Penggalan puisi dari tokoh besar sufi di atas menerangkan betapa sulitnya seorang hamba
untuk mencari Tuhan dengan yang sebenar-benarnya, bila hanya dengan akal belaka. Sebab
satu-satunya petunjuk menuju Tuhan adalah Tuhan sendiri.
Hal tersebut dapat dilihat tatkala Tuhan menciptakan akal. Kemudian Tuhan bertanya:
Siapakah Aku ini? Maka akal pun bungkam. Karena itu Dia mengolesinya (secara
harfiah, diolesei celak mata) dengan cahaya ke Esaan (Wahdaniyah). Setelah itu, akal
seraya berkata: Engkaulah Tuhan, tiada Tuhan selain Engkau. Dengan begitu, akal
tidak memiliki kemampuan untuk mengenal Tuhan, kecuali lewat perantaraan Dia sendiri.
Akal, menurut pemberian Ibn Atha, merupakan alat untuk mencapai segala sesuatu yang
berhubungan dengan hamba, bukan untuk mencapai Tuhan. Dengan kata lain, bahwa untuk
dapat mencapai Tuhan, dibutuhkan suatu petunjuk (hidayah). Dan ini harus di mohonkan,
sedangkan permohonan kepada Allah itu pun sudah merupakan hidayah, yang diberikan
kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya di antara hamba-Nya
Oleh karena itu, tidak sedikit umat Islam yang kemudian melirik pada ajaran yang disebut
tarekat. Yakni ajaran yang menekankan keseimbangan kehidupan, lahiriah dan batiniyah.
Secara harfiah, tarekat (al-thoriqoh) berarti jalan, cara, atau metode untuk mendekatkan diri
pada Sang Pencipta, taqarruban ilallah yang sumbernya firman Allah:
Untuk tiap umat di antara kamu, Kami berikan jalan (tata cara
pelaksanaanya) yang terang. (QS. Al Maidah: 48)
. Dan firman-Nya lagi,
Barang siapa berusaha dengan sungguh-sungguh (mujahadah) mencapai Kami
(Tuhan), benar-benar akan Kami tunjukkan jalan-jalan Kami. (QS. Al Ankabut: 69).
Tarekat dapat juga dimaksudkan menjalankan kewajiban agama dengan cara lebih berhati-
hati, dengan menjauhkan hal-hal yang subhat dan melakukan keutamaan-keutamaan ibadah
sunah, setelah menjalankan ibadah wajib, seperti shalat tahajjud, shalat dhuha, shalat witir,
shalat rawatib, puasa sunah, membaca Al Quran, bershalawat, dzikir, tasbih dan seterusnya.
Konsepsi tarekat tentang hidup tidak lepas dari konsepsi tasawuf pada umumnya. Tarekat
merupakan bagian integritas dalam bentuk konstruktif, dan ditata menurut kadar psikologi
manusia.
Dalam tarekat ada aturan main. Yaitu mewujudkan sikap hidup batiniah yang merasakan
kehadiran Allah dalam hati. caranya dengan mengosongkan hati dari segala makhluk.
Artinya, tarekat mempunyai konsepsi: kehidupan yang sebenarnya adalah hak dan milik
Allah semata. Oleh karenanya, perbuatan ibadah manusia kepada Allah, harus tenggelam
dalam samudera ke-Esaan-Nya (fii lujjati bahril wahdah). Hilang segala cirri pribadinya.
Lebur dalam perasaan cinta (mahabbah) kepada Allah.
Dari sini sudah jelas bahwa tarekat merupakan polarisasi dari Islam, bukan suatu
penyimpangan atau perbuatan yang di buat-buat dan sia-sia. Karena seorang ahli tarekat,
dalam menjalankan ibadah, akan tetap berpegang pada doktrin-doktrin Islam sesuai dengan
apa yang dicontohkan Nabi SAW. Kendati demikian, tidak tertutup kemungkinan adanya
penyimpangan dalam ajaran tarekat.
Ada lima pokok yang perlu diperhatikan oleh penganut tarekat dari semua tarekat yang ada.
