
kebiasaanmu, kamu bagaikan hidup
dengan kehidupan yang baru, tak lagi
mudah untuk bertemu dengan teman-
temanmu, bahkan orangtuamu sekali
pun. Itulah hiasan rumah tangga yang tak
sedikit orang akan merasakannya.

Jika itu kamu, apakah kamu siap? Atau


ketika kamu membaca ini kamu jadi yang
tiba-tiba merasa takut? Aku sampaikan
sekali lagi, ini bukan untuk menakut-
nakutimu, aku hanya ingin memberikan
gambaran realita agar kita sadar.

Dan, ketakutan itu seharusnya jangan


dihindari, melainkan harus dilawan dan
diselesaikan dengan penyelesaian.
Orang yang hebat, bukanlah orang
yang dapat menghindari ketakutan,
melainkan ia yang berani untuk melawan
ketakutan itu dan menyelesaikannya. Taat
kepada suami bukan hal mudah, itulah
kenapa hadianya juga begitu besar.

Hadits dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf, ia


berkata bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika seorang
wanita selalu menjaga shalat lima waktu,
juga berpuasa sebulan (di bulan
Ramadhan), serta betul-betul menjaga
kemaluannya (dari perbuatan zina) dan
benar-benar taat pada suaminya, maka
dikatakan pada wanita yang memiliki sifat
mulia ini, “Masuklah dalam surga melalui
pintu mana saja yang engkau suka.” (HR.
Ahmad 1: 191 dan Ibnu Hibban 9: 471.
Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan
bahwa hadits ini shahih)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
dia berkata, Pernah ditanyakan kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Siapakah wanita yang paling baik?”
Jawa b b e l i au , “ Ya i t u ya n g p a l i n g
menyenangkan jika dilihat suaminya,
mentaati suami jika diperintah, dan
tidak menyelisihi suami pada diri dan
hartanya sehingga membuat suami benci”
(HR. An-Nasai no. 3231 dan Ahmad 2: 251.
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini hasan shahih)

Maka, persiapkanlah dirimu dari


sekarang, dengan ilmu dan iman, karena
kekuatan datangnya dari Allah, dan
kamu tidak akan mengeluh sedikit pun
j i k a a p a y a n g s u a m i mu i n g i n k a n
sesungguhnya kamu pun inginkan.
Sama-sama untuk taat kepada Allah.

Yakinlah bahwa apa yang suamimu


perintahkan kepadamu pun adalah
perintah dari Allah, dan itu untuk
kebaikan dirimu sendiri, tinggal kitanya
saja yang mempersiapkan diri untuk
menjadi istri yang siap untuk selalu taat.

Jika kita masih merasa sulit untuk taat


kepada suami, maka yang salah bukanlah
perintahnya, melainkan hati kitanya
yang masih keras untuk menerima.
“Ketika aku berkata sudah siap
menikah, itu berarti juga aku sudah siap
untuk taat kepada suami.”
Siap
Memberikan
Na ah,
Pakaian, dan
Tempat Tinggal
fk
”Uang suami adalah uang istri,
uang istri adalah uang suami.”

Biasanya kita mendengar seperti itu,


padahal itu keliru, yang benar adalah:

”Uang istri adalah uang istri,


uang suami adalah uang suami,
Namun yang di dalamnya terdapat
hak untuk istrinya.”
Na ah adalah kewajiban suami.

Y
ang dimaksud na ah adalah harta
yang dikeluarkan oleh suami
untuk istri dan anak-anaknya
berupa makanan, pakaian, tempat tinggal
dan hal lainnya. Na ah seperti ini adalah
kewajiban suami berdasarkan Al-Qur’an,
hadits, dan ijma’.

Allah Ta’ala ber rman, “Hendaklah


orang yang mampu memberi na ah
menurut kemampuannya. Dan orang
yang disempitkan rezekinya hendaklah
memberi na ah dari harta yang
diberikan Allah kepadanya. Allah tidak
memikulkan beban kepada seseorang
melainkan sekedar apa yang Allah
berikan kepadanya” (QS. Ath Tholaq: 7).
fk
fk
fk
fk
fi
fk
“Dan kewajiban ayah memberi makan
dan pakaian kepada istrinya dengan cara
ma’ruf ” (QS. Al Baqarah: 233).

