Anda di halaman 1dari 1

Dua hari yang lalu tak sengaja saya membaca sebuah artikel yang dipost seorang teman di media

sosial
facebook. Artikel tersebut berisi kisah seorang pejuang muslim awal yang hafal alquran dan tentu taat
beribadah yang akhirnya takluk. Ia tak takluk pada tajamnya pedang di medan pertempuran atau oleh
kilauan harta rampasan perang serta kedudukan. Ia justeru jatuh dan akhirnya memilih murtad karena
seorang wanita. Wanita yang dilihatnya ketika ia berperang. Sungguh kisah yang tragis. Seorang pejuang
yang memiliki ketaatan yang tak lagi diragukan akhirnya luluh karena wanita. Sampai akhir hayatnya ia
tetap murtad, tak mau dia kembali mejadi muslim. Dia merasa tak kuasa tuk meninggalkan wanita yang
dicintainya. Sungguh cinta yang melampaui batas.

Saya membaca artikel itu dengan perasaan sedih. Saya sedih bukan karena cerita tragis seorang alim
yang kemudian memilih jalan lain dalam hidupnya karena wanita. Saya tak peduli kisah itu. Itulah hidup.
Kita tak pernah tahu ending dari hidup ini. Saya bersedih karena artikel tersebut tiba-tiba
menghentakkan kesadaran saya tentang realitas yang sedang dijalani. Saya merasa cerita artikel
tersebut seolah juga sedang terjadi pada saya. Latar dan kisah mungkin berbeda, tapi poin utama dari
artikel tersebut seolah menohok hati. Saya sendiri sedang jatuh cinta, dan belakangan ini jatuh cinta itu
kemudian berbalik menjadi sesuatu yang salah. Cinta saya akhirnya membuat saya lupa segalanya. Lupa
kalau masih ada batas yang mesti dijaga sebelum halal.

Sejarah telah mencatat, sejak manusia pertama diciptakan (baca:adam dan hawa), manusia sudah
terjebak oleh cinta. Manusia pertama tersebut pada akhirnya diusir dari syurga yang menyediakan
semua kebutuhan untuk turun di dunia yang fana. Dunia yang penuh dengan keserakahan, peperangan,
benci dan tipu muslihat. Mereka rela menerima konsekuensi untuk keindahan yang sesaat. Keindahan
buah khuldi seperti yang diceritakan dalam kisah-kisah yang ada di kitab-kitab semua agama samawi.
Itulah manusia, pada akhirnya kelemahannya lebih mendominasi ketimbang kekuatannya.

Membincang soal cinta memang tak ada habisnya. Orang alim yang hafal alquran tadi akhirnya murtad
karena wanita. Manusia pertama di dunia diusir dari syurga juga karena melanggar memakan buah
khuldi yang oleh sebagian kalangan ditafsirkan sebagai zina pertama dalam sejarah umat manusia.
Mengapa zina? Karena memang pada saat itu mereka belum diijab dalam sebuah ikatan resmi. Tak salah
kemudian Tuhan murka atas kesalahan mereka. Tuhan memutuskan mengusir dan menempatkan
mereka pada dua kutub dunia yang berbeda.

Cinta menyimpan seribu misteri. Meski cinta tak sejelas air di danau, tak sepasti hitungan dan angka-
angka, cinta semestinya dibawa dan diperlakukan sesuai porsinya. Menempatkan pada tempatnya. Cinta
kita pada umat manusia tak seharusnya melampaui cinta kita pada Tuhan. Adam dan Hawa memang
salah. Si alim yang hafal alquran juga demikian tapi satu hal yang pasti kita tak akan mendapatkan
syurga tanpa cinta manusia. Cinta manusia merupakan prasyarat utama memperoleh cinta Illahi. Maka
tak salah orang yang tak menikah sungguh dilaknat Allah. Tinggal bagaimana kita mengatur porsi cinta.
Saya sendiri pernah salah. Adam dan Hawa salah. Orang alim tadi salah. Semua orang di dunia yang
melakukan zina juga salah. Tapi percaya satu hal, karena pernah berbuat salah lah Adam dan Hawa
akhirnya bangkit memperbaiki diri. Mereka berjuang berpuluh-puluh tahun. Bedoa meminta maaf.
Memohon dipertemukan kembali dalam ikatan yang hahal. Allah maha Pemaaaf, akhirnya cinta suci
mereka di ridhoi dengan bertemu di sebuah padang pasir di Makkah. Mereka hidup bahagia.

Anda mungkin juga menyukai