Anda di halaman 1dari 3

# Berbagi

#Kehilangan

Aku Harus Hidup

Hari ini, saya mendengar berita ada salah seorang teman yang harus merelakan calon buah
hatinya kembali kepada Sang Pencipta. Calon janin itu tidak berkembang, belum waktunya ia
datang dan melihat dunia.

Sedih? Tentu saja. Walau saya tak merasakannya langsung, tapi bayangan kehilangan itu kalau
terlintas sangat mengerikan. Saya pernah lepas kendali, lengah waktu menjaga. Kehilangan anak
dalam waktu beberapa menit saja sudah membuat jantungan apalagi untuk selamanya. Pun sama
dengan orang yang keguguran, atau yang harus terpaksa menggugurkan calon anak atas dasar
keadaan darurat. Misal, calon bayi tak berkembang ataukah berbahaya jika diteruskan bagi ibu.

Hal ini pula yang dirasakan, Mbak lastri. Salah seorang tetangga sekaligus teman di Blitar. Suatu
siang di hari Minggu, tepat tiga tahun yang lalu. Ia harus kehilangan sang buah hati, selepas
merayakan pesta ulang tahun. Paginya mereka merayakan ulang tahun Heri. Suasana rumah
masih ramai, menjelang sore suasana mulai lengang.

Hari itu, Mbak Lastri kecapekan. Seakan ingin menebus tidur yang terlewatkan sejak dua malam
sebelumnya, ia mengajak sang anak tidur di kamar. Sedangkan, sang suami bekerja seperti biasa
sebagai pengepul kue kering. Di sebuah garasi yang berhadapan dengan rumah.

Saat pulang sore harinya, ia tak tega membangunkan istri dan sang anak yang terlelap. Lalu,ia
pergi ke kebun untuk mengumpulkan kayu sebagai bahan bakar. Sekaligus mencari pakan ikan.
Saat kembali, sang istri terduduk di dekat dapur, sendirian.

“Heri mana Pak? Kok balik sendirian. Bukannya Heri tadi ikut?”

Sang suami terkejut, mereka sempat selisih pendapat sebelum akhirnya mencari ke kebun, rumah
teman hingga garasi. Tak ada hasil. Menjelang malam, akhirnya mereka berinisiatif untuk
mencari di kolam. Sudah terlambat. Mayat itu sudah mulai menggembung dan pucat pasi.
Kalau kita di posisi Mbak lastri dan salah seorang teman tadi. Apa yang kita rasakan? Memang
mereka kehilangan dengan cara berbeda. Tetapi tetap saja, rasanya sedih jika perpisahan denagn
orang terkasih terbentang di depan mata. Bukan hanya sesaat, tapi selamanya. Ini manusiawi.

Setelah peristiwa itu, saya tidak pernah bertanya apalagi berani menyinggung tentang sang anak.
Namun, setelah tiga tahun berlalu, tanpa diminta ia mulai terbuka. Setidaknya beginilah yang
dirasakannya. Pelan namun pasti, suara Mbak Lastri yang indah mengisi sore hari dengan
kisahnya yang memilukan.

Sejak kematian Heri, Mbak Lastri harus berjuang. Banyak hal dalam kehidupannya berubah.
Salah satunya adalah tidak waras! Tiba-tiba ingin menangis hingga pingsan. Ia saat itu, melihat
bagaimana sang anak diangkat menggunakan jaring. Tubuh mungil Heri tersangkut jaring
penahan ikan agar tak masuk lubang pembuangan.
Matanya nanar dan terus menangis menatap si kecil yang terbaring tak bergerak. Mulut membiru
dengan pipi, wajah dan beberapa tubuh menggembung. Marah, kenapa itu harus terjadi?
Menyesal, kenapa ia harus terlelap dan mengiyakan saja. Kecewa, kenapa suami tidak tahu
perihal anaknya yang ingin menyusul? Padahal sebelumnya mereka saling berpelukan dalam
kamar.

Kenapa? Berbagai pertanyaan mulai berputar dan membelilit kepala. Terlebih saat ada orang
yang membicarkan kepergian Heri. Seakan menyalahkan! Kalau saja ia bisa teriak, ia akan
melakukannya. Siapa orangtua di dunia ini yang mau melihat anaknya mati!

Mbak Lastri jadi pendiam. Sang suamilah yang lebih banyak bercakap-cakap dengan pelayat dan
juga menjawab mulut jahil tetangga. Setelah aksi diam, selanjutnya adalah tangis histeris yang
terdengar pada jam-jam tertentu, terutama menjelang tidur, mandi, masak atau ketika menjelang
duhur. Di mana saat itu, Heri sering merengek minta makan.
Dan, setiap bertandang ke rumah mertua (kakek-nenek) atau ketika ada yang mengundang untuk
perayaan ulang tahun, Mbak Lastri akan menangis histeris. Bahkan, ketika menengok teman
yang lahiran, silaturahmi ke rumah kenalan, melihat ada bayi, spontan ia menangis sejadi-
jadinya.
Hal ini entah kenapa sulit terkendali. Tidak hanya menangis, perlahan tumbuh rasa benci pada
ibu-ibu yang bahagia mengantar sekolah anaknya yang PAUD. Kebetulan rumah Mbak Lastri
berdekatan dengan PAUD dan TK.
Terlebih kalau ada yang memberi ucapan simpati. Namun, ketika duka itu tengah menghampiri
seseorang, rasanya terlalu naif mendengar kalimat-kalimat itu terus dijejalkan. Sesak rasanya,
sakit. Hati, pikiran, dan semua hanya ada luka.
Setelahnya, membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk memulihkan diri. Mbak Lastri pun
memutuskan untuk pindah rumah. terlebih saat ini ia sedang mengandung anak kedua. Tak mau
berlarut dalam kubangan kesedihan, ia mencoba bangkit. Mencoba memaafkand iri sendiri
hingga mau melakukan aktivitas di luar rumah.
Ia juga merasa kasihan, melihat suami dan keluarganya yang terlihat sedih setiap kali mereka
bersama.
Setidaknya ia, tidak memaksa diri ikhlas karena itu akan membuat luka semakin dalam. Jalani
dan biarkan alam memproses rasa ikhlas tersebut atas tangan Allah SWT. Bangkit dengan
keberanian, jangan lelah untuk memaafkan diri sendiri. Rasakan kehadiran Allah SWT, keluarga,
kerabat dan teman-teman. Hidup ini adalah kesedihan dan kebahagian, keduanya harus dilewati
hanya kapan itu... rahasia Illahi.

Anda mungkin juga menyukai