Anda di halaman 1dari 10

LIDAH PERAK

Reynanda Sulthan Akbar


XII PMIA 1
SMA NEGERI 4 PEMATANGSIANTAR

Silver tongue, atau kau bisa menyebutnya lidah perak. Ini bukanlah kiasan untuk seseorang yang
pandai bicara atau memiliki lidah yang terbuat dari perak. Medis mengatakan ini adalah sebuah
penyakit. Orang – orang di sekitarku menganggap ini merupakan kutukan dan memanggilku
penyihir, tetapi walau bagaimanapun aku tetap menganggap ini adalah sebuah anugerah.

Aku tidak terkejut jika kau belum pernah mendengar orang dengan penyakit lidah perak. Bahkan
beberapa komunitas masyarakat dari berbagai tempat masih menganggap ini adalah sebuah cerita
fiksi anak sekolah. Kami, para lidah perak merupakan kaum minoritas di antara para manusia
normal. Aku bahkan tidak mengenal lidah perak lain selain diriku yang masih hidup, tetapi
bukan berarti aku satu – satunya.

Lalu, apa itu lidah perak? Ada tiga ciri utama lidah perak. Ciri pertama yang paling menonjol
adalah iris mata kami yang berwarna keperakan, seperak bulan purnama musim dingin. Mungkin
kau melihat banyak orang dengan mata berwarna keperakan, tetapi sensasi yang kau rasakan saat
melihat mata seorang lidah perak jauh berbeda dengan mata orang normal, kau akan melihat
mata seindah purnama yang akan membawa kembali ingatan terindah yang pernah terlupakan.
Ingatan itu akan membanjiri pikiran dan jiwamu dengan penuh emosi yang membara,
membuatmu terharu akan ingatan yang telah termanipulasi dengan sangat apik. Kau juga akan
melihat kedamaian dan ketentraman yang nyaman saat menyelam dalam mata peraknya.

Degup jantungmu akan meningkat, perasaan sesak yang kau rasakan di dadamu entah mengapa
terasa begitu nyaman dan memabukkan. Tetapi jangan sampai kau terpikat dengan mata indah
itu, mata itu menyimpan kekuatan magis yang dapat memengaruhi pikiran dan jiwamu sampai
ambang batas kewarasanmu. Mungkin kau akan merasa nyaman saat pertama kali melihatnya,
tetapi kenyamanan itu hanyalah perangkap untuk jiwa lemahmu. Kau mengatakan bahwa mata
adalah jendela jiwa bukan? Aku tidak tahu mengapa mata kami bisa membuat sensasi seperti itu.
Kau tidak akan mati hanya karena melihatnya sebentar, jika terlalu lama mungkin bisa dikatakan
kau akan terpikat atau mengalami halusinasi yang kuat yang terasa begitu nyata dan halusinasi
yang mendekati realita adalah hal yang sangat berbahaya yang akan menghilangkan garis batas
antara mimpi dan kenyataan. Seperti yang mereka katakan, kami adalah penyihir. Bukankah itu
terdengar menakjubkan? Lalu kenapa orang – orang tetap menjauhi kami para lidah perak?

Ciri kedua yang membedakan kami dengan manusia normal adalah ketidakmampuan kami para
lidah perak untuk berbohong. Saat kami berbohong, kau akan melihat mata keperakan kami
berubah menjadi berwarna biru terdalam, sedalam biru laut Maldives, biru terbiru yang pernah
kau lihat. Hanya saat kami berbohong, setelah itu akan kembali kewarna aslinya. Sayang sekali,
padahal berbohong adalah kecakapan terpenting saat kau hidup di tengah – tengah masyarakat
milenial.

Orang – orang menganggap kaum lidah perak adalah kaum terbelakang, padahal sebenarnya
merekalah kaum terbelakang itu. Kami adalah manusia masa depan. Kami jauh tercipta di depan
peradaban manusia sekarang. Kami tercipta untuk memperbaiki kehidupan manusia yang mulai
hancur. Kami ada karena kalian dan kami adalah bukti nyata bahwa manusia mulai berevolusi
untuk memperbaiki kesalahan manusia itu sendiri. Tetapi, manusia sulit untuk menerima
perubahan. Entah itu perubahan yang baik atau buruk, manusia tetap menganggap diri mereka
yang paling benar dan sempurna.

