Anda di halaman 1dari 11

Ayah, Jangan Paksa Aku

(karya: Muhamad Irzan)

“Plaakkk” sebuah kepalangan tangan mendarat di pipiku yang membuat air


mataku jatuh seketika. Kini, aku berada tepat di depan sosok berbadan kekar yang menatapku
dengan wajah merah. Dia adalah Ayahku. Secarik kertas yang dia temukan ditasku
membuatnya marah.

“Apaan ini? ”, tanya Ayahku mengawali percakapan sambil menunjuk kertas yang dipegang
tangan kirinya.

“Maafkan aku yah”, jawabku sambil tertunduk.

“Pokoknya ayah gak mau tau, ujian selanjutnya kamu tidak boleh mendapatkan nilai merah”,
tegas ayahku dengan nada yang lebih keras.

“Iya, yah!”.

Namaku Rangga Mahendra. Aku sekolah di SMA unggul, sebut saja namanya SMA
Garuda. Aku ditakdirkan oleh Allah sebagai anak yang terlahir memiliki keterbelakangan,
yaitu dengan IQ yang bisa dibilang sangat rendah jika dibandingkan dengan anak seusiaku.
Aku dibesarkan oleh seorang Ayah yang tidak pernah sejalan pikiranku dengannya. Ayahku
selama ini berambisi ingin melihatku menjadi seorang dokter. Oleh kerena itu, dia sering
memaksaku untuk belajar yang sama sekali bukan pelajaran yang aku minati, seperti biologi,
fisika, kimia dan matematika. Apabila hasil ulanganku tidak memuaskan, pasti dia akan
marah dan memukulku. Itulah yang barusan Ayah lakukan terhadapku.

Secercah cahaya yang menembus jendela kini menusuk retinaku yang membuat aku
terbangun, pagi ini. Jam dinding yang menempel pada tembok memberi tanda bahwa
waktunya siap-siap sekolah. Namun, hanya serpihan semangat yang tersisa di kala teringat
bahwa jadwal pelajaran hari ini adalah biologi dan matematika. Itu artinya, remedi akibat nilai
merah kemarin harus kujalani. Tanpa persiapan sedikitpun, mau tidak mau aku harus
berperang dengan selembar kertas yang sama sekali tidak kuinginkan. Ditambah lagi
matematika, seolah olah semua angka dari satu sampai sembilan menjulurkan lidah ketika
melihatku sengsara akannya. “Hebat”, kataku, kolaborasi antara mereka sungguh sempurna.
Pertemanan mereka yang begitu rumit membuatku kesal setiap harinya. Teka teki yang
mereka buat seakan akan rencana paling terstuktur dalam membuatku menderita.

Seragam pramuka yang menempel di badanku menandakkan aku siap berangkat


sekolah. Tuntutan Ayah yang ingin melihatku menjadi seorang dokter memaksa kakiku untuk
melangkah. Meski berat, namun aku tidak memiliki orang lain dirumah selain Ayah. Jadinya,
apapun yang membuat Ayah marah sebisa mungkin aku hindari.

Bel pergantian jam pelajaran berbunyi, itu artinya bentar lagi guru biologi akan datang
membawa selembar kertas untuk siswa yang remedi ulangan kemarin, termasuk aku.

“Baik anak-anak, selamat pagi”, sapa bu Eka ketika sampai di depan kelas.

“Pagi bu”, siswa serentak menjawab.

“Bagi siswa yang remedi kemarin, silahkan duduk di sebelah kiri ibu. Dan bagi siswa yang
tuntas, bisa duduk di sebelah kanan untuk melanjutkan belajar materi baru” , lanjut bu Eka.

Kami pun bergegas untuk berdiri dan mencari golongan kami. Setelah duduk, aku mencoba
menarik nafas sambil berfikir bagaimana caranya aku menjawab soal ini dan mendapatkan
nilai memuaskan supaya Ayahku tidak marah.

“Rangga”, sapa bu Eka yang membuatku sadar dari lamunanku.

“Iya bu”, jawabku.

“Kamu ngelamun saja, kerjakan soal ini dengan benar”, tambah bu Eka sambil meberiku
selembar kertas.

“Baik bu”.

Keesokan harinya, aku melihat Ayahku berdiri tepat di depan pintu rumahku. Tubuh
kekar itu kembali memandangku seakan-akan aku adalah orang yang paling dibencinya.
Ketika aku melangkahkan kaki untuk mendekat, lalu tangannya tiba-tiba di ayunkan seperti
ingin menamparku. Namun, entah apa yang membuatnya terhenti ketika hendak menyentuh
kulit pipiku.
“Kali ini ayah maafkan lagi. Ayah beri kamu kesempatan lagi untuk ikut les dan sebagainya”,
kata Ayahku.