Ibnu Katsir rahimahullah berkata,


“Bapak dari si anak punya kewajiban
dengan cara yang ma’ruf (baik) memberi
na ah pada ibu si anak, termasuk pula
dalam hal pakaian. Yang dimaksud
dengan cara yang ma’ruf adalah dengan
memperhatikan kebiasaan masyarakatnya
tanpa bersikap berlebih-lebihan dan tidak
pula pelit. Hendaklah ia memberi na ah
sesuai kemampuannya dan yang mudah
untuknya, serta bersikap pertengahan
dan hemat”

(Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 2: 375).


fk
fk
Dari Mu’awiyah Al Qusyairi
radhiyallahu ‘anhu, ia bertanya pada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengenai kewajiban suami pada istri,
lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,

“Engkau memberinya makan


sebagaimana engkau makan. Engkau
memberinya pakaian sebagaimana
engkau berpakaian -atau engkau
usahakan-, dan engkau tidak memukul
istrimu di wajahnya, dan engkau tidak
m e n j e l e k- j e l e k k a n ny a s e r t a t i d a k
memboikotnya (dalam rangka nasehat)
selain di rumah” (HR. Abu Daud no. 2142.
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini hasan shahih).
Kesimpulannya, kita sudah tahu kalau
na ah itu kewajiban dan urusan suami,
tidak ada kewajiban dari istri tentang
na ah ini, artinya semua perkara na ah
d i b e b a n k a n ke p ad a su a m i , i t u l a h
mengapa kita harus tahu kalau tugas
na ah adalah untuk suami, bukan istri.

Akhir-akhir ini, banyak orang yang


kadang memandang istri pun harus
mempunyai penghasilan. Tak jarang pula
mertua dari istrinya pun malah ikut
memborbardirnya, dan hal itu nyata
terjadi, tatkala pendapatan suami yang
menurut mereka masih kurang, sehingga
istri pun seperti yang wajib untuk
membantu, padahal bukan seperti itu.
fk
fk
fk
fk
Bukannya tidak boleh untuk istri
bekerja, hanya saja kita harus paham
kalau suami dan istri tidak mempunyai
porsi yang sama dalam urusan pekerjaan
ini, suami diwajibkan, sedangkan istri
tidak, tidak boleh disamakan.

Hendaknya seorang suami harus tahu


tentang kewajibannya ini, dan jangan
sampai malah mengiyakan kewajaran
yang sudah merajalela di masyarakat.

Bahkan ada yang sudah jadi tradisi,


istri bekerja capek-capek, suami santai-
santai di rumah tidak bekerja. Lalu apa
pekerjaan suaminya? Pekerjaannya
adalah antar jemput istrinya yang
bekerja, begitulah realita yang terjadi.
Harga diri, milikilah harga diri
padamu wahai lelaki, tak patut untukmu
meminta harta pada istrimu, dan tak
patut pula menyuruhnya untuk bekerja.
Harus kamu yang putar otak, yang
banting tulang, karena kamu adalah
tulang punggung keluargamu sendiri.

Jika pun istri bekerja, maka itu harus


berdasarkan keinginan dari pihak istri, ia
ridha untuk membantu ekonomi
keluarganya, dan tentunya harus dengan
syarat-syarat yang sesuai syariat.

Misalkan pekerjaan itu tidak


bercampur baur antara pria dan wanita,
halal, tidak mengharuskan membuka
hijab, boleh memakai hijab syari, dan
masih banyak yang lainnya lagi.
Untukmu pria, persiapkanlah segala
sesuatunya dari sekarang, tentang ilmu,
mental, dan kemapanan nansial, mapan
di sini bukan berarti kamu harus punya
uang yang banyak, tapi tentang skill dan
kemampuanmu dalam menjemput rezeki.

Tidak ada bahasa aman dalam


pekerjaan, bukan berarti pula kamu harus
jadi ASN atau bekerja di BUMN.

Tidak masalah kamu bekerja di mana


pun, asalkan halal dan toyyib (baik).

Mental yang kuat ketika ada hal yang


tidak diinginkan terjadi, apakah itu bisnis
yang gagal, pekerjaan yang diPHK, usaha
yang sepi, dan lainnya lagi.
fi
Mental di sini harus kita siapkan
bahwa tidak selamanya pekerjaanmu
aman, jadi hendaknya kita persiapkan
berbagai macam cara opsi-opsi lainnya
kalau-kalau ada yang terjadi.