Pertama, memperlajari ilmu pengetahuan yang terkait dengan pelaksanaan semua
perintah yang baik yang sunah maupun yang wajib.Kedua, mendampingi guru-guru
atau mursyid dan teman se-tarekat untuk melihat bagaimana cara melakukan sesuatu
ibadah. Ketiga, meninggalkan segala rukhsah (kemudahan) dan takwil (utak-atik)
untuk menjaga kesempurnaan amal. Keempat, menjaga dan mempergunakan waktu
dan mengisinya dengan segala wirid dan doa untuk mempertebal khusyu dan hudur
(kehadiran). Dan Kelima, mengekang hawa nafsu dan selalu menjaga diri dari
kesalahan.
Ilmu dan amal dibagi dalam empat tingkat: syariat, tarekat, hakekat, danmakrifat. Tak
satupun ulama sufi yang ajaran dan tarekatnya mendapat pengakuan, kalau ulama itu
memperbolehkan penganutnya mengerjakan hanya salah satu dari empat tingkatan itu. Sebab,
keempat tingkatan tersebut merupakan pelaksanaan agama Islam yang sempurna dan
dilakukan secara professional. Syareat merupakan uraian, tarekat adalah
pelaksanaan,hakekat ialah keadaan, dan makrifat adalah tujuan pokok, yakni pengenalan
Allah yang sebenar-benarnya.
Kedudukan syaikh atau guru sangat penting dalam tarekat. Sebab ia tidak saja merupakan
seorang pemimpin yang mengawasi murid-muridnya, agar tidak menyimpang dari ajaran
Islam, tetapi juga merupakan perantara ibadah antara murid dengan Allah. Oleh sebab itu,
jabatan ini tidak dapat dipangku sembarang orang, meski memiliki pengetahuan tentang
tarekat. Yang penting, ia harus mempunyai kebersihan rohani atau orang yang mendapat
amanat untuk membimbing murid-murid dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT, seperti
Syaikh Ahmad Al-Alawi, misalnya.
Syaikh Ahmad Al-Alawi, beberapa hari sebelum gurunya wafat, Syaikh Sidi Muhammad Al-
Al Buzdi, dalam tidurnya melihat seseorang masuk menuju ketempat ia duduk. Kemudian ia
berdiri untuk menghormatinya dan mempersilahkan duduk sehingga keduanya duduk saling
berhadapan. Tapi setelah Syaikh Al-Alawi melihatnya dengan jelas, ternyata orang yang
berhadapan denganya adalah Rasulullah SAW.
Rupanya itulah yang membuat Syaikh Al-Alawi tertunduk terdiam, serasa menyesal karena
tidak menghormati sebagaimana mestinya, sampai Nabi bersabda:
Tak tahukah kau mengapa aku datang kepadamu? Ia menjawab: Saya tak
tahu mengapa, wahai Rasulullah. Dan Nabi SAW pun bersabda: Sultan timur
telah meninggal dunia, dan insya Allah kau akan menggantikanya menjadi
sultan. Apa pendapatmu? Syaikh itupun menjawab: Jika saya diberi kedudukan
yang tinggi ini, siapa yang akan membantu saya, dan siapa yang akan mengikuti
saya? Lalu Nabi SAW menjawab:Aku akan bersamamu, dan akan
membantumu.
Mendengar jawaban seperti itu, Syaikh Al-Alawi diam sehingga Nabi beranjak
meninggalkanya. Syaikh Al-Alawi pun bangkit mengikuti kepergian Rasulullah, dan seakan-
akan melihatnya terakhir kali, saat Nabi SAW pergi, dengan mata terbuka dan terjaga.
Kedudukan murid dalam tarekat tidak hanya berkewajiban mempelajari segala sesuatu yang
diajarkan, tapi juga harus taat pada beberapa akhlak yang ditentukan untuknya.