“Emang kenapa, yah?”, jawabku dengan pelan

“Tadi kepala sekolahmu menelpon ayah untuk memberitahumu tentang ini. Kemudian kamu
akan diberi kesempatan untuk ujian ulang dengan mata pelajaran minat. Apabila nilaimu tidak
memuaskan, maka sekolah akan mengeluarkanmu. Ayah tidak mau melihat orang bodoh di
rumah ini. Mengerti?”, bentak Ayah.

“Iya yah”.

Butiran bening tiba-tiba terjun dari mataku ketika kata bodoh menusuk gendang
telingaku. Setega itukah Ayahku sehingga anak satu-satunya ini dibilang bodoh. Aku boleh
terbelakang di pelajaran berhitung. Namun, Allah telah menganugrahkan beribu-ribu
kelebihan kepadaku. Kenapa Ayahku tidak melihat sisi baik yang ada padaku? Kenapa kata
dokter yang selalu terngiang di kepalanya? Kemudian, aku teringat pada Ibuku. Kemanakah
perginya?

Kini, hari-hariku lebih sibuk dari sebelumnya. Kerena pulang sekolah aku harus
mengikuti les tambahan. Jadinya, waktuku untuk menulis lebih sedikit. Pernah tergambar
dipikiranku, kenapa Allah berbuat tidak adil kepadaku? Kenapa aku tidak seperti teman-
temanku? Mereka pintar sehingga tidak membuat Ayahnya harus marah kepadanya ketika
dibagikan hasil ulangan atau Ayahnya yang pengertian yang mendukung setiap kelebihan
yang teman-temanku miliki.

Ketika jam istirahat, aku mencoba berpikir untuk membuat Ayahku bangga terhadap
apa yang dilakukan anaknya ini. Terlintas ide untuk mengikuti lomba sastra, kerena selama
ini aku suka menulis. Kemudian, kulangkahkan kakiku ke mading untuk mencari lomba yang
kira-kira cocok untuk aku ikuti. Setelah beberapa saat, aku melihat lomba cerpen tingkat
nasional dengan tema “Menerima Setiap Takdir Tuhan”. Aku berharap Ayah bangga dengan
apa yang aku lakukan sekarang.

Aku ditemani temanku menuju ruang OSIS untuk segera mendaftar. Setelah
melakukan beberapa prosedur, akhirnya aku menjadi peserta lomba cerpen tersebut. Aku
menuju ke ruang guru, dan meminta izin kepada guru yang akan mengisi pelajaran di kelasku,
kerena setelah keluar main aku tidak masuk untuk menyelesaikan cerpenku.

Aku mencoba bekerja sama dengan kepalaku untuk mencari inspirasi cerpenku kali
ini. Hasil dari kerjasama itu, aku akan menceritakan perjalanan hidupku yang suram bersama
Ayahku. Kemudian, ku tambahkan dengan racikan kata-kata yang indah dan membuat
pembaca penasaran untuk membacanya. Aku terlalu semangat membuat cerpen sehingga aku
tidak sadar bahwa jam telah menunjukkan waktu untuk pulang sekolah.

Kali ini, aku mampir di tempat les kerena hari ini adalah jadwal les fisika. Ketika
melihat gerbang tempat lesku, aku teringat dengan dua sosok jahat yang selama ini akar dari
penderitaanku. Sebut saja namanya bang ton dan bang des atau nama aslinya Newton dan
Archimedes. Mereka tak akan pernah mengerti medan magnet yang berinduksi dengan
kebosananku. Hukum fluida yang diciptakan Archimedes telah berhasil mencairkan otakku.
Dan hukum gravitasi yang diciptakan oleh newton telah menarikku pada hidup yang sengsara.

Ketika sore menjelang petang, aku kembali ke rumah. Ketemui kembali sosok
berbadan kekar yang sedang duduk sambil menonton televisi. Namun, aku canggung untuk
menyapa terlebih dahulu. Malam hari, aku mencoba melanjutkan cerpenku yang sudah ku
buat tadi pagi. Namun kali ini inspirasiku hilang. Seolah olah pikiranku kosong tanpa isi. Aku
tidak tahu harus menulis apa lagi untuk melanjutkan cerpenku.