Karena di tahun kemarin selama covid


banyak orang yang diPHK lalu mereka
bingung untuk mencari na ah lagi, yang
ada di pikirannya hanya melamar dan
melamar lagi, tidak berani mengambil
risiko untuk berdagang, bahkan kata malu
kadang menjadi alasannya.

Untukmu perempuan, temukanlah


suami yang orientasi dalam menjemput
na ahnya ini sudah benar.
fk
fk
Seorang suami yang tauhidnya benar,
yang yakin bahwa semua orang akan
mendapatkan rezeki selama kita masih
hidup di dunia ini, yang mengerti halal
dan haram, yang tak bermudah-mudahan
dalam mencari uang, yang artinya dia
harus hati-hati sebab bisa jadi pekerjaan
ya n g n a m p a k waj a r d a n b a i k i t u
sebenarnya tidaklah benar.

Saranku, na ah tidak hanya datang


dari pekerjaan yang sudah tetap, atau
yang berada di perusahaan, kantor, dan
lembaga lainnya. Na ah itu bisa kamu
ikhtiarkan meski seorang diri pun. Jangan
malu dan jangan malas jika kamu harus
berdagang, jangan malu kalau kamu
harus memposting jualanmu di medsos.
fk
fk
Jangan menilai diri tidak bisa pula
ketika kamu harus memulai usaha seperti
jasa, membuat produk, menjadi reseller,
dropshipper, dan banyak lainnya lagi.

Aku sering bertemu dengan orang


yang sulit lepas dari kebiasaan mencari
na ahnya itu, jadi mereka itu susah
untuk keluar dari zona nyaman.

Katakanlah mereka sudah tahu kalau


pendapatannya kurang, tapi mereka tidak
berani dan sudah membuat mental blok
kalau mereka tidak akan bisa seperti
orang lain, yang ada di pikirannya adalah
gagal, tidak bisa, malu, bingung, tidak
mampu untuk bekerja yang lain.
fk
Maksudku, kamu masih bisa belajar,
masih bisa mencoba, lebih baik kamu
menyesal ketika gagal karena mencoba
daripada menyesal karena tak mencoba.

Jika kamu merasa sudah cukup


dengan na ah yang ada, janganlah
mengeluh menggerutu setap hari.

Jika di bibir berucap cukup ketika ada


orang yang bertanya, tapi dalam perilaku
aslinya kamu sering mengeluh, maka ada
dua hal yang harus kamu perbaiki, yang
pertama adalah rasa syukurmu, dan yang
ke dua adalah ikhtiar untuk menjemput
rezeki dengan cara-cara yang lainnya lagi,
jangan pantang menyerah.
fk
Sekarang, adalah waktunya untuk
menimba ilmu, mental, dan pengalaman,
sebab nanti bukan tentang kamu saja
yang menjadi t ang gung jawabmu,
melainkan ada istrimu, dan anak-anakmu.

Ketahuilah, setelah menikah, kamu


akan menyadari kalau yang dibutuhkan
seorang istri adalah suami yang
bertanggung jawab untuk keluarganya.
”Perihal ekonomi ini begitu sensitif
dalam keberlangsungan rumah tangga,
tak sedikit dari mereka yang berpisah
disebabkan oleh masalah ekonomi.”
Siap
Menjauhkan
Dari Siksa
Api Neraka
Menjauhkan keluarga
dari siksa api neraka

M
endidik dan mengajarkan perkara
atau kewajiban-kewajiban dalam
agama kepada istrinya adalah
kewajiban seorang suami.

S y a i k h M u s t h a f a A l - ‘A d a w i
ha dzahullahu Ta’ala berkata, “Seorang
suami hendaknya mendidik
(mengajarkan) istrinya hal-hal yang
bermanfaat untuk perkara agama dan
dunianya.” (Fiqh Ta’aamul baina Az-
Zaujain, hal. 10)
fi
Kemudian beliau berdalil dengan
rman Allah Ta’ala,

“Wahai orang-orang yang beriman,


peliharalah dirimu (dan anakmu) dan
istrimu dari api neraka, yang bahan
bakarnya adalah manusia dan batu;
penjaganya adalah malaikat-malaikat
yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai
Allah terhadap apa yang diperintahkan-
Nya kepada mereka. Dan mereka selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan.”