Seorang murid tidak boleh sekali-kali menentang gurunya. Ia harus membesarkan kedudukan
guru, baik lahir maupn batin. Seorang murid juga harus yakin bahwa tujuanya akan tercapai
karena bimbingan gurunya. Oleh karena itu tidak boleh terpengaruh pada guru lain. Karena
kalau sampai terpengaruh, maka akan menjauhkan ia dari mursyidnya. Dan si murid tadi
tidak akan mendapat percikancahaya (nadroh) sang guru.
Begitu patuh dan taatnya seorang murid tarekat, samapi ia tidak bisa menolak apa yang
diperintahkan gurunya. Meskipun semua itu pada lahirnya tidak cocok dengan isis hatinya.
Murid tarekat juga tidak boleh bertanya, apa sebab gurunya berbuat demikian. Sikap dari
seorang guru terkadang terlihat suatu gambaran yang kontra secara lahiriyah, namun secara
batiniah itu adalah tindakan tepuji, seperti yang pernah terjadi pada Nabi Musa AS terhadap
Nabi Khidir AS.
Mereka yang akan menggabungkan diri pada suatu tarekat hendaklah mengetahuinisbah atau
hubungan guru-gurunya itu secara berantai sampai kepada Nabi SAW. Hal ini penting karena
bantuan kerohanian yang diambil dari guru-gurunya tadi harus benar. Jika tidak benar (tidak
berhubungan) sampai kepada Nabi SAW, maka bantuan itu dianggap putus dan tidak
merupakan warisan (warotsah) dari Nabi SAW. Kemudian si murid tadi akan tersesat, tidak
sampai pada tujuan, sebab syetan dapat masuk pada amalanya itu. Hal ini sangat berbeda
dengan amalan shalawat yang digunakan untuk sarana atau jalan menuju wushul (sampai)
kepada Allah. Sebab guru atau mursyid dari amalan shalawat itu ialah Shahibus shalawat itu
sendiri, yakni Rasulullah SAW.
Silsilah itu merupakan hubungan nama-nama yang sangat penting yang bertalian satu dengan
yang lain hingga sampai pada Nabi SAW. Silsilah yang sampai kepada Nabi itu ada yang
melalui Abu Bakar RA, ada juga yang melalui Ali Bin Abi Thalib KW wa RA, Anas bin
Malik RA atau sahabat yang lainya. Dari Nabi beralanjut ke Malaikat Jibril AS dan kemudian
kepada Allah SWT.
Jika seorang mursyid mempunyai silsilah semacam itu, maka ia berhak mengajar tarekat pada
orang lain. Syaikh Tarekat Sammaniyah misalnya, harus sampai kepada Muhammad
Samman, yang kemudian kepada sahabat dan kemudian kepada Nabi. Demikian pula dari
tarekat-tarekat yang lainya.
Dalam tarekat juga dikenal istilah wasilah atau wushul yang artinya perantara atau hubungan.
Hal tersebut dilandasi oleh firman Allah:
Carilah wasilah (perantara) yang (dapat) mendekatkan diri kepada-Nya. (Al
Maidah; 35).
Kemudian diambil pula perbandingan kisah Nabi SAW Miraj ke langit menjumpai Allah
yang diantar oleh Malaikat Jibril. Mengantarnya Jibril ini dianggap wasilah. Disinilah ahli
tarekat mengambil ibarat, bahwa mereka sebaiknya berwasilah kepada guru saat beribadah
kepada Allah. Sehingga wasilah mempunyai arti khusus, yaitu jalan yang menyampaikan
hambanya kepada Allah SWT.
Memang banyak aliran-aliran tarekat. Ada tarekat yang merupakan induk, yang diciptakan
oleh tokoh tasawuf aqidah. Ada juga tarekat yang merupakan pecahan dari tarekat induk.
Biasanya, ini sudah dipengaruhi oleh pendapat para Syaikh tarekat atau keadaan setempat
atau keadaan bangsa yang menganut tarekat itu, yang tentunya memiliki corak dan ciri yang
berbeda pula. Contohnya, penganut Tarekat Maulawiyah yang di dirikan oleh Syaikh
Jalaludin Rumi yang lebih dikenal di Barat sebagai The Whirling Dervishes (Darwisy
penganut tarekat yang menari-nari berputar-putar). Dan gerakan-gerakan dalam tarian itu
merupakan tarian tradisional setempat yang secara turun temurun telah mendarah daging
dalam diri murid-muridnya dan menjadi daya tarik langsung bagi mereka.
