Anda di halaman 1dari 5

Cerpen Islam - Menganyam Kesabaran

Cerpen Islam - Setelah kemaren saya posting Kumpulan Cerpen Islami Terbaik dan
Kumpulan Cerpen Lucu, sekarang saya akan posting Cerpen Islam yag berjudul Menganyam
Kesabaran. Cerpen Islam ini berkisah tentang Keluarga yang harmonis, sakinah dan
ma'wadah.
Cerpen Islami Menganyam Kesabaran ini dapat menjadi Inspirasi dalam kehiduoan anda
untuk menjalani bahtera Rumah tangga dan pentingnya arti kesabaran, oke langsung saja
baca Cerpen Islam - Menganyam Kesabaran.

MENGAYAM KESABARAN
Cerpen Asma Nadia

"Kriiinnnggg!" Jam wekker di samping kepalaku berbunyi nyaring. Reflek kugerakkan


tanganku memencet tombolnya. Hmmm, jam 4.45. Kulihat Aa sudah tidak ada di sampingku,
aku bergerak menyalakan heater dan bergerak menuju ruang sebelah. Di sana kulihat Aa
tertidur dengan pulasnya. Dengan jaket tebal dan sarungnya. Posisinya melingkar membuat
tubuh Aa yang jangkung tampak mengecil. Aku tersenyum. Rupanya Aa shalat malam tanpa
membangunkan aku.Terlihat terjemahan Al quran yg masih terbuka di samping kepala Aa.
Kututup perlahan terjemahan itu. Kuberjongkok di samping tubuh Aa, tersenyum
memandangi wajah Aa yang terlihat damai sekali. "A..Aa..!" Kuguncang-guncang bahu Aa
pelan. Aa menggeliat sebentar. Tapi seakan tidak peduli malah membalikkan posisi tubuhnya
membelakangiku. Kuulang hal yang sama. Aa belum mau bangun juga. Kalau sudah begini,
cuma ada satu cara yang ampuh. Usapan air! Aku bergegas menuju dapur dan memutar kran
lalu mencuci tanganku. Siraman air dingin membuat sel-sel sarafku bereaksi seketika. Rasa
kantuk yang masih tersisa lenyap dibuatnya. Kuusapkan tanganku yang dingin pada wajah
Aa. Suamiku terbangun seketika dan menatapku dengan wajah bangun tidurnya yang lucu.
"Assalamu'alaikum! Sudah mau jam 5..."kataku memandang Aa sambil menahan tawa. Aa
bangkit dari tidurnya. "Hmm..,"gumamnya masih ogah-ogahan. "Dede wudhu dulu..awas
jangan ketiduran lagi!"ancamku sambil beranjak ke kamar mandi.

Subuh itu seperti biasa kami selesai shalat berjamaah kami lewati dengan tilawah Al Quran
dan doa Matsurat. Dan seperti biasanya tilawah Aa lebih panjang dari pada lama tilawahku.
Aku beranjak menuju dapur untuk menyiapkan sarapan pagi dan mencuci pakaian. Ketika
aku memasukkan baju-baju kotor ke mesin cuci, ku dengar suara Aa. "De..! Sudah nggak
papa perutnya..? Katanya mulas habis dari Rumah sakit kemarin.." "Nggak, udah nggak papa,
kok, "sahutku.