(QS. At-Tahriim [66]: 6)


fi
Begitu pula pesan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam kepada Malik bin
Huwairits radhiyallahu ‘anhu, setelah
Malik dan rombongannya datang ke
Madinah untuk khusus belajar agama
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
selama kurang lebih dua puluh hari.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam


berpesan kepada Malik bin Huwairits
ketika mau pulang ke kampung asalnya,

“Kembalilah ke istrimu, tinggallah di


tengah-tengah mereka, ajarkanlah
mereka, dan perintahkanlah mereka.”

(HR. Bukhari no. 631, 7246, dan


Muslim no. 674)
Jadi, bukan hanya tentang na ah saja
kewajiban suami itu, melainkan ada hal
yang jauh lebih penting, yaitu
menjauhkan keluarganya dari siksa api
neraka. Dan semua itu dilakukan dengan
kewajiban lainnya, yaitu mengajarkan dan
mendidik istrinya dalam perihal agama.

Apa saja yang perlu diajarkannya?


Bisa perihal shalatnya, apakah sudah
benar atau tidak bacaanya, gerakannya,
lalu perkara menutup aurat, membaca
ayat suci Al-Quran, sudah benarkah cara
membacanya, tajwidnya, makhrajnya,
ajarkan juga tentang haidh dan nifas, pun
adab-adab lainnya seperti adab berbicara,
adab keluar rumah, dan masih banyak
perkara agama yang lainnya lagi.
fk
Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi
ha dzhahullahu Ta’ala berkata,

“Di antara hak istri yang menjadi


kewajiban suami adalah suami
memerintahkan istri untuk menegakkan
agamanya dan menjaga shalatnya. Hal ini
berdasarkan rman Allah Ta’ala,

“Dan perintahkanlah kepada istrimu


untuk mendirikan shalat dan bersabarlah
kamu dalam mengerjakannya.” (QS.
Thaaha [20]: 132)” (Al-Wajiiz Fiqhis
Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz, hal. 356)

Dari sini kita bisa mengetahui, akan


sangat sulit kewajiban ini bisa dijalankan
kalau kebiasaan suaminya ini keluyuran
ke luar rumah, malas-malasan, bahkan
jarang untuk beribadah.
fi
fi
fi
Dan poin pentingnya adalah jangan
t i n g g a l k a n ke l u a r g a mu , d i d i k l a h ,
ajarkanlah. Oleh karena itu, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan,
“Tinggallah di tengah-tengah mereka.”

Faktor pengawasan adalah penting di


fase mendidik, bukan hanya mengawasi
istri, tapi juga anak-anak, lalu bagaimana
jika suami bekerja di luar kota? Itulah
kenapa sangat penting bagi istri harus
sudah mengetahui apa-apa yang menjadi
tugas, larangan, dan lainnya.

Jika istri belum tahu? Maka suami


wajib mengajarkan dan mendidik terlebih
dahulu, ataukah kamu lebih memilih
langsung meninggalkan istrimu tanpa
membekali perihal agama kepadanya?
Aku lihat, hal ini banyak terjadi, salah
satunya karena kurangnya ilmu dari
suami ini, yang tidak tahu kalau ada
kewajiban lain selain mencari na ah.

Misalkan ketika awal menikah mereka


langsung berjauhan, satu bulan sekali
pulangnya, ada juga yang tiga bulan sekali
bahkan lebih, bagaimana kalau istri masih
keliru dalam hal agamanya? Hal inilah
yang menjadi permasalahannya.

Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi


ha dzhahullahu Ta’ala berkata, “Hak istri
yang menjadi kewajiban suami adalah
suami mengajarkan istri mengajarkan
perkara-perkara dharuri (yang wajib
diketahui) berkaitan dengan perkara
agama, atau suami mengijinkan istri
untuk menghadiri majelis ilmu.
fi
fk
Karena kebutuhan istri untuk
memperbaiki agamanya dan
membersihkan (menyucikan) jiwanya
tidaklah lebih remeh dibandingkan
kebutuhan istri terhadap makanan dan
minuman yang wajib dipenuhi oleh
suami. Hal ini berdasarkan rman Allah
Ta’ala, “Wahai orang-orang yang beriman,
peliharalah dirimu (dan anakmu) dan
istrimu dari api neraka, yang bahan
bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS.
At-Tahriim [66]: 6)
fi
”Tugas terberat seorang suami
adalah untuk menyelamatkan
keluarganya dari siksa api neraka.”
Siap
Membiasakan
Berdiam Diri
Di Rumah
Sebelum menikah, kamu bebas,
mau pergi ke mana pun tinggal keluar.
Tapi nanti, ada suamimu yang harus
selalu kamu lapori setiap akan ke luar.

