Anda di halaman 1dari 5

MENGANYAM KESABARAN

"Kriiinnnggg!" Jam wekker di samping kepalaku berbunyi nyaring. Reflek kugerakkan tanganku
memencet tombolnya. Hmmm, jam 4.45. Kulihat Aa sudah tidak ada di sampingku, aku bergerak
menyalakan heater dan bergerak menuju ruang sebelah. Di sana kulihat Aa tertidur dengan
pulasnya. Dengan jaket tebal dan sarungnya. Posisinya melingkar membuat tubuh Aa yang
jangkung tampak mengecil. Aku tersenyum. Rupanya Aa shalat malam tanpa membangunkan
aku.Terlihat terjemahan Al quran yg masih terbuka di samping kepala Aa. Kututup perlahan
terjemahan itu. Kuberjongkok di samping tubuh Aa, tersenyum memandangi wajah Aa yang
terlihat damai sekali. "A..Aa..!" Kuguncang-guncang bahu Aa pelan. Aa menggeliat sebentar.
Tapi seakan tidak peduli malah membalikkan posisi tubuhnya membelakangiku. Kuulang hal
yang sama. Aa belum mau bangun juga. Kalau sudah begini, cuma ada satu cara yang ampuh.
Usapan air! Aku bergegas menuju dapur dan memutar kran lalu mencuci tanganku. Siraman air
dingin membuat sel-sel sarafku bereaksi seketika. Rasa kantuk yang masih tersisa lenyap
dibuatnya. Kuusapkan tanganku yang dingin pada wajah Aa. Suamiku terbangun seketika dan
menatapku dengan wajah bangun tidurnya yang lucu. "Assalamu'alaikum! Sudah mau jam
5..."kataku memandang Aa sambil menahan tawa. Aa bangkit dari tidurnya. "Hmm..,"gumamnya
masih ogah-ogahan. "Dede wudhu dulu..awas jangan ketiduran lagi!"ancamku sambil beranjak
ke kamar mandi.

Subuh itu seperti biasa kami selesai shalat berjamaah kami lewati dengan tilawah Al Quran dan
doa Matsurat. Dan seperti biasanya tilawah Aa lebih panjang dari pada lama tilawahku. Aku
beranjak menuju dapur untuk menyiapkan sarapan pagi dan mencuci pakaian. Ketika aku
memasukkan baju-baju kotor ke mesin cuci, ku dengar suara Aa. "De..! Sudah nggak papa
perutnya..? Katanya mulas habis dari Rumah sakit kemarin.." "Nggak, udah nggak papa, kok,
"sahutku.

Kemarin memang hari di mana aku harus pergi ke ahli kandungan untuk memeriksakan diri
secara rutin tiap bulan. Sebelum memasukkan alat itu ke dalam tubuhku, dokter wanita yang
ramah itu mengingatkanku, bahwa pengobatan seperti ini memang menyakitkan. Jadi aku bisa
menolaknya kalau tidak tahan. Tapi kupikir-pikir toh sama saja sakit sekarang atau nanti. Maka
kubilang pada dokter tersebut. "iie. Daijoubu desu. Yatte kudasai, onegaishimasu.(tidak apa-apa.
Tolong laksanakan saja...)" Dokter Abe tertawa. "Gaman site, ne...(bersabar ya, kalau sakit..)"
Dan benar saja. Perutku terasa diperas-peras, kepalaku gelap. Aku hampir terjatuh ketika bangkit
dari tempat tidur. "Sebentar akan saya telfonkan taksi untuk mengantar anda pulang ke rumah!"
Kata dokter Abe bergegas keluar. Aku berterimakasih padanya sambil menahan rasa mual yang
tidak dapat kuceritakan rasanya. 