Ketika hening malam menemani kebingunganku. Tiba-tiba, teringat pesan guru


ngajiku bahwa air wudhu dapat menenangkan hati. Ku coba lemparkan butiran bening ke arah
mukaku, lalu kubasuh tangan, rambut, hingga kaki dengan bersih. Ku gelar sajadahku,
kemudian ku kepal tanganku. Sungguh, aku tidak pernah merasakan ketenangan seperti ini
selama hidupku. Aku sadar selama ini aku tidak pernah menghadirkan Allah dalam setiap hela
nafasku. Andaikan hidup ini ku jalani dengan mensyukuri segala apa yang ada, maka aku
tidak akan pernah menderita. Selesai shalat, pikiranku lebih tenang dari sebelumnya.
Kemudian, kembali lagi jari ini bergoyang supaya segala harapan bisa terelaksasikan lewat
sebuah tulisan.

Setelah matahari terbit dari timur, Ayahku memanggil dari luar kamar untuk segera
bersiap-siap ke sekolah. Aku begitu semangat sekolah hari ini, kerena cerpen yang sudah aku
buat tadi malam akan aku kirim. Aku mengawali pagi ini dengan sarapan bersama Ayahku di
meja makan yang selama ini menjadi tempat kami makan bersama. Sosok wanita yang
melahirkanku kembali teringat, ketika mataku tertuju pada kursi kosong yang ada di dekat
meja makan. Aku tidak berani bertanya kepada Ayahku kerena takut dia akan marah. Sejak
kecil, aku tidak melihat Ibuku dan aku sama sekali tidak mengenal sosoknya. Ayah bener-
bener merahasiakan Ibuku selama ini.

“Pulang sekolah kamu harus les, seminggu lagi ujian ulang akan kamu hadapi. Pokoknya ayah
tidak mau tahu, kamu harus lulus. Ayah tidak mau melihatmu pindah sekolah”, kata Ayahku
membuka percakapan.

“Baik, yah”, jawabku.

Saat jam istirahat tiba, aku langsung menuju ruang OSIS untuk mengumpulkan
cerpenku. Dengan rasa optimis, aku yakin bisa menjadi juara dan membuat Ayahku bangga.
Setelah itu, datang seorang temanku.

“Hey bro, belakangan ini kamu kelihatan murung. Kantin yuk!”, sapa temanku.

“Sorry bro, aku lagi tidak bersemangat”, jawabku sambil membaca buku.

“Iya sudah, aku duluan ya”.

“Oke”.

Bel masuk telah berbunyi, pelajaranku selanjutnya adalah biologi. Sesuana kelas
berubah menjadi pengap seakan aku berada di ruang asam. Aku tidak memiliki enzim
semangat untuk memutus rangkain itu. Ku buat rekayasa genetika di lab tanaman, supaya ku
puas dengan kenyataan. Biologi kapan kita bisa bersahabat? Aku merasa bodoh ketika
mengingatmu. Aku belajar tentang sendi, tapi kenapa ulanganku selalu remedi? Aku belajar
tentang tulang, namun hasilnya aku selalu ulangan ulang. Serta aku bejelar tentang sistem
pernafasan, tapi kenapa yang masuk ke otakku hanya kegagalan. Tidak terasa melamun dua
jam pelajaran, waktu belajar biologi sudah habis. Rasa lega bercampur seneng datang ketika
melihat guru melangkahkan kaki untuk keluar.

Selanjutnya, pak Agus akan mengisi jam bahasa indonesia kali ini. Tentu aku seneng
ketika belajar bahasa Indonesia. Kenapa? Kerena pelajarannya yang penuh dengan keindahan,
gurunya yang menyenangkan, dan tidak kalah lagi aku adalah anak kesayangan.
“Rangga, coba kamu baca puisimu yang bapak suruh kemarin”, kata pak agus.

Percuma
“Baik pak”, saja mutlak selalu bernilai positif.
jawabku.
Namun, selalu ada vektor yang menariknya ke arah negatif.

Kemudian datang angka penting dengan sok penting.

Membuat suasana kelas menjadi semakin genting.

Dinamika rotasi memutar kepalaku.

Berkolaborasi dengan termodinamika yang kemudian membius tubuhku.

Membawa Amplitudo gelombang berinterferensi dengan keputusasaan.

Mengahsilkan zigot-zigot kebosanan.

Ah! Energi mekanik benciku tak terbendung oleh friksi.

Energi potensial dendamku tak terpengaruh oleh tetapan gaya.

Bahkan, hukum kekelan energi tak mampu membayar kekecewaanku.