Dan hendaknya kamu tahu, bahwa


di dalam rumahlah penjagaan terbaik.

Bahkan, jadilah perempuan


yang lebih betah tinggal di rumah.
Yang tidak bosenan, yang tidak
sedikit-sedikit ingin jalan-jalan ke luar.
Betah tinggal di rumah

A
ku begitu kagum dengan
perempuan yang menyatakan
lebih betah di rumah daripada di
luar rumah, yang tidak sedikit-sedikit
ingin jalan-jalan pergi keluar, bukan
berarti karena ia paham keutamaan
tinggal di rumah, melainkan karena
hatinya berucap yang seperti itu.

Setelah menikah, tidaklah elok jika


kamu masih sering pergi ke luar bersama
teman-temanmu, apalagi sampai tengah
malam, hal ini bukan berarti memutuskan
tali pertemananmu, hanya saja kamu
harus tahu bahwa keadaan sudah tidak
lagi bebas seperti dahulu.
Allah Ta’ala ber rman,

“Dan hendaklah kamu tetap di


rumahmu dan janganlah kamu berhias
dan bertingkah laku seperti orang-orang
Jahiliyah yang dahulu” (QS. Al Ahzab: 33).

Seorang istri tidak boleh keluar dari


rumahnya kecuali dengan izin suaminya.

Baik ia keluar untuk mengunjungi


kedua orangtuanya ataupun untuk
kebutuhan yang lainnya, sampai pun
untuk keperluan shalat di masjid tetap
harus izin kepada suami.

Ada banyak pertemuan yang kadang


kita pun tidak perlu untuk memaksakan
datang, seperti reuni sekolah misalnya.
fi
Kita lihat apa lebih banyak manfaat
atau mudharatnya, belum ikhtilathnya,
sampai ke mengenang masa lalu, yang
khawatirnya ada seseorang di masa lalu
yang dahulu pernah kamu cintai di sana.
Karena tak jarang ada yang CLBK setelah
reuni sekolah tersebut.

Sy a i k h u l I s l a m I b n u T a i m i y a h
rahimahullah mengatakan, “Tidak halal
bagi seorang istri keluar dari rumah
kecuali dengan izin suaminya.” Beliau
juga berkata, “Bila si istri keluar rumah
suami tanpa izinnya berarti ia telah
berbuat nus yuz (pembangkangan),
bermaksiat kepada Allah Ta’ala dan Rasul-
Nya, serta pantas mendapatkan siksa.”
(Majmu’ Al-Fatawa, 32: 281)
Jangan jadikan beban kalau apa-apa
harus izin kepada suami, tapi jadikan
kebiasaan saja, dan kalau bisa jadikan
sebagai kebutuhan.

Kita bukanlah lagi gadis yang bebas


pergi kemana saja, meski sebenarnya saat
gadis pun kita harus menjaga bukan yang
bebas, apalagi sekarang, kamu sudah
menikah, ingatlah bahwa ada suami yang
harus kamu jaga kehormatannya,,
mengingat begitu besar keutamaan dari
hak seorang suami.

Hak suami yang menjadi kewajiban


istri dijelaskan dalam ayat berikut ini,
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin
bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki)
atas sebahagian yang lain (wanita), dan
karena mereka (laki-laki) telah
mena ahkan sebagian dari harta mereka.
Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah
yang taat kepada Allah lagi memelihara
diri ketika suaminya tidak ada, oleh
karena Allah telah memelihara (mereka).
Wanita-wanita yang kamu khawatirkan
nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan
pisahkanlah mereka di tempat tidur
mereka, dan pukullah mereka. Kemudian
jika mereka mentaatimu, maka janganlah
kamu mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya.” (QS. An Nisa’: 34)
fk
Hak suami yang menjadi kewajiban
istri amatlah besar sebagaimana sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“ S e a n d a i ny a a k u m e m e r i n t a h k a n
seseorang untuk sujud pada yang lain,
maka tentu aku akan memerintah para
wanita untuk sujud pada suaminya
karena Allah telah menjadikan begitu
besarnya hak suami yang menjadi
kewajiban istri” (HR. Abu Daud no. 2140,
Tirmidzi no. 1159, Ibnu Majah no. 1852)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,