Sampai di rumah aku tak kuat bangun lagi. Sehabis Ashar aku tak sempat lagi membuat makan
malam buat Aa. Ketika Aa pulang, dan mendapatkanku sedang tidur Aa sendiri yang memasak
makan malam. Alhamdulillah, Aa memang mengerti keadaanku, walaupun sebenarnya tidak
mengetahui kejadian yang sesungguhnya. Tapi beliau tidak marah karena tidak ditemuinya
makan malam di meja makan, malah beliau berinisiatif sendiri untuk memasaknya. Ya Allah
terimakasih karena telah Kau berikan seorang suami seperti Aa, kataku bersyuku dalam hati. 
"Hei! Kok, bengong !" Aa mencolek bahuku. Aku terkejut, agak malu tertangkap basah dalam
keadaan bengong. "Masak apa, De..? Mi goreng sajalah ya. Kan mi goreng buatan Aa jaminan
mutu.." Aa bergerak menuju wastafel dapur dan mulai membuka-buka kulkas. Aku mengangguk
saja. Mi goreng adalah masakan kebisaan Aa. Dan harus diakui kadang-kadang rasanya jauh
lebih enak dari buatanku. Pagi itu kami sarapan pagi dengan mi goreng dan sup miso ala Aa.
Sedap karena Aa menambah rasanya dengan keikhlasan... Dan seperti biasa kami berpisah di
dekat stasiun. Aku ke kiri menuju kampusku yang telah berdiri di sana, sedang Aa ke kanan, ke
arah stasiun karena Aa harus ke kampus dengan kereta listrik. "Nggak papa, De..? Kuat
kuliah..?"tanya Aa lagi sebelum berpisah. "Insya Allah nggak papa...Lagian cuma sebentar hari
ini, seminar saja. Kan giliran Dede yang harus presentasi.."jawabku berusaha menghilangkan
kekhawatiran Aa. "Yah, sudah kalau nggak papa. Hati-hati, ya..Assalamu'alaikum!" Aku
mencium tangan Aa dan membalas salamnya. Kutunggu sampai tubuh jangkung Aa hilang di
pintu stasiun.

Aku dan Aa berselisih dua tahun. Kami menikah ketika aku tahun ketiga, dan Aa sedang dalam
proses menyelesaikan skripsinya. Kami berada di fakultas yang sama, FMIPA, walau berbeda
jurusan. Aku kimia, sedang Aa fisika. Alhamdulillah, Allah menjawab doa-doa kami, dengan
memberikan cinta dan kasih sayangNya pada hati-hati kami. Walau kami tidak berpacaran seperti
yang biasa dilakukan orang-orang pada umunya, ternyata kami bisa cocok dan saling memahami
hingga usia perkawinan kami menjelang tahun ke enam sekarang, tak ada percecokan yang
sampai mengguncang bahtera yang kami layari. Kalaupun ada mungkin keinginan kami untuk
mempunyai anak.Tidak, itu tak pernah mengguncangkan bahtera. Bahkan boleh dibilang
memperkuat ikatan tali hati kami. Ketika setelah dua tahun menikah Allah belum juga
mempercayakan amanah itu pada kami, aku sendiri masih tenang-tenang saja. Aku memang tidak
mempunyai siklus bulanan yang teratur sebagaimana wanita normal. Tetapi melihat keturunan
dari ibu dan bapak, keluargaku termasuk"subur". Demikian pula Aa. Sampai akhir nya Aa pergi
belajar ke Jepang ditugaskan lembaga yang selama ini memberi Aa beasiswa, dan aku
menyusulnya satu tahun kemudian untuk menemani Aa setelah skripsiku yang sedikit berlarut-
larut karena aku harus membagi waktuku sebagai seorang istri dan mahasiswi, selesai
disidangkan.

Atas keinginanku yang disetujui oleh Aa, akhirnya kami berdua berkonsultasi pada dokter ahli
kandungan yangsekarang ini. Kebetulan dan alhamdulillah sekali beliau perempuan.. Dan setelah
diteliti, ternyata benar dugaanku. Aa normal, akulah yang sakit. Sehingga sejak satu setengah
tahun lalu aku berobat secara intensif. Walaupun belum tampak hasilnya hingga kini. Namun atas
dorongan semangat Aa, aku bisa terus sabar berusaha hingga kini. Dan aku tahu, Aa juga
menunjangnya dengan doa-doa di sujudnya yang lama setelah shalat, sebagaimana yang juga aku
lakukan. ****