Dari sekian banyak tarekat, intinya tak lain untuk mencapai (memperoleh) makrifat atau
menuju wushul kepada Allah SWT. Inilah akhir perjalanan mereka dan berada dalam derajat
paling tinggi kesempurnaan manusia setalah Nabi.
Jika seorang hamba sudah sampai kepada kedudukan semacam ini, niscaya ia akan luruh
(lebur) segala indera-inderanya. Yang ada hanya ke-Esaan-Nya semata, seperti disebutkan
Hadits Qudsi:
Hamba-Ku tak henti-hentinya mendekatkan dirinya kepada-Ku dengan
kepatuhan ikhlasnya (diluar ibadah wajib, yaitu sunah), sehingga Aku
mencintainya. Dan bilamana Aku telah mencintainya; Aku Adalah
Pendengaranya, yang denganya ia mendengar; dan Penglihatanya, yang dengan
ia melihat; dan lidahnya, yang denganya ia berucap; dan Tanganya, yang
denganya ia memikul; dan Kakinya, yang denganya ia berjalan.
Dari hadits Qudsi diatas, tak dapat dibayangkan bagaimana kedekatan Tuhan kepada hamba-
Nya. Sebagaimana Allah berfirman:
Kami (Tuhan) lebih dekat kepadanya (manusia) daripada urat lehernya. (QS.
50: 16).
Dengan begitu, sahabat Abu Ubaidah RA, mengatakan;
Aku tidak pernah melihat sesuatu tanpa melihat Tuhan lebih dekat kepadaku
daripada sesuatu itu.
Inilah yang disebut makrifat.
Melalui shalawat Wahidiyah yang memiliki Faedah menjernihkan hati dan makrifat Billah,
kita di tuntun untuk mendekatkan kepada Allah. Kedekatan yang lebih dekat dari urat leher
kita sendiri. Bahkan jika kita mampu menerapkan Lillah dan Billah, yakni dalam
melaksanakan segala perintah senantiasa berlandaskan perintah Allah, dan menyadari segala
gerak-gerik lahir dan batin, adalah atas kehendak Sang Maha Pencipta, kita termasuk
muqarrabun (orang-orang yang dekat dengan Allah).
Shalawat Wahidiyah ditaklif (disusun) oleh Asy Syaikh Arif Billah Mbah KH. Abdul Madjid
Maruf, Qaddassallah Sirroh Radhliyallahu Anhu pada tahun 1963. Setelah beliau mendapat
petunjuk langsung dari Rasulullah SAW, dalam keadaan sadar dan terjaga.
Bahkan amalan ini jauh lebih praktis dan mudah. Sebagaimana di dawuhkan oleh mualifnya
sendiri sebagaimana difatwakan oleh Hadratul Mukarrom Romo KH. Abdul Latif Madjid
RA, Pengasuh Perjuangan Wahidiyah pada HUT Shalawat Wahidiyah ke 34 beberapa tahun
silam:
Kalau ada amalan yang lebih mudah untuk wushul kepada Allah saat ini, selain
amalan Wahidiyah, maka Mbah Yahi sanggup (bersedia) ikut dibelakangnya
bersama seluruh Pengamal Shalawat Wahidiyah.
Yang dimaksudkan amalan Wahidiyah disini tentunya tidak hanya sebatas mengamalkan
shalawatnya, tetapi dalam prakteknya, juga harus mengaplikasikan ajaranya: Lillah-Billah,
Lirrasul-Birrasul, Lilghouts-Bilghouts, Yuktikulladzi haqqin Haqqah, dan Taqdiimul fal
aham tsumal Anfa fal Anfa di setiap aktifitas secara proposional serta menjaga adab, baik
lahir maupun batin dengan sebaik baiknya.*
oleh Barzakh Zoel Kompas pada 23 Februari 2011 jam 5:50
Siapa yang mencari Tuhan dengan akal sebagai petunjuknya, Tuhan akan
mendorongnya ke arah kebingungan yang sia-sia (Al Hallaj)
Penggalan puisi dari tokoh besar sufi di atas menerangkan betapa sulitnya seorang hamba
untuk mencari Tuhan dengan yang sebenar-benarnya, bila hanya dengan akal belaka. Sebab
satu-satunya petunjuk menuju Tuhan adalah Tuhan sendiri.