“Tidak ada hak yang lebih wajib untuk
ditunaikan seorang wanita –setelah hak
Allah dan Rasul-Nya- daripada hak suami”
(Majmu’ Al Fatawa, 32: 260)
Selain kamu harus meminta izin
ketika akan pergi ke luar, kamu pun harus
meminta izin ketika ada seseorang
yang mau datang ke rumahmu.

Pesan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa


sallam pada haji Wada’,

“Bertakwalah kalian dalam urusan


para wanita (istri-istri kalian), karena
sesungguhnya kalian mengambil mereka
dengan amanah dari Allah dan kalian
menghalalkan kemaluan mereka dengan
kalimat Allah. Hak kalian atas mereka
adalah mereka tidak boleh mengizinkan
seorang pun yang tidak kalian sukai
untuk menginjak permadani kalian”
(HR. Muslim no. 1218)
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak halal
bagi seorang isteri untuk berpuasa
(sunnah), sedangkan suaminya ada
kecuali dengan izinnya. Dan ia tidak
boleh mengizinkan orang lain masuk
rumah suami tanpa ijin darinya. Dan
jika ia mena ahkan sesuatu tanpa ada
perintah dari suami, maka suami
mendapat setengah pahalanya”.
(HR. Bukhari no. 5195)

Hadits di atas dipahami jika tidak


diketahui ridho suami ketika ada orang
lain yang masuk. Adapun jika seandainya
suami ridho dan asalnya membolehkan
orang lain itu masuk, maka tidaklah
masalah. (Shahih Fiqh Sunnah, 3: 193)
fk
”Sangatlah jarang menemukan
perempuan yang lebih betah di rumah,
semoga kamu termasuk yang lebih
betah di rumah, ya. Aamiin.”
Siap
Berkhidmat
pada suami
dan anak-
anaknya.
Berkhidmat pada suami
dan anak-anaknya.

D
alam hadits dari ‘Abdullah bin
‘Umar radhiyallahu ‘anhu, di
dalamnya Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

“… seorang istri bertanggung jawab


terhadap rumah suaminya, ia akan
ditanya (di akhirat) tentang semua itu…”
(HR. Bukhari no. 893, Muslim no. 1829).

Dalam riwayat Bukhari : “… seorang


istri bertanggung jawab terhadap
rumah suaminya serta anak suaminya…”.
Apa saja tanggung jawab istri yang
dimaksud dalam hadits ini?

Syihabuddin al-Qasthalani
rahimahullah menjelaskan: “[Ist r i
bertanggung jawab terhadap rumah
suaminya], yaitu dengan berusaha
mengurus urusan rumah tangga
dengan baik, serta berkomitmen untuk
melayani keperluan suaminya serta
tamu-tamu dari suaminya. [Dan anak-
anak suaminya] dengan mendidiknya
dan berkomitmen untuk mengurusnya.
[Ia akan ditanya di akhirat tentang semua
itu], yaitu ditanya tentang rumah
suaminya, juga tentang anak-anaknya
dan semua orang-orang yang ada di
rumah tersebut, selain mereka.”

(Irsyadus Sari, 15/86).


Al-Munawi rahimahullah menjelaskan:
“Yaitu dengan mengurus suaminya
dengan baik dalam kebutuhan sehari-
hari dan dalam hal-hal yang baik
untuknya, menyayanginya, menjaga
hartanya dengan amanah, menjaga
keluarganya, dan tamu-tamunya, juga
dengan merawat dirinya sendiri (sang
istri). [Ia akan ditanya di akhirat tentang
semua itu], yaitu ia akan ditanya apakah
te l a h me l a k s a n a ka n kewa j i b a n -
kewajiban tadi ataukah belum? Dan
sudahkah melaksanakannya dengan
baik atau belum? Ketika seorang suami
telah menyediakan makanan pokok untuk
keluarganya di rumah, maka tugas
seorang istri untuk mengelolanya.
Namun, jika suami menyimpan sendiri
makanan pokok tersebut, tidak diberikan
kepada istrinya, maka itu di luar tanggung
jawab istrinya.” (Faidhul Qadir, 5/38).
Syaikh Muhammad bin Shalih al-
Utsaimin rahimahullah juga menjelaskan:

“Seorang istri dia bertanggung jawab


tentang urusan rumah tangga suaminya,
dan akan ditanya (di akhirat) tentang hal
tersebut. Wajib bagi istri di rumah untuk
mengatur dengan baik masalah masakan,
masalah tersedianya kopi, tersedianya
teh, urusan perawatan tempat tidur.
Hendaknya dia jangan masak di luar
kebiasaan, jangan menyediakan teh
melebihi kebutuhan, wajib baginya
untuk berhemat. Karena hemat itu
setengah dari kecukupan. Juga tanpa
kurang dari kebutuhan yang semestinya.
Ia juga bertugas mengurus anak-
anaknya, baik dalam masalah
keshalihan mereka, dalam masalah
p e r aw a t a n m e re k a , d a n s e mu a
keperluan mereka, seperti memakaikan
pakaian, mengganti pakaian kotor,
mengganti sprei, memakaikan mereka
pakaian hangat ketika musim dingin, dan
semisalnya. Ia juga bertugas untuk
memasak, juga berusaha membuat
masakan yang sedap, dan seterusnya.
Demikianlah tugas seorang (istri), yaitu
terkait semua urusan rumah tangga.”

(Syarah Riyadhush Shalihin, 337).


Semestinya seorang istri membantu
suaminya dalam kehidupannya. Hal ini
telah dicontohkan oleh istri-istri shalihah
dari kalangan shahabiyah seperti yang
dilakukan Asma` bintu Abi Bakar Ash-
Shiddiq radhiyallahu ‘anhuma yang
berkhidmat kepada suaminya, Az-Zubair
ibnul ‘Awwam radhiyallahu ‘anhu.

Ia mengurusi hewan tunggangan


suaminya, memberi makan dan minum
kudanya, menjahit dan menambal
embernya, serta mengadon tepung untuk
membuat kue. Ia yang memikul biji-bijian
dari tanah milik suaminya sementara
jarak tempat tinggalnya dengan tanah
tersebut sekitar 2/3 farsakh[1].” (HR.
Bukhari no. 5224 dan Muslim no. 2182)
Demikian pula khidmat Fathimah
binti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam di rumah suaminya, Ali bin Abi
Thalib radhiyallahu ‘anhu. Sampai-sampai
kedua tangannya lecet karena menggiling
gandum.

(HR. Bukhari no. 5361)

Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi


wa sallam, Jabir bin Abdillah radhiyallahu
‘anhu, menikahi seorang janda agar bisa
berkhidmat padanya dengan mengurusi 7
atau 9 saudara perempuannya yang
masih belia.
Kata Jabir kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ayahku,
Abdullah, telah wafat dan ia
meninggalkan banyak anak perempuan.
Aku tidak suka mendatangkan di tengah-
tengah mereka wanita yang sama dengan
mereka. Maka aku pun menikahi seorang
wanita yang bisa mengurusi dan merawat
mereka.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam


m e n d o a k a n J a b i r, “ S e m o g a A l l a h
memberkahimu.” Atau beliau berkata,
“Semoga kebaikan untukmu.” (HR.
Muslim no. 715)
Siap
bersyukur
dengan
pemberian
suami
Bagaimana kalau suamimu gajinya kecil?
Bagaimana kalau dia belum bisa
memberikanmu rumah sendiri?
Kamu masih ngontrak, bahkan tinggal
dengan mertuamu, siapkah kamu?

Ada komunikasi yang harus terjalin


di saat sebelum pernikahan.

Baiknya, hal-hal yang bersifat materi,


tempat tinggal, di awalnya dibahas.

Kecuali, jika kamu sudah selalu siap


untuk menerima apa pun yang diberikan
oleh suami dengan rasa syukur.
Bersyukur dengan
pemberian suami.

M
ungkin kamu sudah tahu
mengapa neraka dihuni paling
banyak oleh perempuan, iya,
jawabannya karena istri tidak bersyukur
dengan pemberian suaminya.

