PANGGUNG TERASA MAGIS. SUASANA DIBANGUN OLEH BUNYI ALAT MUSIK GESEK YANG DIPADU
DENGAN SUARA ORANG-ORANG BERGUMAM.
DI TENGAH PANGGUNG TAMPAK SATU SOSOK TUBUH TERBARING KAKU, TERTUTUP KAIN BATIK SEPERTI
MAYAT DAN DI BELAKANGNYA BERDIRI SEBUAH KURSI LIPAT. NGIGAU
Ini bukan salahku ! Aku tidak tahu menahu soal itu. Sungguh ! Tidak. Tidak! Jangan pandangi aku seperti
itu. Aku…aku.. ahhh !
LAKI-LAKI ITU BERDIRI. IA MENATAP KE SEGALA PENJURU, YANG MANA TIAP LIRIKANNYA CUKUP PELAN
DAN MENGANDUNG MISTERI
Kenapa kalian pandangi aku seperti itu ? Jangan asal, ya ! Memangnya aku ini apa ? Aku bukanlah
barang antik yang suka di pajang di etalase-etalase, atau bintang film murahan koliksi para cukong,
apalagi doger monyet yang sering ngamen di pasar malam ! Oh, barang kali kalian suka sama aku. Suka,
ya ? Heh ! Tidak ? Ah suka. Jangan munafik deh. Tu kan…tu kan suka.
MELUDAH
Puah ! Tidak ! Kalian tidak pernah menyukaiku. Kalian tukang perah, penjilat, pembual besar. Kerjanya
hanya memeras, bisanya menyalahkan setiap kebijakan yang sudah capek-capek dibikin orang, padahal
kalian sendiri tidak becus memperbaiki atau menyusun kebijakan baru yang lebih ideal. Dasar beo, luh !
BUNYI MUSIK ITU SEMAKIN TERDENGAR JELAS. LAKI-LAKI ITU SEMAKIN GELISAH DAN TERHANTUI.
DENGAN RASA TAKUT IA GUNAKAN KAIN BATIK SEBAGAI PENUTUP TUBUHNYA SAMBIL BERULANG KALI
BERUJAR
Oh, tidak. Tidak ! Aku tidak pernah menyuruhnya. Betul ! Tanyakan saja pada mereka yang mengenal
aku lebih jauh.
DAN AKHIRNYA LAKI-LAKI ITU TERPURUK DI LANTAI. MERASA SUDAH AMAN PERLAHAN-LAHAN DARI
BALIK KAIN LAKI-LAKI ITU KELUAR DAN BERDIRI LAGI.
Hei ! Kuperingatkan sekali lagi, jangan pandangi aku seperti itu ! Apa salahku ? Untuk kali ini berilah
ketenangan pada jiwaku. Tolonglah, bisa kan ? Aku sudah sangat lelah. Atau kalian sudah berkomplot
dengan orang-orang di luar sana. Kalain bermaksud melenyapkan dan sekaligus merampok seluruh
kekayaanku ? Please, kasihanilah aku. Aku sudah tidak punya apa-apa. Kalian tahu, bukan ? Semuanya
sudah mereka rampas, ingin apa lagi. Yang kumiliki sekarang tinggalah pakaian ini, pikiran dan perasan
yang sama sekali sudah tak berarti lagi begi kalian. Sekarang aku tidak lebih dari seonggok sampah
murahan. Ya aku sampah. Aku sampah. Sampah. Sampah. Sampaaaaaaaahhh!
TERPURUK LAGI DI LANTAI. LAKI-LAKI ITU PERLAHAN BERDIRI, LALU BERPUTAR MENGITARI KURSI
SAMBIL MELANTUNKAN TEMBANG DI BAWAH INI.
Selamat malam. Terima kasih kalian telah memberi kesempatan padaku untuk bermimpi lagi. Maaf, aku
tadi terlampau emosional. Aku juga merasa aneh, belakangan ini kadar emosiku sulit sekali dikendalikan.