Hal tersebut dapat dilihat tatkala Tuhan menciptakan akal. Kemudian Tuhan bertanya:
Siapakah Aku ini? Maka akal pun bungkam. Karena itu Dia mengolesinya (secara
harfiah, diolesei celak mata) dengan cahaya ke Esaan (Wahdaniyah). Setelah itu, akal
seraya berkata: Engkaulah Tuhan, tiada Tuhan selain Engkau. Dengan begitu, akal
tidak memiliki kemampuan untuk mengenal Tuhan, kecuali lewat perantaraan Dia sendiri.
Akal, menurut pemberian Ibn Atha, merupakan alat untuk mencapai segala sesuatu yang
berhubungan dengan hamba, bukan untuk mencapai Tuhan. Dengan kata lain, bahwa untuk
dapat mencapai Tuhan, dibutuhkan suatu petunjuk (hidayah). Dan ini harus di mohonkan,
sedangkan permohonan kepada Allah itu pun sudah merupakan hidayah, yang diberikan
kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya di antara hamba-Nya
Oleh karena itu, tidak sedikit umat Islam yang kemudian melirik pada ajaran yang disebut
tarekat. Yakni ajaran yang menekankan keseimbangan kehidupan, lahiriah dan batiniyah.
Secara harfiah, tarekat (al-thoriqoh) berarti jalan, cara, atau metode untuk mendekatkan diri
pada Sang Pencipta, taqarruban ilallah yang sumbernya firman Allah:
Untuk tiap umat di antara kamu, Kami berikan jalan (tata cara
pelaksanaanya) yang terang. (QS. Al Maidah: 48)
. Dan firman-Nya lagi,
Barang siapa berusaha dengan sungguh-sungguh (mujahadah) mencapai Kami
(Tuhan), benar-benar akan Kami tunjukkan jalan-jalan Kami. (QS. Al Ankabut: 69).
Tarekat dapat juga dimaksudkan menjalankan kewajiban agama dengan cara lebih berhati-
hati, dengan menjauhkan hal-hal yang subhat dan melakukan keutamaan-keutamaan ibadah
sunah, setelah menjalankan ibadah wajib, seperti shalat tahajjud, shalat dhuha, shalat witir,
shalat rawatib, puasa sunah, membaca Al Quran, bershalawat, dzikir, tasbih dan seterusnya.
Konsepsi tarekat tentang hidup tidak lepas dari konsepsi tasawuf pada umumnya. Tarekat
merupakan bagian integritas dalam bentuk konstruktif, dan ditata menurut kadar psikologi
manusia.
Dalam tarekat ada aturan main. Yaitu mewujudkan sikap hidup batiniah yang merasakan
kehadiran Allah dalam hati. caranya dengan mengosongkan hati dari segala makhluk.
Artinya, tarekat mempunyai konsepsi: kehidupan yang sebenarnya adalah hak dan milik
Allah semata. Oleh karenanya, perbuatan ibadah manusia kepada Allah, harus tenggelam
dalam samudera ke-Esaan-Nya (fii lujjati bahril wahdah). Hilang segala cirri pribadinya.
Lebur dalam perasaan cinta (mahabbah) kepada Allah.
Dari sini sudah jelas bahwa tarekat merupakan polarisasi dari Islam, bukan suatu
penyimpangan atau perbuatan yang di buat-buat dan sia-sia. Karena seorang ahli tarekat,
dalam menjalankan ibadah, akan tetap berpegang pada doktrin-doktrin Islam sesuai dengan
apa yang dicontohkan Nabi SAW. Kendati demikian, tidak tertutup kemungkinan adanya
penyimpangan dalam ajaran tarekat.