Menjadi seorang istri, harus pandai


dalam berterima kasih kepada suaminya
a t a s s e mu a y a n g t e l a h d i b e r i k a n
kepadanya, jangan sampai melihat tidak
pernah memberikan apa-apa. Di sinilah
mengapa si istri akan berhadapan dengan
ancaman neraka Allah Ta’ala.
Seselesainya dari shalat Kusuf (shalat
Gerhana), Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda menceritakan surga dan
neraka yang diperlihatkan kepada beliau
ketika shalat,

“Dan aku melihat neraka. Aku belum


pernah sama sekali melihat pemandangan
seperti hari ini. Dan aku lihat ternyata
mayoritas penghuninya adalah para
wanita.” Mereka bertanya, “Kenapa para
wanita menjadi mayoritas penghuni
neraka, ya Rasulullah?” Beliau menjawab,
“Disebabkan kekufuran mereka.” Ada
yang bertanya kepada beliau, “Apakah
para wanita itu kufur kepada Allah?”
Beliau menjawab, “(Tidak, melainkan)
mereka kufur kepada suami dan
mengkufuri kebaikan (suami).
Seandainya engkau berbuat baik kepada
salah seorang istri kalian pada suatu
waktu, kemudian suatu saat ia melihat
darimu ada sesuatu (yang tidak berkenan
di hatinya) niscaya ia akan berkata, ‘Aku
sama sekali belum pernah melihat
kebaikan darimu’.”

(HR. Bukhari no. 5197).

Karena nila setitik, rusak susu


sebelanga, begitulah perumpamaannya.

Satu kesalahan yang nampak dapat


menghapus semua kebaikan.

‘Aku sama sekali belum pernah


melihat kebaikan darimu’.”
Lihatlah bagaimana kekufuran si
wanita terhadap suaminya hanya karena
melihat kekurangan suami sekali saja,
padahal banyak kebaikan lainnya yang
sudah diberi, namun ia menutup mata.

Setiap ada satu kesalahan, mata istri


langsung menghapus semua kebaikan
suami, inilah yang paling membahayakan.

Semoga kamu tidak seperti itu, ya.


“Selalulah melihat kebaikan
bukan kesalahan, baik itu istri
kepada suami, pun sebaliknya.”
Siap
Menyusuri
Jalan
Pernikahan
Yang Allah
Ridhai
Semuanya, dimulai darimu
yang siap untuk menyusuri
jalan pernikahan yang Allah ridhai.

Kamu yang sudah paham dengan


keilmuanmu, tentang bagaimana
caranya menjemput jodoh yang
tetap di koridor syariat.

Inginkanlah sebuah akad yang Allah ridhai.


Bukan akad yang Allah murkai.

Sebab, salah langkah satu kali saja,


bisa jadi akad dan resepsimu
malah yang Allah murkai.
Jangan tergiur dengan mereka yang
merayakan pernikahan namun
semuanya serentak untuk joget-joget.

Tak ada rasa malu dari mereka yang


memperlihatkan aurat-auratnya.

Tangan yang membawa makanan,


kaki yang tidak duduk,
iya, mereka makan sambil berdiri
karena tidak disediakannya kursi
untuk duduk, katanya “standing party”
Bukan berarti islam tidak
memperbolehkan perayaan pernikahan,
namun tetaplah di koridor
yang syariat berikan.

Bukankah menikah adalah ibadah?


Dan bukankah ridha Allah
yang harus kita dapatkan?

Maka, dari taaruf, khitbah,


akad, sampai resepsi pun,
tetaplah jadikan agama
sebagai pedomannya.
”Kadang, kita masih memikirkan
penilaian manusia, sehingga yang
dilarang oleh agama pun
jadi berani kita lakukan.”
”Carilah kebenaran,
bukan pembenaran.”
TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA.
SEMOGA TULISAN
INI BERMANFAAT :)
Dilarang !!!
Memperbanyak atau
memberikan (share),
mengirimkan ke pihak mana
pun tanpa izin dari penulis
dan penerbit.

"Jika itu terjadi? Maka semuanya


akan dipertanggungjawabkan di dunia
dan juga di akhirat, tapi insya Allah
pembaca di sini adalah pembaca
yang memahami tentang ilmu agama,
baik, amanah, dan jujur."
AKU
SIAP
MENIKAH
BY PANJI RAMDANA

Anda mungkin juga menyukai