Tapi memang begitulah aku. Sekali lagi maafkan aku. Aku lupa, sesungguhnya kalian tidak sama dengan
mereka. Kalian sangat baik dan memiliki rasa belas kasih cukup tinggi. Pandangan kalian sebenarnya
ingin menghiburku, bukan ? Tapi rupanya ganjalan besar itu telah mengekang kemurnian hati kalian,
sehingga membuat keraguan yang sangat akut dan kalian merasa kesulitan untuk berbuat lebih. Ya, aku
tahu kalian takut karena orang-orang di luar sana berhasrat memancungku. Tidak apa-apa. Takutlah.
Takut adalah bagian dari keselamatan. Berkomplotlah bersama mereka, selamatkan diri dan jagalah
keluarga. Lupakan aku. Tengah malam nanti kegagalanku dalam mengukir perjalanan hidup ini akan
sampai pada puncaknya. Simpanlah keharuan itu dalam buku sejarah, sebagai bahan kejian anak cucu
kalian kelak. Tebarkan harum bunga kas[2]ih pada jiwa-jiwanya. Jika sempat, bisikan pada telinga
mereka ; cintailah bangsa dan negeri ini dengan ketulusan.
Hei, yang di sana ! Kenapa kamu membalikan wajah ? Ini jaman keterbukaan, bung. Tunjukan kesejatian
wajahmu. Jika merasa tersinggung atau tidak suka, aku kan sudah mengatakan. Maaf kecurigaanku
terlampau berlebihan. Harap maklum, karena selama ini banyak hantu gentayangan mengitariku. Sudah
ya, jangan ribut dan jangan ganggu lagi. Aku mau tidur.
LAKI-LAKI ITU MENGAMBIL KAIN BATIK DAN MEMBARINGKAN TUBUHNYA DI LANTAI. SAMBIL DITUTUPI
KAIN IA TIDURAN. TAPI TIDAK LAMA KEMUDIAN SAYUP-SAYUP TERDENGAR SEORANG ANAK PEREMPUN
MELANTUNKAN LAGU DI BAWAH INI.
Nur ! Nur ! Kaukah itu ? Nur, di mana kau ? Rani ! Rani kau di mana? Aku kangen. Aku merindukanmu [3]
DIAM SEJENAK
Aku dengar suaranya ada di sekitar ini. Kemana, ya ? Apa sudah pergi lagi. Aku kira… tapi barusan siapa ?
Astaga ! Jam barapa dan hari apa sekarang ? Oh Tuhan. Ternyata aku telalu lama tidur di sini. Tidak !
Tidak ! Aku sempat bangun, sempat bersendagurau bersamanya dan mendengarkan dia melantunkan
tembang kebebasan.
Nur ! Rani ! Nurani ! Tidak ada. Nuraniku betul-betul sudah pergi jauh. Aku tidak punya nurani lagi.
Nuraniku hilang.
SEDIH
Pergilah kau, bernyanyi dan menarilah. Benamkan cemas dan dendam bersama kecewamu, biarlah
membusuk selamanya di sana. Dengan pasti langit akan tetap menjadi payung dan bumi sebagai
penyangga jiwa sejatimu.
LAKI-LAKI ITU MELIHAT PADA KURSI. IA BERPUTAR, MENGITARINYA, LALU BERHENTI DAN DUDUK DI
KURSI TERSEBUT. TIBA-TIBA BERSAMA KURSI ITU IA TERJATUH. IA BANGUN, MEMBETULKAN KURSI DAN
MENDUDUKINYA, TAPI BERSAMA KURSINYA IA KEMBALI JATUH. KETIGA KALINYA HAL YANG SAMA
TERJADI.
KINI IA MARAH BENAR. KURSI YANG TERGELETAK IA TENDANG TAPI TIDAK KENA, BAHKAN MEMBUAT
DIRINYA HILANG KESEIMBANGAN DAN TERJATUH. IA SEMAKIN BERNAPSU. BAGAI MACAN IA TERKAM
KURSI ITU. BAGAI MEMILIKI NYAWA KURSI PUN MENGAUM DAN TANPA DIDUGA-DUGA SANG KURSI
BERNASU BERKELAHI DENGAN LAKI-LAKI ITU. TETAPI AKHIRNYA KURSI ITU TERLEMPAR JAUH.