Kesepian menunggu datangnya amanah itu bukannya tak pernah kami rasakan, khususnya aku.
Tanpa aku katakan pada Aa apa yang aku rasakan, Aa seakan mengerti. Sehingga ketika hari
tahun ajaran baru universitas dimulai, Aa menyarankan agar aku melanjutkan sekolah saja. Di
rumah sendiri bukannya tak ada pekerjaan. Pekerjaan menterjemahkan secara bebas artikel-
artikel bahasa Inggris dan kukirim ke redaksi-redaksi majalah, adalah pekerjaan yang sudah
kumulai sejak aku masuk universitas. Lalu kursus Bahasa Arab gratis dengan beberapa teman,
ibu-ibu dari Mesir seminggu sekali. Dan pelajaran bahasa Jepang secara autodidak yang aku
lakukan melalui TV dan majalah berbahasa Inggris-Jepang. Belum lagi pekerjaan rumah tangga,
yang walaupun sebagian besar serba otomatis tetapi membutuhkan kesabaran untuk melawan
kebosanan itu, juga menunggu. Tetapi waktuku yang banyak sendirian di rumah kadang-kadang
membuat aku tak kuat melawan sepi. Dan Aa mengerti benar kecenderunganku tersebut.

Dan akhirnya aku memilih masuk fakultas pendidikan, dan mengambil spesialisai psikologi
pendidikan. Karena aku melihat Jepang mapan dalam pendidikan dasarnya. Sedari dulu aku
tergelitik untuk mengetahui "resep"nya. Tanpa pikir dua kali aku menyambut saran Aa. Dan
jadilah setahun yang lalu aku mahasiswi graduate di universitas yang sama dengan tempat Aa
sekarang. Walaupun satu universitas tempat kami berjauhan. Dan kami memutuskan untuk
pindah ke tempat yang sekarang.

Hari-hari hanya berdua saja dengan Aa dari sisi lain kurasakan juga sebagai anugerah Allah pada
kami. Karena belum disibukkan oleh anak, membuat aku lebih punya banyak waktu
memperhatikan Aa, berdiskusi banyak hal dengan Aa, dan lain-lain yang kurasakan sangat
mendekatkan aku dengan Aa. Jalan-jalan pagi atau sore sepanjang sungai kerap kami lakukan.
Dan ketika kami bertemu dengan pasangan suami istri yang berjalan-jalan bersama buah hati
mereka, tanpa sadar mata-mata kami memandang pada si kecil yang yang memandangiku
dengan lucunya. Dan seperti biasa, kalau tidak aku atau Aa akan berguman. "lucunya.." "A, nanti
anak kita lucu atau nggak, ya..?" Atau: "De, mudah-mudahan anak kita juga lucunya kayak
gitu.."Yang kuaminkan dalam diam. Dan biasanya kami akan saling memandang dan tersenyum
bersama. Walau bagaimanapun kami merindukan kehadiran amanah itu, ya Allah..

Dan tibalah keajaiban itu, tepat empat bulan setelah itu, hawa dingin sisa-sisa musim dingin
masih tertinggal. Bulan Februari akhir, beberapa hari sebelum Ramadhan. Aku menemui Dokter
Abe seperti biasa. Kali ini sambil membawa buku catatan suhuku yang kuukur setiap hari. Ada
debar-debar harap karena kulihat grafik suhu tersebut tidak menurun. Tapi aku tak mau terlalu
berharap. Karena takut kecewa yang berlebihan, jika bukan berita baik yang kudapat. Dan
dengan perasaan sedikit tak tenang kutunggu hasil pemeriksaan urine. Dan kudengar namaku
dipanggil. "Aya-san!" Kudapati dokter Abe dengan ekpresi ramah seperti biasa.
"Duduklah,"katanya. Aku duduk dihadapannya sambil harap-harap cemas. Dan.."Omedetou
gozaimasu..!(selamat..)" aku mendengar kata-kata itu dengan kelegaan yang luar biasa, tetapi
juga diiringi dengan tangis haruku yang naik ke kerongkongan."Positif..,"kata dokter Abe
melanjutkan. Alhamdulillah, Alhamdulillahrabbil'alamin..Subhanallah...Ya Allah, Maha Besar
Engkau yang telah mengabulkan permintaan dan usaha hamba-hambaNya. Aku bertasbih dan
bertahmid dalam hati, air mata bahagia yang kurasakan hangat keluar tanpa mampu kutahan lagi.
Dokter Abe memandangku dengan senyumnya, dan aku tahu dimatanya yang tersembunyi oleh
kacamata itu ku dapati juga kaca-kaca. "Domou arigatou gozaimasu.."kataku berterimakasih
padaNya. Dia menggeleng. "Bukan saya yang membuatnya demikian, tetapi Kamisama(Tuhan)
lah yang memberikannya. Bukan begitu Aya-san?" Aku mengangguk. Alhamdulillah, Segala puji
bagi Engkau...