Ada lima pokok yang perlu diperhatikan oleh penganut tarekat dari semua tarekat yang ada.
Pertama, memperlajari ilmu pengetahuan yang terkait dengan pelaksanaan semua
perintah yang baik yang sunah maupun yang wajib.Kedua, mendampingi guru-guru
atau mursyid dan teman se-tarekat untuk melihat bagaimana cara melakukan sesuatu
ibadah. Ketiga, meninggalkan segala rukhsah (kemudahan) dan takwil (utak-atik)
untuk menjaga kesempurnaan amal. Keempat, menjaga dan mempergunakan waktu
dan mengisinya dengan segala wirid dan doa untuk mempertebal khusyu dan hudur
(kehadiran). Dan Kelima, mengekang hawa nafsu dan selalu menjaga diri dari
kesalahan.
Ilmu dan amal dibagi dalam empat tingkat: syariat, tarekat, hakekat, danmakrifat. Tak
satupun ulama sufi yang ajaran dan tarekatnya mendapat pengakuan, kalau ulama itu
memperbolehkan penganutnya mengerjakan hanya salah satu dari empat tingkatan itu. Sebab,
keempat tingkatan tersebut merupakan pelaksanaan agama Islam yang sempurna dan
dilakukan secara professional. Syareat merupakan uraian, tarekat adalah
pelaksanaan,hakekat ialah keadaan, dan makrifat adalah tujuan pokok, yakni pengenalan
Allah yang sebenar-benarnya.
Kedudukan syaikh atau guru sangat penting dalam tarekat. Sebab ia tidak saja merupakan
seorang pemimpin yang mengawasi murid-muridnya, agar tidak menyimpang dari ajaran
Islam, tetapi juga merupakan perantara ibadah antara murid dengan Allah. Oleh sebab itu,
jabatan ini tidak dapat dipangku sembarang orang, meski memiliki pengetahuan tentang
tarekat. Yang penting, ia harus mempunyai kebersihan rohani atau orang yang mendapat
amanat untuk membimbing murid-murid dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT, seperti
Syaikh Ahmad Al-Alawi, misalnya.
Syaikh Ahmad Al-Alawi, beberapa hari sebelum gurunya wafat, Syaikh Sidi Muhammad Al-
Al Buzdi, dalam tidurnya melihat seseorang masuk menuju ketempat ia duduk. Kemudian ia
berdiri untuk menghormatinya dan mempersilahkan duduk sehingga keduanya duduk saling
berhadapan. Tapi setelah Syaikh Al-Alawi melihatnya dengan jelas, ternyata orang yang
berhadapan denganya adalah Rasulullah SAW.
Rupanya itulah yang membuat Syaikh Al-Alawi tertunduk terdiam, serasa menyesal karena
tidak menghormati sebagaimana mestinya, sampai Nabi bersabda:
Tak tahukah kau mengapa aku datang kepadamu? Ia menjawab: Saya tak
tahu mengapa, wahai Rasulullah. Dan Nabi SAW pun bersabda: Sultan timur
telah meninggal dunia, dan insya Allah kau akan menggantikanya menjadi
sultan. Apa pendapatmu? Syaikh itupun menjawab: Jika saya diberi kedudukan
yang tinggi ini, siapa yang akan membantu saya, dan siapa yang akan mengikuti
saya? Lalu Nabi SAW menjawab:Aku akan bersamamu, dan akan
membantumu.
Mendengar jawaban seperti itu, Syaikh Al-Alawi diam sehingga Nabi beranjak
meninggalkanya. Syaikh Al-Alawi pun bangkit mengikuti kepergian Rasulullah, dan seakan-
akan melihatnya terakhir kali, saat Nabi SAW pergi, dengan mata terbuka dan terjaga.
Kedudukan murid dalam tarekat tidak hanya berkewajiban mempelajari segala sesuatu yang
diajarkan, tapi juga harus taat pada beberapa akhlak yang ditentukan untuknya.