Apakah hanya karena itu manusia menolak kaum lidah perak? Tentu saja tidak. Kemampuan
kamilah yang menyebabkan manusia sangat menjauhi keberadaan kami dan menganggap kami
sebagai sebuah ancaman. Itu karena buku. Aku bisa pastikan semua kaum lidah perak suka
membaca. Buku adalah dunia dan hidup kami. Kami merasakan buku dan bacaan melebihi
siapapun di dunia ini.

Apa yang kau rasakan saat dahulu ibumu membacakan dongeng untukmu di malam hari sebelum
kau pergi tidur? Bukankah terasa sangat nyaman mendengar suaranya? Bisakah kau merasakan
rasa geli di perutmu saat ia mulai membuka halaman pertama buku dongeng? Atau dadamu yang
terasa sesak karena penuh akan antisipasi saat ia mulai membaca klimaks dongengnya? Bisakah
kau merasakan semuanya? Bahkan saat suara merdu ibumu mulai menarikmu untuk masuk ke
dalam tidurmu dan menuntunmu dalam kegelapan untuk menemukan ceritamu sendiri dalam
mimpimu? Bayangkan semua itu terjadi hanya karena sebuah buku. Benda mati yang berisi
deretan huruf dan angka yang mampu membawamu ke suasana yang bahkan tidak pernah kau
pikirkan sebelumnya.

Lalu bagaiman dengan orang yang mempunyai kekuatan untuk memengaruhi pikiran kita saat
mendengar ia membaca? Kau bisa menyebutnya lidah perak. Kami, kaum lidah perak bukanlah
pendongeng atau story teller biasa. Kami mampu memberikan efek yang sangat dahsyat dengan
sangat mengangumkan menjadikan isi buku seperti kenyataan sebenarnya dan terasa begitu
nyata. Kami mampu memengaruhi pikiran, perasaan, emosi dan bahkan jiwa kalian hanya
melalui sebuah bacaan. Kami mampu membuat kalian melihat dan merasakan apa yang kami
mau melalui cerita dalam buku. Memanipulasi pikiran kalian bukanlah hal yang sulit saat kaum
lidah perak sudah membaca buku. Kami mampu membawa suasana dalam buku menjadi sangat
nyata dan membuat kalian merasa mengalami cerita dalam buku secara langsung. Bisa dikatakan
kami dapat memegang kontol akan diri kalian saat kalian mendengar kami membaca. Bagi kaum
lidah perak, buku merupakan senjata terhebat.

***

Perkenalkan, namaku Dawn Alicia Garnet, satu – satunya lidah perak di kotaku, Green Hills
City. Kehidupanku sebagai lidah perak sedikit sulit disini. Dengan bodohnya mereka masih
menganggap aku sebagai seorang penyihir. Ini juga dirasakan keluargaku yang dikucilkan karena
kehadiranku. Aku tidak terkejut, di kota kecil dan terbelakang ini mereka sama sekali tidak
menghargai perbedaan. Aku memakluminya, dibutuhkan banyak keberanian untuk menerima
perubahan besar yang signifikan sepertiku dalam evolusi manusia untuk hadir di tengah – tengah
masyarakat, yang artinya masyarakat di kota ini adalah semua pengecut.

Mereka menjauhkan semua hal yang bisa aku baca jauh dari jangkauanku. Aku selalu meminta
kepada keluargaku untuk pindah dari tempat menyedihkan ini, tetapi satu – satunya sumber
penghidupan keluarga kami adalah peternakan yang sialnya ada di atas tanah Green Hills City
ini. Aku tidak dapat mendapatkan apa yang seharusnya menjadi hidupku hanya karena mereka
yang takut kepadaku. Jika saja mereka mau mendengarku membaca, aku yakin mereka tidak
ingin aku untuk berhenti membaca. Selalu ada keindahan dalam setiap bacaan kami yang
terkadang dianggap sebagai sebuah ancaman untuk kaum manusia. Kapan mereka akan sadar
bahwa lidah perak juga merupakan manusia?
Ayahku sangat mengerti keadaanku. Dia membiarkanku pindah ke kota sebelah, kota yang jauh
lebih besar dan maju dibandingkan kota kami dengan syarat aku harus membawa serta adikku.
Ayah berpikir Green Hills bukanlah tempat yang bagus untuk adikku mengembangkan
pikirannya karena kota itu sangat terbelakang. Ayah benar, bahkan ibuku meninggal di kota itu
karena pikiran masyarakatnya yang sangat kolot. Ibuku menderita epilepsi yang kadang
membuatnya kejang – kejang. Saat itu ibu mengalami kejang di pasar. Mereka menganggap
ibuku kerasukan dan membiarkannya sampai ia berhenti dengan sendirinya. Yang tidak mereka
ketahui adalah ibu berhenti kejang hanya karena ia sudah mati. Tidak ada yang memeriksa
jasadnya sampai ayah datang dan membawa ibu pulang. Siapa yang pantas disebut penyihir, aku
atau mereka.