Kemarin memang hari di mana aku harus pergi ke ahli kandungan untuk memeriksakan diri
secara rutin tiap bulan. Sebelum memasukkan alat itu ke dalam tubuhku, dokter wanita yang
ramah itu mengingatkanku, bahwa pengobatan seperti ini memang menyakitkan. Jadi aku
bisa menolaknya kalau tidak tahan. Tapi kupikir-pikir toh sama saja sakit sekarang atau nanti.
Maka kubilang pada dokter tersebut. "iie. Daijoubu desu. Yatte kudasai, onegaishimasu.(tidak
apa-apa. Tolong laksanakan saja...)" Dokter Abe tertawa. "Gaman site, ne...(bersabar ya,
kalau sakit..)" Dan benar saja. Perutku terasa diperas-peras, kepalaku gelap. Aku hampir
terjatuh ketika bangkit dari tempat tidur. "Sebentar akan saya telfonkan taksi untuk
mengantar anda pulang ke rumah!" Kata dokter Abe bergegas keluar. Aku berterimakasih
padanya sambil menahan rasa mual yang tidak dapat kuceritakan rasanya. Sampai di rumah
aku tak kuat bangun lagi. Sehabis Ashar aku tak sempat lagi membuat makan malam buat Aa.
Ketika Aa pulang, dan mendapatkanku sedang tidur Aa sendiri yang memasak makan malam.
Alhamdulillah, Aa memang mengerti keadaanku, walaupun sebenarnya tidak mengetahui
kejadian yang sesungguhnya. Tapi beliau tidak marah karena tidak ditemuinya makan malam
di meja makan, malah beliau berinisiatif sendiri untuk memasaknya. Ya Allah terimakasih
karena telah Kau berikan seorang suami seperti Aa, kataku bersyuku dalam hati. "Hei! Kok,
bengong !" Aa mencolek bahuku. Aku terkejut, agak malu tertangkap basah dalam keadaan
bengong. "Masak apa, De..? Mi goreng sajalah ya. Kan mi goreng buatan Aa jaminan mutu.."
Aa bergerak menuju wastafel dapur dan mulai membuka-buka kulkas. Aku mengangguk saja.
Mi goreng adalah masakan kebisaan Aa. Dan harus diakui kadang-kadang rasanya jauh lebih
enak dari buatanku. Pagi itu kami sarapan pagi dengan mi goreng dan sup miso ala Aa. Sedap
karena Aa menambah rasanya dengan keikhlasan... Dan seperti biasa kami berpisah di dekat
stasiun. Aku ke kiri menuju kampusku yang telah berdiri di sana, sedang Aa ke kanan, ke
arah stasiun karena Aa harus ke kampus dengan kereta listrik. "Nggak papa, De..? Kuat
kuliah..?"tanya Aa lagi sebelum berpisah. "Insya Allah nggak papa...Lagian cuma sebentar
hari ini, seminar saja. Kan giliran Dede yang harus presentasi.."jawabku berusaha
menghilangkan kekhawatiran Aa. "Yah, sudah kalau nggak papa. Hati-hati,
ya..Assalamu'alaikum!" Aku mencium tangan Aa dan membalas salamnya. Kutunggu sampai
tubuh jangkung Aa hilang di pintu stasiun.

Aku dan Aa berselisih dua tahun. Kami menikah ketika aku tahun ketiga, dan Aa sedang
dalam proses menyelesaikan skripsinya. Kami berada di fakultas yang sama, FMIPA, walau
berbeda jurusan. Aku kimia, sedang Aa fisika. Alhamdulillah, Allah menjawab doa-doa kami,
dengan memberikan cinta dan kasih sayangNya pada hati-hati kami. Walau kami tidak
berpacaran seperti yang biasa dilakukan orang-orang pada umunya, ternyata kami bisa cocok
dan saling memahami hingga usia perkawinan kami menjelang tahun ke enam sekarang, tak
ada percecokan yang sampai mengguncang bahtera yang kami layari. Kalaupun ada mungkin
keinginan kami untuk mempunyai anak.Tidak, itu tak pernah mengguncangkan bahtera.
Bahkan boleh dibilang memperkuat ikatan tali hati kami. Ketika setelah dua tahun menikah
Allah belum juga mempercayakan amanah itu pada kami, aku sendiri masih tenang-tenang
saja. Aku memang tidak mempunyai siklus bulanan yang teratur sebagaimana wanita normal.
Tetapi melihat keturunan dari ibu dan bapak, keluargaku termasuk"subur". Demikian pula
Aa. Sampai akhir nya Aa pergi belajar ke Jepang ditugaskan lembaga yang selama ini
memberi Aa beasiswa, dan aku menyusulnya satu tahun kemudian untuk menemani Aa
setelah skripsiku yang sedikit berlarut-larut karena aku harus membagi waktuku sebagai
seorang istri dan mahasiswi, selesai disidangkan.