Seorang murid tidak boleh sekali-kali menentang gurunya. Ia harus membesarkan kedudukan
guru, baik lahir maupn batin. Seorang murid juga harus yakin bahwa tujuanya akan tercapai
karena bimbingan gurunya. Oleh karena itu tidak boleh terpengaruh pada guru lain. Karena
kalau sampai terpengaruh, maka akan menjauhkan ia dari mursyidnya. Dan si murid tadi
tidak akan mendapat percikancahaya (nadroh) sang guru.
Begitu patuh dan taatnya seorang murid tarekat, samapi ia tidak bisa menolak apa yang
diperintahkan gurunya. Meskipun semua itu pada lahirnya tidak cocok dengan isis hatinya.
Murid tarekat juga tidak boleh bertanya, apa sebab gurunya berbuat demikian. Sikap dari
seorang guru terkadang terlihat suatu gambaran yang kontra secara lahiriyah, namun secara
batiniah itu adalah tindakan tepuji, seperti yang pernah terjadi pada Nabi Musa AS terhadap
Nabi Khidir AS.
Mereka yang akan menggabungkan diri pada suatu tarekat hendaklah mengetahuinisbah atau
hubungan guru-gurunya itu secara berantai sampai kepada Nabi SAW. Hal ini penting karena
bantuan kerohanian yang diambil dari guru-gurunya tadi harus benar. Jika tidak benar (tidak
berhubungan) sampai kepada Nabi SAW, maka bantuan itu dianggap putus dan tidak
merupakan warisan (warotsah) dari Nabi SAW. Kemudian si murid tadi akan tersesat, tidak
sampai pada tujuan, sebab syetan dapat masuk pada amalanya itu. Hal ini sangat berbeda
dengan amalan shalawat yang digunakan untuk sarana atau jalan menuju wushul (sampai)
kepada Allah. Sebab guru atau mursyid dari amalan shalawat itu ialah Shahibus shalawat itu
sendiri, yakni Rasulullah SAW.
Silsilah itu merupakan hubungan nama-nama yang sangat penting yang bertalian satu dengan
yang lain hingga sampai pada Nabi SAW. Silsilah yang sampai kepada Nabi itu ada yang
melalui Abu Bakar RA, ada juga yang melalui Ali Bin Abi Thalib KW wa RA, Anas bin
Malik RA atau sahabat yang lainya. Dari Nabi beralanjut ke Malaikat Jibril AS dan kemudian
kepada Allah SWT.
Jika seorang mursyid mempunyai silsilah semacam itu, maka ia berhak mengajar tarekat pada
orang lain. Syaikh Tarekat Sammaniyah misalnya, harus sampai kepada Muhammad
Samman, yang kemudian kepada sahabat dan kemudian kepada Nabi. Demikian pula dari
tarekat-tarekat yang lainya.
Dalam tarekat juga dikenal istilah wasilah atau wushul yang artinya perantara atau hubungan.
Hal tersebut dilandasi oleh firman Allah:
Carilah wasilah (perantara) yang (dapat) mendekatkan diri kepada-Nya. (Al
Maidah; 35).
Kemudian diambil pula perbandingan kisah Nabi SAW Miraj ke langit menjumpai Allah
yang diantar oleh Malaikat Jibril. Mengantarnya Jibril ini dianggap wasilah. Disinilah ahli
tarekat mengambil ibarat, bahwa mereka sebaiknya berwasilah kepada guru saat beribadah
kepada Allah. Sehingga wasilah mempunyai arti khusus, yaitu jalan yang menyampaikan
hambanya kepada Allah SWT.
Memang banyak aliran-aliran tarekat. Ada tarekat yang merupakan induk, yang diciptakan
oleh tokoh tasawuf aqidah. Ada juga tarekat yang merupakan pecahan dari tarekat induk.
Biasanya, ini sudah dipengaruhi oleh pendapat para Syaikh tarekat atau keadaan setempat
atau keadaan bangsa yang menganut tarekat itu, yang tentunya memiliki corak dan ciri yang
berbeda pula. Contohnya, penganut Tarekat Maulawiyah yang di dirikan oleh Syaikh
Jalaludin Rumi yang lebih dikenal di Barat sebagai The Whirling Dervishes (Darwisy
penganut tarekat yang menari-nari berputar-putar). Dan gerakan-gerakan dalam tarian itu
merupakan tarian tradisional setempat yang secara turun temurun telah mendarah daging
dalam diri murid-muridnya dan menjadi daya tarik langsung bagi mereka.