***

Setelah aku dan adikku pindah, Ares namanya, aku menemukan perpustakaan tua di pusat kota
New York yang menerimaku sebagai pegawai mereka. Mereka menerimaku apa adanya sebagai
lidah perak dan terkadang mereka membiarkanku membaca di depan umum sebagai pendongeng.
Selagi aku bekerja di perpustakaan, adikku bersekolah di St. Bonaventure High School. Jelas aku
mengkhawatirkannya, dia adalah anak laki – laki yang nakal. Aku takut dia berulah dan
membuat masalah. Sudah cukup dia dijauhi saat di Green Hills dulu, aku tidak ingin ia juga
dijauhi di sekolah barunya. Dia sudah cukup menderita karena keadaanku, perilakunya yang
kasar dan tempramennya yang buruk hanya memperburuk keadaan.

“Ares, bagaimana sekolah barumu?” Sarapan bersama adalah hal wajib yang Dawn ajukan untuk
memperbaiki sifat Ares yang seperti maniak. Dawn pikir mungkin Ares dapat menjadi sedikit
lunak dengan cara seperti ini, mendapat banyak perhatian.

“Kenapa kau harus peduli?”

“Tentu saja aku peduli. Aku kakakmu dan aku bertanggung jawab atas dirimu. Apakah kau
sudah memiliki teman?”

“Bukankah aku yang tidak memiliki teman adalah karenamu? Kaulah penyebabnya.”
“Kau sudah terlalu terpengaruh dengan masyarakat Green Hills. Kau harus menjaga sopan
santunmu disini. Bersihkan dirimu dan pergilah ke kamarmu. Aku ingin kau merenungkan apa
yang telah kau lakukan hari ini.”

Ares benar. Penyebab semua kesulitannya adalah aku. Bukan hanya Ares, tetapi seluruh
keluargaku. Ayahku kini terjebak di kota menyedihkan itu untuk mengurus pertaniannya
bersama nenekku yang menderita alzheimer. Tidak bisa aku bayangkan betapa sulitnya
keluargaku karena keadaanku. Ini benar – benar menyakitiku secara mental.

Ares, walaupun nakal dan kelakuannya yang urakan dan terkesan tidak memiliki sopan santun,
aku tahu ia benar – benar menyayangiku. Ia pernah berkelahi memukuli teman – teman
sekolahnya yang mana membuat masyarakat Green Hills semakin memandang rendah kami.
Tentu saja ayah memarahinya, bahkan saat itu ayah juga memukul Ares sebagai hukuman.
Tetapi yang ayah tidak ketahui adalah Ares memukul temannya untuk membelaku yang diejek
oleh mereka. Ares hanya tidak mampu mengekspresikan dirinya dengan baik. Kau tahu, masalah
lelaki adalah pada mereka yang tidak bisa menunjukkan kasih sayang mereka secara gamblang.
Aku tidak tahu dengan sekolah barunya, aku harap ia mendapat teman yang benar – benar
memahaminya.

***

Minggu ini Nyonya Barry mengizinkanku untuk membacakan novel di alun – alun perpustakaan
kepada sekumpulan pelancong yang mengunjungi perpustakaan tuanya. Nyonya Barry adalah
Isti dari pemilik perpustakaan ini, Billy Barry. Sayangnya, Tuan Barry meninggal musim semi
tahun lalu karena serangan jantung saat menjaga perpustakaannya sendirian. Bayangkan
meninggal di tengah – tengah tumpukan buku kesayanganmu, apalagi yang bisa lebih baik?