“Puisimu bagus nak. Tapi kamu tidak boleh memperolok ilmu. Jika ilmu itu baik, kamu tetap
harus menghargainya. Ingat ilmu itu luas, kamu tidak hanya di tuntut untuk menguasai satu
atau dua ilmu. Kalo perlu semuanya harus kamu kuasai untuk bekal hidupmu, nak”, komentar
pak Agus ketika aku selesai membaca puisi.

“Maafkan aku pak, aku tidak akan mengulanginya lagi dan aku berjanji akan menghargai
segala ilmu yang ada”, jawabku sambil tertunduk.

Pak Agus benar, selama ini aku telah menyepele kan pelajaran penting dalam hidup
ini. Bahkan, aku menggambarkan kebencianku lewat tulisan-tulisan yang telah aku rangkai
menjadi indah. Itu merupakan penghinaan yang sangat kejam yang telah aku lakukan. Kali ini
aku harus bener-bener belajar untuk menghargai ilmu.

Teringat, seminggu lagi ujian ulang akan tiba. Aku masih punya waktu untuk belajar.
Ku buat daftar kegiatan yang hampir 80% adalah waktu belajar dirumah. Di sekolah, setiap
jam istirahat kuhabiskan ke perpustakaan untuk membaca buku. Aku lebih serius untuk
mengikuti les tambahan ketika pulang sekolah. Kemudian, aku mencari guru yang
bersangkutan untuk bertanya ketika ada soal yang tidak aku mengerti. Perubahanku ini
mendapatkan respon baik dari semua guru. Terima kasih pak Agus. Sepatah kata yang kau
ucapkan, tapi mengandung beribu makna yang tidak bisa aku gambarkan.

Ke esokan harinya, aku dipanggil untuk ke ruang kepala sekolah. Aku bingung untuk
alasan apa, sehingga aku disuruh untuk kesana.

“Nak, selamat yah! Kamu telah berhasil memenangkan piala ini”, kata pak kepala sekolah.

“Bener ini pak?”, tanyaku dengan penasaran.

“Iya, bapak bangga padamu”, tambah pak kepala sambil tersenyum.

Ketika pulang sekolah, aku bergegas kembali kerumah dengan membawa sebuah piala
yang kurahap dapat membuat Ayahku bangga. Ketika aku hendak masuk, ku lihat Ayah
sedang duduk di kursi tamu.

“Yah, liat yang aku bawa”, kataku sambil tersenyum.

“Apaan tuh?”, jawab ayahku.


“Aku mendapatkan juara cerpen tingkat nasional, yah”, balasku dengan semangat.

“Apa? Jadi selama ini kamu sibuk terhadap sesuatu yang tidak berguna ini. Sehingga,
pelajaran yang lebih penting kamu abaikan. Sini piala itu”, bentak ayahku.

Setelah piala itu berada di tangan Ayahku, dia langsung membantingnya ke lantai, sehingga
bagian dari piala tersebut terpisah. Kemudian Ayahku balik menatapku dengan wajah yang
sangat marah. Tiba-tiba dia menamparku dengan sangat keras sehingga tubuhku terpental ke
tembok dan mengakibatkan kepalaku membentur tembok tersebut. Aku berada setengah sadar
dan tubuhku lemas terbaring di lantai. Kulihat ada banyak genangan darah yang mengalir di
sekitar ku. Teriakan penyeselan dari sosok tubuh kekar sedikit terdengar di telingaku. Dia
menangis sejadi-jadinya sambil mengangkat dan memeluk tubuhku.

Kini, aku terbaring di rumah sakit dalam kondisi yang sangat lemah. Ku dapati
kembali sosok yang membawaku kesini sedang cemas dan menangis ketika melihatku.

“Nak, ayah sayang kepadamu. Ayah tidak berniat membuatmu seperti ini. Maafkan ayah nak.
Maafkan ayahmu yang berdosa ini. Ayah janji tidak akan memaksamu untuk hal apapun.
Ayah akan selalu mendukung bakatmu. Ayah akan memfasilitasi semuanya”, kata ayahku
sambil menggenggam tanganku.

“Yah, jangan bilang begitu. Rangga janji tidak akan mengecewakan ayah lagi. Rangga akan
belajar maksimal supaya Rangga tidak di keluarkan dari sekolah”.

“Intinya kamu harus sembuh nak, ayah tidak mau kehilanganmu seperti ayah kehilangan
ibumu”, ucap ayahku kembali sambil menangis.

“Emang ibu kemana yah?”, tanyaku penasaran.