Sesampainya di rumah, aku seperti mempunyai tambahan energi baru. Aku masak soto ayam
kesukaan Aa, kali ini tanpa pelit dengan daun sereh dan daun jeruk, biar sedikit istimewa. Juga
acar, sambel kecap, serta perkedel jagung. Ketika dering telpon berbunyi, aku segera berlari
mengangkatnya. Pasti itu Aa. Benar saja...Sehabis menjawab salam Aa, tanpa memberi
kesempatan Aa berbicara aku berkata:"A, cepet pulang!..."

Dan hari-hari selanjutnya kurasakan lebih bergairah lagi. Walau janin di perutku baru dua bulan,
tapi aku yakin dia sudah merasakan apa yang aku rasakan. Buku-buku tentang pendidikan janin
dalam rahim, cara merawat bayi,sampai majalah tentang permasalahan bayi, yang dulu sempat
kuletakkan jauh-jauh dari penglijatanku kupindahkan dekat rak buku-buku kuliahku. Uang
tabungan yang kusisihkan dari uang belanja kubelikan walkman. Juga tak lupa aku rajin
menggaris-garis buku pedoman pendidikan anak dalam Islam dan kuingat-ingat bagian yang
pentingnya. Kini hari-hari ku tak pernah kulewatkan tanpa walkman yang memutar ayat-ayat Al-
quran. Juga hari-hari di rumah aku lewatkan dengan "mengobrol" dengan janinku. Sampai Aa iri,
karena aku bisa merasakan kehadiransi kecil lewat tubuhku, sedang Aa tidak. Alhamdulillah, aku
tidak banyak mengidam dan merasakan mual. Padahal aku khawatir juga, karena sampai
sekarang aku masih kuliah seperti biasa. Hanya saja waktu membacaku kuhabiskan sebagian
besar di rumah, bukan di perpustakaan seperti biasanya. Karena di rumah aku lebih punya waktu
dan lebih bebas "bicara" dengan si kecil.

Sampai saat itu...


Kali itu pemeriksaan kandunganku yang keenam. Menurut hitungan dia sudah 10 pekan usianya.
Hari itu kuajak Aa juga. Karena kata Dokter Abe kandungan ku mungkin sudah bisa dideteksi
oleh USG, maka beliau mengundang Aa juga untuk ikut menyaksikannya. Akan tetapi, takdir
Allah menentukan lain... "Aya -san, terakhir memeriksakan kandungan tiga minggu yang lalu,
ya..?" Dokter Abe bertanya memastikan setelah selesai memeriksaku. "Iya, sensei.."Aku mulai
merasakan hal yang tidak enak menjalari hatiku. "Heemm, bisa tolong panggil suami anda..?"

Dan aku berusaha tabah ketika mendengar penjelasan itu. Janinku tidak berkembang!
Penyebabnya sendiri belum diketahui secara persis. Karena pada pemeriksaan terakhir dia masih
"hidup". Aku harus mengeluarkannya agar tidak meracuni rahimku.Aa menggegam tanganku
erat. Kurasakan tubuhku bergetar menahan tangis. Ya Allah. Kutunggu kedatangannya selama 5
tahun lebih.Mengapa dia Kau panggil tanpa sempat kulihat wajah lucunya? Kenapa Kau panggil
dia tanpa sempat aku rasakan lembut kulitnya, indah bening matanya, dan tangisan rewelnya. Aa
menggegam tanganku lebih erat lagisambil berucap pelan, "Istighfar, Dede..Istighfar.."Ya, seakan
mengerti apa yang bergalau di hatiku.