Novel yang harus aku baca adalah novel berjudul Dark Ages of Wisdom karangan Ruby Jadaeite.
Novel yang menceritakan tentang peperangan yang terjadi antara penyihir dan manusia saat abad
kegelapan yang ditandai dengan kemerosoton demografi, budaya, dan ekonomi setelah jatuhnya
Kekaisaran Romawi. Tantangan untukku karena jujur aku belum pernah membaca cerita seperti
ini. Aku tahu ini adalah bacaan yang cukup berat karena mengandung adegan peperangan, aku
takut tidak bisa mengendalikan diriku dan malah menyakiti pendengarku nantinya. Haruskah aku
menolak tawaran Nyonya Barry?
***

Tidak biasanya aku seperti ini, tetapi apakah sudah terlambat menemui Nyonya Barry dan
membatalkan pembacaan Dark Ages of Wisdom? Aku sedikit menyesali keberanianku menerima
tawaran Nyonya Barry. Aku sangat gugup kali ini. Ini adalah kali pertama aku membaca cerita
genre seperti ini. Biasanya aku hanya membaca cerita ringan seperti kisah romantis yang
berakhir bahagia. Lihatlah, bahkan Ares ada di salah satu kursi di tengah rombongan itu.

“Ini terlalu beresiko” Aku mengadu kepada Ares yang langsung menemuiku saat dia melihatku
bimbang. Dia pasti khawatir, tidak biasanya aku gelisah seperti ini. Aku adalah seorang kakak,
tentu saja aku harus terlihat tegar di hadapan Ares, tetapi diriku yang gelisah seperti sekarang
membuatku terlihat lemah di depannya.

“Hey, tatap aku. Ini bukan seperti Dawn yang aku kenal. Bukankah kakakku tidak takut akan
apapun? Kenapa sekumpulan orang bisa membuatnya gemetar ketakutan seperti ini? Kau adalah
pendongeng terbaik dan aku selalu menyukai bacaanmu. Aku bisa pastikan mereka juga akan
menyukaimu.”

Apakah itu benar – benar Ares yang berkata seperti itu? Dia berbicara dengan suara lembutnya
sambil memegang kedua pipiku. Apa yang terjadi kepada anak ini.

“Kau tahu ini bukan tentang banyaknya kumpulan orang itu. Aku tidak pernah membaca cerita
seperti ini sebelumnya.” Tanpa sadar aku meremas sisi kemeja Ares, meluapkan kekhawatiranku
padanya.

“Aku tahu kau bisa.”

Ares bukanlah berandalan yang sama seperti dulu. Kenapa aku tidak menyadari ia telah tumbuh
menjadi pria dewasa seperti ini.

***

Setiap buku punya kisahnya tersendiri. Terlebih lagi jika itu adalah buku tua, seperti yang aku
letakkan dalam pangkuanku sekarang. Buku ini dirilis tahun 1995, kau bisa melihat sampul buku
ini yang mulai menipis atau lembarannya yang mulai menguning. Buku ini bahkan mengembang
melampaui ketebalan normal buku ini seharusnya, akibat dari halaman buku yang terlalu sering
di balik, menggambarkan betapa seringnya buku ini dibaca.

Tetapi tahukah kau bahwa buku tua dan lusuh seperti ini jauh lebih baik dari pada buku baru?
Buku tua memiliki pengalaman yang tidak akan kau temukan pada buku baru. Setelah bertahun –
tahun kisahnya dibaca oleh ratusan orang dan tragedi yang tertanam dalam buku itu, menjadikan
buku itu terasa lebih hidup dari pada buku baru yang terasa kosong, serta lebih memiliki beragam
emosi atau kau bisa mengatakan buku tua lebih kaya akan emosi yang diserap buku dari
pembacanya.

Ku elus sampul buku yang terbuat dari kulit itu dan membukanya. Dapat kucium aroma
lembaran kertas khas buku tua dan aku yakin kertas ini terbuat dari serat batang pohon pinus.
Sedikitnya dapat kurasakan kisah dari buku itu, begitu menyeramkan, tragis dan mengharukan
dalam satu waktu. Dengan ragu ku baca kalimat dari lembaran pertama buku tersebut.

“to every army, every wizard, every dragon, and every horse that dies along the war. This will be
reminder for the future what war looks like when the Dark Ages is in its glory”

“untuk semua tentara, penyihir, naga, dan kuda yang mati selama peperangan. Ini akan menjadi
pengingat kepada kaum masa depan bagaimana perang terlihat ketika abad kegelapan
menguasai”

Sebelum melanjutkan bacaanku, aku melirik Ares yang duduk di tengah kumpulan orang –
orang. Ia tersenyum lembut selah mengatakan semuanya akan baik – baik saja.