Atas keinginanku yang disetujui oleh Aa, akhirnya kami berdua berkonsultasi pada dokter
ahli kandungan yangsekarang ini. Kebetulan dan alhamdulillah sekali beliau perempuan..
Dan setelah diteliti, ternyata benar dugaanku. Aa normal, akulah yang sakit. Sehingga sejak
satu setengah tahun lalu aku berobat secara intensif. Walaupun belum tampak hasilnya
hingga kini. Namun atas dorongan semangat Aa, aku bisa terus sabar berusaha hingga kini.
Dan aku tahu, Aa juga menunjangnya dengan doa-doa di sujudnya yang lama setelah shalat,
sebagaimana yang juga aku lakukan. ****

Kesepian menunggu datangnya amanah itu bukannya tak pernah kami rasakan, khususnya
aku. Tanpa aku katakan pada Aa apa yang aku rasakan, Aa seakan mengerti. Sehingga ketika
hari tahun ajaran baru universitas dimulai, Aa menyarankan agar aku melanjutkan sekolah
saja. Di rumah sendiri bukannya tak ada pekerjaan. Pekerjaan menterjemahkan secara bebas
artikel-artikel bahasa Inggris dan kukirim ke redaksi-redaksi majalah, adalah pekerjaan yang
sudah kumulai sejak aku masuk universitas. Lalu kursus Bahasa Arab gratis dengan beberapa
teman, ibu-ibu dari Mesir seminggu sekali. Dan pelajaran bahasa Jepang secara autodidak
yang aku lakukan melalui TV dan majalah berbahasa Inggris-Jepang. Belum lagi pekerjaan
rumah tangga, yang walaupun sebagian besar serba otomatis tetapi membutuhkan kesabaran
untuk melawan kebosanan itu, juga menunggu. Tetapi waktuku yang banyak sendirian di
rumah kadang-kadang membuat aku tak kuat melawan sepi. Dan Aa mengerti benar
kecenderunganku tersebut.

Dan akhirnya aku memilih masuk fakultas pendidikan, dan mengambil spesialisai psikologi
pendidikan. Karena aku melihat Jepang mapan dalam pendidikan dasarnya. Sedari dulu aku
tergelitik untuk mengetahui "resep"nya. Tanpa pikir dua kali aku menyambut saran Aa. Dan
jadilah setahun yang lalu aku mahasiswi graduate di universitas yang sama dengan tempat Aa
sekarang. Walaupun satu universitas tempat kami berjauhan. Dan kami memutuskan untuk
pindah ke tempat yang sekarang.

Hari-hari hanya berdua saja dengan Aa dari sisi lain kurasakan juga sebagai anugerah Allah
pada kami. Karena belum disibukkan oleh anak, membuat aku lebih punya banyak waktu
memperhatikan Aa, berdiskusi banyak hal dengan Aa, dan lain-lain yang kurasakan sangat
mendekatkan aku dengan Aa. Jalan-jalan pagi atau sore sepanjang sungai kerap kami
lakukan. Dan ketika kami bertemu dengan pasangan suami istri yang berjalan-jalan bersama
buah hati mereka, tanpa sadar mata-mata kami memandang pada si kecil yang yang
memandangiku dengan lucunya. Dan seperti biasa, kalau tidak aku atau Aa akan berguman.
"lucunya.." "A, nanti anak kita lucu atau nggak, ya..?" Atau: "De, mudah-mudahan anak kita
juga lucunya kayak gitu.."Yang kuaminkan dalam diam. Dan biasanya kami akan saling
memandang dan tersenyum bersama. Walau bagaimanapun kami merindukan kehadiran
amanah itu, ya Allah..

Dan tibalah keajaiban itu, tepat empat bulan setelah itu, hawa dingin sisa-sisa musim dingin
masih tertinggal. Bulan Februari akhir, beberapa hari sebelum Ramadhan. Aku menemui
Dokter Abe seperti biasa. Kali ini sambil membawa buku catatan suhuku yang kuukur setiap
hari. Ada debar-debar harap karena kulihat grafik suhu tersebut tidak menurun. Tapi aku tak
mau terlalu berharap. Karena takut kecewa yang berlebihan, jika bukan berita baik yang
kudapat. Dan dengan perasaan sedikit tak tenang kutunggu hasil pemeriksaan urine. Dan
kudengar namaku dipanggil. "Aya-san!" Kudapati dokter Abe dengan ekpresi ramah seperti
biasa. "Duduklah,"katanya. Aku duduk dihadapannya sambil harap-harap cemas.
Dan.."Omedetou gozaimasu..!(selamat..)" aku mendengar kata-kata itu dengan kelegaan yang
luar biasa, tetapi juga diiringi dengan tangis haruku yang naik ke
kerongkongan."Positif..,"kata dokter Abe melanjutkan. Alhamdulillah,
Alhamdulillahrabbil'alamin..Subhanallah...Ya Allah, Maha Besar Engkau yang telah
mengabulkan permintaan dan usaha hamba-hambaNya. Aku bertasbih dan bertahmid dalam
hati, air mata bahagia yang kurasakan hangat keluar tanpa mampu kutahan lagi. Dokter Abe
memandangku dengan senyumnya, dan aku tahu dimatanya yang tersembunyi oleh kacamata
itu ku dapati juga kaca-kaca. "Domou arigatou gozaimasu.."kataku berterimakasih padaNya.
Dia menggeleng. "Bukan saya yang membuatnya demikian, tetapi Kamisama(Tuhan) lah
yang memberikannya. Bukan begitu Aya-san?" Aku mengangguk. Alhamdulillah, Segala puji
bagi Engkau...