Sebenarnya aku tidak bercita-cita ingin jadi pemimpin ataupun pengusaha. Terus terang saja aku tidak
lebih dari seekor keledai dungu. Jelasnya aku tidak sedikit pun memiliki kemampuan di bidang itu. Sejak
kecil hingga menjelang dewasa tekad hatiku sudah bulat. Aku ingin mengabdi pada bangsa dan negeri ini
lewat propesi guru. Sungguh, aku ingin menjadi guru. Tapi ayahku selalu melarang keras.
LAKI-LAKI ITU MALAKUKAN GERAKAN - GERAKAN BERSAMA KAIN BATIKNYA. LALU MERUBAH DIRI
MENJADI BAPAK.
Anakku. Menjadi guru sulit mencari peluang untuk memperkaya diri. Ayah kira bukan sulit, tapi tidak
akan pernah kaya. Apa lagi guru sekolah dasar di pedesaan. Gajinya kecil. Bukan kecil, tapi sangat
memprihatinkan. Daripada mendapatkan kesenangan, malahan kamu akan bulan-bulanan menjadi
boneka kurikulum pendidikan yang sampai detik ini belum jelas arahannya.
LAKI-LAKI ITU MELAKUKAN GERAKAN – GERAKAN BERSAMA KAIN BATIKNYA. LALU KEMBALI MENJADI
DIRINYA.
Ayah, tugas seorang guru sangat mulia. Bukan begitu ? Dan bagi anakmu ini harta bukanlah hal yang
paling pokok. Yang aku cari dan aku kagumi adalah kemuliaan hidupnya.
LAKI-LAKI ITU MELAKUKAN GERAKAN – GERAKAN BERSAMA KAIN BATIKNYA. LALU MERUBAH DIRI
MENJADI BAPAK. KETAWA
Kamu masih bau kencur, nak. Tahu apa tentang kemuliaan hidup ? Belum saatnya kamu bicara soal itu.
Tidak ! Apa pun alasannya dan sampai kapanpun ayah tidak akan pernah mengampuni juga
menganggapmu anak jika kamu berisi keras ingin menjadi guru. Kamu harus menjadi tentara. Masuklah
AKABRI biar jadi perwira tinggi. Minimalnya berpangkat Letjen. Atau kamu masuk ke sekolah
pemerintahan dalam negeri, setidaknya kamu bisa menjadi camat sudah lumayan. Atau kamu [4]sekolah
bisnis di Amerika agar jadi pengusaha tangguh. Camkan sama kamu ! Di tentara penghargaan atas segala
jasa-jasa yang pernah dilakukan sangat nyata. Tidak seperti guru. Tanpa tanda jasa.
LAKI-LAKI ITU MELAKUKAN GERAKAN – GERAKAN BERSAMA KAIN BATIKNYA. LALU KEMBALI MENJADI
DIRINYA. SEJENAK IA TERMENGU.
Ayahku memang suka sekali memaksakan kehendak, istriku, juga kerabat dekatku. Sementara aku
sendiri selalu tak berdaya dibuatnya. Sunguh. Seperti halnya menjadi pemimpin negeri ini. Aku
sebenarnya…..
KESAL
Ah ! Mereka terus memaksaku hingga aku tidak bisa menolak untuk tidak duduk di kursi yang sudah
mereka rancang sedemikian rupa itu.
MENJATUHKAN DIRI
Oh, ternyata empuk. Enak gila. Keempukannya telah menawarkan kemungkinan-kemungkinan yang
sangat menjanjikan akan segala harapan segera tercapai. Demi Tuhan. Hari ke hari, minggu ke minggu,
bulan ke bulan, tahun ke tahun kersi itu telah mengantarkan pada perubahan kepribadianku yang sangat
lain dari kebiasaan sebelumnya. Sifat penakutku yang pada mulanya membayangi ke mana pun
melangkah, sangat tak terasa berangsur surut dan berubah menjadi sebuah keberanian bahkan sampai
mampu menakut-nakuti siapa pun. Kursi itu membuatku betul-betul betah hidup di dunia. Sampai detik
ini aku tidak ingin kehilangan, apa lagi di duduki orang lain. Jiwaku sudah melekat dengannya dan
kasihnya selalu mendorong libidoku agar terus bergairah hingga sampai pada puncak orgasme yang
nikmatnya tidak dapat dikalahkan oleh goyangan pinggul bidadari- bidadari yang pernah kusetubuhi.