Kemudian aku mulai membaca cerita itu dengan ragu.

Awalnya aku membaca dengan sangat lambat. Aku membaca dengan sangat lambat
mengantisipasi akan apa yang aku baca selanjutnya. Ini terasa seperti aku sama sekali tidak
menghayati cerita itu dan dapat kupastikan tidak ada yang benar – benar mendengarkan ceritaku
pada bagian awal. Tiba – tiba aku merasakan sesak di dadaku seolah – olah semua emosi yang
ada pada buku ini berpindah ke diriku. Aku berusaha untuk melirik Ares lewat sudut mataku,
tetapi yang aku lakukan adalah aku mulai membaca buku itu semakin cepat dan semakin dalam.
Aku berusaha mengalihkan pandanganku dari buku, tetapi mataku seolah terikat dengan kalimat
– kalimat dalam buku yang seolah menarikku untuk terus membacanya. Aku tidak dapat
berpaling lagi dan sudah terlambat untuk berhenti.

Seorang pangeran yang bernama Damian yang merupakan tokoh utama buku itu, ternyata
menaruh hati pada salah satu penyihir yang ditemuinya di tengah hutan. Ayah Damian, King
Charles merupakan raja dari kerajaan Avonlea yang merupakan kerajaan termasyhur di negeri
Eropa pada saat itu. Tetapi abad kegelapan yang ditandai dengan semakin bertambahnya
penyihir menyebabkan kemerosotan di berbagai bidang di atas tanah yang dulunya sangat
makmur itu. Tiba – tiba Dawn mulai meneteskan air matanya sambil terus membaca. Ia dapat
merasakan dirinya berada di tengah – tengah masyarakat Avonlea yang sengsara dan mulai
kelaparan. Kakinya mulai lemas saat ia berusaha menolong seorang nenek yang baru saja
pingsan di tengah jalan yang menyebabkan beberapa ekor anjing mulai mengerubungi tubuh
nenek itu. Dawn tahu, apa yang ada dalam pikirannya pasti akan dirasakan oleh pendengarnya
juga. Alih – alih menolong nenek itu, Dawn terus melanjutkan membaca buku itu, ia tidak bisa
berhenti untuk terus membaca dan melanjutkan ceritanya.

Cerita itu begitu nyata, Dawn bahkan merasakan dirinya berada di dalam sebuah istana abad
pertengahan dengan beberapa prajurit bersenjatakan pedang dan tombak di sekitarnya. Rupanya
besok adalah perang besar antar manusia dan penyihir. Dawn melihat Damian yang berjalan
melewatinya menuju lorong yang menuju entah kemana. Damian terasa begitu nyata bagi Dawn.
Dawn bahkan dapat merasakan aura maskulin yang keluar dari diri Damian dan aroma rumput
segar dari rambutnya. Damian pasti baru selesai mandi.

Dawn terus membaca novel itu. Saat adegan Damian pergi menuju hutan, Dawn mengikutinya
dari belakang. Tidak ada yang bisa melihat entitas Dawn dalam cerita itu. Dawn melewati pasar
kumuh dan dapat merasakan pijakannya yang lengket yang disebabkan oleh lumpur. Ia merasa
jijik, tetapi tetapi tetap mengikuti Damian menuju hutan. Semua adegan yang Dawn baca dan
bayangkan akan sama nyatanya dengan apa yang dilihat dan dirasakan orang yang mendengar
Dawn membaca.

Damian berlari kecil dan langsung memeluk seorang wanita dengan gaun berwarna hijau lumut.
Dia adalah Jupiter, seorang penyihir yang ternyata saling jatuh cinta dengan Damian. Hari sudah
petang saat Damian mencium Jupiter tepat di bibirnya. Dawn benar – benar dapat merasakan
ikatan cinta mereka yang begitu kuat. Hatinya menghangat dan dapat dirasakannya bagaimana
ciuman Damian di bibirnya. Wajahnya benar – benar memanas, dan degup jantungnya benar –
benar meningkat dengan cepat. Damian memberikan sebuah pisau dengan ukiran naga terbuat
dari permata yang sangat indah kepada Jupiter, kejadian itu terasa terjadi di samping Dawn,
Dawn berusaha memalingkan pandanganya ke arah pisau itu, tetapi pandangannya seolah
terkunci di dalam kalimat – kalimat buku itu.