Sesampainya di rumah, aku seperti mempunyai tambahan energi baru. Aku masak soto ayam
kesukaan Aa, kali ini tanpa pelit dengan daun sereh dan daun jeruk, biar sedikit istimewa.
Juga acar, sambel kecap, serta perkedel jagung. Ketika dering telpon berbunyi, aku segera
berlari mengangkatnya. Pasti itu Aa. Benar saja...Sehabis menjawab salam Aa, tanpa
memberi kesempatan Aa berbicara aku berkata:"A, cepet pulang!..."

Dan hari-hari selanjutnya kurasakan lebih bergairah lagi. Walau janin di perutku baru dua
bulan, tapi aku yakin dia sudah merasakan apa yang aku rasakan. Buku-buku tentang
pendidikan janin dalam rahim, cara merawat bayi,sampai majalah tentang permasalahan bayi,
yang dulu sempat kuletakkan jauh-jauh dari penglijatanku kupindahkan dekat rak buku-buku
kuliahku. Uang tabungan yang kusisihkan dari uang belanja kubelikan walkman. Juga tak
lupa aku rajin menggaris-garis buku pedoman pendidikan anak dalam Islam dan kuingat-
ingat bagian yang pentingnya. Kini hari-hari ku tak pernah kulewatkan tanpa walkman yang
memutar ayat-ayat Al-quran. Juga hari-hari di rumah aku lewatkan dengan "mengobrol"
dengan janinku. Sampai Aa iri, karena aku bisa merasakan kehadiransi kecil lewat tubuhku,
sedang Aa tidak. Alhamdulillah, aku tidak banyak mengidam dan merasakan mual. Padahal
aku khawatir juga, karena sampai sekarang aku masih kuliah seperti biasa. Hanya saja waktu
membacaku kuhabiskan sebagian besar di rumah, bukan di perpustakaan seperti biasanya.
Karena di rumah aku lebih punya waktu dan lebih bebas "bicara" dengan si kecil.
Sampai saat itu...

Kali itu pemeriksaan kandunganku yang keenam. Menurut hitungan dia sudah 10 pekan
usianya. Hari itu kuajak Aa juga. Karena kata Dokter Abe kandungan ku mungkin sudah bisa
dideteksi oleh USG, maka beliau mengundang Aa juga untuk ikut menyaksikannya. Akan
tetapi, takdir Allah menentukan lain... "Aya -san, terakhir memeriksakan kandungan tiga
minggu yang lalu, ya..?" Dokter Abe bertanya memastikan setelah selesai memeriksaku. "Iya,
sensei.."Aku mulai merasakan hal yang tidak enak menjalari hatiku. "Heemm, bisa tolong
panggil suami anda..?"

Dan aku berusaha tabah ketika mendengar penjelasan itu. Janinku tidak berkembang!
Penyebabnya sendiri belum diketahui secara persis. Karena pada pemeriksaan terakhir dia
masih "hidup". Aku harus mengeluarkannya agar tidak meracuni rahimku.Aa menggegam
tanganku erat. Kurasakan tubuhku bergetar menahan tangis. Ya Allah. Kutunggu
kedatangannya selama 5 tahun lebih.Mengapa dia Kau panggil tanpa sempat kulihat wajah
lucunya? Kenapa Kau panggil dia tanpa sempat aku rasakan lembut kulitnya, indah bening
matanya, dan tangisan rewelnya. Aa menggegam tanganku lebih erat lagisambil berucap
pelan, "Istighfar, Dede..Istighfar.."Ya, seakan mengerti apa yang bergalau di hatiku.