“Ibumu meninggal ketika kamu kecil. Waktu itu ayah tidak memiliki biaya untuk mengobati
ibumu. Kemudian penyeselan itu datang ketika ayah tidak bisa berbuat apa-apa untuk ibumu.
Kerena itulah Ayah berambisi ingin melihatmu menjadi dokter nak. Ayah tidak ingin hal itu
datang untuk kedua kalinya, ketika ayah harus kehilangan orang yang ayah sayangi. Ayah
boleh gagal, tapi tidak untuk dirimu nak”

Sejenak aku terdiam dan menangis ketika mendengar sosok ibu yang ku rindukan
selama ini telah pergi untuk selamanya. Tapi di balik tangisan itu, aku bersyukur teka-teki
yang selama ini yang membuat aku penasaran, akhirnya ku temukan. Ditambah lagi sosok
yang dulunya aku kenal keras dan bengis, dalam hitungan menit berubah menjadi sosok
lemah lembut dan penuh kasih sayang. Terima kasih ya Allah, engkau telah membuka pintu
hati Ayahku.

Setelah 3 hari aku terbaring di rumah sakit, akhirnya dokter mengizinkanku untuk
pulang.

“Yah, aku ingin masuk sekolah hari ini”, kataku ketika terbangun pagi ini.

“Istirahat aja dulu nak, nanti kalo kamu sudah pulih baru boleh masuk sekolah”, jawab
ayahku sambil tersenyum.

“Tapi yah, dua hari lagi ujian ulang akan tiba. Aku harus belajar supaya aku tidak dikeluarkan
dari sekolah”, tambahku lagi.

“Tidak apa-apa nak jika kamu harus pindah sekolah. Tenang saja Allah telah mengatur
semuanya”, jawab ayah yang tak mau kalah.

“Tapi kalau kita tidak berusaha kan percuma, yah”, ucapku dengan lebih semangat untuk
meyakinkan ayahku.

“Iya sudah jika itu yang kau inginkan”

Dua hari menjelang ujianku, yang pertama aku lakukan adalah mengubah
pandanganku terhadap pelajaran yang sebelumnya aku tidak sukai. Kedua, aku mencoba
belajar lebih keras dan mencari banyak literatur. Ketiga , aktip bertanya dan meningkatkan
tingkat kepedulian terhadap pelajaran tersebut. Terakhir, selalu berdoa bahwa Allah akan
selalu bersama hambanya.

Akhirnya, hari antara hidup dan mati datang menghampiri. Aku terbangun dari tidurku
dalam keaadaan tubuh masih lemas. Aku paksakan pergi sekolah meski Ayah tidak
mengizinkan. Usaha dan doa yang maksimal kurasa cukup untuk modal ujianku kali ini.
Meski, jantungku berdetak tak karuan diguncang oleh rasa takut dan penasaran. Kini, awal
dan akhir dari sebuah perjuangan akan terelaksasikan lewat tulisan.
Setelah ujian telah aku lewati, saatnya menunggu hasil akhir yang akan menentukan
masa depanku. Setelah beberapa jam, aku langsung ke ruang BK untuk menanyakan hal ini.

“Selamat nak, kali ini kamu berhasil mendapatkan nilai di atas standar, jadi kamu berhak
untuk tetap sekolah di sini!”, kata pak BK sambil mempersilahkan duduk.

“Aku tidak mimpi kan pak?”, tanyaku kaget ketika mendengar itu.

“Iya”, tambahnya sambil tersenyum.

“Terima kasih pak”, ucapku sambil mengecup tangan pak BK.

Keadaan rumahku sekarang jauh beda dengan apa yang aku rasakan kemarin. Masa
lalu pahit yang dialami Ayahku cukup memberikan kami pelajaran untuk selalu menerima
segala takdir dan menjadikannya motivasi pada hidup ke depannya. Sesuatu yang kita sukai,
belum tentu baik dan sesuatu yang kita benci belum tentu buruk. Jangan pernah paksakan
segala sesuatu untuk sama dengan kehendak kita. Kerena tugas kita sebagai manusia hanyalah
beruhasa dan berdoa. Memang takdir bisa dirubah, namun kita tidak boleh memaksakan agar
segala sesuatu berjalan sesuai kehendak kita. Ingat, Allah tidak akan pernah tidur. Dia akan
terus mengawasi hamba-hambanya. Di balik itu semua, kita tidak boleh menyerah. Kerena
aku selalu yakin, dengan usaha yang keras, doa yang lepas, dan tawakkal yang berkelas. Maka
lewat SMA Garuda, mimpi akan terlihat nyata.

Anda mungkin juga menyukai