Dawn hampir sampai pada klimaks cerita itu, di saat peperangan sedang terjadi. Ia dapat melihat
dan merasakan bagaimana kengerian sebuah perang. Naga – naga yang menyemburkan api itu
membuat Dawn merasa marah. Ia membaca buku dengan penuh emosi. Ia tidak dapat berhenti,
kata – kata dalam novel itu terus menarik matanya untuk terus membaca. Menyalurkan lebih
banyak emosi dan amarah. Peperangan itu begitu mengerikan. Ia mencium bau gosong daging
yang terpanggang bercampur dengan bau anyir darah. Dawn merasakan panas api yang ada
dalam ceritanya tiba – tiba padam dan tergantikan dengan perasaan nyaman dan damai. Ini
adalah adegan Damian dan Jupiter saling berhadapan. Dawn dapat merasakan cinta keduanya
meleburkan aura mencekam dari peperangan yang sedang berlangsung. Tetapi itu tidak bertahan
lama saat sebuah anak panah menembus dada Jupiter. Damian tahu itu adalah panah dari
pasukannya. Damian menjerit dan Dawn dapat merasakan kesedihan dan amarah Damian yang
tergabung menjadi satu. Lagi – lagi Dawn menangis dan amarahnya benar – benar berada di
ambang batas. Dawn melanjutkan membaca dengan penuh amarah walau kini pandangannya
buram terhalau air matanya. Ia melihat Damian yang mulai marah dan menghancurkan
semuanya, bahkan berusaha membunuh King Charles, ayahnya sendiri.

Buku itu semakin dalam menarik Dawn, ia tidak lagi dapat berhenti membaca. Ia menangis dan
tetap berusaha mengalihkan pandangannya dari buku, tetapi nihil. Buku itu telah
memengaruhinya sangat dalam. Saat Damian berusaha melawan pasukannya sendiri, tiba – tiba
Dawn melihat celah untuk berhenti membaca. Sebuah paragraf pada buku yang tertutup oleh
noda hitam tidak dapat dibaca oleh Dawn, saat itulah dia langsung menutup bukunya.

Dawn mendongak dan menatap kerumunan orang di depannya. Tidak berbeda darinya, mereka
semua menangis. Bahkan Dawn melihat beberapa dari mereka tergeletak di lantai. Dawn yakin
mereka pingsan karena memiliki jiwa yang lemah. Seseorang menangis meraung – raung dan
beberapa lainnya menangis dalam diam seperti terkena gangguan jiwa. Dawn melihat Ares
duduk dengan tenang sambil menangis. Ia sangat tidak suka melihat Ares menangis, terlebih
karena penyebabnya adalah dia. Sekarang Dawn merasa bersalah.

Saat melihat kebelakang, Dawn melihat beberapa rak yang dipenuhi buku berubah gosong
sehabis terbakar. Api itu adalah api yang berasal dari pikiran Dawn, buku tua itu memengaruhi
Dawn terlalu kuat, menimbulkan percikan api yang menyebabkan sebagian perpustakaan
terbakar. Di sudut ruangan, Dawn melihat Nyonya Barry tergeletak di lantai dengan mulut yang
berbusa. Ia melihat luka bakar di beberapa bagian tubuh Nyonya Barry. Itu artinya Dawn telah
membunuh wanita tua itu.

Tidak ada yang dapat Dawn lakukan, ia menutup mulutnya dengan telapak tangannya untuk
menahan jeritannya sendiri. Apakah air mata cukup untuk ini? Dawn rasanya ingin lari dan
meninggalkan tanggung jawab ini. Seharusnya Dan tahu buku itu terlalu kuat dan berbahaya.
Sekarang semua terlambat dan Dawn adalah penyebab masalah ini.

Seseorang menarik tangan Dawn. Itu adalah Ares yang sekarang memeluk Dawn. Dawn
menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Ares. Ia menangis di disitu. Sudah aku katakan, buku
adalah senjata yang sangat berbahaya saat berada di tangan lidah perak.

Beberapa hal tecipta untuk tidak dapat diubah.

Beberapa hal juga tidak dapat terlihat sebelum itu benar - benar terjadi.

Anda mungkin juga menyukai