Aku beristighfar dalam hati mencoba menghilangkan rasa penyesalanku atas taqdir Allah. Tidak,
aku tidak boleh menyalahkan Allah atas cobaanNya, seru sebuah bagian hatiku. Tetapi kenapa
Dia panggil anakku yang sudah begitu lama kunantikan, tanpa memberiku kesempatan untuk
jangankan membelainya, bahkan merasakannya untuk lebih lama berdiam dalam perutku? Seru
bagian hatiku yang lain. Ya Allah, ampuni aku. Ya Allah, ampuni aku.Akhirnya bagian hatiku
yang bersih menyapu bagian hatiku yang kotor. Dan kutemukan diriku dalam keadaan tenang
kembali. Ku dengar Aa berucap pelan "Innalillaahi wa inna ilaihi Raaji'uun.." Dan dengan tenang
menandatangani formulir operasi buatku.

Empat hari aku di rumah sakit. Aku tak merasakan perubahan yang berarti pada tubuhku. Tapi
tidak demikian pada hatiku. Aku merasakan kesendirian ketika kusadari "anakku" tak ada lagi
dalam diriku. Aa sendiri tak banyak berbicara tentang masalah itu. Aa tampak berusaha bersikap
biasa. Namun aku tahu Aa menanggung kesedihan yang sama seperti yang kurasakan.

Maghrib itu kami berjamaah seperti biasa. Yang tidak biasa hanyalah itu pertama kali kami shalat
berjamaahan sejak aku mengungsi di rumah sakit. Pada rakaat yang kedua Aa membaca surat Al
Baqoroh dari ayat 153. Dan suara Aa bergetar ketika mencapai: .... Walanabluwannakum bisyayi
im minal khaufi wal juu'i wanaqshim minal amwaali wal anfusi watstsamaraat. Wabasyiri
shabiriin Alladziina idzaa ashabathum mushibah, qoluu inna lillaahi wa inna ilaihi
raji'uun.Ulaika alaihim shalawaatum mir rabbihim warahmah. Wa ulaaika humul muhtadun... ...

(... Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepada mu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan,
kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang
yang sabar, yaitu orang-orang yang apabila ditimpa mushibah mereka berucap: Innalillaahi
wainna ilaihi raaji'unn. mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari
RabbNya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk ...)

Aku terisak di belakang Aa, mendengar teguran Allah yang lembut itu. Betapaku rasakan Allah
langsung menegur sekaligus menghiburku lewat ayat-ayat tersebut. Selesai shalat, seperti
biasanya Aa shalat rawatib ba'da maghrib , lalu berdzikir sebentar. Tak lama kemudian
membalikkan badannya ke arahku. Aku menatap Aa. Kutemui mata yang cekung dan kurang
tidur, karena beberapa hari ini Aa harus menjalani hidup antara rumah, rumah sakit, dan kampus.
Kucium punggung tangan Aa seperti biasanya. Aa tersenyum bijak dan mengelus kepalaku
dengan tangan kirinya. "Innallaaha ma'ashshabiriin, De.."katanya serak. Aa bukanlah tipe orang
yang mudah mengekspresikan emosinya lewat titik air mata. Tapi kali ini, kulihat mata cekung
Aa dipenuhi oleh kaca-kaca. Aku mengangguk pelan. Kurasakan mataku memanas lagi, dan
kurasakan pandanganku kabur karena genangan air mata. Aa tak melepaskan genggaman
tanganku, digenggamnya erat-erat seolah ingin berbagi kekuatan dengan ku.

Ya Allah, jika Engkau masukkan kami ke dalam golongan orang-orang yang Engkau berkati dan
rahmati karena kesabaran kami menanggung cobaan, cobaan yang tidak seberat yang dialami
saudara-saudara seiman kami yang harus hidup dalam ketakutan, kehilangan harta, bahkan
nyawa dalam mempertahankan tanah air Islam, maka bimbinglah kami terus untuk dapat terus
menganyam benang-benang kesabaran kami, agar menjadi kuat dan kokh sehingga mampu
menanggung cobaan yang lebih berat lagi.

Anda mungkin juga menyukai