Dari sekian banyak tarekat, intinya tak lain untuk mencapai (memperoleh) makrifat atau
menuju wushul kepada Allah SWT. Inilah akhir perjalanan mereka dan berada dalam derajat
paling tinggi kesempurnaan manusia setalah Nabi.
Jika seorang hamba sudah sampai kepada kedudukan semacam ini, niscaya ia akan luruh
(lebur) segala indera-inderanya. Yang ada hanya ke-Esaan-Nya semata, seperti disebutkan
Hadits Qudsi:
Hamba-Ku tak henti-hentinya mendekatkan dirinya kepada-Ku dengan
kepatuhan ikhlasnya (diluar ibadah wajib, yaitu sunah), sehingga Aku
mencintainya. Dan bilamana Aku telah mencintainya; Aku Adalah
Pendengaranya, yang denganya ia mendengar; dan Penglihatanya, yang dengan
ia melihat; dan lidahnya, yang denganya ia berucap; dan Tanganya, yang
denganya ia memikul; dan Kakinya, yang denganya ia berjalan.
Dari hadits Qudsi diatas, tak dapat dibayangkan bagaimana kedekatan Tuhan kepada hamba-
Nya. Sebagaimana Allah berfirman:
Kami (Tuhan) lebih dekat kepadanya (manusia) daripada urat lehernya. (QS.
50: 16).
Dengan begitu, sahabat Abu Ubaidah RA, mengatakan;
Aku tidak pernah melihat sesuatu tanpa melihat Tuhan lebih dekat kepadaku
daripada sesuatu itu.
Inilah yang disebut makrifat.
Melalui shalawat Wahidiyah yang memiliki Faedah menjernihkan hati dan makrifat Billah,
kita di tuntun untuk mendekatkan kepada Allah. Kedekatan yang lebih dekat dari urat leher
kita sendiri. Bahkan jika kita mampu menerapkan Lillah dan Billah, yakni dalam
melaksanakan segala perintah senantiasa berlandaskan perintah Allah, dan menyadari segala
gerak-gerik lahir dan batin, adalah atas kehendak Sang Maha Pencipta, kita termasuk
muqarrabun (orang-orang yang dekat dengan Allah).
Shalawat Wahidiyah ditaklif (disusun) oleh Asy Syaikh Arif Billah Mbah KH. Abdul Madjid
Maruf, Qaddassallah Sirroh Radhliyallahu Anhu pada tahun 1963. Setelah beliau mendapat
petunjuk langsung dari Rasulullah SAW, dalam keadaan sadar dan terjaga.
Bahkan amalan ini jauh lebih praktis dan mudah. Sebagaimana di dawuhkan oleh mualifnya
sendiri sebagaimana difatwakan oleh Hadratul Mukarrom Romo KH. Abdul Latif Madjid
RA, Pengasuh Perjuangan Wahidiyah pada HUT Shalawat Wahidiyah ke 34 beberapa tahun
silam:
Kalau ada amalan yang lebih mudah untuk wushul kepada Allah saat ini, selain
amalan Wahidiyah, maka Mbah Yahi sanggup (bersedia) ikut dibelakangnya
bersama seluruh Pengamal Shalawat Wahidiyah.
Yang dimaksudkan amalan Wahidiyah disini tentunya tidak hanya sebatas mengamalkan
shalawatnya, tetapi dalam prakteknya, juga harus mengaplikasikan ajaranya: Lillah-Billah,
Lirrasul-Birrasul, Lilghouts-Bilghouts, Yuktikulladzi haqqin Haqqah, dan Taqdiimul fal
aham tsumal Anfa fal Anfa di setiap aktifitas secara proposional serta menjaga adab, baik
lahir maupun batin dengan sebaik baiknya.*