LAKI-LAKI ITU MELAKUKAN GERAKAN – GERAKAN EROTIS, SEPERTI SEDANG MELAKUKAN HUBUNGAN
INTIM. TERTAWA
Ya ! Kini aku tidak lagi keledai dungu, akulah Kaligula, akulah Puntila dan akulah si keji Hitler ; Musnakan
mereka dari segala pekerjaannya dan masukan mereka ke penjara bawah tanah. Kurung mereka di
tempat itu dan biarkan mereka mati sebagai pembalasan yang setimpal atas kejahatannya. Jika rakyat
tidak siap berjuang demi kelangsungan hidupnya terpaksa mereka harus dilenyapkan. Penggalah kepala
siapa saja yang berdosa kepada negara sekalipun mereka anak istri kita sendiri. Jadikanlah mereka
tontonan bagi orang-orang yang sangat haus akan hiburan segar di televisi. Kita arak mereka seperti
halnya mempertontonkan binatang buas yang taring dan kuku-kukunya telah dicopoti. Jika perlu
bangkainnya kita jadikan umpan untuk memancing atau kita masukan ke dalam tungku dan abunya kita
jadikan kofi. Kofi rasa mayat. Kemudian kita hidangkan tepat pada hari perayaan kemenangan.
LAKI-LAKI ITU MEL[5]AKUKAN GERAKAN–GERAKAN SEPERTI HARIMAU ATAU BINATANG BUAS LAINNYA.
IA AMBIL BENTAL YANG SUDAH KUMAL DI SALAH SATU SUDUT RUANGAN DAN DETIK ITU PULA
DIHANCURKAN OLEH GIGITAN GIGINYA. KEMUDIAN IA AMBIL KAIN BATIK DAN DIPUKULKANNYA KE
LANTAI.
Puah ! Matilah kau ! Matilah sahabatku ! Matilah ayahku ! Matilah istriku ! Matilah anakku ! Matilah
anakku !
Sunyi
Senyap
Sendiri
Sekarang tak satupun diantara kursi-kursi itu mau bersahabat denganku. Bahkan kerabat dekat beserta
sebagian besar anggota parlemen yang pernah kuberi kelayakan hidup, agar terus mau menjaga kursi
kebesaranku juga turut mencibir dan meludahiku dengan dahak paling kental seperti aku lakukan pada
penghianat-penghianat yang telah mendahului menemukan kebebasannya di alam baka sana.
MARAH
Dasar tak tahu diri. Jahanam ! Kutu busuk ! Ya. Ayahku jahanam, istriku kutu busuk. Penjahat !
Penghianat ! Aku penjahat, mereka penghianat. Anakku…. Anakku satu-satunya, mutiara bangsa ini telah
menjadi korban kejahatan dan kebusukan hati kami. Nur… Nurani, maafkan ayah nak. Kamu benar,
kamu juga menang. Betul, ayah tak ubahnya seperti kaus kaki bolong yang tampak indah jika diselimuti
sepatu yang mengkilap. Dan kini kutukamu menjadi kenyataan. Ayah telah kehilangan segala-galanya
termasuk sepatu yang menyelimuti kaus kaki bolong itu. Ayah betul-betul terasing. Jalan - jalan, gang -
gang seketika menjadi buntu. Pintu-pintu, jendela – jendela semua tertutup rapat. Sekarang ayah hanya
bisa terpaku di sini, dalam kesunyian yang mencekam.
LAKI-LAKI ITU MENARI. LALU MEBARINGKAN TUBUHNYA DAN MELANTUNKAN TEMBANG TANPA KATA-
KATA.
SESEORANG MENUTUP TUBUH LAKI-LAKI ITU DENGAN KAIN BATIK PERSIS SEPERTI ADEGAN AWAL.