Aku beristighfar dalam hati mencoba menghilangkan rasa penyesalanku atas taqdir Allah.
Tidak, aku tidak boleh menyalahkan Allah atas cobaanNya, seru sebuah bagian hatiku. Tetapi
kenapa Dia panggil anakku yang sudah begitu lama kunantikan, tanpa memberiku
kesempatan untuk jangankan membelainya, bahkan merasakannya untuk lebih lama berdiam
dalam perutku? Seru bagian hatiku yang lain. Ya Allah, ampuni aku. Ya Allah, ampuni
aku.Akhirnya bagian hatiku yang bersih menyapu bagian hatiku yang kotor. Dan kutemukan
diriku dalam keadaan tenang kembali. Ku dengar Aa berucap pelan "Innalillaahi wa inna
ilaihi Raaji'uun.." Dan dengan tenang menandatangani formulir operasi buatku.

Empat hari aku di rumah sakit. Aku tak merasakan perubahan yang berarti pada tubuhku.
Tapi tidak demikian pada hatiku. Aku merasakan kesendirian ketika kusadari "anakku" tak
ada lagi dalam diriku. Aa sendiri tak banyak berbicara tentang masalah itu. Aa tampak
berusaha bersikap biasa. Namun aku tahu Aa menanggung kesedihan yang sama seperti yang
kurasakan.
Maghrib itu kami berjamaah seperti biasa. Yang tidak biasa hanyalah itu pertama kali kami
shalat berjamaahan sejak aku mengungsi di rumah sakit. Pada rakaat yang kedua Aa
membaca surat Al Baqoroh dari ayat 153. Dan suara Aa bergetar ketika mencapai: ....
Walanabluwannakum bisyayi im minal khaufi wal juu'i wanaqshim minal amwaali wal anfusi
watstsamaraat. Wabasyiri shabiriin Alladziina idzaa ashabathum mushibah, qoluu inna
lillaahi wa inna ilaihi raji'uun.Ulaika alaihim shalawaatum mir rabbihim warahmah. Wa
ulaaika humul muhtadun... ...

(... Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepada mu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan,
kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang
yang sabar, yaitu orang-orang yang apabila ditimpa mushibah mereka berucap: Innalillaahi
wainna ilaihi raaji'unn. mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat
dari RabbNya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk ...)

Aku terisak di belakang Aa, mendengar teguran Allah yang lembut itu. Betapaku rasakan
Allah langsung menegur sekaligus menghiburku lewat ayat-ayat tersebut. Selesai shalat,
seperti biasanya Aa shalat rawatib ba'da maghrib , lalu berdzikir sebentar. Tak lama
kemudian membalikkan badannya ke arahku. Aku menatap Aa. Kutemui mata yang cekung
dan kurang tidur, karena beberapa hari ini Aa harus menjalani hidup antara rumah, rumah
sakit, dan kampus. Kucium punggung tangan Aa seperti biasanya. Aa tersenyum bijak dan
mengelus kepalaku dengan tangan kirinya. "Innallaaha ma'ashshabiriin, De.."katanya serak.
Aa bukanlah tipe orang yang mudah mengekspresikan emosinya lewat titik air mata. Tapi
kali ini, kulihat mata cekung Aa dipenuhi oleh kaca-kaca. Aku mengangguk pelan.
Kurasakan mataku memanas lagi, dan kurasakan pandanganku kabur karena genangan air
mata. Aa tak melepaskan genggaman tanganku, digenggamnya erat-erat seolah ingin berbagi
kekuatan dengan ku.

Ya Allah, jika Engkau masukkan kami ke dalam golongan orang-orang yang Engkau berkati
dan rahmati karena kesabaran kami menanggung cobaan, cobaan yang tidak seberat yang
dialami saudara-saudara seiman kami yang harus hidup dalam ketakutan, kehilangan harta,
bahkan nyawa dalam mempertahankan tanah air Islam, maka bimbinglah kami terus untuk
dapat terus menganyam benang-benang kesabaran kami, agar menjadi kuat dan kokh
sehingga mampu menanggung cobaan yang lebih berat lagi.(is95)
************

Keterangan:
Aa * bahasa sunda artinya sama dengan panggilan Mas(untuk orang Jawa), atau Abang
(untuk orang Betawi) Dede * bahasa Sunda, artinya sama dengan adi, jeng (atau apalah
panggilan sayang buat istri) Miso * semacam tauco Indonesia terbuat dari beras, kedelai, dan
garam Domou arigatou gozaimasu: terimakasih banyak .....san: cara orang Jepang memanggil
lawan bicaranya.

Anda mungkin juga menyukai