Anda di halaman 1dari 1

Rumah yang Hilang

Pada kenyataannya, rumah bukanlah selalu tentang sebuah tempat, namun juga sebuah
perasaan. Jam menunjukkan pukul 7 dan saya baru terbangun. Merapikan tempat tidur, mengganti
baju, menyiapkan diri sebelum pergi ke sekolah. Jarak dari rumah ke sekolah memang tidak terlalu
jauh, hanya sekitar 3 menit menggunakan sepeda. Hari itu terasa biasa saja, saya yang duduk diujung
kelas tidak merasa tertarik saat diajak untuk bermain di lapangan. Saya lebih suka menyendiri dan
membaca puisi, tak lupa ditemani oleh lantunan musik favorit.
Disela-sela membaca, pandangan saya teralihkan oleh sebuah pemandangan yang sudah lama
saya idamkan. Pandangan atas sebuah pasangan yang begitu hangat. Saya tertegun, “Memang apa
yang istimewa dari sebuah pasangan, pada akhirnya pun mereka tidak akan berlangsung lama”, ucap
saya dalam diam. Selama ini saya memang menyendiri, teman saja sedikit apalagi seorang pasangan.
Namun, dari banyaknya puisi yang sudah saya baca cinta merupakan keindahan tersendiri. Cinta
memampukan seseorang untuk mengeluarkan uraian kata yang begitu indah.
“Apakah saya akan pernah merasakannya?”, tanya diri sendiri dengan malu. Tidak berani
menerima bahwa saya sendiri membutuhkan cinta. “Hei! Kenapa kamu terlihat seperti itu? Tidak
biasanya kamu melihat seseorang selama itu”, teriak Tasya. Sebenarnya Tasya ini adalah teman dekat
saya dari masa SMP sampai sekarang saat kami duduk dibangku SMA. “Bukan apa-apa!”, sangkal
saya. Sepertinya Tasya sadar bahwa saya sedang memperhatikan sebuah pasangan, ia pun mulai
mengerjai saya dengan melempar beberapa pertanyaan yang sulit untuk saya jawab. Saya sendiri tidak
pernah melihat dirinya lebih dari teman biasa, saya rasa hubungan kami sudah cukup. Memang ada
saja beberapa teman saya yang dengan bercanda menyuruh saya untuk lebih mendekati dirinya.
Bel berbunyi yang menandakan berakhirnya kegiatan sekolah di hari itu. Saya bergegas
pulang, ada sesuatu yang sudah saya tunggu sedari tadi. Sesampainya di rumah saya langsung
mengunci diri di kamar. Saya membuka laptop lalu mulai menjelajahi internet, dengan perlahan saya
mengetikkan sebuah pertanyaan di mesin pencarian. “Apa itu cinta?”, ketik saya dengan gugup. Saya
sangat malu untuk mengakui bahwa saya tertarik untuk mempelajari cinta.
Dari banyaknya hasil, tidak ada satupun yang saya dapat mengerti. Saya mulai memikirkan
sebuah ide yang cukup ekstrim. “Apabila tidak ada jawaban, haruskah saya mengalaminya sendiri?”.
Saya masih ingat betapa malunya saya pada saat itu. Sekian lama saya habiskan untuk berfikir namun
hasilnya nihil. Saya rasa cinta tidaklah ditakdirkan untuk saya.
Selang beberapa minggu, saya yang sedang diam di kelas secara spontan terpukau saat
seseorang lewat. Ia tidaklah familiar, mungkinkah seorang murid baru? Dalam hati saya sangat ingin
untuk mengejarnya, memberanikan diri untuk sesekali. Namun karena besarnya ego dan
kekhawatiran, saya pun mengurungkan niat itu.

Anda mungkin juga menyukai